Daniel Ahmad Profile picture
Jul 7, 2022 44 tweets 6 min read Read on X
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 8

@bacahorror

@IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
Tak terhitung berapa kali aku menguap. Kantuk ini tak tertolong lagi hanya dengan mandi dan secangkir kopi hangat. Terbiasa tidur sehabis subuh, membuat tubuh ini malas.
Padahal kalau di pesantren, aku bisa mengaji semalaman dan masih segar bugar di bangku madrasah. Semoga saja kemalasan ini tidak kubawa saat kembali ke sana.
Sehabis sarapan—yang sebenarnya bisa disebut makan siang, karena kami baru pulang dari rumah sakit sekitar pukul delapan pagi—aku dan kakek duduk di halaman belakang. Pekarangan seluas tiga kali empat ini dihiasi banyak bunga dan tanaman bonsai.
Hobi bapak yang dulu kuanggap tidak berguna, baru bisa kuapresiasi ketika sudah dewasa. Semua tanaman hias ini menciptakan suasana santai dan damai yang selalu aku rindukan ketika di asrama.
Di halaman belakang juga ada sumur. Hampir semua rumah di desa ini punya sumur. Mungkin karena Sumbergede jauh dari sungai. Satu-satunya sungai terdekat ada di pedalaman Hutan Sumbergede.
Meskipun rumahku dekat dengan hutan, siapa juga yang mau pergi ke sana sekadar mengambil air. Lagipula setelah peristiwa yang menimpa desa ini beberapa tahun lalu, warga dilarang keras memasuki hutan,
dan setelah saluran PDAM merata, kami jarang menggunakan sumur kecuali untuk menyiram halaman dan tanaman-tanaman bapak.
"Di pesantren diajari masak?" tanya kakek.

"Nggak, tapi kami memang terbiasa masak sendiri, kan? Lebih hemat daripada beli nasi bungkus tiga kali sehari."

"Oh, pantas ikan gorengnya asin, ternyata tidak ada pelajaran memasak."

"Hah?" seruku jengkel.
Setelah semua usahaku memasak buat kakek, dia masih saja mengeluh soal rasa. Terlepas dari benar-benar asin, atau memang sikap alami kakek yang cenderung susah memuji, tetap saja komentarnya membuatku sebal.
Kakek memintaku untuk mengambil obat dari Pak Ahsan. Cairan hijau pekat itu tinggal sedikit gara-gara kecerobohan kakek yang meminumnya hampir setiap hari.
Meski sebagai cucu yang baik aku menurut, tetap saja aku meringis jijik saat cairan kental berwarna hijau gelap membaluri kain lap dan sedikit bercipratan ke tangan.
"Huek!"

"Ya, kalau jijik jangan dilihat!" tegur kakek.

"Ya kalau nggak lihat gimana mau ngasih obat?" balasku.
Kutuangkan obat itu pada sebuah lepek agar lebih mudah mengoleskannya. Teksturnya lebih seperti bubur daripada cairan.
Masih ada remahan daun, rumput, dan akar tanaman yang kurang halus, atau memang sengaja dibiarkan begitu, aku tidak tahu, yang jelas baunya cukup menyengat. Aku lebih jijik menyentuh obat ini daripada luka di punggung kakek.

"Huek!"
"Huek terus dari tadi!" keluh kakek.

"Baunya ini loh, seperti jamu yang sering Umi cekokin kalau aku malas makan dulu, tapi yang ini lebih menyengat." Aku mengendus, "Terus kayak ada bau kotoran sapi," lanjutku.
"Kakek sering cebokin kamu pas masih kecil dulu, tapi tidak pernah jijik."

Itu perbandingan yang dipaksakan, tapi aku terima saja daripada harus mendebat orang seperti kakek.
Sambil mengoleskan obat, kuperhatikan tubuh kakek yang masih tegap untuk usianya yang sudah menginjak enam puluh tahun, atau mungkin lebih. Ustaz-ustazku di pesantren yang seumuran kakek sudah banyak yang pakai tongkat.
Ada yang sulit berjalan karena kegemukan, ada yang penglihatan dan pendengarannya sudah tidak begitu baik, tapi kakekku ini seperti masih bisa melemparku ke atas, lalu menangkapnya lagi tanpa beban seperti saat aku kecil dulu.
"Kek, apa kecelakaannya Sugik itu ada hubungannya sama Pak Ahsan?" tanyaku.

Mungkin bagi kakek pertanyaan ini terkesan tiba-tiba dan sembarang, tapi aku sudah menahannya sejak di rumah sakit.

"Memang Pak Ahsan kenapa?"
Kakek balik bertanya, sambil menahan perih di punggung karena aku kurang hati-hati mengoleskannya. Entah gugup, atau takut.
Dari dulu aku tidak suka ikut campur urusan orang tua, dan melihat bagaimana kakek berusaha menutupi kecelakaan Sugik dari Pak Edi, rasanya aku juga jadi orang yang tidak berhak tahu.
"Waktu aku jemput obat ke sana kemarin malam, aku ketemu sama anak-anak itu. Semalam pas belanja juga ngelihat salah satu dari mereka di warung Cak Imam. Mereka nggak kayak anak-anak normal.
Semuanya cacat, tingkahnya juga agresif. Masa aku mau dilempari paku sama beling cuma gara-gara nggak sengaja nginjak mainannya."

"Anak-anak?" tanya kakek, heran.

"I-iya," jawabku, gugup.

"Pak Ahsan itu tidak punya anak. Istrinya juga sudah meninggal sebelum pindah ke sini."
Penuturan kakek membuatku makin bingung, dan mulai sedikit takut. Namun, kalau ingat gelagat kakek dan Mbah Sopet yang cenderung menutup-nutupi sesuatu tentang kecelakaan Sugik, aku yakin kakek hanya pura-pura tidak tahu.

"Terus itu anak-anak siapa?"
"Mungkin anak-anak tetangga yang kebetulan main di sana."

"Main malam-malam?"
"Kamu juga waktu kecil sering main sampai larut malam, baru mau tidur kalau Abahmu sudah angkat rotan."

"Ya, tapi rumah Pak Ahsan itu sepi. Nggak ada lampu listrik malah. Aku juga lihat sendiri mereka masuk ke rumahnya, terus Pak Ahsannya juga ngaku kalau mereka anak-anaknya."
Tiba-tiba kakek menoleh. Terpaksa aku berhenti mengolesi obat. Wajahnya mulai serius dan menurutku sedikit menakutkan. Kakek hanya berwajah seperti itu kalau sedang berurusan dengan sesuatu yang gawat.
"Dia bilang gitu sama kamu?" tanya kakek.

"I-iya."

"Lain kali tidak usah tanya sesuatu yang sifatnya pribadi! Kamu beruntung orangnya tidak tersinggung."
Aku sudah terbiasa dinasihati kakek, tapi kali ini nadanya sedikit membentak, dan kakek adalah orang yang jarang marah. Dia bahkan kehilangan nafsu untuk diobati, lalu beranjak mengambil handuk untuk pergi mandi.

"Ya sudah," gerutuku.
Kulanjutkan kegiatan menjelang siang dengan menyapu halaman. Daun-daun mangga yang berjatuhan karena angin dan hujan sudah menutupi sebagian besar halaman. Belum lagi ranting-ranting patah yang berserakan.
Pinggangku sampai nyeri karena sapu lidi yang kupakai tidak sebanding dengan tinggi badan. Satu-satunya yang masih bisa kusyukuri adalah tanah halaman yang basah.
Setiap sapuanku jadi tidak terlalu berat karena tanah kering dan berkerikil yang sering nyangkut. Saat sudah separuh selesai, aku menemukan sesuatu di halaman.
“Jejak kaki?”

Ada jejak kaki seukuran telapak kaki anak-anak di halaman. Kuingat kembali siapa saja tamu yang berkunjung ke sini, dan sangat yakin tidak ada anak kecil.
Halaman rumahku juga hampir tidak pernah didatangi anak-anak tetangga, selain karena jauh, tidak ada apa pun di rumah ini yang bisa menarik perhatian mereka.
Kutelusuri jejak kaki yang tampak masih baru itu. Dari bentuk yang seragam, sepertinya milik satu orang. Berjalan lurus dari halaman, lalu sampai ke teras.
Di sana jejak kakinya tidak lantas hilang, masih membekaskan tanah lantai yang kalau bukan karena jejak kaki ini kutemukan lebih dulu, mungkin tanah di teras itu kukira hanya kotoran akibat angin dan hujan.
Penelusuranku telah sampai ke ujung, dan di sana kutemukan sesuatu. Di bawah jendela, bersandar pada dinding, adalah sebuah ubi rebus. Mungkin lebih tepatnya separuh ubi rebus yang dibungkus koran bekas, dan sedikit kotor seolah pernah jatuh ke lumpur.
Aku tak berani menyentuhnya. Bungkusan aneh dan misterius adalah sinyal bahaya di desa ini, terutama setelah seringnya warga menemukan bungkusan berisi benda-benda tajam yang diduga jadi perantara sihir.
Kusapu ubi itu, kubawa menggunakan penyerok, lalu kubuang jauh ke seberang jalan sambil berusaha membuang juga segala praduga tentang jejak kaki dan asal-usul ubi misterius tersebut.
Bersambung kamis depan, ya.
Untuk yang penasaran, bisa baca tiga chapter selanjutnya lebih awal di Karyakarsa.

karyakarsa.com/ahmaddanielo/m…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Feb 2, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 38, 39

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 38

Lembu hitam besar menghadang di tengah jalan. Tergeming memperhatikan kami lewat matanya yang merah menyala, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak semata ingin melintas, tapi ia punya tujuan, dan tujuan itu adalah menjemput apa yang ia rasa adalah miliknya.
Read 81 tweets
Jan 26, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN SATU.

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN 1

Keseharian Hayati saat pagi hari tak jauh dari tungku dan sumur. Menjaga agar tungku tetap menyala, serta memastikan peralatan masak bersih dari noda.
Read 111 tweets
Jan 5, 2023
Kakek dan Mbah Sopet harus pulang dengan berjalan kaki. Setelah semua aksi mereka yang membuatku kagum, aku baru sadar kalau keduanya tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Read 23 tweets
Dec 22, 2022
CHAPTER 35

Butuh waktu untuk memproses perkataan Pak Edi agar terdengar masuk akal. Ada sebagian kalimat yang tidak jelas kutangkap, tapi sesuatu tentang menghidupkan anak yang sudah mati,--
Read 97 tweets
Dec 15, 2022
Teman-teman yang baru bergabung, silakan lewat pintu masuk dulu.

CHAPTER 33

Usai mendengar cerita dari Mbah Sopet, kami memutuskan untuk segera menyusul kakek. Di luar dugaan, Sugik masih setia menunggu.
Read 62 tweets
Dec 8, 2022
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 31, 32
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 31

Saat masih sekolah dasar dulu, aku ikut pelantikan Pramuka. Kami di lepas pukul sembilan malam, berjalan kaki melewati jalan sepi di perbatasan desa, dengan kuburan sebagai garis finishnya.
Read 113 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(