Saat 3 batasan, yaitu waktu, biaya, dan tenaga kerja, tidak bisa diganggu gugat, maka yang harus bisa "digoyang" adalah ruang lingkup. Kalau ruang lingkup juga tidak boleh diubah, risikonya adalah penurunan kualitas produk. Produk terlihat bagus, tapi isinya jauh dari bagus.
Yang jarang dilihat adalah penurunan kualitas hidup tenaga kerja karena dari 3 batasan di atas, hanya tenaga kerja yang bisa diperas sampai kering. Lembur dimaksimalkan dan akhir pekan tetap kerja. Risikonya adalah demoralisasi yang sering berujung pada menurunnya kinerja.
Turunnya kinerja tidak mungkin tidak berdampak pada kualitas produk. Apalagi saat waktu dan biaya sudah mentok, turunnya kinerja itu juga sering mengambil wujud potong kompas. Kualitas tidak lagi penting. Yang penting kelar, walaupun ujungnya FUBAR.
Dalam #Agile, orientasinya adalah nilai tambah yang maksimal. Wujud produk tidak saklek. Nilai tambah dilihat per komponen produk. Prioritas disusun berdasarkan nilai tambah. Yang paling bernilai, paling diutamakan. Itu berarti ruang lingkup bisa disesuaikan, bukan?
Fleksibilitas dalam #Agile dapat mendobrak deadlock yang terjadi akibat terbatasnya sumber daya. Waktu, biaya, dan tenaga kerja sudah mentok? Sesuaikan saja ruang lingkupnya. Utamakan yang bernilai tinggi, relakan yang bernilai rendah. Yang penting, nilai tambah tetap maksimal.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Waktunya cuap-cuap soal #Agile. Begitu lamanya tidak bicara soal Agile, kadang malu sendiri pasang "Praktisi Agile" di bio. Bukan saya tidak mau, tapi karena saya sempat terjebak rutinitas sehingga tidak banyak yang bisa diceritakan. Kali ini, kita bicara soal komunikasi.
Kita mulai dari akarnya: Manifesto Agile. Di situ, 2 dari 4 pernyataannya terkait erat dengan komunikasi, yaitu "interaction" dan "collaboration". Sayangnya banyak orang lebih fokus pada "working software" dan "responding to change". Itu salah satu alasan Agile menjadi fragile.
Kadang fokus terhadap software dan responsiveness bukan hanya "lebih", tapi HANYA. Ada orang-orang yang melihat Agile sebagai cara kerja yang mengutamakan value dan merespons perubahan demi memaksimalkan value itu. Itu salah satu alasan Agile berubah menjadi chaotic.
Nyambung, ah. Film My Son cukup layak tonton. Ketegangannya terasa, tapi efek dari McAvoy tidak baca naskah sebelum akting tidak terlalu terasa. Aktor jago, sih, ya. Respons instan atau telah disiapkan sebelumnya sama-sama terasa riil. Mungkin juga saya yang tidak paham. 😅
Sayang plotnya terlalu singkat. Ada banyak potensi plot yang lebih luas, tapi kelihatannya sengaja ditahan. Entah apa alasannya. Yang jelas, selesai menonton film itu, saya tidak merasa ceritanya menggantung, tapi tetap penasaran dengan beberapa bagian yang tidak diperdalam.
Omong-omong soal James McAvoy, saya mulai suka aktor itu sejak saya menonton Split. Menurut saya, cara dia memerankan tokoh dengan kepribadian ganda di Split memang luar biasa. Alasannya karena kepribadian ganda yang diperankan cukup banyak dan karakter masing-masing cukup unik.
Lahir dan dibesarkan dalam keluarga dengan kondisi ekonomi pas-pasan, lalu belajar untuk hidup hemat. Seiring waktu rejeki bertambah luas, tapi kebiasaan hemat tetap ada. Harta ekstra tersedia, tapi tetap enggan mengeluarkan uang.
Ada? Ada, dong. Contohnya, ya, saya. 😅
Untungnya kebiasaan berhemat itu tidak berubah menjadi pelit. Saya berhasil mengubah pola pikir saya untuk tidak melihat rejeki dari sudut pandang yang sempit. Bukan berarti royal, tapi seimbang. Rejeki tetap bisa dinikmati dengan cara yang tidak berlebihan. Kuncinya: anggaran.
Anggaran bulanan itu pada intinya perlu dibagi 2: sekarang dan masa depan. Mulai dari kebutuhan hidup, lanjutkan dengan target di masa depan, lalu sisakan sedikit untuk kita nikmati. Itu yang rutin saya lakukan setiap bulan.
Omong-omong, orang yang terjebak utang karena terpaksa itu tidak sedikit. Saya juga sempat melihat sendiri orang-orang dalam kondisi seperti itu. Salah satu yang membuat miris adalah orang-orang yang terpaksa berutang karena tekanan sosial.
Contohnya di sebuah kampung (atau dusun?), saya melihat sendiri orang berutang untuk merayakan sunatan anaknya. Perayaannya luar biasa: pasang tenda dan panggung, siapkan makanan untuk puluhan warga sekitar, siapkan sesajen untuk beberapa tempat, dll. Berat betul urusannya.
Perayaan itu dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Kalau tidak dilakukan, siap-siap menjadi bahan nyinyir warga lainnya. Kita bisa saja bilang, "cuek saja!" Masalahnya untuk cuek saat SEMUA orang menatap dengan tatapan merendahkan itu tidak mudah. Ya, kan?
Tadi sempat nonton film indie berjudul Puan (2018). Film itu bercerita tentang seorang wanita penyintas kekerasan seksual. Fokusnya pada dampak negatif peristiwa buruk itu terhadap korban yang terus menghantui korban tanpa henti.
Film-film seperti Puan itu mengingatkan saya akan besarnya risiko menjadi perempuan di masyarakat. Risiko yang sama juga dirasakan oleh para orang tua yang memiliki anak perempuan seperti saya. Film itu juga memperlihatkan bahwa risiko itu ada sejak dini, tidak menunggu remaja.
Ada 2 hal yang saya lakukan untuk meminimalkan risiko itu: (1) Saya ceritakan ke si Kecil Lucu soal "bahaya" yang ada di luar sana. (2) Saya membuka diri saya agar si Kecil Lucu mau bercerita soal kesehariannya.