Kunamus~ Profile picture
May 20, 2022 232 tweets >60 min read Read on X
Kita mulai pelan pelan saja ya. Mumpung cuaca juga lagi hujan, sambil makan gorengan + minum teh hangat ini
Kisah ini sebenarnya saya dapatkan waktu bukber reuni puasa kemarin.

Namun karena ada tradisi bahwa bulan puasa itu setan pada dikurung, jadinya ya saya pending dulu
Untuk memudahkan membaca, maka kisah akan saya bawakan menurut sudut pandang teman saya.
Perkenalkan namaku Rangga, aku akan membagikan sebuah momen yg tak terlupakan ketika aku dan teman-teman sekelasku mengadakan sebuah persami (perkemahan sabtu-minggu) saat akan memulai sebuah kegiatan belajar di salah satu Sekolah Menengah di Mojokerto.
Tahun 2007, selayaknya anak yang baru saja lulus sekolah dasar aku dan kedua orang tuaku sibuk mencari sekolah jenjang menengah untukku. Maklum saja, aku anak yang tidak terlalu pandai. Pun juga tidak bisa dikatakan bodoh-bodoh amat. Intinya ya sedang-sedang saja lah ya, hehehe.
Ketatnya persaingan masuk sekolah pada waktu itu karena mayoritas sekolah masih menggunakan sistem nilai dari raport.

Dimana itu membuatku harus berlapang dada ketika tidak masuk sekolah menengah favoritku. Ya mau bagaimana lagi, nilaiku juga kurang.
Akhirnya setelah keluar masuk dari satu sekolah ke sekolah lain dengan tetap membayar biaya daftar ulang (FYI : uang daftar ulang pada saat itu tidak dikembalikan ketika ada murid yang tidak lolos patokan nilai dari sekolah tersebut) akhirnya aku diterima di sekolah yang-
Lokasinya terletak diantara batas kabupaten dan kota.Ya lumayan lah, daripada harus sekolah di kabupaten yang letaknya jauh dari rumah, pikirku saat itu.

Singkat cerita setelah melakukan proses registrasi, beberapa hari kemudian aku mulai melaksanakan Masa Orientasi Siswa (MOS)
Mungkin kalau sekarang dikenal dengan nama MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Berbeda nama, tapi dilakukan dengan cara yang sama.

Hanya saja, entah sebuah tradisi atau ajang balas dendam MOS ini pun menjadi ajang para senior untuk berbuat semena-mena terhadap siswa baru
Ini tidak menggeneralisir seluruh acara MOS lho ya. Tapi mayoritas pengenalan sekolah itu selalu seperti itu.

Dan apesnya aku selalu dapat perlakuan yang tidak enak ketika MOS sampai ke tingkat Perguruan Tinggi.
Kami diberikan beberapa perintah dan disuruh untuk berdandan ala-ala femboy, wajah seperti boneka jengkelin (sampai pernah diparodikan oleh Nicta Gyna) dan dandanan aneh lainnya.

Pokoknya kami disuruh untuk berdandan seperti layaknya bukan orang yang berpendidikan
Selain itu, kami para murid baru juga disuruh untuk mengerjakan tugas keterampilan seperti menghias pekerjaan kelompok dengan pita, membersihkan kelas-kelas mereka dan tak lupa mendapat hukuman hukuman konyol dan diomelin dengan dalih untuk menguatkan mental.

Mental gigimu
Pada hari terakhir MOS, salah satu senior berkata bahwa akan dilaksanakannya kegiatan Persami pada akhir bulan yang dilaksanakan di Air Terjun C**n **d*

“Yang gak ikut persami gak akan naik kelas, paham dek!!!”

Kami semua yang baris hanya menjawab dengan nada datar “paham kak”
Begitulah selesainya 3 hari acara MOS yang penuh dengan makian dan ocehan dari siswa terpelajar yang mengaku sebagai senior sekolahan.

Setelah kegiatan MOS, kami dibagi sesuai dengan kelas masing-masing. Dan aku ditempatkan di kelas 7A. Kelas yang bersebelahan dengan kelas 8D.
Kemudian di kelas aku mulai memperkenalkan diri dan mencoba akrab dengan teman-teman baruku.

Sebut saja nama teman sebangkuku bernama Udin, di bangku belakang ada Arian dan Nanda sedangkan di bangku depan ada Gita dan Mifta.
Dengan komposisi 4 anak laki laki dan 2 anak perempuan maka kami membentuk sebuah geng sendiri agar pertemanan kami menjadi semakin erat.

Saat kami sudah saling kenal, pada waktu istirahat kami jalan-jalan memutari area sekolahan.
Sekaligus meng-explore area yang kami belum pernah kami lihat selama MOS. Tak terkecuali kantin sekolah. Dimana waktu itu masih tutup.

Saat itu suasana sangat ramai karena jam istirahat. Kami membeli beberapa camilan dan es teh plastikan khas jajanan anak doeloe
Di pojok kantin itu pula kami melihat kumpulan para senior yang menggembleng kami waktu MOS.

Sesuai dengan kepopuleran mereka menjadi ‘senior’ mereka juga berani memalak uang saku beberapa murid baru. Tak terkecuali Nanda dan Udin yang juga ikut kena palak.
Sebenarnya Udin yang tipikal anaknya sedikit berani, ingin menantang salah satu senior tersebut untuk berkelahi akibat uang sakunya dirampas.

Namun karena kalah jumlah ditambah ada mifta dan gita yang notabene seorang cewek maka kami membujuk udin agar pergi saja dari situ.
“Wes din, ayo balik” bujuk aku dan rian

“Gaiso rek, iki sanguku gae rong dino. Lha aku mene jajan opo nek duitku dijaluk”

(Gabisa, ini uang sakuku untuk dua hari. La besok aku jajan apa kalau uangku diminta) ujar udin sambil masih dengan nada emosi
“Wes mene tak tukokne, ojo gelot nek ndok kene. Adewe kalah uwong”
(Sudah besok tak belikan, jangan berantem disini. Kita kalah orang) bisikku.

Udin akhirnya nurut, mungkin setelah ia mempertimbangkan ucapanku juga.
Di satu sisi para senior itu hanya tertawa mengejek kearah kami. Sampai satu siswa diantara mereka yang berperawakan agak gempal dan potongan rambut berponi emo berkata kepada kami :

“Sik cilik gausah wani-wani, murid anyar ae mlete”
(Masih kecil gausah sok berani, murid baru aja belagu)

Aku yang masih ingat kejadian ini kadang senyum senyum sendiri sambil batin “Emang SMP itu bukannya masih anak kecil ya? Kok bisa-bisanya ngatain anak kecil padahal dirinya juga masih anak kecil wkwkwk”

Oke, lanjut.
Sambil menunggu waktu persami yang masih dilaksanakan minggu depan, saat jam istirahat tiba kami sering rasan-rasan (atau nama lainnya gosip) ketika salah satu dari kami pergi ke toilet yaitu sering melihat si mas potongan rambut emo ini disetrap diluar pintu kelas oleh guru.
Kadang ia dihukum sendiri, kadang pula bersama beberapa temannya.

Kenapa kami tahu? Karena posisi toilet terdekat adalah berada di sebelah kelas 8C. Dan ketika kesana maka otomatis harus melewati kelas 8D, yaitu kelasnya senior yang nanti akan disebut sebagai si-emo saja.
Menurut informasi Gita yang ia dapat dari kakak kelas pdkt-annya, kelas disini dibagi berdasarkan tingkat kecerdasan dan kepatuhan siswa.

Jadi kelas A diperuntukkan untuk murid pandai dan kelas terakhir yaitu kelas D untuk murid yang dinilai guru nakal dan susah diatur.
Aku sendiri waktu itu antara lega dan sedikit keberatan. Lega karena lingkungan kelasku isinya murid pandai dan alhamdulillah mau berkumpul denganku yang tidak terlalu pandai ini dan sedikit keberatan karena sistem sekolahan ini memakai sistem ‘kasta’.
Dan itu akan berganti ketika ada kenaikan kelas, misal murid kelas A yang tadinya pandai kemudian selama dua semester mengalami perubahan sikap dan nilai maka akan dipindah ke kelas yang sesuai dengan kriterianya.
Begitupun murid dari kelas terakhir yaitu kelas D juga bisa pindah ke kelas yang lebih baik apabila muridnya berkelakuan baik dan menunjukkan perilaku yang positif.

Semoga sistem kelas sekolah seperti ini sudah tidak ada lagi di Indonesia.
Sampai pada akhirnya kami sampai di hari yang ditunggu-tunggu, hari pelaksanaan persami.

Pada hari jum’at, sehari sebelum berangkat para siswa baru dikumpulkan untuk dibriefing dan dibentuk kelompok yang dipilih acak dari mulai kelas 7A-7D.
Aku dan arian masih satu kelompok. Dan apesnya, aku yang ditunjuk sebagai ketua kelompok.

Sementara Nanda, Udin, Gita dan Mifta harus berpencar karena pembagian kelompok. Dalam satu kelompok akan ada satu orang senior yang akan bertugas menjaga dan mengkoordinir para siswa baru
Yang apesnya, si Udin ini satu kelompok dengan si-emo, yang tempo hari pernah hampir diajaknya duel.

Saat pembagian kelompok selesai dan akan pulang, kami ber-enam berkumpul untuk sepakat bahwa ketika mendirikan tenda nantinya harus berdekatan satu sama lain.
Agar selain sudah kenal, kami bisa saling bantu-membantu jika nanti tiba-tiba ada tugas aneh yang diberikan oleh para senior.

Tak lupa juga kami menasehati Udin agar tidak mudah terpancing oleh ucapan dan gelagat si-emo, mengingat insiden tempo hari.
“Nek awakmu wes keroso ndak enak, pindaho tendoku ae”
(Kalau kamu udah kerasa nggak nyaman, pindah tendaku saja)

“Iyowes ngga,gampang” ucap udin padaku. Setelah itu kami pulang kerumah masing-masing.
Pada hari sabtu kami mendapatkan kompensasi libur dari sekolah, sehingga kami hanya difokuskan untuk kegiatan persami saja.

Setelah kami berkumpul dan berbaris sesuai dengan kelompok, kami disuruh lagi untuk mengecheck kelengkapan dan perbekalan masing-masing kelompok.
Setelah dirasa lengkap, kami disuruh menunggu transportasi yang akan membawa kami kesana.
Sambil menunggu, aku mencoba bergurau dengan teman kelompokku.

Ya sekedar untuk mencairkan suasana.
Tak lupa juga kulihat Udin yang sepertinya juga sudah membaur bersama si-emo dan kelompoknya. Tidak ada tanda-tanda ketegangan disana, malah sudah semakin akrab ketika kelompok mereka saling bernyanyi karena ada salah satu siswa yang bermain gitar.
Setelah sekitar satu jam menunggu, jemputan pun tiba. Transportasi yang digunakan adalah truck pengangkut milik TNI yang akan kami semua tumpangi. Total ada 6 truck kalau tidak salah ingat.

Kami naik, dan pukul 1 siang kami berangkat ke bumper air terjun. Image
Selama perjalanan aku dan Arian saling ngobrol, beberapa teman kami lebih memilih untuk tidur karena memang sedikit agak mabuk perjalanan.

Ada juga sebagian yang nyanyi nyanyi untuk sekedar meramaikan suasana. Ya maklum saja, jaman segitu kami belum punya yang namanya HP.
Adapun siswa yg punya hp adalah siswa yang orangtuanya mampu atau ekonominya menengah keatas, itupun masih hp Nokia atau Soni yang layarnya masih hitam putih/orange.

Kalau yang punya hp layar berwarna, sudah dipastikan bahwa ia anak dari dewan atau pangkat yang lebih tinggi
Sesampainya di perempatan kota Malang, disini keanehan mulai terjadi, tiba tiba saja aku merasakan sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan.

Hawa yang sungguh tidak enak, hawa yang masyarakat daerah sini menyebutnya sebagai anyep.
Hawa anyep adalah ketika hawa atau angin yang tadinya sepoi-sepoi atau sejuk berubah menjadi tidak enak, baik untuk kondisi tubuh maupun psikis seseorang.

Kondisi inipun langsung membuat tubuhku mbediding atau merinding pada sekujur tubuh.
Padahal aku ingat waktu itu masih jam 3 sore. Arian yang tahu aku agak pucat langsung bertanya mengenai keadaanku.

“Ngga, awakmu gakpopo ta?”
(Ngga, kamu tidak apa-apa?)

“Ehm.. gapopo yan, Cuma moro-moro aku koyok e ndak enak awak”
(Tidak apa-apa yan, Cuma aku tiba-tiba kayak kurang enak badan)

“Owalah masuk angin paling, yawes iki ngombe sek tolak a*gin. Ben enakan”
(Owalah mungkin masuk angin, yaudah minum tolak angin ini. biar enakan)
Satu sachet tolak angin pun kuminum, padahal aku tau bahwa aku tidak merasa masuk angin.

Aku meminumnya agar prasangka aneh yang aku alami tidak membuat Arian dan teman-teman yang lain menjadi kepikiran.
Untuk sebagai gambaran singkat saja bahwa dari kecil aku memang agak sensitif jika beruhubungan dengan dunia gaib.

Seperti waktu aku masih kelas tk yang pernah melihat sosok danyang penunggu desa tempat tinggal kakekku dan pernah melihat sosok kera penunggu pabrik dekat rumah.
Namun ‘kelebihanku’ ini datang dan pergi di waktu yang tidak menentu. Jadi kadang-kadang aku bisa merasakan dan melihat mereka, kadang pula tidak. Entah bagaimana bisa begitu.

Setelah minum obat pemberian arian, aku coba menenangkan diri dengan membaca surat-surat pendek.
Maklum saja waktu itu ibadahku sering bolong-bolong jadi ya hapalnya cuma sebatas al-fatehah dan tiga surat favorit umat muslim (Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas).

Yang membuat Arian berpikir bahwa aku masuk angin adalah tempat dudukku yang tepat berada di samping pintu truck.
Aku memilih spot ini karena selain bisa menikmati perjalanan, juga agar tidak terlalu gerah.

Tau sendiri kan bagaimana kondisi truck TNI yang hanya punya satu pintu belakang yang kondisinya separuh terbuka dan menganga lebar
Selama sisa perjalanan, aku banyak diam berdoa sambil sesekali melihat keadaan keluar. Pemandangan yang semula berjejer rumah dan kendaraan kini berganti dengan suasana perkebunan dan hutan-hutan.

Menandakan kami akan segera sampai di bumi perkemahan air terjun C**n *n**d**.
Medan jalan yang sebelumnya berupa jalan beraspal, kini berubah menjadi makadam. Jalan yang seperti itu otomatis membuat seisi truk mengalami goncangan yang kuat sehingga ada satu siswi dari kelompok kami yang akhirnya muntah.
Setelah diberi sedikit pertolongan pertama, ia mengaku baru tadi pagi mengalami menstruasi ditambah dia juga mengalami mabuk perjalanan yang membuat fisiknya semakin drop.
Satu siswi senior pun akhirnya mencoba menenangkan dan meminta kami agar menjaga khusus kepada siswi satu ini, yang kita sebut saja sebagai Nia.

Setelah sekitar 20 menitan kami melalui jalan makadam, akhirnya kami semua pun sampai di bumper (bumi perkemahan) air terjun.
Saat itu kondisi sudah mulai waktu surup atau sekitar jam 17.15. Langit sudah mulai menjelang malam, namun sisa sinar jingga masih tersisa untuk menemani kami. Setidaknya, malam belum sepenuhnya datang.

Kami pun turun dari truck dan tentu saja sambil menata ulang barang bawaan
Setelah itu kami harus berjalan kurang lebih sekitar 10 menit untuk sampai di lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat untuk mendirikan tenda.

Saat itu kondisi medan yang kami lalui juga cukup rimbun, namun masih cukup jelas untuk sebuah jalan setapak.
Entah lupa dibersihkan oleh pengelola atau bagaimana. Yang pasti semak semaknya masih lumayan tinggi.

Setelah sampai, kami semua langsung disuruh mendirikan tenda. Mengingat waktu malam akan segera tiba.
Saat itu aku dan Arian celingak-celinguk mencari keberadaan dari Nanda, Udin, Gita dan Mifta dimana sesuai kesepakatan awal kami akan mendirikan tenda secara berdekatan.

Namun melihat kondisi yang mulai bertambah gelap, ditambah dengan kami harus menjaga Nia-
yang kondisinya seperti itu, akhirnya kami mendirikan tenda tepat disamping sebuah pohon pinus yang lokasinya lumayan berdekatan dengan tenda senior dan tenda paramedis.

Untuk berjaga jaga apabila Nia kenapa-napa sehingga kami tidak jauh jauh untuk meminta bantuan.
Seusai kami selesai mendirikan tenda, langit pun akhirnya berubah menjadi gelap malam.

Penerangan yang ada saat itu hanya senter dan beberapa lampu stik yang dibawa para siswi-siswi. Jadi ya hanya beberapa tenda saja yang punya.
Untungnya satu teman kami membawa senter yang lumayan terang. Jadi kami bisa agak tenang dengan mengandalkan cahaya dari senter tersebut.

Setelah bersantai sehabis mendirikan tenda, tiba tiba Nia ingin diantar ke kamar mandi. Ia berkata ingin mengganti pembalut sekalian mandi.
“Opo ndak ndek tendo ae? Wajahmu lho sek ketok pucet”
(Apa tidak didalam tenda saja? Wajahmu masih kelihatan pucat) ucap Arian

“Ndak moh, isin aku. Mesisan cek seger awakku, reget mari perjalanan adoh"
(tidak mau, malu aku. Sekalian biar badanku seger, gerah soalnya habis perjalanan jauh)

“Wong ademe koyok ngene kok ate adus yo yo”
(Dinginnya kayak gini kok ya mau mandi) gerutuku

“Ayotah, aku gak enak ngko nek gak adus. Ambuku ngko kecut”
(Ayolah, tidak enak aku kalo tidak mandi. Bau badanku ntar asem) ajak nia sambil merengek.

Ya karena kalah dengan power of calon emak-emak akhirnya aku, Arian, Nia dan satu teman cewek dengan sedikit agak terpaksa akhirnya berangkat ke toilet.
Kalian pasti sudah pada tau bagaimana lokasi toilet di bumi perkemahan kan. Yak betul, gelap dan jauh dari tempat yang biasanya digunakan untuk mendirikan tenda.

Dari kejauhan pun sudah kelihatan kalo toilet itu gelap gulita, jadi menimbulkan nuansa sintru atau angker.
Entah ini cuma firasat atau mungkin cuma sekedar halusinasi di pikiran saja, bahwa dalam hatiku saat itu mengatakan bahwa jangan pergi ke toilet itu.

Aku sempat terdiam beberapa saat. Hingga tiga orang yang berjalan didepanku juga ikut berhenti.
Arian pun kemudian memanggilku, tapi aku ingat waktu itu aku tidak merasa Arian memanggil.

Sampai ketika ia menyentuh pundakku, barulah aku sadar dia sudah berada di sebelah.
“Kon iku lho laopo ngga, diceluk meneng ae?”
(Kamu itu lho kenapa ngga, dipanggilin diam saja?)
“Lho, awakmu nyelok aku ta?”
(Lho, kamu manggil aku ta?)

“Gak aku tok, Nia barang yo nyelok’i awakmu. Meneng ae. Kesurupan a?”
(Gak aku saja, nia juga ya ikutan manggil. Malah diam saja. Kesurupan ta?)

Ucapan arian itu langsung mendapat jiwitan dari Nia
“Omonganmu lho, dijogo talah”
(Ucapanmu lho, dijaga dong)

“Iyo iyo, lha rangga meneng ae e”
(iya iya, lha rangga diam saja)

“Wes ayo ndang nang toilet, mengko acarane selak mulai”
(Wes ayo cepat ke toilet, nanti acaranya segera mulai) balasku agar segera cepat sampai ke toilet
Kami berempat pun melanjutkan perjalanan ke toilet, sempat tidak saling bicara antara kami berempat, namun akhirnya aku coba buka suara dengan menanyakan acara yang akan digelar pada malam nanti. Dan untungnya berkat obrolan itu, suasana menjadi agak cair.
Sampailah kami ditempat toilet. Dua buah kamar mandi kosong tanpa lampu dan tanpa tanda gender di pintunya. Nia masuk ke kamar mandi kiri bersama salah satu siswi kelompok kami, sementara Arian berkata bahwa ia tiba-tiba mules. Yasudah tak suruh masuk toilet yang ada disebelahnya
Tinggalah cuma aku sendirian yang diluar toilet menunggu mereka bertiga.

Sempat juga aku beberapa kali menggedor dan memanggil manggil mereka agar bisa secepat mungkin menuntaskan acara ‘hajatan’ mereka.
Karena lokasi toilet yang cukup jauh masuk ke area seperti pepohonan, maka aku pun nyaris tidak mendengar adanya aktivitas perkemahan yang dilakukan di bumper.

Yang terdengar hanya suara jangkrik dan binatang malam yang saling bersahutan mengisi kekosongan malam.
Dari jauh nampak beberapa kali terlihat lampu senter menyala mengarah keatas. Dugaanku waktu itu ya mungkin senternya dibawa siswa-siswi lain untuk berjalan ke satu tenda ke tenda lain. Sebisa mungkin tetap kupakai untuk selalu berfikir positif
Sampai mungkin beberapa lamanya saat aku diam menunggu mereka, tiba tiba aku dikejutkan dengan sebuah tangan yang tiba tiba menepuk pundakku.

Aku yang reflek pun langsung menoleh kearah belakang.
Ternyata ada Arian yang berdiri di belakangku, namun kali ini dia tampak agak pucat dan dingin. Dia berkata
“Terno aku tuku kopi ayo”
(Ayo anterin aku beli kopi)

“Iyo sek, ngenteni cah 2 kae lho. Sakno nek ditinggal”
(Iya bentar, tunggu 2 anak tadi lho. Kasihan nek ditinggal)
“Ayo kok” balas Arian dengan nada tinggi

Aku menatapnya, namun kutahan marahku karena melihat ekspresi wajahnya yang kedinginan dan semakin pucat.
Karena kasihan, saat itu aku langsung mengajak arian untuk membeli kopi di warung yang berada di pinggir jalan saat akan masuk menuju bumi perkemahan.

Karena hanya itu satu-satunya warung yang ada di wilayah wisata air terjun ini.
Sebelum aku pergi, aku mengetuk pintu toilet yang dimasuki oleh Nia.

“Nia, aku ngeterno arian tuku kopi nang ngarep embong sek ya. De e kademen. Mesakne wes pucet soale”
(He, aku nganter arian beli kopi di warung depan jalan itu ya. Dia kedinginan. Kasihan sudah pucat anaknya)
Tidak ada sautan dari dalam, hanya suara air kran yang terdengar mengisi tempat penampung air.

Karena aku pikir juga kurang sopan untuk memastikan atau mengetuk pintu lebih keras, maka aku hanya berkata “Nek wedi balik enteni kene wae, aku diluk. Sakno arian”
(Kalau takut kembali, tunggu disini saja. Aku cuma sebentar, kasihan arian)

Setelah itu aku pergi menuju warung bersama Arian. Yang sedikit membuat heran adalah mengapa tidak ada sahutan suara sedikitpun dari dalam kamar mandi. Apakah memang cewek se privasi itu?
Dalam perjalan itu aku coba untuk mencairkan suasana dengan memancing obrolan dengan Arian. Karena biasanya dia yang selalu banyak omong, tapi kali ini hanya diam saja.

"Koe iki kenopo to? Kok sampek pucet ngene. Padahal maeng sakdurunge melbu jeding yo sehat sehat ae”
(Kamu ini kenapa? Kok sampai pucat begitu. Padahal tadi sebelum masuk kamar mandi ya sehat-sehat saja)

Yang diajak ngobrol pun hanya diam saja. Tumben. Kulihat juga wajahnya semakin memucat. Mungkin anak ini memang sakit dan bener bener kedinginan, pikirku.
Meski begitu, aku terus mengajak Arian untuk ngobrol. Meski kadang hanya dibalas anggukan ataupun gelengan darinya.

Aku yang semakin menaruh curiga kepada sahabatku itu hanya bisa mempercepat langkah agar kami segera tiba di warung.
Dan untungnya pada malam itu hanya tersisa satu warung kopi yang masih buka.

Setelah sampai warung, aku memesan dua minum kepada bapak penjaga warung.
“Pak, teh anget setunggal, kopi setunggal”
(Pak, teh hangat satu sama kopi satu)
“Diunjuk mriki nopo dibungkus mas?”
(Diminum sini atau dibungkus mas?)

“Diunjuk mriki mawon pak”
(Diminum disini saja pak)

Beliau mengiyakan, kemudian kami duduk di kursi dibawah pohon keres. Aku memperhatikan rian, ia terlihat lebih pucat. Aku jadi semakin khawatir.
Kemudian aku mencoba memegang keningnya. Panas. Amat sangat panas. Bahkan ketika aku memegang seseorang yang sakit demam, panasnya tidak sampai sepanas ini.

Aku mengajaknya ngobrol, tapi tetap ia tak sedikitpun mengeluarkan sepatah kata. Hanya tetap mengangguk atau menggeleng
Hingga saat bapak tersebut mengantarkan minuman, aku berdiri dan hendak mengambil minuman tersebut.

Wajah beliau sedikit terlihat curiga namun masih mencoba terlihat tenang. Seakan beliau seperti sudah sering melihat kejadian semacam ini.
“Masnya tadi pesen kopi dan teh?”
“Nggeh pak”

“Damel sinten mawon?”
(Buat siapa saja?)

“Nggeh buat saya dan teman saya ini lho pak. De’e kademen”
(Iya buat saya dan teman saya ini lho pak. Dia kedinginan)
Beliau tersenyum kecil, kemudian mendekat kepadaku. Memegang pundakku sambil berkata pelan dan tenang,

“Mase wau ndugi mriki niku piyambakan”
(Masnya tadi datang kesini itu sendirian).
Aku terperanjat, seperti ada angin yang tiba-tiba menyapu tengkukku. Hawa itu, ya hawa anyep itu kurasakan kembali.

“Njenengan pripun to pak, wong jelas jelas kulo . .”
(Anda ini bagaimana to pak, sudah jelas jelas aku. .)
Sambil menoleh ke arah tempat duduk tadi. Dan betapa terperananya aku ketika tempat duduk yang kulihat tadi kosong.

Tidak ada siapapun disana.
Kakiku tiba-tiba menjadi lemas, dalam kemelut pikiran dan segala hal yang kualami barusan tak sadar membuatku tak mempercayai indraku.
“Lho pak, maengg, nddekk kunu, koncookuu,,,,,”
(Lho pak, taadii, ddisiituu, teemmenkuu,,,,)

Kataku sambil terbata-bata
Bapak warung itupun kemudian menuntunku, lalu dengan tenang untuk menyuruhku duduk dulu.
“Wes, iki diunjuk sek teh e”
(sudah, diminum dulu ini tehnya)

Dalam kondisi pikiran yang tidak karuan tersebut, kuminum teh yang masih menguap itu. Dan tanpa sadar, teh panas yang satu gelas full itu habis dalam kurun waktu yang sangat cepat.
Bapak warung itu berkata

“Iku maeng seng pean jak rene iku anakane dalbo. Nggon dulinane ancen cidek jeding kunu. Senengane ancen gudoi uwong. Opomaneh wonge iku ijenan terus rodok ngelamun. Sik untung pean dijak mrene. Gak dijak menjero alas utowo digowo nang air terjun”
(Itu tadi kamu diajak kesini sama anaknya dalbo. Tempat bermainnya memang dekat toilet situ. Memang sukanya usil ke manusia. Apalagi orang itu lagi sendirian dan agak melamun. Masih untung kamu diajak kesini. Tidak dibawa kedalam hutan atau ke air terjun)
“Terus pripun pak, kulo wau ninggal rencang teng mriko”
(terus bagaimana pak, saya tadi ninggalin teman saya disana)

“Wes mariki tak terno balik nang bumper ae. Kancamu wes ndek kono. Tapi ati-ati yo, bekne koncomu ono sing halangan. Jogoen apik-apik.”
(Sudah, habis ini kuantar balik ke bumper saja. Temanmu sudah disana. Tapi hati-hati ya, barangkali ada temanmu yang sedang berhalangan. Jagain baik-baik)

Aku mengangguk tanda mengerti pesan yang beliau sampaikan.
Butuh waktu sekitar 5 menit sampai aku benar benar bisa menenangkan diri.

Seperti yang sudah kukatan bahwa aku punya ‘kelebihan’ yang datang dan pergi dengan secara tiba-tiba. Dan setelah beberapa kejadian yang kualami, rasanya kelebihanku ini datang di saat yang tidak tepat.
Aku dan bapak itu kemudian berjalan, masuk kembali ke area bumi perkemahan. Dan benar saja saat sampai di tenda, Arian dan Nia sedang duduk didepan pintu tenda. Seakan mereka sedang menungguku.

“Tekan ndi awakmu, sing nggenah moro moro ilang. Dikon ngenteni diluk malah ninggal”
(Darimana saja kamu, jangan tiba tiba menghilang. Disuruh nunggu sebentar malah ninggalin) ucap Arian dengan nada kesal.

Aku bingung bagaimana menceritakan kejadian barusan. Dilema karena posisi kami sedang berada di area ‘mereka’.
Aku menoleh kepada bapak pemilik warung. Dan sepertinya beliau sudah memiliki alibi untuk membantuku menjawab pertanyaan teman-temanku.

“Ngapunten mas, kulo wau beto kayu bakar katah. Lha pas lewat depan toilet tali sing damel nyancang niku pedot. Kulo kangelan beto piyambakan-
Lha konco sampean niki ngewangi kulo beto kayu damel masak teng warung pinggir embong teng ngajeng. Konco pean lali arep pamitan, tapi pancen kayune katah. Lha niki tasek tas mantun, terus kulo teraken balik. Matur nuwun nggeh mas”.
(Mohon maaf mas, saya tadi bawa kayu bakar banya. Waktu lewat depan toilet tadi tali yang digunakan buat mengikat kayu itu putus. Saya kesulitan membawanya sendirian. Kemudian temanmu ini membantu membawakan kayu yang saya pakai buat memasak di warung yang ada-
di pinggir jalan yang ada di depan. Temanmu mau bilang tapi mungkin kelupaan, karena saking banyaknya kayu. Ini baru selesai, dan saya antar kesini. Terima kasih banyak ya mas)

Aku mengiyakan sekaligus membalas ucapan terima kasih beliau karena sudah diantarkan kembali.
Arian pun juga sepertinya gagal meluapkan emosinya karena ada penjelasan dari bapak pemilik warung. Setelah itu beliau pamit pergi karena harus kembali menjaga warungnya. Arian kepo dan kembali bertanya padaku.

“Leh temenan? Wonge jupuk kayu bakar pas wayah bengi ngene iki?”
(Lah beneran? Beliau ngambil kayu bakar waktu sudah malam begini?)

“Lha wong jenenge kebengen yo sopo sing ngerti to yan.”
(Ya namanya saja kemaleman ya siapa yang tahu juga yan)

“Iyo yoan”
(Iya juga)
Aku kemudian teringat akan pesan bapak tersebut untuk lebih memperhatikan teman-teman cewek yang lagi berhalangan. Yang kebetulan di kelompokku, Nia sedang mengalaminya.

“Nia, awakmu wes enakan?”
(Nia, kondisimu sudah enakan?)
“Lumayan se, cuma mungkin aku ijin ndak iso melu kegiatan malam mariki”
(Sudah lumayan, cuma mungkin aku ijin tidak ikut kegiatan malam habis ini)

“Owalah iyawes ndak opo, gak istirahat ndek tenda medis ae ta?”
(yasudah tidak apa apa, gak istirahat di tenda medis ae ta?)
“Emoh gaenak, sungkan karo senior. Ndek kene ae. Aku gak opo kok”
(Tidak mau, sukan sama senior. Disini saja. Aku tidak apa apa kok)

“Ya wes, nek butuh opo opo ngomong ae yo”
(Yasudah, kalo butuh apa apa bilang saja ya)
Ia mengangguk. Setelah itu senior kami datang dan membagikan makanan bungkus yang sudah dimasak bersama sama.

Setelah selesai makan, dia menyuruh kami untuk mempersiapkan buku dan beberapa alat kelengkapan untuk mengikuti kegiatan malam persami yang akan dilaksanakan.
Setelah semua sudah dipersiapkan, aku bilang ke senior bahwa Nia tidak bisa mengikuti acara karena kondisi kesehatannya yang sempat drop.

Ditambah lagi karena Nia sedang dalam kondisi berhalangan.
Untungnya senior kami memaklumi dan memperbolehkan Nia untuk beristirahat.
Ia juga menyarankan agar nia pindah ke tenda medis agar mendapat perawatan. Namun lagi lagi nia menolaknya. Ia minta untuk istirahat di tenda saja.

Karena kami juga sama-sama tidak bisa memaksanya, yasudah kami biarkan saja.
Kami kemudian meninggalkan Nia sendirian di tenda. Sebenarnya lokasi kegiatan kami juga tidak begitu jauh dari tenda , tapi ya tetap saja agak was-was juga karena dia kelihatan juga agak pucat.

Ditambah lagi dengan kejadian yang aku alami saat di toilet tadi.
Tapi aku juga gak bisa berbuat banyak, karena aku juga ditunjuk menjadi ketua kelompok ditambah Nia juga merasa lebih baik jika istirahat di tendanya sendiri.

Kami menjalani serangkaian aktivitas seperti tali temali dan memainkan beberapa games yang menguji kekompakan.
Dari kegiatan awal sampai bermain games, berjalan dengan lancar lancar saja. Sampai pada acara menyalakan api unggun.

Kami semua disuruh duduk melingkar sambil bergandengan tangan. Sebelum api dinyalakan, beberapa pembina mengucapkan sepatah dua patah kata.
Karena aku sudah mulai mengantuk dan kedinginan, aku lupa dan tidak fokus mendengar ucapan yang disampaikan oleh pembina tersebut.

Lalu ditengah antara merem dan melek itulah api dinyalakan. Nyalanya yang sangat terang membuat mataku langsung melek seketika karena panasnya api
Aku pun ikut bertepuk tangan yang dilanjutkan dengan beridirinya semua peserta.Saat semua sudah berdiri kami berjalan mengelilingi api unggun tersebut sembari menyanyikan lagu api unggun dengan ceria.

“Api. . Api. . Api unggun sudah menyalaa . . .”
Setelah lagu selesai dinyanyikan dan kami hendak duduk kembali, tiba tiba nyala api semakin membesar dengan sendirinya.

Normalnya api unggun hanya akan bertambah besar apabila disiram bahan bakar, diterpa angin yang cukup kencang atau ditambah dengan kayu bakar lagi.
Namun ini tidak demikian. Tidak seorang pun menyentuh atau mendekati api unggun itu.
Sampai dimana kami semua dibuat terpesona atau semacam terfokus pada api yang semakin membesar tersebut.

Sampai pada keheningan itu, salah seorang murid berteriak

“Pocooonggggg.......”
Sambil beberapa murid menunjuk keatas api unggun. Aku yang tersadar kemudian ikut menoleh kearah yang ditunjuk oleh siswa itu.

Dan benar saja ada buntalan kain menyerupai orang yang sudah menjadi jenasah sedang diam berdiri melayang diatas api unggun itu.
Aku terdiam, lidahku kelu, kakiku pun tiba tiba tidak bisa digerakkan. Sementara itu siswa yang lain berteriak dan lari berhamburan. Suasana menjadi kacau.

Entah mereka melihat atau memang terkejut mendengar teriakan pocong di situasi yang sudah hampir masuk tengah malam.
Aku melihat sosok itu masih melayang diatas sana, kain yang tadinya putih itu, perlahan lahan menjadi hitam gosong akibat terkena jilatan api unggun.

Sosok yang tadinya tidak berbau itupun juga ikut berbau gosong, bahkan lebih menyengat daripada kita memasak daging yang gosong.
Untungnya sosok itu hanya diam mengawang dan aku juga tidak melihat wajah sosok itu, karena ia hanya menunjukkan bagian belakang dari tubuhnya.

Dalam ketenggengen atau diam tak bisa berbuat apa-apa itu, Nanda menarikku.
“Ngga, ayo melbu tendoku”
(Ngga, ayo masuk tendaku)
Aku yang masih linglung hanya manut dan ikut tarikan nanda. Sesampainya di tenda terlihat beberapa siswi sedang menangis dengan beberapa teman siswa dan senior yang coba menenangkan satu sama lain.
Nanda yang melihatku diam berdiri cukup lama itu kemudian bertanya kepadaku, apa benar apa tadi ada sosok pocong?

Aku hanya diam saja, tidak mengangguk pun juga tidak menggelengkan kepala. Aku merasa kasihan melihat banyak siswi yang keadaannya belum kondusif
Nanda yang paham pun hanya mengangguk pelan tanda mengerti apa yang harus ia lakukan.
“Yowes ngombeo disek”
(Yasudah kamu minum dulu)

Aku diberi segelas air. Beberapa tegukan memang membuatku menjadi lebih tenang.
Sampai dimana aku ingat bahwa ada Nia yang sendirian didalam tenda.

“Oh iyo goblok, Nia ijenan ndek tendo. Yowes nan, aku balik tendoku sek”
(Bodoh, nia sendirian di tenda. Yasudah nan, aku balik tenda dulu)

Sebelum nanda menjawab, aku sudah lari meninggalkankannya.
Sesampainya di tenda keadaan tak kalah menegangkan. Semuanya berkumpul menjadi satu, ditempat Nia membaringkan badan.

Aku juga melihat arian, bisa bisanya ia meninggalkanku sendirian di lapangan tadi. Sebelum aku mencercanya, aku lebih terkejut ketika melihat wajahnya Nia.
Matanya memutih, mulutnya menganga sambil mengeluarkan tawa.
“Hihihihi, aku seneng arek iki”
(Hihihihi, aku suka anak ini)
Ucap sosok yang ada dalam diri Nia.

Semuanya ketakutan, bahkan anggota kelompok yang laki laki juga tidak tahu harus berbuat apa.
Sementara para siswi kelompokku sebagian ada yang memegangi Nia, sebagian lagi menangis di tempatnya masing masing. Senior kami juga berusaha membacakan doa sambil mengelus kening Nia.

Namun Nia hanya tertawa, bahkan sosok tersebut mengejek bahwa kami semua ini penakut.
Aku coba untuk memberanikan diri. Ini adalah pengalaman pertamaku melihat orang sedang kesurupan.

Aku berkata pada senior untuk meminta bantuan kepada pembina untuk memanggil bapak warung tadi. Dan aku berkata kepada Arian dan semua teman-temanku agar terus memanjatkan doa.
Kemudian aku mencoba bertanya kepada sosok yang ada didalam tubuh Nia.

“Mbah, njenengan sinten?”
(Mbah, anda siapa?)

“Kowe gausah ngerti aku sopo. Aku mek seneng karo arek iki. Hihihihi”
(Kamu tidak usah tahu siapa aku. Aku hanya suka dengan anak ini. Hihihihi)
“Njenengan medal nggeh, saaken rencang kulo”
(Anda keluar ya, kasihan teman saya)

“Emoh, arek iki kudu melok aku. Soale arek iki wes gawe rusuh omahku”
(Tidak mau, anak iki harus ikut aku. Soalnya anak ini sudah bikin kotor rumahku)
“Griyane njenengan sebelah pundi mbah?”
(Rumah anda dimana mbah?)

“hihihihihihi. . . .”

Sosok itu hanya tertawa. Kemudian Nia beranjak berdiri sambil matanya melihat kearah sekeliling dengan tetap tertawa namun seperti bukan suara Nia itu sendiri.
Saat nia akan berlari keluar tenda, aku, Arian dan dua teman cowok sigap untuk menahan nia. 4 orang siswa laki laki tak mampu menahan kekuatan dari seorang Nia yang kesurupan.

Saat ia lepas dari kami, ia menabrak kakak senior yang sudah membawa Bapak pemilik warung yang tadi.
Kami memaksa Nia untuk kembali masuk kedalam, kemudian mencobanya untuk agar bisa berbaring.

Butuh sekitar 7 orang untuk membuat Nia kembali berbaring. Kemudian sosok yang ada didalam diri Nia itu meraung-raung, menangis, kemudian kembali tertawa. Bapak itupun kemudian berkata
“Metu dewe ta tak pekso metu?”
(Keluar sendiri atau kupaksa keluar?)

Sosok yang tadinya cengengesan ini mendadak mulai agak berani ketika ditantang oleh beliau.

“Kate lapo koen? Arek iki wes wani ngerusuhi omahku!”
(Mau apa kamu? Anak ini sudah berani mengotori rumahku!)
“Ngerusuhi lapo?”
(Mengotori apa?)

“Takono arek iku”
(Tanya anak itu)

Sambil menunjuk seseorang siswi yang tadi masuk ke toilet bersama Nia. Ia yang tadinya mulai berhenti menangis, kini kembali histeris karena ia merasa tidak berbuat apa-apa.
Bapak warung tersebut mendekatinya sembari bertanya :

“Nduk, enek opo sakjane?”
(Nak, ada apa sebenarnya?)

“Mboten enten nopo-nopo lho pak. Wau kulo mek ngeteraken nia ganti pembalut teng toilet”
(Tidak ada apa-apa pak. Tadi saya hanya mengantar nia ganti pembalut di toilet)
“Pembalut sing diganti terus diguwak nang ndi?”
(Pembalut yang sudah diganti dibuang kemana?)

“Diuncalaken Nia teng alas pak”
(Dilemparkan Nia ke hutan pak)

Kakak pembina dan bapak tersebut hanya bisa geleng-geleng mendengar penuturannya.
Kemudian bapak tersebut menyuruhku untuk mencari pembalut itu. Karena barang itu yang menyebabkan Nia menjadi seperti ini.

“Golekono sampek ketemu yo, nek gak ketemu ojo balik sek. Soale barang iku sing garai kancamu koyok ngene”
(Carien sampai ketemu ya, nek belum ketemu jangan balik dulu. Soalnya barang itu yang bikin temanmu jadi seperti ini)

Aku kemudian mengajak Arian untuk mencari. Awalnya ia menolak tapi karena ia juga ikut ke toilet dan aku juga takut untuk berangkat sendiri, akhirnya ia mau
“Wes ndungo sing akeh ae. Ben ndang mari iki”
(Sudah berdoa yang banyak saja. Supaya cepet selesai masalah ini)

Kami berdua kembali keluar. Menembus gelapnya malam. Agar Arian merasa aman, kuberikan senternya ke dia. Meskipun dia posisinya berjalan di belakangku.
Aku juga berpesan agar seminimal mungkin untuk tidak mengarahkan senter kearah atas pepohonan.

Sekedar cari aman kalau tiba-tiba saja ada hal yang membuat Arian lari lalu aku ditinggalkan begitu saja.
Aku ingat waktu itu jam sudah menunjukkan setengah satu malam.

Kondisi sudah benar benar sepi. Hanya suara serangga malam yang menemani. Satu sisi juga banyak siswa sdh beristirahat dan juga tidak ingin keluar tenda setelah ada insiden penampakan pocong diatas api unggun tadi.
Kami melintas area yang api unggun. Terlihat apinya sudah mulai mengecil namun bau gosong itu masih tercium kuat.

Aku beranggapan artinya sosok pocong itu masih ada disekitar situ. Aku pun mempercepat langkah sembari kusuruh Arian untuk tidak berhenti membaca doa.
Beberapa kali aku hampir terpereset. Entah karena jalannya licin atau memang aku sedang takut.

Hingga akhirnya kami sampai di toilet. Tempat yang dimana aku juga diajak ‘bermain’ oleh sosok yang menyerupai Arian. Tanpa banyak berpikir aku menelusuri jalan arah belakang toilet.
Sempat beberapa kali aku mendengar suara deheman pria namun dengan suara yang lebih berat.

Mungkin karena Arian ikut mendengar, ia sempat beberapa kali mengarahkan senter kearah atas.

“Yan, ojo diarahno menduwur kok. Adewe iki golek i pembalut sing ndek nisor. Arahno rene”
(Yan, jangan diarahkan keatas kok. Kita ini mencari pembalut yang ada dibawah. Arahin kesini) tuturku

Namun entah karena melihat apa, ia tiba tiba memberikan senternya kepadaku dan kedua tangannya yang masih gemetar langsung menggenggam pundakku.
Aku menoleh kearahnya, takut kalau tiba-tiba mahluk yang mirip Arian itu kembali mengajakku bermain.

Namun setelah yang kulihat adalah Arian yang wajahnya menghadap bawah dengan tangan yg masih bergetar hebat sambil terdengar berbisik “bismillah. . astaughfirullah”. Legalah aku
Aku dan Arian terus mencari-cari, sambil sesekali beler karena dingin. Dan karena mungkin saking lebatnya semak-semak jadi kadang kulitku sedikit gatal yang ketika kulihat menggunakan senter ternyata sudah terluka.

Mungkin terkena duri dari semak semak itu.
Setelah sekitar 15 menitan mencari, aku menemukan sebuah benda berlendir yang sudah tampak kumal terkena tanah.

Ketika benda itu kuangkat, bau amis pun langsung menyeruak.
Kutanya arian apakah ini pembalut? Ia mengiyakan, karena jujur aku belum pernah melihat pembalut.
Setelah Arian memastikannya, maka aku segera memasukkan benda itu kedalam kresek. Setelah itu kami langsung kembali ke tenda.

Sesampainya di tenda kulihat kakak pembina dan teman teman lainnya seperti sudah kecapekan memegangi tubuh nia.
Disampingnya bapak warung tersebut masih mencoba berkomunikasi sambil membacakan doa.

Setelah beliau melihat kedatanganku dan Arian, beliau langsung meraih kresek yang arian bawa.

“Barang iki kudune diberseni disek sedurunge dibuak. Tapi yo gak angger dibuak pisan”
(Barang ini harusnya dibersihkan dulu sebelum dibuang. Tapi ya tidak boleh dibuang sembarangan pula)

Arian kusuruh ikut membantu memegangi Nia, sementara aku menemani bapak warung untuk membersihkan barang ini. Sebenarnya bukan untuk menemani sih, lebih ke ingin tahu aja hehe.
Pembalut itupun dikeluarkan dari kresek, beliau berkata

“Hoalah yo yo, wong sek rusuh ngene yo diguak. Diguak ngawur pisan, mesti ae ngundang demit”

(Memang dasar, barang kotor seperti ini kok dibuang. Sembarangan pula, pantas saja mengundang demit)
“Lakok ngoten pak?”
(Kok bisa pak?)

“Demit iku paling seneng karo getih le. Opomaneh getihe wong wedok sing lagi halangan. Ngene iki dadi pelajaran, nek barang macem ngene iki gak oleh diguak sembarangan. Opomaneh ndek nggon sing awakmu durung tau mrunu”
(Demit/setan itu paling suka dengan darah. Apalagi darahnya orang perempuan yang sedang berhalangan. Ini akan jadi pembelajaran, kalau barang seperti ini tidak boleh dibuang sembarangan. Apalagi di tempat yang belum pernah kamu kunjungi)

Aku memahami ucapan beliau.
Paling tidak, itu adalah nasihat untuk diriku sendiri agar lebih berhati-hati dan menjaga norma dan etika ketika berkunjung ke tempat atau lingkungan yang baru.

Seperti sebuah peribahasa “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.”
Beliau kemudian membilas dan mencuci pembalut itu hingga cukup bersih. Setelah itu beliau seperti mengucapkan doa dan kemudian memasukkan pembalut itu kembali kedalam kresek.

Aku disuruh cari kresek lagi untuk melapisi kresek pertama. Kemudian aku membuangnya ke tempat sampah.
Setelah itu beliau kembali masuk tenda dan kembali berkomunikasi dengan sosok yang ada didalam diri Nia

“Barange wes dijupuk, ndang metuo”
(Barangnya sudah diambil, sekarang keluarlah)

“Emoh, aku pengen ngejak arek iki, hihihii”
(Tidak mau, aku ingin ngajak anak ini, hihihi)
“Nantang koen!”
(Nantang kamu)

Kemudian bapak tersebut memijat jempol kaki kanan nia sambil membaca doa khusus, yang kemudian membuat Nia menjerit keras.

Saking kerasnya sampai sampai aku tidak sadar bahwa sudah ada beberapa murid yang menyaksikan dari luar tenda.
Untungnya para senior dan pembina menghadang mereka sehingga tidak menimbulkan kekacauan yang lebih besar.

Setelah itu Nia terdiam lemas. Sepertinya sosok yang ada didalam dirinya sudah keluar. Ia kemudian perlahan-lahan membuka mata dan melihat sekeliling.
Ia juga kaget melihat banyak orang dan banyak temannya yang nangis.

“Nduk, awakmu maeng mari lapo?”
(Nak, kamu tadi kenapa?)

“Mboten ngertos pak, sak ilinge kulo mari mik obat kok moro moro tambah ngelu. Mariku peteng, terus koyok ngipi ono wong wadon tuo muring muring-
Aku keweden terus aku mlayu. Aku diuber, terus kecekel. Dilebokno panggon. Tapi panggone koyok ndak asing. Pokok e wonge ngancingi aku ndek kunu. Terus mariku moro moro peteng ndedet maneh. Terus tangi tangi kok podo rame ngene”
(Tidak tahu pak, seingatku tadi habis minum obat kok tiba tiba tambah pusing. Setelah itu gelap, terus di mimpi itu seperti ada perempuan tua yang marah marah. Aku takut terus aku lari. Aku dikejar, lalu ketangkap, kemudian dimasukkan ke sebuah ruang-
Tapi ruang itu kayak tidak asing. Pokoknya aku dikunci didalam ruangan itu. Kemudian gelap gulita lagi. Kemudian pas bangun kok rame begini)

“Mene mben sing ati ati ya nduk. Iki maeng awakmu iku kenek musibah. Nek misal mari ganti pembalut iku ojo diguak sembarangan. Garai molo”
(Lain kali hati hati ya anak. Ini tadi kamu habis kena musibah. Kalo misal selesai mengganti pembalut itu jangan dibuang sembarangan. Dapat menyebabkan bala’)
Tutup bapak pemilik warung.

Nia menangis, menyesali perbuatannya. Ia tidak mengira bahwa akan kejadian seperti ini
"Wes ndak opo. Gae pelajaran. Ojo dibaleni yo nduk"
(Sudah tidak apa. Dibuat pelajaran. Jangan diulangi ya nak)

Setelah itu beliau berpesan pada kami untuk tetap berhati hati dan lebih menjaga sikap. Karena takutnya kejadian serupa akan terjadi pada siswi lain
Kami semua mengangguk. Kemudian para senior pun pergi ke masing masing tenda untuk memberitahu pesan yg belia sampaikan.

Setelah itu beliau ijin untuk pamit. Tak lupa pula kami ucapkan banyak terima kasih karena sudah banyak membantu kami.
Setelah situasi sudah lumayan lengang, aku mencoba untuk tidur. Jujur, meski perasaan masih tidak karuan, namun berbagai kejadian barusan juga membuatku lumayan capek.

Jam menunjukkan pukul 2 dinihari. Masih ada waktu satu jam untuk tidur kemudian mengikuti acara selanjutnya.
Sebenarnya acara jelajah malam dilaksanakan setelah acara api unggun, tapi karena ada peristiwa tadi jadinya diganti ke waktu menjelang subuh.

Setelah hanya tidur selama satu jam untuk kami, raungan mikropon sudah meraung raung. Tanda acara jelajah pagi akan segera dimulai.
Aku menyuruh 2 orang siswi untuk menemani Nia. Paling tidak jika terjadi apa-apa, mereka tidak terlalu takut. Sehingga kelompokku akhirnya hanya menyisakan 5 orang saja.

Kami berkumpul kembali di lapangan tempat tadi dilaksanakannya kegiatan api unggun.
Sebenarnya masih ada perasaan was was mengingat penampakan pocong yang terjadi beberapa jam yang lalu.

Namun karena hari itu sudah mau menjelang adzan subuh, maka kupikir hal hal semacam tadi tidak akan muncul seiring berjalannya waktu pagi yang akan tiba.
Kami disuruh berbaris antri satu per satu kelompok. Senior menjelaskan bahwa jelajah pagi ini akan melewati beberapa rute kawasan wisata air terjun.

Dimana finishnya nanti berada tepat di tanah lapang yang dekat dengan air terjun.
Kemudian kakak pembina menjelaskan bahwa di beberapa titik menuju air terjun juga terdapat 2 pos yang nantinya digunakan sebagai check point peserta jelajah.

Setelah semua dirasa paham, maka satu per satu kelompok berangkat menembus dingin dan gelapnya area hutan.
Kebetulan kelompokku jalan paling akhir, jadi setelah 5 menit kelompok depanku berjalan, kelompokku pun ikut menyusul mereka.

Sebelum berangkat, kami berdoa sesuai keyakinan masing masing. Aku kembali berpesan apabila ada kejadian aneh aneh jangan sampai lari terpisah.
Sehingga kemudian kami membagi tugas. Arian kusuruh menjadi leader dan aku akan berada di bagian belakang sebagai sweeper.

Dengan tersisa hanya 5 orang anggota, ditambah lagi pencahayaan yang mengandalkan satu senter saja, membuat kami harus berjalan dengan hati hati.
Suasana sunyi dan suhu dingin dataran tinggi membuat kami sedikit menggigil. Sempat kami juga beberapa kali terpereset akibat jalan yang cukup licin. Bukannya sakit, kepleset justru membuat kami saling mentertawakan.

Untungnya kami tidak mendapat gangguan sampai tiba di pos 1.
Sesampainya tiba di pos 1 kami diberi beberapa pertanyaan oleh 2 orang senior, dimana bila menjawab benar kami akan mendapatkan beberapa kacang rebus untuk bekal menuju pos 2.

Arian yang memang sejatinya cukup cerdas pun dengan mudah menjawab pertanyaan yang diberikan.
Karena berhasil, maka kami mendapatkan kacang rebus yang cukup banyak. Mengingat satu plastiknya memang disediakan untuk satu anggota kelompok (8 orang) sementara kami hanya berjumlah 5 orang.

Lumayan, cukup banyak untuk mengganjal perut dan menghangatkan tubuh.
Kami kemudian berangkat untuk melanjutkan perjalanan. Disela sela perjalanan menuju pos 2, sambil menikmati kacang rebus tiba tiba Arian berkata bahwa dia mencium bau singkong bakar.

“Ambu kaspe dibakar, mariki tutuk iki”
(Bau singkong bakar, habis ini sampai) teriaknya semangat dari depan.

Ada yang sedikit janggal, karena seingatku baru saja kami meninggalkan pos 1. Masak jalan sebentar sudah mau sampai di pos 2. Mana dia mencium bau singkong bakar pula.
Sementara seorang teman didepanku bertanya kepadaku.

“Koen ambu ta emange?”
(kamu mencium baunya ta?)

“Endak i. Ojo ojo . . “
(Endak. Jangan jangan)

Kami saling tatap, kulihat wajah temanku itu agak sedikit tegang. Sepertinya ia ketakutan.
Aku kemudian menghampirinya, kemudian kubisikkan untuk tetap tenang. Sambil kuarahkan telunjuk kearah mulutku untuk tidak rame rame. Untungnya ia mengerti.

Lalu kuberjalan disampingya agar ia sedikit merasa tenang. Hingga akhirnya kami tiba disebuah jalur persimpangan.
Dimana ada sebuah tanda yang di ikatkan kepada beberapa daun sebagai pertanda bahwa untuk ke air terjun kami harus berjalan ke jalur sebelah kanan.

Sementara Arian bersikukuh bahwa aroma singkong bakar itu mengarah ke jalur sebelah kiri.
Aku dan arian sempat bersitegang dengan pendapat kami masing masing. Ia yakin dengan indra penciumannya yang mengarah ke jalur kiri.

Sementara aku pun menjelaskan bahwa hanya jalur yang ditandai saja yang digunakan sebagai jalur penjelajahan. Karena kebanyakan tanda seperti itu
Saat dalam keriuhan itulah, kami mendapat sambutan dari penghuni jalur persimpangan itu.

“ehemm. .”

Hanya suara deheman yang lumayan kasar dengan nada yang payau. Dimana kami semua mendengarnya dengan sangat jelas dan langsung dibuat diam seketika olehnya
Sementara ketika aku melihat di jalur sebelah kiri terdapat satu pohon pinus yang cukup besar. Dimana dibelakangnya ada sosok hitam tinggi yang tersenyum menyeringai kearahku. Aku mengira bahwa sosok itulah yang daritadi mempengaruhi Arian.
Ketika sedang menatap sosok itu tiba tiba Arian akan meneruskan langkahnya kearah kiri. Reflek aku langsung menariknya

Sementara ketiga temanku sudah lari duluan kearah kanan. Untungnya mereka tidak lari terlalu jauh sehingga aku masih sempat untuk mengejarnya.
Kami berlima ngos ngosan. Capek. Beberapa diantara kami sempat berkata untuk balik saja. Tapi dengan kembali ke tenda berarti harus kembali melewati persimpangan itu tadi, mereka berpikir bahwa mending lanjut saja.

Ya memang tidak ada pilihan lagi.
Sementara Arian setelah kejadian di persimpangan itu menjadi pendiam. Aku mengatakan padanya bahwa tidak apa apa. Yang penting rintangan didepan akan kita hadapi bersama sama. Karena kita tidak akan meninggalkan teman kita sendirian. Ia tersenyum, seakan keberaniannya kembali.
Setelah 5 menit berjalan dari persimpangan tersebut, kami akhirnya sampai di pos 2.

Disana kami kembali diberi pertanyaan oleh 2 orang senior penjaga pos. Dan seperti biasa, Arian lah yang menjawab pertanyaan pertanyaan itu.
Hingga kami dihadiahi sebotol minuman teh panas untuk bekal menuju lapangan yang berada di samping air terjun. Dan para senior tersebut berkata bahwa ini adalah pos yang terakhir.

Setelah kami saling minum teh hangat, kami berlima berangkat menuju ke air terjun.
Untungnya selama sisa perjalanan menuju ke air terjun kami tidak mendapat gangguan lagi.

Sesampainya disana, karena kami kelompok terakhir maka kami langsung diarahkan untuk baris berbaris.
Didepan kami semua terdapat segentong besar air yang berasal dari air terjun yang berada dibelakangnya.

Disekeliling kami terdapat obor yang mengelilingi. Sehingga mirip mirip seperti akan mengadakan sebuah acara sakral yang akan segera dimulai.
Kami lantas disuruh untuk menundukan lutut dengan tangan mengepal didada seraya menundukkan kepala sambil menyanyikan lagu pramuka Indonesia.

Tiga orang senior membawa gentong tersebut, satu diantaranya bertugas untuk mengguyur kepala para siswa persami.
Saat aku sedikit mengintip untuk melihat, rupanya dalam guyuran air tersebut terdapat juga bunga bunga yang aku lihat sekilas mirip dengan bunga 7 rupa.

Kami semua tetap menyanyikan lagu pramuka sampai prosesi pemberian air itu merata ke semua peserta persami.
Sampai pada saat prosesi akan berakhir, kulihat banyak senior yang berlarian. Mereka memegangi seorang siswa yang hendak menceburkan dirinya ke air terjun.

“Culno, culno aku. Aku pengen dolan karo koncoku”
(Lepaskan, lepaskan aku. Aku ingin bermain dengan temanku)
Ucap siswa itu dengan suara yang lantang. Dugaanku ia kesurupan. Tak tanggung tanggung, ada 6 orang senior yang diantaranya ada pembina yang menahan laju siswa itu.

Sampai keadaan kami yang semula berbaris, langsung kacau dengan saling berpencar karena ketakutan.
Sampai mungkin diantara para senior itu ada yang berhasil menyadarkan siswa yang hendak loncat tersebut. Kemudian ia digotong untuk dibawa menjauh dari area air terjun. Saat mereka menggotong murid itu dan melewatiku, aku tak asing dengan wajah siswa tersebut.

“Udin?”
Aku sedikit kaget, dan yang lebih mengagetkan tiba tiba dibelakangku sudah ada Mifta, Gita dan Nanda. Mereka semua penasaran dan juga sama kagetnya denganku

“Lho ngga, iku udin?”
(Lho ngga, itu udin?)

“Lho udin kenek opo iku?”
(Lha udin kenapa itu?)
Tanya mereka bergantian
Aku dan Arian pun hanya menjawab tidak tahu. Lalu kami mencoba untuk ijin mengikuti Udin ke tempat ia dirawat. Namun kita tidak diperbolehkan oleh senior dan menyuruh kami untuk kembali ke barisan masing masing.

Alhasil mau tidak mau kami kembali baris untuk melanjutkan acara.
Ketika sinar surya keluar menyinari bumi, maka berakhirlah acara jelajah pagi ini. Kami disuruh balik menuju tenda untuk sarapan dan persiapan untuk pulang kembali ke sekolah.

Selepas acara, kami dibebaskan untuk bergabung dengan teman teman kami, asal langsung balik ke tenda
Sepanjang jalan aku berkumpul lagi dengan Nanda, Gita dan Mifta. Kami ngobrol ngobrol mengenai bagaimana situasi kelompok kami masing masing.

Gita dan Mifta cerita bahwa saat ke toilet waktu BAK, mereka mendengar suara tertawa wanita, yang cukup membuat bulu kuduk merinding.
“Lha mosok ate mlayu, wong wes kadung posisi wenak kok”
(Lha masak mau lari, terlanjur dapat posisi enak kok) ucap gita sambil tertawa.

Sementara mifta sendiri mengurungkan niatnya buang air di toilet dan lebih memilih untuk melakukannya dibelakang tendanya sendiri.
“Lha timbang aku kenek koyok Nia, mending golek aman. Penting nuwun sewu disik”
(Daripada kena seperti temanmu, mending cari aman. Yang penting permisi dulu)

Sementara Nanda mengungkap bahwa semenjak ada kejadian di api unggun, ia tidak keluar tenda karena takut.
Setelah mereka bertiga memberikan ceritanya masing masing, kini giliranku dan Arian yang bercerita. Arian menambahkan yaitu pada saat aku ‘pergi ke warung’, ia merasa ketika sedang di dalam toilet bahwa dia mendengar diluar toilet begitu ramai, seperti pasar.
Dan di dalam ketakutannya itu, Arian sebenarnya memanggilku tapi ia berkata bahwa aku sama sekali tidak menjawab.

Setelah selesai dengan urusannya, ia membuka pintu toilet. Betapa terkejutnya ia ketika suasana sangat sepi dan aku sudah tidak ada didepan toilet.
Sontak Arian pun menggedor pintu yang ada Nia didalamnya. Nia dan temannya pun keluar dari dalam toilet dengan kondisi bingung juga. Bingung karena melihatku tak ada, dan melihat Arian dengan kondisi yang ketakutan.
Akhirnya Arian mengajak Nia kembali ke Tenda yg kemudian satu persatu kejadian beruntun terjadi setelahnya.

Tak terasa ketika kami bercerita, kami sudah sampai di tempat tenda. Aku mengecheck tendaku terlebih dahulu untuk melihat kondisi Nia. Dan untungnya dia sudah agak sembuh
Sebenarnya agak kasihan juga sama Nia. Dia sudah jauh jauh kesini untuk ikut kegiatan persami tapi malah mengalami kejadian diluar nalar.

Ya syukurlah dia berhasil melewati itu dan mengambil pelajaran yang amat sangat berharga baginya.
Kemudian kami pergi ke tenda medis. Ketika masuk, kami melihat Udin yang mulai sadar. Kami semua menunggu ia bercerita sendiri dan ketika kesadarannya sudah sepenuhnya pulih ia menangis.

“Aku kapok, wes ayo moleh”
(Aku kapok, sudahlah ayo pulang)
Kami semua yang berada didalam tenda hanya bisa saling pandang. Tidak mengerti dengan maksud perkataannya. Ketika salah satu senior bertanya kepadanya kapok kenapa, Udin kemudian menceritakan apa yang membuatnya kesurupan pada tadi subuh.
“Maeng bengi mari acara api unggun iku, kan aku balik tendo. Arep turu tapi kademen. Pas aku wes mapan arep turu, aku dibugah ambek mas emo. Lha aku ditawani ngombe ben anget. Aku dijak rodok adoh tekan tendo, terus mas emo ngetokno botol tekan jero jakete-
Ancen nek didelok tekan jobo iku koyok teh anget, tapi pas aku ngombe iku ternyata iku alkohol. Goblokku ancen malah akhire ngombene akeh, soale aku yo kademen. Terus gara gara kakean ngombe akhire antara sadar gak sadar aku balik ng tendo karo mas emo-
Mas emo langsung turu, sementara pas aku ate merem, aku delok sosok arek cilik wulune ireng, motone ombo mesem nang aku. De e iki ngetutno aku terus, sampek pas jelajah. Wes tak kongon ngalih nganti tak pisuhi yo gak gelem ngalih. Malah aku diwasno arek arek dikiro arek gendeng-
Puncake pas tutuk lapangan ndek air terjun, pas siraman banyu iku aku moro moro blank. Terus tangi tangi ndek kene”

(Tadi malam setelah acara api unggun, aku kembali ke tenda. Mau tidur tapi kedinginan. Waktu sudah di posisi mau tidur itu, aku dibangunin sama mas emo-
Aku ditawani minum biar tubuhku hangat.Aku diajak agak menjauh dari tenda, terus mas emo ngeluarin botol dari dalam jaketnya. Memang kalo dilihat dari luar kayak teh hangat, tapi pas aku minum ternyata itu alkohol. Bodohnya aku malah minumnya kebanyakan, soalnya aku kedinginan-
Terus setelah minum banyak jadi kesadaranku antara sadar dan tidak kemudian aku balik ke tenda dengan mas emo. Mas emo langsung tidur, sementara waktu aku mau merem, aku lihat sosok anak kecil berbulu hitam, bermata lebar tersenyum kearahku-
Dia ini ngikutin aku terus, sampai acara jelajah. Sudah tak suruh pergi sampai aku memakinya juga tidak mau pergi. Malah aku dilihatin teman temenku yang nganggap aku sudah gila.Puncaknya adalah ketika sampai di lapangan dekat air terjun waktu acara mandi itu tiba tiba aku blank-
Terus bangun bangun sudah disini)

Kami semua terdiam, terutama Mifta dan Gita yang sepertinya shock. Tak menyangka temannya, sahabatnya, Udin ternyata minum minuman keras. Entah karena emosi atau apa, mereka berdua pun langsung keluar tenda.
Nanda kusuruh untuk mengikuti mereka berdua, dan bila memungkinkan kusuruh untuk mencoba menenangkan. Tinggal aku dan Arian yang sama sama tidak bisa berkata apa apa.

Hingga akhirnya kami disuruh keluar tenda untuk berkemas kemas dan bersiap untuk pulang
Kami disuruh membongkar tenda karena acara persami sudah selesai. Sembari menunggu jemputan, kulihat Udin dan mas emo digandeng ikut masuk mobil bersama kakak pembina. Karena mereka dinilai telah melakukan kegiatan yang dilarang oleh sekolah dan acara persami itu sendiri.
Beberapa hari kemudian, ketika kami sudah kembali melaksanakan pembelajaran, aku baru tahu dari Gita bahwa Udin orang tuanya dipanggil ke sekolah dan ia di skorsing selama satu bulan karena perbuatannya. Pantas saja setelah giat persami dia tidak masuk sekolah seperti biasanya.
Sementara untuk mas emo, ia mendapat surat peringatan kedua dan yang terakhir karena apabila mas emo melanggar aturan sekolah lagi, ia akan dikeluarkan dari sekolah.
Semenjak saat itu, pertemanan kami sudah tidak sama lagi. Ke empat temanku sepertinya sudah hilang respect ke Udin karena mereka secara tidak langsung menjauhi Udin.

Sementara aku tetap sebangku bersamanya, meski kami juga sudah tidak banyak bicara lagi seperti dulu.
Sampai pada kenaikan kelas dimana Udin naik kelas ke 8D dan aku di 8B Dan di 8B itulah aku kemudian sebangku bersama Arian sampai nanti kelas 3 dan lulus dari sekolah.

Dan itulah pengalamanku waktu persami yang hingga kini masih terngiang ngiang dibenakku
Memang banyak kejadian diluar nalar yang kualami dan teman teman, namun dari situ juga aku mendapat banyak sekali pelajaran untuk lebih beretika ketika kita mengunjungi tempat yang belum pernah kita kunjungi.

Karena sejatinya kita hidup berdampingan dengan mereka.
Tak lupa saya ucapkan banyak banyak terimakasih kepada para pembaca. Serta memohon maaf karena harus menunggu ceritanya yang tidak langsung selesai karena memang lagi banyak urusan di kehidupan nyata.
Saya kunamus, sampai jumpa di cerita selanjutnya.

Selamat malam.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Kunamus~

Kunamus~ Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @nizaramadhan08

Jan 27, 2022
Tahun 2020 awal sebelum adanya pembatasan kegiatan publik secara nasional, aktivitas orang di Indonesia cenderung biasa-biasa saja.

Begitupun kehidupan perkuliahan, berjalan tatap muka seperti biasa. Kisah ini dialami oleh salah satu Mahasiswa di kampus ternama di Ibukota.
Sebut saja namanya Anton, Ia baru saja memasuki semester 3 perkuliahannya. Semester yang menurut saya sendiri adalah semester awal menuju kesibukan-kesibukan kampus sampai semester-semester berikutnya.
Read 67 tweets
Jan 5, 2022
Istidraj : Ketika Tuhan sudah tidak memperdulikan hambanya.

@bacahorror @threadhorror #bacahorror Image
Saat baru menginjak usia remaja, saya dulu pernah melihat suatu video di YouTube yang memperlihatkan seseorang yang sudah meninggal, kemudian didalam makamnya diperlihatkan bagaimana ia meronta-ronta dan berteriak meminta ampun kepada Tuhan atas segala perbuatannya semasa hidup
Video yang bikin saya susah tidur, mengingat backsound dari video tersebut juga memberi efek ngeri bagi yang mendengarnya

Namun ketika beranjak dewasa dengan segala macam fakta dan kebenaran, menunjukkan bahwa kebanyakan video video semacam itu hanyalah video palsu/hoax
Read 61 tweets
Nov 18, 2021
Cerita ini saya dapatkan ketika saya mendatangi acara Tahlil rutin tahunan alm. Mbah saya beberapa saat yg lalu

Sebut saja namanya Verdi. Ia adalah teman bermain saya saat berada dirumah mbah waktu masih kecil
Bekerja diluar pulau, membuatnya jarang sekali pulang ke kampung halamannya. Namun nasib kurang baik menimpanya, Ia diputus kerja oleh tempat kerjanya saat kasus C-19 masih ganas-ganasnya

Dan untungnya, tabungannya cukup untuk membuka sebuah usaha Roti bakar di dekat rumahnya
Read 143 tweets
Oct 14, 2021
Cerita ini akan jabarkan menurut penuturan pengalaman dari narasumber. Dimana narasumber ini merupakan salah satu juru kunci Gunung Penanggungan.

Untuk nama-nama orang di thread ini, akan saya samarkan atas permintaan privasi dari beliau
Pak Sutris, merupakan seorang juru kunci dan seorang juru rawat situs yg tinggal di kaki gunung Penanggungan.

Setiap hari, beliau selalu menerima tamu dan pengunjung dari berbagai daerah untuk sekedar nuwun sewu (permisi) ketika akan mendaki gunung penanggungan.
Read 102 tweets
Sep 14, 2021
Dalam thread ini akan saya ceritakan menurut sudut pandang saya dan teman saya, sebut saja namanya Putra (nama samaran)

Dan untuk lokasi rumah sendiri akan saya samarkan atas permintaan dari Putra sendiri. Bagi yang sudah mengetahui, harap disimpan masing masing
Tahun 2016, merupakan tahun dimana saya memberanikan diri untuk mencoba menjadi seorang pendaki gunung.

Bersama dengan rekan rekan yang lain, saya memulai pendakian pertama saya menuju gunung P****g**n di kabupaten M
Read 105 tweets
Sep 1, 2021
Urban Legend : Rumah Darmo

@bacahorror @threadhorror #bacahorror
Disclaimer :
Peristiwa ini saya alami sendiri bersama teman teman kuliah saya dan satu orang saksi narasumber lokal. Untuk nama nama teman saya, akan saya sebutkan nama sesungguhnya. Dan untuk narasumber, saya samarkan namanya atas dasar privasi
Dalam thread ini, akan saya lampirkan juga beberapa foto yang mungkin bagi sebagian orang yang memiliki indra keenam akan sensitif.

Dan atas pertimbangan bersama, foto foto tersebut bisa saya hapus sewaktu waktu apabila ada teman saya yang mengalami gangguan gaib
Read 62 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(