Diosetta Profile picture
Jul 14, 2022 1004 tweets >60 min read Read on X
JSD - Setra Gandamayit
Part 3 - Padepokan Ronggomayit

Saat Danan dan Cahyo menemui Sena untuk mencari informasi. sekelompok orang menyerang padepokan sena..

Ternyata Sena menyembunyikan sebuah pusaka jimat yang diincar oleh pengguna ilmu hitam

@horrorfess @IDN_Horor Image
Part 3 - Padepokan Ronggomayit

Setiap peristiwa yang terjadi di muka bumi ini membentuk sebuah simpul yang akan akan kembali terurai atau malah semakin berkaitan. Bila kita sadar, mungkin tidak ada yang namanya akhir bagi suatu awal.
Semua akan kembali tertulis dalam lembaran takdir yang tidak bisa kita tebak.

Setra Gandamayit..

Setiap mengingat nama itu aku selalu begidik ngeri membayangkan apa yang pernah ada di tempat itu pada jamanya.
“Kalian percaya kalau dulunya pulau jawa dan bali merupakan suatu kesatuan?” tanya Sena sambil berjalan mengajakku ke ruangan tempat ia mempelajari pengetahuanya tentang wayang.
Bila melihat posisi geografisnya bukan hanya Jawa dan Bali.
Bahkan mungkin seluruh kepulauan indonesia sebelumnya memang merupakan satu daratan.
“Memangnya ada hubunganya dengan yang kami tanyakan Sena?” tanyaku.
Sena mencari beberapa benda di raknya dan mengeluarkan beberapa kotak kayu. Ia menumpuknya di meja tepat di hadapan kami.
“Ini apa?” Tanya Cahyo.
“Ini semua informasi yang kalian butuhkan bila ingin mencari tahu tentang apa yang kalian hadapi,” jelas Sena.
Iapun membuka kotak-kotak kayu persegi panjang itu dan mengeluarkan beberapa lembaran bertuliskan aksara jawa.
“Serat lontar? Ini semua tentang apa?” Tanyaku.
“Ini semua adalah serat yang berisi informasi mengenai kisah pewayangan purwakala,”ucap Sena.
“Setra Gondomayit, informasi tentang tempat itu ada di serat-serat ini.
Namun itu semua hanya teori dan untuk keabsahan dari serat ini kita sendirilah yang harus mencari tahu,” tambah Sena.
Aku beberapa kali membuka lembaran-lembaran lontar yang ditunjukkan oleh Sena.
Serat ini tidak hanya menggunakan aksara jawa carakan. Tapi ada juga yang menggunakan aksara kawi, siam, dan bahkan beberapa aksara yang tidak kukenal.
“𝘜𝘸𝘪𝘴 𝘶𝘸𝘪𝘴..” (Sudah-sudah) ucap Cahyo merebut lembaran itu dariku dan mengembalikanya ke kotak.
“Tujuan kita ke sini itu mencari jawaban, bukan malah bikin tambah bingung.”
Sena tertawa melihat wajah Cahyo yang bingung sambil menggaruk-garuk rambutnya.
Cahyo senelumnya sudah bercerita, ia sudah menyampaikan pada paklek tentang sebuah batu yang dia bawa dari sebuah desa. Batu itu bertuliskan aksara yang ia mengerti. Ia kira paklek bisa mengerti dan membantunya.
Namun sebaliknya, paklek malah menyuruh kami menemui Sena untuk menerjemahkan aksara itu dan mencari tahu tentang apa yang kami hadapi.
“Ya sudah, nanti kalian ngedengerin cerita saya saja. Tapi nunggu sebentar, masih ada yang perlu disiapin,” ucap Sena.
“Masih kurang apa lagi?” Tanyaku.
“Hehe, kopi.. kalau nggak ada kalian bisa ngantuk ketiduran nanti,” ucapnya.
“Nah cocok kalau itu,” timpal Cahyo.
Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki mendekat dan mengetuk pintu. Senapun meminta mereka untuk masuk.
Aku segera menoleh ke arah mereka.
“Cie Danan, ngarep Naya yang nganterin ya?” Ledek Cahyo.
“Heh ngawur kamu, aku cuma mau bantuin” balasku berbohong.
“Haha… kalian telat, datangnya malam-malam begini jadi Naya sudah pulang,” ucap Sena.
“Nggak Sena, itu emang dasar Cahyo,” ucapku.
“Dasar apa?” ucapnya dengan nada meledek.
“Dasar nggak bisa jaga rahasia,” balasku sambil sedikit tertawa.
Cahyopun ikut tertawa seolah puas meledekku. Tunggu sampai saatnya kami kembali ke desa windualit.
Aku pastikan dia akan habis kuledek di depan Sekar.
“Ini adalah cerita yang dipercaya oleh leluhur-leluhur kita jaman dulu. Kalian harus bisa menilai sendiri kebenaranya. Yang pasti setiap cerita itu ada karena memiliki maksud dan tujuanya sendiri,” ucap Sena.
Kami berduapun mengangguk bersiap mendengarkan cerita dari Sena.

***
“Kalau berbicara tentang setra gandamayit kita harus mulai dari kisah wayang purwakala..” ucap Sena.
Wayang 𝘱𝘶𝘳𝘸𝘢𝘬𝘢𝘭𝘢 menceritakan tentang kisah asal muasal dunia dengan penggambaran dunia pewayangan.
Dikisahkan saat itu Batara Guru (Raja alam semesta) sedang terbang bercengkrama dengan Dewi Uma kekasihnya untuk melanglang buana. Mereka mengendarai Sapi Nandi untuk mengantar mereka.
Saat itu tiba-tiba hasrat biologis Batara Guru terhadap Dewi Uma tergugah dan mengajaknya untuk berhubungan. Tetapi saat itu Dewi Uma menolak hasrat suaminya itu karena malu dengan Sapi Nandi dan bukan pula di tempat yang pantas.
Saat gairah Batara Guru tidak tersalurkan jatuhlah sotyakama (sperma bernilai kedewaan) Batara Guru ke samudra di bawahnya. Sotyakama itu membara di air laut bagai bara api yang menyala-nyala seolah menggambarkan amarah Batara Guru yang ditolak oleh Dewi Uma.
Air samuderapun mendidih dan menimbulkan bencana bagi makhluk di dalamnya.
Setelah itu ketika keduanya tiba di 𝘚𝘶𝘳𝘢𝘭𝘢𝘺𝘢 yang merupakan keraton kediaman para dewa, Batara Guru mengutus Batara Brahma sang dewa api untuk memustahkan sotyakama.
Namun ketika Batara Brahma melontarkan kesaktianya, Sotyakama justru berubah menjadi janin yang seketika tumbuh menjadi bayi raksasa.

Batara Brahma beradu kesaktian dengan sosok bayi raksasa itu dan ternyata ia kalah.
Karena itu Batara Brahmapun melarikan diri ke hadapan Barata Guru yang kebetulan sedang mengadakan pertemuan dengan para dewa. Saat itu mereka sedang membahas bencana yang terjadi di samudera.
Melihat kehadiran bayi raksasa itu Batara Guru terpaksa mengaku bahwa bayi raksasa yang mengejar Batara Brahma itu adalah anaknya sendiri. Untuk menghindari bencana lebih jauh, Batara Guru mengeluarkan keris pusakanya dan memotong ari-ari bayi itu.
Saat itu juga bayi raksasa itu berubah menjadi raksasa remaja. Ari-ari yang terpisah itulah yang berubah wujud menjadi beberapa lelembut. Konon lelembut yang ada di jaman ini berasal dari sana. Batara Guru memberi nama raksasa itu 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘳𝘢𝘯𝘥𝘩𝘺𝘢.
Untuk mencegahnya melakukan hal buruk, kedua taring Kalarandhyapun dipotong dan menjadi dua bilah keris yang bernama 𝘒𝘢𝘯𝘢𝘥𝘩𝘢𝘩 dan 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘥𝘦𝘵𝘦. Kalarandhyapun diminta untuk bertapa di Nusa Tembini.
Keberadaan Kalarandhya yang lahir secara tidak wajar membuatnya berada di luar tatanan dunia. Ia bukan golongan dewa dan juga bukan golongan manusia. Iapun dikutuk oleh Sang Hyang Tungga (Sang Pencipta) dan akan menyebabkan kekacauan di dunia.
Hal ini membuat malu Batara Guru dan membangkitkan amarahnya pada Dewi Uma yang dituhduhnya menyebabkan aibnya ini.
Saat itu dikutuklah Dewi Uma menjadi raksesi atau raksasa perempuan dan diberi nama Dewi Durga. Dia ditakdirkan menjadi istri dari Batara Kala.
Dewi Durga, dalam versi pewayangan Jawa digambarkan sebagai sosok raksasa perempuan yang sangat kejam, pemangsa manusia. Sosok Dewi Durga biasa hanya dicari oleh para pencari ilmu hitam karena dipuja sebagai ratu kejahatan.
Namun sebenarnya setiap tokoh pewayangan selalu punya dua sisi baik sisi yang baik maupun sisi yang buruk termasuk Dewi Durga yang mempunyai sisi baik dalam wujud Dewi Uma.
Dewi Durga memiliki Khayanganya sendiri. Sebuah tempat dimana merupakan tempat para bangsa lelembut dan dedemit tinggal. Tempat itu merupakan kuburan paling mengerikan seantero bumi yang bernama Setra Gandamayit.
Ia menjadikan tempat itu sebagai kerajaanya bersama suaminya Batara Kala. Namun dalam cerita pewayangan setiap tempat di alam ini selalu memiliki tujuan.
Setra Gandamayit sendiri dipercaya merupakan tempat berkumpulnya roh mereka yang sudah tiada untuk memulai perjalananya menuju alam baka.
“Aku nggak bisa ngebayangin kalau tempat itu benar-benar ada,” ucap Cahyo.
“Apalagi Setra Gandamayit juga diceritakan terdapat kerajaan-kerajaan dedemit yang membantu para kurawa untuk mengalahkan para kesatria jaman dulu,” tambah Sena.
Cerita ini sangat menarik untukku, rasanya aku ingin mendengarnya sampai benar benar selesai.
Sayangnya apabila benar beberapa sosok dedemit yang muncul akhir-akhir ini berasal dari tempat itu, sudah pasti ini adalah sebuah bencana.
“𝘊𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢𝘯𝘦 𝘴𝘢𝘬𝘫𝘢𝘯𝘦 𝘢𝘯𝘦𝘩, 𝘶𝘢𝘯𝘦𝘩 𝘵𝘦𝘯𝘢𝘯.. 𝘋𝘦𝘸𝘢 𝘬𝘰𝘬 𝘪𝘴𝘰 𝘬𝘢𝘺𝘢 𝘯𝘨𝘰𝘯𝘰”
(Ceritanya sebenarnya aneh, aneh sekali.. Dewa kok bisa seperti itu) ucap Cahyo yang masih berusaha menerka maskud dari kisah itu.
“Ya itulah kisah pewayangan.. hampir semua tokoh punya dua sisi yang dapat dilihat baik dan buruknya.
Karena kepercayaan saat itu menjunjung keseimbangan alam. Bahkan hitam dan putih, baik dan buruk juga memiliki tempatnya sendiri di tatanan dunia ini,” jelas Sena.
Saat itu aku teringat tusuk konde yang milik demit yang menyerang kantorku dan mengeluarkanya ke hadapan Sena.
Tak lama kemudia Cahyopun mengeluarkan beberapa bilah batu dengan aksara kuno di sana.
“Eh, apa ini maksudnya? Aku bukan ahli pusaka..” Ucap Sena.
“Ada aksara kuno di benda ini, kira-kira tahu artinya ngga?” Tanya Cahyo.
Sena mengambil beberapa naskah yang ia punya dan mencocokanya dengan aksara-aksara di batu Cahyo.
“Nggak Mas, aku nggak nemu aksara yang cocok dengan batu ini,” jawab Sena.
“bahkan aksara kunopun bukan?” Tanya Cahyo tidak percaya.
Sena menggeleng.
“Tapi memang ada aksara yang memang tidak lazim, orang jaman dulu menyebutnya aksara mistis. Sebuah aksara yang hanya dimengerti oleh pembuat dan penerimanya,” kata Sena.
“Aksara ini sering digunakan telik sandi untuk mengirimkan pesan, atau bahkan digunakan untuk menyimpan mantra-mantra berbahaya”
Aku menelan ludah saat mendengar kalimat terakhir Sena. Apabila ini terletak di sebuah reruntuhan, kemungkinan kedualah yang paling masuk akal.
“Terus ini tusuk konde apa?” tanya Sena.
“ini senjata yang digunakan oleh demit yang kuhadapi, siapa tahu saja kalian berdua bisa mendapat petunjuk dari benda ini,” ucapku.
“Maaf nan, soal ini aku sama sekali tidak mempunyai petunjuk. Tapi…”

Dhaarrrr!!!
Tiba-tiba terdengara suara dentuman dari arah atap pendopo padepokan Sena.
Aku segera berdiri mencari tahu asal suara itu. namun Sena hanya menghela nafas seolah sudah terbiasa dengan hal itu.
“Sudah nan, tenang saja.. kami sudah memasang pagar pelindung dengan beberapa pusaka sebagai pondasi,” ucap Sena.
Mendengar penjelasan Sena, Cahyo bukanya tenang malah terlihat semakin khawatir.
“Berarti, selama ini serangan dari demit-demit Sinden itu belum selesai?” tanya Cahyo.
Sena menggeleng,
“Serangan ini sudah ada sejah belasan tahun lalu sejak aku kecil. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini jadi semakin sering. Mungkin karena bapak sudah tidak ada,” jelasnya.
Aku dan Cahyo terheran dengan cerita Sena. Ternyata selain kendala permasalahan dengan sinden pengabdi setan Sena juga menyimpan permasalahan lain.

Dharrr!!!
Sekali lagi suara dentuman terdengar, aku menduga ini adalah serangan bola api banaspati yang mencoba membunuh penghuni padepokan ini.

“Mereka mengincar pusaka bapak Nan,” ucap Sena.

“Pusaka?”
“Sebenarnya bukan pusaka, benda itu dipercayakan ke bapak untuk di jaga agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah,” jawab Sena.
Aku tidak menyangka padepokan ini menyimpan pusaka yang diincar orang-orang yang berilmu.
Kupikir ini hanyalah padepokan biasa sama seperti milik Ki Daru Baya di desa Kandimaya.
“Memangnya pusaka apa yang dijaga oleh padepokan ini?” Tanyaku penasaran.
“Sebuah wayang..” Jawab Sena singkat.
“Wayang?” Aku bisa menduga yang dimaksud bukan wayang biasa.
“Wayang jimat yang dibuat oleh orang gila menggunakan kulit manusia dan anggota tubuh berbagai dedemit jaman purwakala,” jelasnya.
Seketika aku bergidik ngeri mendengarkan penjelasan darinya.
Seketika aku teringat akan kisah dalang demit yang menyerang desa kandimaya yang sempat dikalahkan Bapak dulu.

“Apa ada hubunganya dengan dalang demit yang menyerang desa kandimaya dulu?” tanyaku.
“Itu juga alasanku bersama dengan bapak ke desa kandimaya dulu nan. Namun kami tidak mendapat petunjuk apa-apa tentang wayang jimat ini,” Jelas Sena.

“Sena, memangnya wayang itu berbentuk tokoh apa?” Tanya Cahyo.
Sena membuka sebuah lembaran kertas yang sudah berumur tua, ia menunjukkan sebuah gambar wayang buto perempuan dengan mahkota layaknya seorang batara.
“Bentuknya tidak terlalu mirip, tapi menurut bapak wayang itu berwujud Batari Durga. Menurut bapak wayang itu dibuat oleh seseorang yang memohon kekuatan dari dewi penguasa Setra Gandamayit itu,” Jelasnya.
“Semengerikan itu?” tanya Cahyo.
Seketika aku dan Cahyo saling bertatapan. Bisa jadi jimat itu ada hubunganya dengan dedemit yang sedang kami hadapi.

“Sekarang dimana posisi wayang jimat itu Sena?” Tanyaku.

Sena tersenyum dan menggeleng.
“Mohon maaf Nan, bahkan untuk kalianpun aku tidak boleh membocorkan lokasinya. Saat ini dari seluruh sesepuh dan padepokan hanya aku saja yang mengetahui di mana benda itu disembunyikan,” balas Sena.
“Nggak usah minta maaf Sena, itu keputusan yang bijak.” Ucap Cahyo.
Di tengah perbincangan kami, suara dentuman terdengar semakin keras. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki yang menuju tempat ini dan mengetuk ruangan kami.
“Ki! Ki Sena.. di luar ki!” teriaknya.
Senapun membuka pintu dan melihat wajah panik orang tersebut.
“Ada apa Mas Tono?” tanya Sena.
“Padepokan ini dikepung!” teriaknya.
Tanpa menunggu penjelasan lagi, aku dan Cahyo segera berlari keluar mencari tahu tentang apa yang terjadi. Sena mengambil beberapa benda dari ruangan itu dan menyusul kami.
Ada sekumpulan orang berbaju hitam mengenakan blangkon. Pakaianya seperti pemain karawitan, masing masing dari mereka membawa keris yang dapat kurasakan ada sosok-sosok mengerikan yang mendiaminya.
“Kalian yang mengirim serangan-serangan ini?” teriakku memastikan maksud mereka.
“Urusan kami bukan denganmu, tapi dengan pemilik padepokan ini!” Teriak salah satu dari mereka.
Senapun melewati kami dan menemui mereka secara langsung.

“Jika tujuan kalian adalah Azimat Wayang Durga, kedatangan kalian akan sia-sia,” ucap Sena.
Aku dan Cahyo sudah bersiap membantu Sena apapun yang terjadi.
Kali ini aku merasakan niat jahat dari orang-orang yang mendatangi Sena saat ini.

“Jangan sombong bocah, sekarang kami sudah tahu cara mendapatkan pusaka itu tanpa perlu bantuanmu!” ucap mereka.

“Ma—maksud kalian?” tanya Sena.
“Hahahaha…. Pemimpin kami yang baru, bisa mendapatkan seluruh ingatanmu dengan sebuah wayang. Sebuah wayang yang akan kami buat dari kulit-mu!” ucapnya diikuti tawa semua orang berbaju hitam itu.
Cahyo terlihat geram mendengar ucapan orang-orang itu. Kali ini sudah jelas, incaranya adalah Sena. Cahyo justru maju melangkah seorang diri ke hadapan mereka.

“Bawa kesini pemmpin kalian! Kita selesaikan ini sekarang juga!” ucap Cahyo kesal.
Barisan orang-orang berbaju hitam itupun menyingkir bersama datang seseorang. Seseorang berpakaian beskap hitam dengan janggut panjang dan kumis yang tebal. Ia berjalan dengan tangan dibelakang seolah menunjukkan wibawanya.
Entah mengapa jantungku berdegup kencang melihat sosok orang itu. aku menduga dia adalah seorang dalang yang memimpin padepokan itu. wajahnya mengingatkanku pada musuh bapak sewaktu kecil.

“Ki Jaruk, dalang demit…”
Cahyo menoleh ke arahku.
“Ki Jaruk? Nggak mungkin nan.. dia udah mati!” Teriak Cahyo.
“Bukan, dia bukan Ki Jaruk… tapi dia memiliki energi yang sama! Entah apa hubungan antara mereka berdua” ucapku.
Cahyopun merasakan bahaya yang besar dari kemunculan sosok itu.
sama sepertinya akupun segera menarik sebuah keris dari sukmaku bersiap menghadapi apapun yang akan dilakukanya.
Melihat kemampuan kami dia tersenyum sambil menggeleng. Seseorang datang menghampirinya dengan membawa beberapa wayang.
“Kehkehe… Ketek seko alas wanamarta, aku yo nduwe siji,” (Monyet dari hutan wanamarta, aku juga punya satu) ucapnya sambil mengambil sebuah wayang dari anak buahnya.
Dalang itu mengibas-ngibaskan wayangnya seolah sedang memainkanya di atas pentas. Cahaya lentera yang mereka bawa membentuk bayangan seekor kera raksasa. Sialnya, bersama dengan munculnya bayangan itu terdengar suara auman hewan buas yang kurasa terdengar ke seluruh desa.
“Wanasura… Wanasura gelisah!” ucap Cahyo bingung.
Seolah sudah puas memainkan wayangnya, dalang itu melemparkan wayangnya. Saat wayang itu mendarat roh kera raksasa terpampang dengan jelas di hadapan kami.
“Hati-hati Cahyo! Ini, ini sama dengan Ki Jaruk lakukan!” aku mencoba memperingkatkan Cahyo.
“Nggak nan, ini nggak sama.. Ki Jaruk hanya memanggil demit-demit biasa. Tapi dalang ini bisa memanggil makhluk sekuat ini,” balasnya.
Seolah mengerti maksud pemanggilnya, roh kera raksasa itu berlari mengarah kepada kami. Cahyo memanggil kekuatan Wanasura dan menghadang seranganya. Sayangnya dengan mudah Cahyo terpental.
Aku segera menyusulnya dan menghujamkan kerisku pada makhluk yang dipanggil oleh dalang itu. sayangnya kera besar yang dipanggil oleh dalang itu tidak merasa sakit sama sekali. Ia terus menyerang Cahyo.
Bersamaan dengan itu, pasukan anak buah itu mulai bergerak mengejar ke arah Sena.
“Sena Lari!!!” Teriakku.
Sena dibantu beberapa teman dari padepokan untuk lari dan masuk ke dalam hutan. Tidak mungkin kami melibatkan warga desa dengan masalah seperti ini.
Aku dan Cahyo mengikuti Sena masuk lebih dalam. Gerakan anak buah dalang itu begitu cepat seolah sudah terbiasa melakukan penyergapan.
Beberapa kali kerisku beradu dengan mereka yang muncul mendekati Sena.
Cahyo mengikutiku sambil menghadang serangan dari roh kera raksasa yang bahkan bisa menumbangkan pohon di hutan.
Kali ini aku merasa posisi kami tidak diuntungkan. Tidak terpikirkan jalan keluar dari kami untuk selamat dari orang-orang ini.
“Cahyo, tahan mereka sebisa mungkin!”
Aku tidak menunggu jawaban dari Cahyo, menurutku ini satu-satunya jalan agar kami bisa selamat.
Aku memisahkan rohku dari raga dengan kemampuan keris rogosukmo. Dengan secepat mungkin aku membawa sukmaku melintasi hutan-hutan dan menghampiri sosok Dalang yang menyerang kami tadi.
Saat ia tidak menyadari kehadiranku, aku menghujamkan keris pada punggungnya. Namun sial, ia menyadari kedatanganku dan menahan seranganku dengan keris di tanganya.
Serangan kami saling beradu mengakibatkan dentuman ledakan yang keras hingga membuat beberapa anak buah dalang itu terpental. Tidak ada waktu lagi, aku yakin Cahyo kewalahan melindungi Sena.
Aku membacakan sebuah mantra yang diajarkan oleh Daryana. Sebuah mantra untuk memberi kekuatan pada Keris Ragasukma. Kekuatanya mampu membuat kilatan pada bilah keris ini yang harusnya mampu membuatnya menembus apapun.
Sekali lagi kami beradu serangan. Dalang itupun membacakan matra yang membuat kerisnya diselimuti kabut hitam. Saat serangan kami beradu, sekali lagi getaran hebat terjadi di tanah tempat kami berpijak.
Aku tak henti-hentinya membaca doa agar kekuatanku bisa mengalahkan dalang demit itu. kali ini aku menang, lenganya terpental sehingga tubuhnya terbuka, dengan segera aku menghunuskan kerisku ke tubuhnya.
Tapi tidak..
Kerisku berhasil mencapai tubuhnya, tapi tidak sedikitpun ujung kerisku menembus tubuhnya. Dalang itu tersenyum dan bersiap menggunakan kerisnya untuk menyerangku.
Dengan sigap aku menarik sukmaku ke dalam tubuh untuk menghindari seranganya yang hanya berjarak beberapa jengkal lagi dariku.
“Nggak bisa! Dalang itu terlalu kuat!” teriakku pada Cahyo.
Aku melihat Cahyo menghadapi Roh kera itu hanya dengan satu tangan. Terdapat luka bersar berwarna biru di lengan kiri Cahyo.
“Danan, mantra leluhurmu.. mungkin itu satu-satunya cara kita keluar dari situasi ini!” ucap Cahyo.
Benar, tidak ada pilihan lain!
Sena dan teman-temanya sudah tidak mampu. Sebagian dari mereka sudah terluka. Cahyopun tidak bisa bertarung dengan keadaan seperti ini.
Aku meletakan kerisku di dadaku dan mengingat dengan jelas sebuah mantra yang diajarkan oleh leluhurku.
𝘑𝘢𝘨𝘢𝘥 𝘭𝘦𝘭𝘦𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘣𝘰𝘵𝘦𝘯 𝘥𝘶𝘸𝘦 𝘸𝘶𝘫𝘶𝘥..

Belum sempat aku melanjutkanya, tubuh Cahyo terpental menabrak tubuhku. Kekuatan makhluk itu benar-benar diluar nalar.
Tapi tepat saat makhluk itu mencoba menyerang kami lagi. Kobaran api berwarna putih menahan pukulanya dan menghilangkanya perlahan. Lambat laun kera raksasa itu berubah kembali menjadi sosok wayang.
“Danan.. api apa itu?” Ucap Sena bingung.
Seketika aku dan Cahyo tersenyum. Terlihat sosok seseorang memperhatikan kami dari tengah hutan.
“Paklek! Itu paklek!” Teriak Cahyo merasa Senang.
Iapun segera melompat ke arah api putih itu dan membakar luka yang ada di lenganya untuk memulihkan lukanya itu.
“Itu Geni baraloka, ilmu andalanya paklek” ucapku.
Aku berlari menghampiri paklek yang datang dengan ilmu ragasukmanya. Samar-samar aku teringat kenangan masa kecilku saat Bapak dan Paklek bertarung melawan Ki Jaruk.
Pada saat itu memang Ilmu geni baraloka paklek berhasil mengalahkan demit yang dipanggil menggunakan wayang Ki Jaruk.
Paklek menghalangiku untuk menghampirinya. Sepertinya sukmanya tidak bisa bertahan lama bila menggunakan ilmu ragasukma dan geni baraloka secara bersamaan.
“Panjul watu sing kowe gowo kuwi iso ngelarani demit ulo dekwingi to?” (Panjul! Batu yang kamu bawa bisa melukai ular kemarin kan?) ucap paklek.
Seketika kami menyadari maksud paklek.
Cahyo dengan mudah dapat menghardik serangan para pengikut dalang itu dan mementalkanya satu persatu dengan kekuatan Wanasura. saat itulah aku berpikir bahwa inilah waktu untuk menyerang balik.

“Sena! Ikuti kami, jangan jauh-jauh!” Perintahku.
Akupun mengajak mereka mengejar ke arah dalang itu. ternyata dalang itu sudah menunggu kami di mulut hutan.
Dengan sekuat tenaga Cahyo melemparkan batu yang ia temukan ke arah dalang itu. dan benar saja batu itu bisa menusuk tubuh dalang itu hingga darah menetes dari lukanya.
“Berhasil!”
Dalang itu menarik batu itu dari tubuhnya dan melihat benda itu. bukanya merasa kesakita ia malah tertawa melihat pecahan batu itu.
“Khe..khekhe… ular, jadi dewi ular itu sudah bebas?!” ucapnya sambil tertawa.
Cahyo sekali lagi menyerangnya dengan lemparan batu itu dan berhasil melukainya lagi, namun ia tetap tidak merasa kesakitan.
Aku mencoba menyerangnya lagi dengan keris di genggamanku.
Dengan cukup sulit aku bisa menembus pertahananya dan menusuknya, sayangnya seranganku tetap tidak berhasil.
Cahyo mencoba melemparkan batu itu lagi kepada dalang itu.
“Cahyo! Berhenti!” Sena menahan Cahyo dan merebut batu itu darinya.
“Sena?!” Cahyo heran dengan kelakuan Sena, tapi sepertinya ia memiliki maksud.
Tak mampu mendahan serangan dalang itu, akupun terpental namun aku ingin mencoba satu hal.
Aku mengambil tusuk konde yang dari demit yang kulawan dulu dan menusukkan ke belakang punggungnya.
Dan benar… benda itu berhasil melubangi punggungnya hingga melubanginya. Namun tetap saja, ia tidak merasakan kesakitan.
Aku melihat Sena menggigit jarinya dan meraih tangan Cahyo. Ia menulis aksara yang terdapat di batu itu di lengan Cahyo menggunakan darahnya.
“Sekarang coba serang sekuat tenaga demit itu dengan lengan kananmu, sekuat tenaga! Aksara itu tidak akan bertahan lama,” ucap Sena.
Aku mulai mengerti maksudnya. Cahyopun membaca mantra penguat raga dan memanggil kekuatan Wanasura di lengan kananya.
Ia melompat dari salah satu pohon dan mengambil momentum untuk menghujamkan pukulanya sekuat tenaga.
Tepat saat pukulanya menyerang dalang itu aksara di lenganya menyala. Pukulanya berhasil membuat dalang itu memuntahkan darah hingga terpental.
“Ki! Kenapa bisa begini ki?” tanya anak buah dalang itu.
Dalang itu tidak menjawab, ia malah mencabut tusuk konde yang kutusukkan padanya dan melihatnya.
“Khekhekeh…. Nyai Wijul Dia juga sudah bangun,” dalang itu tertawa lagi namun sepertinya ia sudah tidak kuat lagi berdiri.
Kami bersiap menyerangnya lagi, namun tiba-tiba kami terpental dengan serangan dari salah seorang yang berpakaian sama dengan para pengikut dalang itu,
namun yang membuat kami tercengang adalah ketika melihat pria itu mengenakan belahan topeng hitam di wajahnya sambil memasang kuda-kuda untuk menghadang kami.
Berbeda dengan anggota yang lain, Pria ini terlihat mahir dalam bela diri.
Kekuatan hitam terlihat dengan jelas menyelimuti tubuhnya.
“Topeng itu..” ucap Cahyo dengan tangan yang mengepal.
Tidak mungkin kami lupa, itu adalah topeng yang digunakan oleh sosok yang hampir membunuh kami dan mengakibatkan bencana.
Topeng yang sebelumnya dikenakan oleh penari ludruk yang membantai desa kelahiran Cahyo.
“Cukup! Kita bisa mengambil pusaka wayang itu kapan saja! Nyai wujil dan dewi ular itu sudah terbangun kita harus menghampiri mereka! Kekhekehke…” ucapnya Senang.
“Ki Joyo Sena, kita akan bertemu lagi. Padepokan Ronggo Mayit pasti akan merebut Wayang Jimat itu dari tanganmu”
Dalang itu berpaling meninggalkan kami. namun Wayang berwujud kera itu seolah memberontak dan ingin menyerang Cahyo kembali.
“Cukup Jogorawu! Dendamu kita balaskan nanti!” Tahan sosok sosok bertopeng hitam itu.
Merekapun pergi berbondong-bondong meninggalkan padepokan Sena.
“Jogorawu..” Cahyo menggumam dan berpikir seolah mengenal nama makhluk yang disebutkan oleh orang itu.
Tak hanya itu, Aku merasakan perasaan amarah Wanasura terhadap sosok roh kera raksasa yang menyerang kami tadi.
“Mas Danan, Mas Cahyo.. kita masuk kedalam ada yang ingin kusampaikan,” ucapnya.
Aku memastikan tidak ada lagi sisa-sisa orang yang mengaku dari Padepokan Ronggo Mayit itu dan masuk mengikuti arahan Sena. Beberapa orang sudah bersiap mengobati kami dengan membawa baskom berisi air panas untuk mebersihkan luka-luka kami.
“Kita harus mengumpulkan orang-orang sakti sebanyak-banyaknya untuk menghadapi mereka, Padepokan Ronggo Mayit.” Ucap Sena.
“Mereka itu sebenarnya siapa Sena?” tanyaku.
Senapun menceritakan tentang keberadaan Padepokan yang sejak awal keberadaanya hanya menggelar pertunjukan untuk para dedemit. Setiap permainanya bertujuan untuk mempersembahkan jiwa-jiwa para pengikutnya untuk mendapatkan kekuatan dari iblis.
“Apa yang membuat mereka seperti itu? harusnya mereka sudah tahu konsekuwensinya kan?” tanya Cahyo.
“Coba kalian tanyakan pertanyaan itu pada dukun atau orang pengguna ilmu hitam!” balas Sena.
Benar ucapan Sena. Jawabanya akan sama, mereka ingin semakin sakti agar dipandang di desanya, mendapatkan keSenangan duniawi, hingga membalaskan dendam mereka pada orang yang dibencinya.
“Merekalah yang akan mencari dan mengumpulkan demit-demit purwakala yang sudah ada di tanah ini bahkan sebelum manusia mengenal peradaban. Mereka yang akan menjadi pengikat setan-setan itu agar terus berada di alam ini,” Jelas Sena lagi.
“Maksudmu ular raksasa yang kulawan, dan Nyai Wijul yang Danan lawan akan bisa muncul di alam ini seenaknya?” Tanya Cahyo.

“Tidak, bukan hanya itu.. sosok Songgokolo dan Gondokolo yang terikat oleh keris kembar juga mungkin untuk bangkit,”
ucapku teringat dengan demit dari alam baka itu.
Sena berpikir sejenak.
“Keris kembar? Setra Gandamayit pasti juga menyimpan pusaka seperti itu yang dibuat dari taring Raksasa kuno. Sama pusaka keris yang terbuat dari taring Batara Kala” ucap Sena.
Sena terlihat gusar. Kali ini ia yang terlihat lebih bingung daripada kami.
“Sudah Sena, tidak harusnya kamu segusar itu,” ucapku.
“Tapi nan, alam kita dalam bahaya. Tatanan hidup alam manusia bisa berbalik seratus delapan puluh derajat,” ucapnya.
Mendengar itu Cahyo mendekat kearah Sena dan sedikit memijat pundaknya.
“Ada maksudnya Tuhan menurunkan kitab suci untuk jadi panduan kita dibanding kisah-kisah sejarah lainya. Karena sesulit apapun, Tuhan punya rencana terbaik buat umatnya yang ini Sena,” ucap Cahyo.
“Jangan lupa, manusia tidak pernah berjuang sendiri. Pastikan kamu tidak melupakan itu,” tambahku.
Aku pernah merasa sefrustasi Sena saat mengetahui bencana akan mendekat.
Namun saat itu orang-orang disekitarku mengingatkan tentang kebesaran Tuhan yang mempunyai rencananya sendiri untuk melindungi umatnya.
“Kalian benar, bila memang kita yang ditakdirkan untuk berurusan dengan hal ini, Tuhan pasti memberikan jalan untuk kita,” ucap Sena.
Akupun tersenyum melihat Sena mulai tenang. Akupun teringat kedatangan paklek tadi, sepertinya ia juga sedang mencari petunjuk tentang keadaan ini.
“Berarti demit-demit yang pernah berurusan dengan kita bisa muncul kembali?” tanya Cahyo.
“jangan gentar, semenjak melawan mereka kitapun mengenal orang-orang hebat yang bisa membantu kita. Jangan lupakan mereka,” balasku.
Sena menatapku seolah merasa terpancing untuk bicara.
“Setidaknya kita mengetahui satu hal, aksara di batu yang dibawa Cahyo bisa membuat serangan kalian berdampak pada makhluk-makhluk itu,” ucap Sena.
Aku dan Cahyo saling bertatapan seolah menyetujui ucapan Sena.
“Aku akan mempelajari aksara ini, carilah ahli pusaka yang bisa mengukir aksara ini di kerismu Nan,” ucap Sena.
Ini adalah sebuah kemajuan. Dengan adanya pengetahuan Sena, setidaknya kami bisa memberi perlawanan pada makhluk-makhluk itu.
“Danan, Paklek mengirim pesan.. ada serangan di desa pesisir selatan, sudah tujuh orang mati bunuh diri dengan tidak wajar,” ucap Cahyo sambil membuka telepon genggamnya.
Aku mengambil teleponya dan membaca pesan yang dikirim paklek.
Aku ingat nama desa itu, itu desa tempat eyangnya Rizal teman kantorku tinggal.
“Biar aku yang ke sana, kamu jaga Sena,” ucapku pada Cahyo.
“Paklek nggak bisa ke sana?” tanya Cahyo.
“Dari wujud sukmanya tadi sepertinya dia sedang mengurus masalah yang lebih mengerikan, tadi sukmanya hanya bisa muncul sesaat,” balasku.
Cahyopun menyetujui saranku. Padepokan Sena akan menjadi markas sementara kami untuk berkumpul sembari mencari bantuan dari mereka yang bisa menolong kami.
Mungkin harus ada dari kami yang mampir ke tempat Mas Jagad dan Dirga berada.
Tak hanya itu, mungkin kami harus menemui ahli pusaka seperti mbah Jiwo atau siapapun yang mungkin bisa membantu kami untuk menghadapi permasalahan ini.

Kerajaan demit dari Setra Gandamayit…
Entah pernah ada berapa kerajaan dulu saat tempat itu ada? Tapi ketika sisa-sisa demit itu berhasil bertahan hingga saat ini dan membangkitkan salah satu kerajaanya sudah pasti mereka bukanlah demit biasa.
Dan satu lagi yang membuatku cemas. Siapa yang mendapat berkah dari dewi Durga penguasa Setra Gandamayit untuk menjadi Raja di kerajaan demit itu?
***
(Bersambung Part 4)
Cuplikan part 5 :

Danan menghampiri desa yang terletak di pesisir pantai, sayangnya tempat itu begitu sepi. hanya satu rumah yang lampunya menyala..

saat masuk ke rumah itu, ia dikagetkan dengan keberadaan banyak jasad yang berjejer rapi dengan mata yang terbelalak..
Ada sosok seorang kakek tua di rumah itu, dengan sebuah ketukan dari tongkatnya ia menghadirkan sosok jasad pocong di hadapan danan.

bukan roh, melainkan jasad pocong yang dikendalikan oleh kakek tua itu..
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau salah literasi.. saya sangat terbuka untuk di ralat di komen.

seperti biasa yang mau baca duluan atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id
karyakarsa.com/diosetta69/jsd…
JSD - Setra Gandamayit
Part 4 - Tumbal Mayat Hidup

Hanya satu rumah yang menyala di desa yang dihampiri Danan.
Saat memutuskan untuk masuk, ia dikagetkan dengan jasad-jasad yang terbaring rapi dengan mata yang terbelalak.

@horrorfess #bacahorror @IDN_Horor Image
Petunjuk arah yang diberikan oleh paklek membawaku ke sebuah desa yang terletak tak jauh dari pesisir pulau jawa. Sebuah desa yang dikelilingi dengan banyak hutan jati dan aku masih harus masuk cukup dalam untuk menemukan desa yang Paklek maksud.
Tepat saat matahari terbenam aku berhasil mencapai tempat itu. Sebuah desa dengan rumah-rumah kayu warga yang terletak berjauhan. Terlihat hampir setiap warga memiliki kebunya sendiri.
Aku mencoba mencari keberadaan warga, namun tidak ada yang terlihat. Bahkan cahaya lampu dari rumah-rumah wargapun tidak kutemukan.
Sepeda motorku terus kulaju berharap bisa menemukan petunjuk tentang apa yang dikatakan Paklek di telepon.
Sampai akhirnya aku berhenti pada sebuah rumah yang cukup besar. Hanya rumah itulah yang terdapat cahaya, dan kurasa cahaya itupun juga berasal dari lentera minyak yang dinyalakan dari dalam rumah.
Ada yang janggal…
Seharusnya rumah dan desa ini sudah dimasuki oleh listrik. Tapi mereka yang didalam lebih memilih menggunakan lampu minyak di dalam dan memasang beberapa obor di depan. Mereka seperti bersiap menyambut sesuatu.
Sayangnya tidak ada petunjuk apapun di desa ini sehingga mau tidak mau, aku harus masuk ke rumah itu.
“Kulo nuwun..” (Permisi)
Ucapku sambil mengetuk pintu rumah yang cukup besar itu. Sayangnya sama sekali tidak ada yang membalas.
Aku mencoba mengetuk lagi dengan lebih keras, namun bukanya seseorang yang keluar, tapi daun pintu yang terbuka sendiri dengan ketukanku.
Pintu itu terbuka perlahan tapi bukan penghuninya yang kutemukan, bukan juga ruang tamu atau sejenisnya.
Melainkan sebuah pemandangan yang tidak pernah kusangka.
Sebuah lentera minyak terletak di tengah-tengah ruangan yang lapang tanpa adanya perabotan apapun di sana. Yang membuat bulu kudukku merinding adalah pemandangan di sekitar lampu itu.
Ada hampir sepuluh manusia terbujur kaku dengan mata yang terbelalak dan mulut yang terbuka. Hanya sebagian dari mereka yang terlihat wajahnya, sisanya tertutup oleh kain kafan yang menyelimuti mereka.
“Ada tamu tidak diundang..” terdengar suara seseorang yang berjalan dari arah belakang bangunan.
Dia adalah seorang kakek tua yang berjalan menggunakan tongkat. Janggut putuhnya menggantung sepanjang perutnya dengan ikatan kepala yang cukup aneh.
“Si—siapa kamu? Apa maksud ini semua?”
Aku tidak bisa bersikap sopan. Kekuatan yang mengerikan sudah terpancar sejak dia menampakan dirinya ke arahku.
“Dudu urusanmu,” (Bukan urusanmu) ucap kakek itu.
Perkataanya itu berbarengan dengan mengetukkan tongkatnya ke lantai kayu di bawahnya. Seketika dihadapanku muncul sosok makhluk terbungkus kain kafan yang telah memerah dengan darahnya. Wajahnya hitam membusuk dengan bau yang sangat menyengat.
Aku yang panik segera mengambil jarak dan membaca situasi ini. pocong itu mencoba melayang mendekat seolah ingin melekatkan dirinya pada sukmaku. Aku tidak mau mengambil resiko dan membacakan sebuah doa dan seketika pocong itu jatuh tergeletak layaknya sebuah jasad tanpa nyawa.
“Tu—tunggu?! Jasad? Pocong ini jasad fisik? Apa yang kamu rencanakan kakek brengsek!” Teriakku kesal.
Mendengar umpatanku kakek itu malah tertawa terkekeh-kekeh.
“Orang sakti lagi, kkhekhekhe… kita masih butuh jasad orang sakti,” ucapnya sambil mengetukan tongkatnya lagi.
Kali ini bukan sosok pocong yang muncul dihadapanku. Melainkan lima orang yang menggenggam pusaka berwujud cemeti, keris, parang, kujang, dan tombak. Anehnya tidak ada ekspresi di wajah mereka. Kulit-kulitnya sudah mengelupas mengeluarkan nanah dan bau busuk.
“Kakek busuk! Kamu mengendalikan mayat-mayat ini?” teriakku.
“Khekhekhe… kamu juga akan bergabung dengan mereka sebentar lagi. Itupun kalau kamu pantas! Kalau tidak lebih baik ragamu menjadi makanan mereka..” ucap kakek itu.
Sebuah serangan pecutan mencoba meraihku yang masih tertegun di dekat pintu. Akupun menghindar dan menjauh dari rumah itu. sayangnya kelima orang yang menyerangku ternyata bukan makhluk biasa.
Tiba-tiba sang membawa keris sudah berada di belakangku bersiap menusukku dari belakang. Aku berhasil menghindar tapi kerisnya berhasil menggores salah satu lenganku. Di satu sisi jasad pendekar yang membawa parang sudah melompat untuk menebaskan parangnya ke leherku.
Dengan secepat mungkin aku menarik Keris Ragasukma dari sukmaku dan menahan seranganya. Seketika kami terpental dengan kekuatan dari pusaka kami masing-masing.
Baru sempat mencoba berdiri sebuah tombak sudah melayang hampir menusuk perutku, beruntung aku bisa menyadarinya dan menghindar. Namun sisi perutku terluka cukup dalam dari serangan barusan.
“Gowo jasad bocah kuwi ning njero nek wis rampung,” (bawa jasadnya ke dalam jika sudah selesai) ucap kakek itu yang meninggalkan kami masuk ke belakang rumah lagi.
Benar-benar mengerikan. Aku hampir tidak berkutik melawan kelima pendekar ini. namun aku tidak mau menyerah.
Akupun membacakan sebuah ajian pada kepalan tanganku.
Tepat saat pendekar parang itu mencoba menyerangku lagi aku menahan seranganya dan melemparkan ajian lebur saketi, sebuah ajian pukulan jarak jauh yang seketika memementalkanya cukup jauh dariku.
Sayangnya bersamaan dengan serangan yang berhasil kulontarkan kepada pendekar parang itu , secara senyap serangan dari pendekar pembawa keris berhasil melukai pundakku.
Akupun mencoba melompat mengambil jarak mencoba membaca situasi ini.
pendekar parang yang terpental oleh seranganku kembali berdiri seolah tidak merasakan sakit sama sekali.
Sebaliknya, pendekar pembawa keris pusaka itu berdiri di depan pendekar lainya dan menusukkan kerisnya ke tanah.
Seketika bekas luka goresan dan tusukkan dari keris itu terasa sangat panas, panas sekali seolah terbakar sesuatu.
Pendekar yang lain mengambil kesempatan itu untuk menyerangku hingga aku memutuskan untuk melarikan diri ke hutan-hutan jati dan bersembunyi di balik salah satu batang. Namun aku tahu, ini tidak akan bertahan lama.
Suara langkah mengendap terdengar menelusuri hutan mencari keberadaanku. Aku berharap gelapnya hutan ini bisa menyembunyikanku dari mereka.
Suara langkah kaki itu terhenti, akupun mencoba mengintip memastikan keberadaan mereka.
Sialnya, ternyata wajah salah satu mereka sudah berada tepat di hadapanku lagi. Ia menggunakan cemetinya untuk mengikatku ke salah satu pohon jati tempatku bersembunyi.
Sang pendekar tombak sekali lagi melemparkan tombaknya untuk menghabisiku, namun dengan cepat aku memisahkan sukmaku dari ragaku dan menggunakan keris ragasukma untuk memotong lengan pendekar cemeti itu hingga aku bisa terlepas dan kembali ke tubuhku.
Saat tapi cemeti itu melonggar akupun segera menghindar, namun kekuatan hitam yang menyelimuti tombak itu membuatku terpental ke semak-semak dan seketika memuntahkan darah dari mulutku.
Aku benar-benar kesulitan menggerakkan seluruh tubuhku.
Aku membayangkan bahwa mungkin aku akan mati di tempat ini. Mungkin aku bisa menghadapi puluhan demit, tapi saat menghadapi lima orang sakti dengan pusakanya, ini terlalu berat bahkan untuk melarikan diripun aku tidak bisa.
Saat kelima pendekar itu mendekat ke arahku tiba-tiba di hadapanku terlempar sebuah kain kafan putih yang segera menyelimuti tubuhku. Ada beberapa kalimat beraksara jawa yang ditulis dengan darah di sekujur kain itu.
“Sssst… jangan berisik, tetap pakai kain kafan itu dan kita pergi dari sini,” ucap sosok seorang pemuda yang kurasa mencoba untuk menolongku.
Kami berdua berjalan mengendap-ngendap di dalam kegelapan hutan.
Sama sepertiku, pemuda itu juga menggunakan kain kafan serupa dan kelima pendekar itu benar-benar tidak bisa menemukan keberadaan kami.
Mereka hanya terusik dengan suara yang terjadi saat kami menginjak semak atau ranting. Namun suara hewan malam berhasil menyamarkan kelengahan kami.
“Bener eyang! Ada orang di desa!” ucap pemuda yang menyelamatkanku tepat saat memasuki sebuah rumah di desa yang tak jauh dari tempat yang kami datangi.
“Piye uwonge le?” (Bagaimana orangnya nak?) ucap seorang pria yang sudah paruh baya yang menghampiriku dengan tergesa-gesa.
Aku yang sudah merasa tak mampu menahan rasa sakitpun segera ambruk di lantai kayu rumah itu sambil menahan rasa perih dari sayatan keris pusaka pendekar itu.
“Le, siapin obat.. Mbah coba keluarin dulu racunya.” Ucap bapak tua itu.
Ia membacakan doa, mengambil selembar daun yang terletak tak jauh darinya dan menutup kedua luka yang diakibatkan oleh keris itu. saat itu juga daun itu menghitam seolah menghisap racun dari goresan keris itu. ia melakukanya berkali kali hingga menghabiskan beberapa helai daun.
“Sa—sakitt!,” ucapku saat mencoba rasa sakit yang tak tertahankan dari obat ramuan yang dibawakan seseorang yang menyelamatkanku tadi.
“Tahan dulu, sakitnya cuma sebentar. Akan bahaya kalau tidak diobati,” ucap bapak itu.
Berkali-kali aku berteriak.
Rasa-sakitnya benar-benar tidak tertahankan, namun aku tahu berangsur-angsur rasa sait yang disebapkan oleh pusaka pendekar-pendekar itupun perlahan pudar berganti dengan rasa sakit dari obat yang dioleskan kepadakuk.
Beruntung, rasa sakit dari pengobatan itu menghilang tepat sebelum aku kehilangan kesadaran dengan sakitnya cara pengobatan itu.
“Wis, uwis rampung. Kono leren sik,” (sudah, sudah selesai. Sana istirahat dulu) ucap bapak tua itu.
“Nggih mbah, matur nuwun,” (iya mbah, terima kasih) ucapnya.
Aku mencoba mengatur nafas dan membacakan amalan penyembuh untuk memulihkan lukaku.
Bapak tua yang sebelumnya berniat kembali ke belakang terhenti seolah menyadari bahwa aku juga memiliki kemampuan sebelum melanjutkan niatnya.
Sejenak aku menenangkan pikiran dan memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa atas kesempatan hidup yang ia berikan sekali lagi padaku.
Terdengar suara dentingan gelas dan piring yang diletakan tak jauh dari tikar tempatku bersila sekarang.
“Kalau sudah agak enakan, diminum dulu,” terdengar suara bapak itu tak jauh dari tempatku berada.
“Nggih mbah,” ucapku yang segera membuka mata dan mengambil segelas teh hangat yang disiapkan untukku.
“Panjenengan niki sinten to?” (Anda ini siapa to?) tanyanya.
“Kulo Danan mbah, Dananjaya Sambara. Saya diinfokan sama Paklek Bimo untuk ke desa ini,” jelasku..
Sebenarnya aku merasa canggung memanggilnya mbah, namun karena pemuda tadi juga memanggil seperti itu akupun mengikuti cara memanggilnya.
“Owalah, keponakane Bimo.
Saya Widjan, orang-orang sini memanggil saya Mbah Widjan,” ucapnya.
“Salam kenal Mbah Widjan, mohon maaf sebelumnya. saya mewakili paklek yang tidak bisa datang. Paklek juga sedang ada di desa lain dengan masalah-masalah serupa,” jelasku.
Mbah Widjan menghela nafas. Dari gerak-geriknya aku tahu dia bisa memaklumi. Tapi terdapat rasa khawatir di wajahnya.
“Saya yang seharusnya minta maaf, saya pikir tidak ada lagi yang akan membantu kami. Jadi saya ungsikan warga desa ke tempat yang aman.
Aku tidak menyangka Mas Danan malah sampai di sana tanpa sepengetahuan kami,” ucapnya.
“nggak pak, saya yang salah. Saya lengah.” Balasku.
Mbah Widjanpum menyeruput gelas kopinya sembari memberi jeda dalam pembicaraan kami.
“Sebenarnya kakek tua itu siapa Mbah? Apa tujuanya datang ke desa ini?” tanyaku penasaran.
Mbah Widjan meletakkan cangkir kopinya dan bercerita kepadaku.
“Ada pemicu munculnya sosok-sosok mengerikan di berbagai sudut pulau jawa ini mas,” ucap Mbah Widjan.
“Kerajaan Setra Gandamayit?” balasku menebak.
Mbah Widjan mengangguk.
“Kakek tua itu dulunya leluhur warga desa ini. bisa dibilang dia adalah nenek moyang warga desa ini,” ucap Mbah Widjan.
“Dulu warga desa menghormatinya, dan selalu ziarah ke makamnya tiap hari-hari besar.
Berdasarkan cerita turun-temurun, kakek tua itulah yang babad alas membangung desa ini,”
“Nenek moyang? Kenapa dia bisa hidup hingga sekarang? Dan mengapa dia menyerang keturunanya sendiri?” tanyaku penasaran.
“Dia tidak bisa mati, kesaktianya dihargai oleh kerajaan dedemit di setra gandamayit dan menjadikanya salah satu dari kaumnya. Dia diberi gelar Mantri Lemah Sangit karena kemampunya mengendalikan jasad orang-orang sakti yang sudah mati,” Jelas Mbah Widjan.
“Dia dipanggil dengan nama Ki Wasto Langkir”
Mbak Widjan bercerita, beberapa hari yang lalu tiba-tiba makam Ki Wasto Langir meledak oleh sebuah benda berwujud bola api yang jatuh dari langit. Setelah itulah terjadi berbagai kejadian aneh.
Beberapa warga ditemukan mati bunuh diri di desa. Anggota yang melihat prosesnya merasa aneh seolah orang-orang yang bunuh diri itu dikuasai oleh kesadaran lain. Mereka dikubur dan didoakan dengan layak. Sayangnya itu semua hanya permulaan dari musibah ini.
Tiba-tiba ada warga yang melihat Ki Wasto Langir muncul di dekat desa. setelahnya tiba-tiba jasad mereka yang mati bunuh diri hilang dari kuburanya dan pocongnya meneror warga desa. Beberapa teman saya mencoba mengusir pocong itu dan menghadapi Ki Wasto Langir.
Namun sayangnya mereka gugur, dan jasadnya tidak ditemukan hingga sekarang.
Belakangan diketahui semua warga yang bunuh diri masih ada keturunan murni dari Ki Wasto Langir. Dan Ki Wasto Langir bisa mengendalikan jasad manusia sekaligus dengan kesaktianya.
“Gila, kalau saya tidak merasakanya tadi. Mungkin saya tidak akan percaya dengan hal seperti ini,” ucapku.
Mbah Widjanpun menggeleng, sepertinya ia sendiri juga tidak menyangka akan menemukan hal seperti ini.
“Mas Danan dan Paklek sendiri apa menemukan sosok-sosok yang ada hubunganya dingan ini?” tanya Mbah Widjan.
Akupun menceritakn tentang sosok Nyai Wijul , siluman ular di pedalaman hutan, hingga padepokan ronggo mayit yang kami hadapi.
Ceritaku sempat membuat Mbah Widjan menjatuhkan gelasnya, kaget dengan semua ceritaku.
Sambil bercerita samar-samar di luar aku mendengar suara mulai ramai. Tak lama kemudian pemuda yang tadi menyelamatkanku datang dan memberi kabar ke Mbah Widjan.
“Warga sudah siap lagi mbah,” ucapnya.
“Siap apa mbah?” tanyaku bingung
“Kita di sini belum aman mas. Kami masih harus berpindah-pindah desa atau tempat persembunyian. Ki Wasto Langir masih mengincar jasad-jasad keturunanya,” ucap pemuda itu.
Mbah Widjan memperkenalkan salah satu cucunya yang ternyata bernama Panji itu. Wajahnya memang tidak terlihat asing.
Akupun ikut keluar melihat prosesi perpindahan warga yang sudah siap berangkat.
Ada beberapa orang juga yang kulihat memiliki kemampuan membantu keberangkatan mereka.
“Mereka siapa mbah? Apa mereka punya ilmu juga?” tanyaku.
“Mereka murid-murid saya dan murid teman-teman saya yang sudah gugur.
Awalnya kami cukup percaya diri dengan ilmu kanuragan yang kami punya. Namun semenjak kemunculan Ki Wasto Langir , kami sadar di atas langit masih ada langit yang lebih tinggi,” jelas Mbah Widjan.
Aku sangat mengerti ucapanya. Saat inipun kami belum siap menghadapi Ki Wasto Langir. Akupun ikut bersiap dengan rombongan itu dan meninggalkan desa kecil ini.
Beberapa orang yang memiliki kendaraan bermotor membawakan peralatan dan sebagian menyusuri hutan jati menuju lokasi selanjutnya. Murid-murid Mbah Widjan menuntun mereka dengan teratur. Aku melihat dengan jelas rasa lelah di raut wajah mereka.
Baru sekitar satu jam perjalanan, perlahan terdengar suara dentuman dari arah desa yang kami tinggalkan tadi. Sepertinya Ki Wasto Langir sudah menemukan desa itu.
“Ayo lebih cepat!” Perintah murid-murid Mbah Widjan.
Warga desapun mempercepat langkahnya. Namun itu hanya sebentar. Tiba-tiba tepat saat bulan purnama terlihat jelas di atas kepala kami, ada satu warga yang bertingkah aneh. ia membentur-benturkan kepalanya ke pohon jati.
“Mas! Kenapa kamu mas?!” teriak seorang perempuan yang kuduga adalah istri dari orang itu.
Tak hanya satu, ada beberapa lagi warga yang tiba-tiba melakukan hal serupa.
“Mbah ini gimana mbah?” Tanya Panji.
“Ikat! Tahan mereka yang terpengaruh,” perintah Mbah Widjan yang segera dituruti oleh murid-muridnya.
Perhatianku tertuju pada salah satu warga yang kehilangan kendali. Wajahnya terlihat tersenyum seolah memiliki suatu arti.
Ia menarik nafas sedalam-dalamnya dan tiba-tiba berteriak dengan suara yang terdengar hingga seluruh hutan.
“Mbah Widjan! Dia mencoba memberi tahu lokasi kita!,” ucapku.
Seketika wargapun panik. Mbah Widjanpun bingung untuk mengambil keputusan.
Aku melihat keringatnya mulai menetes.
Melihat hal itu aku memanggil Panji.
“Panji, Mbah Widjan.. bawa semua warga pergi dari sini. Biar aku yang menahan mereka di sini,” ucapku yang tidak dapat lagi memikirkan cara lain.
Setelah ini aku harus memikirkan siasat untuk melawan Ki Wasto Langir dan mayat mayat pendekarnya itu. Aku juga berpikir, seandainya tidak menghentikanya di sini. Ia akan bergabung lagi dengan demit yang lain dan semakin membawa bencana.
“Nggak Mas Danan, itu bunuh diri namanya,” ucap Mbah Widjan.
“Setelah melewati perbatasan timur ada sebuah padepokan wayang bernama Padepokan Ki Joyo Talun.
Bawa warga desa ke sana, ada teman-temanku di sana dia akan menjaga kalian semua,” ucapku.
Mbah Widjan dan Panji terlihat bingung namun teriakan warga desa yang panik seolah menggugah hatinya.
“Panji, bawa warga desa..”
“Nggak mbah, Panji di sini..” balas Panji seolah sudah membaca maksud Mbah Widjan.
Ucappan Panji disusul dengan beberapa muridnya yang ingin ikut tinggal dengan Mbah Widjan.
“Saya ikut Mbah Widjan,” ucap seorang pemuda yang dengan mantap memegang sebuah pisau kuno di iikatan pinggangnya.
Beberapa pemuda juga melakukan hal yang sama. Mbah Widjan yang melihatnya tidak memiliki pilihan lain.
Iapun membagi murid-mudirnya dan menyisakan yang terhebat untuk menahan Ki Wasto Langir.
“Mbah, Ijinkan Panji memakai pusaka ini mbah,” ucap panji pada Mbah Widjan sembari membawa sebuah kotak.
“Nggak, belum bisa panji. Masih ada beberapa amalan yang harus kamu lakukan sebelum menggunakan pusaka ini,” ucapnya.
“Maaf mbah, Panji janji amalan itu akan Panji selesaikan setelah ini. tapi kalau kita mati disini, amalan itu tidak akan pernah selesai,” ucapnya.
Aku melihat niat Panji. Sepertinya ia sepenuh hati ingin mencurahkan jiwa dan raganya pada pertempuran ini.
Mbah Widjan menghela nafas. Sepertinya ia berpikir bahwa Panji ada benarnya bisa jadi pertempuran kali ini menewaskan salah satu dari mereka.
“Kali ini saja…” ucap Mbah Widjan.
“Baik Mbah,” ucap Panji.
Mbah Widjan membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah tombak pendek yang tajam di kedua ujungnya.
“Gunakan Tombak Lembu Warok ini semampumu dan sebaik-baiknya ya le..” titah Mbah Widjan.
Panjipun menerima pusaka itu dan segera memainkanya di hadapan kami. sepertinya ia mencoba membiasakan untuk menggunakanya.
Kami menunggu cukup lama di dalam keheningan malam di hutan ini. kami tahu dengan jelas, Ki Wasto Langir pasti akan melewati tempat ini dan menemukan kami.
Benar saja, mereka datang ke hadapan kami dengan bergerombol Ki Wasto Langir diangkut dengan menggunakan singgasana kayu tua yang dibawa oleh beberapa anak buahnya.
Tidak seperti saat menghadapinya tadi. Kini ia datang dengan membawa lebih banyak anak buah.
Lima pendekar pusaka, beberapa pendekar tangan kosong, hingga beberapa pocong yang kurasa sebagian adalah warga desa.
“Khekehkeh… aku panen mayit wengi iki,” (aku panen mayat malam ini) ucapnya.
Malam ini pertempuran di hutan jati dengan diterangi bulan purnama, dimulai dengan serangan lima pendekar yang hampir saja menghabisi nyawaku. Kali ini aku sudah sigap dengan keris Ragasukma ditanganku sejak awal.
Beberapa kali pusaka kami saling beradu.
Beberapa pohoh jatipun tumbang dengan besarnya energi dari pertarungan kami.
Tombak lembu warok, ternyata itu adalah sebuah pusaka yang istimewa. Panji melemparkan tombak itu ke arah Ki Wasto Langir untuk menyerangnya secara langsung, sayangnya dapat dihindari dengan mudah.
Namun hebatnya tak berapa lama tombak itu sudah kembali ke tangan panji lagi.
Mbah Widjan menggenggam kerisnya sendiri yang berukiran naga. Dengan kerisnya itu ia bisa tidak ada satupu serangan anak buah Ki Wasto Langir yang membuatnya terpental.
Sepertinya murid-muridnya yang dipilih untuk tinggal juga dipercayakan pusakanya masing-masing.
“Aku tidak punya waktu main-main,” ucap Ki Wasto Langir.
Iapun mengetuk tongkatnya lagi dan seketika muncul lengan dari dalam tanah yang memegangi setiap kaki kami.
Saat itu juga cemeti anak buah ki wasto melukai tubuh Mbah Widjan, sebuah tombak dari anak buah Ki Wasti juga melayang mementalkan pusaka Panji. Kami benar-benar tidak bisa bergerak.
Aku tidak mau menyerah begitu saja, seketika aku mengingat aksara dari batu yang dibawa cahyo yang telah dituliskan oleh Sena pada lembaran kulit. Seketika aku menuliskanya di keris ragasukma dengan darahku dan memastikan aksara itu tetap tertulis saat kubawa dalam wujud sukma.
Akupun memisahkan sukmaku dari raga dan menyerang pendekar cemeti itu. dan benar saja tepat saat aku menghujamkan kerisku di lenganya, seketika mahluk itu kesakitan.
“Apa yang terjadi?” Tanya Panji.
Aku kembali ke ragaku dan memberitahukan hal ini pada mereka.
“Salin aksara ini di pusaka kalian, gunakan untuk melepaskan diri dan serang mereka!” ucapku.
“ini apa?”
“Tidak ada waktu untuk menjelaskan mbah, mungkin saja ini bisa berhasil!” ucapku.
Merekapun bergiliran saling melindungi menyalin aksara itu di pusaka mereka.
Dan benar saja, pertarungan ini mulai seimbang.
Serangan kami menimbulkan rasa sakit pada mayat hidup yang dikendalikan oleh Ki Wasto Langir. Kami bertigapun berhasil menghabisi sang pendekar cemeti yang sempat melukai Mbah Widjan.
Sayangnya yang masih membuatku khawatir adalah Ki Wasto Langir sama sekali tidak gentar. Melihat sisi petarungan mulai berubah iapun maju ke medan tempur dan membuat beberapa aksara di tanah yang ia injak.
Lemah sanging ing pangwasaningsun, ora ana pusaka sing nduweni hak kanggo nduduhake kekuwatane ing kene.
Tepat saat ia selesai mengucapkan kata-kata itu aku merasakan kekuatan keris ragasukma menghilang.
saat aku beradu keris aku terpental dengan jauh seolah tidak ada kekuatan yang mengisinya.
“Mbah! Tombak Lembu Warok?!” ucapnya panik saat pusakanya itu tidak kembali ke tanganya.
Mbah Widjan sendiri terpental jauh hingga terluka saat kerisnya tak lagi melindunginya.
“Kkhekehkeh… semua pusakamu hanya sampah di atas tanah kekuasaanku,” ucap Ki Wasto Langir.
Kini aku mengerti, ternyata rapalan tadi adalah ilmu untuk menghapuskan kemampuan pusaka kami di wilayah kekuasaanya.
“Gimana mbah? Kita pasti mati” ucap Panji mulai putus asa.
Kamipun mengambil jarak dari mereka mencoba memikirkan strategi berikutnya.
“Mbah kita lari mbah!” ucap Panji sambil mengeluarkan kain kafan yang ia gunakan untuk menyelamatkanku tadi.
Aku tetap diam pada tempatku.
Saat ini yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana cara mengalahkan Ki Wasto Langir. Sekarang aku sadar, saat berhadapan seperti ini adalah waktu yang tepat untuk mengalahkanya.
Apabila mereka berkumpul, akan semakin sulit untuk mengalahkan mereka.
“Kalau kita tidak mengalahkanya sekarang, mustahil mengalahkanya bila mereka sudah bersama demit yang lain,” ucapku.
Mbah Widjan seolah setuju dengan ucapanku. Iapun melangkah kedepan dan berdiri di sisiku.
“Pusaka kita sudah tidak berdaya lagi, ini namanya bunuh diri,” ucap Panji.
Mendadak aku tersenyum sendiri dan teringat sesuatu.
“Aku pernah mendengar perkataan seseorang, dia bilang.. apabila aku tidak berdaya tanpa pusakaku, berarti aku belum pantas memiliki pusaka itu,”
Mendengar ucapanku Mbah Widjan menatapku sambil tersenyum. Kamipun menulis ulang aksara yang diberikan sena di kedua lengan kami.
Aku mengingat satu persatu ilmu dan doa-doa yang pernah kupelajari dan menerjang keempat pendekar yang tersisa dan melawanya berdua dengan Mbah Widjan.
Ajian lembur saketi, aku mementalkan pendekar keris dengan pukulan jarak jauh. Goresan kerisnya akan sangat merepotkan.
Dengan bantuan aksara dari sena, kini ia tersungkur dan memuntahkan cairan hitam dari mulutnya.
Mbah Widjan sepertinya juga memiliki ilmunya sendiri. Ia menghindari setiap serangan dari pendekar tombak dengan lihainya.
Amalan api, aku menahan pendekar yang membawa kujang mencegahnya merapalkan mantra. Setelahnya aku menghadapi satu lawan satu sang pendekar parang.
Panji dan murid Mbah Widjan seolah terkesima melihat niat kami.
Sepertinya kini Panji mengerti mengapa ia belum bisa dipercayakan yang memang seharusnya diturunkan olehnya.
Iapun mengingat-ingat kemampuan yang ia miliki.
Murid Mbah Widjan lainya mengikuti ilmu yang digunakan Mbah Widjan dan akhirnya bisa menghabisi pendekar tombak itu hingga memisahkan kepalanya dari badanya.
Sayangnya Ki Wasto Langir yang geram kembali mengetuk tongkatnya lagi hingga puluhan mayat-mayat lain ikut berdatangan dan mencoba menghalangi pergerakan kami.
“Kalau mereka masih belum cukup, aku masih bisa memanggil ratusan lagi khekehkehe….” Tawanya.
Namun tawanya terhenti saat tiba-tiba Panji muncul di sebelahnya dengan tubuhnya yang tertutup kafan putih bertuliskan aksara kuno.
“Tangkap Mbah!” teriak panji sambil melemparkan tongkat pusaka senjata Ki Wasto Langir.
Akupun tertawa, sepertinya aku pernah mengalami kejadian seperti ini.
Mbah Widjan menangkap tongkat itu, membaca sebuah mantra dan mematahkan tongkat itu menjadi dua. Aku melihat aliran kekuatan hitam keluar dari tongkat itu.
“Bocah-bocah brengsek!!” ucapnya.
Sebelum Ki Wasto Langir Murka, Panji segera melarikan diri sejauh mungkin darinya. Namun yang menjadi permasalahan sudah banyak dedemit yang dipanggil dan masih ada tiga pendekar yang harus kami hadapi.
“Bagaimana Mbah Widjan? Bagaimana cara melawan puluhan mayat ini bersamaan,” tanya salah seorang murid Mbah Widjan.
“Tenang saja, aku merasa Tuhan mempunyai cara untuk melindungi kita di pertempuran ini,” ucapnya.
Aku kagum dengan kata-kata itu. Mbah Widjan sama sekali tidak khawatir dengan keadaan ini.
Akupun menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya kali ini aku tidak punya pilihan lain. Aku kembali menarik keris ragasukma ke tanganku dan meletakanya di hadapanku.
“Bodoh, pusakamu sudah tidak ada artinya..” ucap Ki Wasto Lengsir meremehkanku.

Aku tersenyum dan membacakan sebuah mantra kuno diajarkan oleh leluhurku...
𝘑𝘢𝘨𝘢𝘥 𝘭𝘦𝘭𝘦𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘣𝘰𝘵𝘦𝘯 𝘯𝘥𝘶𝘸𝘦 𝘸𝘶𝘫𝘶𝘥
𝘒𝘶𝘭𝘰 𝘯𝘪𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪
𝘚𝘶𝘳𝘨𝘢 𝘭𝘰𝘬𝘢 𝘴𝘶𝘳𝘨𝘢 𝘬𝘩𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯
𝘒𝘦𝘵𝘶𝘩 𝘮𝘶𝘭𝘪𝘩 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘶𝘯 𝘯𝘢𝘮𝘱𝘢𝘯𝘪
𝘛𝘦𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘴𝘢 𝘛𝘦𝘬𝘢𝘯 𝘚𝘦𝘥𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯…
Seketika cahaya rembulan tertutup awan dan langit semakin gelap. Perlahan hujan turun rintik-rintik membasahi hutan jati ini.

“Tidak mungkin, pusakamu…” ucap Ki Wasto heran.
“Kau yang Bodoh, aku tidak akan menyerang membabi buta tanpa rencana,” ucapku sambil menoleh ke arah aksara yang ditulis Ki Wasto di tanah.

Kini aksara itu sudah rusak tak berbentuk.
“Berarti pusaka kita?” ucap Panji yang segera aku balas dengan anggukan sambil tersenyum.
Kini Mbah Widjan dan murid-muridnya kembali menggenggam pusakanya masing-masing.
masalahnya, sekarang aku harus siap-siap menghadapi Nyi Sendang Bawel yang pasti akan menceramahiku.
Sosok wanita berselendang muncul dari dalam rintikan hujan. Ia mendatangiku dengan wajah marahnya, walaupun begitu ia tetap terlihat cantik bagiku.

“Kamu sudah siap mati?” ucap Nyi Sendang Rangu.
“Maaf nyi, maaf aku tidak punya pilihan lain. Daripada aku mati sia-sia, lebih baik aku mencoba memanggil langkah terakhir yang kubisa,” ucapku sesopan mungkin.

Nyi Sendang Rangupun melihat sekeliling tempat ini.
puluhan jasad pocong yang baru saja mati, jasad dari dalam tanah, hingga beberapa jasad hidup yang menggenggam pusaka dikendalikan oleh seseorang.

“Titah Setra Gandamayit…”ucap Nyi Sendang Rangu.
“Nah itu…” ucapku
“Diam!!! Aku tahu ucapanmu! Siapa yang kau maksud Nyi Sendang Bawel!” Ucapnya.

Aku lupa, Nyi Sendang Rangu bisa membaca isi hati seseorang. Tapi sungguh lucu jika dia marah hanya karena kata-kata itu.
“Tapi kamu kumaafkan karena kamu bilang aku tetap terlihat cantik”

Aku menepuk dahiku. Jelas, aku tidak bisa mengerti isi kepala dari makhluk ini.

“I—Itu siapa Mas Danan?” tanya Panji.
“Bidadari…” jawabku pada Panji dengan berhati-hati, jangan sampai jawabanku menyinggungnya lagi.

Nyi Sendang Rangupun seketika muncul di hadapan Ki Wasto Langir.
“Khekeh.. dewi penjaga sendang, tidak kusangka kau akan patuh dengan manusia rendahan seperti mereka,” Ucap Ki Wasto.

Saat Nyi Sendang Rangu mendekat, seketika wajahnya menjadi begitu menyeramkan menyerupai mayat yang sudah mati ratusan tahun yang lalu.
“Mas Danan! Itu!!” teriak panji yang ketakutan.

“Ssst! Aku jelaskan nanti!” ucapku memotong perkataan Panji.
“Aku tidak pernah patuh pada siapapun kekuali pada Yang Maha Kuasa, segala yang kulakukan atas kemauanku sendiri tanpa perintah siapapun,” ucapnya memperingatkan Ki Wasto.
Kali ini aku tahu Ki Wasto terlihat gentar, apalagi tongkat pusakanya kini tak ada lagi di tanganya. Tak berapa lama hujan turun semakin deras membasahi hutan jati. Ada kekuatan tersembunyi di setiap tetesan hujan ini.
Seketika semua jasad yang dimanfaatkan oleh Ki Wasto Larngir terjatuh dengan berbagai roh yang berterbangan dari dalam mayat-mayat itu.

“Hujan ini? hujan ini yang memisahkan roh suruhan Ki Wasto dengan jasad-jasad itu?” Tanya mbah Wildan.
Akupun mengangguk sambil tersenyum. Kini aku terduduk di tanah berusaha menikmati luka-luka yang terukir di tubuhku akibat pertempuran ini.

“Sudah selesai,” ucapku.

“Selesai? Mas Danan yakin dia.. eh, maksud saya Bidadari itu bisa mengalahkan Ki Wasto?” tanya Panji.
“Iya, kalau dia mau…” ucapku.

Kami semua menatap kedua makhluk dari jaman ratusan tahun yang lalu itu berhadapan.

“Bergabunglah dengan setra gandamayit, kau akan mendapat jabatan yang setara prabu,” ucap Ki Wasto Langir.

“Apa?” coba ulangi lagi.
“Kau akan mendapatkan kekuasaan setara prabu, bahkan diatasku!” ucapnya dengan ketakutan.

“Kalau begitu, sebagai seseorang yang pantas berada diatasmu, aku perintahkan kau mati di sini!” Ucap Nyi Sendang Rangu.

Ki Wasto Terlihat ketakutan namun ia masih bisa tersenyum.
“Ka—kau pasti sudah tahu aku tidak bisa mati,” ucapnya.

“Berarti setelah ini semuanya akan semakin menyakitkan untukmu,” ucap Nyi Sendang Rangu.

Seketika Nyi Sendang Rangu sudah ada di belakang ki wasto.
Ia menggenggam kepalanya dan mematahkanya hingga terpisah dari tubuhnya. Aku memicingkan mataku melihat kejadian itu.
Tak cukup sampai di situ, Nyi Sendang Rangu menginjak tubuh ki wasto hingga hancur dan terbenam di tanah.
Anehnya kepala yang di genggam nyi sengang rangu tetap hidup dan terus berbicara.

“Kau!! Kau jin yang berpihak pada manusia! Kupastiakan kau akan dihabisi oleh Prabu, raja kami makhluk yang pantas menyandang gelar Batara,” ucap Ki Wasto.
“Kakek tua, bicaramu semakin ngawur,” Ucap Nyi Sendang Rangu sambil menarik lidah ki wasto hingga putus dan membuangnya ke tanah.

Tidak ada yang bisa berkata-kata melihat tindakan itu.
Setelahnya Nyi Sendang Rangu datang menghampiriku. Mbah Widjan dan Panjipun panik. Tapi saat mereka melihat Nyi Sendang Rangu kembali berubah menjadi cantik, merekapun mulai menghela nafas.

“Sekarang giliran hukumanmu karena sudah memanggillku,” ucap Nyi Sendang Rangu.
Mbah Widjan dan Panji terlihat menelan ludah saat mendengar kalimat itu. Tapi aku selalu percaya bahwa Nyi Sendang Rangu bukanlah makhluk yang jahat.
“Ada puluhan jasad di hutan ini, kalau tidak mau bernasib seperti kakek tua ini. kamu harus menguburkan mereka semua dengan layak,” ucapnya.
“Itu memang sudah menjadi niatku,” balasku sambil tersenyum.
“Satu lagi, yang kalian hadapi akan lebih berbahaya dari kakek tua bangka ini. aku mengijinkanmu membaca mantra itu lagi.” Ucapnya.
“Terima kasih Nyi.. saya berhutang lagi,” balasku.
Nyi Sendang Rangu mulai menghilang di balik derasnya hujan. Namun ia sekali lagi menoleh.
“Seandainya kamu ingat, mantra leluhurmu itu masih memiliki bait yang tersisa..”
Seusai mengatakan itu hujanpun reda bersama kepergian Nyi Sendang Rangu.
Kelanjutan dari mantra leluhur?
Samar-samar aku mengingatnya saat bertarung bersama eyang Widarpa di alam Brakaraswana. Namun karena itu di alam ghaib, otaku tidak mengingatnya dengan benar.
Benar, Aku harus mencari mantra itu. Mungkin saja mantra itu bisa sedikit membantuku untuk menghadapi pertempuran nanti.

***
Berita kekalahan Ki Wasto Langir segera disampaikan ke warga desa. Tepat saat matahari terbit mereka berbondong-bondong datang membantu kami menguburkan jasad-jasad yang hampir semua tidak bisa dikenali.
Mungkin beberapa jasad ini berasal dari beberapa ratu tahun yang lalu.
Mbah Widjan dan Panji juga turut membantu menyiapkan liang untuk jasad-jasad itu dan membacakan doa-doa untuk mereka.
“Untung mas nggak ada di sini, mungkin dia bisa jadi korban kalau ada di pertempuran semalam,” ucap Panji mengobrol pada Mbah Widjan.
“Jangan bicara begitu, setiap orang punya takdirnya sendiri,” balas Mbah Widjan.
Sepertinya aku mengerti arah perbincangan mereka dan mendekati mereka.
“Ada orang aneh di kantorku yang bikin jelangkung cuma buat membohongi teman kantornya, itu semua agar dia bisa mengetahui weton teman-temanya dan melindunginya,” ucapku.
Panji tertawa mendengar ceritaku.
“Dibalik tingkah anehnya itu, saat ada temanku yang kesurupan dia datang paling cepat dan membantu. Bahkan ia menyelidiki sendiri tentang sosok yang meneror kantor,” ucapku sambil mengeluarkan sebuah buku kuno yang diberikan kepadaku.
Mbah Widjan meletakkan cangkulnya dan mendekat ke arahku.
“Rizal menitipkan ini pada saya Mbah, mungkin saja ada petunjuk dari buku ini,” ucapku.
Mendengar nama Rizal disebutkan. Panji segera datang menghampiriku.
“Mas Danan pernah ketemu Mas Rizal? Benar dia juga sedang menyelidiki ini?” tanya Panji dengan raut wajah yang berubah heran.
Aku mengangguk dan menceritakan bahkan saat ini Rizal masih sering ke rumah sakit memastikan ketiga teman kami yang sukmanya di ambil tetap dalam kondisi stabil. Ia juga masih mengirim informasi setiap ada petunjuk.
Mbah Widjanpun tersenyum mendengarkan ceritaku.
“Panji, inget itu.. bahkan walaupun tidak memiliki bakat, dia tetap memiliki pertempuranya sendiri,” ucap Mbah Widjan.
“Iya mbah, Panji nggak boleh kalah sama Mas Rizal,” ucapnya.
Butuh waktu seharian untuk menguburkan semua jasad yang ada di hutan ini. Setelahnya kami bersiap pergi ke Padepokan Sena untuk mengamankan warga desa sekaligus bersiap untuk menghadapi kejadian berikutnya.
Bertambah satu lagi orang-orang yang membantu pertempuran ini. semoga saja waktu kami cukup untuk mengumpulkan mereka-mereka yang memang dipilih oleh Tuhan untuk menyelesaikan bencana ini.
Satu hal yang masih menggantung di pikiranku. Apa yang sedang dilakukan paklek hingga ia tidak bisa berkutik untuk menolong kami?
***
(Bersambung Part 5)
Cuplikan part 5 :
Paklek dikejutkan oleh sosok manusia berilmu hitam yang mengincar warga desa untuk tumbal kesaktianya.

sayangnya paklek kesulitan menghadapi ilmu yang tidak ia mengerti itu. makhluk itu bisa memisahkan kepalanya atau bahkan berubah menjadi bola api.
yang paklek tahu, ilmu itu hanya dimiliki oleh orang-orang sakti di tanah dewata.

yang mau baca duluan atau sekedar suppot bisa mampir @karyakarsa_id ya..
Part 5 - Wasiat Tanah Dewata :
karyakarsa.com/diosetta69/jsd…
Terima kasih untuk teman-teman yang sudah mendukung dan membaca hingga part ini selesai.

mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian yang menyinggung.

jangan lupa tinggalin komen dan bantu retweet ya!
JSD - Setra Gandamayit
Part 5 - Wasiat Tanah Dewata

Suara kentongan terdengar ke seluruh penjuru desa. Belasan orang berlarian mengejar suatu sosok yang baru saja keluar dari salah satu rumah yang sudah dikerubuti oleh warga.

@IDN_Horor @horrorfess #bacahorror Image
“Di sana! Tadi ke arah sana!” Teriak seseorang sambil menunjuk ke arah pepohonan.
Sebaliknya dari arah rumah terdengar suara tangisan yang memecah keheningan malam itu. Suaranya begitu lirih hingga membuat siapapun yang mendengarnya iba.
“Anak saya, tolong anak saya…” ucapnya dengan tak henti-hentinya menangis.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk membantu ibu itu. Anak yang seharusnya ia timang-timang setelah berjuang mempertaruhkan hidupnya,
kini telah menjadi tumbal sosok makhluk yang merupakan perwujudan sosok pengguna ilmu hitam.
Yang bisa dilakukan saat ini adalah menangkap pengguna ilmu hitam itu agar tidak ada lagi korban dari makhluk itu.
“Anak saya mbok, anak saya. Saya akan berikan apa saja asal anak saya selamat,” ucap ibu itu.
“Yang sabar ya nduk, belajar untuk ikhlas..” ucap seseorang wanita yang lebih berumur berusaha menghibur perempuan itu.
Tangisanya semakin menjadi-jadi ketika ia mendengar bahwa anaknya tidak lagi selamat. Wargapun sudah mencari semalaman namun tidak ada seorangpun yang berhasil menangkap makhluk itu.
Malam itu dihiasi dengan tangisan seorang ibu yang bahkan tidak pernah bisa melihat sosok bayi yang dikandungnya.
Keesokan hariinya, warga yang khawatir dengan ibu itu mendatangi rumahnya. Betapa kagetnya ia saat menemukan ibu itu telah mati gantung diri.
Ia tidak kuat mengetahui kenyataan bahwa ia telah kehilangan anaknya..
Belakangan diketahui bahwa suaminyapun sudah meninggal kecelakaan kerja di perantauan.
Selama ini ia bertahan hidup seorang diri untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya agar bisa menjumpai anaknya yang ia jaga sepenuh hati. Satu-satunya alasan ia bertahan hidup kini telah hilang, anaknyapun mati dengan cara yang mengenaskan.

***
Part 5 - Wasiat Tanah Dewata

(Sudut Pandang Paklek)

Desa Rangitaru, sebuah desa terpencil yang terletak di ujung timur pulau jawa. Beberapa kali aku gagal menemukan jalur yang tepat untuk tiba ke tempat ini.
Namun setelah beberapa kali bertanya (dan disesatkan) akhirnya aku bisa menemukan jalur yang benar.
Ada sebuah papan nama yang menunjukan nama desa itu di hadapanku, sayangnya dibawahnya juga terdapat tulisan + 12Km, dan arahnya menunjuk ke arah hutan.
Aku sudah hampir mengeluh melihat masih jauhnya perjalanan yang harus kulalui. Tapi untungnya Pak Soka yang merupakan kepala desa itu sudah meminta beberapa warganya untuk menjemputku menggunakan motor yang sudah dimodif untuk melalui jalur yang ternyata sangat tidak santai.
Perjalanan menuju desa dihiasi dengan pepohonan dan beberapa hewan kecil yang melompat dari pohon ke pohon. Sudah ada jalur yang terbentuk di tempat ini, sepertinya mobil kecil bisa melewati jalur ini walaupun dengan susah payah.
Saat melewati balai desa, terlihat warga sedang berkumpul seolah membahas sesuatu yang serius. Aku tidak bisa mengacuhkan pandanganku dari pertemuan itu.
“Paklek saya antar ke tempat istirahat dulu saja ya, nanti saya jemput lagi,” ucap pemuda yang menjemputku menggunakan motornya.

“Itu, Pak Soka di balai desa kan? Kita ke situ dulu saja, kayaknya masalahnya lagi di bahas,” balasku.
“Nggak papa Paklek? Nggak mau istirahat dulu?” tanyanya sopan.
“Sudah nggak papa, kita ke sana dulu saja sambil kenalan,” balasku.
Pemuda itupun memutar motornya dan mengantarku ke balai desa.
“Kulo nuwun,” (Permisi) ucapku yang sepertinya sedikit membuyarkan perbincangan mereka.
“Ealah, Pak Bimo. Sudah sampai to? Nggak istirahat dulu?” Pak Soka segera berdiri dari tikarnya dan menyambutku.
“Sudah pak, istirahatnya nanti saja mumpung lagi pada kumpul,” balasku.
Akupun berkenalan dengan beberapa warga desa secara singkat. Benar saja, mereka sedang membahas kejadian kemarin. Kejadian yang ternyata sudah memakan korban jiwa.
“Desa ini sedang di teror makhluk pengguna ilmu hitam Pak,” jelas Pak Soka.
“Kemarin ada korban seorang anak bayi yang baru saja lahir, dan ditambah lagi ibunya yang memilih untuk mengakhiri hidupnya”
Pak Soka menceritakan mengenai sosok makhluk yang sedang meneror desa.
Ia mengincar janin bayi, dan ketika tidak ada bayi yang akan lahir ia mengincar anak kecil atau bahkan orang dewasa.
“Sudah ada yang pernah melihat wujudnya pak?” tanyaku penasaran.
“Pernah ada orang pintar yang berhasil menjebak makhluk itu pak, iapun memanggil warga. Namun sebelum warga sempat sampai, tiba-tiba terlihat cahaya kobaran dari arah orang pintar itu,” Jelas Pak Soka.

“Cahaya?” tanyaku penasaran.
“Maksud Pak Soka, saat kami sampai orang pintar itu sudah mati dengan seluruh badan yang gosong , mati terbakar,” tambah salah satu warga.
Mendengar kisah itu aku segera mengerti sekelam apa permasalah yang dimiliki desa ini hingga Pak Soka harus memanggilku.
Padahal di sekitar desa inipun harusnya banyak orang sakti yang harusnya bisa membantu permasalahan di desa ini.
“Untuk itu pak, sebelum Pak Bimo membantu kami, saya ingin mewanti-wanti agar Pak Bimo tidak memaksakan diri.
Kami tidak ingin ada korban yang bertambah lagi,” ucap Pak Soka.
Aku mengangguk dan mengerti maksud Pak Soka.
“Tenang saja pak, saya tahu batasan saya,” balasku.
Pak Sokapun melanjutkan ceritanya. Menurutnya dulu pernah ada kasus serupa tentang makhluk yang mengincar janin. Tapi itu sudah puluhan tahun yang lalu saat Pak Soka masih kecil. iapun heran mengapa makhluk itu kini kembali muncul dan menyerang desa.
Perbincangan di balai desa saat itu tidak membuahkan hasil yang signifikan. Mereka hanya membentuk kelompok-kelompok ronda dan sistem keamanan desa untuk saling memberi tanda apabila melihat sosok itu.
Mereka juga mendata setiap wanita yang sedang hamil agar selalu didampingi saat tidak bersama anggota keluarganya.
Tapi kalau makhluk itu memang sesakti yang diceritakan. Mungkin sistem inipun tidak mampu menahan keganasan makhluk pencari tumbal itu.
Seusai pertemuan, Pak Soka mengantarku ke salah satu rumah warga yang dipinjamkan untukku beristirahat. Akupun menggunakan waktuku untuk membereskan barang dan mandi sebentar.
Saat aku keluar untuk mencari udara segar, aku melihat satu keluarga yang pergi membawa barang-barangnya meninggalkan desa, padahal langit sudah mulai gelap. Ada satu orang ibu hamil di antara mereka. Mungkin mereka bermaksud mengamankan diri dengan meninggalkan desa ini.
“Selamat malam Pak Bimo,” ucap Pak Soka yang baru saja tiba.
“Malam Pak Soka, monggo” sambutku.
Pak Soka mengambil tempat duduk di sebelahku sambil membawa sebuah rantang yang berisi nasi dan lauk untukku.
“Masakan istri saya, nanti dicobain ya Pak Bimo,” ucap Pak Soka.
“Wah, menu istimewa nih,” balasku.
Pak Soka mengajak kami berjalan-jalan mengelilingi desa Ragitaru.
Kami berbincang mengenai keadaan desa ini yang menurut Pak Soka benar-benar mengkhawatirkan.
Pak Soka juga sempat mampir ke kantor kecamatan, namun permasalahan yang diceritakan Pak Soka dianggap tidak masuk akal.

“Saya khawatir kalau makhluk itu sama sekali tidak bisa ditangani, akan semakin banyak warga yang jadi korban.
Semakin banyak ia mendapat tumbal, dia akan semakin kuat kan pak?” tanya Pak Soka.

“Betul pak, makanya kita perlu secepat mungkin mencari petunjuk,”

Di tengah perjalanan aku melihat seorang pemuda yang tadi mengantarku baru saja sampai di rumahnya dengan membawa belanjaan.
“Pak Bimo sudah kenalan sama Egar kan tadi?” tanya Pak Soka.

“Oo, namanya Egar. Saya lupa nanya tadi,” jawabku.
“Dia salah satu pemuda yang paling rajin. Sekolahnya memang tidak tinggi, tapi dia dengan senang hati membantu warga jadi semua orang senang denganya,” ucap Pak Soka.
Ucapan Pak Soka benar. Pertama kali ketemu Egar saja aku sudah merasakan tingkah sopanya.

“Di dekat sini ada sungai pak?” tanyaku yang samar-samar mendengar suara gemericik air yang mungkin jaraknya cukup jauh.
“Ada pak, dulu sungai itu sering digunakan warga untuk mandi dan mencuci baju. Tapi semenjak jaman lebih modern, sungai itu hanya sebagai tempat memancing dan tempat istirahat warga desa saja,” jelas Pak Soka.
Banyak perbincangan santai antara aku dan Pak Soka. Tapi sebagian besar adalah keresahanya tentang desa ini.
Saat kami berniat untuk kembali, tiba-tiba terdengar suara kentongan dari arah yang tidak jauh dari tempat kami berada.
Saat itu juga aku dan Pak Soka segera berlari menuju arah kentongan itu.
“Kenapa mas? Ada apa?” tanya Pak Soka.
“Tadi ada di sana mas, ada di atas pohon. Ada makhluk aneh yang ngeliatin dari sana,” ucap salah satu warga yang bertugas berjaga saat itu.
Kami menoleh ke arah yang ia tunjukkan, namun tidak ada apapun di sana.

“Nggak ada apa-apa mas, makhluk itu lari ke arah mana?” tanya Pak Soka.

Warga itupun menunjuk ke arah hutan.
Aku memastikan setiap titik yang di tunjuk oleh warga itu.
Memang ada bekas residu yang tersisa dari makhluk yang pernah ada di sana. Satu yang pasti, kalau makhluk itu sampai menyisakan jejak seperti ini, itu artinya makhluk itu memang memiliki ilmu yang tinggi.

“Pak, amankan warga ya.. jangan ada yang keluar dulu,” ucapku.
“Pak Bimo mau ke mana?”
“Saya coba periksa ke hutan dulu,” balasku.
“Ja—jangan pak! Bahaya!” teriak Pak Soka.
Aku tidak menghiraukanya dan segera berlari menginggalkan Pak Soka dan warga desa menuju ke dalam hutan.
Bukan gegabah, tapi bila sisa energi makhluk itu masih terbaca olehku mungkin aku bisa menemukan dimana makhluk itu bersembunyi.

Makhluk itu tidak berjalan di tanah, ia melayang. Aku masih merasakan pekatnya energi hitam dari udara yang ia lewati.
Aku mendengar suara sungai tak jauh dari tempatku, tapi energi itu tidak mengarah ke sana. Makhluk itu mengarah ke arah jalan masuk desa.
Seketika akupun panik, bila firasatku benar maka makhluk itu bisa saja mengincar mereka.

Tttiiiiiin!!!!

“Toloong! Tolong!”
Suara klakson motor terdengar bersahutan bersama dengan suara beberapa orang yang meminta pertolongan. Aku berlari secepat mungkin ke arah suara itu dan terlihat sekumpulan orang sedang berusaha bertahan dari sesuatu.
Benar dugaanku, makhluk itu mengincar rombongan keluarga yang tadi bermaksud meninggalkan desa.
Ada satu orang terbaring di sana dengan tubuh yang sudah menghitam terbakar dengan sisa api di tubuhnya.
Masih ada dua orang laki laki dan satu orang ibu yang hamil yang berusaha bertahan dari makhluk yang belum sempat kulihat wujudnya.

Aku berhenti sejenak mencari keberadaan makhluk yang menyerang mereka,
sampai akhirnya terlihat keberadaan sebuah bola api besar yang menyerang ke arah salah seorang pemuda yang berada di sana.

“Minggir!” Teriakku sembari membacakan sebuah doa untuk menahan serangan makhluk itu.
Sayangnya rupanya energi makhluk itu terlalu besar. Amalan penolak ilmu hitam yang kugunakan tidak cukup untuk menahanya dan membuat kami terpental dengan ledakanya.

“Jangan jauh-jauh dari saya!,” perintahku pada mereka.
“Bapaknya yang dimintai tolong sama Pak Soka tadi?” Tanya ibu hamil itu.

“Iya, tetap waspada kalau ada yang melihat wujudnya segera teriak,” ucapku.

Makluk itu tidak menyerang membabi buta. Hampir dapat dipastikan sosok ini benar manusia yang mencari ilmu.
Tepat ketika sinar rembulan tertutup awan tiba-tiba sosok itu kembali mendekat. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini bukan bola api. Makhluk itu muncul dengan kepala dan mata yang besar dengan taring yang panjang hingga kebawah.
Sisa sisa api dari wujud bolanya masih terlihat di rambutnya yang panjang.

“Leak?” ucap warga itu.

“Itu wujud Rangda, kalau memang benar ini akan menjadi pertarungan yang sulit,” balasku.
Makhluk itu berwujud seperti kuyang, namun organ tubuhnya tidak terlihat, tertutup dengan rambutnya. Dan samar-samar aku masih bisa melihat bayangan tangan dan kakinya.
Sosok itu melayang seolah bersiap memakanku dengan mulutnya yang besar, namun saat aku berbalik ingin menyerangnya sosoknya menghilang.

“Pak! Tolong!” ucap ibu yang sedang hamil itu.
Seketika makhluk itu sudah ada di hadapan ibu itu dan menggigitnya. Makhluk itu mengincar kepala ibu itu, namun ia sempat menghindar sehingga gigitanya menyerang bahunya.

Aku tak tahan lagi, kali ini aku mengambil keris sukmageni dari tas kainku.
Dengan segera aku menyerang sosok makhluk pengguna ilmu leak itu, namun dengan cepat ia bisa menghindar.

Seolah sadar dengan kekuatan keris sukmageni, ia menjaga jarak dariku. Aku belum mau menyerah dan menerjangnya.
Tepat saat seranganku menggoresnya, seketika sosoknya berubah kembali menjadi bola api dan membakar tanganku.

Rasa panas benar benar hampir membuatku tidak mampu bergerak. Namun aku tahu bahwa makhluk itu tidak akan berhenti.
Sekuat tenaga aku membacakan mantra untuk memanggil kobaran api yang mungkin bisa menyeimbangi kobaran apinya. Geni Baraloka..

Wujudnya yang berupa bola apipun beradu dengan geni baraloka. Sebuah ledakan yang menyilaukan menerangi gelapnya hutan saat ini.
sayangnya ia tidak juga tumbang, bahkan ia seolah tidak terluka sama sekali.

Samar-samar aku melihat bekas goresan bilah hitam keris sukmageni di pipi makhluk itu.
Tidak mau menghilangkan kesempatan, akupun membacakan mantra yang diberikan penempa keris ini dan memunculkan api hitam dari bekas luka setan itu.
Seketika makhluk itu meronta kesakitan. Iapun menerjang kearahku , aku bersiap menahanya namun tiba-tiba sosok itu menghilang dari pandanganku.

“Bapak!!! Bapaak!!,” Teriak ibu tadi.

Aku menoleh ke arahnya, sosok makhluk itu sudah tidak terlihat di sekitar kami.
namun kami kecolongan. Suami dari ibu yang mengandung itu sudah terbaring di tanah bersimbah darah.. Tanpa kepala…
Menyadari kericuhan tadi warga berbondong-bondong menghampiri kami dan kaget dengan apa yang terjadi. Wajah panik terlihat diantara mereka semua.
Bagaimana tidak mereka menemukan kami bersama jasad yang terbakar hingga gosong, dan sebuah jasad tanpa kepala.

Ibu yang selamat itupun kini hanya menangis tanpa henti sementara pemuda yang mengantar mereka bahkan tidak dapat beribicara setelah melihat kejadian tadi.
“Maafkan saya Pak Soka, saya gagal menyelamatkan mereka,” ucapku.

Pak Soka menghampiriku dan melihat bekas luka bakar di lenganku.

“Sudah Pak, kalau pak bimo saja tidak bisa apalagi kami.
lebih baik kita obati luka pak bimo dulu, kita tidak tahu kapan makhluk itu akan kembali lagi,” balas Pak Soka.
Kamipun kembali ke desa, beberapa warga mengantarkan Ibu yang sedang hamil itu untuk tinggal bersama istri Pak Soka sementara warga berkumpul ke balai desa.
“Ilmu leak?” tanya Pak Soka bingung.
“Bukanya itu hanya ada di pulau Bali saja?“

Aku tidak tahu harus menjawab apa, tapi itulah yang kulihat. Aku menceritakan sosoknya yang berubah menjadi bola api dan kadang berwujud Rangda.
“Leak, atau Pengleakan itu ilmu pak, sebuah ilmu aksara..

sebenarnya justru menurut serat calonarang ilmu pengeleakan itu dimulai di sini, di Jawa Timur, tapi bisa jadi ada teori yang berbeda” Jelasku.
“Kami sempat menduga itu adalah sosok seperti kuyang, tapi kuyang tidak bisa melukai manusia dewasa sampai terbakar seperti itu,” balas Pak Soka.

Di tengah perbincangan kami tiba-tiba ada seorang yang mendekat ke pada saya.
“Maaf Pak Bimo, tanganya biar saya periksa,” ucapnya dengan sopan.

“Oh tidak usah repot-repot pak, tadi sudah saya obati,” balasku.

Pria itu mendekat kepadaku dan tetap memaksa untuk mengobati tanganku.
“Bukan begitu pak, kalau memang luka ini dikarenakan ilmu leak itu mungkin luka ini bisa berkepanjangan,” ucapnya.

“Iya paklek, biar diperiksa sama Pakde saja,” ucap Egar.
Rupanya pria ini adalah Pakde, atau paman dari Egar yang sama sepertiku, ia dimintai tolong untuk menangani makhluk itu.

Mendengar alasan itupun aku menunjukkan tanganku padanya. Ia melihat tanganku dan membacakan sebuah mantra yang lebih mirip sebuah doa dari agamanya.
Benar ucapanya, walaupun aku sudah menutup lukanya rupanya ada benda seperti asap menguap dari kulitku.

“itu apa Pak?” tanyaku.

“Ini racun, kalau ia pengguna ilmu leak dia pasti sudah biasa dengan wujud racun yang tidak terlihat.
Seandainya ia membacakan mantranya, racun ini akan bereaksi,” jelasnya.

Mendengar penjelasanya akupun mengambil kesimpulan bahwa ia buka orang biasa. Namanya Pak Waja.
Egar yang meminta pertolongan Pak Waja pakdenya untuk membantu desa ini.
Ia baru saja datang tadi sore, mungkin saat kami melihat Egar memasuki rumahnya tadi.

“Pengguna ilmu leakpun seharusnya tidak seagresif ini dalam mencari tumbal,” ucapku melanjutkan pembicaraan.
“kecuali pengguna ilmu itu punya niat lain, ia sedang mengejar suatu ilmu atau tujuan serupa,” balas Pak Waja.

Mendengar ucapan Pak Waja seketika aku teringat kejadian saat Cahyo kembali dari desa yang ia tolong dan berkata tentang kerajaan setra gandamayit.
“Kerajaan demit setra gandamayit,” ucapku menggumam.

Pak Soka dan Pak Wajapun memperhatikanku yang sedang berpikir. Namun wajah Pak Waja lebih terlihat kaget.

“Pak Bimo tahu mengenai itu?” tanyanya.
“Kedua keponakan saya sedang berurusan dengan itu, biar saya pastikan dulu,” saat itu juga aku pamit kepada warga dan kembali ke rumah.

Ada perasaan yang mengganjal saat teringat akan Danan can Cahyo yang sedang berurusan dengan demit-demit dari kerajaan demit kuno itu.
Aku mengambil posisi senyaman yang kubisa dan mencoba mencari keberadaan sukma danan yang terhubung dengan aliran darahku.
Dengan membacakan sebuah mantra aku berhasil memisahkan rohku dari raga dan segera menuju ke tempat dimana mereka berada.
“Danan, mantra leluhurmu.. mungkin itu satu-satunya cara kita keluar dari situasi ini!” terdengar suara cahyo yang berada di tengah pertarungan.
Melihat situasinya sepertinya mereka memang tidak punya pilihan lain. Serangan mereka sama sekali tidak ada yang bisa melukai musuh yang mereka hadapi
Sena dan teman-temanya sudah tidak mampu bertahan dari serangan berbagai pria berbaju hitam.
Sebagian dari temanya pun sudah terluka. Apalagi Cahyo bertarung dalam keadaan terluka.

Saat itu danan meletakkan kerisnya di dadanya dan membacakan sebuah mantra.

Jagad lelembut boten duwe wujud..
Sayangnya sebelum ia menyelesaikan mantra itu, tubuh Cahyo terpental menabrak tubuh Danan.
Perasaanku benar, mereka juga sedang dalam bahaya.
Akupun kembali membacakan mantra sembari menggerakkan tanganku dan memanggil api andalanku untuk menghentikan sosok roh kera raksasa jelmaan yang menyerang mereka.

“Paklek! Itu paklek!” Teriak Cahyo merasa Senang.
Iapun segera melompat ke arah api putih itu dan membakar luka yang ada di lenganya untuk memulihkan lukanya itu.

Tepat saat apiku membakar kera raksasa itu, tiba-tiba sosok itu mulai menghilang. Ia seperti kembali ke wujud benda berbentuk wayang.
Sungguh, aku pernah menghadapi makhluk seperti itu.

Aku teringat kisah Cahyo yang mengusir siluman ular raksasa di reruntuhan hutan dengan batu dari reruntuhan itu. mungkin saja itu bisa berguna untuk melawan makhluk-makhluk itu.
“Panjul watu sing kowe gowo kuwi iso ngelarani demit ulo dekwingi to?” (Panjul! Batu yang kamu bawa bisa melukai ular kemarin kan?) ucapku mengingatkan mereka.

Mereka sadar dengan cepat dan mulai memanfaatkan batu itu untuk melawan musuhnya.
Aku menyaksikan itu dari jauh, menggunakan geni baraloka dalam wujud sukma dan keadaan terluka sangat menguras tenagaku.
Ada hal menarik yang ditemukan sena. Ia menggunakan aksara di batu itu pada lengan cahyo sehingga mereka bisa menyerang makhluk-makhluk itu.
Padepoakan Ronggo Mayit, Siluman Ular Raksasa, Nyai Wijul.. makhluk-makhluk ini terhubung dengan takdir bangkitnya kerajaan demit kuno itu. apabila dugaanku benar, pengguna ilmu leak itu juga mencari tumbal sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan posisi di kerajaan demit itu.
Akupun kembali ke ragaku dan segera kembali menghampiri balai desa. Hanya tersisa Egar , Pak Waja, dan Pak Soka yang masih berbincang soal kedatangan Pak Waja.
“Besok makhluk itu akan mencari tumbal lebih banyak lagi, aku merasa besok makhluk itu akan lebih ganas,” ucapku membuyarkan perbincangan mereka.
“Maksud Pak Bimo?” tanya Pak Soka.
“Kami sudah menemui sosok-sosok demit yang berebut tahta untuk kebangkitan kerajaan demit setra gandamayit. Nyai Wijul, Padepokan Ronggo mayit, dan siluman ular raksasa.. mereka mencari cara untuk meningkatkan kesaktian mereka.
Jika pengguna ilmu leak itu salah satu dari mereka, maka besok malam makhluk itu akan lebih berbahaya,” ucapku.
Pak Waja berdiri dan menghampiriku.
“sudah pak bimo, tenang dulu.. pasti ada cara untuk menghadapi makhluk itu,” ucap Pak Waja.
Pak Soka yang mendengar ucapan Pak Waja hanya menghela nafas. Sepertinya rasa khawatirnya semakin memuncak saat tahu kegagalanku melindungi warga desanya tadi.
Malam itu aku memutuskan untuk bermeditasi memulihkan tenagaku.
Perasaanku sangat tidak nyaman seolah merasakan akan ada permasalahan yang sangat besar besok.
Besoknya kami bersiap memperketat penjagaan dan mengatur posisi pemuda yang berjaga. Tidak ada satupun orang yang dibolehkan berkonfrontasi dengan makhluk itu.
tugas mereka hanya menginformasikan kepadaku dan Pak Waja.
Aku berkeliling mencoba mencari jalur keberadaan energi makhluk itu namun sama sekali tidak kutemukan. Satu-satunya jalan adalah menunggunya ia datang untuk menyerang kami.
Hari semakin sore, kamipun meminta warga untuk berkumpul di lokasi yang berdekatan. Para pemuda mengatur warga untuk mengisi rumah-rumah yang berada di posisi aman.
“Mbak Yatmi ke mana?” tanya seorang warga.
“Nggak tahu, Mbak Parti juga nggak kelihatan,” balas seorang warga lain.
Merekapun saling mengecek satu sama lain, tapi ada keanehan di sini.
Ada beberapa warga perempuan cukup banyak tidak bisa ditemukan di desa.
Awalnya kami menunggu mereka datang karena mungkin masih ada keperluan di rumahnya. Tapi mereka tidak kunjung datang.
Wajah Pak Waja terlihat bingung saat itu.
“Pak Bimo, Pengguna ilmu leak itu ada yang bisa menggunakan pengasihan juga, apa mungkin?”
Pak Waja membiarkanku membaca pikiranya.
Aku teringat tentang berita pertarungan kedua pengguna ilmu leak di jawa timur beberapa puluh tahun silam. Dua bola api saling beradu kekuatan. Dan kejadian itu terjadi di siang hari.
Aku mengambil kesimpulan makhluk ini tetap bisa beraksi di siang hari.
“Pak, Kita cari warga ayng belum datang!,” ucapku.
Suara motor terhenti di depan rumah. Egar bersama temanya berhenti di depan balai desa dengan wajah penuh keringat.
“Arah sungai pak! Arah sungai! Ada beberapa warga yang ke arah sana,” ucap Egar.
Mengetahui hal itu kamipun pergi menuju tempat yang ditunjukan oleh Egar,
Pak Soka ikut mengantar kami sementara warga di desa dijaga oleh para pemuda sementara kami mengecek keberadaan warga yang hilang.
Benar saja, terlihat beberapa perempuan berjalan mengarah menyeberangi sungai. Mataku mengikuti ke mana arah mereka menuju,
dan ternyata mereka menuju ke sebuah gua kecil tertutup semak yang berada di salah satu hutan itu.

Pak Waja membacakan mantra dan menyentuh masing-masing kepala wanita-wanita itu dan satu-persatu dari merekapun mendapatkan kesadaranya kembali.
“Egar, bawa mereka kembali ke desa,” perintah Pak Waja.

“Siap Pakde,” jawab Egar yang dengan cekatan mengarahkan wanita-wanita itu kembali ke desa.

Aku merasakan dengan jelas kekuatan dari dalam goa itu, sudah jelas makhluk itu bersembunyi di sini.
Aku berpikir makhluk itu akan melawan kami dengan wujud bola api lagi.

Tapi tidak… kali ini ia keluar dari goa tempatnya bersembunyi dan keluar dan menatap kami dari mulut gua itu.
Manusia, wujudnya benar-benar seorang manusia yang mengenakan baju adat bali berwarma hitam. Ia keluar dan memandang kami dengan kesal.

“Tidak ada ampun untuk kalian,” ucapnya yang sama sekali tidak ingin berkompromi.
Tanpa sadar, ternyata di sekeliling kami sudah ada sosok makhluk berwujud Rangda yang siap menyergap kami. sepertinya orang itu mengundang teman-temanya atau pengikutnya untuk menghabisi kami.

Aku menelan ludah tak menyangka akan menghadapi situasi ini.
“Pak Soka, sebaiknya ikut dengan Egar. Tolong sampaikan pesanku untuk melanjutkan tugasnya,” ucap Pak Waja.
Aku tidak mengerti apa yang dimaksud olehnya, namun Pak Sokapun menuruti permintaan Pak Waja dan segera pergi.
Salah satu Rangda bersiap mengejar Pak Soka, namun aku segera menahanya dan bersiap menyerangnya dengan bilah hitam keris sukmageni.

Sayangnya sebelum aku sempat menyentuhnya, sosok itu berubah menjadi bola api.
Beruntung aku sadar dengan kejadian sebelumnya dan segera menghindar.
“Habisi, setelah itu kita nikmati kepala warga desa itu,” perintah sosok manusia tadi.
Aku menghitung ada tiga sosok Rangda ditambah sosok itu yang masuk ke dalam goa dan keluar dengan wujud Rangda.
Aku menduga dialah yang paling kuat diantara semua makhluk ini.

“Pak Bimo, ada satu cerita yang saya ingin pak bimo tahu.. Di tanah kelahiran saya di pulau dewata, ilmu ghaib memiliki dua cabang, Pengiwa(kiri) dan penengen (Kanan)..
ilmu pengiwa adalah ilmu dengan jalur nafsu, salah satunya adalah ilmu pengleakan ini walaupun sebenarnya penggunaanya tergantung dari pemilik ilmu juga..” Ucap Pak Waja.

Aku belum mengerti dengan apa yang ingin disampaikan olehnya.
Yang aku tahu makhluk-makhluk itu mulai menerjang ke arah kami.

“Seorang balian seperti saya mengutamakan ilmu penyembuh yang merupakan ilmu Penengen (kanan).
Tapi pak bimo harus tahu, untuk mencapai ilmu penengen yang sempurna.. seorang balian penengen juga harus menguasai ilmu pengiwa untuk tahu cara menanganinya,” tambahnya.

Ma—maksudnya? Pak Waja juga menguasai ilmu seperti orang itu?
Saat itu langit mulai gelap, Tepat saat seluruh Rangda itu mendekat, tiba-tiba tubuh Pak Waja berubah menjadi sosok bola api berwarna kuning. Ukuranya lebih besar melebihi yang kuhadapi kemarin.
Mereka saling berbenturan menciptakan suara dentuman yang terdenar hingga ke penjuru hutan. Keempat bola api merah dan sebuah bola api kuning berkejaran diantara pepohonan di tengah hutan itu.
Aku masih tidak menyangka dengan apa yang kulihat.
Berarti Pak Waja juga merupakan salah satu dari mereka?
Pikiran ini berkecamuk menilai apakah ilmu Pak Waja merupakan ilmu yang benar atau malah salah?
Namun aku melihat keadaan dimana keempat bola api merah itu memojokkan bola api kuning hingga terjatuh di tanah menciptakan lubang di tanah.

Pak Waja kembali muncul kali ini dalam wujud Rangda mirip seperti mereka sebelumnya. aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa.
Wujud Pak Waja seketika berubah menjadi mengerikan seperti makhluk yang kemarin menyerangku.

Semakin lama aku berpikir semakin banyak pula luka yang didapatkan oleh Pak Waja. Sepertinya aku harus menunda pemikiranku dan fokus untuk melindungi warga desa terlebih dahulu.
Sebuah bola api besar kembali menyerang Pak Waja, aku tahu dari cacatnya api yang ada di sisinya bahwa itu adalah makhluk yang menyerangku kemarin.

Akupun membaca mantra untuk membangkitkan api hitam dilukanya sehingga bola api itu kesakitan dan kembali ke wujud Rangdanya.
Saat ketiga bola api sisanya menyerang, aku menepisnya satu persatu dengan bilah hitam dari keris ragasukmaku. Sama seperti sebelumnya, walaupun bisa menahan seranganya, api dari kobaran itu tetap membakar lukaku.
Akupun membaca sebuah mantra lagi dan memanggil api putih yang mampu memutihkan angkara murka. Aku berharap api ini bisa menahan ilmu-ilmu hitam yang digunakan untuk menyerangku.
Pertarungan semakin sengit dengan setiap luka goresan yang kudaratkan di tubuh makhluk-makhluk itu, sayangnya itu semua harus kubayar dengan luka bakar di tangan ini.
entah sampai kapan geni baraloka bisa terus menyala menahan agar lengan ini tidak menjadi abu sebelum pertempuran ini berakhir.

Aku dan sosok Rangda Pak Waja saling melindungi punggung masing-masing, namun aku merasa seolah serangan-serangan ini tidak pernah berakhir.
Aku berkali-kali membaca mantra api hitam untuk membakar luka mereka, namun mereka masih sangat kuat untuk menahan itu semua. Entah serangan apa lagi yang bisa kudaratkan kepada mereka. Inilah salah satu ilmu yang paling sulit yang pernah kuhadapi.
Sebuah ledakan terjadi lagi atas serangan Pak Waja dan Rangda itu dan menyebabkanku terpental. Saat itu juga, seolah tidak ingin melewatkan kesempatan salah satu bola api merah bersiap menyerangku dan menghabisiku.
Aku sudah bersiap dengan apapun yang terjadi dan menahan seranganya dengan keris sukmageni ditanganku. Saat itu hal aneh terjadi…

Bola api yang menyerangku tiba-tiba padam dan berubah menyadi kepala manusia yang terjatuh bersama organ-organya.
Aku kaget melihatnya dan segera mencari posisi terbaik untuk bertahan.
“Egar berhasil! Kita hanya perlu mengulur waktu..” ucap Pak Waja yang sekejap kembali ke wujud manusianya.

Berhasil? Mengulur waktu? Maksudnya ini semua sudah direncanakan oleh Pak Waja?
“Berarti kita hanya perlu menahan mereka selama mungkin?” tanyaku memastikan.

Pak Waja yang sudah kembali melayang dalam wujud Rangdanya hanya mengangguk dan menahan setiap serangan dari makhluk lainya.
Sepertinya tubuhnya sudah hampir tidak kuat menahan semua serangan itu.

Ilmuku adalah ilmu api, sangat tidak menguntungkan bila berhadapan dengan makhluk yang mengandalkan api. Sepertinya ini satu satunya cara yang bisa kulakukan untuk bertahan.
Aku menggoreskan jariku pada bilah putih keris sukmageni, seketika darahku mengalir di bilah putih dan berubah menjadi tetesan api. Akupun menereskan api itu ke arah Pak Waja. Seketika seluruh luka ghaib dan luka pertarungan yang ia dapat pulih seketika.
“Maaf Pak Waja, kemampuanku belum bisa menandingi mereka, tapi dengan cara ini Pak Waja bisa bertarung lebih lama,” ucapku.

Wujud Rangda Pak Waja menatapku seolah mengerti rencanaku. Ia bertarung sekuat tenaga, dan setiap lukanya semakin parah aku kembali memulihkanya.
Berbeda dengan ketiga Rangda yang tersisa, tubuhnya mulai penuh dengan luka. Dan saat benturan terjadi lagi, salah satu Rangda kembali berubah menjadi kepala manusia dengan organ tubuh di bawahnya.
Saat mengetahui rencana Pak Waja, kedua makhluk itu kembali menjadi bola api besar lagi dan bersiap menyerang Pak Waja dengan seluruh kekuatanya. Aku tidak yakin Pak Waja bisa bertahan dari serangan itu.
Akupun bersiap untuk membantu menahan serangan itu, namun sekali lagi sebelum serangan itu sempat mendarat bola api itu kembali berubah menjadi kepala manusia.

Kini tinggal satu sosok bola api yang bersiap menyerang kami. posisi kini berbalik, aku yakin kami bisa menghabisinya.
Ketika kami bersiap menerima seranganya tiba-tiba bola api itu berbalik arah dan pergi meninggalkan hutan. Akupun mencoba mengejarnya, namun Pak Waja menahanku.
“Sudah pak bimo, jangan dikejar.. kita tidak tahu apa dia masih memiliki teman seilmu juga,” ucap Pak Waja.
Akupun menerima alasan Pak Waja dan mengecek luka lukanya.

“Pak Waja harus jelaskan ini semua kepada saya,” ucapku sambil membantunya berdiri.
“Kita kembali ke desa dulu, makhluk itu juga terluka parah. Ia tidak akan kembali ke tempat ini lagi dalam waktu lama,” balas Pak Waja.
Aku tidak menghiraukan dulu sosok kepala yang sebelumnya sempat berubah menjadi bola api itu. tapi sepanjang perjalanan Pak Waja bercerita.

Pengguna ilmu leak bisa merubah dirinya menjadi berbagai macam hal mulai dari hewan, benda,Rangda, sesuai tingkatanya.
Namun mereka yang terbuai dengan kesaktian instan mendapat pusaka untuk bisa mendapatkan ilmu leak namun tidak sempurna.

Hanya kepala mereka yang melepas dan menjadi Rangda untuk mencari tumbal demi kesempurnaan ilmu mereka.
“Aku meminta Egar mencari tubuh mereka dan menghancurkan pusakanya yang biasa berbentuk kain, sebenarnya Egar juga seorang melik yang dianugerahi kemampuan,” jelas Pak Waja.
Saat sampai di desa, kami memberitahukan bahwa keadaan sudah aman dan warga bisa pulang ke rumahnya msing-masing. Hanya tersisa Egar dan Pak Soka yang ingin mendengar cerita dari kami.
Kami tidak menceritakan dengan detail pertarungan kami.
apalagi saat Pak Waja berubah menjadi Rangda. Tapi Pak Soka bisa menerima bahwa kami berhasil karena Egar menuntaskan tugasnya menghancurkan pusaka yang digunakan tubuh Rangda yang menyerang kami.
Aku menatap Egar, dia hanya seorang pemuda biasa.
Saat menatapnya aku teringat pada danan dan cahyo, mungkin saja dia juga memiliki takdir yang besar seperti kedua bocah itu.

Rasa penasaranku pada Pak Waja kuteruskan dengan berbincang di rumah singgah sembari bertukar ilmu untuk memulihakan diri dari luka-luka tadi.
“kepercayaan kami mengacu dengan Rwa-bhineda dimana setiap hal memiliki dua sisi, baik buruk, positif negatif, atas bawah.. dan semuanya akan terus ada di alam ini. hal ini juga berlaku pada ilmu pengleakan pak bimo,” cerita Pak Waja.
Aku mengangguk, kepercayaan ini juga dianut leluhur kami di jawa sebelum ajaran agama masuk kedalam kehidupan masyarakat.
“ilmu baik bisa menjadi buruk bila dimanfaatkan untuk hal duniawi, dan ilmu pengiwa (kiri) bahkan bisa menjadi hal baik bila tujuanya untuk mengobati atau menangkal,” jelasnya.
Seperti yang sempat diceritakan saat bertarung tadi. Mungkin maksudnya kita harus memahami seluk beluk ilmu hitam itu untuk bisa menangkalnya.
“Tapi aku tidak menyangka kejadian tadi, seorang yang bertingkah bijak seperti Pak Waja tiba-tiba bisa berubah wujud menjadi Rangda yang mengerikan,” ucapku.
“Mungkin ilmu itu diturunkan ke saya karea suatu maksud pak bimo,” ucap Pak Waja.

“Maksudnya?”
“Ilmu pengleakan akan sempurna bila bisa merahasiakanya dalam 100 kelahiran, tapi saat ini tingkat ilmuku berhenti di sini”

“Berarti itu sebuah masalah besar?” tanyaku.

Pak Waja menggeleng.
“Aku merasa aku di takdir yang benar saat mengetahui pak Bimo sedang berurusan dengan kerajaan demit setra gandamayit. Saat itu aku merasa bahwa, ilmu ini adalah wasiat dari sang pemberi ilmu ini untuk berhadapan dengan tempat asalnya,” jelasnya.
“Memangnya siapa pemberi ilmu ini Pak Waja?” tanyaku penasaran.
Pak Waja tersenyum, ”ilmu ini berasal dari penguasa seluruh kerajaan di Setra Gandamayit.”

***
Sangat panjang perbincangan yang terjadi semalam. Ada sebuah ilmu, pengetahuan, dan pandangan yang sebenarnya sangat berbeda dari yang aku ketahui saat ini. Namun aku sedikit membuka pikiranku akan hal ini.
Aku sempat mengirim pesan dengan cahyo. Ada sebuah desa yang membutuhkan bantuan, posisiku saat ini sangat sulit untuk menjangkaunya sehingga Danan yang akan berangkat ke sana.
Saat mengetahui bahwa Danan dan cahyo berkumpul di padepokan Ki Joyo Talun untuk bersiap menghadapi kerajaan demit itu, Pak Wajapun meminta untuk bergabung dengan kami.
Persis sesuai perkataan Danan, kami harus mengumpulkan sebanyak mungkin orang sakti yang bisa membantu kami menyelesaikan permasalahan ini.
“Semua dedemit akan berkumpul di tempat itu, demit lemah hingga demit terkuat. Mereka akan berebut posisi tertinggi di sana.
Saat kerajaan itu sudah terbentuk akan mudah bagi manusia untuk terjerumus dalam hawa nafsu dan memalingkan imanya kepada makhluk-makhluk itu.” ucap Pak Waja dengan wajah penuh kekhawatiran
***
(Bersambung Part 6 - Malam jumat 28/7/2022)
Cuplikan part 6 :
Dirga, mbah Jiwo, dan keberadaan orang-orang terdekat Danan mulai menyadari permasalahan yang mereka hadapi.

sayangnya, Azimat Wayang Durga yg merupakan pusaka turun-temurun keluarga sena merupakan pusaka yang mampu memaanggil sosok dedemit pengikut setan itu
Padepokan Sena menjadi medan tempur antara Danan dan Cahyo melawan seluruh dedemit yang berhubungan dengan Kerajaan Setra Gandamayit..

sisa 2 chapter lagi sebelum akhir pertarungan ini.

Bagi yang mau baca duluan ata sekedar mendukung bisa mampir ya..
karyakarsa.com/diosetta69/jsd…
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga akhir, mohon maaf apabila ada kesalahan kata ataupun bagian cerita yang menyinggung.

mohon hanya dianggap sebagai hiburan, diambil positifnya saja,dan dibuang negatifnya
JSD - Setra Gandamayit
Part 6 - Azimat Wayang Durga

Sudah siap memasuki medan perang?

@IDN_Horor @bacahorror Image
Padepokan Ki Joyo Talun..

Sebuah nama yang seharusnya sudah berubah semenjak kepergian sang dalang. Namun Sena masih tetap mempertahankan nama itu dan bahkan menggunakan nama panggung Ki Joyo Sena untuk mengenang mendiang ayahnya.
Megahnya padepokan ini sudah tidak lagi terlihat semenjak matahari tenggelam dan berganti dengan bulan purnama merah yang seolah mengawasi tempat ini.

“Cahyo, i—itu! itu kepala,”
Wajah Sena terlihat panik, ia melihat sosok pasukan kepala tanpa badan berambut panjang melayang mendekati pendopo.

Cahyo segera keluar memastikan sosok itu, saat tepat ketika kepala-kepala itu semakin dekat, seketika kobaran api menyelimutinya.
Mereka tertawa terkekeh-kekeh bersiap menerjang ke arah Cahyo.

Dengan tinggi lompatan yang tidak masuk akal, Cahyo berhasil menghindari sosok itu sembari mengambil beberapa kerikil di tanah.
Ia membacakan mantra pada kerikil-kerikil itu dan melemparkanya ke tanah yang jauh dari dirinya.

Anehnya, sosok kepala yang terbakar itu tidak lagi menyerang Cahyo dan mereka terus menghantamkan dirinya ke kerikil-kerikil yang telah dibacakan mantra oleh Cahyo.
Belum sempat membereskan demit-demit itu, seketika seluruh anggota kelompok wayang sena dikagetkan dengan sosok ular-ular besar yang tiba-tiba sudah berada di atap dan sekitar rumah.

“Mas Sena, kita dikepung! Sekeliling padepokan dikelilingi ular!” teriak mereka.
Paklekpun ikut keluar bersama teman barunya yang bernama Pak Waja. Merekapun memastikan di mana saja ular-ular itu berada.

“Panjul! Bantu Paklek!,” perintah Paklek.
Paklek membacakan mantra, sedangkan Pak Waja mendentingkan sebuah cawan kuningan yang suaranya meresahkan demit-demit dan ular-ular itu.
Bau yang menyengat dari mantra Paklek dan suara dentingan itu berhasil membuat ular-ular itu menjauh.
Namun mereka masih mengepung rumah seolah tidak ingin memberikan kesempatan kami untuk pergi.

“Hati-hati Paklek! Jangan lawan ular itu dengan api!” peringat Cahyo.

Paklek menahan seranganya dan memikirkan cara yang berbeda, “Api tidak mempan?”
“Bukan Paklek, kalau gosong kulitnya nggak laku dijual ke magetan..” balas Cahyo.

Seketika sendal jepit tua yang ikatanya hampir putus melayang tepat ke arah Cahyo tanpa pernah meleset.

“Magetan gundulmu!” teriak Paklek.
Cahyopun mengelus-elus kepalanya tempat sandal jepit itu mendarat.

“Kan lumayan Paklek,” gerutunya. Namun Cahyo segera terdiam setelah melihat Paklek sudah menggenggam sandal satunya.

Pak Waja terlihat tertawa melihat tingkah mereka berdua.
Entah apa Pak Waja akan betah melihat tingkah konyol mereka berdua.

Paklekpun kembali membaca mantra, tak lama setelahnya kabut putih melingkupi ular-ular itu dan membuat sebagian dari mereka tertidur.

“Kok gak jadi pake amalan api Paklek?” tanya Sena.
Paklekpun pura-pura sibuk dengan tas kainya.

“Sayang, kalau kulitnya rusak nggak laku di jual,” ucapnya dengan wajah polos.

Sena ikut tertawa mendengar perkataan Paklek.
“Siying, kilii kilitnya risik nggik liki di jiil,” ledek Cahyo sambil memonyongkan bibirnya membalas perbuatan Paklek.

Dan tentu saja kalian sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya kan?
Yak betul! Cahyo berhasil mendapatkan satu sandal jepit yang tersisa tepat di kepalanya.
Di tengah tingkah konyol mereka, sebenarnya mereka sadar dengan bahaya apa yang akan menghampiri mereka selanjutnya. Jauh dari pandangan mereka terlihat beberapa pohon tumbang bersamaan dengan datangnya sosok-sosok besar mengarah ke padepokan.

“Buto Paklek,” ucap Cahyo.
“Jangan gentar, ini baru salam perkenalan dari mereka,” ucap Paklek.

Merekapun bersiap menghadapi makhluk apapun yang akan menyerang padepokan. Belakangan ini baru diketahui, rupanya Azimat Wayang Durga yang menjadi pusaka padepokan ini lebih dari sekedar jimat biasa.
Mereka membutuhkan Azimat itu untuk mengundang berbagai demit yang berasal dari kuburan paling mengerikan di dunia dan seluruh Jaman, Setra Gandamayit. Benda itu menjadi satu syarat bangkitnya kerajaan dedemit itu.
Saat sosok-sosok mengerikan itu telah berkumpul, kini saatnya mereka merebut benda itu dan siap menyerbu padepokan ki joyo talun.

Tapi.. bukan hanya demit-demit itu saja yang menuju padepokan Sena. Beberapa orang sedang menuju ke padepokan sena dari berbagai wilayah.
Orang-orang itu mendapatkan firasat bahaya dengan berbagai cara, dan mereka tidak akan membiarkan orang-orang yang melindungi azimat itu bertarung seorang diri.

***
(Melewati perbatasan jawa barat)

Suara rem mobil berdecit membuat badan mobil itu hampir saja terpental dan menabrak pembatas jalan.
Bukan tanpa sebab, Jagad terpaksa menekan rem mobilnya mendadak saat tengah melintas di tengah jalan.
Langit masih memerah saat itu, namun mereka dihentikan oleh sosok nenek yang tingginya hampir tiga meter dan berjalan dengan menyeret kakinya mendekati mereka.

“Dirga, kamu ngeliat itu juga kan?” tanya Jagad.

“Iya mas, Itu nenek jangkung,” balas Dirga.
Jagad menoleh pada Dirga, ia tidak menyangka Dirga mengetahui tentang sosok itu.

“Nggak mas, Dirga ngarang. Nenek-nenek badannya tinggi, ya panggil aja nenek jangkung,” ucap Dirga dengan wajah polos sambil terus memperhatikan makhluk itu.
Jagad hanya tersenyum kecut mendengar ucapan iseng Dirga itu.

“Ya sudah, turun dulu..” ucap Jagad.

Jagadpun merapikan posisi mobilnya, mengambil peralatan dan keluar dari mobil bersiap menghadapi makhluk itu. sayangnya hal yang tidak mereka sangka terjadi..
Tepat saat mereka keluar dari pintu mobil, jauh di belakang mereka sudah ada sosok anak-anak kecil berlumuran darah dengan cakar yang panjang bersiap menyerang mereka.

“Mas Jagad, gimana ini mas?” tanya Dirga yang mulai panik.
“Cuma kurang beberapa jam lagi untuk sampai ke tempatnya mas Cahyo,” ucap jagad.

Dirga mengatur nafasnya sambil bersiap memegang kerisnya. sementara itu nenek jangkung itu sudah bersiap menangkap mereka dengan tanganya yang menjuntai hingga ke tanah.
“Kayak biasa Dirga!” ucap Jagad.
Dirga menoleh ke arahnya, belum sempat bertanya jagadpun berteriak.

“Kabur!”

Saat itu juga jagad menarik tangan Dirga dan membawanya lari menuju sebuah tempat di hutan di pinggir jalan yang ia lewati.
“Kabur sih kabur mas, tapi jangan ke tengah hutan juga! Nambah masalah ini..” ucap Dirga yang semakin panik.

“Sudah, ikutin dulu. Jaga-jaga sisi belakang,” jelas jagad.

Makhluk-makhluk itupun mengejar Jagad dan Dirga.
Makhluk berwujud anak kecil itu berlari cepat, namun sialnya mereka merasa bahwa nenek jangkung itu bisa tiba-tiba berada dimana saja tanpa mereka sadari.
Jagad membaca sebuah mantra, matanya terus mengarah ke sebuah pohon yang cukup tua.
Ada yang aneh pada pohon itu, ada sedikit kabut di bawahnya. dan anehnya lagi setiap jagad terus mambaca mantranya, kabut itu menjadi semakin pekat dan pekat.

“Lompat ke kabut itu!” Perintah jagad.
Kini Dirga mengerti, rupanya jagad sudah merasakan adanya gerbang ghaib di tempat itu. dengan kemampuan jagad, ia bisa memasuki tempat itu entah untuk bersembunyi atau berpindah ke tempat yang aman.

“Dingin mas, ini lapis ke berapa?” tanya Dirga.
“Entah, mungkin lapis kedua.” Balas jagad sambil berusaha menutup gerbang itu.

Merekapun berjalan melintasi sisi lain hutan-hutan itu mencari jalur dimana mereka bisa keluar.
“Kenapa tadi nggak kita hadapin saja mas? Kalau pake pusaka baru mas jagad, mungkin kita bisa menang,” tanya Dirga.

“Jangan, kalau tenagamu habis dan kemampuanku tidak maksimal, Bukanya membantu kita malah akan jadi beban buat Danan dan Cahyo,” balas jagad.
Dirgapun mengangguk setuju. pasalnya dia juga sadar, walaupun sudah bertarung sedemikian rupa, ia masih sering kehilangan kesadaran karena kehabisan tenaga menggunakan kekuatan Keris Dasasukma miliknya.
“Pokoknya kita harus cari jalan keluar secepatnya dari sini, kita harus sampai di sana sebelum pertempuran besar terjadi di sana…”

Merekapun mempercepat langkah mereka dan mencari cara untuk tiba di tempat Cahyo dengan cepat.

***
(Desa Lembah Keramat)

Sudah berhari-hari terdengar suara besi yang saling beradu di rumah Mbah Jiwo. Warga sebenarnya bertanya tanya tentang apa yang sedang dipersiapkan olehnya. Namun tidak ada satupun dari mereka yang berani mengusik konsentrasi Mbah Jiwo sama sekali.
“Mbah Jiwo, permisi”
Seorang perempuan mengetuk pintu rumah Mbah Jiwo di malam hari. Mbah Jiwo yang mengenal suara itu segera menghentikan pekerjaanya. Ia membersihkan tubuhnya dan bergegas membukakan pintu.

“Ismi? Kamu sama siapa?” tanya Mbah Jiwo.
“Sama Dimas dan Rumi, itu lagi ngasi salam ke yang lain” ucap ismi sambil menunjuk ke arah kedua orang itu yang seolah berinteraksi dengan sosok tak kasat mata di sana.

Mbah Jiwopun keluar dan memanggil kedua orang yang juga sudah ia anggap sebagai cucunya sendiri.
“Dimas! Rumi!” ucapnya sambil melambai.
Wajahnya terlihat tersenyum lebar melihat kedatangan ketiga orang itu.

“Ayo masuk dulu saja, sudah malam,” ucap Mbah Jiwo.
Merekapun menurut dan segera masuk ke rumah, Ismi berinisiatif ke dapur membuat minuman hangat untuk menemani perbincangan mereka yang sepertinya akan panjang.
Dimas dan Rumi bercerita banyak tentang masa kuliahnya dan ceritanya sehari-hari yang berhasil membuat Mbah Jiwo sesekali tersenyum.
Setelah pertemuan mereka, Dimas, Rumi dan Ismi sebenarnya cukup sering mampir ke rumah Mbah Jiwo sekedar menikmati udara desa sambil menengok keadaanya. Tapi untuk kali ini, tujuan mereka berbeda.
“Mbah tahu tujuan kalian ke sini,” ucap Mbah Jiwo.
Mereka bertigapun terdiam, mereka bingung ingin memulai dari mana.

“Aku dapet mimpi mbah,” buka Dimas.

“Rasanya seperti ada bahaya yang besar, sepertinya Danan dan Paklek terlibat dengan hal itu”
Mbah Jiwo hanya menghela nafas dan memperhatikan ketiga cucunya tersebut.

“Tapi mbah nggak mungkin mengijinkan kalian ke sana. Selain berbahaya, tidak ada juga yang bisa kalian lakukan di sana,” ucap Mbah Jiwo.

Rumi mendekat dan pindah duduk di samping Mbah Jiwo.
“Iya mbah, kita ngerti. Tapi kami ke sini karena tahu, Mbah Jiwo pasti akan menyusul ke sana kan?” ucap rumi sambil menggenggam tangan Mbah Jiwo dan mengelus pundaknya.

Mbah Jiwo setengah merunduk seolah ragu harus menjawab apa.
“Kami cuma ingin memastikan mbah nggak memaksakan diri, mungkin mbah memang memiliki peran dengan masalah ini. Tapi mbah juga harus ingat bahwa kita manusia juga punya batasan,” tambah rumi.
Mata Mbah Jiwopun berkaca-kaca. Sebenarnya ia sudah sadar bahwa ikut campur dengan masalah ini sudah pasti mengancam hidupnya. Tapi bila keberadaanya bisa membantu walau sedikit, ia siap kapanpun bahkan walau harus mengorbankan nyawanya.
“Iya Rumi, Mbah akan jaga diri.” Ucap Mbah Jiwo.
Ismipun mengeluarkan sebuah benda dari tasnya. Sebuah korek api dengan ukiran kuno yang dulu sempat diberikan kepadanya.

“Sepertinya saat ini benda ini lebih dibutuhkan oleh mereka,” ucap ismi.
Dimas juga mengeluarkan beberapa batu bulat berwarna hitam dan menyerahkanya kepada Mbah Jiwo.

“batu ini dulunya pernah didiami oleh ‘mereka’, setidaknya ajaklah mereka Mbah..” ucap Dimas.
Mbah Jiwo mengangguk. Ia mengerti maksud dari ketiga cucunya itu. ia mengingat sosok-sosok yang pernah membantu dimas dan rumi saat mengantarnya ke lembah keramat. Mungkin saja mereka mau membantu Mbah Jiwo untuk melindunginya selama perjalanan.
Perbincangan serius itupun selesai saat itu juga. Mereka melanjutkan perbincangan santai sembari menikmati kudapan yang dibawa oleh ismi sebelum Mbah Jiwo harus kembali melakukan pekerjaanya.
Mbah Jiwo memperhatikan korek api yang diberikan oleh Ismi. Ia tahu kemampuan korek itu, namun instingnya sebagai penempa pusaka merasakan ada hal besar dibalik kesederhanaan korek api kuno ini.

***
Part 6 - Azimat Wayang Durga

Cahaya bulan purnama yang menyinari gelapnya malam tak lagi terlihat di hadapanku. Gelapnya kabut hitam dan berbagai sosok yang tak kasat mata memantau padepokan wayang Ki Joyo Sena dari seluruh sudut desa.
Suara dentuman terdengar sesekali dari arah padepokan sementara rumah-rumah di sekitar desa sudah tertutup rapat. Aku melajukan motorku lebih cepat hingga melihat keadaan yang sebenarnya.
Cahyo, Paklek, dan seseorang yang tidak kukenal berusaha melindungi padepokan dari sosok raksasa tak kasat mata yang mengincar padepokan.

“Mas! Itu.. buto??” Tanya Mbah Widjan yang panik dengan apa yang ia lihat.
“Jangan gentar pak, kita nggak sendiri.. yang tidak bisa bertarung biar menunggu di desa saja,” ucapku yang sebenarnya tidak menyangka bahwa sudah terjadi pertarungan lagi di tempat ini.
Sesuai ucapanku Panji dan Mbah Widjan mengatur beberapa muridnya untuk bertahan di desa, sementara kami bertiga melaju ke padepokan.
Cahyo dan Paklek terlihat kerepotan menghadapi tiga makhluk besar itu sekaligus.
Mereka buto alas yang hanya setinggi dua kali manusia biasa, seharusnya mereka bisa menganganinya dengan mudah tapi sepertinya pertarungan sebelumnya membuat mereka menjadi kewalahan.
Aku memarkirkan motorku dan menghampiri makhluk itu. Dengan membacakan ajian pada kepalan tanganku akupun menerjang salah satu buto itu dan melepaskan sebuah pukulan jarak jauh.
“Danan?” Cahyo yang menyadari kedatanganku seketika tersenyum bersama jatuhnya salah satu buto yang menerima seranganku.
Menyusul seranganku, Panji melemparkan tompak pusaka miliknya sementara Mbah Widjan menghujamkan kerisnya di punggung salah satu buto yang tersisa.
“Masih ada lagi?” tanyaku pada Cahyo.
“Nggak tahu nan, dari tadi demit-demit dari berbagai ras dateng terus nggak selesai-selesai,” ucap Cahyo.
Akupun melihat bekas tanah terbakar hingga beberapa ular yang sudah tidak berdaya. Sepertinya tempat ini benar-benar tidak aman.
“Paklek, Cahyo.. kenalin ini Mbah Widjan dan Panji” ucapku memperkenalkan mereka, namun sepertinya Mbah Widjan sudah mengenal Paklek saat menghubunginya dulu.
Paklekpun mengenalkan pada kami seorang pria yang bernama Pak Waja,
seorang balian yang menurut penerawanganku juga memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Setelah memastikan tidak ada serangan lagi Senapun mengajak kami masuk sementara murid-murid padepokanya berjaga di depan.
“Paklek sudah menghubungi orang-orang yang mungkin bisa membantu kita, tapi ternyata beberapa dari mereka juga sudah mendapat wangsit dan petunjuk mengenai kejadian ini,” jelas Paklek.
Aku mengangguk mengerti, sepertinya aku tahu siapa saja yang sudah dihubungi oleh Paklek untuk membantu kami.

“Tapi Paklek, kalau padepokan Sena tidak aman kenapa kita tidak pindah ke tempat lain saja?” tanya Panji.
“Padepokan ini menyimpan pusaka yang diincar oleh mereka, sebuah wayang jimat peninggalan keluarga Sena. Mereka datang untuk merebut benda itu” jelas Cahyo.

“Sepenting itu pusakanya?” tanya Panji lagi.
“Di tangan demit-demit yang berasal dari masa lalu itu, mereka bisa menggunakan Azimat Wayang Durga itu untuk memanggil dedemit yang terlahir dari kekuatan Dewi Durga dulu,” jelas Cahyo lagi.

“Ada pusaka sehebat itu di tempat ini?” Tanya Mbah Widjan.
Sena datang mengantarkan beberapa gelas kopi dan meletakanya di hadapan kami.

“Keturunan saya dipercayakan untuk melindungi pusaka itu agar tidak digunakan sama sekali. Saat ini hanya saya yang mengetahui keberadaanya,” sambung sena.
Aku tidak menyangka keberadaan pusaka itu benar-benar diincar oleh makhluk-makhluk itu. terlebih aku tidak bisa membayangkan bila benda itu ada di tangan mereka.

“Berarti mau tidak mau kita harus mempertahankan tempat ini..” ucap Mbah Widjan.
“Setelah ini pasti akan ada serangan berikutnya, saya merasakan saat malam nanti akan ada beberapa dari demit kuno itu yang akan menyerang tempat ini,” tambah Pak Waja.

Sudah pasti nanti malam akan jadi pertempuran besar.
Entah apakah tempat ini dapat bertahan dan bagaimana dengan desa sekitar?

“Warga desa gimana? Mereka harus di evakuasi! Tapi gimana caranya?” ucapku.

“Tenang sek Nan, sudah ada yang akan membantu mengevakuasi warga desa,” ucap Cahyo.
“Tenang piye to Jul? Mbok pikir mindahin ratusan orang gampang?” (tenang gimana to jul? kamu pikir mindahin ratusan orang itu gampang) balasku.
“Tanya aja ama orangnya,” ucap Cahyo sambil melirik ke arah seorang perempuan yang mengantarkan pisang dan kacang rebus untuk kudapan kami.

“Naya?” ucapku kaget.
“Iya mas Danan, tenang aja.. sebentar lagi bis-bisnya dateng, nanti naya yang bantu mindahin warga desa ke desanya Jatmiko kemarin,” ucapnya.

“Eh, i—iya Nay,” balasku.

“Tuh, tuh kan.. giliran sama Naya langsung jinak,” ledek Cahyo.
“Ssst… cangkemu kuwi lho jul,” (sst mulutmu itu lho jul) bisikku pada Cahyo. Sialnya, Bukanya diam dia malah semakin tertawa.

“Memangnya ada bis yang bisa jemput malam-malam begini nay? Mahal kan itu?” tanyaku.

“Tenang saja, saya minta bantuan bis perusahaan buat kesini.”
Tiba-tiba terdengar suara seorang yang cukup ku kenal dari arah belakang.

“Nyai Kanjeng?” ucapku yang kaget melihat kemunculanya.

“Heh… bukan nyai kanjeng lagi, panggil bu Astri saja,” ucapnya yang ditemani dengan Pak Gito.
Aku menengok kepada Cahyo, sedari tadi sepertinya ia menikmati reaksi kagetku semenjak datang ke tempat ini.
Pak Gito menceritakan bahwa Tika dan bu Astri mendapatkan mimpi yang serupa.
Sepertinya sosok-sosok ingon atau roh pelindung trah darmowiloyo yang tersisa memberi petunjuk pada mereka tentang kejadian ini.

“Awalnya kami sanksi apa ada yang bisa kami bantu perkara masalah ini, sementara kami hanya manusia biasa” ucap pak gito.
“saat sampai di sini mas Cahyo dan Paklek bercerita tentang kekhawatiran mereka kepada warga desa, beruntung saya masih bisa meminta bantuan perusahaan untuk mengirimkan beberapa bis untuk mengevakuasi warga. Semoga saja, bantuan kecil kami bisa berguna,” tambah Bu Astri.
Saat mendengar penjelasan itu aku bernafas lega. Setelah warga desa bisa dievakuasi, sepertinya kami bisa bertarung dengan lebih leluasa. Sungguh sebuah bantuan yang tidak pernah kusangka.
Baru beberapa saat menikmati kudapan yang dibawa naya, tiba – tiba terdengar suara dering telepon yang segera diangkat oleh bu astri.

“Naya, kendaraanya sudah siap,” ucap Bu Astri.

“Oh, iya bu.. Naya juga sudah siap, kita langsung saja,” balas naya.
Kamipun mengecek keadaan di luar dan memastikan tidak ada makhluk apapun yang akan menyerang mereka. Ada beberapa makhluk yang mengintai ,tapi sepertinya mereka tidak berniat untuk menyerang.
Saat kondisi sudah aman aku mengantarkan mereka bertiga hingga perbatasan desa dimana sudah tidak ada lagi makhluk yang berkeliaran.

“Naya, doain mas ya.. semoga mas dan yang lain bisa melewati malam ini dengan selamat,” ucapku.
Nayapun menghampirku dan tersenyum.
“Selalu mas, nama mas Danan selalu ada di doa Naya. Belum pernah sekalipun Naya lupa mendoakan Mas Danan sejak kita bertemu,” ucapnya.
Seketika wajahku memerah mendengarnya.
“Ma—makasi ya Naya,” ucapku dengan jantung yang berdegup semakin kencang.
“Mas Danan pasti selamat, harus selamat.. soalnya mas masih utang satu hal sama Naya,” ucapnya.
“Utang apa Naya?” tanyaku bingung.
“Mas masih lupa tentang pertemuan kita waktu kecil dulu di desa Kandimaya kan?” ucapnya.
Naya mengambil sesuatu dari rambutnya, seperti hiasan rambut berbentuk sisir kuningan yang biasa ia kenakan saat berdandan sebagai sinden.
Iapun mengambil tanganku dan meletakan benda itu ke telapak tanganku.
“Kembaliin ke Naya besok ya mas, nanti Naya ceritain kalau mas nggak bisa inget pertemuan pertama kita,” ucapnya.
Malam yang tadi terasa mencekam seketika terasa begitu hangat dengan ucapan Naya. Akupun tidak rela melihat Naya meninggalkanku. Tidak ada yang dapat kuberikan kepadanya selain kecupan di kening dan doaku akan keselamatanya.
Aku tahu, tidak hanya aku yang sedang berjuang. Naya juga punya perjuanganya sendiri untuk memastikan warga desa aman setidaknya sampai besok. Namun hiasan rambut naya ini, sudah lebih dari cukup untuk memaksaku terus bertahan hingga berhasil mengalahkan demit-demit itu.
Saat aku kembali ke padepokan Paklek dan yang lain terlihat sedang membicarakan hal yang semakin serius.
“Keraton Segoro kidul, Alas Wetan, Giri Kulon, dan Pantai utara apa tidak ada pergerakan dengan kejadian ini?” Ucap Mbah Widjan.
“Keberadaan kerajaan demit ini sepertinya tidak mengganggu wilayah mereka, lagipula tidak benar bila kita mengharapkan bantuan mereka,” balas Paklek.
Mbah Widjan mengangguk. Keberadaan empat keraton itu kadang memang sering menjadi acuan para pencari ilmu.
Namun keberadaan mereka hanya bersifat sebagai guru yang memberi petunjuk, bukan sosok yang akan turun langsung menghadapi hal seperti ini.
Hari semakin malam, belum ada tanda-tanda serangan lagi dari makhluk-makhluk itu.
nayapun sudah mengirim pesan padaku bahwa warga desa sudah di berangkat menuju desa Jatmiko yang tidak jauh dari desa ini.
Aku menoleh ke arah Cahyo, ia terlihat tidur di tikar ujung.
Sepertinya ia memang cukup lelah, tapi sepertinya ini pertama kalinya aku melihat Cahyo tertidur di saat seperti ini.

“Jul, bangun jul.. tidur di dalem aja, tar masuk angin,” ucapku berusaha membangunkanya, namun ia tidak terusik sama sekali.
Aku merasa ada sedikit hal yang aneh, biasanya Cahyo tidak pernah melupakan sarungnya ketika tidur. Aku memastikan pergerakan matanya dan raut wajahnya terlihat cemas dan meneteskan keringat.
“Jul! Bangun jul! sadar!” ucapku sambil beberapa kali menepuk-nepuk wajah Cahyo. Namun ia tidak bereaksi.

Aku mencobanya lebih keras hingga menarik perhatian Paklek dan yang lain.

“Panjul kenapa nan?” tanya Paklek.
“Nggak tahu Paklek, aneh.. nggak bisa dibangunin, tidurnya terlihat gusar,” ucapku panik.

Pak Waja sadar sesuatu dan segera mengambil tempat untuk memeriksa Cahyo.

“Kita lengah, mas Cahyo di serang,” ucap Pak Waja.
“Di serang?” tanyaku bingung.
Pak Waja segera mengambil cawan kuningan beserta pemukulnya. Ia meletakkan benda itu di samping telinga Cahyo dan memukulnya hingga mengeluarakan suada dentingan.
Ada mantra panjang yang ia alunkan mengikuti suara denting cawan itu. cukup lama, tapi aku melihat reaksi Cahyo semakin panik dan gusar hingga tiba-tiba ia tersadar dan langsung terduduk.

“Nan Danan!” ucapnya panik saat terbangun.
Aku mendekatinya dan segera menangkap pundaknya.

“Tenang jul, tenang.. tarik nafas dulu,” balasku.
Cahyopun berusaha mengikuti ritme nafasku sebelum memutuskan untuk berbicara.
Paklekpun memberikan segelas air yang telah dibacakan doa dan setelahnya wajah pucat Cahyo perlahan mulai pulih.
“Mimpiku nggak wajar nan, ada yang maksa aku buat ngebunuh kalian semua,” ucap Cahyo.
Akupun menoleh pada Pak Waja berharap ia bisa mengerti makhluk apa yang menyerang Cahyo.
“Dulu sempat ada kasus dimana ada makhluk yang bisa membunuh lewat mimpi. Sudah lama sekali, tapi saya sendiri belum mengerti wujudnya,” jelas Pak Waja.
“Tadi saya hanya memanggil kembali sukma Mas Cahyo dan berharap ia bisa melawan dan mendapatkan kesadaranya.”
Membunuh lewat mimpi? Benar ada makhluk seperti itu?
“Wujudnya nenek kerdil nan, ia selalu digendong di bahu kanan seorang kakek dengan posisi terbalik,” jelas Cahyo.
Aku ingat ciri-ciri itu, dia adalah makhluk yang berhadapan denganku di kantor. Aku sama sekali tidak menyangka kekuatan dari nenek itu semengerikan ini.

“Nyai Wijul.. dia pemilik tusuk konde yang kubawa kemarin,” jelasku.
Belum sempat berbicara lebih banyak tiba-tiba terdengar suara pintu didobrak dengan kencang. Seseorang berbaju pemain karawitan menatap sena dengan mata yang tertutup namun raut wajahnya begitu aneh.
“Mas Tono?” ucap Sena.
Ternyata dia adalah salah satu anggota padepokan sena.
“Kekhekekhe… ngendi jimat kuwi? Kowe ra iso ngapusi, aku ngerasakke kekuatan jimat kuwi ning kene,” (Di mana jimat itu? kamu tidak bisa bohong, aku merasakan kekuatan jimat itu di sini)
ucap mas tono dengan suara seperti nenek-nenek.
Paklek segera menghampiri Mas Tono dan membacakan doa untuk mengusir sosok demit yang merasuki mas tono. Sayangnya itu tidak berhasil..
“Khekhekhe… percuma, aku orang ning kene. Nanging sedelok meneh bakal ono banjir getih ning panggonanmu iki,” (Percuma, aku tidak di sini, tapi sebentar lagi tempatmu ini akan terjadi banjir darah) Ucap Mas Tono.
Aku memperhatikan benar-benar keadaan mas tono, dia tidak kesurupan.
“Pak Waja, mantra tadi lagi. Mas tono nggak kesurupan. Dia tidur,” panggilku pada Pak Waja.
Pak Wajapun mengerti dan melakukan hal serupa seperti yang ia lakukan pada Cahyo. Dan benar saja mas tono memberontak dengan keras karena kesadaranya sudah dikuasai lewat mimpinya. Beruntung ilmu Pak Waja bisa memulihkan mas tono.
Wajah Mas Tono terlihat bingung dan panik ia seolah tidak mengingat apapun yang terjadi dengan dirinya.
“Nenek kerdil! Pergi!!!” Teriaknya panik
“Tenang Mas Tono, tenang..” aku berusaha menenangkanya dan memberikan segelas air.
“Atur nafas dulu Mas Tono, jangan panik,” ucap Sena.

“I—iya mas Sena,”

Saat Mas Tono sudah tenang, ia menceritakan hal serupa seperti yang diceritakan Cahyo. Ia memang tidak berniat untuk tidur, namun entah mengapa ia tertidur tanpa sebab hingga dikuasai sosok Nyai Wijul.
“Ya sudah, kumpulin semua anggota di tempat ini biar kita saling jaga, semakin malam akan semakin berbahaya,” perintah sena.

Mas Tonopun setuju, dan hampir sepuluh orang berkumpul di ruang tengah padepokan ini yang sedari tadi menjadi tempat kami menunggu.
“Benar wayang jimat itu ada di sini Sena?” tanyaku sambil berbisik.
Sena mengangguk, namun sepertinya ia tidak ingin menjawab lebih jauh lagi.
Sementara itu Paklek membukakan ayat-ayat suci dan meminta seluruh anggota padepokan sena melakukan wiritan dengan membaca ayat-ayat tersebut.
Belum lama setelah semua orang berkumpul di ruangan ini, tiba-tiba seluruh lampu di padepokan ini padam. Tidak hanya di padepokan, seluruh listrik di desapun ikutan padam. Kali ini hanya cahaya bulan purnamalah yang menerangi seluruh desa.
“Mas saya ambil senter dulu,” ucap salah satu anggota Sena.
“Jangan! Jangan ada yang keluar,” ucap Mbah Widjan.
“Serangan sudah di mulai..”
Benar ucapan Mbah Widjan, aku merasakan sesuatu yang mengerikan berdatangan dari luar.
Beberapa dari kami menyalakan penerangan dari telepon genggam sementara sena mencoba menyalakan lampu minyak yang ada di ruangan yang biasa mereka gunakan untuk menerangi layar.
Dari atap, terdengar suara ular yang mendesis. Sayangnya suaranya tidak hanya berasal dari satu ekor ular.
Sesekali melintas cahaya kobaran api terlihat melalui jendela, benda itu mengitari bangunan ini berkali-kali.
“Kita keluar Paklek?” tanyaku.
“Belum, sebentar lagi.. lawan kita yang sebenarnya beru akan datang sebentar lagi,” ucap Paklek dalam posisi meditasinya.
Benar ucapan Paklek, beberapa lama setelahnya terdengar suara tembang seorang sinden yang mendekat yang diiringi dengan suara kentrung sederhana.
Dari jauh terlihat sekumpulan obor berbondong-bondong menghampiri tempat ini..
“Padepokan Ronggo Mayit..,” ucap Sena yang segera keluar dan menyambut mereka.
Saat aku keluar, seketika kesadaranku terganggu seolah rasa ngantuk memaksaku untuk terlelap.
Aku menoleh ke arah hutan, bayangan sesosok makhluk berada di sana. Seorang kakek yang menggendong nenek kerdil.
“Nyai Wijul…” ucapku yang segera membaca mantra pelindung ghaib dan menyambut kedatanganya.
Cahyo mencari suara desisan ular yang terdengar sedari tadi namun hanya ular-ular biasa yang ia lihat di atas genteng padepokan.
“i—itu! ular! Ular raksasa!” teriak mas tono.
Tersembunyi di kegelapan malam, di salah satu pohon terbesar melingkar ular seukuran rumah memantau kami dari ketinggian pohon. Dari kepala ular itu muncul sebagian badan berwujud manusia dengan selendang merah.
“Dewi ular candi ireng sinjang abang..” ucap Cahyo.
“Serius namanya sepanjang itu?” tanyaku.
“Nggak, biar keliatan serem aja. Kalau penasaran kamu yang kenalan gimana?” balas Cahyo.
“Emoh, diseneni Naya mengko” (Nggak mau, dimarahin Naya nanti) balasku.
“Asik, habis ada yang melepas rindu,” ledek Cahyo.

“Melepas rindu, Gundulmu..”

Melihat perbincangan kami, yang lainya hanya menggeleng melihat tingkah kami. harusnya mereka sudah tidak merasa aneh lagi dengan jalan pikiran Cahyo yang otaknya setengah geser.
Sementara itu kami hanya memasang posisi siaga mempersiapkan apapun yang akan dilakukan oleh makhluk itu. tapi ternyata serangan itu bukan dari mereka.

“bintang jatuh?! Meteor!” Teriak anggota sena yang panik..
Jauh dari langit malam terlihat bola api besar yang berkobaran berwarana merah, benda bersiap jatuh ke pendopo seperti sebuah meteor yang siap menghantam.
Melihat hal itu, Pak Waja lari mendahului kami. ia membacakan mantra dan membangkitkan ilmu aksara di tubuhnya.
Sebelum bola api besar itu sempat mendarat tiba-tiba Pak Waja berubah menjadi sosok Rangda dan berubah lagi menjadi bola api yang membara dengan warna kuning.
Kedua bola itu beradu tak jauh dari padepokan sehingga energi besar hasil benturan mereka merusak beberapa bagian bangunan pendopo.
Seolah menjadi tanda sebuah perang, Dalang demit dari padepokan ronggo Mayit itu mengibaskan beberapa wayang berwujud kurawa dan butho hingga berbagai sosok hitam berlari menerjang kami.
Aku sudah siap dengan keris ragasukmaku dan Cahyo sudah siap mementalkan kembali makhluk yang dikirimkan Dalang demit itu dengan kekuatan wanasura yang merasuk kedalam dirinya.
“Cahyo kita mulai rencana kita,” ucapku yang dibalas anggukan oleh Cahyo.
Ia memasang kuda-kuda sementara aku melapisi keris ragasukma hingga kilatan cahaya menyelimuti bilah keris ini. Aku melompat ke arah Cahyo dan ia memantulkanku dengan kekuatan wanasura.
Tubuhku melesat seperti peluru dengan keris yang seketika menghantam dalang demit itu dan melobangi pundaknya. Salah satu tanganya terjatuh terpisah dari badanya bersamaan dengan besarnya lubang yang kubuat dengan Keris Ragasukma.
“Khekehekhe… mbok pikir iso mateni aku nganggo ilmu koyo ngene?” (kamu pikir bisa membunuhku dengan ilmu seperti ini?) ucap dalang itu.
Tidak butuh waktu lama, darah dan jaringan tubuh dalang itu kembali bergerak dan menyatu lagi dengan tubuhnya.
Aku tidak mempedulikan ucapanya, rencanaku yang sebenarnya harus kuselesaikan dalam beberapa detik.
Tepat ketika dalang demit itu pulih iapun menoleh ke arahku.
“Bocah setan!”
Dalang demit itu terlihat murka, dengan meninggalkan ragaku di salah satu pohon.
Aku memisahkan sukmaku dan melesat secepat mungkin ke tumpukan-tumpukan wayang yang digunakan dalang demit itu.
Ini adalah rencana Sena, ia mengatakan dengan menggunakan keris ragasukma yang telah dituliskan aksara mistis.
Seharusnya seranganku bisa menghancurkan wayang-wayang dalang itu agar ia tidak bisa menggunakanya.
Saat aku berhasil melubangi hampir semua wayang yang ia bawa, seketika roh buto dan kurawa yang menyerang padepokan hilang seketika.
Tapi tidak ada waktu untuk senang. Setelah ini aku harus kembali menghadapi seluruh pasukan padepokan ronggo mayit bersama pimpinanya itu.
Di tempat lain Cahyo melihat sosok dewi ular purba itu meninggalkan pohon tempatnya memantau kami.
ia menghempaskan ekornya menghantam padepokan sena.
Cahyo melompat dengan kekuatan wanasura dan menahan serangan ular itu. namun anehnya Cahyo terpental dengan mudahnya.
“Jangan samakan kekuatanku dengan saat tertahan kekuatan reruntuhan itu,” ucap dewi ular itu.
Dalam hitungan detik seketika ekor ular itu membelah pendopo padepokan sena menjadi dua bagian. Kayu kayu dan puing-puing beterebangan ke segala arah dengan serangan makhluk itu.
“Sena, masih ada orang di dalam?” tanya Paklek khawatir.
“Tidak ada Paklek, semua sedang bertarung dengan anak buah dalang demit itu,” ucap sena.
Sementara itu, Mbah Widjan mengejar keberadaan Nyai Wijul yang bayanganya masih memantau kami dari jauh. Ia mengajak Panji untuk menyerang makhluk itu bersamaan.
Panji melemparkan tombaknya yang dengan mudah dapat ditepis seorang kakek yang menggendong Nyai Wijul. Serangan itu berhasil mengalihkan kakek itu hingga Mbah Widja berhasil menghujamkan seranganya hingga keris mereka beradu.
Serangan itu berhasil mementalkan Mbah Widjan, namun tanpa sadar tiba-tiba bahu Mbah Widjan berlubang dan meneteskan darah.
“Mbah! Kenapa mbah diam saja?” tanya Panji?
“Diam?” wajah Mbah Widjan terlihat bingung.
Kakek tua itu tertawa melihat ekspresi mereka.
Rupanya serangan Mbah Widjan tadi adalah mimpi sesaat yang diciptakan Nyai Wijul sementara sang kakek tua itu menyerang Mbah Widjan dengan kerisnya.
Pertempuran sengit terjadi di berbagai sisi, tak jarang suara ledakan terjadi di berbagai tempat.
Tapi yang kutakutkan aku masih mendengar suara tawa makhluk-makhluk itu seolah saat ini mereka hanya mempermainkan kami saja.
Tidak ada waktu untuk mengulur waktu, akupun menggunakan seluruh tenagaku untuk melontarkan tubuhku menyerang anak buah dalang demit itu sembari memisahkan sukmaku untuk menyerang dan segera kembali untuk mengendalikan tubuhku.
Dengan cara ini aku bisa menghadapi banyak musuh sekaligus.
Sementara itu Paklek memanggil Geni baraloka andalanya dan memecahnya ke arah Mbah Widjan dan Cahyo yang sedang terluka. Ia terlihat bingung membagi konsentrasinya untuk memulihkan kami atau ikut bertarung.
“Khekhekeh… bocah tolol, kalian tidak sadar. Tidak ada satupun kesempatan kalian untuk menang,” ucap dalang demit itu.
Dalang demit itu mengambil salah satu wayang berwujud rahwana di sebuah peti kayu.
Kali ini ia mengibaskanya dengan cara yang aneh dan mengangkatnya setinggi mungkin sambil membaca sebuah mantra.
Tak lama setelahnya wayang itu berubah menjadi kabut hitam dan menyelimuti tubuh sang dalang dan membuatnya membesar dengan wajah menyerupai sosok butho.
Pakaianyapun berubah seperti seorang raja di jaman pewayangan persis seperti wayang yang dia angkat tadi.
Tanpa sadar tiba-tiba dalang itu sudah berada di depanku dan memukul dadaku dengan tangan kosong.
Seketika aku mendengar suara retakan dari tulang rusukku bersamaan dengan muntahnya cairan merah dari mulutku.
Serangan itu datang bertubi-tubi hingga rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku bersama dengan pudarnya penglihatanku.
Melihat kejadian itu, tiba-tiba sebuah bola api kuning menyambar dalang itu dan melepaskanku dari serangan mematikan itu.
“Mas, kita menghindar,” ucap Pak Waja yang kembali ke wujud manusia dan membawaku mundur dari medan pertempuran itu dalam wujud Rangdanya.
“percuma, ora ono sijipun seko kowe kabeh sing iso ngalahke aku, Ki Ronggo Gupolo.. “ (Percuma, tidak ada satupun dari kalian semua yang bisa mengalahkanku, Ki Ronggo Gupolo) ucapnya dengan sombong sambil berjalan kearah kami.
Paklek menerima tubuhku dari pak Wadja dan segera memulihkan lukaku dengan geni baralokanya.
Aku melihat ke arah sekitar, ucapanya itu bukan gertakan. Cahyo kewalahan melawan ular besar itu hingga padepokan sena hampir rata dengan tanah.
Mbah Widjan dan Panji masih mencari cara menangani ilusi yang dibuat Nyai Wijul.
Pak Waja bisa menandingi pengguna ilmu leak itu, namun dari jauh ia melihat beberapa bola api yang bersiap menyerang desa ini lagi.
“Jangan buang waktu! Ambil wayang itu!” perintah dewi ular purba itu setelah berhasil memporak porandakan padepokan sena.
Bola api merah yang berkobar mencoba menerobos padepokan. Namun sebelum mendekat Paklek membacakan sebuah mantra.
Yang kutahu, itu adalah mantra untuk mengaktifkan api hitam dari luka yang ia gores dengan bilah hitam keris sukmageni.
“Arrgghh.. “ suara kesakitan terdengar ke seluruh desa yang membuat bola api itu perlahan jatuh dan kembali ke wujud rangda.
Tak lama setelahnya terdengar suara keris yang saling beradu di puing-puing padepokan sena. Sena sekuat tenaga menahan serangan Nyai Wijul yang tiba-tiba sudah berada di sana.
Aku yang sudah sedikit pulih, menyusulnya sembari menyerang kakek nenek itu dengan ajian lebur saketi yang membuatnya sedikit terpental menjauh dari sena.
Entah mengapa sena mati-matian mempertahankan tempat itu, aku menduga Azimat Wayang Durga ada tepat di tempat dia berdiri sekarang.
Beberapa anggota padepokan sena sudah terkapar di tanah, dan makhluk-makhluk itu mulai mengepung ke arah puing-puing bangunan ini.
Kamipun berkumpul di atas puing ini saling berpunggungan membentuk lingkaran melindungi setiap sisi yang mungkin di serang.
“Jadi pusakanya benar ada di sini?” tanya Cahyo.
Sena mengangguk.
“Ada dimana? Jangan sampai kita salah tempat,” tanya Panji yang was-was.

“Di bawah kalian,” jawab sena singkat.

“Sebelah mana? Tertimbun puing?” tanyaku.
Sena berusaha mengatur nafas, wajahnya benar-benar pucat mengetahui belum ada cara untuk melindungi pusaka itu.
“Azimat Wayang Durga ada di bawah kaki kalian, benda itu sebesar pelataran padepokan ini. Bapak menanamnya tepat di bawah pelataran pendopo ini agar bisa mengunci kekuatanya dengan ritual tanpa putus,” jelas sena.
Kami seketika kaget mendengar penjelasan sena.
“Wayang apa yang ukuranya sebesar pelataran? Bagaimana mungkin itu bisa digunakan,” ucapku bingung.
Namun Cahyo terlihat lebih geram
“Sena bilang wayang itu dibuat dari kulit manusia dan bangsa demit.
Berarti ada berapa manusia yang ditumbalkan untuk membuat wayang sebesar ini,” wajah Cahyo terlihat semakin emosi.
Saat ini tidak ada jalan keluar bagi kami selain menghadapi semua serangan mereka.
Beberapa bola api mulai menerjang ke tempat ini lagi, dewi ular itu bersiap membanting tubuh ularnya menembus padepokan ini,
sementara dalang yang mengaku bernama Ki Ronggo Gupolo itu berlari dan melompat setinggi-tingginya bersiap menghempaskan kepalanya yang menghitam ke arah kami.
Aku menoleh ke arah Nyai Wijul, sepertinya mulutnya membacakan mantra entah untuk merapal kutukan atau ilusi.
“Jangan keluar dari kobaran geni baraloka, nyawa kalian taruhanya,” perintah Paklek yang mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuat kobaran geni baraloka menyelimuti seluruh tubuh kami.
“Wanasura! Kerahkan semua kekuatanmu!” Teriak Cahyo.
“Tombak Lembu Warok seandainya kamu punya kekuatan tersembunyi sebaiknya keluarkan sekarang,” ucap Panji dengan tangan yang gemetar.
Pak Waja berjaga di atas kami dalam wujud bola api sebagai tirai awal menahan serangan mereka, semantara Mbah Widjan membacakan berbagai mantra untuk memperkuat pertahanan kami.
Hanya satu hal yang bisa kulakukan saat ini. mantra itu harus kubacakan.
Kuletakkan keris ragasukma didadaku dan membayangkan satu-satunya sosok yang mungkin membantuku.

Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
Tepat seusai mantra itu kubacakan seluruh serangan dari makhluk itu manghantam kami semua. Kami semua terpental seolah seluruh pertahanan kami sia-sia.

Beruntung Paklek sempat memusatkan geni baralokanya di organ penting kami hingga kami masih bisa bernafas,
tapi sepertinya tidak ada satupun dari kami yang bisa bergerak.
Dengan penglihatanku yang mulai kabur, aku melihat Ki Ronggo Gupolo menghancurkan pelataran padepokan sena dan mengangkat dengan kedua tanganya sendiri sebuah wayang hitam berwujud Dewi Durga.
Ia mengangkat wayang itu seorang diri yang bahkan tongkat penyangganyanya hampir seukuran tubuhnya sendiri.

“Ja—Jangan!,” sena berusaha menahan kaki Ki Ronggo Gupolo dengan tubuhnya yang lemah, namun dengan mudah ia menendangnya hingga terpental dan memuntahkan darah.
“Se—sena!” aku berusaha berteriak, namun sepertinya tulang-tulangku patah aku hampir tidak bisa bergerak sama sekali.



Ki Ronggo Gupolo terlihat senang, ia mengibaskan wayang sebesar itu hingga angin besar bertiup memutar di seluruh desa.
“Aku ngundang sampeyan kabeh, demit-demit sing lair saka kekuwatan sing nata setro gandamayit”
(Aku mengundang kalian semua, demit-demit yang lahir dari kekuatan penguasa Setra Gandamayit) ucap Ki Ronggo Gupolo.
Tak lama setelah itu terdengar suara cekikikan dari berbagai arah. Suara teriakan kesakitan terdengar pilu seolah terbukanya sebuah gerbang penyiksaan.

“Gapura pisanan, demit alam pertama.. pilih penguasamu,” perintahnya pada demit-demit itu.
Bersama dengan itu muncul berbagai makhluk dari dalam kabut, dari dalam tanah, jatuh dari langit.
Benar-benar pemandangan yang mengerikan. Makhluk-makhluk itu bergerak menuju sosok-sosok yang kami lawan seolah memilih siapa yang memerintah mereka.
Terdengar suara langkah kaki terseok-seok mendekat ke arahku dan Cahyo. Itu Paklek..

Ia menggoreskan bilah putih keris sukmageni dan meneteskan darahnya ke bilah putih itu. darahnya seketika terbakar menjadi tetesan api.
“Ia baru membuka gerbang pertama, gunakan cara apapun untuk menghancurkan pusaka itu.” perintah Paklek.

Ia meneteskan api itu ke tubuhku dan Cahyo. Dalam sekejap tubuh kami berangsur-angsur pulih sementara Paklek kehabisan tenaga.
Perlahan aku mulai berdiri dan memberi isyarat pada Cahyo. Kami akan menggunakan rencana yang sama dengan tadi.

“Jangan sampai meleset,” ucap Cahyo.
Aku mengangguk meresponya. dengan sekuat tenaga, Cahyo menahan telapak kakiku dan melesatkanku menuju wayang raksasa itu.
Dengan mantra yang kubacakan aku melapisi keris ragasukmaku dengan cahaya putih untuk memperkuatnya. Dalam sekejap aku sudah berada di hadapan wayang itu, saat itu juga aku menghujamkan kerisku ke arahnya.
Namun aneh, seranganku hanya lewat begitu saja tanpa menggores sedikitpun wayang itu. saat itu aku berpikir, mungkin Sena bukan tidak ingin menghancurkan wayang ini. namun ia sama sekali tidak menemukan cara untuk menghancurkan wayang Jimat ini.
“Makhluk bodoh, pusaka ini dibuat agar bisa bertahan sampai akhir zaman,” ucap Ki Ronggo Gupolo dengan sombong.
Akupun jatuh tersungkur diantara hutan dengan sebuah kegagalan. Aku mengepalkan tanganku memukul tanah dengan kesal, aku tidak tahu lagi apa yang harus kami lakukan.


Samar-samar aku mendengar suara orang melangkah dari dari belakang.

“Coba sekali lagi mas, gunakan ini..”
Dari dalam hutan muncul seseorang yang suaranya tidak asing. Ia melemparkan sebuah batu berbentuk bundar berwarna hitam ke hadapanku dan muncul sosok makhluk berkepala kerbau di sana.

“Ki Mahesa Ombo, tolong lemparkan Danan sekali lagi ke sana” perintahnya.
Mbah Jiwo, itu suara Mbah Jiwo. Ia muncul dari belakangku dan menyerahkan sebuah benda yang tidak asing.

Sebuah korek api. Ini korek yang dulu dimiliki oleh Paklek..
Aku tidak mengerti maksudnya, namun aku juga tidak ingin banyak bertanya.
Makhluk bernama Ki Maesa Ombo itupun mengangkat tubuhku dan melemparkanku lagi ke arah Azimat Wayang Durga.
Berbagai demit beterbangan mencoba menghadangku. aku pikir aku akan gagal sekali lagi,
namun tiba-tiba terlihat beberapa sukma keris datang melayang menghabisi demit-demit itu.

Akupun tersenyum mengetahui hal itu. Dirga.. aku tahu itu pusaka Dirga. Rupanya ia sudah semakin dekat.

Azimat Wayang Durga itu masih terus dikibaskan dan memanggil berbagai macam demit.
Aku berhasil melayang tepat ke ujungnya, aku meraih ujung wayang itu dan menyalakan korek api pusaka yang diberikan Mbah Jiwo.

Tidak seperti biasa, korek itu menyala dengan api yang membara. Hanya dengan sedikit sentuhan ujung bagian wayang itu sudah terbakar perlahan.
Sekali lagi aku terjatuh. Suara retakan tulang sekali lagi terdengar di tubuhku. Namun itu bayaran setimpal bila dibandingkan dengan wajah cemas Ki Ronggo Gupolo saat ini.

“Bocah kurang ajar!! Apa yang kau lakukan?!” teriaknya.
Api itu terus menjalar membakar wayang itu, namun sosok Rangda hitam terbang ke arahnya dan menebas bagian yang terbakar hingga terlepas dari bagian utamanya.

Saat itu juga aku merasakan kekuatan hitam dari wayang itu berkuran dan tidak ada lagi makhluk yang bermunculan.
“Habisi bocah itu! dia harus mati dengan mengenaskan!!” ucap Ki Ronggo Gupolo.
Berbagai demit datang menghampiriku dan bersiap mengoyak bagian tubuhku. Cahyo segera berlari sekuat tenaga ke arahku,
namun sebuah lilitan ular menangkapnya dan membantingnya hingga terluka.
Ini akhir?

Tidak.. seandainya ini akhir untukku, tapi aku yakin ini bukan akhir dari umat manusia.

Setetes air jatuh tepat di wajahku. Sedikit demi sedikit namun terus bertambah deras.
Demit-demit yang mencoba menghabisiku mengurunkan niatnya dan mundur ketakutan. Ada seseorang yang berdiri menjagaku bersama tetesan hujan yang semakin deras.
Aku tersenyum ditengah kondisiku yang mengenaskan ini.
entah berapa kali aku harus berterima kasih padanya yang sudah berkali-kali menyelamatkan nyawaku.

Nyi Sendang Rangu…

“Dewi sendang, ternyata kabar burung itu benar. Kau berpihak pada manusia,” ucap Ki Ronggo Gupolo.
Nyi Sendang rangu tidak menjawab. Kulitnya menghitam, selendangnyapun ikut menghitam, wajahnya terlihat amat murka. Saat ini ia terlihat lebih mengerikan dari seluruh demit yang ada di tempat ini.
Rupanya air pertama yang menetes ke wajahku bukanlah air hujan, itu adalah air mata Nyi Sendang Rangu yang melihat kondisiku saat ini.

“Kalian sudah membuatku marah..”
Nyi Sendang Rangu seketika ada di belakang Ki Ronggo Gupolo dengan tanganya yang dipenuhi kuku-kuku tajam menembus jantung dalang itu. ia melakukan itu berkali kali hingga seluruh tubuhnya terpisah dan tidak dapat lagi menggenggam wayang itu.
Sosok bola api mendekat menyerang nyi sendang rangu namun ia tanpa ragu menangkapnya hingga membakar tanganya. Ia mencabik-cabok sosok itu yang saat itu berubah menjadi rangda.
“Ki Ronggo Gupolo… pulihkan tubuhmu dan bawa wayang itu pergi dari sini. Aku punya cukup banyak pengikut yang bisa kutumbalkan untuk memulihkan wayang itu,” ucap Nyai Wijul yang akhirnya mengeluarkan suaranya.
Ia membacakan sebuah mantra memanggil kabut hitam pekat. Aku tahu dengan jelas, itu adalah gerbang yang akan memindahkan mereka ke alamnya.

Nyi Rendang Rangu yang mengamuk akhirnya kewalahan menghadapi Rangda dan dewi ular yang ikut menyerangnya.
Demit-demit itupun memasuki kabut itu dan pergi meninggalkan demit-demit alas yang baru saja mereka panggil.

Saat Ki Ronggo Gupolo hendak memasuki kabut itu, tiba-tiba ia tertahan..

Cahyo menggenggam erat Azimat Wayang Durga itu dengan seluruh kekuatanya.
“Tinggalkan benda ini!” perintah Cahyo.
“Cahyo Jangan!” aku mencoba menahanya, tapi tubuhku cukup sulit untuk bergerak.

Dengan mudah Ki Ronggo Gupolo mengibaskan wayang itu dan membuat Cahyo terpental.
Namun Cahyo tidak menyerah, ia kembali mengejar dalang demit itu namun ia terpental sekali lagi.

Bukan oleh serangan dalang demit itu, tapi sosok ada pendekar berpakaian karawitan yang menggunakan pecahan topeng ireng milik ludruk terkutuk itu yang menghadangnya.
Mereka beradu ilmu, namun kekuatan mereka terlihat seimbang. Cahyo yang merasa waktunya tidak banyak memanggil sekali lagi sosok kera raksasa sahabatnya itu.

“Wanasura!!”
Kali ini suara wanasura terdengar mengaum ke seluruh desa. Cahyopun segera bersiap menyerang pria itu.
Pengguna topeng ludruk itu malah tersenyum sambil memegang sebuah wayang yang ia ikatkan di punggungnya. Aku ingat, itu adalah wayang berwujud kera yang kami lawan saat mereka ketempat ini sebelumnya.

“Jogorawu!!” ucap pengguna topeng itu.
Seketika kekuatan besar mengalir ke seluruh tubuh pengguna topeng itu, ia dengan mudah menahan serangan Cahyo yang diperkuat dengan roh wanasura.

“J—Jogorawu?! Tidak mungkin!!” ucap Cahyo.
Pria bertopeng itu mengambil wayang itu dari punggungnya dan mengibaskanya.
Seketika suara kera besar terdengar mengaum dengan keras. Dan lagi sepertinya Cahyo mengenal sosok itu.
“Siapa kau?! Tidak mungkin itu Jogorawu!” ucap Cahyo panik.

Pria itu menoleh ke arah Ki Ronggo Gupolo yang telah masuk ke dalam kabut hitam itu.
“Cahyo.. anak beruntung yang selamat dari desa di gunung timur. Asal kau tahu, bukan kau saja yang selamat dari desa itu.” ucap pengguna topeng itu sambil menunjuk ke wajah Cahyo.

“Apa maksudmu? Tidak mungkin masih ada warga yang selamat?!” Wajah Cahyo terlihat semakin panik.
“Mungkin saat kubuka topeng ini, kamu bisa mengenal siapa aku.. itupun kalau kamu bisa bertahan hidup sampai saat itu tiba,” ucapnya yang segera pergi berlari menyusul Ki Ronggo Gupolo.
“Sudah Jogorawu, kita masih punya banyak kesempatan untuk membalaskan dendamu,” ucapnya sambil menenangkan sosok roh kera raksasa yang masih ingin mengamuk itu.
Pria pengguna topeng itupun pergi meninggalkan raut wajah Cahyo yang kehilangan ekspresinya.

***
(Bersambung Part Akhir - Malam Jumat 4-5 Agustus 2022)

Note: kemungkinan part akhir dibagi 2 part karena total 108 halaman.
tapi kalau ga kena limit dr twitter tetep diusahain upload semua tgl 4.

terima kasih dan mohon maaf apabila ada bagian cerita yang menyinggung

buat yang mau baca duluan atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya.

karyakarsa.com/diosetta69/tam…
JSD - Setra Gandamayit
Part Akhir - Diatas Bumi di kolong Langit

Akhirnya memasuki part akhir, saya upload santai ya.. perkiraan besok jam 8 malam sudah selesai di upload karena panjang banget..

@IDN_Horor @bagihorror #bacahorror Image
Kabut hitam terlihat memudar bersamaan dengan perginya dedemit penguasa kerajaan Setra Gandamayit. Gerimis masih turun membasahi tubuh kami yang tidak berdaya, namun perlahan air yang di bawa oleh Nyi Sendang Rangu ini memulihkan kekuatan kami sedikit demi sedikit.
“Terima kasih Nyi, aku terselamatkan lagi,” ucapku yang berusaha mempertahankan kesadaranku dan menahan setiap rasa sakit yang menjalar di tubuhku.
Nyi Sendang Rangupun mendekat kepadaku, wujudnya kembali berubah bak bidadari cantik yang seolah bersiap mengantarku ke nirwana.
“Sudah kukatakan, rapalkan matra itu saat menghadapi mereka,” ucapnya sambil menyeka darah di wajahku dengan selendangnya.
Wajahnya terlihat sedih, tapi memang sepertinya inilah luka-luka terberat yang pernah kuterima.
Aku bahkan tidak bisa menghitung lagi berapa banyak tulangku yang patah akibat pertarungan tadi.
“Maaf Nyi, setidaknya aku ingin berusaha menghadapinya dengan kekuatan kami terlebih dahulu,” balasku.
“Kekuatan kalian? Jangan sombong.. setinggi apapun ilmu kalian, kalau kalian tidak mengandalkan Yang Maha Pencipta ilmumu tidak lebih dari permainan anak-anak” ucap Nyi Sendang Rangu dengan sedikit marah.
Yah, mungkin aku salah. Aku bermaksud untuk berusaha semampuku terlebih dahulu. Kesalahanku, aku sudah mengetahui kengerian makhluk-makhluk itu namun tidak berani mengambil resiko memanggil Nyi Sendang Rangu.
“Maafkan aku Nyi, aku masih harus banyak belajar menjadi seorang manusia yang setia mengandalkan Sang Pencipta,” ucapku.
Aku menoleh kepada Cahyo yang masih tertegun di bawah hujan ini.
Sebuah pukulan besar untuknya Ketika mengetahui bahwa pria bertopeng itu juga berasal dari desa Cahyo. Desa yang seluruh warganya dihabisi oleh sosok Ludruk Topeng Ireng yang juga membunuh orang tua Cahyo.
“Sudah Jul, obati dulu luka-lukamu. Nanti biar aku bantu mencari informasi tentang pemuda bertopeng itu,” ucapku berusaha menenangkan Cahyo.
“Nggak usah gaya kamu, yang ada kamu tuh yang sudah babak belur,” balasnya sambil mendekat dan berusaha mencari posisi untuk membantuku berdiri dengan posisi yang tepat.
Nyi Sendang Rangu menghadang tepat di hadapan kami berdua.
Sepertinya ada suatu hal yang penting yang ingin ia sampaikan.
“Dua puluh empat jam.. jangan bertindak apa-apa sebelum itu” ucap Nyi Sendang Rangu seolah memberi perintah.
“Maksudya apa nyi?” tanya Cahyo.
“Aku akan pergi selama dua puluh empat jam, mungkin ada cara untuk menggagalkan rencana mereka. Namun bila kalian gegabah dan mati, tidak ada lagi yang bisa menggagalkan rencana mereka,” jelasnya.
Kami saling bertatapan, sepertinya Nyi Sendang Rangu memiliki sebuah rencana.
“Bagaimana kalau makhluk itu menyerang lagi Nyi,” tanyaku.
“Yang terpenting, jangan mati sebelum aku Kembali,” ucapnya yang segera pergi menghilang dibawah tetesan gerimis. Bersama itu, hujanpun perlahan berhenti dan bulan purnama Kembali menerangi padepokan ini.
Mbah Jiwo segera menghampiri Paklek dan membantunya untuk memulihkan diri. Di sisi lain terdengar suara mobil mendekat ke arah kami. Itu mobil pick up milik mas Jagad. Ia dan Dirga turun dari mobilnya dan segera menghampiri kami.
“Maaf Danan, kami terlambat!” ucapnya dengan cemas dan dengan bekas luka di beberapa bagian tubuhnya. Sepertinya ia juga mengalami pertarungan.
“Nggak mas, kalian tepat waktu. Andai saja keris Dirga tidak membantu tadi, mungkin nyawa kami tidak akan selamat,” balasku.
Wajah mas Jagad dan Dirga terlihat sangat cemas Ketika melihat hampir seluruh padepokan porak poranda dengan pertarungan tadi. Ada satu bangunan yang masih memiliki atap, kamipun memutuskan untuk mengobati luka-luka kami di tempat itu.
Aku menoleh ke arah Paklek, ia menggendong tubuh Sena yang tidak sadar karena serangan Ki Ronggo Gupolo untuk membawanya ke bangunan itu. Wajah Sena penuh dengan darah.
“Paklek, Sena?” tanyaku khawatir.
“Dia masih hidup.. jangan khawatir,” ucap Paklek.
Aku melihat sekeliling dan benar-benar bersyukur tidak ada korban jiwa diantara kami semua. Ada beberapa anggota padepokan Sena yang terluka cukup parah, Pak Waja dan Mbah Widjanpun mulai berusaha untuk Kembali berdiri dengan seluruh luka-lukanya.
Paklek menidurkan Sena di sebuah meja kayu, ia memeriksa denyut nadi Sena dan menutup luka-lukanya dengan obat-obatan yang disediakan oleh teman-teman Sena.
“Pak, Mas Sena bisa selamat kan?” tanya Mas Tono.
“Semua tergantung keteguhan hati Sena,” balas Paklek.
Paklek sekali lagi menggores tanganya dengan Keris Sukmageni. Darahnyapun mengaliri bilah putih keris itu dan berubah menjadi tetesan api. Saat api itu menetes di tubuh Sena, seketika luka-lukanya mulai menutup. Namun entah mengapa aku merasa itu saja tidak cukup.
“Dia tidak sadar Paklek?” tanyaku.
Paklek tidak menjawabku, ia membacakan doa pada pergelangan tanganya dan menggenggam beberapa bagian tubuh Sena sembari menggerakanya. Aku tahu Paklek berusaha sekuat mungkin memulihkan Sena.
Di tengah kecemasan kami dan di tengah usaha Paklek, tiba-tiba jari tangan Sena bergerak dan perlahan mengepal seolah termakan emosi. Tak lama setelahnya Sena tiba-tiba duduk dan membuka matanya dengan kaget. Matanya terbelalak dan mencoba mengenali keadaan di sekitarnya.
“Sena?! Tenang Sena,” ucap Cahyo.
Sena malah menatapnya dengan mengerutkan dahinya. Ia malah memerhatikan tangan dan seluruh tubuhnya.
“Ini.. tubuh Sena?” ucapnya.
Tu—tunggu apa maksud ucapan Sena?
Iapun menoleh pada Paklek, namun kali ini ia seperti meneranwang wajah Paklek.
“Kamu Bimo? Bimo Sambara, adik dari Bisma Sambara?” ucap Sena dengan suara yang berbeda, aku melihat Paklek berusaha untuk tidak panik.
“Nggih Kulo Bimo, Panjenengan niki sinten?” (Iya saya Bimo, dan anda ini siapa?)
“Kowe kenal aku, aku Ki Joyo Talun..” (Kamu kenal saya, Ki Joyo Talun)
Sontak wajah seluruh orang di tempat itu kaget mendengar pengakuan Sena.
Ki Joyo Talun? Ayah Sena? Dia sudah meninggal.. aku sendiri melihat kepalanya dipermainkan oleh sinden-sinden pengabdi setan di hutan saat menuju ke Langgar Watubumi.
“Njenengan benar-benar ayah Sena?” tanyaku.
Ki Joyo Talun menoleh ke arahku, kali ini ia tersenyum.
“Kamu Danan kan? Putra Bisma.. kalau begitu yang memanggil Sena tadi Cahyo? Saya banyak mendengar cerita kalian dari Bisma,” ucapnya.
Sena berusaha untuk berdiri meninggalkan meja tempat ia dirawat.
Jelas kami semua masih bingung dengan kesadaran yang mengambil alih tubuh Sena. Ia berdiri menyaksikan kondisi padepokan yang hancur sambil menghela nafas.
“Maaf Ki? Kalau anda benar Ki Joyo Talun, bagaimana dengan Sena?” tanyaku.
“Jangan paksakan diri kalian, tenanglah dan pulihkan diri kalian terlebih dahulu,” balasnya.
Pak Waja mengerti maksud Ki Joyo Talun, iapun memintaku dan Cahyo untuk duduk mengambil posisi yang nyaman.
“Sembari menunggu Paklek pulih, biar saya yang membantu memulihkan tubuh kalian,” ucap Pak Waja.
Kamipun menurutu perintah Pak Waja, rasa sakit di tubuh ini benar-benar sulit unduk kutahan sejak tadi.
Tapi, aku jadi tahu hebatnya seorang Pak Waja. Dia memiliki ilmu aksara yang sangat kuat, dibalik keseharianya yang sering menyembuhkan seseorang, ternyata ia juga memiliki ilmu yang dapat menghadapi sosok dedemit tadi.
“Berarti Pak Waja belajar ilmu pengleakan juga ya? Sejak kapan?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Haha… ilmu yang saya punya ini tidak bisa dipelajari hanya dari satu kehidupan saja,” ucapnya.
Seketika aku dan Cahyo bertatapan.
“Maksudnya reinkarnasi? Ilmu dipelajari sejak kehidupan sebelum-sebelumnya?” tanya Cahyo.
“iya, saya menganggap ilmu ini wasiat dari leluhur ataupun kehidupanku sebelumnya.. tapi sekarang bukan itu hal yang penting, kita bisa membahasnya setelah semua ini selesai,” jelasnya.
Kami setuju, terlalu panjang bila membahas hal itu saat ini. Ini adalah hal menarik bagi kami. Mengenai reinkarnasi memang banyak diceritakan di kisah pewayangan, namun hal itu tidak lagi relevan untuk kepercayaan yang berkembang saat ini.
Tapi itulah misteri alam semesta yang membuat alur kehidupan ini menjadi semakin menarik.

Paklek mendekap pada Ki Joyo Talun seolah ingin memulai perbincangan serius.
“Kalau anda Ki Joyo Talun? Lalu siapa orang yang dibunuh oleh sinden-sinden kemarin?” Tanya Paklek.
“Itu saya..”
Paklek terlihat semakin bingung.
“Saya sadar bahwa tragedi ini cepat lambat akan terjadi. Tugas terbesar dari keturunan padepokan Ki Joyo Talun adalah menjaga Azimat Wayang Durga.
Rasa khawatirku membuatku memutuskan memisahkan salah satu sukmaku dan ikut bersemayam bersama dengan azimat wayang durga,” ucapnya.
Aku memang pernah mendengar cerita manusia yang tetap hidup walau Sebagian sukmanya di tahan.
Namun untuk memisahkan salah satunya atas kemauan sendiri? selama ini aku menganggapnya sebuah kebodohan.
“Memisahkan sukma? berarti.. ki tidak bisa hidup seperti manusia pada umumnya kan?” ucap Paklek.
“Saya gegabah, tanpa sukma cahaya saya menjadi manusia yang biadab dan membuat banyak masalah. Bahkan aku bertanggung jawab atas kematian Nyai Lindri”
Sepertinya kami bisa mengerti maksud Ki Joyo Talun.
Sosok ayah Sena yang dikagumi Sena itu ternyata berubah drastis karena telah kehilangan sukmanya yang saat ini sedang mengisi tubuh Sena.
“Sudah Ki, penyesalan tidak akan menghasilkan apapun.. saya tahu Ki Joyo Talun memiliki maksud yang penting kan saat ini?” tanya Paklek.
“Benar,” jawabnya.
Ki Joyo Talun berlari keluar ke arah pelataran yang telah hancur oleh pertarungan tadi. Setelah menunggu beberapa lama ia kembali dengan membawa sebuah keris aneh dengan panjang menyerupai sebuah pedang.
Ia memilih beberapa barang dan membawanya dalam sebuah tas kain.
“Saya harus menghentikan demit-demit itu,” ucapnya sambil bergegas meninggalkan tempat ini.
Belum sempat meninggalkan padepokan, Mbah Jiwo bersiap menghadang Ki Joyo Talun yang merasuki tubuh Sena itu.
“Apapun rencana panjenengan, itu tidak akan cukup,” ucap Mbah Jiwo.
“Ini adalah tanggung jawab seluruh keturunanku,” ucapnya.
“Memangnya Ki Joyo Talun tahu keberadaan makhluk-makhluk itu?” tanya Mbah Jiwo.
“Ada satu tempat yang mampu menghubungkan sisa-sisa keberadaan di masa lalu hingga saat ini. Tempat kami mencari pencerahan yang kami butuhkan.. Langgar Watubumi,” ucapnya.
Aku mengingat jelas tempat itu. Itu adalah tempat Cahyo bertemu dengan sosok kera aneh yang katanya berasal dari masa lalu. Giridaru.
“Walau begitu, kami tidak akan membiarkan Ki Joyo Talun pergi seorang diri,” ucap Mbah Jiwo.
“Terserah apa yang kalian rencanakan, namun aku akan tetap ke sana. Walau hanya beberapa detik akan kutahan kekuatan Azimat Wayang Durga itu” ucapnya.
Saat itu juga Cahyo meninggalkan tempatnya, ia segera berlari dan ikut menghadang Ki Joyo Talun.
“kami tidak bisa membiarkan satu nyawa hilang dengan sia-sia, setelah kami pulih kami berjanji akan membantu Ki Joyo Talun," tahan Cahyo.
Ki Joyo Talun seolah tidak beniat mendengarkan perkataan Cahyo. ia mengeluarkan keris bersar itu dari sarungnya dan menancapkanya ke tanah.
Hanya dengan sebuah gerakan sederhana itu Cahyo dan Mbah Jiwo terpental dengan hembusan angin yang disebabkan oleh keris itu.
“Ki! Jangan! Kau juga mempertaruhkan tubuh Sena!” teriakku yang mencoba menyusulnya namun segera tertahan dengan cengkraman Pak Waja.
Ki Joyo Talunpun menatap sebentar tubuh anaknya yang ia rasuki itu, sayangnya ia tidak berubah pikiran. Ia segera berlari dengan cepat menuju arah sebuah hutan. Aku tahu bahwa itu adalah arah ke Langgar Watubumi.
“Tidak usah dikejar,” perintah Paklek.
“Tapi Paklek?!” bantah Cahyo.
“Dia tidak akan mengubah keputusanya. bila kita memaksa, itu akan menambah kerugian di pihak kita.”
Benar ucapan Paklek, bila kami memaksa menahan Ki Joyo Talun, luka kami akan semakin bertambah. Kami tidak boleh membuat langkah gegabah lagi.
Setelah kepergian Ki Joyo Talun Paklek dan Pak Waja berusaha memulihkan kami. Dirga dan Jagad mendengar cerita-cerita pertarungan tadi dari mas tono dan anggota padepokan Sena.
Sebenarnya mereka anggota padepokan Sena bingung harus berbuat apa dengan Sena yang dirasuki Ki Joyo Talun. Namun mereka yang bahkan sudah sulit untuk berdiri tidak mungkin menahan Sena.

***
Part 7 - Diatas Bumi di Bawah Langit

Angin berhembus begitu kencang di tempat ini. Pemandangan di sekitar bukit ini hanyalah permadani hijau dari pemandangan hutan-hutan di sekitarnya.
Bukit batu.. aku meliihat kuburan bapak berada di hadapanku saat ini.
“Coba kamu bayangkan, apa yang akan ayahmu bila ia yang harus dihadapkan dengan kejadian itu”
Terdengar suara yang sudah lama tidak kudengar.
“Mbah Buto Lireng?” tanyaku mencari asal suara itu.
Tak lama setelahnya terlihat bayangan sosok raksasa yang sangat besar. Sosoknya lebih besar dari Buto Lireng saat terakhir kali kutemui. Ia benar-benar sebesar bukit ini.
“Bapak pasti bisa menjalankan tugas ini lebih baik, bahkan ia bisa menyelamatkan orang-orang walaupun dengan membawa penyakitnya,” ucapku sambil mengagumi betapa hebatnya sosok bapak saat itu.
“Sehebat-hebatnya Bisma adalah mendidik anak sehebat dirimu.
Itulah kehebatan terbesar seorang Bisma Sambara dibanding dengan semua ilmu lain yang ia miliki.” Ucap Buto Lireng.
Aku Senang mendengar ucapan Buto Lireng, namun entah mengapa aku malah ingin menitikan air mata saat mendengarnya.
Di sini, di bukit batu inilah tempat dimana aku benar-benar mengagumi kehebatan bapak. Bukan karena ilmunya yang tinggi, namun keteguhanya menghadapi segala masalah dan perasaan tulusnya yang bahkan bisa membuat Buto Lireng yang dulu merupakan musuhnya bisa menjadi sahabatnya.
“Aku inget Mbah, walau sudah kalah berkali-kali, tanpa pusaka, dan bahkan dengan membawa penyakitnya, bapak tetap bisa mengalahkan Ki Jaruk dalang demit itu,” ucapku.
Buto Lirengpun duduk bersila sambil menatapku dengan wajah yang sepertinya mulai membatu itu.
“Menurutmu, apa yang bisa membuat ayahmu sampai berhasil walau dengan segala kekuranganya itu?” tanya Buto Lireng.
Ilmu? Strategi? Bantuan? Itu memang benar. Tapi bukan itu yang menentukan kemenangan Bapak, pikirku.
“Memang tidak masuk di logika mbah. kalau tanpa ijin dari Yang Maha Kuasa, semua yang dimiliki Bapak tidak akan cukup untuk mengalahkan Ki Jaruk,” jawabku.

“Nah, sekarang kamu sudah sadar kan kenapa Bisma yakin akan tetap menang saat itu?” tanya Buto Lireng.
Aku mengkaji ucapanku sendiri. Benar, bila Tuhan sudah berkehendak.. kami pasti akan mengakhiri bencana ini. sekuat apapun musuh kami, pasti selalu ada jalan untuk mengakhirinya.
“Hitung setiap usaha dan semua hal yang telah kamu lakukan hingga terpilih untuk menghadapi bencana ini, jawaban permasalahanmu ada di situ,” ucap Buto Lireng yang segera menutup kembali matanya yang terlihat sebesar pohon beringin saat itu.
Saat mata itu tertutup saat itu aku merasa mataku terbuka dan melihat Paklek berada di hadapanku.
“Paklek?” tanyaku heran.

Pak Waja melepas kompres di dahiku dan mengecek suhu tubuhku.

“Panasnya sudah turun Paklek, luka-lukanya mulai pulih,” terang Pak Waja.
“Bagus, sekarang tinggal si panjul..” ucap Paklek yang segera meninggalkanku dan menuju ke Cahyo yang sedang terbaring.
Kondisi Cahyo sama denganku, ia di kompres dengan beberapa luka yang masih harus diperban bahkan setelah Paklek dan Pak Waja yang mencoba memulihkan mereka dengan ilmunya.

“Cahyo?! Cahyo kenapa Paklek?” tanyaku panik.
Sayangnya saat aku hendak berdiri, Pak Waja menahanku.
“Tenang Mas Danan, Ini hanya reaksi tubuh kalian karena menerima luka sebanyak ini.” Jelas Pak Waja.

Cahyo terlihat tidak tenang. Nafasnya bertambah cepat dan semakin cepat sampai tiba-tiba ia terduduk dan terbangun dengan wajah panik.

“Kliwon!”
Cahyo berteriak memanggil nama kecil temanya itu dengan panik.

“Tenang dulu, tarik nafas dulu,” ucap Paklek.

“Kliwon menuju ke sini Paklek! Beri dia petunjuk ke arah tempat ini!” pinta Cahyo.
Mendengar ucapan itu aku teringat mimpiku barusan. Sepertinya aku dan Cahyo diberi petunjuk lewat mimpi oleh mereka.
“Tenang mas, itu hanya mimpi.. tenangkan diri dulu,” ucap Pak Waja.

“Nggak Pak, itu bukan mimpi. Pertarungan ini bukan hanya pertarungan kita lagi.
ini sudah menjadi pertarungan mereka yang ingin menjaga Jaman ini..” ucapku.
Paklek dan Pak Waja menatapku dengan heran, namun dari mimpi itu aku melihat kemantapan di mata Cahyo. Sama sepertiku saat ini.
“Langgar Watubumi itu tempat kita bertemu dengan Giridaru kan Danan?” ucap Cahyo yang bersiap mengenakan sarungnya.

Aku mengangguk sambil mengambil tas selempangku dan mengenakan sepatuku.

"Kalian mau kemana?" Tanya Mas Jagad.
“Tidak ada lagi tempat yang membuat kami tenang saat ini selain medan pertempuran,” ucapku sambil menatap ke arah langit yang berada di darah Langgar Watubumi.
Sekumpulan awan hitam berkumpul di sana, di tempat sekumpulan candi-candi kecil yang berdiri di tengah hutan.
“Mas, I—itu?! Itu Naga?” tanya Dirga panik melihat sosok ular besar berkaki turun dari arah awan hitam itu.
Bentuk naga itu persis seperti yang tergambarkan di relief-relief candi dan cerita-cerita jawa jaman dulu.
Ada makhota di kepalanya yang menggambarkan naga itu memiliki tingkatan yang tidak sembarangan.
Sepertinya makhluk-makhluk itu berhasil memulihkan Azimat Wayang Durga itu.
Kini tidak ada lagi pertanyaan dari semua orang yang berada di padepokan.
Memang belum semuanya pulih, tapi kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi sampai azimat itu memanggil sosok yang tidak masuk akal.

Kami menaiki mobil Mas Jagad dan motor untuk mencapai hutan di dekat langgar watubumi.
Ada sebuah jalur besar disana yang seperti dibuat dengan ilmu tebasan yang tidak sembarangan.
“Jalur ini baru kan nan?” Tanya Cahyo.
“Iya, apa mungkin ini buatan Ki Joyo Talun?” balasku.
“Mungkin saja.. tapi dengan ini kita bisa sampai lebih cepat ke langgar watubumi,” balas Cahyo.
Paklek dan yang lain tidak banyak berkata apa-apa dan mengikuti kami.
Sepanjang kami berlari kami mendengar lagi suara gemuruh petir berwarna merah.
Ada dua kilatan petir yang muncul bersamaan. Bersamaan dengan itu terdengar suara raungan sepasang makhluk buas dari arah sana.

“Suara ini?!” tanya Dirga.

“Songgokolo, dan Gondokolo” gumam Mas Jagad.
Ia tidak mungkin melupakan suara itu.
Suara makhluk yang ia kembalikan ke alam baka setelah menghancurkan kedua katalisnya Keris Benggolo ireng dan keris benggolo abang.

Dengan rasa cemas, kami mempercepat langkah kami. Sekali lagi terdengar suara gemuruh mendekat seolah memanggil suatu sosok.
Namun kali itu gemuruh itu berhenti, sepertinya ada sesuatu yang menghalangi hal itu.
Benar saja, tepat saat kami mendekat, terdengar suara pertarungan dan kobaran api dari tempat itu.
kami menyibakkan semak hutan yang menutupi jarak pandang kami sampai akhirnya kami tiba yang dulu pernah kami datangi.
Tidak.. ini tidak lagi sama.

Candi-candi sisa reruntuhan yang dulu kami lihat kini hancur lebur tak berbentuk.
Aliran sungai yang dulu kami lihat begitu jernih kini berubah menjadi merah berkat darah dari sekumpulan jasad manusia tanpa kulit yang berada di pangkal sungai itu.
“Setan-Setan brengsek!” Umpat Cahyo.
Aku berusaha menahan emosinya dan memperhatikan kondisi sekitar terlebih dahulu. Tak hanya jasad manusia, sisa-sisa tubuh demit alas dan organ tubuh raksasa juga bergelimpangan di tempat ini. Tidak sulit bagi kami untuk mengetahui apa penyebapnya.
Gelombang tebasan benda yang menyerupai pisau raksasa membantai demit-demit yang muncul dari kibasan Azimat wayang Durga.

Itu adalah kemampuan keris seukuran pedang yang digunakan oleh Ki Joyo Talun dengan menggunakan tubuh Sena.
Aku merasa malam mengerikan kemarin baru saja terlewat, namun saat ini langit kembali telah memerah. semerah aliran sungai di langgar watubumi yang telah dipenuhi oleh darah.

Paklek, Pak Waja,dan yang lainya masing-masing juga membaca doa sebelum memasuki medan pertempuran ini.
Kami sudah berserah kepada Yang Maha Kuasa atas hasil dari pertarungan ini. Yang dapat kami pastikan, kami akan berusaha hingga tetes darah terakhir kami untuk menghentikan bencana ini.
Demit-demit itupun menyadari kedatangan kami. Berbagai sosok demit yang pernah kami kalahkan muncul juga di hadapan kami.
“Mereka yang membuat kita tersiksa lagi,” ucap Songgokolo pada adiknya.
“Sebelum memulai tugas kita, membunuh mereka adalah sebuah keharusan,” tambah Gondokolo.
Kedua iblis yang dulu menghuni keris kembar itu bersiap menerjang, namun beberapa buah bola api malah lebih dulu menyerang ke arah kami.
Aku berjalan kaki dengan tenang sembari membaca mantra yang diturunkan oleh leluhur dengan keris di genggamanku.

Jagad lelembut boten duwe wujud..
Tepat saat bola api itu menyerang, Pak Waja yang merubah wujudnya menjadi bola api sudah mendahuluiku dan menerjang bola api itu hingga menimbulkan ledakan di langit di atas kami.

Kulo nimbali…
Songgokolo dan Gondokolo menerjang dengan cepat hingga langkah kakinya menyisakan api di tanah. Namun sekali lagi, sebelum seranganya mencapaiku dan Cahyo, Dirga dan mas Jagad sudah berlari mendahului kami.
“Empat wujud Keris Dasasukma!” Dirga berteriak memecah kerisnya menjadi empat wujud. Satu tergenggam di tanganya, satunya melayang ke tangan mas Jagad, dan kedua sisanya melayang menyerang setan kembar itu.
“Mereka urusan kami Danan!” ucap Mas Jagad.
Surga loka surga khayangan..

Nyai Wijul demit nenek kerdil dan kakek yang menggendongnyapun menghampiri kami. Ada mantra yang dibacakan dari mulutnya, namun sebuah tombak melayang ke arahnya dan kembali ke tangan Panji.
“Dia demit yang hampir mencelakai Rizal cucuku di kantorku kan Danan?” Tanya Mbah Widjan.
“Biar aku eyangnya dan Panji adiknya yang membalasnya.”

Ketuh mulih sampun nampani..
Segerombolan anggota Padepokan Ronggo Mayit bersama pemuda bertopeng hitam itu bersiap menyerang Cahyo, namun kali ini serangan mereka tertahan dengan sekelompok murid Mbah Widjan.
“Jogorawu!!” teriak pemuda bertopeng itu sembari mengibaskan wayang yang sebelumnya ia ikat di punggungnya.

Seekor sosok kera hitam raksasa muncul mencoba menghadang Cahyo, namun Mbah Jiwo sudah ada di hadapanya dengan melempar sebuah bolah hitam.
Serangan Jogorawu tertahan oleh kekuatan besar dari sosok makhluk besar bertubuh hitam berwajah kerbau. Ki Maesa Ombo..

“Cahyo! Jangan kabur! Aku lawanmu!” teriak pemuda bertopeng itu.
“Dendamu itu urusanmu, masalah remehmu bukan yang terpenting saat ini,” ucap Cahyo sambil terus berjalan bersamaku
Ia mencoba mengejar Cahyo, namun Paklek menahan seranganya dan menghempaskan cukup jauh dari arah Cahyo.
“Pergi! dia harus ngerasain sandal Paklek biar sadar akan tingkahnya,” perintah Paklek pada kami.
Aku ingin tertawa, namun kali ini situasinya benar-benar tidak memungkinkan. Masih ada tiga sosok mengerikan yang ada di hadapan kami.

Dewi ular purba..
Ki Ronggo Gupolo yang sedang mengendalikan Azimat Wayang Durga..
Dan sosok Naga hitam besar bermahkota yang baru saja dipanggil oleh meraka.
Tekan asa tekan sedanten…
Hujan deras turun bersamaan dengan kibasan ekor dewi ular purba yang mengarah kepada kami, namun serangan itu tertahan hanya dengan lirikan Nyi Sendang Rangu yang tiba-tiba berada di hadapan kami. Hanya hembusan angin yang tersisa dari kibasan ular itu.
“Aku tidak pernah mengerti, kenapa laki-laki tidak tahan menunggu sebentar saja," ucapnya sambil menatapku dan Cahyo.
Dua ekor besar yang berasal dari dewi ular purba dan naga hitam itu bersiap melenyenyapkan kami.
Namun sebelum kami bersiap, Nyi Sendang Rangu tersenyum dan menahan kami berdua.

Ekor ular itu terpental hanya dengan sosok seekor kera kecil berubah menjadi wujud rohnya sang panglima kera alas wanamarta.

“Kliwon!” ucap Cahyo tersenyum.
Satu lagi ekor naga hitam menerjang kami dari langit. Ekor naga itu semakin besar dan semakin besar tapi sekali lagi ketika akan mendekati kami Nyi Sendang Rangu mengibaskan selendangnya dan serangan itu tertahan oleh sosok yang sangat besar.
Aku tersenyum, itu adalah sosok raksasa penguasa bukit batu.

“Mbah Buto Lireng!” teriakku.

Ia menoleh seolah memberi salam padaku.
“Jangan berlebihan, mantramu masih belum selesai!” ucap Buto Lireng mengingatkanku.
Benar, masih ada beberapa bait lagi. saat aku akan meneruskan, tiba-tiba gempa besar melanda sekitar kami. Dari beberapa tempat terlihat angin topan menjalar ke arah kota.
Kami bingung dengan apa yang terjadi. Berbagai ilmu, ledakan, kabut hitam, dan api terlihat di sekitar kami. Belum pernah aku melihat pertarungan seperti ini sebelumnya


“Lanjutkan pertarungan kalian bila ingin benar-benar menghancurkan tanah ini!”
Terdengar suara sosok wanita yang berwibawa dari cahaya hijau yang muncul dari arah selatan.

“Letusanku mampu menghancurkan pulau ini, apa kalian mau mendahuluinya?”

Kali ini suara sosok cahaya merah terdengar dari arah barat.
“Hutanku sudah mampu menghilangkan peradaban, apa itu yang ingin kalian ulangi saat ini?”
Suara itu terdengar seperti suara hewan buas dari cahaya hitam di arah timur.

“Kalau kalian teruskan, energi sebesar ini bisa mempengaruhi alam, jangan bodoh”
Suara perempuan dari utara terdengar seolah memperingati kami.
Aku menatap Cahyo, itu adalah suara-suara sosok besar yang menjaga keseimbangan di tanah Jawa ini. Sepertinya Nyi Sendang Rangu juga menghargai keberadaan mereka.
“Tidak mungkin mengakhiri ini tanpa bertarung, dan tidak ada tempat yang mampu menahan energi sebesar ini,” ucap Nyi Sendang Rangu.
Raut wajah Cahyo seolah mendapatkan suatu pemikiran.

“Ada..” jawabnya ragu sambil menatapku.
Aku mencoba membaca arti tatapanya. memang aku memikirkan suatu tempat, tapi itu sangat beresiko. Mungkin itu juga yang dipikirkan oleh Cahyo.

“Dimana?”tanya Nyi Sendang Rangu.

Kami harus mempertaruhkan hal ini, setidaknya itu satu-satunya yang dapat kami pikirkan saat ini.
“Jagad Segoro Demit..” jawabku bersamaan dengan Cahyo.
Wajah Nyi Sendang Rangu berubah semakin serius menanggapi ucapan kammi. Sepertinya ia menerima pendapat kami walau sebenarnya inipun pilihan beresiko.
Jagad segoro demit memiliki kesadaranya sendiri. Ia tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Semakin lama berada di sana, kesadaran manusia bisa diambil alih oleh alam itu.
“Kekuatanku cukup untuk menoreh goresan yang mengarah ke dimensi itu, tapi harus ada kunci yang menghubungkan ke sana” ucap Nyi Sendang Rangu.
Mendengar ucapan itu, kliwon yang sudah mengambil wujud Wanasudra melompat ke arah kami dan menjatuhkan sebuah pisau batu pusaka bertuliskan aksara kuno.
“Ini pusaka mas linus..” ucap Cahyo sembari menyerahkanya kepada Nyi Sendang Rangu.
“Dulu benda itu yang mengeluarkanku dan kliwon dari Jagad segoro demit”
“Harus ada yang menarik semua makhluk di tempat ini,” tambah Nyi Sendang Rangu.
Terdengar dari arah belakang kami, Gondokolo terpental oleh serangan Jagad.
Dengan secepat mungkin Jagad datang menghampiri kami.
“Ayo kita pindahkan nyi, kemampuan pusakaku bisa memindahkan semua makhluk ini selama ada yang menjaga terbukanya gerbang itu,” jelas Jagad.
Sebuah pemandangan yang tidak terdugapun terjadi. Sebuah gerbang menuju alam terkutuk yang dulu sekuat tenaga ingin kami tutup kini justru kami harapkan sebaliknya.
Retakan gerbang dimensi terbuka di atas kami. Bukan retakan yang besar, namun energi yang besar muncul dari sana. Aku melihat ada beberapa sosok makhluk mencoba mendobrak keluar dari gerbang itu, namun Nyi Sendang Rangu menahan dengan kemampuanya.
Mas Jagad hanya berdiri di bawah gerbang itu dengan menggenggam pusaka pisau batu itu. Ia mengenakan sebuah gelang emas yang bentuknya mirip pusaka kerajaan. Seketika gelombang dimensi yang tak beraturan tenang oleh ilmu mas Jagad.
Aku sadar ada perubahan dari permukaan tanah seolah ada energi yang berasal dari mas Jagad menyebar ke tanah ini dalam radius besar.
“Pengaruh kesadaran alam ini begitu besar, selesaikan dengan cepat!” Teriak Mas Jagad sambil menusukkan pisau itu ke tanah tempat ia menebarkan energinya.

***
Pohon-pohon mati, padang tanpa hembusan angin, udara yang dingin dan ketakutan yang terus menghantui..
Tidak salah lagi, ini adalah Alam Jagad Segoro demit.
Suara pertarungan seketika berpindah ke tempat ini. Ki Ronggo Gupolopun merasa kaget dengan perubahan ini.
“Ternyata ini rencana busuk kalian” ucap dalang demit itu.
Ia yang kesal kembali merubah dirinya menggunakan wayang Rahwana dan memukul Ki Joyo Talun hingga terpental ke arah kami.
Ki Ronggo Gupolo menancapkan Azimat wayang durga di tanah. Tanpa dikendalikan oleh Dalang demit itu, Azimat itupun menarik setiap sosok demit di alam ini.
“Tempat apa ini?” Tanya Ki Joyo Talun.
“Tempat terbaik untuk kita mengamuk!” ucap Cahyo.
Kali ini ia mengikatkan sarungnya di pinggang dan menepuk dadanya berkali-kali.
“Wanasura! Keluar!”
Cahyo berteriak memerintah sosok kera itu keluar dari tubuhnya. Seketika sosok kera raksasa muncul di hadapan kami.
Kliwon menyambut kehadiran wujud saudara kembarnya itu dan mengaum sekeras-kerasnya menyatakan kekuatanya.
Cahyo menaiki Wanasura dan membantu kliwon menghadapi dewi ular purba.
Kali ini serangan mereka bersahutan hingga ular besar yang sebelumnya sulit untuk dilukai kini mulai merasa gentar.
Kini adalah giliranku. Aku memasuki alam pikiranku mencoba mengingat setiap kata yang pernah diucapkan oleh Eyang Widarpa saat menolongku melawan brakaraswana.
Sambungke rong alam kasebut
Rina malam dadi siji
Raga lan jiwo iso nyawiji..

Saat itu seketika aku merasakan sekitarku menjadi hening dan gelap. Aku menatap ke arah sekitarku dan perlahan terdengar suara tawa dari seorang kakek tua dari sekeliling tempat ini.
Aku ingat sekali suara itu, suara tawa yang datang saat nyawaku dalam bahaya.
Di hadapanku, ada sosok seorang kakek tua yang seharusnya tidak ada di tempat ini. Ia terus tertawa terkekeh melihatku.

“Eyang? Kenapa eyang masih ada di sini?” tanyaku.
Seketika tawanya terhenti dan menghampiriku dengan tatapan kesal.
“Nek kowe arep mati ojo nyusahke uwong, dasar bocah asu” (Kalau kamu mau mati, nyusahin orang, dasar bocah asu)
Aku tersenyum mendengar umpatanya, namun mengapa air mata ini malah ingin menetes.
Bersamaan dengan kemunculanya, rambutku memanjang dan memutih, taring muncul dari mulutku. Kuku di tanganku memanjang dan menjadikanya sebagai cakar. Seketika kekuatan besar mengalir ke arahku.
Alam hitam yang menyelimutiku menghilang bersama sosok eyang widarpa yang menyatu bersamaku.
“Danan?! Tidak mungkin? Itu eyang widarpa?” Tanya Cahyo heran.
“Nggak Danan, itu pasti bukan eyang” tambah Paklek.
Aku menatap seluruh tubuhku. Ini persis saat aku melawan brakaraswana dulu. Tapi…
“Tidak usah bingung..” Ucap Nyi Sendang Rangu.
“Itu adalah peninggalan Widarpa.. saat ia masih hidup, kisah hidupnya membuat sosok jin di sekitarnya kagum.
Banyak dari mereka ingin mengamalkan ilmunya hingga mengambil sosok widarpa. Dan yang kamu temui barusan adalah salah satunya,” jelas Nyi Sendang Rangu.
Kini aku mengerti. Sosok tadi adalah Jin yang mengingat semua ingatan dan ilmu eyang widarpa.
Yah.. tidak mungkin Eyang kembali, akupun tidak rela itu terjadi bila Eyang sudah nyaman di sana.
Dan untuk makhluk apapun yang mengambil wujud dan ilmu eyang ini…
“Eyang jin, bantu aku selesaikan ini” ucapku.
“Sopo sing mbok sebut eyang jin bocah asu!” (Siapa yang kamu panggil eyang jin bocah Asu) balasnya dengan suara yang berasal dari mulutku juga.
Akupun sedikit tersenyum, bahkan cara bicaranyapun benar-benar sama.
Ki Ronggo Gupolo menggunakan menghantamkan pukulanya ke arahku, namun kali ini aku dengan mudah menghindarinya dan menusukkuan kerisku ke punggungya.
Ia terluka, namun aku tahu luka itu akan segera menutup sehingga aku mengayunkan cakaran untuk melukainya lebih lagi.
Ki Ronggo Gupolo tidak ingin diam, ia merasa perlawanan kami membahayakan dirinya. Ia menendangku sekuat tenaga, namun kali ini aku bisa menahanya walau sedikit terseret.
“Nyi Sendang Rangu! Kenapa malah santai-santai di pundak Buto Lireng,” ucap Cahyo mencoba menyenggol Nyi Sendang Rangu.
“Bocah berisik, kalau aku ikut bertarung kesadaran kalian akan segera diambil oleh alam ini, lagipula aku sudah tidak lama bertemu dengan Raksasa bukit batu yang tampan ini” ucapnya sambil tersenyum ke arah Buto Lireng.
Buto Lireng membalas senyumnya sekaligus menahan serangan api dari mulut siluman naga itu.
“Bisa-bisanya kamu menggodaku di saat seperti ini,” ucap Buto Lireng yang dibalas senyum sipu Nyi Sendang Rangu.
“Batara Naga Udyorekso, tidak mungkin kau dikalahkan oleh raksasa tua itu kan?” ledek Ki Ronggo Gupolo sambil terus melawanku.
Merasa terpancing dengan ucapan Ki Ronggo Gupolo,
sosok yang dipanggil dengan sebutan Batara Nogo itu membakar tubuhnya dengan api hitam dan menerjang Buto Lireng hingga tubuhnya terjatuh.
“Jaga bicaramu dalang brengsek,” ucap sosok naga itu menggema di pertarungan.
“Hahahah… waktu kita tidak banyak, biar kubantu untuk menghabisi mereka semua,” balas Dalang demit itu yang meninggalkan pertarungan dan menaiki tubuh Batara Nogo.
Ki Ronggo mencabut beberapa benda dari ikat pinggangnya. Sebuah batu akik besar ia tempelkan di punggung batara nogo.
“Pusaka padang Kurusetra..?” ucap Batara Nogo menyadari kekuatan dari batu itu.
“Seluruh makhluk di tempat ini dalam kuasamu, selesaikan semua dan kita bangkitkan seluruh pasukan kita…” ucap Ki Ronggo Gupolo.
Cahaya hitam menyelimuti tubuh naga itu dan membuatnya berubah menjadi sosok raksasa bersisik naga dengan pakaian layaknya seorang raja.
Ki Ronggo Gupolo tetap berdiri di bahyu Batara Naga dan mengarahkanya untuk menyerang Buto Lireng.
Pertempuran dua raksasa besar tidak dapat terelakkan, bahkan ukuran kami hanya setinggi mata kaki mereka.
Berbeda dengan tadi, kali ini Batara Naga dapat dengan mudah menjatuhkan Buto Lireng. Ia melompat dan menginjakkan kakinya ke tubuh Buto Lireng hingga matanya terbelakak menahan serangan itu.
Tak puas dengan seranganya, Dalang demit itu melemparkan sebuah benda lagi dari ikat pinggangnya dan berubah menjadi tombak tajam besar yang digenggam oleh Batara Naga
“Ini akibatnya kalau menentang kami,” ucap Batara Naga bersiap menghabisi Buto Lireng.
Aku tidak tingal diam begitu saja, sebuah mantra telah kubacakan pada Keris Ragasukma yang membuatnya disinari dengan cahaya kilatan putih.

Dengan cepat aku menangkis serangan tombak raksasa itu dan membuat lenganya terpental.

"Bangun Mbah, kita hadapi bersama," ucapku.
Buto Lireng mencoba menahan sakitnya dan berdiri.

“Jangan lengah, sepertinya makhluk ini yang terkuat diantara mereka,” ucap Buto Lireng.

Batara Naga kembali mencoba menyerang Buto Lireng , tapi kali ini Buto Lireng bisa menahanya walau dengan susah payah.
Akupun berusaha melompat setinggi-tingginya menaiki tubuh Batara Naga.
Dengan sigap aku menghunuskan kerisku lagi ke tubuh Ki Ronggo Gupolo, namun ia berhasil menahan seranganku dengan kerisnya.
Kami bertarung di atas tubuh batara nogo, sesekali aku mencoba menusukkan kerisku ke tubuh sisik naga ini tapi selalu gagal. Sisik ini sangat keras, bahkan dengan wujudku saat inipun aku tak mampu menembusnya.
“Kamu tidak pantas menodai tubuh Batara Naga,” ucap Ki Ronggo Gupolo yang seketika berada di depan dan belakangku secara bersamaan.

Aku mencoba menyerang sosok yang berada di belakangku, namun sosok itu menghilang dan seketikan sebuah keris menancap di punggung bahuku.
Aku tidak berhenti sampai di situ. Kini aku menahan tangan yang menyerangku dan menusukkan Keris Ragasukma tepat pada lehernya.
“K—kkkurang ajar!” ucapnya kesal mencoba berbicara dengan kerisku yang menancap di tenggorokanya.
Aku tidak mencabut Keris Ragasukma dan membiarkanya terus menancap di sana. Dengan tanganku yang menyerupai cakar aku mencabik-cabik tubuh Ki Ronggo Gupolo danging demi danging hingga tidak ada organ yang tersisa di tubuhnya.
Aku tidak yakin itu akan menghabisinya namun setidaknya itu memberiku waktu.
Saat Ki Ronggo Gupolo tak berdaya aku memisahkan ragaku dan melayangkan sukmaku ke arah mata batara nogo dan menancapkan wujud ghaib Keris Ragasukma.
Nyi Sendang Rangu yang sadar dengan strategiku menangkap tubuhku yang terjatuh.
Sewu geni sukmo langit, pati geni samber nyowo
Aku mengucapkan sebuah mantra yang terdapat dari ingatan di dari wujud ini.
Seketika kedua kerisku yang menancap di mata Batara Naga dan leher Ki Ronggo Gupolo meledak dengan api yang sangat besar membakar rongga mata hingga tulang-tulang Ki Ronggo Gupolo.
“Arrrggh! Bocah brengsek!” Teriak Batara Naga yang setengah matanya terbakar oleh api itu.
“Tidak buruk bocah,” ucap Buto Lireng sambil menghantamkan pukulan pada Batara Naga hingga kehilangan keseimbangan.
“Hebat! Tinjumu yang terkuat Mbah Buto Lireng!” Teriakku yang mendadak teringat saat Buto Lireng menolongku dari wayang buto yang menyerangku saat kecil.
“Hahaha… ini belum seberapa, apa kamu ingat ini bocah?”
Buto Lireng membacakan sebuah mantra pada kepalan tanganya. Aku ingat gerakan itu, gerakan sama yang kupelajari dari bapak.
“Eyang! Jangan bilang??!!”
“Hahaha… Bukan kamu saja yang mempelajari ilmu dari Bisma!” ucap Buto Lireng seolah ingin memamerkan seranganya itu. Akupun tidak mau kalah dan membacakan mantra serupa pada genggaman tanganku.
Tepat saat Batara Naga hendak kembali berdiri dan Ki Ronggo Gupolo mulai pulih, kami melancarkan serangan itu.
Ajian Lebur saketi, sebuah pukulan jarak jauh dalam wujud terkuat yang pernah ada kini dilontarkan oleh Buto Lireng ke tubuh Batara Naga dan membuatnya terpental.
Serangan itu bersamaan dengan mendaratnya seranganku di tubuh Ki Ronggo Gupolo.
Darah hitam bermuncratan bagai hujan dari mulut Batara Naga dan Ki Ronggo Gupolo.
“Naga Tua! Sudah cukup! Tolong aku.. hentikan mereka!” ucap Ki Ronggo Gupolo yang mulai kewalahan.
Aku terus menghajarnya berkali-kali, ini adalah gerakan eyang widarpa yang selalu ia gunakan untuk membantai demit alas. Tidak kuberikan sedikitpun kesempatan untuk tubuhnya beregenerasi.
Wanasura dan Wanasudra terlihat mengamuk, ia menjadikan dewi ular purba itu sebagai bulan-bulanan. Ada yang aneh dengan kedua tubuh kera raksasa itu, seluruh tubuh mereka dipenuhi perhiasan seorang panglima.
“Cahyo! Itu pusaka mereka?” Tanyaku.
Cahyo yang menaiki tubuh Wanasura tertawa mendengar pertanyaanku.
“Heh! Bukan kamu saja yang punya jurus rahasia.. di alam ini mereka bisa menarik pusaka dari jamanya,” teriak Cahyo bangga.
Aku melihat Cahyo sudah menguasai medan tempur. Wanasudra menahan leher ular itu dengan tubuhnya yang membesar dengan pengaruh pusakanya.
Cahyo melompat dari tubuh Wanasura, mengambil sarungnya dan menutup wajah sosok dewi berselendang hitam yang tubuhnya menyatu dengan kepala ular itu.
Ajian penguat raga telah dibacakan di tubuh Wanasura sehingga sebuah serangan besar dilancarkan sekuat tenaga ke tubuh dewi itu.
Sekali lagi pemandangan mengerikan terjadi.
Wanasura dengan buasnya memisahkan tubuh ular dan tubuh ularnya hingga darah kembali membanjiri tanah di tempat ini.
“Naga tua brengsek! Jangan bilang kau kalah hanya dengan serangan remeh itu!” Protes Ki Ronggo Gupolo.
Namun kenyataanya serangan Buto Lireng memang terus memberondong Batara Naga.

Batara Naga berusaha menghindar dan terbang ke arahku. Ia mendekat ke arah Ki Ronggo Gupolo.

“Bagus, singkirkan manusia itu.. kita habisi mereka!” ucap Ki Ronggo Gupolo.
Batara Nagapun mengangkat tubuh Ki Ronggo Gupolo. Tapi…

Tapi bukan menolongnya, ia malah memakan tubuh Ki Ronggo Gupolo dan mengunyahnya seperti makanan kecil.

“Apa ini? Lepaskan aku naga brengsek!” ucap Dalang demit itu.

“Sudah! Aarrrhhggh!! Maafkan aku!!”
Batara Naga tidak peduli, ia tetap mengunyah tubuh Ki Ronggo Gupolo hingga habis dan menelanya.

Sungguh menjijikkan, akupun segera berlari mundur menjauh dari dirinya. Ada yang aneh, di tubuh Batara Naga muncul motif aneh yang menghiasi sisiknya.
Ada kekuatan besar yang menyelimutinya.

“Mundur Danan!” teriak Buto Lireng.

Akupun menurut, namun Batara Naga terlalu cepat, seketika pukulanya mendekat mencoba melumatku. Beruntung Buto Lireng berhasil menabraknya dan membuat pukulan Batara Naga meleset.
Sayangnya di tangan satunya sudah terdapat kabut hitam yang membungkus tanganya. Dengan sigab Batara Naga mengarahkan lenganya itu dan menembus perut Buto Lireng.

“M--Mbah!” Teriakku panik.

Sebuah lubang besar terbentuk di tubuh Buto Lireng dan membuatnya terkapar di tanah.
“Mbaaahhhh!”

Batara Naga melompat menuju Cahyo, dengan mudah Wanasura dan Wanasudra dihempaskan begitu saja.

Ia mengambil tubuh dewi ular itu dan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Ki Ronggo Gupolo. Melumatnya hingga habis.
Aku merasakan kekuatan besar semakin mengalir dari tubuh Batara Naga. Kali ini muncul satu buah mata di dahinya. Entah bagaimana kami harus melawan sosok sekuat itu.

***
Mas Jagad terlihat kesulitan melawan Gondokolo dengan sebagian tenaganya yang terkuras karena memindahkan kami.
“Mas Jagad, Mundur!!” teriak Dirga yang sadar pertarunganya sama sekali tidak seimbang.
Sayangnya, Gondokolo sudah melemparkan bola api hitam ke arah Jagad.
Ia menahan dengan salah satu wujud keris Dirga, namun tidak berhasil. Seketika sebagian lenganya terbakar oleh api itu.
Pak Waja terjatuh dalam wujud rangdanya. Bola api di langit bersiap menghantamnya dan menciptakan sebuah ledakan besar.
Pak Waja berhasil menghindar namun lukanya tampak serius.
Entah mengapa seketika posisi berbalik. Dirga berusaha menahan Songgokolo dan Gondokolo seorang diri. Aku tahu dengan jelas itu tidak akan lama.
Buto Lireng Tidak bergerak, kini raksasa itu berada di hadapanku dan Cahyo. Lenganya yang kembali menghitam bersiap menyerang kami. Inilah serangan yang dapat melubangi tubuh Buto Lireng dengan mudah.
“Danan Minggir!” Teriak Cahyo.
Sayangnya ini tidak mudah, lenganya terlalu besar dan cepat. Dalam jarak beberapa meter kepalan pukulan itu hampir menutupi seluruh penglihatanku.
Aku bepikir serangan ini akan menghabisiku, namun tepat sebelum serangan itu mendarat tiba-tiba ada sosok yang menarik tubuhku.
Ia membawaku menghindari serangan itu dengan halusnya dan menghindari setiap aliran energi yang menyelimuti serangan itu.
Aku selamat.. bukan dengan gerakan besar, aku selamat hanya beberapa puluh senti dari kepalan besar itu.
Saat itu juga aku menoleh ke arah sosok yang menyelamatkanku.
“Da—Danan, itu?” tanya Cahyo.
“Iya, Nyai Jambrong!” ucapku memastikan bahwa sosok yang menyelamatkanku adalah nenek tua yang dulu pernah menjadi musuh kami.
“Jangan cepat mati bocah, kalian masih harus memastikan cucuku hidup di dunia yang aman,” ucapnya.
Sebuah energi besar membuatku menoleh kearah energi itu. Itu adalah api hitam besar menerjang ke arah Dirga yang berasal dari kedua demit kembar Songgokolo dan Gondokolo.
Dirga berhasil mengalihkan arah bola api itu dengan kerisnya, namun seketika Songgokolo sudah di hadapanya mendaratkan sebuah pukulan yang membuatnya terkapar.
“Dirga!” Teriak Paklek yang segera meninggalkan pertarunganya, namun jarak mereka terlalu jauh.
Sayangya Gondokolo sudah bersiap menghabisi Dirga. Tapi serangan makhluk itu tertahan ketika ada seseorang yang melompat menginjak wajah setan itu dan mengalihkan seranganya.
Dia seorang anak muda yang sepertinya umurnya tidak jauh dari Dirga dengan sarung yang dikalungkan di bahunya.
“Guntur? Kamu Guntur kan?” tanya Dirga.
“Hehe.. maaf telat, repot juga kalo pergi sama nenek-nenek,” ucapnya santai.
Dirgapun berusaha berdiri dan mendekat ke arah Guntur.
“Sudah Guntur, terima kasih atas bantuanmu.. sekarang segera cari tempat yang aman. Makhluk ini bukan setan biasa,” ucapnya.
“Lha, nggak mau.. udah jauh-jauh sampe sini malah disuruh ngumpet,” balasnya.
“Jangan nekad, setan itu nggak bisa dikalahkan seperti demit alas biasa,” Larang Dirga.
Soggokolo tidak ingin mendengar perbincangan mereka berdua dan kembali mengantamkan tinjunya.
“Aku mungkin tidak punya pusaka istimewa seperti dirimu, juga tidak punya kekuatan makhluk sakti seperti Wanasura,” Ucap Guntur.
Saat itu pukulan Songgokolo hampir mendarat di tubuh Guntur,
namun ia menghindar dan mengalihkanya hanya dengan tendanganya yang kurasa juga telah diperkuat dengan ilmu kanuragan.
“Tapi aku punya ilmu bela diri yang diturunkan langsung dari nenek-nenek yang nggak kalah tua dari pusakamu,”
lanjut Guntur bersamaan dengan sebuah kerikil mendarat di kepalanya.
“Nenek apa katamu?” Tanya Nyai Jambrong dari jauh yang mendengar ucapan Guntur.
“Eh.. nggak Mbah, maksdudnya nenek pendekar,”teriak Guntur sambil mengelus kepalanya yang terkena lemparan kerikil Nyai Jambrong.
“Ngomong macem-macem tak sampluk mulutmu,” teriak Nyai Jambrong dari jauh.
Dirga terkagum dengan apa yang dilihatnya. Guntur berhasil menghindari dan mengalihkan semua serangan Songgokolo dan Gondokolo dengan ilmu bela dirinya.
Hampir tidak ada satupun serangan yang mengenainya.
Di satu sisi, Nyai Jambrong juga sama. Ia mengalihkan semua serangan Batara Naga sehingga kami terhindar dari serangan yang bahkan mampu menggetarkan gunung itu.
“Pak Bimo, Aku butuh kekuatanmu,” ucap Mbah Jiwo tiba-tiba.
Sepertinya merkalah satu-satunya yang berhasil memenangkan pertarungan di sini. Terlihat dari sosok jogorawu yang kembali berubah menjadi sebuah wayang.
“Sebentar lagi akan datang,” ucap Mbah Jiwo.
“Apa maksud Mbah Jiwo?” tanya Paklek yang juga berhasil membuat Pemuda bertopeng hitam itu terkapar.
“Salah satu keahlian seorang penempa pusaka adalah memanggil bahan yang akan ia tempa. Sebentar lagi benda itu akan datang..
aku butuh bantuan pak bimo dan Keris Sukmageni,” ucap Mbah Jiwo.
Benar saja, tak beberapa lama terlihat sebuah benda besar dari langit hitam di Jagad segoro demit jatuh menimpa sekumpulan demit yang melawan kami.
“Itu meteor?” Tanya Mbah Widjan.
“Ini batu yang kupanggil dari alam ini. Sekarang tancapkan seluruh pusaka kalian di batu ini!” Perintah Mbah Jiwo.
Tidak ada satupun dari kami yang mengerti apa yang dimaksud oleh Mbah Jiwo,
tapi saat itu semua segera melarikan diri dari musuh-musuhnya dan menancapkan pusakanya ke batu meteor itu.
Keris Sukmageni, keris Mbah Widjan, Tombak lembu warok, keris dasasukma, hingga pusaka milik anak buah Mbah Widjan.
Terakhir, Mbah Jiwo membakar semua benda itu dengan korek api pusaka berukiran kuno yang ia bawa. Seketika meteor itu menyala membara mengeluarkan api berwarna putih yang menyala membara.
“Pak Bimo, saat batu ini meledak kendalikan ledakanya seperti mengendalikan geni baraloka,” ucap Mbah Jiwo.
“Meledak? Benda itu bisa membunuh kita semua?" tanya Paklek.
"Untuk itu ilmu Paklek diperlukan. Maaf, aku tidak memiliki cara lain,” ucap Mbah Jiwo.
Paklekpun berusaha mengerti namun kecemasan tetap terlihat di matanya. sementara yang lain mengulur waktu, Paklek membacakan ajian pemanggil geni baralokanya dan menyatukan apinya dengan batu meteor itu.
Dalam hitungan detik batu itu semakin membara. Seluruh udara di alam ini seolah merasuk kedalamnya dan meledak dengan keras.
Api besar beterbangan menyambar Songgokolo dan Gondokolo. Seketika tubuhnya terbakar dengan cepat menjadi abu.
Api itu juga membakar Nyai Wijul dan berbagai dedemit yang berada di alam itu.
Batara Naga tidak bisa menghindar dengan ukuranya. Berbagai pecahan batu itupun menyerangnya bertubi-tubi hingga membakar tubuhnya dan tumbang.
Hebat, dengan kecepatan ledakan seperti ini tidak ada satupun dari serangan itu yang mengenai manusia.
“Pusaka ini mengenali pemiliknya masing masing, dengan itu aku lebih mudah mengendalikan ledakannya,” jelas Paklek.
Ledakan itu menerjang bertubi-tubi dan menggetarkan tanah ini.
“Tidak bisa! Kita tidak bisa lebih lama di alam ini!” Teriak Jagad tiba-tiba.
“Ledakan ini mengacaukan jalur dimensi tempat ini, kita harus segera kembali..”
Kami melihat seluruh demit tumbang satu-persatu.
Mungkin benar, ini saatnya kami meninggalkan alam ini.
Nyi Sendang Rangu menerima kode dari Mas Jagad dan kembali membuka celah gerbang ke alam kami.
“Pergi! Aku akan menyusul setelah ledakan ini selesai,” ucap Paklek.
Guntur membantu Dirga berdiri melintasi gerbang yang menghisap mereka. Satu persatu kami meninggalkan alam ini bersama sosok dedemit yang terbakar.
Nyai Jambrong menghalau seluruh pengikut padepokan ronggomayit sembari membuka jalan pada kami untuk pergi dari alam ini.
Aku dan Cahyo berjalan ke arah gerbang, namun Ki Joyo Talun tidak menggubris kami malah meyeret kakinya menuju azimat wayang durga. Ia benar-benar berniat menghancurkanya.
“Ki! Kita kembali! Sudah tidak ada yang bisa mengendalikan azimat itu!” teriakku.
“Tugasku masih belum selesai!” ucapnya yang sepertinya memang tidak berniat mendengarkan ucapan kami.
Ia berlari menebaskan keris besarnya untuk mengoyak azimat itu, namun gagal.
Sebaliknya Batara Naga yang hampir sekarat justru menangkap Ki Joyo Talun dan melemparnya sejauh mungkin hingga tubuhnya menabrak bukit dan memuntahkan darah dari mulutnya.
“Ki!” Cahyo mengejar Ki Joyo Talun memastikan keadaanya.
“Jangan berani-beraninya kau sentuh Azimat itu!” ucap Batara Naga yang masih berusaha berdiri.
“Danan! Cepat!” teriak Nyi Sendang Rangu yang mempertahankan gerbang itu.
Aku menoleh ke arah sekitar. Hampir semua sudah meninggalkan tempat ini.
Hanya tersisa Paklek yang mempertahankan ledakan ini.
“Panjul! Danan! Tinggalkan tempat ini!” Teriak Paklek yang mulai melepas batu meteor itu yang ledakanya mulai mereda.
Aku menoleh pada Cahyo.
Tatapan matanya terlihat kosong, Sepertinya aku bisa menebak bagaimana kondisi Ki Joyo Talun yang merasuki tubuh Sena.
Tidak mungkin… Sena…
“Paklek, pergilah lebih dulu..” ucapku dengan suara bergetar.
“Biar aku dan Danan yang menuntaskan ini semua,” jelas Cahyo dengan wajah yang sangat serius.
Paklek bersiap menghalangi niat kami. Namun saat Cahyo mengangkat tubuh Sena dan membawanya kepada kami, ucapanya terhenti.
Cahyo meletakan tubuh Sena yang sudah hancur tak bernyawa, wajahnya dipenuhi dengan darah yang bahkan terus mengucur walau ia sudah tidak bernyawa.
“Biarkan kami selesaikan semua Paklek. Tidak boleh ada lagi seseorang yang kehilangan nyawa lagi setelah ini,” ucapku dengan mata yang berkaca-kaca.
Kini Paklek mengerti apa maksud kami, ia membaca doa, menutup mata Sena dan meletakkanya di tanah.
Belum pernah aku melihat wajah paklek sekesal ini.
“Kalau harus ada yang menuntaskan ini semua, berarti itu adalah kita bertiga,” ucap Paklek.
Ia mencabut pusaka dari batu meteor itu dan melemparkanya ke arah gerbang.
Nyi Sendang Rangu memandang kami dan membaca niat kami.
Tidak ada sama sekali senyum di wajahnya.
“Danan! Cahyo! Paklek! Cepat!” Teriak Jagad yang ingin kembali keluar gerbang dimensi itu menjemput kami.
Namun seolah mendukung niat kami, Nyi Sendang Rangu menutup gerbang itu hingga Jagad dan yang lain kembali ke alam kami.
“Kematian kalian akan lebih mengenaskan dari orang bodoh itu,” ucap Batara Naga sambil mengambil azimat wayang durga yang besar ukuranya ternyata sangat pas di genggamanya.
Ia mengibaskanya beberapa kali hingga memanggil sosok siluman ular dari alam ini.
Aku dan Paklek segera menerjang makhluk makhluk itu bersenjatakan Keris Ragasukma dan Keris Sukmageni.
Kilatan putih dari kerisku dan api hitam dari Keris Sukmageni mewarnai medan pertempuran saat ini.
Hujan deras menetes seolah restu sendang rangu membantu pertarungan kami untuk mempertahankan kesadaran kami.
“Paklek, datang lagi siluman berwujud manusia anjing!” peringatku.
Paklekpun menyadari kedatanganya dan segera menghabisi makhluk itu dengan bilah hitam dari kerisnya.
“Batara Naga di belakangmu!” peringat Paklek.
Pukulan besar mengarah ke arahku dari belakang. Aku mengingat gerakan Nyai Jambrong tadi dan membaca aliran kekuatan pukulan itu dan menghindarinya setipis mungkin.
“Ha..ha..ha….” Terdengar suara tawa lemas Buto Lireng. Suaranya semakin lama semakin mengecil.
“Akhirnya aku bisa melihat aksi duo pendekar sambara lagi.. tidak ada lagi penyesalanku setelah ini”
Suara Mbah Buto Lireng semakin lemah dengan tubuhnya yang sama sekali tidak bisa digerakkan.
Aku mendengar ucapan itu sembari terus bertarung. Air mataku menetes tertutupi dengan derasnya hujan dari Nyi Sendang Rangu.
“Bertahanlah sebentar lagi Mbah Buto,” ucapku
Saat melihat jalan sudah terbuka, Cahyo bersama Wanasura dan Wanasudra melompat menerjang Batara Naga yang sudah penuh luka dan menghajarnya sekuat tenaga.
“Danan, jangan lupa kunjungi makam ayahmu di bukit batu.
Ada burung jalak kecil yang akhir-akhir ini sering hinggap di batu nisan ayahmu” gumam Buto Lireng sambil sedikit tersenyum.
Nyi Sendang Rangu mendekati Buto Lireng dan beristirahat di bahu raksasa yang sangat besar itu.
Paklek berusaha tegar sembari memanggil Geni Baraloka untuk membakar satu lagi mata Batara Naga.
“Jurus pamungkas Bimo pendekar sambara pembakar angkara geni baraloka…
Pendekar bimo sambara, sebenarnya aku suka nama jurusmu itu.
Bahkan aku hafal hingga saat ini” ucap Buto Lireng lagi.
Mendengar ucapan itu, seketika ketegaran Paklek terkoyak. Ia mengusap air mata dengan tanganya sembari terus bertarung.
“Mbah Buto, Kalau Rahwana punya kisah cinta sejati, maka kami juga punya kisah legenda raksasa bukit batu pelindung bumi, Buto Lireng”
ucap Cahyo yang sedari tadi menyeka air matanya dengan sarungnya.
“Ada sebuah ilmu yang kurindukan, ilmu andalan ayahmu. Mantra yang mematikan untuk lawanya, namun hembusan anginya membuatku merasa tenang” ucap Buto Lireng.
Aku mengerti ilmu yang ia maksud.
Mungkin tidak ada salahnya aku menggunakan ilmu bapak yang hampir tidak pernah kugunakan itu.
Sebuah mantra kubacakan tepat ketika Batara Naga menyerangku. Layaknya puisi yang tak berhenti mengalun,
aku membacakan mantra yang menimbulkan angin besar di sekitar kami.
Gambuh Rumekso…
Pukulan Batara Naga yang sudah mulai melemah terpental dengan angin yang datang dari jurus ini. Sisa anginya berhembus dengan tenang ke arah Buto Lireng dan membuatnya semakin tersenyum.
Api sisa ledakan meteor tadi terbawa terbang bersama dengan angin gambuh rumekso.
“Danan, arahkan ke azimat itu,” ucap Paklek.
Benar, api ini berasal dari korek api yang bisa membakar azimat itu.
Akupun mengarahkan api itu ke arah Azimat wayang durga yang digenggam oleh Batara Naga dan membakarnya perlahan.
“Tidak! Kerajaan terkuat di Setra Gandamayit harus bangkit!” Umpat Batara Naga, namun Paklek tetap mempertahankan api itu dengan ilmunya agar tetap menyala.
Cahyo menepuk pundakku seolah memberi isyarat untuk mengakhiri pertempuran ini.
Paklek membakar kami dengan Geni Baraloka untuk memulihkan kekuatan kami walau hanya sediki. Sementara aku dan Cahyo menaiki tubuh Wanasura dan Wanasudra.
Kerisku sudah dipenuhi kilatan cahaya putih sementara Cahyo sudah menggunakan ilmu penguat raga pada dirinya dan kedua kera raksasa sahabatnya itu.
“Hanya kematian yang menunggu kalian di tempat ini!” ucap Batara Naga yang ternyata masih bisa berdiri dan menghadang kami.
Ia menyelimuti lenganya dengan kekuatan hitam mencoba menahan kami, namun sebelum ia sempat menyerang, sukmaku sudah berpisah dengan ragaku dan membelah lengan Batara Naga.
Belum sempat bereaksi, seketika Wanasura sudah melesat menghantamkan seranganya tepat di bagian leher Batara Naga dan melompat ke belakang makhluk itu.
Saat ragaku kembali menarik sukmaku, Wanasudra melemparkan tubuhku ke arah Batara Naga tepat di arah jantungnya.
“Ini serangan terakhir!”
Aku melesat bagaikan kilatan putih menembus jantung Batara Naga hingga berlubang. Di belakang Wanasura dan Cahyo sudah bersiap menangkap tubuhku.
Seketika Batara Naga tidak bergerak. Dan jatuh ke tanah.
Matanya yang sudah terbakar dan berbagai luka ditubuhnya membuatnya benar-benar tak berdaya.
“Setan-Setan dari Setra Gandamayit lainya akan membalas kalian!” ucap Batara Naga yang kesadaranya mulai menghilang bersama tubuhnya yang menghitam seperti arang yang rapuh.
Mengetahui pertarungan telah usai kamipun menghampiri Buto Lireng yang sudah tidak mampu lagi bergerak. Aku tahu ilmu Paklekpun sama sekali tidak mampu untuk menolongnya.
“Kalian tahu kenapa Buto Lireng tidak pernah meninggalkan bukit batu?” ucap Nyi Sendang Rangu.
Kami menggeleng sambil menitikkan air mata.
“Selain karena menyukai tempat itu, Buto Lireng dikutuk bahwa ia akan menghadapi kematianya saat meninggalkan bukit batu..
Saat mengetahui tentang pertarungan ini, ia merasa ini adalah saat paling tepat untuk menggenapi kutukan itu” jelas Nyi Sendang Rangu.
“Saat ini aku tak bisa berhenti tertawa, kenapa kalian malah menangis?
Akhirnya aku bisa memiliki akhir yang indah seperti sahabatku Bisma.. ini adalah hadiah terbesar,” ucapnya.
Akupun bersandar pada tubuh Buto Lireng di tengah hujan Nyi Sendang Rangu.
“Istirahatlah mbah, kami akan tetap di sini sampai eyang benar-benar terlelap,” ucapku sambil bersender diantara bahu dan leher Buto lireng.
Cahyo, Wanasura dan Wanasudra tertidur lelah di dada Buto Lireng, sementara Paklek menempelkan dahinya di pipi Buto Lireng.
“Terima kasih.. Pendekar sambara,
tidak.. aku salah,
Terima kasih..
Tiga pendekar Jagad Segoro Demit”

Sebuah ucapan terakhir sang raksasa penunggu bukit batu desa kandimaya. Sebuah legenda akan sosok Raksasa yang memilih jalan hidupnya untuk melindungi kami.

***
...
Kembali lagi bersama saya Ardian, host favorit kalian di Radio Tengah Malam.
Sebuah gempa besar yang berpusat di perbatasan jawa tengah terasa hampir oleh setengah penduduk pulau jawa.
Penyebab gempa masih misterius, namun beberapa pendengar Radio tengah malam mengirim cerita menarik nih.
Kalian percaya dengan adanya sosok lain yang hidup berdampingan dengan manusia? Atau alam lain yang bersanding dengan alam manusia?
Ada yang mempercayai bahwa gempa kemarin disebabkan oleh pertarungan besar antara sosok dedemit yang bangkit dari kerajaan Setra Gandamayit.
Sebuah tempat yang diceritakan di kisah pewayangan sebagai kuburan terangker dan dihuni oleh dedemit yang sudah ada sebelum peradaban manusia.
Kebangkitan mereka digagalkan oleh sekelompok orang yang dititipi kemampuan oleh Yang Maha Pencipta untuk menjaga tanah ini dari makhluk-makhluk itu. Sebuah tugas tanggung jawab yang tidak terkira bebanya.
Gempa yang berhenti menandakan mereka berhasil menggagalkan rencana itu. Sayangnya setelahnya ada beberapa dari mereka yang tidak kembali.
Yang pertama adalah pewaris dan pemilik padepokan Ki Joyo Talun, seorang dalang muda bernama Ki Joyo Sena.
Kini padepokan tersebut telah hancur porak poranda oleh pertarungan itu.
Dan ketiga orang lainya…
Mereka adalah teman-teman yang menolong saya saat kejadian di pabrik gula dulu.
Cahyo, Paklek, dan Danan.. orang-orang hebat yang tidak pernah bisa diam melihat orang lain yang membutuhkan bantuan dari mereka.
Bila kalian mendengar kabar dari mereka, kalian bisa menghubungi hotline kami di nomor berikut.
Kami tim Radio tengah malam percaya mereka masih berjuang untuk kembali bersama kita.

Ardian menghela nafas berharap ada yang menemukan sosok ketiga temanya itu. Di belakangnya muncul sosok roh seorang pria mencoba menepuk bahunya.
“Mereka masih hidup, aku bisa merasakanya..”
ucap roh Nandar mencoba menenangkan Ardian.
Ardianpun mengangguk, matanya berkaca-kaca penuh harap untuk bertemu dengan penyelamatnya dulu lagi.
...

(di sebuah desa di jawa barat)

“Mas Jagad benar tidak bisa membuka dimensi itu lagi?” Dirga masih menggerutu sambil mengupas singkong yang baru saja ia panen dari kebunya bersama mas Jagad yang tertidur di kursi kayu panjang di pinggir kebun.
“Yang bisa menghubungkan gerbang Jagad segoro demit hanya makhluk sekuat Nyi Sendang Rangu, itupun aku ragu ia bisa membukanya lagi.” jawab mas Jagad.

“Kalau gitu kita harus nyari makhluk sekuat dia untuk bisa menolong mas Danan dan yang lain,” Dirga masih belum terima.
“Terbukanya gerbang Jagad segoro demit itu bencana Dirga, kita tidak tahu makhluk apa yang akan muncul dari sana.. lebih baik kita percaya dengan mereka. kalau ada manusia yang bisa lolos dari alam itu, aku yakin itu adalah mereka.” Balas mas Jagad.

***
(di kampung Nyai Jambrong)

Sebuah tendangan melesat ke arah seorang nenek tua, hebatnya ia menahan tendangan itu dengan tangan rentanya tanpa kesulitan sedikitpun.
“Sudah hampir seharian kita latihan, kamu masih belum puas?” tanya Nyai Jambrong.
Guntur mundur dan memasang kuda-kudanya lagi.

“Ada banyak makhluk di alam itu eyang, semengerikan itu makhluk-makhluk yang dihadapi sama mas Cahyo,” ucap Guntur melanjutkan seranganya lagi yang bisa dengan mudah dihindari oleh Nyai Jambrong.

“Lantas?”
Nyai Jambrong lanjut melompat dan menendang Guntur, kali ini ia bisa menghindar dengan sangat baik. Tidak seperti dulu saat Guntur masih menjadi bulan-bulanan serangan Nyai Jambrong.
“Aku baru merasakan kegunaan ilmu yang eyang ajarkan saat itu. Aku ingin belajar lebih lagi untuk bisa sejajar dengan mereka,” balas Guntur.

“Akhirnya matamu terbuka,” Nyai Jambrongpun tersenyum
"Aku harus bertambah kuat. Sampai saat mas Cahyo kembali, aku harus bisa menggantikan tugasnya,” jawab Guntur sambil terus melanjutkan latihanya.
Terlihat dari sudut kebun, Arum sudah menunggu mereka sambil duduk manis memegang sebuah rantang menanti Guntur dan eyangnya yang pasti akan kelaparan setelah latihan itu.

***
(Di lembah keramat)

“Aku sudah memberikan kabar tentang kejadian kemarin ke teman-teman Radio tengah malam, semoga saja ada kabar dari mereka” ucap Ismi menjelaskan pada Dimas dan Rumi.

“Ya sudah, kita percayakan saja pada mereka..” balas Dimas.
“Mbah, jangan melamun terus. Mereka pasti selamat,” hibur Rumi.
Mbah Jiwo menghela nafas menatap langit dan menikmati hembusan angin di teras rumahnya.
“Ternyata memang ada manusia semacam itu.. tidak memikirkan nyawanya sendiri, dan tidak ragu menghadapi bencana sebesar itu,” ucap Mbah Jiwo.
Dimas dan Ismi duduk mendekat ke Mbah Jiwo ikut menikmati pemandangan langit dan hembusan angin yang membuat mereka merasa nyaman.
“Tanpa mereka, mungkin kita tidak bisa menikmati pemandangan ini dengan tenang seperti ini ya mbah?” ucap Ismi.

Dimas yang duduk di sebelah Mbah Jiwo sedikit melirik ke arah Ismi.
“Semoga mereka cepat kembali..
Aku mau Paklek juga jadi saksi saat aku ngelamar Ismi nanti,” ucap Dimas tiba-tiba.

Seketika Ismi menoleh ke arah Dimas dengan wajahnya yang memerah.

“Mas Dimas serius?” tanya Rumi kaget.
Mbah Jiwo hanya tersenyum melihat tingkah laku cucu-cucunya yang membuatnya sangat bersyukur bisa hidup di umurnya saat ini.
“Serius.. masa bohong? Aku ngambil kopi dulu,”
balas Dimas yang segera masuk untuk menghindari pertanyaan lain sembari menyembunyikan rasa malu atas ucapanya sendiri.
Di depan hanya tersisa Rumi yang memandang Ismi dengan senyum meledek karena wajah salah tingkahnya yang terpampang jelas.

***
(di Tanah Dewata)

“Waja! Membuka gerbang dimensi itu adalah pelanggaran. Tidak ada satupun balian yang punya hak melakukan itu” Ucap seorang Bapak yang cukup tua yang ditemui Pak Waja.
Wajah Pak Waja terlihat kecewa mendengar pernyataan itu.
“Tapi Wi, alam ini berhutang pada mereka. Aku tahu ilmu bali dan jawa masih berhubungan erat. Hanya Melik setingkat Wi lah yang bisa membantu mereka” pinta Pak Waja.
“Walaupun kamu sudah kuanggap saudara sendiri, aku tetap tidak punya hak untuk melakukan hal itu.
Hanya ada satu buah serat lontar yang memiliki petunjuk akan alam itu, dan aku tidak bisa menyerahkanya padamu,” orang itu segera mengenakan kasutnya dan berdiri meninggalkan pendopo pura tempat mereka berdialog.
Mbah Waja terlihat kecewa, entah ia harus mencari petunjuk kemana lagi. orang tadi adalah kenalanya yang paling mumpuni yang mungkin bisa menolong Danan dan Cahyo.
Namun sebelum meninggalkan tempat pendopo tempat mereka berbincang tadi, Pak Waja tersadar akan sebuah benda yang tertinggal di bekas tempat duduk temanya itu.
Sebuah gulungan serat lontar..
Ia mengambilnya dan aksara jawa kuno tertulis di sana. Ia tahu,
itu adalah serat yang membahas tentang alam Jagad Segoro demit.
Pak Wajapun tersenyum dan menoleh ke arah temanya yang masih bersiap menaiki sepedanya.

***
(di Ibukota)

“Iya Mbah, teman-teman kantor Rizal sudah keluar dari rumah sakit. Dokter sampe heran bagaimana caranya mereka bisa selamat,” ucap Rizal pada seseorang di teleponya.
“Bagus kalau begitu, jaga dirimu baik-baik ya. Kalau ada apa-apa jangan lupa bilang sama Mbah,” ucap Mbah Widjan.
“Iya mbah, nanti saat libur Rizal mau ke sana. Rizal mau belajar lagi biar bisa sehebat Danan,” ucap Rizal.
“Iya Mas Rizal! Nanti Panji ceritain kerenya mas Danan waktu ngelawan demit-demit itu. Dia bahkan punya teman sosok penjaga bukit batu dan penunggu sendang! Pokoknya temen mas Rizal keren!" Ucap Panji yang merebut telepon genggam dari tangan Mbah Widjan.
“Iya, tunggu mas ya. Titip jagain mbah,” balas rizal.
“Siap mas,”
Rizalpun menutup telpon itu dan kembali bersama teman-temanya.
“Belum ada kabar dari Danan?” tanya Fira.
Rizal menggeleng yang dibalas dengan tatapan kecewa dari Rangga dan Dian.
“Tenang aja, di pasti kembali. gua yang jamin” balas rizal.
“Pede banget lu, udah mulai bisa ngeramal?” tanya Rangga.
“Haha.. nggak lah, ini bukan ramalan. Ini namanya percaya. Dari kejadian kemarin-kemarin dan cerita mbah,
aku jadi tahu kalau Danan pasti selamat,” balas Rizal.

“Pokoknya kalau Danan kembali kita harus pesta, gua yang traktir.” Ucap Fira.

“tapi kalau sama Danan pestanya bukan di club lho. Tapi di tenda biru pinggir jalan,” ucap Dian

“Lha kok gitu?”
“Iya, Pak pandi cerita kalau dia lebih suka makan di tempat begituan daripada di café.”
“Wah idaman perempuan banget ya. Rajin kerja, jago bela diri, sederhana lagi,” ucap Fira.

“ehmm.. “ Rangga tiba-tiba batuk dan segera mengambil gelasnya.
Kami tahu itu batuk yang dibuat-buat untuk menyindir Fira. Semoga saja tidak lama lagi Danan akan ikut bergabung dengan kami di sini menemani perbincangan pelepas lelah kami.

***
(Padepokan Ki Joyo Talun)
“Mbak Naya saya pamit dulu ya,” ucap seorang warga yang membantu merapikan bangunan padepokan Ki Joyo Talun.
“Mbak saya pamit juga, mbak nggak masuk? Sudah malam lho,” ucap seorang lagi.
“Monggo mas, saya masih mau di sini. Enak udaranya” balas Naya dengan memaksakan senyumnya.
Saat mulai sepi, ia terduduk sendiri menatap rembulan. Padepokan yang sudah menjadi rumah keduanya kini telah hancur. Keberadaan Danan dan Sena sama sekali tidak ia ketahui.
Seketika itu malam itu terasa begitu dingin untuk Naya.
“Kok dadi ngene to mas,” (kok jadi begini to mas?) keluhnya pada dinginya malam saat itu.
Naya terus menyeka air matanya dan berusaha untuk tegar.
Iapun menyembunyikan kesedihanya itu dan berdiri bersiap membantu orang-orang yang berada di dalam.
Sebelum sempat masuk, terdengar suara sepeda motor dari seseorang membonceng seorang anak perempuan.
“Mas Jatmiko? Kok tumben?” tanya Naya.
“Iya nih, si Gendis aneh banget. Katanya minta ketemu mbak Naya mau ngajak ke pendopo desa,” ucapnya.
Naya menoleh kepada Gendis yang segera turun menggandeng Naya.
“Ayo Mbah Naya, ikut Gendis..”
“Emang ada apa cah ayu?” tanya Naya.
“Ikut aja dulu, ajak temen-temen yang lain juga” paksa gendis.
Naya terlihat bingung mendengar ajakan Gendis.
“Sudah kita ikut apa kata gendis aja sekalian jalan-jalan, anak-anak biar istirahat dulu” ucap Mas Tono yang menghampiri jatmiko.
Mendengar ucapan Mas Tono, Nayapun setuju merekapun meninggalkan pekerjaan mereka dan menggunakan kendaraanya masing-masing untuk mengikuti Jatmiko dan gendis.
Mereka melewati sebuah desa tempat tragedi kematian Nyai Lindri dulu dan memasuki hutan desa yang tembus ke sebuah tempat cukup lapang. Ada sebuah pendopo tua di sana yang berbatasan dengan jurang dengan pemandangan langit malam.

“Di sini ada apa Gendis?” tanya Naya.
Gendis tidak menjawab. Ia seperti berkomunikasi dengan suatu sosok tak kasat mata di dekat tempat itu.
Tak lama setelahnya terlihat kilatan berwarna ungu tepat di dalam pendopo itu.

“I—itu apa Naya?” tanya Jatmiko.
“Nggak, aku nggak tahu..” Naya menggeleng.
Kilatan itu berubah menjadi sebuah lubang seukuran genggaman tangan. Sekilas terlihat ada alam lain di tempat itu. Sayangnya lubang itu kembali menutup bersamaan dengan munculnya sosok jasad yang terbaring di pendopo itu.
"Mas Sena?” ucap Mas Tono yang segera menyadari sosok itu.
Seketika semua anggota padepokan menghampiri tubuh itu dan menangis. Mereka sudah tahu saat di Jagad segoro demit Sena sudah sangat terluka parah, namun mereka masih berharap Sena masih bisa diselamatkan..
“Mas Sena, terus siapa yang akan dalangin anggota wayang kita”

“Siapa lagi yang mau mengurus anak-anak yatim seperti kami dan mendidik hingga seperti ini”

“Aku belum siap ninggalin padepokan”

Berbagai tangisan terdengar di tempat itu.
Nayapun menitikkan air mata tanpa henti. Namun Naya sadar akan sebuah benda yang diikatkan di baju Sena.
beberapa daun kering berukuran besar yang digulung menjadi satu..
Ia mengambil daun itu dan melihat ada tulisan di atasnya.


Untuk Naya,
Mohon maaf mas belum bisa menepati janji mas. Sepertinya mas masih harus berjuang sedikit lagi untuk melihat wajah ayu dik Naya lagi.
Dik Naya nggak usah khawatir, di sini ada Cahyo , Paklek yang tak henti-hentinya membuat mas Danan tertawa.
Ada juga Nyi Sendang Rangu yang mulai ketahuan bawelnya setelah cukup lama kami bertualang bersama.
Makanya dik Naya nggak boleh sedih..
Mas Danan dan yang lain pasti akan mencari jalan keluar dari alam ini secepat mungkin.
Pokoknya suatu cara terbaik yang tidak memberi hal buruk ke alam kita.
Kalau boleh, mas titip ibu.. sering-sering telpon dia ya. Mas akan lebih seneng kalau dik Naya mau mampir nemuin ibu. Tolong bilang ke ibu agar tidak usah khawatir.
Anaknya ini sudah sehebat ayahnya.. dan tolong titipkan pesan serupa untuk bulek juga.
Oh iya…
Mas sudah inget,
Waktu itu di desa kandimaya, bapak dan Paklek ngajak aku keliling desa menyembuhkan beberapa warga yang kesurupan.
Saat Paklek dan bapak lagi ngajarin Cahyo, ada seorang anak kecil menangis sendiri di kebun belakang. Itu Naya kan?
Kamu masih inget gak, waktu itu mas Danan metikin bunga cempaka yang ada di depan dan makein itu ke telinga Naya?
Pas mas bilang kamu cantik kalau pake kembang itu kalau tersenyum, tangisan Naya langsung berhenti. Setelah itu Naya ngajak mas Danan nyari kembang lebih banyak sampai mas Danan dimarahain bapak karena pulang kemaleman.

Sekarang utang mas lunas ya..
Kalau Naya tahu, bunga cempaka atau yang sering mas sebut dengan kembang kantil itu berarti sebuah ikatan lho. Mungkin itu juga yang membuat Naya terus mengingat mas. Dan semoga ikatan itu juga menghubungkan kita hingga pertemuan kita nanti.
Saat itu air mata menetes di daun kering itu.
“Inget mas Danan.. Inget, Naya inget itu semua,” ucap Naya sambil berusaha menahan tangisnya.

“Naya inget semua pertemuan kita sejak kecil. Karena Naya tahu, Tuhan meninggalkan rasa ini pada Naya dengan maksud yang indah.
Naya akan juga akan berjuang seperti mas Danan, Naya nggak akan cengeng.. Naya tunggu mas Danan sampai Tuhan mempertemukan kita lagi,”
Gendis mendekat ke arah Naya dan memeluk Naya. Naya meresponya dengan mengelus kepala gendis dan tersenyum di dalam tangisnya.
Iapun mengusap air matanya dan memanggil teman-temanya.
“Mas Tono, Naya mau ke desa kandimaya,” ucapnya tiba-tiba.
“Desa kandimaya? Desanya Ki Daru Baya?” tanya Tono memastikan
Naya mengangguk.

Seluruh teman-teman Sena itu berkumpul mendekati Naya.
“Naya mau belajar sama Nyai Kirana. Suatu saat Naya lebih pintar, Naya akan mengajarkan ilmu yang Naya punya lagi di padepokan ini,” ucap Naya.
Saat itu seluruh teman-teman Sena saling menatap dan berbincang satu sama lain.
“Kami ikut Naya! Kami juga ingin belajar banyak dari Ki Daru Baya.. saat sudah memiliki kemampuan yang pantas, kita bangkitkan lagi padepokan Ki Joyo Talun” ucap mereka.

Nayapun tersenyum.
Gelapnya langit malam yang sedari tadi ia rasa suram berbalik menjadi pemandangan yang indah dengan secarik surat dari Danan.

Setra Gandamayit,
Sekarang nama itu tidak lagi mengenai sebuah tempat yang menyeramkan.
Bukan sosok-sosok dedemit yang dibicarakan saat manusia berbicara tentang tempat itu. Kisah sejarah mengerikan tentang Setra Gandamayitpun hanya tersisa di Jagad pewayangan.
Saat ini Setra Gandamayit dipercaya merupakan tempat dimana roh manusia memulai perjalanan ke alam baka untuk menjadi harum (disucikan).
Sayangnya masih banyak yang datang ke tempat itu untuk mencari ilmu, kesaktian,
atau melakukan ritual. Keberadaan orang-orang seperti itulah yang akan terus dimanfaatkan oleh jin atau dedemit untuk menyesatkan manusia dari jalan yang seharusnya.

***
(Alam Jagad segoro demit)

“Paklek! Liat itu! Ada yang bentuknya kayak kuda tapi kepalanya kayak buto!” ucap Cahyo yang melihat padang tandus dari atas pohon kering yang ia panjat.
“Haha.. Paklek jadi inget tarian Jawa timur yang namanya Turonggo Yakso bentuk kudahnya kayak begitu.. Sudah Jangan aneh-aneh! Cepet turun,” perintah Paklek.

“Belum Paklek, belum ketemu yang mirip ama Paklek,” balas Cahyo.
Seketika Paklek menendang pohon yang Cahyo naiki dan membuatnya terjatuh dari pohon itu.
“Adududuhh… sakit, kan becanda Paklek,” ucap Cahyo.

Aku tak henti-hentinya tertawa melihat tingkah mereka. Nyi Sendang Rangupun terhibur dengan kelakuan mereka berdua.
“Tak kirain kalau sandal Paklek udah habis bakal aman” gerutu Cahyo.

“Makanya jangan berani-berani kamu” ledekku.

Di tengah perbincangan kami tiba-tiba kliwon datang dengan membawakan beberapa buah-buahan yang terlihat hampir kering.
Yah, kami bisa berharap makanan apa dari alam seperti ini. Setidaknya Kliwon cukup hebat bisa menemukan sesuatu yang bisa kami makan untuk bertahan hidup di tempat ini.

“Gerombolan demit itu sudah pergi, ayo kita lanjut” ajak Nyi Sendang Rangu.
Wanasurapun kembali keluar dari tubuh Cahyo dan kliwon seketika kembali ke wujud kera raksasanya. Kami semua menaiki tubuh mereka dan melanjutkan perjalanan.
Entah apa yang akan kami temukan lagi setelah ini.
Apakah jalan kembali menuju alam kami?
Atau malah sebuah petualangan baru di Jagad Segoro Demit..

***
(TAMAT)
Terima kasih sudah membaca kisah ini hingga selesai. salah satu kisah yang menguras jiwa dan raga untuk menyelesaikanya..😆

Jangan lupa tinggalin komen ya, karena dukungan kalian adalah amunisi saya untuk menulis cerita2 berikutnya..
Selalu saya ucapkan mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung, semoga bisa diambil positifnya saja & dianggap sebagai hiburan.

Selamat membaca

Salam,
Diosetta
Ada sedikit spesial chapter yang hanya tersedia di karyakarsa dan tidak dipublish di twitter, namun tidak berpengaruh ke alur cerita utama..

hanya sebagai pengobat rindu terhadap beberapa karakter 😆
karyakarsa.com/diosetta69/spe…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

May 15
PUSAKAYANA
Part 3 - Untuk Aku di Masa Lalu

Masa lalu tak bisa diubah, tapi kenangan tentangnya bisa menjadi penuntun arah hidup manusia..

#bacahorror @bacahorror @ceritaht @IDN_Horor Image
Link Part Sebelumnya :
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
“Ada yang hidup dalam darah kita, lebih tua dari ingatan, lebih kuat dari waktu…

Warisan yang tak hanya diwariskan lewat nama, tapi lewat keberanian untuk memperbaiki luka yang tak terlihat oleh dunia....”
Read 33 tweets
May 8
PUSAKAYANA
Part 2 - Setelah Kematian

“Di sini, mereka yang mati tidak pergi ke alam baka…”

#bacahorror @bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bagihorrorImage
Part Sebelumnya :
Part 1 : Mimpi dari Sang Dewa
Tidak bisa kupungkiri, perasaan yang menelusup dalam dadaku saat ini bukan hanya takut. Ini lebih dari itu. Ini adalah firasat kematian. Firasat yang hanya pernah kurasakan ketika aku menjejak Setra Gandamayit dan bertarung melawan entitas dari tanah Danyang.

Saat aku menoleh ke belakang, napasku langsung tertahan. Tiga kepala ogoh-ogoh itu kini menatap tajam ke arah kami. Dan matanya…

Mereka hidup. Mereka menghakimi.

“Cahyo!” seruku, lebih karena naluri daripada logika.
Seolah menjawab, tubuh Cahyo tiba-tiba menegang dan bersiap. Suaranya melenguh, dan dari matanya menyala cahaya merah membara.

Roh Wanasura telah merasukinya. Saat ini pun keris Ragasukma telah kugenggam di tanganku, ia muncul dengan sendirinya.
Keris Ragasukma bergetar hebat…

Brugghh!!

Sebuah suara keras mengagetkan dari arah Bli Waja. Kami menoleh, dan jantungku seperti diremas.
Bli Waja… tiba-tiba saja sudah berubah menjadi Rangda. Wujud ratu ilmu hitam itu terpampang jelas, anehnya ia terkapar di tanah.

Tubuhnya gemetar, wajahnya yang biasanya kuat dan tenang sekarang terlihat seperti disayat ketakutan.

Apa pun yang dilakukan kepala bermata tiga dari ogoh-ogoh itu telah menjatuhkannya dalam sekejap. Benar-benar dalam satu kedipan mata seolah mereka bertarung di waktu yang berbeda.

“Apa… yang… terjadi?” gumamku lirih, tapi tak ada waktu untuk jawaban.

Salah satu kepala—yang menyerupai kakek dengan rambut putih panjang dan lidah menjulur—menatap langsung ke arahku. Rambutnya melayang seperti hidup. Udara di sekitarnya mendadak lebih dingin, lebih padat—aku merasa paru-paruku tak mampu menghirup napas.
Read 26 tweets
May 1
PUSAKAYANA
Part 1 - Mimpi dari Sang Dewa

..Sebatang tombak tua, berkarat & berlumuran darah, menembus dari dalam mulutnya, merobek rahang dan bibirnya. Tombak itu memanjang penuh ukiran aneh, disertai semburan darah segar ..

@bagihorror #bacahorror @IDN_Horor @ceritaht Image
"Apa yang menjadikan sebuah benda memiliki gelar pusaka?”
PROLOG

malam itu, langit seperti bersumpah untuk tidak memberi ampun. Hujan mengguyur deras, namun ada yang jauh lebih ganjil dari sekadar badai petir. Ratusan burung gagak hitam berkerumun di satu titik, beterbangan dan bertengger di sekitar sebuah rumah tua di tengah lereng.

Mereka tidak bergerak, tidak bersuara—hanya menatap satu arah. Mata-mata mereka menyorot rumah itu dengan intensitas yang menyeramkan, seolah menanti sesuatu.

Di dalam rumah, cahaya lampu menyala remang. Asap dupa mengepul dari pojok-pojok ruangan, bercampur dengan aroma tanah basah dan darah yang belum kering.

“Tak usah berpura-pura! Manjing Marcapada hanya bisa dipanggil olehmu, bukan? Lakukan ritual itu sekarang juga!” Suara keras penuh ancaman itu memecah suasana.

Sekelompok orang berpakaian hitam pekat, jubah mereka basah oleh hujan, berdiri membentuk lingkaran. Wajah-wajah mereka tersembunyi di balik topeng, namun aura permusuhan memancar tajam.

Mereka mengepung seorang lelaki tua yang berlutut di tengah ruangan. Tubuhnya gemetar, bajunya lusuh dan basah oleh air serta air mata—Ki Satmo, sang penjaga rahasia yang telah lama memutuskan untuk tidak pernah membuka kembali pintu kegelapan itu.

Di seberangnya berdiri tiga orang yang lebih menyayat hati: dua anak kecil dan seorang wanita—istri dan anak-anaknya. Mereka berdiri tegak, tapi sorot mata mereka kosong, seperti telah direnggut jiwanya.

Masing-masing menggenggam pisau kecil, dan—dengan gerakan serentak yang menyakitkan—menancapkan pisau itu dangkal ke dada mereka sendiri.

“Lepaskan mereka! Manjing Marcapada adalah pusaka Para Danyang! Aku tak punya kekuatan untuk memanggilnya!” jerit Ki Satmo, suaranya nyaris putus oleh ketakutan.
Read 25 tweets
Apr 18
SABDA PENGIWA - Keranda Tulah
Part 1

Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berikat berpakaian hitam.

Di dalamnya, terbaring Jasad Keramat yang diarak dan mendatangkan kematian bagi warga desa

@IDN_Horor @bagihorror #bacahorrorImage
"Nak, jangan pernah kamu mengaku sebagai anak Bapak. Hapuskan nama Bapak dari namamu..."

Malam itu, suara tangis seorang remaja pecah di tengah keheningan sebuah gubuk tua yang tersembunyi di pematang sawah.

Di luar, angin menderu kencang membawa bau anyir lumpur dan kematian. Langit seperti ikut menangis, menggantung mendung tanpa hujan. Gubuk reyot itu menjadi satu-satunya tempat yang belum dijangkau oleh teror dari kegelapan.

"Nggak, Pak! Keluarga kita keluarga terhormat! Keluarga kita sudah menolong banyak orang! Tegar bangga dengan keluarga kita!"

BRAKK!!

Suara tubuh terhempas keras ke lantai
bambu mengguncang hati Tegar. Ia menoleh dan
melihat ayahnya tergolek di lantai, tubuhnya
kejang-kejang.

Dari telinga dan sudut matanya
mengalir darah hitam pekat yang tak wajar—seperti ada sesuatu yang sedang menggerogoti dari dalam.

Tegar berlari dan memeluk tubuh ayahnya. Tubuh itu panas, namun terasa sekarat. Tangannya gemetar, mencoba menahan kehancuran yang ia tahu tak bisa dihentikan.

"Jangan jadi mantri seperti Bapak, Le. Hiduplah dengan cara yang jauh berbeda. Pilihlah jalan yang tak bisa mereka temukan... Jangan... biarkan mereka menemukanmu..."

"Bapak! Jangan ngomong kayak gitu! Bapak pasti bisa sembuh! Bapak pasti bisa lawan penyakit ini!"

Sang ayah tersenyum tipis—senyum
seorang lelaki yang tahu ajalnya tinggal hitungan detik. Ia mengangkat tangannya dengan sisa tenaga, menyentuh wajah anaknya.

"Ini... sudah batasnya. Pergilah... Mereka akan sampai ke sini sebentar lagi..."

Tegar menggeleng, menggenggam tangan ayahnya erat-erat. "Tegar nggak akan ninggalin Bapak!"

"Keras kepala tidak akan membawa kebaikan, Le... Beberapa detik lagi... yang ada di hadapanmu cuma mayat... Jangan dendam... Bapak cuma ingin lihat kamu hidup..."

Tangis Tegar pecah. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi dada ayahnya. Namun saat itulah, suara-suara itu terdengar dari kejauhan.
Suara obor.

Langkah-langkah berat.
Nyanyian lirih yang seperti mantra kematian.

Tegar menoleh. Dari celah bilik bambu, terlihat cahaya obor menyala—bergerak perlahan seperti ular api yang meliuk di tengah sawah. Di tengah arak-arakan itu, sesuatu yang membuat jantung Tegar serasa diremas oleh tangan tak kasatmata.
Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berpakaian hitam. Di dalamnya, seonggok mayat keramat yang sudah membusuk dibungkus kain kafan dengan simbol- simbol aneh. Keranda itu bukan sekadar pengantar jenazah. Itu adalah momok yang menjadi penyebab kutukan di desa.

Tegar tahu. Mereka—orang-orang itu—telah membunuh seluruh keluarganya. Tidak dengan pisau atau senapan. Tapi dengan ritual. Dengan kematian yang dijadikan alat. Dan kini, mereka datang untuk menyelesaikan yang tersisa.

Hanya ia yang berhasil diselamatkan—dan untuk itu, ayahnya harus menukar nyawa.

"Tolong, Tegar... pergi..." bisik ayahnya, kali ini lebih lemah dari sebelumnya.

Kaki Tegar lemas. Hatinya ingin tetap tinggal, ingin menjaga sang ayah sampai akhir. Tapi naluri—dan rasa takut yang menyesakkan— memaksanya untuk memilih.

Ia menahan tangis, mencoba memaksakan senyum meski dadanya seperti disayat. "Bapak... Tegar akan jadi orang baik. Tegar akan hidup bahagia sampai tua. Tegar janji..."

Sang ayah ingin menjawab, namun suaranya tinggal bisikan. Tapi senyuman itu masih ada. Senyuman yang cukup untuk jadi kekuatan terakhir Tegar.

"Tegar pamit ya, Pak... Kalau semua sudah tenang, Tegar janji akan kembali. Akan kubur Bapak dan keluarga kita dengan layak..."

Tangan ayahnya yang lemah memberi isyarat. Isyarat terakhir untuk pergi. Tegar memposisikan tubuh ayahnya senyaman mungkin di amben kayu, lalu berdiri. Kakinya berat, tapi ia mulai melangkah.
Tanpa menoleh. Tanpa ragu.

Di belakangnya, suara arak-arakan semakin dekat. Gubuk itu akan menjadi saksi bisu kematian terakhir dari keluarga yang pernah dihormati.

Dan Tegar—ia kini menjadi satu-satunya pewaris nama yang harus ia kubur dalam-dalam.

***
Read 17 tweets
Apr 11
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part Akhir II - Pusaka Para Dewa

Kita tuntaskan Part Akhir POV Danan dan Cahyo.
Bantu share sama komen ya temen-temen biar cerita-cerita horor bisa kembali ramai di kancah twitter.

#bacahorrorImage
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Perburuan Sukma
x.com/diosetta/statu…
Part 6 : Pusaka Merapi
x.com/diosetta/statu…
Part 7 : Temui Aku di Merapi
x.com/diosetta/statu…
PUSAKA PARA DEWA

(Sudut pandang Danan…)

Ada yang dirayakan. Pementasan ini lebih dari sekedar pementasan gaib semata.

Niat awalku menaiki merapi sekali lagi bukan untuk hal ini. Aku tak menyangka bahwa niat kami menolong Galang dan yang lain mencari sukma Tiwi akan berujung pada tragedi ‘Padu Kolo’, pertengkaran bangsa lelembut.

Dan saat ini, dihadapanku tengah menghadang sosok makhluk-makhluk utusan dari keraton demit. Lebih dari sekedar menangani mereka, aku harus mencari tahu mengapa mereka mengincar Galang dan Wulan.

Pertarungan sengit sempat terjadi di antara kami. Aku mempercayakan Galang dan yang lain pada Cahyo sementara aku menghadang mereka.

“Kau tidak perlu mempertaruhkan nyawamu demi mereka. Takdir mereka sudah ditetapkan menjadi tumbal merapi…” Sosok penari setinggi tiga meter itu masih mencoba untuk mempengaruhiku.

“Merapi tidak pernah meminta tumbal. Kalian makhluk terkutuklah yang menghasut dengan mengatasnamakan Merapi!” Sosok roh yang menutupi wajahnya dengan topeng badut pun muncul dari kejauhan.

Badut Pak Suradirja. Firasatku mengatakan bahwa alasannya tetap memakai topeng itu adalah sesuatu yang penting.

“Nyai Lendheng. Percayalah kalian bukan lawan pemuda ini..” Pak Suradirja mencoba menggertak mereka.

“SOMBONG! Keris karatanmu itu tak ada artinya dibanding pusaka keraton demit!”

Srattt!!!

Saat itu juga keris Ragasukmaku melayang melesat ke lehernya. Sosok bernama Nyai Lendheng itu menghindar, namun kerisku sempat melukainya.

“Aku tak suka banyak bicara!” Balasku kesal sekaligus menggenapi gertakan Pak Suradirja.

Kali ini Nyai Lendheng terlihat cemas. Luka di lehernya tak bisa menutup.

“Cih! Mengurus kalian hanya akan membuang waktuku. Sebentar lagi pementasan selesai! Bersiaplah, kali ini serangan dari keraton demit tak mengenal ampun!” Ucap Nyai Lendheng yang mundur bersama dayang-dayangnya.

Jelas itu adalah ancaman. Bukan ancaman kosong. Sebuah tragedi akan terjadi di gunung ini.

“Pak? Bagaimana roh bapak bisa sampai di sini?” Aku segera menghampiri sosok roh yang jasadnya telah mati di kota itu.
Read 17 tweets
Mar 28
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part Akhir - Temui Aku di Merapi

Galang mendapati kenyataan bahwa Wulan adalah saudara kembarnya yang diminta Merapi. Tanpa ia sadari, sebagian sukma Tiwi menyadarinya lebih dulu..

@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Perburuan Sukma
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Pusaka Merapi
x.com/diosetta/statu…
Wulan adalah saudara kembarku?

Semua perlahan terasa masuk akal. Mimpi-mimpi yang selama ini menghantuiku kini terajut menjadi satu kenyataan yang utuh. Tak heran jika aku selalu merasa terikat dengan Merapi. Ada sesuatu yang lebih besar di sini, sesuatu yang tertanam dalam diriku.

"Pantas saja kamu begitu terobsesi sama Merapi, Lang. Ternyata ada bagian dari dirimu yang memang berada di sini," ujar Farel dengan nada tak percaya. Wajahnya masih dipenuhi keterkejutan.

Tanganku tak bisa lepas dari genggaman Wulan. Adikku. Namun, ia kini bukan lagi manusia seutuhnya. Sukmanya saja yang tersisa, sementara tubuh ragawinya telah lama tiada

. Aku merasakan getir yang menusuk dada, tapi aku tahu ini bukan saatnya untuk larut dalam kesedihan.

"Akhirnya, tumbal yang hilang telah kembali..." Suara parau itu datang dari makhluk mengerikan di hadapan kami. Setan penari setinggi tiga meter itu menyeringai puas, matanya berkilat penuh kemenangan. Namun, Mas Danan tidak tinggal diam.

"Pergi! Kalian pergi dengan Cahyo! Cari sukma Tiwi dan tinggalkan gunung ini!" seru Mas Danan dengan tegas.

"Ngawur kowe, Nan!" Mas Cahyo membentak, jelas tak terima meninggalkan sahabatnya seorang diri menghadapi makhluk-makhluk mengerikan itu.

"Tenang, Jul. Aku nggak sendiri." Mas Danan memberikan isyarat. Tatapannya mengarah ke sudut gelap di belakang kami.

Dari kegelapan itu, muncul sosok yang membuat bulu kudukku meremang. Sosok badut dengan senyum mengerikan di wajahnya. Di tangannya tergenggam sebilah pisau yang berkilat tajam.

"Badut itu... Pak Suradirja?" suaraku bergetar saat menyebut nama yang tiba-tiba terlintas di pikiranku. "Rohnya sampai ke sini?"

Mas Danan mengangguk singkat. "Mungkin dia memang berasal dari tempat ini. Akan kuceritakan jika aku menemukan sesuatu. Sekarang pergi!"

Tanpa banyak pilihan, Mas Cahyo menarik lenganku, memaksa kami untuk segera berlari. Sekilas, aku melihat keris pusaka melayang-layang di udara, membentuk penghalang yang menjaga agar setan-setan itu tidak mengejar kami.

"Mas Cahyo! Apa yakin kita tinggalin Mas Danan?" Raka berteriak, rasa khawatir terlihat jelas di wajahnya.
Read 16 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(