Waktunya cuap-cuap soal #Agile. Begitu lamanya tidak bicara soal Agile, kadang malu sendiri pasang "Praktisi Agile" di bio. Bukan saya tidak mau, tapi karena saya sempat terjebak rutinitas sehingga tidak banyak yang bisa diceritakan. Kali ini, kita bicara soal komunikasi.
Kita mulai dari akarnya: Manifesto Agile. Di situ, 2 dari 4 pernyataannya terkait erat dengan komunikasi, yaitu "interaction" dan "collaboration". Sayangnya banyak orang lebih fokus pada "working software" dan "responding to change". Itu salah satu alasan Agile menjadi fragile.
Kadang fokus terhadap software dan responsiveness bukan hanya "lebih", tapi HANYA. Ada orang-orang yang melihat Agile sebagai cara kerja yang mengutamakan value dan merespons perubahan demi memaksimalkan value itu. Itu salah satu alasan Agile berubah menjadi chaotic.
Komunikasi adalah elemen penting yang sering terlupakan. Bayangkan kolaborasi atau interaksi yang tidak didukung komunikasi yang baik. Sudah pasti tidak akan optimal, kan? Kalau kolaborasi/interaksi tidak optimal, Agile sudah pasti tidak optimal atau sebaliknya menjadi beban.
Komunikasi dalam Agile menjadi penting di semua sisi. Komunikasi antara pengguna itu penting untuk mewujudkan tujuan produk yang mengakomodir kebutuhan semua pihak sesuai prioritas bersama. Komunikasi antara pengembang juga penting untuk menyelaraskan hasil kerja satu sama lain.
Komunikasi antara kedua pihak yang (sering) berseberangan, yaitu pengguna dan pengembang, juga penting. Komunikasi itu menjadi fondasi kolaborasi yang efektif. Di situ ditentukan kompromi antara value yang ingin diperoleh pengguna dengan value yang dapat diwujudkan pengembang.
Jelas, bukan, kalau komunikasi yang baik itu sangat penting dalam penerapan Agile? Saya yakin hal itu mudah dipahami dan disepakati. Apalagi di balik Manifesto Agile, prinsip-prinsipnya juga tidak lepas dari pentingnya komunikasi. Masih ingat face-to-face conversation?
Prinsip yang paling terang menggambarkan pentingnya komunikasi adalah: "The most efficient and effective method of conveying information to and within a development team is face-to-face conversation." Di situ ada kata-kata "to and within" yang merepresentasikan ...
... kolaborasi (to) dan interaksi (within). Lagi-lagi ditekankan bahwa komunikasi itu penting.
Contoh lain adalah "Welcome changing requirements, even late in development," karena perubahan itu bisa menjadi kunci keunggulan produk. Sederhana, kan? Tidak, karena di balik itu ada tantangan bagi pengguna untuk menyampaikan perubahan dan tantangan bagi ...
... pengembang untuk menerima, lalu menindaklanjuti perubahan yang disampaikan. Komunikasi berperan penting agar perubahan itu dapat diwujudkan sesuai harapan.
Saya sering lihat pengguna yang menyampaikan perubahan seperti halnya pesulap yang mengucapkan, "Abrakadabra!" Alih-alih memahami umpan balik dari pengembang, mendengarkan pengembang juga tidak. Komunikasi hanya berjalan satu arah dari pengguna ke pengembang.
Tidak kalah sering saya melihat pengembang yang "siap" menerima perubahan, tapi tidak benar-benar siap mewujudkannya. Mau merespons, takut dibilang beralasan. Akhirnya memutuskan untuk menerima dan mengerjakan sebisanya walaupun mereka tidak paham nilai tambah dari perubahan itu.
Buruknya komunikasi menyebabkan pekerjaan menjadi tidak terarah sesuai harapan. Kalau ruang lingkup sesuai harapan, waktu dan sumber daya meleset. Hal yang sama berlaku untuk constraint yang lain. Ada saja yang meleset. Yang lebih parah justru value yang diharapkan juga meleset.
Cukup jelas bahwa salah satu PR besar dalam Agile adalah membangun keterampilan dan media komunikasi yang efektif. Budaya berinteraksi dan berkolaborasi harus benar-benar diperhatikan, bukan hanya tools-nya saja. Tidak ada gunanya tools yang mewah tanpa keterampilan yang cukup.
Dalam konteks Pemerintah Tangkas (#Rinkas), PR-nya mungkin lebih rumit lagi karena kita harus berhadapan dengan hierarki. Selain itu, sekat antara unit kerja juga kerap menjadi hambatan dalam berkolaborasi secara efektif. Hierarki dan sekat birokrasi itu yang perlu didobrak.
Untuk membahas semua itu secara mendalam, tentu tidak cukup dengan sebuah utas. Yang perlu ditekankan untuk saat ini adalah komunikasi itu penting dan menjadi fondasi penerapan Agile. Membentuk keterampilan komunikasi yang efektif adalah jalan menuju penerapan Agile yang optimal.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Nyambung, ah. Film My Son cukup layak tonton. Ketegangannya terasa, tapi efek dari McAvoy tidak baca naskah sebelum akting tidak terlalu terasa. Aktor jago, sih, ya. Respons instan atau telah disiapkan sebelumnya sama-sama terasa riil. Mungkin juga saya yang tidak paham. 😅
Sayang plotnya terlalu singkat. Ada banyak potensi plot yang lebih luas, tapi kelihatannya sengaja ditahan. Entah apa alasannya. Yang jelas, selesai menonton film itu, saya tidak merasa ceritanya menggantung, tapi tetap penasaran dengan beberapa bagian yang tidak diperdalam.
Omong-omong soal James McAvoy, saya mulai suka aktor itu sejak saya menonton Split. Menurut saya, cara dia memerankan tokoh dengan kepribadian ganda di Split memang luar biasa. Alasannya karena kepribadian ganda yang diperankan cukup banyak dan karakter masing-masing cukup unik.
Lahir dan dibesarkan dalam keluarga dengan kondisi ekonomi pas-pasan, lalu belajar untuk hidup hemat. Seiring waktu rejeki bertambah luas, tapi kebiasaan hemat tetap ada. Harta ekstra tersedia, tapi tetap enggan mengeluarkan uang.
Ada? Ada, dong. Contohnya, ya, saya. 😅
Untungnya kebiasaan berhemat itu tidak berubah menjadi pelit. Saya berhasil mengubah pola pikir saya untuk tidak melihat rejeki dari sudut pandang yang sempit. Bukan berarti royal, tapi seimbang. Rejeki tetap bisa dinikmati dengan cara yang tidak berlebihan. Kuncinya: anggaran.
Anggaran bulanan itu pada intinya perlu dibagi 2: sekarang dan masa depan. Mulai dari kebutuhan hidup, lanjutkan dengan target di masa depan, lalu sisakan sedikit untuk kita nikmati. Itu yang rutin saya lakukan setiap bulan.
Omong-omong, orang yang terjebak utang karena terpaksa itu tidak sedikit. Saya juga sempat melihat sendiri orang-orang dalam kondisi seperti itu. Salah satu yang membuat miris adalah orang-orang yang terpaksa berutang karena tekanan sosial.
Contohnya di sebuah kampung (atau dusun?), saya melihat sendiri orang berutang untuk merayakan sunatan anaknya. Perayaannya luar biasa: pasang tenda dan panggung, siapkan makanan untuk puluhan warga sekitar, siapkan sesajen untuk beberapa tempat, dll. Berat betul urusannya.
Perayaan itu dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Kalau tidak dilakukan, siap-siap menjadi bahan nyinyir warga lainnya. Kita bisa saja bilang, "cuek saja!" Masalahnya untuk cuek saat SEMUA orang menatap dengan tatapan merendahkan itu tidak mudah. Ya, kan?
Tadi sempat nonton film indie berjudul Puan (2018). Film itu bercerita tentang seorang wanita penyintas kekerasan seksual. Fokusnya pada dampak negatif peristiwa buruk itu terhadap korban yang terus menghantui korban tanpa henti.
Film-film seperti Puan itu mengingatkan saya akan besarnya risiko menjadi perempuan di masyarakat. Risiko yang sama juga dirasakan oleh para orang tua yang memiliki anak perempuan seperti saya. Film itu juga memperlihatkan bahwa risiko itu ada sejak dini, tidak menunggu remaja.
Ada 2 hal yang saya lakukan untuk meminimalkan risiko itu: (1) Saya ceritakan ke si Kecil Lucu soal "bahaya" yang ada di luar sana. (2) Saya membuka diri saya agar si Kecil Lucu mau bercerita soal kesehariannya.