Pukul 11 malam kami melakukan pencarian dipimpin langsung pak Salundik. Ia membawa perlengkapan ritual dari rumah dan mandau mantikei tadi ia simpan di sana.
Sebagai seorang kekasih, aku sangat khawatir dengan keadaan Serunai. Entah ia ada dimana di saat malam seperti ini.
Karna itu aku bertekad habis-habisan ikut melakukan pencarian, meski nyawa jadi taruhan.
Titik pencarian diawali dari sungai tempat menghilangnya Sarunai dan Agau. Aku tergopoh membawa parapen milik pak Salundik, semacam tungku untuk membakar kemenyan atau kayu gaharu.
Begitu menginjakkan kaki di pinggir sungai, bulu kudukku langsung merinding. Meski ada belasan orang yang berkumpul, sungai ini tetap terasa mencekam.
Bila siang hari, sungai ini begitu indah, sejuk dan asri.
Namun di saat malam, sungai ini berubah jadi angker. Hanya ada suara gemericik air dan gemuruh air terjun di balik kegelapan. Apalagi saat kabut tipis menutupi badan sungai, rasanya benar-benar berada di lokasi film horor.
Pak Salundik tidak memakai baju, hanya celana panjang yang ia kenakan. Dinginnya angin malam tidak ia hiraukan. Di pinggangnya terselip dohong, sebuah pisau yang terbuat dari mata tombak.
Tubuhnya telah ia garisi dengan olesan kapur sirih di pipi, lengan, dada dan perut.
Kepalanya terikat kain putih berhiaskan manik-manik dengan tiga untai kemirincing di kiri kanan.
Kalau tidak salah, untaian kemerincing menunjukkan tingkat kemampuan seorang balian dalam dalam dunia spiritual.
Tertinggi adalah lima untai, dimana sangat jarang ditemukan saat ini.
Di pinggir sungai, pak Salundik telah siap melakukan ritual nyuhukan kambe. Ritual untuk mencari orang yang disembunyikan mahluk halus.
Melihat pak Salundik saat ini, aku teringat orang-orang indian di film koboi. Gelang dadas, gelang yang terbuat dari tembaga ia kenakan di kedua lengan.
Menghadap sungai, pak Salundik membakar gayu gaharu. Aroma wangi segera menyeruak, menyebar ke segala penjuru sungai.
Pak Salundik kemudian batandak, yaitu membaca doa-doa dengan cara dilantunkan.
Suasana mistis langsung terasa, seakan tempat ini telah dikelilingi oleh banyak arwah. Doa-doa dalam bahasa Dayak kuno yang dilantunkan pak Salundik terdengar menghanyutkan.
Angin mulai berembus pelan, menggoyang ranting dan dedaunan. Sembari batandak, pak Salundik memercikan dua gelas tuak baram ke sungai, melempar beras kuning dan menghanyutkan sebutir telur ayam kampung.
Terakhir, pak Salundik menyembelih seekor ayam merah menggunakan dohong tadi
Darah ayam yang mengucur ia teteskan ke air yang mengalir. Sambil terus melantunkan doa, pak Salundik lalu berjalan ke tengah sungai dan meletakkan bangkai ayam di atas batu yang menonjol.
Aku yang pertama kali melihat ritual itu hanya bisa menelan ludah.
Warga yang berdiri di pinggir sungai juga terlihat tegang.
Pak Salundik berdiri di tengah sungai, air menenggelamkan tubuhnya hingga paha. Mulutnya telah berhenti melantunkan doa, ia hanya menatap lurus ke arah hulu.
Pak Salundik menggerakkan tangannya ke udara, mengeluarkan bunyi teratur dari gelang dadas yang ia kenakan. Kami yang berdiri di tepi sungai semakin tegang, sewaktu pak Salundik mulai malahap, yaitu teriakan khas suku dayak.
"Uuuuuuululululululuuuu...."
Suara pak Salundik menggema di tengah balantara, seperti ada yang menyahut. Suaranya menelusup di antara gemericik air dan gesekan dedaunan. Setelah tiga kali malahap, suara pak Salundik berubah seperti dengungan ribuan lebah.
"Ooooooooooooo..."
Suara gemerincing gelang dadas semakin nyaring dan teratur, seiring gerakan pak Salundik yang seperti orang menari di tengah sungai.
Gooong...gooong...
Tiga orang warga memukul kangkanung, semacam gong tapi berukuran kecil.
Konon, suara kangkanung sebagai petunjuk bagi orang yang tersesat di hutan untuk kembali ke dunia manusia.
Suara dengungan pak Salundik, gelang dadas dan kangkanung semakin lama semakin berirama.
Menyatu dan menggema ke segala penjuru sungai, menyebar ke belantara dan menelusup di antara pucuk pucuk pohon.
Dari daerah hulu, terdengar suara gemuruh air yang semakin lama terdengar semakin dekat. Kuarahkan senter, benar saja.
Ada air menggulung yang siap menghantam pak Salundik yang berdiri di tengah sungai.
Aku yang panik hanya bisa pasrah, entah apa yang akan terjadi.
Gelombang air yang deras menerjang pak Salundik sebatas dada, menyapu bangkai ayam di atas batu. Waktu berlalu, air yang menerjang berangsur tenang, hanya tersisa pak Salundik yang kelelahan.
Dengan tubuh yang basah, pak Salundik melangkah ke tepi sungai.
Kuulurkan tangan, membantunya mencapai pinggiran yang kokoh.
"Pukul terus!" perintahnya.
Kangkanung kembali bergema di kesunyian malam, memberi petunjuk bagi Agau dan Bawi agar bisa kembali.
"Di sana!"
Pukulan kangkanung langsung berhenti. Seorang warga menunjuk ke atas pohon yang bergoyang-goyang di seberang sungai. Cahaya senter serentak menyorot ke arah situ.
Ternyata ada anak kecil duduk di atas dahan, memperhatikan kami.
Anak kecil yang tadi, yang menghadang motorku ternyata si Agau.
Di atas pohon, Agau tertawa mengakak. Tertawa khas anak kecil, tapi terdengar mengerikan. Apalagi matanya yang hanya hitam sempurna, membuat siapa pun yang melihat langsung merasa seram.
Pak Salundik menatap Agau di kejauhan, sepertinya membaca mantra. Agau lantas melompat dari dahan ke dahan seperti monyet, lalu mendarat di atas tanah. Ia kemudian merangkak ke pingir sungai, melompat dari batu ke batu bagai katak.
Agau berhenti di atas batu di depan kami, lalu berdiri. Ia hanya melempar senyum misterius, lalu melompat ke semak seraya tertawa.
"Kejar!" perintah pambakal.
"Tahan!" Sela pak Pak Salundik.
Warga yang siap mengejar terheran-heran, saling pandang dengan raut wajah bingung.
"Percuma dikejar, tidak akan tertangkap. Mereka ada di telaga jimat," lanjut pak Salundik.
*****
Keriuhan terjadi karena beberapa orang warga menolak ikut ke telaga jimat. Beberapa orang memilih pulang dengan alasan takut diganggungu penunggu telaga jimat.
Sebagian lagi beralasan karena malam semakut larut, tidak bisa meninggalkan anak dan istri sendirian di rumah.
Pambakal Bahat tidak bisa memaksa, hanya tersisa 8 orang yang bersedia ikut ke telaga jimat.
Berjalan kaki melalui jalan pintas, kami berduyun-duyun menuju telaga jimat melewati hutan lebat.
Motor saat itu memang minim dimiliki orang desa, karena masih termasuk barang mewah. Apalagi sebagian besar penduduk hidupnya pas-pasan.
20 menit berlalu, akhirnya kami semakin dekat dengan telaga jimat. Anehnya, kami langsung disambut berbagai suara berbagai hewan malam. Tidak hanya suara burung hantu, suara burung gagak pun mulai terdengar mengikuti di belakang.
"Jangan menoleh, lihat ke depan saja," tegur pak Salundik.
Teguran pak Salundik ternyata membuat kami yang berjalan di belakang semakin gelisah. Kami sadar ada yang tidak beres, saat di pucuk-pucuk pohon terdengar suara burung berkicau.
Sungguh tidak wajar, karena burung berkicau biasanya terdengar pagi hari. Tiga orang warga yang paling belakang mendadak berjalan ke depan terburu-buru. Mereka berdesak-desakan menyusuri jalan setapak yang sempit, hingga kini posisiku yang berada paling belakang.
Bulu kudukku langsung merinding, saat sadar apa yang mereka takutkan. Persis di belakangku, ada suara anak ayam yang mengikuti. Konon, suara anak ayam saat malam hari pertanda kehadiran kuntilanak.
"Kasno, jangan menoleh ke belakang. Jangan dikuya!" teriak pak Salundik dari depan.
Aku bergidik ngeri, saat merasa ada yang memegang tengkukku. Benar-benar dingin hingga batang leherku terasa beku.
Aku terus berdzikir dalam hati dan pegangan di leherku langsung hilang, saat di depan mulai terlihat jalan utama antar desa.
Sayup-sayup terdengar suara tangis anak kecil sewaktu kaki kami melangkah di jalan besar. Senter kami sorotkan ke sana kemari, mencari sumber suara.
Di bawah pohon besar di samping sandung, seorang bocah kecil terlihat duduk meringkuk.
"Agau!" seru pak Salundik lantang.
Ia berlari kencang menghampiri sang anak. Bocah kecil itu tiba-tiba melompat, menerkam pak Salundik.
Jari-jari kecilnya mencengkik leher pak Salundik sangat kencang, hingga orang tua itu menggelepar kehilangan nafas.
Kami yang panik langsung berhamburan, menarik lengan bocah itu. Tidak disangka, tenaga bocah kecil itu lebih kuat dari dugaan kami.
Meski lima orang menarik tangannya, bocah itu tetap kokoh mencekik leher pak Salundik.
Agau memang sudah kesetanan. Matanya melotot dan giginya bergemulutuk penuh amarah.
Entah mahluk apa yang bersarang di tubuhnya, bocah kecil itu sepertinya sangat bernafsu untuk membunuh sang ayah.
Terbaring di atas rerumputan, pak Salundik semakin tidak berdaya. Lehernya mulai berdarah akibat tusukan kuku Agau yang menembus kulit.
Terbujur kaku, Pak Salundik melotot meregang nyawa.
....berkentang...
Sampai Jumpa Malam Senen ya 😄
Yang ingin sekedar mendukung atau tidak sabar ingin tahu nasib pak Salundik, bisa dukung saya di @karyakarsa_id udah samper part 13-14. Makasih, tabe 🙏
"Ritual Pesugihan Sate Gagak di Makam Massal Korban Kerusuhan"
Sebuah kisah dari seorang kawan yang kini mendekam di penjara.
@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR
#bacahoror #threadhoror #ceritaserem #malamjumat
-Bismillah, kita mulai...
30 menit menuju pukul 12 malam, kami berlima harap-harap cemas. Sejak magrib, kami memang berkumpul di sini, di komplek kuburan massal korban peristiwa berdarah belasan tahun silam.
Semakin malam, udara terasa semakin dingin, sementara suara serangga, burung hantu dan hewan-hewan malam semakin riuh. Pohon-pohon yang mengelilingi kumpulan nisan tanpa nama ini bergoyang pelan tertiup angin, membuat suasana malam ini terasa semakin meresahkan.
Pak Wardoyo tersungkur bersimbah darah. Pinggangnya robek dengan luka mengangga. Ia menjerit kesakitan lalu terguling ke sungai. Ternyata Galih telah datang dengan sebuah mandau. Ia mengibas mandau ke sana kemari membuat yang lain gelabakan.
“Dibyo, lari!!!”
Galih menarik lenganku, kami berdua lantas berlompatan di atas batu, meninggalkan mereka yang terbengong di belakang. Sesampainya di pinggir sungai, kami berdua berlari sekencangnya hingga keringat membasahi tubuh.
Sontak kami menjadi kaget mendengar apa yang diucapkan oleh Retno. Terlebih lagi bu Lastri dan Pak Wardoyo, mereka benar-benar kebingungan. Mereka bersikeras bahwa baru pertama kali ke Kalimantan dan selama ini tak tahu keberadaan Retno dimana.
Semua menjadi jelas tatkala Retno menceritakan apa yang telah terjadi sebenarnya. Kala itu baru seketar enam bulan Retno berada di pedalaman Kalimantan dan bekerja di sebuah Bank milik pemda.
Bilah mandau melesat di samping, menggores pelipis dan membelah kuping kananku jadi dua.
Aku menjerit sejadinya hingga suaraku serak. Rasa perih terasa menjalar ke seluruh badan. Hampir saja aku terkena serangan jantung demi melihat darah membasahi pipi, leher, dan baju.
Rupanya pak Wardoyo berhasil menarik lenganku, sepersekian detik sebelum mandau melibas kepala dan mengeluarkan isinya.
Mandau hanya menghujam tanah persis di samping kepala, mengiris kuping jadi dua. Berhasil berdiri, aku gelabakan menjauh sambil memegang kuping yang terbelah.