Tembok itu adalah sebagai pembatas antara makam Pandesari dengan halaman belakang KUA (Kantor Urusan Agama) kec. Pujon kab. Malang Jawa Timur.
Ada KUA kecamatan lainnya juga yang pemandangannya berupa makam, bahken lebih luas lagi,
yaitu KUA kec. Pagelaran yang pas view depannya adalah rumah masa depan Pagelaran, daerah Gondanglegi Malang selatan, masih kabupaten Malang.
Kenapa cenderung KUA selalu berdekatan bahken malah ini dempet mepet dengan makam ....?
Ya mungkin dulu pas dapet tanah untuk pembangunan kantornya emang adanya cuman itu, disitu aja ....
Heuheuheuheuheu.
Ya lumayan agak merinding disco sih pas kalau ada yang ketinggalan di kantor pas malem-malem, mengharusken kita dateng kesana ... semriwiiing semriwing ...!
Pasti ada sensasi sensasi uniknya dengan hawa makam di malem hari ... hihihihihihi.
(Coba aja, anggap aja jurit malem dulu saat ada kegiatan Pramuka).
Di samping tembok itu, tumbuh subur pohon nangka, pohon katés (pepaya), & pohon pisang kerdil yang buahnya berbuah tanpa henti ...
Akan ada, ada, ada & adaaaa terus ...
Kenapa berbuah terus?
Ya karena rabuk atau pupuk dari makam tersebut selalu ada ... selalu tersedia mensuplai semua tanaman buah yang ada dalam tembok pagar KUA... jadilah subur tanahnya .... gembur, bagus buat pertumbuhan tanamannya.
& buahnya saat matang ... dinikmati ramai-ramai oleh siapa saja para penghuni KUA, baik juga oleh para tamu yang datang saat ada keperluan di kantor.
"Sssttt ..."
"Apa?"
"Di dalam pagar tembok KUA ini, sebenernya ada juga kuburannya, entah siapa itu."
"Masa? Mana?"
"Itu, yang di bawah tanaman yang subur itu ... dibawah pohon pepaya & rerimbunan pohong (ketela pohon)."
"Ah, yang bener ...?"
"Iya, kayaknya pas kasus yang ramai-ramai petrus dulu ... di bungkus glangsi ditaruh situ"
"Uwaduh!"
"Ya! Mayat tanpa nama"
----------------------------------------------
Curah hujan tertinggi, hingga hawanya paling dingin ....
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Dulu, dirumahnya Nenek Kakek ku yang di desa Pangganglele, ada tumbuh bambu kuning bergerumbul... sebelumnya gapura kemerdekaan 1945, jalan yang mau masuk ke pelataran rumah.
Kirinya jalan tanah, ada pagar tanaman hijau tua yang sangat disukai bekicot itu...
La...tepat di ladang yang agak meninggi...tanah disitu...? ada gerumbulan pohon bambu kuningnya.
"Kok ladang di depan sini ditanemin bambu kuning Kek?"
Entah kenapa mimpi basahku selesai, pas bersamaan pula dengan selesainya istirahat tidurku saat adzan subuh Pak War berkumandang...?
Kedua mataku terbuka dan langsung bangun beranjak menuju kamar kecil untuk mengambil air wudhu.
(eit eit eittttt...lo, lo...itu...itu, judulnya mimpi basah h h h h...? lo... kok langsung wudhu? hayooo...gak mandi besar duluuuuu......ta? mandi junub kek?)
Seringkali kita denger peribahasa, “Dunia tak selebar daun Kelor.”
"Apa maksudnya...?"
Bahwa itu menasehatkan pada kita, agar tidak cepat putus asa dalam menghadapi suatu keadaan atau kegagalan, karena masih banyak pilihan lain (karena daunnya kélor kecil²).
Untuk contohnya, silahken di isi sendiri² di kolom koment ya...? kalau mau loh...heuheuheuheu.
Inilah tanah yang kuceritaken pada kisah Santet 1 & 2 (behind the scene Santhet).
Tanah yang sudah terjual kapling² ngan pada seluruhnya...
Dengan luas tanah seperempat hektar.
Tetapi tidak ada yang berani melanjutken pembangunan rumah² nya.
Padahal sudah ada pondasi...
Sudah ada jembatan kecilnya juga...
Bahken sudah terbangun rumahnya juga...tapi keburu meninggal yang mbangun & para tukang beserta kulinya padha lari ketakutan.
"Ngapain kau...?" Tanya mbah penunggu tanah saat ada yang mendiriken bangunan.
-MAYAT DITENGAH JALAN LADANG-
"Mbah Sutinah bisa nyembuhkan bapakku tah!?" dengan mata melotot, "atau jangan² mbah ya yang menyantet bapakku...?! Hayo ngaku aja mbah?!"
Aku mayat yang tergeletak bersimbah darah di tengah jalan tanah menuju ke ladang.
Leherku penuh lelehan merah & telinga sebelah kananku juga ilang mencelat entah kemana disabet parang....
Begini ceritanya,
Hari itu aku lagi mencari rumput buat empat ekor kambing di rumah.
Pagi² sekali aku berangkat keluar rumah dengan tangan kananku menggenggam sebilah clurit yang kemaren malam sudah ku asah hingga sekarang nampak mengkilap.
-LELE JADI-JADIAN-
Lele itu berenang berputar-putar di wajan yang penuh minyak.
Hidup kembali seperti lele kebanyakan. Tubuhnya tidak melepuh ataupun garing tergoreng minyak yang mendidih!
Kuceritakan kepadamu perihal lele jadi-jadian di tempatku. Pastilah kau akan menertawakannya, karena kau anggap ceritaku ini sebagai omong kosong belaka.
Tapi, coba dengarkan saja dulu, percaya atau tidak, itu persepsi masing-masing orang. Boleh percaya atau tidak, karena terkadang hal-hal absurd itu memang benar-benar ada.