Shankara Anggita Profile picture
Jun 25, 2022 239 tweets >60 min read Read on X
"PAHING"

-HORROR THREAD-

@bacahorror #bacahorror Image
Tadi sore, aku baru saja pergi ke rumah Mbah Dok. Aku melihat beberapa orang tengah sibuk membersihkan sebuah bangunan yang sudah terlihat usang.
Bangunan itu berada persis di perengan bawah rumah Mbah Dok.
Aku tersenyum tipis tatkala pandanganku melihat seorang anak kecil tengah asyik sendirian di pojok bangunan itu. Membuatku mengingat sebuah kisah yang sudah lama sekali terjadi.
_______________
"Pahing, yo Mak," kata seorang lelaki yg tangannya tengah mencopot caping dari kepalanya untuk digunakannya berkipas. Peluh membasahi seluruh tubuhnya yang masih terlihat bagus diusianya saat ini. Memperlihatkan betapa kerasnya ia bergelut di sawah setiap harinya.
“Iyoo iki, Pak. La iki aku ameh medun nang Mbelik,” (Iya ini, Pak. Ini aku mau turun ke mata air). Jawab seorang wanita yang tengah memegang nampan berisi penuh jajanan pasar beserta tetek bengeknya. Sajen.
Lelaki itu bernama Prayit. Sedangkan wanita itu bernama Iyah. Dimana kalian biasa mendengar mereka dengan sebutan Mbah Nang dan Mbah Dok dariku.
Mereka adalah dua insan yang selama ini membuatku paham akan adab, budaya, adat istiadat dan bagaimana cara mengahargai alam beserta seluruh isinya.
Aku tau bahwa sebagaian orang akan mengatakan musyrik ketika melihat kebiasan orang di kampungku yang masih kental adatnya. Karena warga di kampungku, termasuk Mbah Nang dan Mbak Dok terbiasa memberikan sajen di sebuah tempat yang mereka yakini itu perlu.
Untuk hal ini, bukankan bijak untuk kita semua menghargai adat istiadat, kepercayaan dan keimanan masing-masing? Bismillahirohmanirrohim. Asyhadualla Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.
Mbah Nang pernah berkata, “ Awak ndewe iku ora urip dewean, Nduk Cah Ayu. Sajen iku ora diniati gawe nyenyuwun. Tapi gawe ngekei utawa ujud ngreganine dewe marang alam sak isine.”
(Kita itu tidak hidup sendirian, Nak. Sajen itu tidak diniatkan untuk meminta sesuatu. Tapi merupakan wujud menghargai kita kepada alam seisinya.)
"Eling, Nduk. Sopo siro kang gawe becik, ora wurung mbenjang manggih arja, tekeng saturun-turune. Becik iku ora lamung marang manungso, tapi marang kabeh ciptaane Gusti."
(Ingat, Nak. Siapa saja yang berbuat baik, pada akhirnya akan menemukan kesejahteraan hingga anak cucunya. Baik itu tidak hanya kepada manusia, tapi kepada semua ciptaan Tuhan yang esa.)
Aku yang mendengar penjelasan Mbah Dok saat itu hanya mangut-mangut. Menandakan bahwa aku mencoba mencerna dan menerima maksud Simbah.
"Yowis wiss saiki ndang papung wis yahmene hlo. Ngko nak kesoren gak ono uwong adus ning Mbelik,” (Yasudah sudahh sekarang buruan mandi sudah jam segini hlo. Nanti kalau kesorean tidak ada orang yang mandi di Mbelik) kata Mbah Iyah yang juga berniat ke Mbelik saat itu.
“Nggih Mbah,” jawabku yang langsung ngibrit lari mengambil handuk dan siwur di belakang. Lalu segera berlari menyusul langkah Mbah Dok yang sudah lebih dahulu menuju ke Mbelik.
Dulu, di kampungku masih jarang sekali rumah yang memiliki kamar mandi pribadi. Jadi sudah maklum adanya ketika banyak orang mandi di mata air yang biasa kami sebut Mbelik ini.
Lokasinya berada di pojok bawah kampung. Berbatasan langsung dengan kebonan yang mirip dengan alas. Dengan pohon-pohon besar yang rindang dihiasi dengan sulur-sulur yang membuatnya terkesan rungkut. Membuat siapa saja akan berpikir dua kali untuk mandi sendirian di sana.
Ada dua kemungkinan orang takut untuk mandi sendirian di sana. Alasan pertama, beberapa orang takut jika apesnya mereka akan dicaplok ular. Sedangkan alasan kedua, mereka takut bilamana kejadian "Digondol" akan menimpa mereka.
Sialnya, hari itu aku ke mata air itu selepas ashar. Dimana beberapa orang memilih mengurungkan niat mereka untuk pergi ke Mbelik tatkala sandekala sudah datang.
Ternyata bukan lagi keburu kesorean Mbah, tapi sudah kesorean. Batinku dalam hati sambil cengar cengir sendiri.
Ku garuk tengkukku yang tidak terasa gatal. Hanya saja aku bingung, sore ini hawa dingin sudah mulai menusuk hingga ke dalam kulit. Berat rasanya aku harus menyiramkan air ini ke seluruh tubuhku. Bukankah aku akan menggigil kedinginan setelah ini?
Kulirik Mbah Dok masih berada pada tempatnya. Masih duduk bersimpuh di sebuah tempat khusus yang berada di pojokan bangunan Mbelik ini. Beliau masih sibuk menata sesajen agar tersusun rapi dan mencoba menghidupkan beberapa dupa juga kemenyan.
Ahhhhh kalau saja Mbah Dok tidak di sini, tentu aku akan berpura² telah menyelesaikan ritual mandiku dengan hanya membasahi wajah dan berganti pakaian. Tapi aku juga tidak berani ditinggal saat itu. Karena hari sudah mulai gelap. Dan Mbelik ini tidak memiliki satu penerangan pun.
Jadi mau tak mau segera kuarahkan siwurku ke dalam tampungan air di Mbelik ini. Lalu kuguyur tubuhku dengan dinginnya air sore itu. Beeeurrrrrrr dingin sekali.
Sekilas kulihat anak kecil disebrang juga menggigil kedinginan. Wajahnya yang pucat dan bibirnya yang ungu menggambarkan seberapa dinginnya sore itu. Dia meringkuk di pojok dekat posisi Mbah Dok bersimpuh.
Ehhh sebentar? Anak kecil? Seketika kuhentikan tanganku yang memegang siwur tepat di atas kepalaku. Bukankah tidak ada orang selain aku dan Mbah Dok sedari tadi? Lalu siapa anak itu?
Perlahan dengan was-was ku gerakan kepalaku ke arah posisi terakhir kulihat anak itu. Tapi tidak ada. Hanya ada Mbah Dok yang masih berusaha menghidupkan menyan dengan korek jress yang terus gagal. Mungkin karena basah.
Jadi kubiarkan saja. Mungkin tadi aku salah lihat. Jadi segera kuselesaikan ritual mandiku dan bergegas melilitkan jarit kering ke tubuhku.
"Sampun dereng, Mbah?" (Sudah belum Mbah?) tepat ketika kalimat tanyaku terucap. Korek itu berhasil hidup dan membuat Mbah Dok juga berhasil menyelesaikan kegiatannya sore itu.
"Uwis, Nduk. Wis ayo, ndang mulih. Wis mulai grimis iki yoan," Kata Mbah Dok yang terlihat cemas.
(Sudah, Nak. Sudah, ayo buruan pulang. Sudah mulai gerimis juga ini).
"Nggih monggo, Mbah," ujarku mempersilahkan Mbah Dok agar berjalan lebih dahulu di depanku.
"Oraaa .. Siro ndikik. Ndang, cepet !" (Tidak, kamu dulu. Buruan, cepat !" kata Mbah Dok yang mempersilakan aku berjalan di depannya. Tangannya berada di punggungku. Kurasakan ada sedikit dorongan menandakan agar aku menambah kecepatan langkahku.
Saya lanjut lain hari nggih.. saya tidak kuat mata saya sudah kantuk sedari tadi
Aku yang merasa tak ingin basah kuyup karena hujan juga segera mempercepat langkahku. Namun, kurasakan langkahku semakin berat dan berat saja. Kulihat sandalku sudah di penuhi lendut yang berasal dari jalanan yang masih berbentuk tanah saat itu.
"Wis di cangking wae. Lek ndang mlaku cepet, Nduk." (Sudah ditenteng saja. Buruan jalan cepat, Nak) kata Mbah Dok yang tidak bisa menyembunyikan rasa takut di wajahnya.
Aku yang mulai memahami ada yang janggal segera mencopot sandalku untuk kutenteng saja. Kupercepat langkah kakiku dengan mata mengedar ke beberapa sudut. Mencoba mencari tau apa yang membuat Mbah Dok terlihat was-was.
Hingga akhirnya kami tiba di rumah. Mbah Dok segera menyuruhku masuk dan segera mengunci pintu secepat mungkin. Jederrrr. Suara pintu yang terbuat dari pintu jati kuno ketika berbenturan dengan kusen.
"Yongopo to Mak kok kesusu ki?!"
(Ada apa si Mak kok terburu-buru begitu?!) suara Mbah Nang yang terlihat kaget. Mbah Nang tidak suka jika ada orang yang menimbulkan suara mengagetkan apalagi suaranya lumayan keras.
"Oraa .. ora .. orapopo Pak," (Nggak .. nggak .. nggakpapa, Pak) kata Mbah Dok yang terlihat aneh seperti mencoba menyembunyikan sesuatu.
Mbah Nang yang melihat reaksi Mbah Dok langsung berdiri dan berjalan ke arah pintu. Matanya seperti menerawang sesuatu yang berada di balik pintu itu.
"Owalahh dayoh e teko ..." (Owalah tamunya datang) kata Mbah Nang yang seperti sudah paham dengan apa yang ada saat itu. Sedangkan Mbah Dok terlihat semakin takut.
Aku sudah terbiasa melihat Mbah Dok yang lebih penakut dariku. Berbanding balik dengan Mbah Nang yang terlihat santai saja melihat "mereka" yang memang entah kenapa selalu saja datang.
Saat itu aku jadi penasaran. Siapa tamu yang dimaksud Mbah Nang? Kenapa sekilas kulihat Mbah Nang tersenyum tipis.
"Wis, kono do wisuh. Bariki kancani aku nong kamar koyok biasane. Dayohe wis teko," (Sudah, kalian cuci kakilah. Setelah ini temani aku di kamar seperti biasa. Tamunya sudah datang) tegas Mbah Nang.
"Eee eeee ee dayohe teko ehekkhekhekk .." (Eee tamunya datang ehekhekhekk) kekeh Mbah Nang yang lebih dahulu masuk ke bilik kamarnya. Membuatku semakin penasaran, siapa lagi yang datang kali ini?
Mbah Dok yang terlihat gugup mencoba berbicara kepadaku. "Nduk, cah ayu, bariki bibar adzan Magrib. Moro o nang Mbah Sarbani yo?" (Nak, setelah adzan Magrib. Datanglah ke Mbah Sarbani ya?)
Mbah Sarbani itu adalah salah satu sesepuh yang juga memiliki ilmu spiritual seperti Mbah Nang. Biasanya beliau ini sering diundang kemari ketika ada sesuatu hal penting yang menyangkut Mbah Nang dengan "mereka".
Jadi aku terus bertanya-tanya. Siapa "tamu" yang datang? Kenapa Mbah Dok sampai memanggil Mbah Sarbani? Bukankah hal biasa ketika Mbah Nang minta ditemani ketika isi? Kenapa kali ini sampai meminta Mbah Sarbani kemari?
"Nggih, Mbah. Tapi, terus niki Kula piyambakan?" (Ya, Mbah. Tapi lalu ini saya sendirian kah?) tanyaku bingung. Karena setauku Mbah Dok tidak diperbolehkan meninggalkan Mbah Nang ketika raganya dipinjam atau isi.
Tapi di sisi lain, bukankah aku tidak diperbolehkan keluar rumah selepas magrib?
Mbah Dok yang terlihat bingung juga khawatir bergegas ke belakang. Beliau mengambil sesuatu yang di letakkan di dalam almari tua. Kelut. Itu adalah susunan lidi yang diikat oleh kain yang aku sendiri tidak tau terdapat isi apa di dalam kain itu.
Karena sejak Mbah Nang membuatkannya khusus untukku sejak usiaku menginjak 3 tahun. Aku tidak diperbolehkan membuka kain pengikat Kelut tersebut.
"Iyo, Nduk. Dingapuro siro kudu moro rono ijen. Le ngati-ati yo, Nduk. Simbah lamung iso gawani iki," (Iya, Nak. Maaf kamu harus kesana sendirian. Berhati-hatilah ya, Nak. Simbah hanya bisa membekalimu ini)
Aku tau, Mbah Dok sebenarnya juga berat melepaskanku pergi sendirian ke rumah Mbah Sarbini yang letaknya lumayan jauh dari rumah kami. Tapi, Mbah Dok juga tidak bisa meninggalkan Mbah Nang sendiri di rumah ketika raganya dipinjam. Itu akan sangat berisiko.
Dengan nyali sebesar biji jagung kuberanikan diriku menembus hujan dan gelapnya malam. Kupercepat langkahku dengan memegang erat gagang payung, kelut dan menenteng sentir kecil yang aku takut bila mana tiba-tiba akan mati terkena air hujan malam itu.
Aku merasa ada beberapa pasang mata yang tengah mengintaiku. Itu membuat kakiku lemas dan ingin segera sampai ke rumah Mbah Sarbani. Aku tidak mau jika kejadian digondol terjadi kepadaku. Aku terus berdoa agar Allah senantiasa menemani langkahku malam itu.
"Tirrrrr .. tirrr .. titirtirrr ..." Suara seekor burung kedasih terdengar menemaniku malam itu.
Aku yang mendengar suaranya justru merasa takut dan segera mempercepat langkahku hingga seperti berlari kecil.
Sebentar lagi sampai rumah Mbah Sarbani. Dari kejauhan sudah kulihat bangunan rumah yang atapnya rendah khas rumah Jawa kuno. Sedangkan orang yang kucari nampaknya juga sudah menunggu di depan teras rumahnya.
Melihatku yang berjalan sendirian di tengah gelapnya malam, Mbah Sarbani bergerak menembus hujan untuk menghampiriku. "Lahh dalahhh .. Dewean to genduk? Ealah yowis yok yok langsung wae," (Lahhh dalah .. Sendirian ya kamu nak? Ealah yasudah yok yok langsung saja)
"Kok wani nemen, Nduk, siro mrene ijen? Eeeuhhh euhh Jan kendel men," (Kok berani sekali, Nak kamu kesini sendiri? Eeuhh euhh memang pemberani) sanjungnya yang tidak tau saja sedari tadi aku sudah menahan ketakutanku setengah mati.
"Dayohhe wis teko yo, Nduk?" (Tamunya sudah datang ya, Nak) tanya Mbah Sarbini yang nampaknya sudah lebih dahulu tau maksud kedatanganku tanpa kuberi tau.
Aku heran, padahal jaman dulu di kampungku jarang sekali yang memiliki telepon. Dan tentu Mbah Nang dan Mbah Sarbini belum memiliki alat secanggih itu kala itu. Tapi bagaimana cara Mbah Sarbini tau kabar lebih cepat sebelum aku sampai ke rumahnya?
"Nggih, Mbah. Wau Mbah Dok sanjang Mbah Sarbini diken mriko," Iya, Mbah. Tadi Mbah Dok berkata agar Mbah Sarbini datang ke rumah)
"Yowis, rodo cepet yo Nduk le mlaku. Tapi ngati-ati ndak kepleset," (Yasudah, sedikit cepat ya Nak yang berjalan. Tapi berhati-hati agar tidak terpeleset)
"Nggih Mbahh" jawabku yang sedikit mempercepat langkahku. Sialnya aku merasa kakiku tiba-tiba terasa berat. Tapi kali ini bukan karena lendut yang menempel di sandal. Karena aku merasa sulit melangkah dan merasa berat di betisku bukan di sandalku.
Aku yang merasa tidak nyaman menghentikan langkahku. Kuarahkan sentir ke dekat betisku. Tidak ada apa-apa. Namun, Mbah Sarbani yang juga menoleh dan melihat ke arah betisku langsung berkata.
"Husshhh sumingkir oo .. gausah nritik. Iku putune Prayit," (Hushhh minggirlah. Jangan usil. Itu cucunya Prayit)
"Rausah nritik yen koe gak pengen diobong. Hushh kono minggat !" (Jangan usil jika kamu tidak ingin dibakar. Hushh sana pergi!) bentak Mbah Sarbini yang kulihat juga mengarahkan kakinya seperti menendang sesuatu.
Aku yang melihat itu bingung juga bercampur takut. Apa lagi ini?
"Njoo, Nduk. Lanjut mlaku maneh .." (Ayo, Nak. Lanjut jalan lagi) kata Mbah Sarbini yang anehnya saat kulangkahkan kakiku sudah tidak terasa berat seperti tadi. Jadi aku segera berjalan sesuai instruksi Mbah Sarbini.
Sesampainya kami di rumah. Kami membasuh kaki kami yang dipenuhi lendut dengan air yang berada di tampungan belakang rumah. Lalu bergegas masuk ke kamar Mbah Nang.
Mbah Nang masih isi. Badannya selalu menghadap dinding sebelah barat setiap kali isi. Ini membuatku hafal dan paham jika Mbah Nang sedang mempersilakan "mereka" meminjam tubuh Mbah Nang untuk berkomunikasi seperti itu.
Menariknya, saat Mbah Sarbini sudah melepas sandalnya dan masuk ke dalam kamar Mbah Nang. Beliau terlihat mengerutkan dahinya. Beliau terlihat bingung dan kaget?
Mbah Ijah menghampiri Mbah Sarbani. Kulihat beliau membisikan sesuatu kepda Mbah Sarbani. Dimana kalau tidak salah dengar saat itu Mbah Ijah berkata, "Dayohe pirang-pirang. Tapi siji iki kat mau mboten purun gentenan," (Tamunya ada banyk. Tpi satu ini nampaknya tidak mau gantian)
"Layoo .. iku cah cilik. Tak kiro dayoh soko gunung kae. Jebulno dayoh iki. Rodo biying pancen bocah iki. Tapi Prayit pancene seneng ngei nggon gawe bocah iki. Yowis teko ditanggap."
(Layoo, dia ini anak kecil. Aku pikir tamu dari gunung itu. Ternyata tamu ini. Memang bandel anak ini. Tapi Prayit memang suka memberi ruang untuk anak ini. Jadi yasudah dipersilakan saja)
Lalu, Mbah Sarbini memilih duduk bersila di samping Mbah Nang. Di jawilnya lengan Mbah Nang yang kemudian aku menjadi tidak menduga reaksi sosok di dalam tubuh Mbah Nang. Dia menggoyangkan badannya seperti anak kecil pada umumnya ketika di ganggu orang dewasa.
"Aahhh anteng to !" (Ahhh diamlah !) teriaknya. Aku benar-benar kaget karena Mbah Nang seketika berlagak seperti anak berusia 8 tahun. Mulutnya bahkan manyun seperti anak kecil yang ngambek.
Ini benar-benar unik. Karena untuk pertama kalinya aku melihat Mbah Nang isi sesosok anak kecil. Beliau bahkan menjadi belagak seperti anak kecil dengan raganya yang terlihat garang.
"Nopo meneh koe mrene Le? Bali kono .." (Kenapa lagi kamu kesini, Nak? Pulanglah sana) kata Mbah Sarbini yang terus jahil menjawil tangan Mbah Nang. Sedangkan Mbah Nang terus menepisnya dengan jengkel.
"Anteng !!!" (Diammm!!!)
"Hihhh nyebelin ! Yo ngopo koe mrene ki?!" (Hihhh menyebalkan ! Kenapa juga kamu kesini?!) omel sosok itu sembari menyedekapkan kedua tangan Mbah Nang di depan dada. Peris seperti anak kecil yang sedang ngambek.
Aku yang melihat itu mengikik lirih. Aku merasa lucu melihat Mbah Nang yang jadi bertingkah demikian.
"Hehhh koe ! Nopo ngekek ngono?!" (Heh kamu ! Kenapa tertawa seperti itu) teriaknya tidak terima ketika sadar aku mengikik melihat tingkahnya.
Membuatku yang kaget karena tiba-tiba dia menoleh ke arahku dan membentakku tersedak oleh air liurku sendiri. Sialan.
"Uhukkkk uhukkkk .." ku pukul dadaku reflek karena batuk. Sedangkan sosok itu justru manyun dan menatapku seolah tak suka.
Kampret. Batinku yang juga ikut kesal.
"Hehhh, Le. Metuoo .. iku ono dayoh seko adoh ameh melbu. Saiki muliho yo, Le. Sesuk maneh le dolan" (Hehh, Nak. Keluarlah .. Itu ada tamu dari jauh mau masuk. Sekarang pulanglah ya, Nak. Besok lagi yang main)
"Emohhh emohhh emohhh .. wleee wleee wleeee," jawab sosok itu yang malah mengejek Mbah Sarbini dengan menjulurkan lidah dan menggoyang-goyangkan pinggulnya.
"Ohhh bocah biying ki jan. Ayo ndang metuo, opo kae le nangkono tak kon moro rene ben koe wedi?" (Ohh anak nakal ini yaaa. Ayo keluarlah, atau itu yang di sana aku suruh datang kemari agar kamu takut) ancam Mbah Sarbini menunjuk ke arah pintu belakang rumah kami.
"Hiiii .. hiiii .. ojooo !!! Ojoo !! Mohhh !!!" (Hiii .. hiii jangan !! Jangan !! Tidak mau) teriak sosok itu seperti sedang ketakutan sekali dengan salah satu sosok lain yang tadi ditunjuk Mbah Sarbini.
Tapi aku tidak melihat sosok itu. Aku hanya melihat betapa takutnya sosok didalam tubuh Mbah Nang saat itu. Dia bahkan sampai bersembunyi di belakang tubuh Mbah Sarbini dengan ekspresi takut. Nampaknya sosok yang tadi di tunjuk Mbah Sarbini lebih kuat hingga anak itu ketakutan.
"Iyooo aku arep mulih wae. Iyo aku mulih.." (Iyaa aku mau pulang saja. Iya aku pulang) teriaknya panik.
"Ahhahahahahah jane nopo koe kok mrene wegah metu ki?" (Ahahahahahah sebenarnya kenapa kamu kesini dan tidak mau keluar) tanya Mbah Sarbini yang masih tertawa melihat anak itu ketakutan.
"Huhuhuhu .. tapi iku diusir sek le adoh. Aku gah nek iku nongkono huhuhuhu" (Huhuhuhu .. tapi itu diusir dulu yang jauh. Aku tidak mau jika dia disitu huhuhuhu) katanya yang tiba-tiba saja menangis.
"Iyo iyoo .. wis kono koe lungo kono" (Iyaaa iyaa .. sudah kamu pergi sana) perintah Mbah Sarbini kepada sosok lain itu. Aku yakin tadi sosok itu sempat mendekat hingga membuat sosok di dalam tubuh Mbah Nang menangis.
"Huhuhuhu ... Aku wedi. Iko untune mencuat huhuhuhu motone abang huhuhuhu dedege gedi nemen huhuhuhu" (Huhuhuhu ... Aku takut. Itu tadi giginya mencuat huhuhuhu matanya merah huhuhuhu badannya besar sekali huhuhuhu) tangisnya yang makin menjadi.
"Wis hushh meneng. Rasah nangis. Le mau ws raono, wis tak usir. Saiki crito o, jane nopo kok koe mrene wegah metu?" (Sudah hushh diam. Tidak usah menangis. Yang tadi sudah tidak ada, sudah aku usir. Sekarang berceritalah, sebenernya kenapa kamu kesini dan tidak mau keluar)
"Huhuhuhu Iki sirahku mlentong. Aku pengen dibenakno ben koyo sirahe bocah laine. Aku yo pengen bagus !" (Huhuhuhu ini kepalaku penyok. Aku ingin dibenarkan seperti anak lainnya. Aku juga pengen terlihat tampan) omelnya yang ternyata ingin meminta tolong.
Saat itu aku masih bingung dan bertanya-tanya sebenarnya siapa sosok anak kecil itu? Kenapa dia begitu terlihat akrab? Bahkan tamu yang seharusnya rawuh sampai dikeduakan oleh Mbah Nang. Justru anak ini yang didahulukan masuk.
Padahal aku juga yakin. Mbah Nang dan Mbah Saribini bisa menyuruh anak kecil itu keluar sedari tadi tanpa negosiasi. Tapi sejak tadi justru Mbah Sarbini tidak serta merta mengusirnya begitu saja.
"Yowis kene-kene tak benakno. Rasah gembeng. Cah Lanang kok gembeng," (Yasudah sini-sini aku benarkan. Jangan cengeng. Anak laki-laki kok cengeng) kata Mbah Sarbini yang langsung memegang mustaka Mbah Nang. Tangannya mengurut kepala sosok itu.
"Nahhh ki wis bener. Wis saiki mulih yo, Le? Saiki wis bagus tenan." (Nahh ini sudah benar. Sudah sekarang pulang ya, Nak? Sekarang sudah ganteng beneran) kata Mbah Sarbini yang mengusap puncak kepala sosok itu.
"Ehhh iyoo. Maturnuwun yoo. Saiki aku ameh mulih. Maturnuwun!" (Ehh iya. Terimakasih yaa. Sekarang aku mau pulang. Terimakasih) ucapnya girang sambil terus memegang-megang kepalanya seolah apa yang dia inginkan sudah didapatkan.
Mbah Sarbani yang melihatnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat tingkah anak kecil itu. Sedangkan aku yang penasaran mencoba bertanya kepada Mbah Sarbini siapa sosok yang mengisi Mbah Nang saat itu.
"Pangapunten sanget Mbah.Kula bade tanglet. Niku sinten to Mbah?" (Maaf sekali Mbah. Saya ingin bertanya. Dia itu siapa sih Mbah) tanyaku yang sudah kepalang penasaran.
"Akuu Pahing !!! Aku Pahing !!! Hihihihi" teriaknya yang kemudian disusul kikikan. Kedua tangannya digunakan menutup mulutnya. Dia terus mengikik senang ketika melihatku bertanya dia ini siapa.
Aku mengernyitkan dahiku sambil tersenyum. Aku heran dia ini siapa. Karena tingkahnya begitu lucu layaknya anak seusianya bilamana masih hidup.
"Iki Pahing, bocah biying seko Mbelik. Mbahmu paham iki sopo Nduk. Besuk ben dijelasno Yo? Sak Iki ben dayoh adoh soko Gunung ****** melbu riyin. Arep bahas penting wongan. Genduk, iso metu ndikik yoan nggih? Ning ruang tamu mriko" kata Mbah Sarbini yg jga memintaku untuk keluar.
(Ini Pahing, anak nakal dari Mbelik. Simbahmu paham dia ini siapa, Nduk. Besok biar dijelaskan ya? Sekarang biar tamu jauh dari Gunung ****** masuk dulu. Ingin membahas hal penting. Genduk, bisa keluar ke ruang tamu dulu ya)
Aku yang paham dengan kondisi saat itu menurut saja. Kulangkahkan kakiku menuju ke ruang tamu. Sepi. Ruangan berukuran sepuluh kali empat meter ini jadi sangat terasa sepi karena keluarga bude dan bulik memilih menginap di rumah mertua bude di sebrang desa karena sedang ada hajat
Aku yang sendirian di ruangan itu mencoba menyibukkan diri dengan menulis-nulis geguritan. Aku ingat, saat itu aku sedang suka-sukanya belajar menulis geguritan.
Kurasakan ada "mereka" yang ikut mengisi ruang tamu kami. Sejak tadi aku ke ruang tamu aku bahkan merasa ganjal dan terus ingin menengok ke beberapa sudut ruangan. Rasanya ada beberapa pasang mata yang tengah mengamatiku. Dan itu membuatku tak nyaman.
Biasanya, jika Mbah Nang kedatangan dayoh pnting seperti ini. Kami (anak, cucu dan mantu) diminta untuk berda di kamar kami masing², mengunci pintu rapat-rapat dan berusaha tdak menimbulkan suara agar telinga kami masih mampu menyimak kondisi Mbah Nang dan Mbah Dok dri kamar kami
Sayangnya malam itu aku sendirian. Itu mengapa aku diminta Mbah Sarbini untuk tetap berada di ruang tamu saja. Agar aku masih berada di dalam jangkauan pandangannya dari kamar Mbah Nang.
GEDUBRAKKKK !!! Sebuah suara dari lantai bawah mengagetkanku. Dalam hatiku, apa itu? Bukankah semua orang sedang pergi ke desa sebrang?
Aku berniat untuk turun ke bawah. Ke lantai dasar rumah Mbah Nang yang jika dilihat memang sangat mirip dengan ruang bawah tanah karena posisi lantai dasarnya berada di perengan.
"Meh nangdi, Nduk?" (Mau kemana, Nak) suara Mbah Sarbini ketika kakiku baru saja selangkah menjejak di lorong anak tangga yang gelap.
"Bade mandap, Mbah" (Mau turun, Mbah) jawabku sambil menunjuk ke arah bawah menggunakan jempol tanganku.
"Rasah, Nduk. Ben ke wae. Rausah digagas. Wis mending siro melbuo rene wae," (Tidak usah, Nak. Biarkan saja. Tidak usah diperdulikan. Kamu masuk saja ke sini) ucap Mbah Sarbini yang membuatku bingung. Kenapa malah aku diminta masuk ke kamar Mbah Nang kembali?
"Wis antengo. Siro bobok o wae nang kene, karo Mbah Ijah. Ora usah mrono-mrono," (Sudah diam sja. Kmu tidur sja di sini dngan Mbah Ijah. Tidak usah prgi kesana) kata Mbah Sarbini yg kemudian kuturuti dngn menidurkan tubuhku yg lelah di pangkuan Mbah Dok mlam itu tnpa banyak tanya
Paginya, aku terbangun di atas kasur kapuk sendirian. Aku merasakan sedikit cahaya matahari telah berhasil menerobos dari celah-celah rumah hingga mengenai mataku. Pasti Mbah Nang dan Mbah Dok sudah pergi ke sawah pikirku.
Jadi aku segera bangun dan menata selimut dan sprei yang warnanya sudah usang ini. Aku berniat untuk bergegas mandi di Mbelik agar nanti di sana masih ada ibu-ibu yang sedang mencuci baju.
Kulihat sudah banyak anak-anak sebayaku yang bersiap main ke kebon belakang rumahku. Beberapa membawa peralatan masak dan sisanya membawa kebutuhan untuk nanti dimasak. Memang anak-anak di kampungku saat itu suka bermain rumah-rumahan dan asyik masak-masakan di kebun belakang.
"Ayokkk Mbak Nggit !!" teriak salah satu anak yang rambutnya dikuncir dua. Giginya yang ompong terlihat lucu. Anak itu bernama Ana. Dia adalah cucu Mbah Sarbini.
"Yakk, ndikik ae. Aku ameh papung ndikik heheheheh," (Yak, duluan saja. Aku mau mandi dulu hehehehh)
Aku yg melihat sudah banyak anak yang pergi ke kebun belakang segera mempercepat gerakanku untuk pergi ke Mbelik. Aku yg sngat antusias karena ingin segera bergabung dngan mereka pun berlari menuju Mbelik. Padahal jalanan masih becek sisa efek hujan semalam. Tapi aku tidak peduli
Hingga kesialan datang. Seettt... Buggggh ! "Akkkhhhhhhhhh !!!!"
Aku terpeleset dan tubuhku terpelanting ke perengan yang lumayan tinggi. Aku merasa tubuhku tidak begitu sakit karena jatuh di atas rumput-rumput basah.
"Innalillah !! Anggita !" teriak beberapa ibu-ibu yang berada di Mbelik. Mereka bisa melihatku yang terpeleset karena posisi Mbelik yang berada di bawah perengan.
"Huhuhuhu ibukkk .. huhuhuhu" tangisku pecah.
Aku melihat ibu-ibu panik dan bergerak secepat mungkin menghampiriku. Mereka semua terlihat khawatir kecuali satu anak yang justru mengikik menertawaiku yang jatuh. Anak itu menutup mulutnya yang sempat memperlihatkan gigi hitamnya.
Bukankah itu anak yang sama dengan yang kemarin kalau tidak salah kulihat di samping Mbah Dok bersimpuh?
"Huhuhuhu" aku masih saja menangis walau aku jengkel melihat anak itu menertawaiku. Anak siapa dia? Kenapa dia suka sekali di Mbelik?
"Oalah, Nggit .. Nggit .. kene tak gendong. Tar terno balik wae," (Oalah, Nggit .. Nggit .. sini kugendong. Aku antar pulang saja ya)
Sorenya, aku dipanggilkan Mbah Ijem yang memang menjadi dukun pijetku sejak aku lahir. Diurutnya badanku yang tidak terlihat memar, tapi entah kenapa rasanya sangat sakit. Beberapa kali aku sempat berteriak karena nampaknya Mbah Ijem membenahi posisi sarafku.
"Ndukkk, Ndukk .. Yo ngati² no, Nduk. Nak menyang Mbelik rasah kemrungsung. Wis ngerti lunyu kok yo" (Nakk .. Nak .. Ya hati-hatilah, Nak. Kalau ke Mbelik jngan terburu². Sdah tau licin kan) kata Mbah Ijem yg terus mengurut tubuhku. Sedangkan aku hnya cengar-cengir menahan sakit
Mbah Nang dan Mbah Dok juga menegurku karena tidak berhati-hati di jalanan licin. Beliau menegurku dengan baik. Tapi karena aku yang perasa dan si bandel yang tidak mau ditegur justru ngambek dan meminta untuk tidur di kamar bawah malam itu.
Aku dengan jengkel turun ke bawah melalui lorong anak tangga yang minim cahaya. Dengan kesal aku menuruni tanggal dengan kasar hingga menimbulkan suara hentakan kaki. Bugh bugh bugh bugh.
Di ujung anak tangga aku melihat sosok seperti anak bulikku meringkuk. Sepertinya dia mengajakku bercanda. Sudah tau sedang jengkel malah menghadangi jalanku. Jadi kulangkahi saja dia dengan menyentuh puncak kepalanya menggunakan telapak tanganku sebagai tumpuan.
"Siro nopo Nggit kok mlengkang ngno kui? Nopo yoan kok peucuca pecucu ngono?" (Kamu kenapa Nggit melangkah seperti itu? Kenapa juga manyun begitu?) tanya Bulikku yang tangannya terlihat memegangi secangkir teh.
Aku menggelengkan kepalaku pelan dan berkata, "Huhhh didukani Simbah wau. Eh, Bulik niko kok Adi tasih ting mriki? Sanjange bade ting Mbah Nonik?" Mbah Nonik itu nenek pihak laki-laki budeku sedangkan Adi adalah anak pertama bulikku tadi yang kulangkahi.
(Huhh dimarahi Simbah tadi. Eh, Bulik itu kok Adi masih di sini? Katanya mau ke rumah Mbah Nonik)
"Hahh?! Nongdi weruh Adi ki?! Wong ya kat esuk mruput mau Adi wis menyang omahe Mbah e." (Hahh?! Dimana lihat Adi?! Dia saja sudah sejak pagi buta pergi ke rumah Neneknya)
"Ahhh moso Bulik?! Ha meniko ting mriko" (Ahhh masa Tante?! Ha itu dia di sana) kataku sambil menunjuk anak yang masih terlihat meringkuk menyembunyikan wajahnya.
Kulangkahkan kakiku mendekat anak itu. "Niki hloo Bulik" (Ini loh Tante) kataku yang masih kekeuh melihat Adi masih di rumah.
Sedangkan Bulik? Wajahnya terlihat gelagapan seperti kehabisan napas. Tangannya gemetar hingga teh di cangkirnya tumpah sebagian. Reaksinya membuatku bingung dan perlahan menoleh ke arah belakangku dimana posisi yang kuyakini Adi tengah meringkuk.
Sedangkan anak kecil itu perlahan mengangkat kepalanya hingga aku pun sadar. Dia bukan Adi. Anak itu menatapku dan perlahan menyeringai lebar hingga memperlihatkan gigi giginya yang tajam berwarna hitam.
"Astaghfirullah!!" teriakku kaget juga takut. Sialan.
Posisinya benar-benar berada persis di dekatku. Aku merasakan kakiku mulai bergetar. Tulang-tulangku seperti dilolosi satu-satu. Lemas. Aku tidak menyangka bahwa aku akan melihat sosok mengerikan seperti ini. Dia sangat mirip tuyul kalau saja bibirnya suing.
Tyarrrr . Suara cangkir teh milik bude yang jatuh pecah berhasil membuatku sadar. Sepersekian detik saja sosok itu langsung berhasil menghilang.
"Iku mau opo Nggih?!" (Itu tadi apa Nggit) tanya Bulik yang terlihat masih syock melihat makhluk yang baru saja kami lihat. Aku hanya diam dan menggeleng cepat. Aku juga benar-benar takut dan terus terbayang-bayang senyumnya yang menakutkan.
Kami berdua yang kemudian memiliki sedikit tenaga segera lari masuk kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Kami berdua bersembunyi dibalik selimut dan mencoba melupakan kejadian barusan.
Sekitar pukul setengah satu. Aku msih sja blum berhsil tdur. Sedangkan Bulik nampaknya sdah terlelap dlam tidurnya. Sunyi. Aku hanya mendengar suara jangkrik dan kodok yang saling bersahutan. Sedangkan pikiranku melayang entah kmna karena masih terbayang-bayang dengan sosok tadi.
"Hihihikhikk" tiba-tiba kudengar ada sebuah suara anak kecil yang mengikik. Lalu terdengar suara berlari. Ahh sialan. Jangan-jangan itu dia tadi. Aku memeluk bulikku dengan erat dan terus mencoba memejamkan mataku. Aku tidak ingin melihatnya kembali.
Tapi suara itu tidak kunjung menghilang. Aku justru mendengar telapak kaki itu terus berlarian naik turun tangga dan diiringi suara tertawa seperti mengejek.
Nyaliku semakin ciut saja karena aku mendengar suaranya mengejek seolah tau bahwa aku tengah meringkuk ketakutan. Aku berusaha membaca doa² yg kuhafal. Sialnya sosok itu nampaknya justru semakin menggodaku dngan mengetuk² pintu. Sedangkan Bulik? Dia masih nyenyak dalam tidurnya
Tiba-tiba suara bising itu lenyap seketika. Aku merasakan hawa dingin juga menghampiri ke arah ruang bawah. Aku tidak tau apa itu. Tapi ada energi yang nampaknya lebih besar tengah turun ke bawah. Aku juga mendengar telapak kaki yang menjejaki anak tangga.
Jleghh .. jleghhh .. jleghhh. Suaranya mantap menuruni anak tangga. Aku perkirakan sosoknya pasti tinggi besar. Karena langkahnya terdengar menakutkan.
Cringgg. Cringg .. jleghh. Aku mendengar langkah kakinya diiringi suara gemerincing mirip kelintingan. Sosok itu berhenti di balik pintu kamar kami. Tapi aku tidak berani untuk keluar mengeceknya. Mendengarnya dari balik selimut saja berhasil membuatku dibanjiri keringat dingin.
"Swehweswshssswesshhwwss" aku mendengar sosok itu tengah berbicara dengan sosok lain yang aku tidak tau itu siapa atau bahkan sedang membicarakan apa. Aku hanya mendengar bisikan tidak jelas yang diakhiri suara pukulan keras di pintu. JEDERRRR!!!
Aku yang kaget reflek berteriak kencang. "HUAAAA!!! Simbah !!!!!" JEDERRR !!! Pyukk pyukkk pyukk. Aku mendengar suara pukulan sangat keras dan diiringi suara seperti air tumpah dari sebuah wadah yang dibawa sosok lain yang terlihat panik.
Bulikku dan anggota keluarga ku yang lain mendengar suara teriakkanku akhirnya bangun. Aku bersyukur aku bisa berteriak mengeluarkan suara. Karena bisanya ketika kondisi takut seperti ini. Aku gagu dan hanya bisa berteriak tanpa suara karena ketakutan.
"Ono opo?!! Ono opooo Nduk?!" teriak Bulikku panik. Aku juga melihat Mbah Nang sudah berjalan turun ke kamar kami dan membuka pintu. (Ada apa?! Ada apa Nak?!)
"Huhuhuuhu .. Iku mau ono wong gowo banyu tumplek ning ngarepan huhuhuhu" tangisku saat itu. (Huhuhuhu.. itu tadi ada orang bawa air, tumpah di depan huhuhuhu)
"Yowis siro munggah wae. Bobok nang kamare Simbah. Ayok munggah," perintah Mbah Nang yang langsung kuturuti. Aku berlari secepat mungkin masuk ke kamar Mbah Nang dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku. (Yasudah kamu naik saja. Tidur di kamar Simbah. Ayok naik)
Sayup-sayup aku mendengar obrolan Mbah Nang dan Mbah Dok. "Paling Pahing. Wis rembug ssk wae Mak," (Mungkin Pahing. Sudah, kita bicarakan besok saja) kata Mbah Nang yang kemudian menutup pintu kamar dan memilih kembali sare.
Dua hari setelah kejadian, aku ingat hari itu pasaran pahing. Mbah Nang mengajakku untuk turun ke Mbelik. Beliau membawa bunga tabur dan koin 500an. Tidak biasanya Mbah Nang mengajakku hingga ke belakang bangunan ini. Apalagi membawa benda-benda itu.
"Yo iki, siro mau bengi di godo karo bocah biying iki," (Ya ini, kamu semalam digodain sama anak bandel ini) kata Mbah Nang yang tersenyum melihat ke arah buagan air Mbelik. Sedangkan aku? aku bingung karena tidak melihat apapun atau siapapun di sana.
Lalu kulihat Mbah Nang menaburkan bunga di sana. Di lemparnya juga koin 500an dan permen asam yang dibaluri gula. Setelah itu Mbah Nang mengirimkan doa yang entah untuk siapa.
Aku yang melihat Mbah Nang melempar uang koin dan permen kesukaanku langsung manyun. Mubadzir, pikirku. Bukankah lebih baik diberikan padaku saja?
Mbah Nang yang menyadari bibirku sudah monyong langsung terkekeh dan mengacak rambutku.
"Wis ayok mulih .. Bariki wis bengi. Mengko siro dak kenalke Pahing iku sopo," (Sudah ayok pulang. Setelah ini sudah malam. Nanti kamu Simbah kenalkan dengan Pahing) ucap Mbah Nang.
"Nggih, tapi kula nggih purun permen asem Mbah," (Ya, tapi aku juga ingin permen asem Mbah) jawabku dengan masih mengerucutkan bibirku dan mengernyitkan dahiku jengkel.
"Iyoo mengkih tak paringi nang omah," (Iya nanti kuberi di rumah) kata Mbah Nang yang kemudian menggandengku pulang.
Malamnya, sesuai perkataan Mbah Nang. Aku dipanggil ke kamar untuk diperkenalkan dengan "Pahing". Mbah Nang meminta semua keluargaku masuk ke dalam kamar. Mengunci pintu. Diam, atau silakan tidur lebih cepat.
"Nduk, lungguho nang kene karo Mbah Iyah," (Nak, duduklah di sini bersama Mbah Iyah) kata Mbah Nang yang kemudian memejamkan matanya dan duduk bersila menghadap barat.
Sunyi. Untuk beberapa saat rumah kami benar-benar tidak ada suara. Bahkan aku tidak mendengar suara jangkrik ataupun kodok yang biasa menemani malam-malam kami. Aku hanya mendengar hembusan napas kami satu sama lain. Kikuk. Aku jadi merasa aneh dengan situasi saat itu.
Hingga sebuah suara yang kukenal muncul dari tubuh Mbah Nang "Hihihihihihi .. ihik .. hihihihi"
Pahing.
Aku yakin itu dia. Kulihat dia mengikik sembari menutup mulut seperti sebelum-sebelumnya. Membuatku yang semula duduk lebih dekat dengan Mbah Nang memilih mundur di bekalang Mbah Dok.
"Nangopo kok Mundur ? hihihihihi," ucapnya yang masih saja tertawa mengikik sembari menutup mulut dengan kedua tangannya.
(Kenapa kok mundur? hhihihihihi)
"Mbah, wedii ..." (Mbah takut) ucapku lirih nyaris mencicit.
"Rausah wedi hihihihi rene ... hihihihihi" (Tidak usah takut hihihihi kesinilah .. hihihihi) jawabnya seolah mendengar apa yang aku ucapkan.
Lalu kulihat Mbah Dok mengangguk sambil menarik tanganku. Seolah memberi isyarat bahwa aku diminta untuk menurutinya, duduk di dekat Mbah Nang yang sedang isi.
"Hihihihihi aku pahingg hhihihihihi" katanya sambil menggoyang-goyangkan tubuh.
"Wingi koe le ganggu putuku iki yo?" (Kemarin kamu yang mengganggu cucuku ini ya) tanya Mbah Dok kepada sosok itu.
"Hihiihi oraaa.. aku ora ganggu kok. Hihihihihi" (Hihihihi tidakkkk .. aku tidak mengganggu kok hihihi)
"Aku mung ngajak guyonan ben dolanan bareng hihihi" (Aku hanya mengajaknya bercanda agar bisa main bersama hihihi)
"Hushhh yo gak oleh noo, mesakno putuku girapen nak ngono" (Hushh ya tidak boleh dong, kasian cucuku ketakutan kalau begitu)
"La yo ojo wedi hihihi yayaya" (Ya jangan takut hihihihi yayayaya) katanya sambil menggelitiki wajahku.
"Kan sirahku wis ra mblentong hihihihi Aku wis koyo koe koe kabeh kok hihhiihi" (Kan kepalaku sudah tidak penyok hihihihi aku sudah seperti kalian semua kok hihihi)
Aku yang merinding menepis tangannya dan memilih kembali mundur. Membayangkan gigi-gigi tajam berwana hitam miliknya membuatku bergidik ngeri.
"Ya gak olehh, aku mohhh," (Ya tidak boleh, aku tidak mau)
"Kok ngono toh? Aku ya pengen dolan bareng barang ..."
(Kok begitu? Aku juga ingin main bersama) katanya sambil menunduk.
Aku melihat ada kesedihan yang dia rasakan. Tapi mengingat bahwa dia adalah makhluk menyeramkan yang semalam mengejekku aku jadi kembali takut.
"Layo ning nik koe koyo mau bengi yo putuku keweden no, Lee. Nangopo kok semang bedajikan barang iku mau bengi" (Laya kalau kamu seperti tadi malam ya cucuku ketakutan dong, Nak. Kenapa juga kamu usil sekali tadi malam) tegur Mbah Dok yang terlihat sudah mengenal sosok ini.
"Yo memang aku sok munggah medun kono. Aku seneng dolanan nang kono. Opo maneh mau bengi bocah iku keweden hihihihi" (Ya memang aku suka naik turun di situ. Aku suka main di situ. Apalagi semalam anak itu ketakutan hihihi) ucapnya sembari menunjukku.
"Oo bocah biying ki jyann. Tak jewer hlo koe," (Oo anak bandel. Aku ya jewer kamu) jawab Mbak Dok yang kemudian menjewer kuping Mbah Nang. Dimana itu membuat sosok itu mengaduh kesakitan.
"Aduhhh duhh duhh .. iyoo ngapunten ngapunten, orak maneh" (Aduhh duhh duh .. iya maaf maaf, tidak lagi) ucapnya sambil memegangi tangan Mbah Dok yang sedang menjewer kupingnya.
Aku yang melihat kejadian itu menjadi tersenyum. Seolah lupa bahwa dia adalah makhluk mengerikan yang memiliki gigi-gigi hitam dan tajam. Aku justru melihatnya sebagai anak kecil yang sangat bandel.
"Sakjane koe iku sopo to?" (Sebenarnya kamu itu siapa sih) kataku menginterupsi. Aku mencoba memberanikan diri untuk berbicara kepadanya. Walaupun saat ini posisiku masih berada di belakang Mbah Dok karena takut.
"Hihihihi aku sakjane ora duwe jeneng hihihi. Aku gek biyen mati nang Mbelik. Biyungku grujug aku lewat saluran banyu hihihihi," (Hihihihihi aku sebenarnya tidak punya nama hihihihi. Aku dulu meninggal di Mbelik. Ibuku menyiramku di saluran air hhihihi)
Jujur, saat sosok itu menjawab begitu. Hatiku terasa mencelos begitu saja. Aku jadi membayangkan betapa sakit hatinya ketika tau bahwa dia mati ditangan ibunya sendiri.
"Hihihi aku gek mbiyen digugurke biyungku. Aku eling biyungku grujug aku gowo banyu nang kono," (Hihihihih aku dulu digugurkan ibuku. Aku ingat ibuku menyiramku menggunakan air di sana) katanya sembari menunjuk ke arah Mbelik yang berada di bawah perengan rumah kami.
"Sikilku semampir nang bolongan banyu ngene iki hloo hihihihi" (Kakiku tersangkut di saluran air seperti ini hloo hihihihi) ucapnya sambil mempraktekkan posisi kakinya yang tertekuk menyangkut.
Sedih. Aku merasakan betapa sedihnya perasaanku jika berada di posisi Pahing saat itu. Tapi bocah nakal itu masih saja terus mengikik setiap menceritakan detail kisahnya.
"Sirahku terus-terusan di grujug marai dadi Mblentong. Nanging wis diurut Mbah Sarbini gek bengi kae hihihihihi dadi rausah wedi hihihi" (Kepalaku terus menerus di siram hingga menjadi penyok. Tapi sudah diurut Mbah Sarbini malam itu hihihihi jadi jangan takut hihihi)
Wanita mana yang tega menggugurkan bayinya di Mbelik saat itu? Aku tidak tau dan tidak habis pikir. Bagaimana bisa dia tega menggugurkan darah dagingnya sendiri. Dan bagaimana bisa dia tidak menguburkannya secara layak ketika sudah tau janinnya sudah berwujud?
Entah apa alasannya melakukan tindakan tidak terpuji seperti itu. Bagaimanapun, bukankah akan bertambah dosa jika dia menggugurkan kandungannya?
"Tapi uwisss uwiss aku rapopo kok hihihihihi, ternuwun aku sok diwehi duit 500 ya hihihihihi" (Tapi sudah sudah aku tidak apa apa koko hihihi, terimakasih aku sering diberi uang 500 ya hihihihi) ucapnya kepada Mbah Dok.
"Emhhh koe ngerti sopo biyungmu? Terus gawe opo koe sok njaluk duit 500 iku? emang iso gawe jajan?" (Emhh kamu tahu siapa ibumu? Lalu untuk apa kamu selalu minta uang 500? memangnya kamu bisa jajan) tanyaku polos saat itu.
"hihihihi Ngerti. Tapi moh. Aku moh ngei ngerti. Mesakke biyungku ndak kilangan rai Hihihihi nak duit 500 e tak nggo tuku susu aku hihihihi" (Hihihihih tau. Tapi tidak mau, aku tidak mau memberi tau. Kasian ibuku nanti malu hihihi kalau uang 500nya aku gunakan membeli susu hihi)
Jujur, aku jadi terharu mendengar jawabannya saat itu. Bahkan, dia masih menutubi aib ibunya ketika dia tau apa yang sudah ibunya lakukan kepadanya. Membuatku terus berpikir, akankah kita sebagai manusia masih memiliki sifat pemaaf sepertinya?
"Hihihihi Mbahmu le njenengi aku pahing hihihi mergo aku lahir dino pahing," (Hihihi Simbahmu yang memberi nama aku Pahing hihi karena aku lahir hari pahing)
"Koe seneng diceluk Pahing?" (kamu senang dipanggil Pahing) tanya Mbah Dok yang tidak bisa menyembunyikan rasa ibanya.
"Hihihi seneng ! Aku dadi duwe jeneng hihihi" (Hihihi senang ! Aku jadi punya nama hihihihi) jawabnya sumringah.
"Mau bengi koe yo gebroki lawang kamar nganti muni mak JeEDERR yo? nangopo kok digebroki? yo meh nggodo putuku kui?" (Semalam, kamu juga ya yang memukul pintu hingga bunyi JEDERR? Kenapa kok dipukul? Itu juga mau menggoda cucuku?" tanya Mbak Dok kepada Pahing.
Aku melihat perubahan ekspresi wajah pahing. Tiba-tiba dia diam dan hanya menjawab pertanyaan Mbak Dok dengan gelengan.
Dia diam menunduk sambil menunjuk ke arah luar pintu kamar Mbah Nang. Dia berbisik lirih, "Nak kui dudu aku, tapi klakuane deknen" (Kalau itu bukan aku, tapi kelakuannya dia)
Mbah Dok yang paham ada yang tidak beres meminta pahing untuk segera pulang. Tapi belum sampai Mbah Dok meminta Pahing keluar. Ada sosok lain yang tiba-tiba masuk ke tubuh Mbah Nang dengan paksa.
Nampaknya sosok itu tidak terima dan mengusir paksa Pahing dari tubuh Mbah Nang. Karena tadi aku sempat melihat Pahing memegangi lehernya kesakitan sebelum akhirnya suara Mbah Nang berganti dengan sosok ini.
"Yoo ngopooo bocah iki sakuwen-uwen nang kene," (Kenapa anak ini berlama-lama di sini) ucapnya dengan diiringi geraman. Membuatku yang semula sempat santai menjadi kembali diselimuti rasa takut.
"Cah biying kulinan. Aku le luwih tua kok dikon ngenteni sak uwen-uwen hmrhhh" (Anak bandel, kebiasaan. Aku yang lebih tua kok di suruh menunggu begitu lama) ujarnya marah.
"Pangapunten sanget, niki kaliyan Simbah saking pundi?" (Mohon maaf, ini dengan Simbah darimana) kata Mbah Dok dengan menunduk dan menelungkupkan kedua tangannya sopan.
"HERGNGHHHM Aku le tunggu omahmu. Aku le jagani ben sopo-sopo e wae ra do nglakoni ala lan ciloko nang kene! Yo ngopo malah ra mok ladeni?!"
(HERRRGHM Aku yang menunggu rumahmu. Aku yang menjaga agar siapa saja tidak melakukan hal buruk dan mencelakai di sini! Kenapa malah tidak kamu ladeni) bentaknya marah kepada Mbah Dok yang saat itu mencoba tenang walau aku yakin, ada rasa takut yang juga hinggap di hati Mbah Dok.
"Aku ra seneng karo bocah tengik kae! Cah biying senenge bedajikan turut kene, NGHMMHH" (Aku tidak suka anak nakal itu. Anak bandel sukannya usil di sini NGMMHH) erangnya dengan penuh marah.
Aku hanya diam menahan rasa takut. Ada amarah yang sangat tergambar jelas dari makhluk itu hingga membuatnya terus berbicara dengan nada tinggi.
"Nggihhh kula nyuwun pangapunten ingkang menawi onten lepate kula. Bocah wau mboten klentu. Mriki lamung numpang dolan, Mbah" (Yaa saya meminta maaf bilamana ada salah. Anak tadi tidak salah. Kesini hanya menumpang bermain, Mbah)
"NGMHHH bocah iku seneng keceh. Marai jogan ngisor akeh banyu lambah-lambah,"(NGMHHH anak itu suka bermain air. Membuat lantai bawah basah dengan air) kata makhluk itu yang membuatku sadar. Bahwa dia adalah makhluk yang malam itu datang ke bawah mengusir pahing yang usil.
Aku jadi paham, jika sosok yang saat ini hadir adalah sosok yang lebih kuat energinya dari pahing. Dia adalah sosok yang kemungkinan besar tinggal dipohon tua yang sudah lama kering di belakang rumah.
Pohon yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak tumbang tapi juga tidak nampak hidup karena tidak ada satu daunpun yang nampak. Hanya daun dari tanaman sulur yang merambat di dahan-dahan keringnya yang nampak menghiasi.
"Ora angel panjalukku HENGHMMMMH. Aku mung jaluk ben mburi omah dibabati, diresiki lan diopeni. Ojo do sakpenake dewe!!! Buang pem****t saknggon-nggon nang panggonanku!!"
(Tidak sulit permintaanku. Aku hanya minta belakang rumah dibersihkan dan dirawat. Jangan seenaknya sendiri!! Membuang pem****t di rumahku) bentaknya mengomentari kebiasaan keluarga kami yang sembarangan membuang kotoran kami di sana.
Memang, di belakang rumah kami yang bagian bawah adalah bagian yang paling jarang kami sambangi dan bersihkan. Alasannya adalah karena posisinya yang berada di perengan. Dimana lokasinya yang lumayan sulit membuat kami khawatir bilamana sewaktu-waktu terpeleset dan jatuh.
"Aku njaluk jeding ono mburi kae diresikno. Difungsikno. Ra nggur dibenke reget lan kosong kongono. Wong yo iku omahmu dewe," (Aku minta kamar mandi di belakang itu dibersihkan. Difungsikan. Tidak hanya dibiarkan kotor dan kosong seperti itu. Krena itu juga milik rumahmu sendiri)
Ya, saat itu Mbah Nang sebenarnya memang sudah membangun kamar mandi yang cukup besar di rumah kami. Sayangnya, tampungan air dibiarkan kosong dan kamar mandi dibiarkan terbengkalai begitu saja karena anggota keluarga kami yang saat itu arasarasen nangsu.
Berat hati untuk mengambil air dari Mbelik untuk dipindahkan ke penampungan di kamar mandi.
"Aku ra klakon nesu yen sakmene akehe menungso nang omah iki kok gak ono siji-siji o le gelem ngopeni jeding iku. Eman." (Aku tidak akan marah jika segini banyaknya manusia di rumah ini gak ada satupun yang mau merawat kamar mandi itu. Eman)
"Bocah biying kae seneng adus nongkene. Keceh. Yo opo ra isin koe-koe le gede pongkrang podo ra gelem ngangsu? Padahal cah cilik siji kae senenge gawani banyu belik nongkene?"
(Anak bandel itu suka mandi di sini. Main air. Apa kalian tidak malu ketika anak kecil itu saja suka membawa air dari mbelik sedangkan kalian yang sudah tua tidak mau)
Kata makhluk itu yang membuatku sadar, bahwa selama ini air yang selalu tiba-tiba membasahi lantai bawah berasal dari ulah Pahing.
Aku ingat, karena kejadian itu, di hari selanjutnya Mbah Nang mengumpulkan anak dan mantunya untuk bersama-sama membersihkan pojok belakang rumah, jeding dan seluruh penjuru rumah.
Aku juga ingat, jeding di rumah Mbah Nang akhirnya difungsikan. Mbah Nang meminta mantu-mantunya mengisi penampung air dengan air dari Mbelik. Rumah kami bahkan dicat ulang dengan warna putih agar terkesan bersih dan terawat.
Sorenya Mbah Nang dan Mbah Dok meletakan sajen lagi di Mbelik dan Pohon tua yang kering di belakang rumah. Aku ingat, Mbak dok meletakkan secangkir susu untuk Pahing dan secangkir kopi untuk Simbah yang diyakini telah menjaga rumah kami.
Sejak saat itu, aku jadi memahami alasan kenapa Mbah Nang dan Mbah Dok selalu memberi sajen di tempat-tempat tertentu. Aku paham, jika itu adalah cara beliau-beliau menghargai "mereka". Dan selalu ada alasan kenapa hal itu harus dilakukan.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Shankara Anggita

Shankara Anggita Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @shankaraanggita

Dec 29, 2022
"WINGIT"

-HORROR THREAD-

@bacahorror
#bacahorror Image
Desember, 2022. Masih musim penghujan ya? Belakangan memang kulihat mendung terus menghiasi langit. Dan bisa dipastikan setiap pulang kerja, tubuh ringkihku ini harus bergumul dengan derasnya air hujan. Dimana nantinya rasa dingin berhasil menyusup hingga ke sum-sum tulang.
Lumayan, semua kepenatan ini harus kunikmati. Bagiamanapun aku mensyukuri tiap tetes air yang Gusti Pangeran kirim turun ke bumi.
Read 303 tweets
Aug 30, 2022
"ANGGINI"
PART II

-HORROR THREAD-

@bacahorror
#bacahorror Image
Setelah mendapat wejangan dari Mbah Kyai, aku mencoba menjalani hari-hariku dengan biasa. Aku berusaha menerima apa yang memang seharusnya aku terima.
Dan sesuai pesan Mbah Kyai, aku juga berusaha mengacuhkan semua pikiranku mengenai siapa atau apa hubungan ular yang disebut Gini itu dengan diriku. Walaupun semua pertanyaan tengah berkecamuk di dalam kepalaku.
Read 206 tweets
Jul 20, 2022
"ANGGINI"

-HORROR THREAD-

@bacahorror
#bacahorror Image
"Anggini wae, cah ayuku jenengono Anggini, Nduk. Jeneng iku cucuk karo opo le deknen duweni," (Anggini sja, Cah Ayuku beri nama Anggini, Nak. Cocok dengan apa yang dia punya). kata Mbah Nang sembari menimang" seorang bayi yg badannya sudah di bedong rapi menggunakan kain jarit.
Bayi itu terus melihat wajah Mbah Nang dengan mata yang berbinar-binar. Dia tersenyum dan berteriak "Ngyangghkkkhhhi" seolah menandakan bahwa dia setuju dengan saran nama yang diberikan.
Read 231 tweets
Jun 13, 2022
"CAH AYUKU"

- HORROR THREAD-

@bacahorror #bacahorror Image
"Cah Ayuku," itu adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh Mbah Nang ketika melihat seorang bayi perempuan yang baru saja lahir dari rahim seorang perempuan yang selama empat tahun ini mengalami keguguran merulang kali.
Seorang bayi yang kulitnya tidak hitam tapi juga tidak putih. Seorang bayi yang alis matanya tebal, hidungnya cenderung pesek dan bibirnya tipis. "Cah ayu, lambe kok koyo mik di silet," (Anak cantik, bibirnya tipis seperti hanya di silet). Kata Mbah Nang yang berdecak kagum.
Read 146 tweets
May 18, 2022
"DIGONDOL"

- HORROR THREAD-

@bacahorror #bacahorror Image
Dari tadi sore hujan terus mengguyur perkampung kecil ini. Menyisakan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Kalau hujan begini, banyak memori masa kecil yang menyeruak keluar ingin kuceritakan.
Tapi aku akan fokus ke pembahasan sesuai judul yang sudah aku post sebelumnya. "Di Gondol". Walaupun kalau hujan-hujan begini akan sulit untuk fokus, karena biasanya, "mereka" dengan menyebalkannya akan tanpa ijin meneduh di dalam rumah. Apakah di tempat kalian juga hujan?
Read 89 tweets
May 15, 2022
"SEDULUR ALUS"

- HORROR THREAD-

@bacahorror #bacahorror
Karena beberapa pembaca mungkin bukan berasal dari Jawa. Jadi mungkin saja beberapa orang tidak tahu apa arti dari sedulur alus. Sedulur dalam Jawa berarti saudara sedangkan Alus berarti halus.
Namun, bukan berarti Sedulur Alus adalah saudara yang berperilaku halus seperti yang terpikirkan oleh beberapa di antara kalian.
Read 134 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(