Daniel Ahmad Profile picture
Jun 30, 2022 73 tweets 9 min read Read on X
Dini hari kakek membangunkanku. Dari caranya mengguncang dan menepuk kakiku, sepertinya dia sangat panik. Aku belum siap menghadapi dunia yang masih terlalu dingin dan gelap, hanya bisa merespon dengan wajah kusut dan berdeham serak.
"Cepat cuci muka! Kita ke rumah sakit."

"Hah?"
Mataku terbuka sedikit lebih lebar. Khawatir penyakit kakek tambah parah, sampai-sampai dia mengajakku ke rumah sakit, tempat yang paling kakek benci karena dia takut jarum suntik.

"Kakek sakit?" tanyaku.

"Bukan kakek, tapi Sugik. Dia baru saja kecelakaan, kakinya patah."

***
Kami menempuh perjalanan sekitar tujuh kilometer ke kota Sembalur, kota kecil yang punya salah satu pabrik gula terbesar di kabupaten. Di pabrik itulah semua hasil tebu diolah, dan ke sanalah truk-truk yang lalu-lalang di seluruh kecamatan Banyusirih bermuara.
Tidak hanya mengandalkan truk sebagai sarana angkut, Sembalur juga punya kereta lori yang sampai saat ini (1990) masih beroperasi.
Kereta tua pengangkut tebu itu masih tampak kokoh melintas di atas rel peninggalan belanda yang membujur di sepanjang Sembalur, di pinggir jalan.
Jalurnya terus memanjang sampai ke hutan Sumbergede, meski jalur ke Sumbergede sudah lama ditutup, sejak akses ke ladang tebu Sumbergede makin mudah, dan mereka memilih mengangkutnya menggunakan truk saja.
Sembalur tidak punya gedung pencakar langit. Hanya deretan toko dan warung berjajar di pinggir jalan, serta beberapa bangunan industri, seperti pabrik gula, pabrik kapas, dan perkebunan milik pemerintah.
Tidak lupa pasar tradisional dan juga pasar hewan. Beberapa fasilitas umum yang tidak ada di desa juga tersedia di Sembalur, salah satunya adalah Rumah Sakit yang berada di jantung kota.
Setibanya di rumah sakit, aku dan kakek bergegas ke kamar nomor dua di Ruang Anggrek, di kamar itulah temanku yang bernama Sugik sedang terbaring dengan kaki kanan berselubung perban yang sedang digantung ke langit-langit.
Dia punya derita, aku punya rasa iba. Namun, melihat luka di wajahnya, entah kenapa perutku serasa geli. Sugik punya luka gores tepat di bawah hidung, di atas bibir, membuatnya terlihat seperti komedian Jojon, dan itu sangat menggelitik.
Aku masih bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Bagaimana pun akrabnya kami, tetap saja tak elok menertawakan orang yang sedang tertimpa musibah.
"Lihat, Dan, lihat mukanya! Mirip Jojon, kan?" ledek kakek.

Mata kakek sampai berair, tangan kirinya masih menunjuk Sugik, sedangkan tangan kanannya menepuk-nepuk punggungku sambil terbahak-bahak.
Sejujurnya aku pun lelah menahan tawa. Sekarang wajahku jadi kelihatan bodoh karena bingung harus memasang raut seperti apa.

"Gendeng! Cucuku sedang kena musibah malah ditertawakan!" Tegur Mbah Sopet, kakek dari Sugik.
"Lah, iya, maaf." Kakek berdeham "Saya langsung ke sini pas dengar kabar tentang Sugik, tidak menyangka kalau kondisinya sangat—Ya Allah!"
Kakek kembali cekikikan karena tidak tahan melihat wajah Sugik. Suara kakek bahkan hampir hilang.

Aku dan Mbah Sopet cuma bisa geleng kepala. Kami berdua sudah tidak heran lagi dengan tingkah kakek.
"Kenapa anak pesantren ada di sini?" sapa Sugik, sinis.

Dia masih kelihatan sangar walau habis celaka. Wajahnya memang sudah menyebalkan sejak masih kecil. Sugik berperawakan tambun, dengan kedua alis yang nyaris menyambung.
Tak terhitung berapa kali aku dibuat nangis olehnya waktu kecil dulu, tapi saat ada anak lain yang coba menggangguku, Sugik selalu di depan untuk membela.
"Lagi liburan," jawabku, sambil menghampiri Sugik di pmebaringan.

"Baguslah, selama di sini kamu bisa ajari kakekmu sopan santun."

Sugik terdengar ketus. Tatapan sinisnya ia tujukan pada kakek yang masih berusaha menyudahi tawa.
"Jadi, gimana ceritanya kamu sampai babak belur gini?" tanyaku.
Belum sempat Sugik menjawab, tiga orang pria datang, masuk kamar dengan tergesa-gesa, tanpa salam. Salah satu dari mereka adalah Pak Edi, bersama dua orang aparat desa yang wajahnya tidak asing bagiku.
Kalaupun kami tidak saling sapa, itu karena aku tidak cukup baik dalam mengingat nama orang.
"Kang Saleh," Sapa Pak Edi.

Ketiganya bersalaman dengan kakek, tapi tidak dengan Mbah Sopet. Kedatangan mereka yang tanpa mengetuk pintu dan tanpa mengucap salam itu adalah pertanda bahwa mereka sudah ada di sini sebelum kami.
"Kami sudah melakukan pengejaran bahkan sampai ke Desa Leduk, sayang sekali pelakunya sudah kabur," tutur Pak Edi, "Tapi jangan khawatir. Ciri-ciri motor yang kamu sebutkan tadi sudah cukup jadi petunjuk. Kami akan terus melacaknya sampai ketemu," lanjutnya.
Oh, jadi Sugik ini korban tabrak lari? Pikirku menyimpulkan.

"Motor cucu saya gimana, Di?" tanya Mbah Sopet.

"Sudah kami amankan. Sementara kami titipkan di Balai Desa."

Pak Edi menghela napas, lalu memandang Sugik penuh iba sambil geleng kepala.
"Kamu beruntung saya masih kenal sama Mbah Sopet. Kalau tidak, saya dan warga yang lain tidak mau menolongmu, Dik."

Sugik membuang muka. Sejak kecil dia adalah anak yang susah dinasihati.
"Pak Edi benar," sahut salah seorang aparat desa yang datang bersama Pak Edi. "Gimana pun juga, kamu tetap bersalah. Menurut saksi mata, kamu bawa motor sambil kebut-kebutan.
Dokter juga bilang kalau kamu dalam pengaruh minuman keras, jadi saran kami, pikirkan lagi kalau mau membawa masalah ini ke jalur hukum," pungkasnya.
"Tenang saja," sela kakek "Sopet sudah memaafkan pelakunya. Dia juga tidak akan minta ganti rugi, apalagi sampai bawa-bawa polisi. Iya, kan?"

"Maaf, sih, iya, tapi ganti rugi harus tetap—"

"—Kan?"
Kakek mengulangi pertanyaannya dengan nada berbeda. Kali ini terdengar sedikit mengancam. Memaksa Mbah Sopet untuk setuju.

"Iya, iya! Saya tidak akan memperpanjang masalah ini," sahut Mbah Sopet. Terdengar sangat terpaksa.
"Bisa nggak kalian ngobrolnya di luar saja? Aku mau istirahat," usir Sugik.

Walaupun sempat kaget karena sikap Sugik yang tidak sopan, Pak Edi dan kedua temannya akhirnya mengangguk setuju.
"Ya, udah, sekalian kami pamit pulang dulu. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan-sungkan kabari saya," ucap Pak Edi.
Mereka bertiga akhirnya pulang. Kakek dan Mbah Sopet hanya mengantar sampai di pintu. Sebelum benar-benar pergi, bisa kudengar percakapan mereka berlanjut dengan suara pelan.
Lagi-lagi yang dibahas adalah isu santet yang sedang gencar-gencarnya dibicarakan warga. Setiap kali mendengar tentang itu, aku jadi merasa liburan di waktu yang kurang tepat.
"Nyebelin juga orang itu!" gerutu Sugik, memecah perhatianku pada percakapan orang-orang di luar.

"Siapa? Pak Edi?"

"Semuanya."

"Loh, mereka kan yang bantu kamu."

"Sekaligus nyalahin semuanya sama aku?"
"Ya, soalnya ngebut sambil mabuk-mabukan memang salah, kan?"

Sugik benci jika dirinya kalah berdebat. Kami bisa saja adu argumen sampai mulut berbusa, tapi entah kenapa kali ini Sugik terdiam.
Baru saja ia hendak membalas, membuka mulutnya sesaat, lalu menelan argumennya sendiri layaknya orang kehabisan kata-kata. Tidak biasanya dia begitu.
"Kamu benar," ucapnya pasrah.

Air muka Sugik mulai aneh. Kerutan di dahinya serasi dengan matanya yang berair, bak anak kecil yang hendak menangis karena menyesali tingkah nakalnya. Tumben? batinku.
Kakek dan Mbah Sopet kembali ke kamar. Pak Edi dan yang lain sudah pulang, dan tiba-tiba suasana di kamar jadi tidak lagi hangat. Hilangnya senyum di wajah kakek, dan masamnya air muka Mbah Sopet membuatku tidak nyaman.

"Jadi, gimana cerita sebenarnya?" tanya kakek.
"Sebenarnya?" Mbah Sopet balik bertanya.

"Ayolah, kamu tidak bisa membohongiku. Sopet si serba tahu, tidak mungkin minta bantuan orang macam Edi buat ngelacak orang yang nabrak cucunya. Kecuali kamu sengaja ngalihin perhatian mereka dari masalah yang sebenarnya," tukas kakek.
"Sialan kamu, Leh," ucap Mbah Sopet.

Masalah yang sebenarnya? Apa? Aku cuma bisa bertanya-tanya, dan saat kumenoleh pada Sugik, dia seperti sudah siap mengungkapkan kebenaran.
"Tidak ada tabrak lari," ucap sugik.

"Maksudmu?" tanyaku.
Tangan kanan Sugik bergetar. Perlahan dia angkat untuk menutupi wajah, menyembunyikan ketakutan yang tidak bisa lagi Sugik pendam. Trauma masih terpancar jelas di sorot mata, dan larut dalam suaranya yang terbata-bata.
Ia menarik napas panjang, kemudian menahannya sesaat sebelum ia embuskan secara perlahan.

"Yang sebenarnya terjadi bukanlah peristiwa tabrak lari ..."

***
"Tadi malam, aku terlalu asyik ngobrol sama teman-teman di tempat nongkrong sampai lupa waktu. Baru sadar pas sudah pukul setengah dua belas. Meski masih pusing, aku paksain buat pulang,
ya, seperti yang kamu tahu, aku dalam pengaruh minuman keras. Setidaknya cukup sadar buat bisa naik motor sendiri dan menolak diantar teman. Aku bawa motor dengan hati-hati. Pelan banget. Awalnya." tutur Sugik, sambil terbata-bata.
"Barulah waktu lewat gapura Sumbergede, mulai gerimis. Aku mulai ngebut, nggak mau basah kuyup tengah malam. Meskipun jalan Sumbergede banyak lubang sama polisi tidur, tetap aja aku terobos.
Waktu itu jalanan sepi banget. Udah nggak ada kendaraan lewat. Nggak tahu kenapa tiba-tiba aja penglihatanku buram. Lama-lama makin parah, sampai nyaris nggak ngelihat jalan.
Berkali-kali aku ngusap muka, ngucek mata yang basah, tapi pas ngerasa penglihatanku mulai jelas, tiba-tiba ada yang melintas di jalan."
Sugik menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Entahlah, mungkin dengan begitu dia bisa mengingat jelas apa yang semalam dilihatnya di jalan.

"Si-siapa?" tanyaku yang mulai larut dalam tegang.

"Le-lembu," jawab Sugik.

"Lembu? Sapi?"
"Entahlah, Dan. Itu lembu, kerbau atau banteng, aku nggak bisa mastiin, yang jelas warnanya hitam, gelap."
Aku memastikan tidak salah dengar, karena setelah ketegangan yang dibangun, seekor sapi benar-benar terasa antiklimaks dan sedikit lucu. Syaraf humorku tergelitik membayangkan Sugik patah tulang gara-gara menabrak seekor sapi.
Dia pasti sangat malu sampai-sampai harus berbohong, mengarang cerita tabrak lari. Aku nyaris menyemburkan tawa kalau saja tidak melihat wajah serius kakek dan Mbah Sopet. Kupikir, kalau kakek yang begitu saja tidak tertawa, berarti memang tidak ada yang lucu.
"Kamu lagi ngetawain aku, kan?" tuduh Sugik.

"Eh, nggak, ehm, aku cuma nggak habis pikir, sapi siapa yang keliaran tengah malam begitu."
"Itu bukan sembarang sapi. Aku sempat ngehindar ke kiri, tapi sialnya malah nabrak tiang listrik. Marah, sakit, mabukku rasanya langsung hilang dan pengin ngamuk.
Nggak butuh waktu lama aku bangun, nggak peduliin motor yang kelempar lumayan jauh dari tempatku jatuh, aku berniat nyamperin sapi sialan itu meski harus berjalan pincang, tapi ... pas aku noleh ke arah sapi itu ...."
Aku menelan ludah. Sugik memberi jeda pada ceritanya tepat di saat-saat yang paling mendebarkan, dengan cara yang menegangkan pula.
"Sapinya hilang, yang ada di tengah jalan malah anak kecil. Duduk di aspal sambil nangis."

"Anak kecil?"
Aku menoleh pada kakek dan Mbah Sopet, sekadar ingin menyamakan reaksiku yang menganggap cerita Sugik sedikit tidak masuk akal, dan cenderung kocak.
Namun, entah kenapa raut wajah kakek dan Mbah Sopet menegaskan kalau mereka tidak kaget, tidak tergelitik, dan seolah semuanya wajar, seolah mereka tahu sesuatu yang aku tidak tahu.
"Ya, usianya kira-kira lima sampai tujuh tahunan—Aku nggak yakin—waktu itu lumayan gelap meski ada lampu jalan, tapi satu hal yang aku tahu pasti, ternyata bocah itu cacat."

"Tahu dari mana kalau cacat, katanya gelap?" tanyaku, meski di sini aku sudah mulai menduga-duga sesuatu.
"Awalnya anak itu nangis seperti kesakitan, atau ketakutan soalnya aku yakin betul nggak nabrak apa-apa. Lama-lama nangisnya makin histeris, seperti kesurupan. Menjerit, menyentak-nyentak. Waktu itulah datang anak lain yang langsung nolong si bocah.
Anak yang baru datang ini kurus, tinggi, dia menghampiri anak yang di aspal, terus menggendongnya di bahu. Dari situlah aku tahu, kalau anak yang di aspal itu ternyata nggak punya kaki."
Aku tahu siapa yang Sugik maksud. Tidak salah lagi, mereka adalah anak-anak Pak Ahsan. Kalau ingat kondisi mereka yang memang tidak normal, aku tidak heran kalau tingkah mereka juga di luar kebiasaan anak-anak pada umumnya,
tapi bermain di tengah jalan pada malam hari, apa yang dilakukan Pak Ahsan? Kenapa tidak diawasi? Lupakan itu dulu, lantas apa hubungannya dengan seekor sapi yang dilihat Sugik?"
"Lembu yang kamu lihat ini gimana bentuknya?" tanya kakek, yang akhirnya buka suara setelah sejak tadi diam mendengarkan.

"Kata Sugik, kulitnya hitam, besar, dan kalau dia nggak salah lihat, matanya merah."
Deskripsi yang sangat detail dari Mbah Sopet. Sugik pasti sudah menceritakannya lebih dulu sebelum kami datang. Dia tidak mungkin berbohong pada kakeknya. Sejenak kedua orang tua itu saling pandang, sama-sama sedang berpikir, sampai akhirnya kakek memecah kebekuan.
"Untung nabrak lembu hitam, kalau nabrak pohon beringin, bakal lain lagi ceritanya," kelakar kakek sambil terbahak.
Lawakan yang salah tempat memanglah keahilan kakek, tapi kali ini terkesan seperti dipaksakan agar aku dan Sugik tidak terlalu memikirkannya.
Terbukti setelah itu kakek mengajak Mbah Sopet ke luar. Dalihnya ingin merokok, tapi aku tahu kakek tidak merokok. Mereka pasti tahu sesuatu tentang kejadian ini, dan memilih tidak membahasnya di depan kami.
Bersambung ...

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Feb 2, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 38, 39

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 38

Lembu hitam besar menghadang di tengah jalan. Tergeming memperhatikan kami lewat matanya yang merah menyala, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak semata ingin melintas, tapi ia punya tujuan, dan tujuan itu adalah menjemput apa yang ia rasa adalah miliknya.
Read 81 tweets
Jan 26, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN SATU.

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN 1

Keseharian Hayati saat pagi hari tak jauh dari tungku dan sumur. Menjaga agar tungku tetap menyala, serta memastikan peralatan masak bersih dari noda.
Read 111 tweets
Jan 5, 2023
Kakek dan Mbah Sopet harus pulang dengan berjalan kaki. Setelah semua aksi mereka yang membuatku kagum, aku baru sadar kalau keduanya tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Read 23 tweets
Dec 22, 2022
CHAPTER 35

Butuh waktu untuk memproses perkataan Pak Edi agar terdengar masuk akal. Ada sebagian kalimat yang tidak jelas kutangkap, tapi sesuatu tentang menghidupkan anak yang sudah mati,--
Read 97 tweets
Dec 15, 2022
Teman-teman yang baru bergabung, silakan lewat pintu masuk dulu.

CHAPTER 33

Usai mendengar cerita dari Mbah Sopet, kami memutuskan untuk segera menyusul kakek. Di luar dugaan, Sugik masih setia menunggu.
Read 62 tweets
Dec 8, 2022
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 31, 32
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 31

Saat masih sekolah dasar dulu, aku ikut pelantikan Pramuka. Kami di lepas pukul sembilan malam, berjalan kaki melewati jalan sepi di perbatasan desa, dengan kuburan sebagai garis finishnya.
Read 113 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(