Habib Ahmad bin Novel bin Salim Bin Jindan dlm salah satu ceramahnya di Istana Negara, menegaskan keharusan seorang muslim u/ menampilkan akhlak yg baik dgn bertutur kata sopan, tidak mengandung unsur cacian atau makian kepada sesama umat muslim maupun umat agama lain.
Cara santun seperti itu merupakan ciri seorang muslim sebagaimana telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dalam setiap dakwahnya.
Seorang Habib yang dikenal karena keramahannya itu mengisahkan, ketika Nabi dalam keadaan berperang dan banyak sahabat yang terbunuh, ...
... banyak sahabat yang bersikeras untuk mencaci dan mengutuk kaum kafir yang telah memerangi umat Islam. Namun demikian, Nabi melarangnya, dan mengatakan bahwa tujuan Nabi diutus ke dunia bukan sebagai pencaci maki atau pelaknat, melainkan sebagai penebar kasih sayang.
“Allah SWT menyatakan kalau engkau berhati kasar, kaku dan berucap kata-kata yang kasar, orang bakal kabur menjauh. Di dalam medan pertempuran tatkala berjihad banyak sahabat terbunuh terluka, datang laporan kepada Nabi Muhammad, teman-teman kita banyak terluka, ...
... sumpahi mereka, kutuk orang yang telah memerangi kita. Nabi menjawab (padahal dalam situasi perang) saya diutus oleh Allah bukan sebagai tukang caci maki bukan sebagai tukang laknat itu bukan saya,”ujar Habib Jindan.
Tokoh yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Al Fachriyah, Tangerang itu menambahkan, kewajiban seorang muslim saat ini adalah menujukkan keindahan Islam dengan berperilaku yang santun.
Menurut Habib Jindan, dalam amar ma’ruf nahi munkar pun harus tetap mengedepankan akhlak dan adab. Karena sebagus apapun ajaran yang didakwahkan kepada masyarakat jika disampaikan dengan cara keras dan kasar, maka tentu tidak akan bisa diterima di dalam hati masyarakat.
Hal ini menyiratkan, agama Islam tidak dibela dengan cacian dan makian tetapi dibela melalui cinta dan kasih sayang.
“Agama Islam tidak dibela dengan makian, agama Islam tidak dibela dengan cacian. Nabi dalam amar ma’ruf nahi munkar tidak pernah mencaci, tidak pernah memaki.
Kita hendaknya tunjukkan ke dunia ini keindahan Islam, sebab kelembutan tidak diletakkan dalam sebuah perkara melainkan akan menjadi mahkota menghiasi perkara tersebut, tapi perkara sebagus apapun kalau kasar maka tidak akan bisa diterima di dalam hati masyarakat."
(Dawuh Habib)
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Sebagian saudara kita memang gemar sekali mengutip riwayat seolah Nabi itu suka emosian, pemarah dan gemar melaknat. Mereka hendak mencari pembenaran terhadap kelakuan buruk mereka lantas dinisbatkan kepada Nabi. Na’udzubillah.
Nabi Muhammad Saw itu ma’shum dan dijaga Allah. Itu sebabnya Allah mendidik Nabi langsung dengan pengajaranNya berupa ayat al-Quran. Maka akan berbahaya kalau kita memotong riwayat hadits dan tidak menjelaskan pandangan ulama tentang hadits itu, dan langsung menyimpulkan sendiri.
Orang-orang yang sedang berangkat menuju Baitullah, tentu
menyadari bahwa ia sedang berjalan menuju akhiratnya.
Perumpamaannya seperti orang yang sedang mendekati
sakaratul maut, ia akan memanggil orang-orang yang dicintainya
dan mengucapkan salam perpisahan padanya.
Sebelum berangkat Haji, ia melakukan hal yang sama, berpamitan
dengan keluarga, meninggalkan pekerjaan dan harta benda, serta
pangkat dan jabatan. Ia hanya berbekal kain putih yang melilit
tubuhnya.
#JumatBerkah #Repost
✍Gus @na_dirs
Gestur santri ketika menghadap para Kiai itu lebih powerfull dari sekian kata-kata. Kepala ditundukkan, badan membungkuk, pandangan ke bawah tak berani mengangkat wajah dan diam menyimak nasehat, atau bahkan teguran, para Kiai.
Tak ada perdebatan. Tak ada suara meninggi. Tak ada kata-kata merendahkan apalagi mencemooh. Semuanya dilandasi kasih sayang. Para Kiai adalah guru dan sekaligus orang tua kita.
Anda boleh seorang penceramah terkenal, atau seorang guru besar sekalipun, atau pengusaha dan penguasa, namun saat sowan kepada para masyayikh, gestur anda menunjukkan siapa jati diri sebenarnya.
..."jika doamu belum di ijabah.." Amirul Mu'minin Imam Ali karamallahuwajhah bilang: "lantaran tiga hal yang terjadi, a.- terhapusnya dosa²mu,
dihindarkannya keburukan dan dicepatkan nya kebaikan kebaikan yang laen untuk mu.." (hikmah Nahjul Balagah).
Doa; juga tentang kesadaran yang sangat mendasar betapa rapuh dan tergantungnya kita s'bagai hamba kepada Tuhan yang Maha Kuasa itu, doa adalah tentang kebutuhan kita untuk sebuah komunikasi dan interaksi yang intensif dengan-Nya
Dan doa adalah suara suara pintu-Nya
yang kita ketuk dengan bersimpuh penuh harap dan tangisan,
....
"Kadang Aku tangguhkan doa dari hamba-hamba-Ku,...
Aku biarkan dia s'perti itu sebab, suka mendengar s'gala jerit pilu jiwanya..."
(Hadist Qudsi)
Umumnya "belum berhaji" dikesankan belum mapan atau tidak relijius. Akibatnya, bagi sebagian melaksanakan haji merupakan kebutuhan menghapus kesan itu demi kepentingan politik atau keleluasaan sosial.
Ketika menganggap haji sebagai kebutuhan, maka rela mengeluarkan dana besar, bahkan tanpa kecermatan dan kewaspadaan terhadap potensi pemerasan, penipuan dan eksploitasi.
Padahal haji bukan kebutuhan tapi kewajiban dengan sejumlah syarat, termasuk kesempatan. Bila tak dapat antrian, syarat kewajiban melaksanakan haji belum terpenuhi.
Bulan Desember lalu saya bertemu dengan Prof. Dr. H. Syahrin Harahap
di Sydney. Guru besar UIN Sumatera Utara itu langsung ngobrol akrab dengan saya begitu diberitahu oleh yang lain siapa Abah saya, Prof. Syahrin ...
....
... kemudian bercerita saat mengambil kuliah pasca di IAIN Jakarta (sebelum jadi UIN). Kebetulan rumah dinas Abah saya memang persis berada di depan gedung pasca sarjana.
Prof. Syahrin mengenang obrolan dengan Abah akan dua hal. Pertama, salah satu rahasia mengapa haji itu hanya wajib sekali, itu agar kita bisa belajar melaksanakan substansi ibadah haji dalam ibadah yang lainnya, saat shalat, zakat dan puasa.