kalong Profile picture
May 18, 2022 269 tweets >60 min read Read on X
Halo selamat malam.
Sembari nunggu tumbal terakhir, ini ada cerita pendek oleh-oleh dari mudik kemarin. Masih tentang pesugihan.

Tentang seorang anak yang mendapatkan pertanda kematian, yang tanpa ia sadari bahwa orang terdekatnya lah adalah pelakunya.
Saya mulai besok malam, ya.
sebelum mulai, yang belum baca cerita pesugihan TUMBAL TERAKHIR, bisa tuh baca dulu. Panjang ceritanya. Cek aja di pinned, ada kok.
Discalimer dulu. Semua nama tokoh dan tempat sengaja di samarkan.

Sebuah cerita tragis yang saya dapatkan dari seorang narasumber istimewa ketika mudik kemarin. Namanya bu Wati.
Bicara soal cerita bu Wati ini, saya jadi ingat dengan cerita yang masih berjalan, yaitu tumbal terakhir. Sama-sama pesugihan, tapi yg ini baru pertama kali saya dengar.
Sebuah cerita dimana bu Wati menceritakan salah satu pengalaman beliau, yang menurut saya cukup menarik dan baru kali ini saya dengar. Namun terlepas dengan sebegitu ngerinya, tetap saja, cerita ini membuat saya bergidik ngeri.
“Ngeri, Mas!” kata bu Wati, matanya masih menatap gelas berisi teh panas yang ada di hadapanya, seolah peristiwa itu membekas di ingatannya.

“Ngeri pripun, Bu?” aku pun bertanya penasaran.
Awalnya bu Wati tampak berpikir, antara ingin menceritakan atau tidak, tapi sebentar kemudian beliau menjawab pertanyaan barusan.
“Sampean bayangke, Mas. Yo pie rasane ngerti ibuk karo sedulure sampean ditumbalno karo bapak dewe?! Sopo sing nyongko, Mas.”
(Kamu bayangkan, Mas. Gimana rasanya kalau tau ibu dan adikmu ditumbalkan sama bapak sendiri?! Siapa yang nyangka, Mas.)
Bu Wati terlihat ingin melanjutkan pembicaraan, tapi sebentar terpotong ketika seorang wanita muda mungkin berumur sekitar 20an muncul dari balik pintu, sembari membawa nampan berisi dua gelas berisi kopi.
Rambutnya pendek sebahu. Kulitnya halus dan aroma parfumnya yang sempat mampir ke hidung itu benar-benar bisa membunuh kesadaran lelaki manapun.
Melihat bagaimana cara wanita itu menarik rambutnya ke belakang telinga sambil melemparkan lengkungan senyum manisnya, membuat jantung lelaki manapun berdetak ugal-ugalan. Ini adalah pemandangan indah yang kami lihat ketika menyambangi rumah bu Wati.
"Monggo, Mas-mas. Di unjuk." (Silahkan, Mas. Di minum)

Percakapan kami saling menyahut, membuat kami semakin penasaran. Terlihat jelas dari guratan wajah bu Wati yang tampak serius.
“Mbiyen omah iki durung di tembok, Mas. Ijeh nganggo kayu”(Dulu rumah ini belum ditembok, Mas. Masih berdinding papan.) Bu Wati melanjutkan cerita setelah anaknya menyelesaikan tugasnya dan kembali masuk ke dalam rumah.

Dan disinilah cerita pesugihan itu dimulai.
sabar ya, disini hujan deres, sinyal wifi ndlap-ndlup. koyo perasaanmu neng dek'e
Di sebuah rumah yang masih berdinding papan, seorang lelaki tengah tertidur pulas di ruang tamu. Bertelanjang dada dengan mengenakan celana pendek berwarna hitam, Sutoyo terbaring di bangku kayu tanpa sandaran.
Pria 40an tersebut menggunakan kaos yang dilipat seadanya untuk menyangga kepalanya. Tampak kulitnya semakin gelap terbakar matahari, hanya bagian yang biasa tertutup kaos saja yang cerah. Sedangkan tubuh yang tadinya dibasah keringat, perlahan mengering.
Tak lama muncul seorang wanita dari dalam kamar, Lastri, istri Sutoyo. Dia memandang suaminya yang sedang tertidur kemudian sesekali mengipas ketika dirinya melihat suaminya mengibaskan tangannya karena gigitan nyamuk.
Hal itu dilakukannya hingga lebih dari lima belas menit lamanya. Dia begitu sabar menjaga suaminya tersebut.
Beberapa saat kemudian Sutoyo terbangun. Melihat sang istri di sampingnya, Sutoyo pun merogoh saku celananya. Dia menarik lembaran rupiah yang ada disana lalu memberikannya kepada istrinya.
”Alhamdulillah,” jawab Lastri sambil tersenyum.
Namun senyum itu seketika lenyap, ketika ia selesai menghitungnya.

"Kayake masih kurang, Mas. Untuk bayar utang sama bayar sekolah anak-anak. Ini berasnya juga mau habis."
"Sabar, Buk. Nanti tak usahakan nyari lagi." ucap Sutoyo menghibur istrinya.

Meski tampak tenang, sebenarnya dia sangat pusing, bekerja serabutan sudah dilakukannya tanpa kenal lelah. Tapi uang yang dihasilkannya seakan tak pernah cukup utk memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya.
Apalagi kini putri pertamanya beberapa bulan lagi segera lulus dan masuk SMP. Tentu membutuhkan biaya lebih, pikirnya.

Dalam kebuntuan tersebut, tidak ada yang bisa dilakukan Sutoyo kecuali berhutang kepada kerabatnya yang tinggal di desa sebelah.
Dia pun segera bergegas mengayuh sepeda onthel untuk pergi kesana. Jarak tempat tinggalnya sebenarnya tidak begitu jauh. Namun untuk menuju kesana, ia harus melewati alas jati yang lumayan panjang.
"Dalane mbiyen iseh lemah, Mas. Wes bedo karo saiki sik wes aspalan” (Jalannya dulu masih tanah, Mas. Berbeda dengan yang sekarang, sudah berplester aspal walaupun agak gronjal) ucap bu Wati
Ditengah hutan, Sutoyo pun terpaksa harus mendorong sepedanya lantaran jalan yg menanjak. Tiba-tiba dari belakang ada seseorang menepuk bahunya. Dia pun berbalik, ternyata ada seorang perempuan menyapanya dgn ramah. Namun Sutoyo tdk mengenalinya, dia merasa baru kali ini bertemu.
"Lho, sampean siapa?" tanya Sutoyo penasaran.

"Kulo tiyang mriki, Mas. Pun dangu. Kulo nggih pun ngertos sampean wira-wiri lewat mriki”
(Saya orang sini, Mas. Sudah lama juga disini. Lagian saya juga sering lihat sampean lewat jalan ini) jawab perempuan tersebut.
Sutoyo cukup terkejut, manakala perempuan yang memiliki paras cukup cantik dan berkulit bersih itu ternyata mengenalinya.

"Tapi kok saya baru tau ya, Mbak?
Entah kebetulan atau tidak, tiba-tiba ada warga yang sedang melintas dan menyapa Sutoyo. Sutoyo pun menengok dan membalas sapaan itu. Namun ketika Sutoyo kembali menoleh ke arah perempuan tadi untuk melanjutkan percakapannya, ternyata perempuan itu sudah hilang.
"Nah kalo kejadian mbak-mbak itu, warga sini sudah banyak yang tahu. Tapi mungkin... Mungkin lho, ya. Nasib bapak berbeda dengan yang lain. Kalo kata orang pintar, bapak di sukai sama demit itu. -
Nah setiap menemui mbak-mbak itu, pasti ada aroma bebauan kembang sembojo, Mas. Merinding saya, gek di tengah alas gitu." Ungkapnya.
Tanpa pikir panjang, Sutoyo pun segera mengayuh kembali sepedanya melanjutkan perjalanan ke desa sebelah. Dengan menyisakan sedikit tanda tanya. Siapa sebenarnya mbak mbak itu? Pikirnya.
Malam itu Sutoyo hanya mendapat sedikit uang pinjaman dari kerabatnya karena hutang yang lalu belum mampu terbayar. Membuatnya pulang hanya membawa beras satu kresek kecil dan umbi talas.
Anisa datang dan merengek pada sang bapak minta dibelikan sepeda, mengingat jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh membuat kaki Anisa bengkak dan melepuh.
Sutoyo makin pusing ketika Wati juga mengeluh tentang uang SPP yang belum terbayarkan berbulan-bulan. Ia pun menatap sekantor kresek berisi beras yang dibawa dengan nanar. Bahkan untuk makan sehari-hari pun sangat sulit.

****
Tak terasa tiga gelas kopi yang tadinya penuh sekarang tinggal separuh. Kami masih serius mendengarkan cerita Bu Wati.
"Buk, dek wingi balik sekolah, wati ketemu mbak-mbak neng alas. Lagi pisan kui ketemu. Sinten njih, Buk?”
(Buk, kemarin sepulang sekolah, Wati ketemu mbak-mbak di tengah alas. Baru sekali Wati ketemu. Siapa ya, Buk?) tanya Wati juga penasaran.
"Cobo takon bapak, Nduk. Masalahe ibuk gak ruh. Sopo reti bapakmu kenal” (Coba nanti tanya bapak, Nduk. Masalahnya Ibuk juga gak tau. Siapa tau bapakmu ngerti.)
Wati pun segera menanyakan hal itu kepada bapaknya.
"Mbak-mbak rambute dowo, Nduk?” (Mbak-mbak rambutnya panjang, Nduk?) Sutoyo mengernyitkan kening, dia sepertinya paham dengan pertanyaan anaknya, namun ia urung untuk memberi jawaban karena tidak mau anaknya tahu lebih.
"Iyo, Pak. Bapak tau?"

"Wes gak usah di pikirin. Sekarang ganti baju terus bantuin ibukmu ngangkat jemuran. Mendung ini"
Tak lama, hujan turun setelah Wati selesai menyelesaikan tugasnya. Semakin deras, seperti rasa penasaran yang menggelayut di pikiran Wati. Siapa sebenarnya perempuan itu?

****
Keesokan harinya, Sutoyo pergi menemui kerabatnya, Slamet. Dia menyampaikan keluh kesahnya dan berulang kali ditolak saat hendak berhutang, termasuk kerabatnya yang tinggal di desa sebelah.
Slamet sangat mengerti dengan apa yang dirasakan Sutoyo, sebab keadaan ekonomi Slamet juga tak jauh berbeda. Istri mengeluh setiap hari hingga anak merengek menangis sudah menjadi hal yang lumrah. Tak jarang hal itu membuat mereka jarang berada di rumah.
Jangankan untuk membayar SPP anaknya, untuk makan sehari-hari saja mereka susah. Beras yang mahal membuat mereka jarang makan nasi. Selain menceritakan kesulitan ekonomi yang dialaminya, dia juga menceritakan kejadian janggal yang dialaminya kepada Slamet.
Setelah berbincang cukup lama, mereka pun sepakat untuk melakukan tirakat puasa putih dengan maksud mengungkap apa yang terjadi sebenarnya. Mereka pun melakukan puasa putih selama 40 hari.
Selama itu pula, mereka tidak makan apapun selain nasi putih dan minum air putih saja. Tak hanya itu, mereka juga selalu tidur di atas jam 12 malam.
"Orang tua jaman dulu sering begitu, Mas. Kalo ada sesuatu yang menurutnya bikin penasaran, pasti akan melakukan tirakat, ya tujuannya itu tadi, mengungkap sesuatu." lanjut Bu Wati.

***
Aroma semerbak sembojo kembali tercium. Wati sudah hafal ini bau siapa. Meski sudah menemuinya di mimpi beberapa kali, namun Wati tetap was-was. Ia menyadari, namun mengapa terjadi berulang kali. Wati hanya perlu menunggu kemunculannya, karena sudah merasakan kehadirannya.
Rambutnya di kuncir membuat lehernya tampak jenjang dan indah, namun Wati kian resah. Senyumnya menawan tapi bagi Wati terasa menakutkan. Begitu ramah dan mempesona, namun Wati tahu jika dia bukanlah manusia.
"Aku Sumiyati, saya juga tahu bapakmu Sutoyo." begitu kata bu Wati ketika dirinya mengingat-ingat kembali memori yang sudah puluhan tahun terjadi.
Wati bisa mendengar namun tak bisa menjawab. Dia juga sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, pasti sama seperti sebelumnya. Namun Wati belum paham akan isyarat mimpi itu, ia tak pernah berani menceritakan yang sebenarnya, apalagi kepada orangtuanya.

*****
”Pak, sekarang kenapa rasanya berbeda ya suasana di rumah?”

Sutoyo hanya menoleh sebentar, memastikan jika yang bicara itu adalah Wati. Setelahnya ia kembali menyesap rokok dan menghembuskan asapnya ke udara.
”Beda gaimana? Bapak tidak merasakan apa-apa,” jawab Sutoyo.

”Iya Pak. Rasanya seperti ada yang mengawasi rumah kita,” jelas Wati bernada penasaran.

”Itu hanya perasaanmu saja Nduk, sudah jangan terlalu dipikirkan.” tandas Sutoyo setelah duduk di sebelah Wati.
Wati pun hanya diam, dia tidak berani membantah bapaknya. Meski dia yakin ada yang tidak beres di rumahnya selama satu bulan ini. Dia pun berlalu, memilih pergi membantu ibuknya yang hendak pergi mencari kayu bakar di hutan.
Wati sendiri sudah tidak asing dengan hal ghaib, dia memang sensitif dan dapat merasakan keberadaan mereka sejak SD. Dia pun cukup tenang menghadapinya. Hanya saja kepekaannya semakin terasah seiring dengan berjalannya waktu.
Dia sering diganggu makhluk tak kasat mata akhir-akhir ini. Tak hanya melalui mimpi, penampakan sosok-sosok menyeramkan pun kerap terjadi di sela-sela kegiatannya. Bahkan ketika kami sedang mendengarkan Bu Wati bercerita pun tak luput dari gangguan tersebut.
Meski demikian, dia tidak pernah bercerita kepada orang tuanya. Sebelumnya ia selalu bercerita kepada kakeknya tentang hal-hal aneh yang dialaminya.

Kakek merupakan satu-satunya orang yang menyadari keistimewaan Wati tersebut.
Kakek selalu berpesan jika lebih baik Wati tidak menceritakan keberadaan makhluk-makhluk tersebut kepada orang-orang di sekitarnya. Namun sayang, kini kakek Wati sudah lama tiada. Kakek telah meninggal sebelum ada peristiwa sinting ini.
Sehingga kini Wati hanya memendam itu sendiri. Dia bersikap acuh, seakan tidak dapat melihat mereka. Padahal Wati ingin berteriak setiap kali melihat sosok-sosok yang menakutkan itu.

***
Sore itu, Sutoyo berjalan kaki, dia pergi menuju hutan seorang diri. Tak lebih dari satu jam, lalu berhenti didepan sebuah pohon. Pohon yang besar dan rindang, pohon itu berbeda dengan pohon lain di sekitarnya. Terdapat lubang lumayan besar di tengahnya.
Dia pun mengelilingi pohon tersebut, sebelum mengeluarkan isi kantong plastik yang dipegangnya sejak tadi. Dia mengeluarkan segenggam bunga berwarna warni yang jumlahnya cukup banyak lalu menyebarnya ke tanah seakan-akan memagari pohon tersebut.
Tiba-tiba tercium aroma kembang sembojo sebelum sosok perempuan cantik itu muncul.

”Aku Sumiyati. Aku wes suwe tresno marang awakmu, Mas” (Saya Sumiyati, saya sudah lama menyukai kamu, Mas.) ucap perempuan cantik yang berdiri tepat di belakang Sutoyo.
Dia pun mengundang Sutoyo untuk datang dan masuk ke rumahnya. Saat pintu terbuka, dirinya begitu takjub melihat kekayaan yang ada di dalam rumah tersebut. Semua perabot yang ada di kediamannya terbuat dari emas.
"Kalo waktu itu belum terlambat..." Ada jeda sejenak. Pandangannya beralih menatap jauh keluar. "Mungkin bapak masih bisa selamat." sambung Bu Wati sembari menghembuskan nafasnya, terlihat seperti menahan kesedihan. Sangat jelas dari raut wajahnya.
Setelah berkeliling melihat isi rumah Sumiyati, Sutoyo hendak berpamitan. Namun Sumi menahannya agar tinggal lebih lama. Siapapun tidak akan mampu menolak tawarannya, begitu pula Sutoyo. Kecantikannya tidak dapat dipungkiri.
Paras yang begitu elok, tubuhnya yang molek hingga tutur katanya begitu mempesona. Namun yang mengejutkannya, Sumi terang-terangan meminta untuk dinikahinya. Begitu terkejutnya hingga Sutoyo pun terdiam.
Meski dia memiliki hasrat namun Sutoyo tak sampai hati. Dia masih ingat dengan anak istrinya. Terbayang kondisi rumahnya yang reot, hutang yang menumpuk, anak istrinya yang sering kelaparan membuatnya teriris.
Seakan dapat membaca pikiran Sutoyo, Sumi berjanji akan memberikan semua harta yang dimilikinya kepada Sutoyo. Dia pun menjamin kehidupan Sutoyo akan kaya raya, tidak akan kekurangan satu barang pun, asal mau menikahinya.
Tawaran yang begitu menggiurkan membuatnya terhanyut dalam pikirannya. Ia menyadari jika selama ini dia telah menyeret keluarganya hidup dalam lingkaran kemiskinan. Namun apakah kemiskinannya ini akan terus dia wariskan kepada anak cucunya? ”Tidak!” batin Sutoyo.
Tapi hal yang sesungguhnya dirinya belum ketahui adalah keputusannya untuk menikahi Sumiyati menjadi malapetaka untuk keluarga kecilnya.

***
Pagi sekali, setelah Sutoyo mengantar Wati ke sekolah. Dia seperti tergesa-gesa. Wati tau betul jika bapaknya pagi itu sedikit berbeda.
Di sebuah pasar, Sutoyo kesana kemari melihat kambing yang dijajakan para pedagang. Namun dari puluhan kambing itu semuanya tidak ada satupun yang sesuai dengan apa yang dicarinya.

”Kok warnanya gak ada yang hitam, ya” gumamnya.
Tak mendapatkan apa yang dicarinya, Sutoyo pun memutuskan pulang ke rumah. Baru saja merebahkan tubuhnya, terdengar suara pintu diketuk. Rupanya ada seorang pria datang bertamu ke rumahnya. Anehnya ini pertama kali Sutoyo bertemu dengannya,
dia belum pernah menjumpai pria ini di kampungnya. Meski demikian Sutoyo tetap menyambutnya ramah. Hingga ditengah perbincangan mereka membicarakan tentang satu hal. Sesuatu yang tak lain adalah kambing yang sedang Sutoyo cari.
”Sampean kalo mencari kambing hitam, sampean jalan saja kesana. Ada orang yang jual kambing di sana, rumah satu-satunya berpagar kayu” lontar pria asing tersebut.
Tak lama setelah pria itu berpamitan, Sutoyo pun mengayuh sepedanya pergi ke arah utara seperti yang dikatakan tamunya tadi. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, tak tampak ada yang berjualan kambing.
Cukup jauh Sutoyo mengayuh sepedanya, ia sudah melewati sekitar 3 desa. Hingga akhirnya di desa yang paling ujung, Sutoyo melihat ada sebuah gubug tak terlalu besar dengan pagar kayu mengelilinginya.
Tepat di halaman yang bisa di masuki tiga mobil sekaligus, Sutoyo bisa melihat dengan jelas ada belasan kambing dengan salah satunya berwarna kontras dengan yang lain, dia melihat ada seekor kambing yang cukup besar. Kambing itu memiliki warna sesuai dengan yang diinginkannya.
”Wedus ireng,” gumamnya.

Dia pun memelankan laju sepedanya dan menghampiri gubug tersebut.

”Mas, kambingnya ini dijual mboten?” tanya Sutoyo setelah si pemilik kambing keluar dari gubugnya.

”Iya Pak, sampean mau beli berapa ekor?,” jawab lelaki tersebut.
“Siji ae, Mas. Yang besar itu,” ucap Sutoyo sambil menunjuk kambing tersebut. Namun Sutoyo tdk langsung membayar harga kambing itu, dia tdk membawa uang sepeserpun.
Sutoyo hanya berjanji akan membayar kambing itu minggu depan. Anehnya lelaki itu mengiyakan untuk membawanya begitu saja.

***
”Kambing ini mau tak sembelih dua hari lagi, Buk. Untuk acara syukuran. Sampean masak, ya.” ucap Sutoyo kepada istrinya.

Dia mengatakan jika dirinya akan mendapat rezeki besar sehingga hal itu perlu disyukuri. Istrinya pun sumringah mendengar hal itu, -
dia pun segera pergi ke rumah tetangga untuk meminta bantuan. Sontak kedua putrinya yang juga mendengar pun berlari menghampiri bapaknya.

”Nduk, kamu ingin apa? Nanti Bapak belikan.” kata Sutoyo kepada Anisa, putri bungsunya
Anisa pun sudah membayangkan ingin membeli pakaian yang bagus, dia juga ingin membeli sepatu, tas dan seragam sekolah karena selama ini seragamnya paling kusam di kelas. Dia jg ingin dibelikan berbagai makanan lezat. Dia begitu gembira hari itu dan tidak sabar dgn janji Bapaknya.
”Ini beneran, Pak? Wati tidak minta apa-apa, Wati hanya minta Bapak lunasi SPP Wati.” kata Wati.

Terbesit pikiran aneh yang menggelayut dipikiran Wati, karena tiba-tiba bapaknya mau mengadakan acara besar, tapi ia tetap berfikir positif,-
semoga saja bapaknya memang mendapatkan rejeki yang banyak dan bisa memenuhi semua kebutuhan.

”Wati malu, Pak. Berulang kali ditanya guru di sekolah disuruh melunasi SPP.” lanjutnya.

“Iya Nduk, nanti Bapak lunasi SPP mu di sekolah,” jawab Sutoyo lantas memeluk kedua putrinya.
Tak sadar air matanya menetes, ia cukup terpukul mendengar jawaban Wati. Dia juga berjanji akan membangun rumah yang layak untuk mereka. Selama ini mereka belum memiliki kamar mandi dan WC. -
Sehingga mereka harus numpang mandi di sumur tetangga setiap hari. Dia juga ingin membeli beberapa lemari, agar pakaian mereka tidak lagi disimpan dalam kardus.

***
Malam semakin larut, namun Lastri dan tetangganya masih sibuk di dapur. Mereka mempersiapkan bumbu-bumbu untuk memasak daging kambing untuk besok.
Sedangkan Sutoyo masih berada di teras sedang meminum kopi bersama tetangganya. Sementara adiknya berada di atas ranjang, sudah terlelap sejak tadi.
Sementara itu, Wati merasa tak asing dengan tempat sekarang ia berdiri. Dia tengah berada ditengah hutan. Hutan yang tidak asing, hutan yang sering dilewatinya. Iya, ini hutan saat pertama kali dia bertemu perempuan cantik itu, Sumiyati.
Dia pun berjalan masuk ke hutan. Semakin dalam dia masuk, semakin gelap. Hingga dia melihat cahaya, dia pun mengikutinya. Di sana dia melihat rumah bak istana, dengan memiliki pagar menjulang tinggi.
Setibanya di depan pintu, hawa mendadak berubah menjadi lebih dingin, ia merasa ada yang tidak beres di dalam rumah ini.

Dua kali ketukan tak ada jawaban, namun ketika hendak mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu terbuka dengan sendirinya. Wati masuk ke dalam rumah.
Semerbak aroma masakan memaksa indra penciuman Wati untuk masuk lebih dalam. Manakala baru kali ini dirinya mencium aroma sangat enak di banding di rumahnya sendiri. Wati belum bisa menebak nama masakan ini, yang membuat rasa penasarannya lebih besar ketimbang rasa takutnya.
Tak lebih dari 10 meter dirinya melangkah, setelah melewati lorong terang dengan di kanan kiri pintu tertutup, indra penciumannya memaksa lagi untuk memasuki ruangan dengan pintu terbuka.
Di sana, tepatnya di ruangan seperti dapur dengan beberapa perabot yang lengkap, Wati melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Hal yang sangat mengerikan terjadi. Benar-benar jelas di matanya.
Di ruangan itu, dia melihat ibu dan adiknya ada disana. Namun bukan itu yang membuatnya ngeri, tapi apa yang sedang di lakukan oleh mereka berdua. Wati melihat ibunya sedang memasak, anehnya dia tidak menggunakan peralatan masak pada umumnya.
Ibu Wati menggunakan tangannya sendiri untuk mengaduk makanan yang sedang mendidih tersebut.

Wati berteriak memperingatkan ibunya, namun sepertinya tidak mendengarkan. Hal yang tak kalah sinting juga di lakukan oleh adiknya.
Dia terlentang di atas meja makan, dia meringis menahan sakit menahan tajamnya pisau yang mengiris bahan makanan tepat di perut hingga wajahnya. Wati berteriak kembali untuk memperingatkan adiknya berhenti melakukan hal gila tersebut, namun sama, tak ada jawaban.
Wati tak sanggup melihat hal itu, dia hanya bisa menangis histeris.

Tak berhenti disitu saja, Wati yang histeris melihat Ibuk dan adiknya tidak menyadari jika bapaknya juga melakukan hal yang tak kalah gila.
Di ruangan berbeda, tepatnya di ruangan pintu tertutup dengan lampu menyala, terlihat dari pantulan cahaya dari lubang udara. Wati mendengar ada suara geraman seorang lelaki. Wati tau betul dengan suara itu, suara milik bapaknya.
Perlahan Wati membuka pintu tak terkunci tersebut. Di sana, tepatnya di atas ranjang kasur bertepi kain putih transparan. Wati melihat bapaknya sedang melakukan gerakan maju mundur dengan seekor kambing hitam yang sesekali mengembik ketika ada tekanan.
Detik itu juga tubuh Wati terasa lemah tak bertulang, ia roboh, tersimpuh di ambang pintu, seakan tak percaya melihat kejadian sinting itu.
Sejenak Wati terdiam dalam tangis terisak. Jiwanya seolah kosong, sekosong pikirannya. Namun tak lama, saat matanya kembali menatap nyata tubuh bapaknya yang sudah membiru dan sedikit menebar bau busuk, jeritan melengking keluar dari tenggorokannya.
Wati pun terbangun dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya.

Dia baru saja tersadar dari mimpi buruknya. Namun kali ini mimpinya berbeda, dia melihat hal yang lebih mengerikan dari sebelumnya.
Dia ingin menceritakan hal itu kepada Bapaknya, namun Bapaknya masih sibuk berbincang dgn tetangga. Wati pun mengurungkan niatnya, dia mencari ibu tapi ibunya juga masih sibuk memasak. Akhirnya Wati berniat menunaikan sholat isya yg tertunda, berharap dirinya bisa lebih tenang.
Sementara itu, setelah Sutoyo selesai berbincang dengan teman dan kerabatnya, tiba-tiba terlihat dari kejauhan ada seseorang tengah berlari ke arah Sutoyo berdiri. Dengan nafas yang terengah-engah, lelaki itu berhenti sejenak, mengatur nafasnya.
"Kenapa, Met kok lari-lari?" tanya Sutoyo setelah tau yang datang ternyata Slamet.

”Ojo diteruske. Batalke kabeh! Ojo percoyo karo wedokan kae!” (Jangan diteruskan, batalkan ini semua. Kamu jangan percaya dengan perempuan itu!) bentak Slamet.
”Tenang, Met. Bicara yang jelas. Ono opo?” ucap Sutoyo.

”Edan! Koe arep ngawini demit wedok kae! Wedus ireng sing dadi mahare. Uwes ojo mbok teruske!”
(Jangan gila! Kamu mau kawin dengan perempuan itu, wedus ireng itu maharnya. Jangan diteruskan!) jawab Slamet yang terus mencoba untuk menyadarkan Sutoyo.
”Iku urusanku, koe ga usah ikut campur!” teriak Sutoyo yang kemudian melayangkan bogem mentah ke wajah Slamet dengan kepalan tangannya.

Slamet yang tersulut emosi pun menendang perut dan menghantam punggung Sutoyo.
Perkelahian dua sahabat itu berlangsung sengit. Namun karena Slamet kalah kekarnya dengan Sutoyo, ia tumbang dan ambruk.

Sutoyo yang masih berdiri pun lalu masuk rumah mengambil parang yang sudah diasahnya kemarin.
”Ora perlu ngurusi uripku! Minggat koe, opo perlu tak tugel gulumu!” (Tidak usah mengurusi hidupku. Pergi kamu, jika tidak akan ku potong lehermu!) ancam Sutoyo sambil mengacungkan parang di hadapan Slamet.
”Goblok! Koe bakal nyesel ora gelem manut aku. Mesakno anak bojomu sik bakal nanggung akibat gorohmu! Bedhes!” (Goblok! Kamu akan menyesal tidak mendengar ucapan ku, kasihan anak istrimu yang akan menanggung akibat kebodohanmu. Brengsek!) maki Slamet.
Dia pun berjalan gontai meninggalkan Sutoyo yang masih berdiri dengan parangnya. Meski wajahnya bonyok dan kakinya pincang, namun Slamet tidak terlihat menyesal. Dia pun merogoh saku celananya. Dia mengambil korek lalu menyalakan rokoknya.
Dia menyesap dalam-dalam lalu menghembuskannya ke udara. Slamet meringis menahan sakit dan tersenyum sinis.

”Goblok! Dikira itu semua gratis! Dua nyawa akan jadi tumbal!” umpatnya.
Sutoyo masih kesal lantaran ulah Slamet. Dia pun kembali masuk rumah dan menutup pintunya. Dia pergi ke dapur lalu mengasah parangnya. Semakin tajam parang itu, setajam keinginannya untuk lepas dari jeratan kemiskinan yang membelenggunya sejak kecil.
Dia tidak ingin mewariskan kemiskinan ini ke anak cucunya. Mereka harus hidup layak dan berkecukupan.

”Cukup aku saja yang menderita, anak cucuku jangan!” batin Sutoyo.
Di sisi lain, Wati yang melihat kejadian itu nampak mempias, tubuhnya gemeter hebat, manakala kalimat yang di lontarkan Pakdhe Slamet sesuai dengan gambaran mimpi Wati.

***
Seperti halnya pagi itu, entah terdorong oleh apa, tiba2 saja Sutoyo punya keinginan untuk berjalan ke belakang rumah. Tak ada apapun saat ia sampai disana. Hanya seekor kambing hitam terikat di pohon dan hamparan lahan kosong miliknya yg berbatasan langsung dengan hutan jati.
Suara serangga dan alam menjadi teman bagi Sutoyo. Sebelum satu sosok perempuan cantik, datang dari balik gelapnya hutan jati menghampiri dirinya.
Ada kesan berbeda dari raut wajah Sutoyo. Ketika melihat sosok perempuan cantik berjalan sendirian. Apalagi Sutoyo sudah tau siapa pemilik wajah cantik dengan tubuh molek tersebut. Sumiyati.
“Mas, sampun siap?”
Tak ada jawaban. Sutoyo hanya diam menatapnya, sebelum dua gerakan aganggukan kepalanya memberi isyarat.
“Ojo lali, Mas. Adusi wedus iki nganggo kembang sakdurunge mbok beleh” (Jangan lupa, Mas. Mandikan kambing itu dengan bunga tujuh rupa, sebelum kamu sembelih.)
Satu kalimat perintah sangat jelas terdengar di telinga Sutoyo, sebelum sosok Sumiyati menghilang meninggalkan bebauan kembang sembojo yang begitu menusuk hidung.
Malam itu, setelah yakin istri dan anaknya sudah terlelap tidur. Sutoyo begitu antusia dan bersemangat, mengindahkan perintah Sumiyati demi terkabul hajatnya. Entah berapa lama Sutoyo terhanyut arus khayalannya sendiri.
Hingga tetiba ia bangkit dan beranjak menuju halaman belakang dengan tangan kanan menenteng parang tajam yang sudah ia asah sebelumnya.

Namun langkahnya seketika terhenti, manakala pintu belakang yang mengarah ke halaman baru saja terbuka,-
matanya menangkap satu sosok tengah berdiri di depan pintu dalam posisi membelakangi. Sutoyo tersenyum sembari menatap lekat dari ujung kaki hingga ujung rambut Sumiyati.
Sebentar kemudian, Sutoyo berjalan keluar, berdiri tepat di samping Sumiyati sebelum satu kalimat memberi isyarat Sutoyo.

“Mas, setelah ini, kamu akan menjadi orang kaya. Monggo, Mas. Lakukan sekarang”
Tanpa tedeng aling-aling, Sutoyo segera menghunuskan parangnya tepat ke leher si kambing. Namun anehnya, kambing itu menurut tanpa memberontak. Satu suara kembikan terakhir menandakan hidupnya berakhir utk selamanya.
Kemudian Sutoyo menguliti kambing dan memotong dagingnya sedemikian rupa.

Entah apa yang dilakukan oleh Sutoyo malam itu. Yang pasti Wati tak sengaja melihat bapaknya berjalan ke halaman belakang.
Pagi itu Lastri masih sibuk dengan para tetangga di dapur. Memasak gulai kambing yang nantinya untuk syukuran.

Sementara Sutoyo masih terlihat terbaring di tempat tidur miliknya. Tampak wajahnya berkeringat. Sutoyo bermimpi sesuatu.
Mimpi yang memberikan satu isyarat buruk namun dia belum mengerti, bahwasanya di sana, tepatnya di dapur rumah miliknya, Sutoyo mendadak terkejut, dia melihat dua tungku memanjang dengan api yang menyala-nyala.
Sedangkan di bagian atasnya dia melihat tanda yang dia sendiri tidak mengerti berwarna merah.
Sutoyo pun terbangun, dia memandang sekeliling ternyata hari sudah siang. Terlihat dari pantulan cahaya matahari yang menembus di sela-sela lubang genteng miliknya. Segera Sutoyo beranjak dan membersihkan tubuhnya, karena sebentar lagi acara syukuran akan segera dimulai.
Wati baru menyadari sesuatu, aroma masakan ini tidak asing baginya. Karena dia pernah mencium sebelumnya. Wati mencari aroma itu yg ternyata berasal dari pawon miliknya. Disana ada ibuk dan para tetangga sedang sibuk memasak dan menyiapkan segala sesuatunya dengan sangat gembira.
Tak terasa acara pun selesai. Mereka sangat menikmati, terlihat dari raut wajah beberapa warga yang datang memancarkan senyum mengembang.
“lima atau enam bulan kalo gak salah, Mas. Bapak mulai membangun rumah waktu itu. Terus mulai dari situ kebutuhan semuanya bisa tercukupi. Dulu saya mikirnya mungkin bapak sudah mendapatkan pekerjaan yang tepat, makanya bisa seperti itu.
Tapi jarang pulang, Mas. Ibuk juga mendadak kayak kosong pikirannya. Sering diem di kamar, sholat pun jadi jarang.” Jelas Bu Wati yang ketika itu bersamaan dengan adzan isya berkumandang. Beliau ijin sejenak untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah.
“Lembur, Mas?” tanya Lastri, melihat Sutoyo yang baru pulang dan berdiri di depan pintu kamar.

Aneh, biasanya Sutoyo akan langsung menyahut ucapan istrinya. Tapi kali ini, Sutoyo hanya diam di depan pintu tak menjawab. Seperti ada sesuatu yang menahan langkah dan lidahnya.
“Mas!”
Lagi. Kali ini lebih keras dan tegas suara Lastri. Membuat Sutoyo sebentar tersadar dan tergagap.

Meski kaki Sutoyo akhirnya mengayun masuk ke kamar, tapi dari wajah nya masih menyiratkan sesuatu yang berbeda.
Apalagi ketika dirinya begitu dekat dengan Lastri, rautnya semakin menggurat rasa heran seperti menahan sesuatu.

“Mas, sampean kok wangi kembang?” tanya Lastri, penasaran dengan bau yang kini seperti menempel di badan suaminya.
“Kembang? Kembang opo!” jawab Sutoyo dengan nada yang sedikit meninggi dan berganti melempar pertanyaan.

Lastri terdiam, ia sadar jika sampai ia teruskan bakal menjadi sebuah perdebatan. Sebab bau wangi yang tercium oleh hidung Lastri adalah bau wangi kembang sembojo.
Lama dan terus saja bau itu menganggu penciuman Lastri. Sampai akhirnya menghilang ketika ia membaringkan tubuh dan beristirahat setelah selesai mengurus suaminya.
Satu hal yang baru-baru ini menjadi kebiasaan Lastri. Ia selalu terbangun ketika malam merangkak dini hari. Seperti juga malam itu, Lastri terjaga dari mimpinya.

Sebentar, Lastri mengumpulkan kesadarannya. Kemudian melirik ke arah Sutoyo yang masih pulas terpejam di sampingnya.
Lalu mengalihkan pandangan pada jam dinding tertempel di atas pintu kamar.

Pukul satu dini hari Lastri melihat waktu saat itu. Tak jauh beda dengan waktu saat dirinya terbangun di malam sebelumnya. Namun entah mengapa, malam itu ia seperti enggan turun dari ranjang.
Seolah ada sesuatu yang menahan tubuhnya beranjak dari kamar. Tapi demi hajat yang tak tertahan lagi, Lastri terpaksa bangkit dan melangkah menuju kamar mandi.
Sunyi dan hening dirasa Lastri saat itu. Hanya suara serangga kecil dari luar yang terdengar, menemani akhir hajat rutinnya. Tapi setelahnya, di saat dirinya akan kembali ke kamar, satu kejanggalan ia temukan.
Lastri terkejut, kaget dan tertegun. Tersisip rasa curiga melihat pintu dapur yang menghubungkan langsung dengan pekarangan belakang sudah terbuka lebar. Matanya spontan mengedar ke sekeliling dapur dan ruang makan. Mencari-cari sesuatu yang dirasa janggal.
Akan tetapi, setelah beberapa saat Lastri mencari dan tak menemukan tanda-tanda apapun, ia melangkah mendekati pintu berniat menutupnya kembali. Namun baru saja tanggannya menyentuh gagang kayu yang menempel di pintu,
sapuan angin bersamaan dengan bau wangi sembojo dan prengus kambing menerpa tubuh dan wajahnya.

Seketika Lastri terperanjat, merinding, mengingat bau wangi itu sadari malam sepulang suaminya sudah mengganjal pikirannya. Cepat tangan Lastri menarik gagang pintu dengan kuat.
Mencoba menutup kembali dan menghindar tiupan angin yang membawa kedua bau itu. Tapi sayang, sekuat tenaga ia keluarkan, berusaha dan mencoba berkali-kali, daun pintu itu tak sedikitpun bergeser. Seperti tertahan sesuatu yang berat di belakangnya.
Lastri terdiam sebentar, bingung dan mulai tersusupi rasa takut. Sesaat berpikir, Lastri pun berjalan keluar untuk melihat apa yang sudah menahan pintu itu.

Lagi-lagi Lastri di buat tercengang. Mendapati tak ada apapun di balik pintu itu.
Bahkan tak lama, daun pintu bergoyang pelan, menandakan jika pintu itu ringan tanpa beban. Seolah tak percaya dengan semua kejadian yang baru saja ia alami. Batinnya berkecamuk antara takut dan heran.
Namun tak lama, rasa herannya terjawab oleh satu suara lembut di ujung belakang pekarangan.

Suara lirih tengah bernyanyi dari sesosok wanita berpakaian serba hitam, rambut panjang sepinggang.
Meski terlihat sedikit samar, tapi sosok yang berdiri membelakanginya sanggup membuat Lastri seketika gemeteran.

Perlahan sosok itu menggerakkan tubuhnya. Berbalik dan menghadap tepat ke arah Lastri. Memperjelas mata Lastri untuk melihat sosok itu, walau berjarak cukup jauh.
Tubuh Lastri seakan mati rasa. Setelah pandangannya terbantu cahaya lampu dari sudut. Sangat jelas Lastri melihat sosok wanita itu bernyanyi.

Tapi sekarang bukan lagi suara nyanyiannya yang membuat Lastri tersulut mundur.
Melainkan dua tanduk yang berada di kepalanya dengan mata merah menyala, seperti tengah menahan amarah.

Sadar akan sosok di hadapannya bukanlah manusia, Lastri buru-buru melangkah masuk dengan penuh ketakutan.
Tak memikirkan lagi pintu belakang yang masih terbuka. Membiarkan tubuhnya basah keringat. Sebab saat itu yang ia inginkan hanya segera meninggalkan tempat itu.

***
“Mas, tangi (Bangun).” Nyaris keras suara Lastri pagi itu, membangunkan Sutoyo. Masalahnya, Lastri melihat satu hal tak biasa dari diri suaminya. Masih meringkuk saat mentari sudah menampakkan sinarnya.
Sebentar Sutoyo membuka mata. Terdiam sembari memulihkan kesadaran sebelum beranjak bangkit dari ranjang. Setelahnya Lastri menanyakan perihal kejadian semalam yg sampai pagi ini msh teringat jelas di memorinya. Sosok wanita bertanduk yg di lihatnya di pekarangan belakang rumah.
Sutoyo awalnya tampak terkejut mendengarkan cerita Lastri, namun sebentar kemudian Sutoyo bangkit dan berlalu setelah memberi penjelasan singkat kepada istrinya.

“Ngimpi, Buk.”
Selesai membersihkan tubuh serta memasukan satu persatu sesendok nasi dan lauk ke dalam perutnya, Sutoyo berangkat menjalankan kewajibannya seperti biasa. Melupakan sejenak rasa was-was dan keterkejutannya atas cerita Lastri beberapa menit yang lalu.
Sedangkan Wati sudah mulai berangkat ke sekolahnya.

Sementara Lastri seperti hari-hari biasa. Ia hanya menghabisakn waktu di rumah dan sesekali mengawasi anak keduanya bermain bersama dengan tetangga.
Terkadang ada hawa aneh yang muncul di dalam rumah barunya, lebih tepatnya di ruangan yang kini menjadi ruangan penyimpanan barang yang tak di gunakan. Lastri seperti merasa jika di dalam ruangan itu ada sesuatu yang membuatnya penasaran untuk di masuki,
tapi setiap kali dirinya masuk dan mencari sesuatu, tak pernah menemukan apa yang di maksud.

Seperti hari itu, saat waktu mulai surup. Setelah beberapa jam ia melakukan aktifitas di dalam rumahnya, Lastri merasa bosan. Tak ada tempat tujuan lain, selain ke halaman belakang.
Dirinya masih penasaran dengan sosok semalam yang dilihatnya.

Lastri terus melangkah, dan baru berhenti beberapa meter dari pintu dapur yang letaknya berdampingan dengan kamar mandi. Mendekat ke arah sisi kanan menatapi seekor kambing hitam sudah terikat di salah satu pohon.
Rasa penasaran seketika menyelimuti dalam benak. Sebab Lastri tahu betul, jika semalam belum ada kambing tersebut.

Cukup lama Lastri mengamati sambil memeriksa kambing itu, siapa tau ada nama di badannya. Tapi ternyata tidak ada.
Dalam hati Lastri bertanya-tanya tentang pemilik kambing tersebut. Ia terus berpikir, mengingat-ingat kembali, apa mungkin ini punya suaminya atau hanya titipan. Entahlah. Pikirnya.
Hari semakin beranjak sore. Paparan sinar terik mulai meredup, membuat suasana terasa sejuk dan asri di halaman belakang rumah Lastri.
“Mlebu, buk. Wes surup. Ra ilok” (Masuk, buk. Sudah mau maghrib. Pamali) ajak Sutoyo, menyadarkan Lastri yang terdiam sejak tadi di pekarangan belakang.
“Sik, Mas. Iku weduse sopo, Mas” (Bentar Mas. Itu kambingnya siapa) Lastri balik tanya ke suaminya.

Sutoyo membisu, wajahnya seketika memucat. Setelah Lastri baru saja menyelesaikan kalimat pendeknya.
Tapi bukan itu yang membuat Sutoyo tiba-tiba terselimuti ketakutan, melainkan dari seekkor kambing hitam sudah terikat di pohon belakang. Namun sebentar kemudian Sutoyo memberi alasan yang logis untuk istrinya agar tidak curiga.
“Wedus ku, Buk. Bapak sesuk meh ternak wedus.” (Kambingku, Buk. Bapak besok mau ternak kambing) Sutoyo yang sudah tak sabaran, kemudian mencengkram lengan Lastri membawanya masuk ke dalam rumah meninggalkan tempat itu.
“Wes ayo mlebu. Ngobrol neng njero omah wae!” (Sudah ayo masuk. Bicara di dalam rumah saja) ajak Sutoyo melangkah lebih dulu membukakan pintu.

Lastri yang masih di landa kesal dan berwajah mengkerut, menuruti ajakan Sutoyo tanpa bicara.
Namun sesampainya di dalam kamar, banyak pertanyaan yang meluncur deras yang ingin Lastri sampaikan.

“Mas. Aku iseh kepikiran karo sik mau bengi. Eneng demit sik manggoni neng mburi omah. Mas wes wiruh durung?”
(Mas. Aku masih kepikiran sama yang semalam. Ada setan yang menempati di belakang rumah. Mas sudah lihat belum)

“Setan opo, Buk? Raono sik jenenge setan neng mburi omah ki!” (Setan apa, Buk? Gak ada yang namanya setan di belakang rumah!) jawab Sutoyo sengit.
“Karepmulah, Mas.” (Terserahlah Mas)

Sejenak suasana terasa sunyi. Sutoyo yang mendengar ucapan Lastri, terlihat diam memandang wajah istrinya dengan tatapan serius. Tapi tak lama, senyum tawa Sutoyo meledak di barengi gelengan kepala.
"Buk … Buk. Wes, sampean ki gur kekeselen. Sesuk bapak tak ngundang Mbok Ijah ben ngewangi resik-resik omah. Ben Ibuk ki ra kakean pikiran.”
(Buk … Buk. Sudah, kamu itu Cuma kecapekan. Besok bapak tak minta tolong Mbok Ijah surah bantu bersih-bersih rumah. Biar ibuk gak banyak pikiran) ucap Sutoyo dengan sunggingan senyum mencibir.
“Wes, bapak arep maem sik. Ngelih.” (Sudah, bapak mau makan dulu. Lapar) sambung Sutoyo seraya membalikan badan, melangkah dan meninggalkan Lastri sendiri di kamar.

***
Malam itu, Sutoyo terbangun lebih dini dari biasanya. Sengaja mendahului Lastri yg bangun sebelum adzan subuh berkumandang.

Mendapati Lastri masih tertidur pulas di ranjangnya, Sutoyo kemudian bersiap, namun bukan untuk bekerja. Melainkan ada satu kewajiban yg harus ia lakukan.
Sekitar tiga puluh menit Sutoyo berkendara menembus gelapnya alas jati tanpa berpapasan dengan siapapun. Tak lama kemudian, ia berhenti tepat di pinggir jalan depan sebuah rumah berpagar tinggi menjulang berhalaman luas,
yang sebelumnya dirinya pernah lewati setiap berangkat bekerja. Rumah dengan bangunan bergaya klasik dan sedikit termodif pada bagian teras depan, terlihat tak asing bagi Sutoyo.
Memikirkan hal itu, kesedihan mengurat jelas di wajah gelapnya. Namun sekejap berubah, tatapannya menjadi tajam, nyalang memerah, menandakan letupan amarah, yang sekian lama tertumpuk di benak.
“Sedelo meneh, aku dadi wong sugih!” (Sebentar lagi aku akan menjadi orang kaya) gumam Sutoyo penuh ambisi, sebelum kembali menaiki kendaraanya dan meninggalkan bangunan mewah itu.
Sutoyo sedikit mempercepat laju kendaraannya. Menyusuri jalanan tanah alas jati. Namun kali ini ia terlihat seperti tergesa dan berburu dengan waktu. Hingga tak berapa lama, akhirnya Sutoyo sampai di tempat yang ia tuju, -
tempat dimana bakal mengawali dari rangkaian kengerian dan kesadisan yang terlahir dari ambisinya sendiri untuk menjadi orang kaya, yang sebelumnya dirinya belum ketahui, jika ia akan kehilangan anak dan istrinya.
Ia terus mengayunkan kakinya menuju halaman belakang. Melewati sisi kiri rumah, yang berbatas dengan jalan lain. Sutoyo baru menghentikan langkah, ketika kakinya tepat berdiri di ambang pintu. Ia tau dan sangat hafal, jika hanya pintu belakang yang langsung menuju ruangan itu.
Hening dan gelap, suasana di dalam rumah yang Sutoyo pernah masuki sebelumnya. Kesan seram dalam rumah itu sangat kentara di waktu malam tanpa penerangan. Namun itu tak membuat jiwa Sutoyo terguncang,
dalam pikirannya saat itu hanya ingin segera menyelesaikan salah satu ritual persekutuannya. Agar dirinya bisa segera menjadi orang kaya.
Di tempat itu, Sutoyo mulai mengeluarkan bungkusan yang ia bawa sedari rumah. Ia memeriksa satu persatu untuk memastikan.

Sebentar Sutoyo menghidupkan tiga buah lilin yang ia bawa. Menjadikan ruangan seperti sebuah kamar sedikit terang.
Ia kemudian duduk bersila, menghadap satu cawan berukuran sedang dan sebuah tungku. Kepulan asap seketika menyebar yg berasal dari dupa yg ia bakar dan ia letakkan di dalam tungku.
Tak lama, bau menyengat aroma dupa itu berbaur dengan wangi bunga tujuh warna yang Sutoyo tabur di atas cawan.

Sutoyo sejenak menunduk, memejamkan mata, seraya bergumam lirih membaca kalimat-kalimat yang sebelumnya di ajarkan Sumiyati.
Gemuruh deru angin menjadi sebuah tanda. Juga menjadi akhir Sutoyo melafalkan sebuah mantra. Setelahnya Sutoyo pun segera membuka mata, menatap tajam pada kepulan asap dupa sebelum mengedar kesekeliling.
Tepat saat itu, mata Sutoyo mendapati satu sosok telah berada di ruangan itu. Ia sebentar terperanjat kaget, melihat apa yang telah ia lakukan, mampu mengundang sosok-sosok menakutkan yang selama ini belum pernah dirinya lihat.
Tepatnya di sudut ruangan, sosok perempuan berwajah hancur, matanya merah, dengan dua tanduk seperti tanduk kambing dewasa berdiri tengah menatapinya dengan tajam.
Perasaan ngeri itu bukan karena Sutoyo takut dengaan bentuknya, melainkan dengan wajahnya yang sepertinya tak asing dan sangat dirinya kenal. Wajah Sumiyati.
“Mas, awakmu wes siap?” (Mas, apa kamu sudah siap?)
Sutoyo tersentak, ia mengedahkan wajahnya ke atas sebentar, setelah mendengar pertanyaan berwujud di hadapannya.
“Njih, kulo sampun siap!” (Saya sudah siap) sahut Sutoyo yang sadar bila itu suara Sumiyati.

Tergesa-gesa Sutoyo meraih secarup bunga di atas cawan. Menaburkannya melingkar seperti memagari, setelah sosok menyeramkan Sumiyati masuk ke dalamnya.
Sesaat setelahnya, kain hitam transparan kini menutupi kepala Sutoyo dan Sumiyati. Kemudian tampak tangan Sumiyati memetik satu kembang kanthil yang sedari tadi menjadi penghias kepalanya. Menyuapkan ke dalam mulut Sutoyo dan mengunyahnya.
Sebentar kembali ia memejamkan matanya dan tak lama kunyahan itu tersembur dari mulutnya.

Hal itu langsung membuat suasana lagi-lagi bergemuruh. Memunculkan hawa panas serta aroma prengus menyengat, menyambut kemunculan dari sesosok wanita bergaun hitam lusuh,
bertanduk menjulang dengan juntaian rambut acak-acakan, yang tepat bersimpuh di hadapan Sutoyo sembari melototkan dua bola mata merahnya.
Setelah ritual malam itu, kehidupan Sutoyo kembali seperti semula. Namun beberapa bulan berikutnya, sedikit demi sedikit rumah yang sebelumnya belum sepenuhnya rampung, kini bagaikan tersulap.
Bagaimana tidak, rumah tembok berhalaman luas dengan bangunan gaya klasik dan sedikit termodif pada bagian teras depan, terlihat beberapa ukiran pada gawangan pintu dan jendela, membuat siapa saja yang melihatnya akan terpesona.
Seperti halnya pagi itu. Suasana pedesaan yang masih sedikit gelap dan berhawa dingin, tak menghalangi niat Sutoyo untuk menembusnya. Setibanya ia di pasar hewan, Sutoyo melihat suasana sudah begitu riuh ramai.
Ia pun segera memilih beberapa pasang kambing hitam yang sesuai dengan perintah Sumiyati.

Hari itu adalah hari pertama Sutoyo menjadi orang kaya dan juragan kambing di kampungnya. Dan di mulai ketika tenggelamnya matahari, Sutoyo merasakan keanehan yang terjadi.
Rasa heran juga tak luput dari benak Lastri dan Wati. Mereka yang merasa baru kemarin selesai membangun rumah, tiba-tiba melihat Sutoyo pulang dengan membawa beberapa pasang kambing.
“Mas, kok tuku wedus akeh banget? Duit seko ndi, Mas?” (Mas, kok beli kambing banyak banget? Uang dari mana, Mas?) tanya Lastri mencoba memastikan.
“Lha, aku wes dadi wong sugih, Buk. Duitku wes akeh. Aku saiki juragan!” (Lha, aku sudah menjadi orang kaya, Buk. Uangku sudah banyak. Sekarang aku juragan) jawab Sutoyo sedikit ketus.
Mendengar jawaban suaminya yang tak seperti biasanya, Lastri hanya diam. Ia memang merasa betul, bila akhir-akhir ini mendapati perubahan yang sangat kentara pada diri suaminya. Begitupun dengan Wati yang juga merasakan hal yang sama.
“Yawes. Bapak arep ngaso.”(Yssudah, bapak mau istirahat) pamit Sutoyo yang kemudian meinggalkan mereka berdua di luar.
Selepas kepergian Sutoyo ke dalam, Lastri dan Wati terduduk diam di ruang tamu. Tampaknya mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Hal itu berlangsung hingga beberapa menit lamanya, dan baru tercairkan saat Sutoyo memanggil nama Lastri dari dalam kamar.
“Eneng opo, Mas? Kok ndelokne koyo ngono?” (Ada apa, Mas? Kok lihatnya seperti itu?) tanya Lastri, menyadari bila sang suami tengah menatap dirinya dengan sorot berbeda.

Namun ketika Sutoyo ingin menyahut, saat itulah terdahului satu teriakan melengking dari kamar anaknya.

***
Kesendirian Wati sedikit terganggu, kala suara langkah kaki mengusik rongga telinganya. Saat itu, Wati masih berpikir positif. Ia menyangka jika langkah kaki itu adalah langkah kaki Bapak atau Ibunya.
Namun tak lama, firasatnya berubah, mendapati derap langkah semakin ramai seperti berlari mengitari di luar rumah.

Ketegangan seketika menyeruak dalam diri Wati. Ketika dengan jelas telinganya menangkap langkah-langkah itu berhenti tepat di sisi jendela sebelah kamarnya.
Rasa takut mulai menelusup benak Wati. Tapi entah mengapa, kakinya tergerak untuk mendekati jendela kaca tertutup gorden. Mengabaikan degup jantungnya yang sudah tak beraturan.
Sedikit demi sedikit kain gorden mulai tersingkap tangan Wati. Kilatan cahaya lampu yang tergantung di sudut teras depan menambah jelas penglihatan Wati. Menatapi dari dalam puluhan kambing hitam berdiri berjejer di luar dengan sorot mata menembus kaca.
Tapi ada satu sosok yang berbeda yang membuat Wati semakin terguncang jiwanya. Sosok perempuan yang sama dilihat Ibunya malam itu, sedang beradu pandang dengannya.
Cepat dan kuat desiran darah di rasa Wati. Sebelum satu suara jeritan melengking Wati, bersamaan dengan kembikan ngeri dari kambing-kambing bermata merah dan bertanduk.

“AAaaaaaakkk … ”
Tanpa pikir panjang, Lastri yang saat itu dekat dengan kamar Wati segera mengayunkan langkah kakinya, berlari menuju kamar Wati. Melupakan sejenak yang tadi, demi memastikan keadaan anaknya yang baru saja menjerit ketakutan.
Namun, hanya sampai depan pintu kamar kaki Lastri mampu berpijak. Selebihnya tubuh Lastri dingin membeku, mendapati pemandangan tak kalah ngeri di dalam kamar. Dimana, tepat di atas ranjang anaknya tergolek tubuh Anisa tengah mengeliat seperti menahan sakit.
Tapi bukan itu … bukan itu yang membuat jiwanya terguncang. Melainkan beberapa sosok kambing hitam yang tak lebih dari lima ekor berada di sebelah kanan kiri Anisa dan satu sosok perempuan yang di lihatnya semalam, sedang duduk berjongkok di atas tubuh kecil Anisa.
Kengerian bukan saja di lihat Lastri dan Wati dari wujud menyeramkan mereka. Namun lebih kepada apa yang sedang mereka lakukan. Lidah dari ke lima ekor kambing hitam itu tengah menjilati tubuh Anisa.
Dan apa yang di lakukan sosok perempuan itu juga tak kalah ngeri, yaitu ketika satu kalimat terucap dari mulutnya, membuat Lastri seketika melotot tajam tak percaya.
“Aku njaluk nyawane bocah iki!” (Aku minta nyawanya anak ini!) yang kemudian di tutup dengan lengkingan tawa yang mengema seantero ruangan, sebelum sosok itu menghilang.
Lastri cepat menghampiri tubuh mungil Anisa dan menyuruh Wati untuk duduk di sandingnya. Rasa paniknya tak terbendung. Lantunan doa menyambung deras keluar dari bibirnya, namun hal itu justru membuat suara dengusan nafas Anisa semakin kencang.
“Mas! Tolong!” teriak Lastri saat suaminya sudah berdiri di ambang pintu.

Sutoyo yg terpaku, tersadar dengan keadaan saat itu. Akan tetapi, ia bukannya mendekat ke arah mereka sdg dalam pelukan Lastri, melainkan ia berlari ke belakang, ke salah satu ruangan penyimpanan barang.
Disana, Sutoyo sejenak berdiri mematung. Menunduk kepala, memejamkan matanya sembari menggerakkan bibirnya. Tak sampai lima tarikan nafas, ia kembali membuka matanya. Menatap lurus ke depan, tepat pada sosok makhluk bertanduk Sumiyati, yang sudah berdiri di hadapannya.
“Mas. Awakmu iseh pengen urip mulyo lan sugih?” (Mas, kamu masih ingin hidup megah dan kaya?) tanya Sumiyati dengan wujud yang lebih mengerikan.

Sutoyo mengangguk. Ia tampak tak punya keberanian untuk menjawab dengan suara.
Manakala sosok yang ada di hadapannya sekarang seperti ratu dengan hiasan manik-manik melingkar di kepalanya, dengan balutan kemben warna merah selaras dengan tubuhnya. Membuat nyali Sutoyo menciut seketika.
“Ikhlasno nyawa anak lan bojomu, Mas!” (Ikhlaskan nyawa anak dan istrimu, Mas) ujar kembali sosok bertanduk Sumiyati.
Terjingkat, ternganga Sutoyo mendengar kalimat yang baru saja di lontarkan Sumiyati. Namun belum sempat ia menyahut, Sumiyati terlebih dulu menghilang berganti kepulan asap kabut memudar.
Sutoyo cepat-cepat membalikan tubuh, ia segera kembali ke dalam kamar anaknya. Sesampainya Sutoyo di kamar, ia langsung merengkuh tubuh kecil Anisa yang tengah ketakutan. Sekilas wajah pucat Anisa memandang tajam ke arahh Sutoyo.
Ia seperti melihat ada rasa ketakutan yang lain dalam diri anaknya. Hal itu juga di rasakan aneh oleh Lastri, ada hal lain yang di rasakan mereka.
Setelah kejadian malam itu, satu persatu peristiwa ganji di rasa Wati. Manakala ibunya yang mendadak lebih pendiam dan acuh terhadap Wati dan Anisa. Membuat tubuhnya semakin kurus dan tak terurus.
Namun ada satu kejadian yang membuat Wati tak mau lagi mengingatnya. Yaitu ketika Wati melihat ibunya sedang berjalan ke arah pekarangan belakang.
Bahkan Wati sendiri mengaku melihat dengan mata kepalanya sendiri, ibunya berada dalam posisi berjongkok seperti sedang buang air besar di belakang rumahnya. Rambutnya acak-acakan tidak karuan dan tubuhnya telanjang bulat tanpa sehelai benang pun menutupi.
Walau saat itu gelap, tapi Wati berani memastikan bahwa masih dalam keadaan jongkok, tangan kanannya seperti meraup sesuatu dari pant*tnya sendiri sebelum ia memasukkan ke dalam mulut. Lastri kemudian mengunyah dengan lahap, menelan lalu berdiri dan menari-nari.
Pagi menjelang, aktivitas sedikit berbeda terjadi di rumah Sutoyo. Ia yang biasanya hanya mengurus kambingnya, kali ini tersibukan kebutuhan kedua anaknya. Meski ada besitan rasa senang dari wajah kedua anaknya,
namun pancaran mata keduanya menyiratkan rasa tak nyaman. Manakala ada aroma menganggu indra penciuamnnya, bau prengus dan busuk keluar dari tubuh Sutoyo.

“Ibu, pripun, Pak? Sampun sehat?” (Ibu gimana Pak? Sudah sehat?) tanya Wati yang sudah terlanjur rindu akan sosok ibunya.
“Ibuk ijeh sakit, Nduk”(Ibuk masih sakit, Nduk) jawab Sutoyo sembari menata dua piring di atas meja.

“Kok dereng mari-mari, Pak?” (Kok belum sembuh, Pak) sahut Anisa.
“Iyo, Nduk. Makane ibuk di dongakne ben cepet mari. Wes gek di maem sik” (Iya, nduk. Makanya ibu di doakan biar cepet sembuh) suruh Sutoyo kepada dua anaknya.

Anisa terdiam, sedangkan Wati menunduk seperti menyimpan sesuatu di balik kemurungan wajahnya.
Suap demi suap di lalui oleh bocah tanpa keceriaan. Beberapa menit kemudian, keduanya bergegas melangkah ke depan yang ternyata telah di tunggu sang bapak.
Sore itu, kilatan bersambung Guntur bergemuruh, menandakan akan turun hujan. Seketika hawa dingin menyelimuti, menyapu kulit setiap penduduk desa, tak terkecuali tubuh lemah Lastri. Dirinya yang baru saja mengawali satu penderitaan, mencoba bertahan dalam kedinginan.
Sampai suatu ketika, kejadian nyata yang sebenarnya tidak ingin Wati lihat, terjadi.
Rumah gubug yang dulu, kini sudah berbeda, dinding papan sudah berganti dengan dinding batu bata. Masing-masing sudah memiliki kamar sendiri. Halaman depan sudah berpagar.
Sedangkan halaman belakang masih sama, namun sudah di penuhi oleh kambing ternaknya.
“Mbiyen, pas balik dolan, Mas. ibuk isih eling” (Waktu itu, saya baru pulang main, Mas. ibuk masih ingat.) Kata Bu Wati yang mulai mengingat-ingat kembali, memunculkan ingatannya tentang kejadian mengerikan itu terjadi.
Wati mengetuk pintu, mengucap salam sebelum kakinya melangkah masuk ke dalam. Namun tak ada jawaban. Mungkin ibuk sama adik lagi tidur. Pikirnya.

Wati mulai membuka pintu, di panggilnya ibu dan adiknya sekali lagi. Masih sama tak ada jawaban.
Wati kemudian masuk ke kamarnya sekarang, mengganti baju dan hendak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ketika Wati berjalan menuju kamar mandi, dia harus melewati dapur terlebih dahulu. Baru saja kakinya menginjak lantai dapur,
Wati melihat dua tubuh terkapar di lantai. Wati berlari mendekat, memastikan milik siapa tubuh tergelatak disana. Seketika Wati terdiam. Karena apa yang dilihatnya, benar-benar membuat jiwa Wati terguncang hebat.
Tubuhnya mendadak bergetar, matanya melotot, pandangannya tak mampu teralihkan ke arah dua tubuh tak bernyawa. Namun bukan itu yang membuat Wati menjerit histeris, tapi ketika Wati tau jika di dalam baskom dengan api menyala itu, ada dua kepala yang Wati kenal.
Dan singkat cerita, kejadian berikutnya, yang lebih gila dan sinting. Merenggut nyawa Sutoyo sendiri.

Malam itu, setelah Wati melupakan semuanya. Seperti biasanya, Wati mengayuh sepedanya menembus lebatnya hutan jati.
Tiba-tiba Wati melihat rumah yang menurutnya tak asing baginya. Rumah berpagar tinggi tampak dijaga oleh dua orang berbadan besar di sisi kanan dan kiri pintu masuk, namun kedua penjaga itu mempunyai bulu di tubuhnya. Banyak pelayan mondar-mandir di sana.
Wati yang penasaran pun masuk. Anehnya penjaga itu hanya diam saja, mereka seperti tidak dapat melihat Wati.

Hal yang sama juga terjadi pada Wati saat memasuki rumah besar itu, tampak seluruh penghuni rumah tidak menyadari keberadaanya.
“Kok pernah lihat rumah ini, ya. Apakah yang di mimpi itu?” batin Wati dalam hati.

Berbagai perabot dari emas, permadani dan seluruh isi rumah ini pernah seklai Wati lihat namun dalam mimpi. Tapi malam ini tampak nyata dihadapannya.
Wati begitu takjub melhat kemegahan rumah ini. Dia pun berjalan masuk, lalu mencium aroma makanan yang mengugah selera. Wati pun mengikuti aroma tersebut hingga sampai di sebuah ruangan seperti dapur yang cukup besar.
Di ruangan itu, setiap orang tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Namun anehnya peralatan masak dan bahan makanan yang digunakan para pelayan itu membuat Wati mual. Manakala pemandangan yang begitu mengerikan bagi Wati, dia tidak mampu melukisaknnya.
Saat dia menoleh ke kanan, dia melihat ibu dan adiknya tampak berdiri dengan penampilan yang sama persis seperti pelayan lainnya di sana.
Wajahnya pucat pasi, seperti tak ada darah yang mengalir, melambai ke arah Wati sedang berdiri seraya menggerakan bibirnya. Wati dapat menangkap gerakan itu. “TOLOONG…”
Tak tahan dengan itu semua, Wati pun meninggalkan ruangan tersebut. Dia ingin segera keluar dari rumah itu.

Saat menuju jalan keluar, dia mendengar lagi suara mengerang. Suara yang tidak asing, itu suara bapaknya. Wati yang penasaran pun mencari dimana suara itu berasal.
Rupanya itu dari kamar utama di rumah ini. Saat Wati membuka pintu, Wati terkejut bukan main.

Disana, tepatnya di atas dipan kayu, ranjang busa dengan kain putih tipis sebagai penutupnya, namun masih bisa di lihat oleh mata Wati.
Dia melihat Sutoyo, bapaknya tidak memakai sehelai benang pun. Dia tengah menggauli kambing berwarna hitam. Tidak hanya satu, ada banyak sekali kambing yang ada disana. Mereka berbaris menunggu antrian mengelilingi Sutoyo yang bergerak maju mundur tiada henti.
Wati bisa melihat dengan jelas wajah itu. Wajah menahan rasa sakit. Sakit yang amat luar biasa. Karena setelah itu, Sutoyo tergeletak dengan tubuh berwarna biru dan mengeluarkan bau prengus kambing.
Wati membuka mata dengan nafas menderu. Ia menatap ke langit-langit kamar. Bertanya-tanya ... apa semua hanya mimpi? Ia pun terbangun dari ranjang. Tak lama kemudian terdengar suara jeritan bapaknya dari dalam rumah.
Wati pun segera beranjak dan mengikuti dari mana suara itu berasal. Hatinya was-was namun entah kenapa langkahnya makin lemas saat mendekati kamar bapaknya. Jeritan itu kini terdengar parau membuat Wati memiliki tenaga kembali untuk mendorong gagang pintu kamar,
menelisik apa yang terjadi. Dan benar saja, Wati langsung mendelik mendapati tubuh sang bapak berkelojotan hebat dengan mata terbelalak. Perlahan Wati pun mendekat dan mendapati tubuh bapaknya yang sudah berwarna biru keunguan diakhir hayatnya.

TAMAT
***
Sekian cerita dari Bu Wati, mohon maaf jika ada salah dalam penulisan cerita ini, karena ada bagian yang saya potong juga, agar tidak terlalu frontal. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya dari kisah beliau.

terimakasih.
selamat malam.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with kalong

kalong Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @cerita_setann

Mar 11
-WARISAN PENARI-
"SAMPUR & KAWATURIH"

Jujur, banyak sekali DM yang masuk dan pembahasannya menarik semua. Mulai dari Gagar Mayang, Sampur / selendang, dan Kawaturih.

Tapi malam ini kita akan sedikit membahas tentang kengerian warisan sampur & kawaturih.

a thread

#bacahorror


Image
Image
Image
Image
Nah disini saya mau cerita sedikit tentang profesi seorang penari tradisional. Bisa di bilang seperti penari ronggeng atau semacamnya. Di cerita ini si ibu yang sudah terjun bertahun-tahun menjadi penari harus mengalami kengerian.
Di mana, yang seharunya itu di wariskan kepada anaknya, tapi si ibu ini memilih untuk tidak. Kenapa? Karena beliau tahu bagaimana rasanya dan kengeriannya ketika di ambang kematiannya. Beliau tidak mau anaknya akan bernasib sama.
Read 42 tweets
Mar 6
-POCONG CULI-

Sekitaran Demangan - Gejayan

"Tok...tok...tok...." pas di buka pintunya, ada pocong ngomong "...Culi"

a thread

#bacahorror #asupanhorror @asupanhororrr @IDN_Horor @merapi_uncover Image
Bagi teman-teman yang sudah lama tinggal di jogja, khususnya di daerah Demangan, pasti gak asing sama cerita pocong culi.

Menurut beberapa sumber, dulu di tahun 2000an, masyarakat sekitar Demangan di gegerkan sama teror pocong culi.
Ngerinya, pocong culi ini meneror warga sekitar dengan mengetuk pintu dan berteriak “culi...culi...” yang di artikan kalau pocong itu meminta untuk di lepaskan tali pocongnya.
Read 70 tweets
Mar 5
-BEGAL PESUGIHAN JALAN WATES-

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan

a thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Banyak perbincangan tentang jalan propinsi jogja-wates yang terkenal dengan pemasangan BEGAL PESUGIHAN.

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan.
Di Kilometer berapa pemasangan pesugihannya, saya juga kurang tau, hanya saja, sepanjang jalan itu sering banget terjadinya kecelakaan. Bahkan kalo pas apes, kadang melihat beberapa kali korban sudah tergeletak di pinggir jalan atau di bawah kolong truk.
Read 22 tweets
Feb 12
THE REAL "SANTET LORO JIWO"

“Lanang menang milih, wedok menang nolak.”

A Thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Sumatera 2018

Namaku Anis. Aku tinggal di Sumatera. Kejadian ini aku alami setelah menikah. tapi jauh sebelum itu, ketika masih sekolah, ada lelaki yang pernah suka sama aku. Namanya sebut ajaa Bowo.
Awal mula kita deket ketika ibuku jatuh sakit karena kecelakaan. Dikarenakan jarak sekolahan dgn rumahku jauh, aku gak bisa pulang buat jenguk ibuku. Dari sinilah aku meminta tolong Bowo untuk datang ke rumahku untuk melihat kondisi ibuku. Itu dikarenakan rumah kita memang dekat.
Read 58 tweets
Feb 7
“Ya beginilah, niatnya mondok mau cari ilmu agama, malah nemu hal munkar yg udah lama tersembunyi di pesantren. ((Bukan tempatnya)) Tapi ada penghuni di dalam tempat tersebut yg pernah ngelakuin hal biadab dan berusaha ia sembunyikan.”

a thread

#bacahorror Image
“Namanya Marlina. Dia salah satu santriwati di pondok pesantren ini. Dulu ketika mondok, dia menjadi korban bully karena bisu. Hal itu membuat Marlina ini mentalnya down. Sampai suatu ketika, karena kekurangannya itu,
ada salah satu oknum yg jg pengurus pondok sekaligus pemuka agama, melakukan tindakan munkar dan tak bermoral kepada Marlina. Marlina di lecehkan di salah satu ruangan pondok, sesaat setelah di suruh untuk mengembalikan buku hafalan.
Read 64 tweets
Jan 26
-LUAS, MURAH TAPI JADI TUMBAL!!-

a thread

Sebuah kisah tentang seorang mahasiswa yang mendapatkan kos-kosan murah dan luas, tapi di balik semua itu, nyawanya terancam (akan) di jadikan tumbal pesugihan ibu kos.

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor @bacahorror
Kiriman dari seseorang. Image
Sebut saja namanya mbak Tia. Jadi mbak tia ini punya pengalaman serem ketika ngkeos. Katanya dia hampir jadi tumbal pesugihannya ibu kos.

Dari sini yang akan bercerita mbak Tia.
Read 37 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(