Aku tercekat beberapa saat menyaksikan pemandangan mengerikan di depan mata. Tangan pak Salundik melambai-lambai di permukaan, gelagapan meminta tolong. Helai demi helai terus membungkus badannya tanpa ampun.
Tubuhnya timbul tenggelam diseret arus sementera jeritnya semakin melemah.
Aku ingin meminta maaf karena tidak bisa berbuat apa-apa. Hati kecilku merasa bersalah tapi memang tidak ada yang bisa kulakukan kecuali terdiam mematung.
Saat ini, aku benar-benar tak berdaya tanpa bisa melakukan apapun.
Aku terkesiap tatkala kurasakan ada yang menjerat di kaki. Helai demi helai rambut muncul dari dalam sungai, merambat cepat membelit tubuhku yang memakai pelampung ban dalam.
Jukung semakin liar dan bergoyang-goyang membuat tubuhku terjerembab.
Buuk!
Aku hempas di dalam jukung menahan nyeri. Mataku melotot dan hampir lepas sewaktu belitan demi belitan membekap seluruh sendi dan mencekik leher.
Kreek...kreek...
Sendi-sendiku mulai berderak, menyebabkan sakit teramat sangat hingga mataku berair. Semakin aku berontak, semakin belitan itu mencengkram erat. Badanku terasa remuk dan perasaan takut akan kematian kini menghantuiku.
"Aaarrrrgghhh...!"
Aku menjerit kesakitan. Jutaan helai rambut mengunci tubuhku. Bagai kain melilit, aku kesulitan bernafas dan pandanganku menjadi gelap. Kini tidak ada lagi yang terlihat kecuali jutaan helai rambut yang semakin kencang melilit wajah dan menutup mata.
Praak...praaak...!
Terdengar suara gemeretak yang sangat kencang, badan jukung mulai hancur akibat lilitan rambut. Suara gemeretak jukung membuat katakutanku semakin menjadi. Jantungku berdegub kencang dan nafasku ngos-ngosan.
Badanku juga terasa dingin karena air sungai mulai masuk ke dalam jukung. Berliter-liter air menyiram tubuhku bak bendungan jebol. Aku yang tidak bisa berenang benar-benar panik tidak karuan.
Kraaak… braaak…!
Jukung akhirnya terbelah dua dan hancur berantakan, sedangkan tubuhku terpelanting ke dalam sungai diseret rambut misterius itu.
Dengan leher tercekik, aku hanya bisa pasrah saat jutaan helai rambut menarik paksa tubuhku ke dasar sungai. Perlahan, tubuhku mulai tenggelam tak berdaya.
*****
Pandanganku gelap dan telingaku berdenging hebat, menusuk-nusuk hingga ke dalam otak. Seperti ada suara terompet yang bertiup kencang, telingaku mulai berdarah karena tekanan air. Dingin mulai menyelimuti seluruh tubuh, dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Dadaku terasa sangat sesak seperti dihimpit beban ratusan kilo. Nafasku tersedak dan mulut mulai muntah darah, sewaktu air mulai masuk ke dalam paru-paru.
Dari dalam sungai, untaian rambut memaksa menarik tubuhku untuk tenggelam, tapi seperti ada yang menahan.
Ban dalam! Untung saja ada pelampung ban dalam. Untuk sementara aku ada harapan untuk menyambung nyawa.
Tapi sial, pelampung di pinggang ternyata membuat keadaan semakin kacau. Aku hanyut terseret arus dengan kondisi terbalik.
Kepala hingga pinggang berada di dalam air, sedangkan bagian kaki di permukaan.
Keadaanku sangat tersiksa dengan kondisi yang semakin kritis. Hidung terasa perih karena air yang masuk tanpa henti.
Detik demi detik berlalu terasa sangat lama. Tubuhku kian melemah dan mati rasa, terhempas ke sana kemari dibawa arus deras.
Dalam keadaan setengah sadar, kulihat ada gadis kecil berenang mendekat di dalam sungai. Dengan wajah pucat, gadis kecil itu tersenyum kepadaku.
Ajeng! Ba-bagaimana mungkin? Adikku telah tewas 10 tahun lalu, tenggelam di sungai kahayan saat ikut aku memancing. Hingga kini, jasadnya tidak pernah ditemukan.
"Mas...ikhlaskan aku," ucapnya lirih seraya terus mendekat.
Tubuh gadis kecil itu mengambang, dengan rambut yang terurai indah di dalam air. Dengan lembut, arwah adik bungsuku itu melepas helai demi helai jutaan rambut yang membelit.
"Mas...ikhlasaken kulo, nggih," tuturnya dengan senyum ramah.
Tubuhku gemetar dan air mataku mengalir. Ada rasa sesal yang belum hilang, karena ulahku, adik bungsuku ini tewas tenggelam. Sampai sekarang, aku belum bisa memaafkan diri sendiri. Karena kecerobohanku, adik kecilku itu tenggelam di sungai.
Kami berdua terjatuh ke sungai sewaktu mendayung jukung di sungai Kahayan.
Waktu itu, jukung kami terbalik karena dihantam gelombang speedboat yang lewat. Ajeng menjerit meminta tolong, tapi rasa takut tenggelam menyelimutiku.
Kubiarkan dia tengggelam diseret arus, sedangkan aku mencengkram erat badan jukung yang tertelungkup di permukaan sungai.
Aku hanya bisa menangis sembari berteriak memanggil namanya, tapi tetap saja sia-sia.
Di depan mata kepalaku, tubuh mungil si bungsu perlahan menghilang ke dasar sungai. Aku menjerit sejadinya bagai orang kesurupan mengutuki diri sendiri.
Karena ketakutanku, Ajeng tewas tenggelam dan jasadnya tidak pernah ditemukan. Sifat pengecut yang kusesali hingga sekarang. Rasa bersalah pun terus menghantui dan membuatku trauma akan sungai hingga sekarang.
"A-Ajeng...maafkan mas..." sahutku terisak.
Adik kecilku hanya tersenyum, lalu mengangguk lantas merengkuh tubuhku dan membawaku permukaan. Aku gelagapan mencari udara sewaktu kepalaku menyembul di atas air.
Teriakan panik datang silih berganti seiring sepasang tangan menarik tubuhku ke dalam kelotok.
Bruuk...!
Tubuhku terbanting di dalam kelotok dengan cahaya senter yang menyilaukan mata menyorot wajah.
Seketika aku menggigit bibir menahan dingin yang mendera. Aku menggigil dengan kondisi tubuh yang mulai membiru. Tiga orang yang kukenal terlihat panik berusaha menyelamatkanku yang dalam keadaan kritis.
Haji Badri! Haji Badri, pambakal Bahat dan mantir Tuweh rupanya telah menyelamatkanku dari tenggelam. Bertindak cepat, mereka segera melepas ban dalam yang melingkar di pinggang.
Setelah melepas baju yang kukenakan, selembar sarung lusuh langsung diselimutkan di badanku yang menggigil kedinginan.
Menggigit bibir, aku meringkuk di dalam kelotok menahan dingin. Gigiku bergemelutuk sementara kelotok terombang ambing di tengah sungai yang gelap dan sunyi.
Rupanya aku hanyut cukup jauh ke hilir dibawa arus.
Haji Badri menyuruhku untuk tetap istirahat dan tidak banyak bergerak. Jaket yang ia kenakan ia lepas dan menyuruhku untuk mengenakannya.
Di sudut kelotok, pak Salundik terduduk dengan pandangan nanar. Ia sepertinya tidak terlalu peduli dengan suhu dingin yang membalur tubuhnya yang basah. Aku tidak bisa menduga apa yang ia pikirkan, tapi jelas sekali dia tampak kebingungan dengan segala apa yang terjadi.
Pambakal Bahat dan mantir Tuweh hanya membiarkan saja pak Salundik yang duduk termenung, tenggelam dalam pikirannya yang entah kemana.
Haji Badri yang sedari sibuk bergegas duduk di balik kemudi, membawa kelotok meluncur membelah sungai menuju ibukota kecamatan.
*****
Malam semakin larut dan udara semakin dingin, kelotok berguncang-guncang membelah arus sungai Barito yang terlihat tenang tapi ganas. Mengenakan jaket dan memakai sarung, aku meringkuk di dalam badan kelotok menghindari terpaan angin yang menusuk tulang.
"Tidak kukira, Sangiang akan meninggalkanku."
Ucapan pak Salundik yang penuh keputus asaan membuat semua orang terdiam. Nada suaranya terdengar getir menyiratkan sakit hati yang mendalam. Pambakal Bahat dan pak Tuweh tidak menjawab apapun.
Mereka berdua hanya termenung, tidak bisa merespon atau memberi motivasi kepada pak Salundik yang masih terguncang. Perasaannya saat itu sangat kacau balau karena merasa ditinggalkan oleh sangiang, leluhur yang selama ini menjaga dan memberi petunjuk kepada orang-orang Dayak.
Masih berusaha menahan dingin yang menusuk hingga ke tulang, aku mencuri dengar tentang apa yang disampaikan pak Salundik.
"Dahulu sewaktu kecil, tubuhku sangat lemah. Aku sering sakit-sakitan tanpa sebab. Jika malam, aku sering bermimpi buruk didatangi dua orang tua memakai pakaian kuno. Mereka hanya menatapku yang terbaring tak berdaya, lalu menghilang di balik tembok kamar.
Kadang, aku melihat arwah tetangga yang baru meninggal mendatangi keluarganya yang tengah berduka. Aku kerap menangis ketakutan melihat arwah-arwah orang mati berkeliaran. Beberapa di antara mereka bahkan mengajakku bicara, menitipkan pesan pada keluarga yang ditinggalkan.
Orang tuaku hanya bisa pasrah tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Selama bertahun-tahun keadaan ini menghantui hingga aku menjadi terbiasa. Ketika menginjak bangku SMA di ibukota kabupaten, aku kerap ditindas karena dianggap orang tak waras.
Aku sering bicara atau tertawa sendiri, karena itu aku dibenci oleh anak-anak sebayaku.
Keadaanku menjadi normal selepas lulus SMA. Suatu ketika, seorang kakek tua yang tinggal bertahun-tahun di hutan mendatangi kediaman orang tuaku
Ia membawa seekor babi hutan muda dan dua ekor ayam jantan di tas punggung yang terbuat dari rotan. Ia bilang kami harus segera melakukan ritual peneguhan karena aku adalah orang pilihan para leluhur, para Sangiang.
Orang tuaku yang awalnya tidak percaya dan kebingungan, tersentak dengan segala kenyataan yang disampaikan kakek misterius itu. Apa yang diucapkan kakek itu, semuanya persis dengan keadaan yang kualami."
Pak Salundik terdiam sejenak, mengatur nafasnya yang tersengal. Pambakal, pak mantir dan haji Badri menyimak dengan serius kata demi kata yang diucapkan pak Salundik. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani bertanya maupun menyela hingga pak Salundik kembali bercerita.
"Setelah dilakukan ritual, seketika segala beban yang menghimpit dadaku rasanya lepas begitu saja. Aku merasa seperti baru dilahirkan. Aku juga tidak lagi melihat arwah orang-orang mati yang kadang datang menghampiri.
Kata kakek itu, aku mendapat kepercayaan untuk menjaga orang-orang kampung yang butuh pertolongan.
Tanpa belajar, aku bisa mengetahui berbagai ritual, doa atau pun mantra yang diperlukan.
Para Sangiang, meminjam tubuhku untuk menyampaikan pesan ranying hatala langit, tuhan yang maha esa. Sedangkan aku, hanyalah manusia biasa yang tidak memiliki kekuatan apapun.
Selama berpuluh tahun, aku hidup dengan anugrah para leluhur. Namun sekarang...namun sekarang..."
Pak Salundik terdiam, tak sanggup lagi berkata-kata karena rasa sedih yang mendalam. Ia menunduk lesu dan menggeleng beberapa kali.
Dadanya kembang kempis dengan suara nafas putus-putus. Semua orang terdiam, ikut merasakan perasaan pak Salundik yang telah ditinggalkan sangiang.
"Namun sekarang, entah kenapa sangiang meninggalkanku. Membiarkan anak-anakku menderita terkena parang maya kuno yang ganas," lanjut pak Salundik dengan nada bergetar.
Suasana kembali hening, kecuali bising mesin kelotok yang menderu-deru di tengah malam buta.
"Mungkin kau salah membaca pertanda," timpal haji Badri di balik kemudi.
Pak Salundik sekonyong-konyong mendongak, menatap haji Badri yang sedang fokus dengan kemudi kelotok. Pambakal Bahat dan mantir Tuweh juga menoleh ke arah pak Haji, meminta penjelasan.
Sadar tiga orang itu menanti penjelasannya, haji Badri justru menatap mereka satu persatu lalu berucap.
"Sekitar setengah tahun lalu, ada mayat seorang nenek tua yang ditemukan mengapung di sungai ini. Tubuhnya ditemukan dalam keadaan aneh, seperti bukan orang tenggelam.
Tubuhnya ditemukan seperti kondisi orang yang hangus terbakar dimakan api. Menghitam dan penuh luka bakar.
Sungguh ganjil, orang tenggelam tapi tubuhnya hangus seperti korban kebakaran. Pihak polisi dan puskesmas juga kebingungan.
Nenek tua itu dipastikan tewas tenggelam, tapi mereka tidak bisa menjelaskan bagaimana ia terbakar."
Pak Salundik tersentak hingga tanpa sadar mulutnya ternganga. Pambakal dan pak mantir juga terlihat kaget. Mereka menggeser tempat duduk agar lebih dekat dengan haji Badri.
"Pak Haji, kamu yakin?" selidik pak Salundik tidak percaya.
Haji Badri mengangguk pelan.
"Aku sendiri yang memasukkan mayatnya ke dalam kantong jenazah. Aku rasa, kalian tahu apa yang dilakukan nenek tua itu," tutur haji Badri sambil menatap mereka bergantian.
Pak Salundik tercenung beberapa saat. Pikirannya menerawang seperti memikirkan sesuatu yang pelik.
"Ya...aku tahu. Aku tidak menyangka akan ada orang senekat itu. Apalagi seorang nenek tua, yang sudah hidup bertahun-tahun dan hanya menunggu kematian.
Pastilah ia menyimpan dendam yang penuh amarah," jelas pak Salundik khawatir.
Mendadak aku teringat pada nenek tua yang menghantuiku beberapa waktu lalu. Mungkin saja ada kaitannya dengan semua yang terjadi beberapa hari ini.
Aku yang sedari tadi hanya mencuri dengar, segera duduk dan bertanya.
"Pak, sebenarnya apa yang terjadi dengan nenek itu?"
Empat orang lelaki paruh baya itu langsung menoleh ke arahku, membuatku semakin penasaran.
"Sumpah mayat," sahut mereka hampir bersamaan.
Aku hanya terbengong mendengar jawaban mereka. Di antara mereka berempat, sepertinya hanya aku yang baru mendengar adanya ritual sumpah mayat.
...berkentang...
Sampai Jumpa malam Senen Yak. Makasih masih setia menikmati kentang, tabe.😇🙏
Yang ingin sekedar mendukung atau baca duluan, part 27-28 sudah teraedia di Karyakarsa ya karyakarsa.com/benbela/perang…
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Jambri rupanya tak bisa berharap banyak pada aparat kepolisian yang lamban. Dengan segenap tekad, ia bergerak melakukan penyelidikan hingga akhirnya berhasil meringkus pembunuh anak dan cucunya.
-Utas-
Kamis (10/10/24) sekira pukul 09.00 WIB, Jambri dilanda gelisah. Sedari pagi, anak perempuannya yang bernama Vina belum juga datang. Pesan whatsapp yang ia kirim hanya centang satu.
Padahal, anak pertamanya itu sudah berjanji akan datang pagi-pagi sekali untuk membantu ibunya membuat kue. Selain itu, Jambri dan istrinya juga sudah tak sabar hendak bertemu cucu mereka.
Mansur (57) alias Terosman alias Kete membunuh majikannya Dasrullah (45) dengan sadis. Sesudah itu kelamin korban dipotong, diiris-iris, direbus, dikasih garam dan bawang lalu dijadikan lauk makan nasi.
-Utas-
Mansur adalah lelaki yang dikutuk kemiskinan. Keadaan yang demikian membuatnya jadi bengis, sadis dan penuh amarah menyala.
Jauh sebelum jadi pembunuh,-lalu menyantap kemaluan korbannya,- Mansur hanyalah buruh upah tani. Hasilnya pas-pasan.
Sehari makan nasi, dua hari makan angin. Begitulah setiap hari.
Jika ada panggilan, ia membantu menanam atau menuai padi. Jika tidak ada, Mansur menjadi pencuri kelas teri. Apapun ia curi demi mengganjal perut anak dan istri.
Kamis 26 September 2019 adalah hari yang kelam bagi KM (17). Jam menunjukan pukul 07.30 pagi, KM menggali lubang sedalam 30 sentimeter menggunakan cangkul dan linggis di pekarangan pondoknya yang reot.
Di belakang, sang ayah Robendi (43), mengawasi dengan mata merah menyala.
“Barake! Mun jida, ikau ji pateikuh! (Cepat! atau kamu yang kubunuh!)” ancam Robendi dengan suara menggelegar.
Dengan tangan gemetar, remaja pria itu memasukan jasad adik sekaligus keponakannya ke dalam lubang galian.
Sesekali ia meringis, babak belur di sekujur badan akibat gebukan ayah kandung belum sepenuhnya pulih.
Jumat malam 23 September 2022, hujan gerimis mengguyur kota Palangkaraya. Suasana malam terlihat sepi di kawasan Jalan Cempaka, Kelurahan Langkai. Tidak ada lalu lalang kendaraan, tidak pula orang-orang yang berkeluyuran.
Dinginnya cuaca membuat warga memilih tidur lebih awal di balik selimut yang hangat.
Jam menunjukkan pukul 22.30 WIB ketika MY (17) terbangun dari tidur. Suara bantingan keras di kamar sebelah membuatnya terjaga. Seketika ia merinding.
Samar-samar ia mendengar suara rintihan manusia dan tebasan parang mengoyak daging. Remaja putri itu langsung tercekat, terdengar suara jerit kesakitan sang ayah.
MY lantas beranjak dari kasur dengan perasan cemas.
Hantu sandah merupakan salah satu hantu khas kalimantan tapi kurang populer dibandingkan kuyang. Sandah merupakan salah satu jenis kuntilanak dengan ciri khas wajah selebar nyiru.
Konon, wajahnya yang lebar merupakan kutukan karena telah mengguna-gunai / menundukan suaminya dengan cara yang kotor.
Kata orang, semasa hidup hantu sandah memberi makan/ minum suaminya menggunakan minyak perunduk yang dicampur darah haid, pakaian dalam-.
"Ritual Pesugihan Sate Gagak di Makam Massal Korban Kerusuhan"
Sebuah kisah dari seorang kawan yang kini mendekam di penjara.
@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR
#bacahoror #threadhoror #ceritaserem #malamjumat
-Bismillah, kita mulai...
30 menit menuju pukul 12 malam, kami berlima harap-harap cemas. Sejak magrib, kami memang berkumpul di sini, di komplek kuburan massal korban peristiwa berdarah belasan tahun silam.
Semakin malam, udara terasa semakin dingin, sementara suara serangga, burung hantu dan hewan-hewan malam semakin riuh. Pohon-pohon yang mengelilingi kumpulan nisan tanpa nama ini bergoyang pelan tertiup angin, membuat suasana malam ini terasa semakin meresahkan.