kalong Profile picture
Jul 18, 2022 1376 tweets >60 min read Read on X
A THREAD

ROGOH NYOWO
((bagian 5))

-PENUMBALAN SANG BAYI-

#bacahoror #bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Cuaca malam yang sejatinya dingin, tetiba saja terasa panas di sekitaran rumah gubuk, pinggiran sebuah hutan. Di mana sesosok perempuan tua memakai baju hitam dombor, berdiri dengan wajah begitu tegang.
Buliran keringat yang keluar dari pori-pori kulitnya, menandakan jika ia tengah melakukan sesuatu yang tak main-main.

Tak kalah tegangnya satu sosok lelaki tua, yang berdiri di samping Nyi Anggar, dengan mengapit sesosok bayi mungil di tangan kanan, sedang tangan kirinya,-
-menenteng wadah berisi bunga tiga warna. Sebuah lobang sedalam satu setengah meteran layaknya liang lahat, yang berada tepat di bawah sosok Nyi Anggar dan Mbah Lenggono, berisikan sebujur tubuh berbalut kain putih dengan mata terpejam.
Meskipun sosok lelaki muda yang terbujur, bagaikan seonggok mayat, tapi, jika di lihat dengan seksama, maka akan terlihat dadanya turun naik serta suara dengusan nafas, menandakan bahwa tubuh itu masih bernyawa.
Sejenak, suasana terlihat sunyi, sebelum lantunan bait berirama berasal dari bibir hitam Nyi Anggar, mengubah menjadi riuh gegap gempita dengan kemunculan puluhan mahluk hitam bermata bolong. Mahluk-mahluk yang juga bermulut lebar tak berahang dengan lidah menjulur panjang, -
berjalan mendekat kearah lubang. Lidah-Lidah panjang mereka tampak mengeluarkan lendir berbau busuk menyengat, yang mereka teteskan ke lubang, di mana tubuh milik Sudiro terbaring.

"Letakkan bayi itu!" perintah Nyi Anggar pada Mbah Lenggono.
Setelah meletakan sesosok bayi mungil yang diam terpejam, Mbah Lenggono kemudian menaburkan bunga tiga warna mengelilingi tubuh sang bayi, hingga membuat diamnya berubah tangis keras mengiba.
Akan tetapi, itulah malapetaka awal, karena suara jeritan tangis dari sang bayi mungil, rupanya menjadi penanda atau awal, akan di mulainya sebuah persekutuan dengan penyerahan bayi itu sendiri, sebagai TETALEN GETEH PANGKEP.
Nyi Anggar, yang telah duduk bersila menghadap sang bayi, memejamkan matanya sembari menyilangkan kedua tanganya di dada. Tiga dupa yang telah terbakar mengepulkan asap membubung tak berpendar, -
dan seperti hanya berputar masuk kedalam lubang, menyelimuti tubuh Sudiro yang telah terbasahi oleh lendir-lendir beraroma busuk pekat.

Angin kencang mulai berhembus kuat, mengibaskan nyala api pada obor-obor besar di sekitaran ruangan.
Membuat mahluk-mahluk hitam bermata bolong mundur menjauh dari lubang, yang sudah terlihat putih tertutupi asap dupa.

Sekejap kemudian, lengking nyengit suara Nyi Anggar, mengakhiri alunan mantra pembuka ritual yang membahana seantero tepian hutan.
Membuat langit malam yg tenang, mengerjap-ngerjap mengiringi gulungan angin besar yang datang dari dalam hutan, menyambut lengkingan panjang Nyi Anggar. Hawa mencekam bertambah pekat, manakala suara gemuruh angin bebarengan dengan derap kaki riuh dan suara nyaring ringikan kuda.
Seisi mahluk dalam ruangan itu seketika menjura hormat, ketika satu sosok wanita cantik memakai kain batik bercorak, muncul dengan tebaran harum mawar yang terselip di telinganya.
"GETEH PANGKEP! BAKAL MBANJURI TETALEN KANGGO NGGOWO BETORO KOLO SAK LAWASE!" (Geteh Pangkep! Akan menjadi sebuah ikatan untuk membawa betarakala selamanya!)" ucap tegas sosok Ratu Pambayun dengan menatap nyalang, bayi mungil yang seketika terdiam dari tangisnya.
Hening, tak satupun dari Mbah Lenggono maupun Nyi Anggar yang berani menatap Ratu Pambayun, yang tiba-tiba berubah dengan mengeluarkan sebuah suara ringikan kuda.
Wangi bunga mawar yang tadinya menyejukan penciuman, berganti Bau Arus tajam menusuk, seiring perubahan wujud sosok Ratu Pambayun.

Sosok cantik yang kini menjadi sesosok berbulu coklat lebat, berwajah seekor kuda dengan dua taring panjang, mendekat pelan kearah sang bayi.
Sejenak, sosok Ratu Pambayun yang kini menjelma sosok aslinya, menatap tajam dengan mata bulat lebarnya. Lidahnya menjulur, dengusan kuat beraroma Arus, kencang terhembus saat hidungnya mengendus tubuh mungil, membuat sang bayi yang terpejam menjadi terjaga.
Keheningan dalam beberapa saat di ruangan itu, seketika pecah! Oleh jerit tangis melengking! Menyayat! Dari bayi laki-laki yang tak berdosa. Kaki mungilnya menghentak, menjejal, sebelum mengejang kuat bersama kedua tanganya.

Sekejab, suasana ruangan kembali sunyi.
Hanya suara keciplakan dari mulut bertaring Ratu Pambayun yang menghirup, meminum darah merah sang Bayi mungil yang diam kaku, dengan mata terbuka tak sempurna.
"Bangunlah Abdi Pangkepku! Tetalenmu sudah kuterima!" Ucap sosok Ratu Pambayun pada Sudiro.
Wujudnya yang kembali seperti awal, cantik dengan mawar terselip, menyunggingkan senyum dari bibirnya yang masih terkotori warna merah darah.
Dari tangan kanannya, ia menyodorkan sepotong gumpalan berlumuran darah, kepada Sudiro yang baru bangkit dari lubang. Tanpa bertanya apapun, Sudiro yang menerima potongan jantung milik sang bayi mungil nan malang, segera memakanya tanpa sisa.
Iringan tawa sosok Ratu Pambayun, saat Sudiro memakan jantung sebagai simbol, nampaknya menjadi momok bagi satu sosok perempuan muda. Sosok yang tengah tertidur pulas, tiba-tiba saja menjerit kesakitan sembari tangannya meremas kuat pada perutnya.
Wajahnya pucat dengan tubuh yang sudah basah oleh keringat.

"Mbok! Tolong Mbok!" Teriaknya di sela-sela ringisan dan bersimpuh di lantai.
Jeritanya yang keras rupanya terdengar sampai di kamar belakang, di mana satu sosok perempuan sepuh, yang mendengarnya, dengan buru-buru menuju kamarnya.

"Astaga! Den Ayu kenapa!" seru wanita sepuh yang baru saja tiba.
Hanya ringisan sakit yang menjawab seruan panik dari wanita sepuh. Membuatnya tanpa pikir panjang lagi, segera memapah tubuh wanita muda ke atas ranjang. Sejenak ia mengamati wajah ayu majikanya, sebelum jari jempol tangan kananya menekan pelan tepat di kening sang wanita muda.
Entah apa yang perempuan sepuh lihat atau rasakan, baru saja sesaat ia menekan kening majikanya, mendadak ia tarik jempolnya dan beringsut mundur. Wajah keriputnya menegang, keringat mulai mengucur deras dengan tangan sedikit gemetar.
"Siapa yang tega menandai Den Ayu Winarni!" tanya perempuan sepuh dalam batinnya sendiri. Matanya iba menatap sosok wanita muda yang tak lain, Winarni, tergolek lunglai dengan wajah masih memucat.
Udara pagi yang menghangat dari paparan cahaya matahari, menambah semangat para pekerja di sebuah tempat pembuatan alas kaki. Di mana seorang lelaki 60an berbadan tegap memakai koko panjang coklat, kopiah putih lipat, -
berdiri mengawasi sembari tersenyum mendengar canda gurau dari para karyawanya. Tampak keakraban, keceriaan serta rasa kekeluargaan, mereka baurkan menyatu dalam kebersamaan, seolah tak ada jarak antara majikan dan anak buah.
Gelak tawa mereka sejenak terhenti, manakala mereka melihat seorang laki-laki, yang berjalan pelan dan berhenti sebentar di halaman. Sekilas wajahnya menyiratkan keragu-raguan, sebelum akhirnya ia menapakan kakinya di pintu gudang.
"Maaf, boleh saya bertanya?" ucapnya, bertanya pada sosok seperti sang pemilik tempat, yang berjalan menyambutnya di pintu gudang.

"Monggo, mau tanya apa kang?" Jawab sang lelaki berbaju koko coklat dengan senyum ramahnya.
"Rumah buk Sawitri, sebelah mana ya, Pak?" tanyanya kembali, pada laki-laki tegap di depanya.

"Kang ... ini, siapa ya?" ucap lelaki sang pemilik gudang, sambil matanya menatap dalam-dalam si tamu.
"Maaf, nama saya Likun. Saya kesini mau cari Buk Sawitri. Ada urusan penting dengan beliau." jawab sang tamu, yang tak lain adalah Likun.
Kening sang pemilik gudang berkerut, wajahnya menciut seolah tengah mengingat-ngingat sesuatu.
"Maaf, kalau boleh tau? Ada kepentingan apa mencari istri saya? Dan Kang Likun ini dari mana?" Kembali sang lelaki berkopiah putih lipat masih bertanya menyelidik.
"Oh ... Kebetulan kalau begitu. Saya ini sopir Pak Satrio." Jelas Likun dengan senyum tipisnya.

Mendengar nama Satrio, lelaki yang mengaku Suami dari Sawitri, sedikit tegang. Sorotnya matanya di pertajam ke arah Likun, -
seakan ada sesuatu yang tak ia suka setelah Likun, menyebut nama Satrio.

"Mau apa Satrio mengutusmu kemari!" Ucap suami Sawitri pelan tapi tegas, pada Likun.
"Maaf, Pak. Saya kemari atas kemauan saya, bukan atas suruhan Pak Satrio! Kalau berkenan, ijinkan saya menjelaskan dengan Bapak dan Buk Sawitri, tapi bukan di sini." Jawab Likun menampik anggapan suami Sawitri.
Agak ragu suami Sawitri dengar penjelasan dan permintaan Likun, yang baru di kenalnya. Namun, pada akhirnya, Likun mendapat isyarat dari suami Sawitri, untuk mengikuti langkahnya meninggalkan gudang.
Tak ada yg istimewa dari rumah yang baru di masuki Likun, tapi, Likun yg baru di persilahkan dan duduk di kursi sofa biasa, memasang wajah begitu heran. Matanya mengedar kesekeliling ruang tamu berukuran 4x3, tanpa hiasan mewah seperti yg tiap hari matanya lihat di rumah Satrio.
Beberapa kali Likun terlihat menggelengkan kepalanya, seperti ada perasaan heran bercampur ketidakpercayaanya dengan apa yang ia saksikan. Hingga tanpa ia sadari, ketika dua sosok muncul dari pintu bertirai kain horden.
"Maaf kang! Ini istri saya." Seru suami Sawitri, sedikit mengagetkan Likun.

"Ohh ... Iya Pak ..." Jawab Likun gugup mendapati sang tuan rumah sudah berdiri di sebelahnya, tanpa ia sadari.
Seulas senyum ramah dari sesosok perempuan setengah abad, bergaun putih motif kembang-kembang, serta kerudung hitam menutup kepala dan rambutnya, menambah keanggunannya.
"Saya Sawitri." sapanya memperkenalkan diri setelah duduk bersampingan dengan lelaki berkopiah putih lipat, yang tak lain, benar suaminya.
Likun hanya mengangguk pelan setelah ia juga mengenalkan dirinya, ada rasa sungkan ketika melihat penampilan dari sosok perempuan yang sengaja di carinya.

"Maaf, Buk. Saya kemari...." Likun menunduk sebentar, melawan keraguannya untuk meneruskan ucapanya.
"Bicaralah, apa yang membuat sampean, jauh-jauh mencari istri saya!" sahut suami Sawitri menguatkan Likun.
Sejenak Likun menarik nafas panjang, sebelum menceritakan semua yang dirinya alami dalam beberapa hari, saat bersama Satrio.
Beberapa kali mata Likun menatap rikuh pada sosok Sawitri, yang wajahnya sangat mirip dengan wajah tuanya. Sementara Sawitri dan suaminya, mendengarkan semua cerita Likun dengan wajah datar tanpa expresi.
"Begitulah ceritanya. Jujur, saat ini saya bingung harus bagaimana. Sementara kondisi Pak Satrio semakin memburuk dari semalam." Ucap Likun, mengakhiri ceritanya.
Sawitri memandang suaminya sejenak, seolah meminta restu untuk membuka suara,-
yang kemudian anggukan kepala pelan suaminya, membuat Sawitri menarik nafas berat, dan menimpali cerita Likun.

"Maaf, Kang Likun. Saya memang Kakak kandung Satrio. Tapi ... Beberapa tahun silam, Saya sudah bukan anggota keluarga SAPTO PRAWAIRO. -
Sebab Saya menolak meneruskan persekutuan dengan iblis!" ucap Sawitri dengan wajah sedikit memerah.

"Untuk itu, jika sekarang Satrio tengah sekarat! Itu sudah menjadi resiko yang harus ia tanggung! Apapun alasanya." Sambung Sawitri menggebu.
"Tapi, apakah Buk Sawitri tak ingin Pak Satrio sadar? Jika berhasil di sembuhkan?" Timpal Likun berharap.

Senyum tipis menyungging dari sudut bibir Sawitri, menanggapi ucapan Likun.
"Hanya ajal yang bisa membuatnya sadar! Kesadaran yang terlambat dan akan ia sesali selamanya di akhirat, seperti Orang Tua dan beberapa saudaraku."
Tegas suara Sawitri menyahuti saran Likun, dengan mata mengembung seakan bayangan luka beberapa tahun silam, menggores kembali di hatinya.

"Lalu? Apa yang harus saya lakukan sekarang, dengan kondisi Pak Satrio saat ini? Karena hanya...."
"Tidak! Tak akan kubiarkan setetes darah Rosyid tertumpah, meski untuk menyelamatkan bapak kandungnya sendiri!" Pekik sengit Sawitri memotong ucapan Likun.
"Sudah cukup banyak nyawa dan darah yang telah di korbankan oleh keluargaku sendiri! Demi angkara nafsu iblis!" Kembali suara pelan namun tegas Sawitri, membuat Likun makin tertunduk.
"Kang Likun, meskipun Rosyid anak kandung Satrio, tapi dia sudah di titipkan kami sejak bayi, saat ibunya ikut menjadi korban persembahan Satrio. Jadi, apapun yang terjadi, Rosyid akan kami lindungi, sampai kapanpun!"
Suara suami Sawitri yang sedari tadi diam, kini ikut menguatkan ucapan Sawitri.

"Lebih baik, Kang Likun cari cara lain. Bila perlu, Kang Likun menjauh dari hidup Satrio. Jangan sampai Kang Likun ikut menjadi korban selanjutnya. -
Sebab siapapun yang ikut menikmati pemberianya maka harus siap dengan resikonya." Sambung suami Sawitri penuh bijak.

Likun terdiam dan menundukan wajahnya. Pikiranya berkecamuk dengan keadaanya saat ini. Apalagi, klebatan bayang-bayang tentang semua kejadian di kala ia -
mengantar Satrio, membawa bocah kecil ke tempat yang dirinya sendiri yakini bukan alam manusia, kembali mengusik dan mencuat di kepalanya, membuat wajahnya di penuhi kegusaran.
Dengan tangan hampa dan langkah gontai, Likun berpamitan meninggalkan rumah tak begitu mewah Sawitri, kakak kandung Satrio. Namun, saat kakinya akan menapak keluar dari halaman berumput rumah Sawitri, satu panggilan dari Suami Sawitri menghentikan langkahnya.
"Kang Likun. Saran saya, Kang Likun jangan kembali kerumah Satrio. Sebab dalam perut Kang Likun telah bersemayam AMUNGKO." Satu kalimat pesan dari Suami Sawitri seketika membuat tubuh Likun dingin. Jiwanya tercekat! Dengan pikiran berkecamuk, yang berbuah ketakutan.
***
Hari sudah beranjak petang, kegelapan malam sudah menanti di ambang pintu, untuk segera mengganti perubahan sang waktu. Membuat sebagian orang ceria, menyambut kepulangan anggota keluarga, yang baru pulang setelah beraktivitas seharian di luar.
Tapi tidak pada sebujur tubuh gempal, yang terbaring di ranjang empuk bertilam kain halus.

Beberapa kali matanya mengerjap dan menatap ke arah pintu kamar, seperti tangah menunggu seseorang penuh harap. Wajahnya yang pucat pasi, menggurat dan menahan rasa gusar serta sakit, -
manakala dirinya beberapa kali terbatuk, dengan melelehkan darah hitam beku. Sirat kelegaan sedikit terpancar, ketika telinganya mendengar derap langkah kaki dari luar, menuju kamarnya. Berbinar mata sosok berperut buncit yang tergolek lunglai di atas ranjang, -
saat pintu kamar terbuka, dengan satu sosok yang memang ia tunggu dan harapkan kedatanganya.

"Kang Likun." berat dan parau suara sapa, dari sosok yang tengah berusaha untuk bangkit dan bersandar.

"Maaf, Pak Satrio. Saya terlambat." Sahut sosok yang baru datang. Likun.
"Bagaimana Kang? Apa Kang Likun ketemu Mbakyu Witri?" Tanya Satrio tak sabar.

"Iya Pak, Saya ketemu dengan Buk Sawitri. Tapi ... Maaf Pak! Saya tak berhasil." Jawab Likun dengan pelan dan menunduk.
Mendengar jawaban Likun, wajah antusias Satrio, berubah mengeras. Matanya nyalang menatap kearah Likun dengan geraman tertahan, sampai darah yang keluar dari bibirnya menderas keluar. Likun yang tau akan kemarahan Satrio terdiam membisu, pikiranya carut marut berkecamuk,-
menahan takut dan amarah, yang mana ingatanya kembali pada kalimat, pesan terakhir suami Sawitri.

"Akhirnya! Kejayaan Trah keluarga SAPTO PRAWAIRO harus berakhir malam ini!" Ucap Satrio dengan suara berat.
Wajah Satrio menengadah Sejenak, sebelum matanya menatap hambar pada lukisan tangan, dua sosok yang menghias dinding kamarnya.

"Maaf, Pak Satrio. Apakah selain Buk Sawitri, tak ada lagi yang bisa menolong Pak Satrio?" Tanya Likun yang melihat keputus asaan dalam diri Satrio. -
Satrio yang mendengar ucapan Likun, memalingkan wajahnya. Sebentar ia menatap Likun lekat-lekat, sebelum tawa keras keluar dari mulutnya yang masih terbasahi darah hitam.
"Andaikan Nyai Dewi Prameswari tidak sedang dalam Mukso Sukmo! Tentu kita tak akan mati secepat ini!" sahut Satrio setelah menghentikan tawanya dan menatap dingin lukisan wanita cantik berkebaya kuning.
Likun yang mendengar dengan seksama ucapan Satrio, beringsut mundur dengan wajah memucat.

"Apa maksut Pak Satrio dengan KITA!" Tanya Likun dengan suara mulai bergetar.
Kembali Satrio tertawa keras mendengar pertanyaan Likun, meskipun berkali-kali harus terjeda saat mulutnya menyemburkan darah hitam.
"Kang Likun! Jika Aku mati! Kang Likun akan menemaniku, sebab GETEH BOCAH AMUNGKO sudah Kang Likun santap, dan masuk dalam darah daging Kang Likun!" Ucap Satrio menjawab kecemasan Likun.
Seketika tubuh Likun menggigil lemas, wajahnya memucat, dengan runtukan dalam hati, setelah tau, ternyata hidangan yang ia makan, adalah bagian tubuh bocah tak berdosa yang menjadi tumbal.
Geraham gigi Likun bergemelatak menahan amarah, matanya melotot tajam ke arah Satrio, yang masih tertawa keras.

Namun sayang, tubuh Likun seketika limbung, saat kakinya ingin mendekat kearah Satrio. Dari dalam perutnya, -
Likun merasakan sesuatu yang tiba-tiba seperti memaksa ingin keluar, sampai urat leher dan wajahnya menonjol keras, menunjukan jika ia menahan sakit luar biasa.

Satrio semakin tergelak melihat Likun yang kelojotan di lantai, sebelum diam sejenak dan berseru garang.
"AMUNGKO REKSO PATI ... AMUNGKO REKSO PATI ... AMUNGKO REKSO PATI."

Di saat itulah dari mulut Likun mengeluarkan untaian rambut-rambut hitam yang memanjang seolah tiada ujung.
Rambut-rambut yang terbasahi lendir hitam berbau busuk, terus mengular membalut tubuh Likun, yang menjerit meronta kesakitan.

Di saat tubuh Likun hanya menyisakan kepala nya saja yang masih terlihat, seketika itu juga! Satu dentuman keras terdengar dari luar kamar Satrio, -
sebelum satu sosok melesat masuk kedalam kamar. Mata Satrio terbelalak kaget, melihat sosok lelaki muda bertelanjang dada, berwajah pucat, kini sudah berdiri tegak di samping tubuh likun yang terkapar mengejang.
Namun, yang lebih membuat Satrio terkejut adalah, satu bawaan yang di tenteng tangan kanan sosok tersebut, sebuah kepala.

"Suntoro!" seru Satrio tertahan. Saat mengenali sosok lelaki muda yang menjelma sebagai RANGGI ANOM.
Senyum sengit atau lebih tepatnya seringaian dari sudut bibir sosok Toro, mengiring lemparan potongan kepala yang jatuh tepat di hadapan Satrio.

"Hari ini kita sudahi permusuhan keluarga kita!" Ucap sosok Toro dingin.
Satrio yang baru saja meringis ngeri, melihat potongan kepala botak tengah, mengelupas dan berlendir, menatap Toro dengan mata tajam. Tanganya menggenggam kuat seraya tertawa keras membahana, sebelum lengkingan panjang menggema, mengakhiri hidupnya.
Senyum puas tersungging dari mulut Suntoro, matanya melotot menatap tubuh gempal Satrio, yang terkapar dengan perut membuncah. Genangan darah Satrio dan Likun yg membaur di lantai marmer, menjadi saksi kematian mengerikan, kematian mengenaskan, dari TRAH TERAKHIR SAPTO PRAWAIRO.
Dinginya udara malam dengan rintik gerimis membasahi alam sejak sore, membuat kenyamanan melelapkan sesiapa saja untuk melepas lelah dan penat dari kesibukan di siang hari. Tapi, tidak bagi Winarni, Selimut lembut nan halus, yang seharusnya bisa menghangatkan, -
memberinya rasa nyaman, di kala suasana dingin, tak mampu menghilangkan kegusaran dalam dirinya.

Semenjak kejadian beberapa waktu lalu, saat perutnya seperti terjalari sesuatu yang membuatnya kesakitan, Win, selalu merasa di awasi bayang-bayang satu sosok.
Selagi Win tengah melawan rasa mual yang amat, kembali ia di kejutkan dengan suara kaca jendela yang pecah.
Namun, lebih dari itu, tubuh Win seketika menggigil ketakutan, takkala matanya melihat dengan jelas dari jendela yang sudah tak berkaca, sesosok wajah pucat dengan mata merah menyorot tajam ke arahnya.
"Mbok....! Mbok....!" Teriak Win melengking, saat ketakutanya memuncak tak tertahan.

Sedangkan sosok lelaki muda bertelanjang dada yang masih berdiri tegap, tampak menyeringai melihat tubuh Win gemetar hebat.
"Ada apa Den Ayu!" seruan kaget dari perempuan sepuh yang baru masuk kekamar, saat melihat kondisi Win, yang pucat dengan tubuh sudah terbasahi keringat.

"Ada apa lagi Den Ayu?" Kembali sang wanita sepuh bertanya saat tubuh Win sudah dalam pelukanya.
"Itu Mbok ... Itu di luar jendela." Jawab Win pelan, semakin membenamkan kepalanya di pelukan Mbok Idah. Sang Wanita Sepuh.

Wajah Mbok Idah sesaat menegang, ketika matanya beradu dengan sorot mata merah yang di tunjuk Win, di luar jendela.
Tapi, sebentar kemudian, Mbok Idah yang perlahan melepas pelukan Win, berdiri menghadap sosok itu seolah tak ada rasa takut dalam dirinya.

"Siapa Kamu!" ucap Mbok Idah dengan lantang dan berani.

"Hemmhhg ... Mana Sudiro!" Jawab sosok itu yang di dului geraman.
"Tuan Diro tak ada di rumah! Jangan ganggu kami." jawab Mbok Idah tegas. Namun, sebentar kemudian, wajah Mbok Idah berubah, ia terlihat meringis ketika memperhatikan dua tangan dari sosok itu yang memegang gulungan rantai, untuk menyeret dua kepala di belakangnya.
"Mas Diro! Tak akan kubiarkan hidupmu tenang!" Pekik dengan suara berat Sosok itu, sembari wajahnya yang putih pucat menengadah ke atas.

Tapi, sesaat kemudian, sosok bersewek hitam yang baru saja memekik, terdiam.
Matanya mengedar seakan tengah merasakan sesuatu ... Sesuatu yang sekejab kemudian, tiba-tiba saja membuat tubuhnya terpental.

Mata Mbok Idah dan Win, terbelalak! Melihat puluhan sosok hitam bermata bolong, -
bermulut lebar tak berahang mendadak muncul di luar kamar, setelah sosok lelaki muda terpental beberapa meter kebelakang.

"Tutup kain jendela itu Mbok!" Satu seruan tegas mengejutkan Mbok Idah dan Win.
Suara dari Lelaki yang sudah berdiri di depan pintu dengan wajah tegang dan mata melotot, menunjukan rasa ketidak senangan.

"Baik Tuan." sahut Mbok Idah, buru-buru melangkah ke arah jendela. Mbok Idah melihat sekilas ke luar jendela, namun, yang matanya lihat kini, -
hanyalah hamparan lahan mengkilap, dari air hujan yang terpantul cahaya lampu, di tiap-tiap sudut.

Tak ada sosok lelaki muda, tak ada mahluk hitam bermata bolong, tak ada dua kepala yang menggelinding terikat rantai, semuanya hilang, seolah tak terjadi apa-apa.
Tapi, satu yang membuat Mbok Idah yakin jika kejadian yang dirinya dan Win lihat nyata, pecahan kaca.

"Maaf, Tuan. Saya permisi." Pamit Mbok Idah setelah menutup kain putih dan kain horden di jendela, pada sosok yang sudah berada di dalam kamar, tak lain, Sudiro.
"Mas. Aku takut sekali!" Ucap Win menghambur dalam pelukan Diro, setelah kepergian Mbok Idah.
Ia menagis ketakutan, namun, Diro terlihat hanya menanggapi dengan dingin.

"Sudahlah, sekarang sudah tak ada apa-apa." Sahut Diro datar.
"Tapi laki-laki itu mencarimu mas, dia mengancam gak akan membiarkan hidup kita tenang!" Kembali Win mencoba meluapkan ketakutanya dan kecemasanya.

Sudiro hanya terdiam, matanya menatap kearah jendela yang sudah tertutup kain. Benaknya berkecamuk, -
penuh tanya tentang yang terjadi selanjutnya. Sebab, dia tak begitu yakin, jika puluhan mahluk hitam pengikutnya, mampu memusnahkan sosok lelaki muda yang Win katakan mengancamnya, karena Diro sendiri tau, siapa sosok lelaki muda itu.

***
Jika di rumah Sudiro sendiri ketegangan telah terlewati, tapi tidak di rumah keluarganya dulu. Rumah berlantai dua, berhalaman luas dan berpagar teralis dengan pagar tembok mengitari seluruh rumah.
Suyuti, yang telah mendapat mandat, untuk merawat rumah peninggalan sang pemilik ROGOH NYOWO, tampak terlelap dengan selimut tebal membungkus tubuhnya. Sementara, penghuni rumah yang masih terjaga di malam dengan hawa dingin menusuk, adalah dua penjaga di pintu depan.
"Kang, rasanya dingin banget malam ini." Ucap salah satu dari mereka, Idris.

"He eh Dris, kayak dingin senyap. Mana jaket aja masih tembus." Sahut Ratno, dengan posisi menelungkupkan sarung kumal pada tubuhnya dengan posisi duduk.
Sejenak mereka masih asyik dengan hawa dingin, dan sebuah acara di salah satu stasiun TV hitam putih di pos. Sebelum Ratno, pamit untuk mengambil air panas di dapur belakang rumah.
Ratno yang berjalan dengan memutar dari arah samping, sejenak terpaku menatap bangunan kecil di sudut kiri belakang rumah, paling ujung. Matanya mengerjap-kerjap, ketika melihat satu bayangan dengan dua buah kerlipan api. Rasa penasaran Ratno meninggi, -
manakala bayangan itu berjalan mendekati bangunan joglo di sebelah kanan, tepatnya di samping bangunan kecil yang terdapat tiga patung pendek dan panjang menyerupai sesosok mahluk.
Ratno melupakan tujuan awal, ia memilih mengikuti langkah bayangan yang dirinya curigai pencuri. Namun Ratno salah, ketika kakinya tinggal beberapa meter dari bangunan itu, lutut Ratno gemetar.
Keringat mengucur deras dari tubuh dan wajahnya yang memucat, bau busuk yang sejatinya menyengat, tak lagi ia hiraukan ketika matanya menatap lekat bayangan yang ia ikuti, ternyata sesosok mahluk bermata merah nyala dengan tubuh tinggi menjulang.
Geraman yang keluar dari mulut bertaring mahluk itu, meluluh lunglaikan seluruh persendian tubuh Ratno, hingga tubuhnya jatuh tersimpuh di hadapan sosok mahluk berkepala plontos tanpa sehelai rambut, yang hanya berhias dua tanduk merah api.
Tak ada kata, ucapan yang keluar dari mulut Ratno, hanya pekik dan jerit tertahan yang di expresikan dari wajahnya, saat sosok itu mendekat dan menancapkan kuku-kuku tajam di perut Ratno, yang langsung mengoyak isi dalamnya.
Seringaian puas dari sosok itu, masih Ratno lihat terakhir kali saat tubuhnya mengejang, sebelum dua taring mahluk itu, menyumbat nafas Ratno selamanya.
Di sisi lain. Idris, mulai gusar dengan kepergian Ratno yang pamit untuk mengambil air panas, namun sudah hampir satu jam, Ratno tak jua kembali. Dengan sedikit keberanian, Idris berinisiatif menyusul Ratno, dengan melalui jalan yang sama, memutar dari samping kiri.
Meski tak di pungkiri, rasa takut dan merinding mulai menggelanyuti dirinya, namun Idris tetap meneruskan langkahnya hingga menginjakan kaki di lantai dapur.
Kosong. Sunyi, itulah yang Idris lihat dan rasakan ketika dirinya telah berada di dalam dapur. Matanya mengedar kesekeliling ruangan, mencari sosok yang ia susul, Ratno. Namun, sampai seluruh ruangan, bahkan hingga Idris cari ke ruang-ruang dalam rumah,-
sosok Ratno tak Idris temukan. Lama Idris tertegun di luar pintu dapur, ia bingung dan cemas, wajahnya menegang dengan perasaan mulai di susupi kekhawatiran, namun Idris masih berharap dan bertekad untuk terus mencari Ratno.
Tetapi, langkah dan semangat Idris sebentar kemudian luntur, ketika telinganya mendengar suara gerincing, layaknya rantai diseret menyentuh lantai. Idris tercengang dgn tubuh menahan gigil ketakutan, saat ia menoleh, satu sosok hitam hanya bersewek berdiri menatap sayu padanya.
Suara gemerincing yang awal Idris dengar, ternyata berasal dari rantai, yang membelenggu tangan dan kaki sosok tua dengan begitu erat. Rasa ngilu dan ngeri terpancar dari wajah Idris, saat matanya menatap lengan tangan dan kaki yang terbelenggu dari sosok itu,
hanya terlihat tulang-tulangnya tanpa daging sama sekali.

"Temanmu sudah mati! Ia sudah di santap penghuni tempat itu!" ucap sosok tua itu, sembari menunjuk bangunan kecil di sudut kiri halaman belakang.
Tercekam Idris mendengar suara berat sosok yang baginya sudah menakutkan, tapi kini, ada yang lebih menakutkan baginya, yaitu ucapan sosok di hadapanya yang memberi tau jika Ratno temanya, yang tengah ia cari, sudah meninggal.
Belum hilang rasa takut yang mencekam Idris, kembali ia dikejutkan dengan kemunculan dua sosok perempuan berwajah pucat pasi, dengan wangi kembang kamboja, semakin menyudutkanya. Dua sosok perempuan tanpa expresi dan sorot mata kosong,-
mendekat kearah Idris yang sudah terduduk bersandar dengan air mata mengalir. Idris sendiri sudah tak berdaya dalam kepasrahan, saat dua sosok perempuan itu menarik, menyeret kedua tanganya dengan keras.
Mata Idris terpejam, rasa sakit pada tulang-tulangnya, rasa perih pada lecet di kulitnya, sudah tak ia hiraukan.

Namun, ketika tarikan yang ia rasakan berganti sebuah lemparan, ia membuka matanya. Hanya mata melotot dengan jerit tertahan di tenggorokan yg mampu Idris lakukan.
Manakala tepat di depan matanya, sebujur tubuh Ratno yang tercabik-cabik dengan isi perut memburai, sudah tak bernyawa. Idris masih sempat melihat dua sosok perempuan yang menyeret dan melemparnya,-
menyeringai dan berlalu mengikuti langkah laki-laki tua yang terbelenggu rantai, sebelum gelap menghampiri Idris.

Keesokan harinya, Rumah yang kini di urus Suyuti geger, setelah di temukan mayat Ratno bersampingan dengan Idris yang pingsan.
Beberapa polisi yg mendengar kejadian itu sempat memasang garis polisi, namun, tak ada bukti apapun yang bisa polisi jadikan alat, sehingga kasus itu di tutup. Idris, meski ia tak sampai meninggal, tapi naas, ia menjadi linglung dan depresi berkepanjangan hingga membuatnya gila.
Setelah kejadian itu, rumah peninggalan Yono di kosongkan hingga beberapa tahun, tak ada yang berani menempati, sampai satu kontraktor yang menyewanya untuk pekerja dan dirinya kembali membangkitkan malapetaka di rumah itu.
INI ADALAH CERITA AKHIR RUMAH PENINGGALAN SUYONO DALAM ROGOH NYOWO. SEBAB RUMAH YONO AKAN DI TULIS DALAM CERITA LAIN, YAITU

""OMAH ANGKER JEJER KOLO PATI""
"Nduk, apa yang tengah kamu pikirkan?" sapa pelan seorang wanita setengah abad, pada wanita muda yang duduk, di bawah pohon beringin nan besar menikmati semilir angin dan semburat kekuningan di ujung langit.
"Tidak Ibu ... Wuri tidak memikirkan apa-apa." sahut wanita muda, yang tak lain adalah Wuri.

Laswati, menyunggingkan senyum penuh kasih sembari tanganya mengusap rambut kepala Wuri, ia tau betul dengan sifat putri satu-satunya itu.
Gurat kesedihan sejenak terpancar dari wajah Laswati, ketika melihat putrinya mengusap pelan perutnya yang telah membesar. Ada rasa nyeri menelusup ke dalam dadanya, saat otaknya merekam kembali peristiwa demi peristiwa,-
yang telah banyak merenggut kebahagiaan dan nyawa orang-orang yang seharusnya ikut berbahagia, dengan bakal kelahiran anak pertama Wuri, sekaligus cucu pertamanya.
"Menjadi Laweyan Lenggan memang berat Nduk. Apalagi, umurmu yang masih terlalu muda. Tentu Ibu tau betapa sulitnya kamu untuk melupakan dunia." Ucap Laswati kembali dengan pelan.
"Ibu tenang saja, Wuri pasti kuat, Wuri pasti bisa melewatinya demi anak ini kelak." Sahut Wuri menunduk, dan kembali mengusap pelan perutnya yang terbungkus kebaya berenda di lapisi kain selendang biru muda, kendit sutra.
Meski tampak tegar, namun dua bulir bening dari matanya tetap saja meleleh. Membuat Laswati yang mengetahuinya, segera merengkuh kepala Wuri, dan membenamkanya dalam-dalam ke dadanya.
"Sudah Nduk, hampir surup. Kita masuk sekarang." Ujar Laswati, yang tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.
Waktu memang semakin gelap, membuat Wuri bangkit, dan melangkah masuk mengikuti Laswati. Suasana sunyi di sekitaran rumah peninggalan Mbah Sinom, yang memang terletak jauh dari rumah tetangga, sangat terasa jika waktu malam menjelang.
Apalagi, warga sekitar yang mengenal Mbah Sinom sewaktu masih hidup, sebagai seorang tetua Kejawen, akan riskan bila bertamu tanpa urusan penting. Oleh sebab itu, hampir setiap malam keheningan akan selalu menyelimuti kediaman Mbah Sinom.
Mbah Sinom sendiri, memang di kenal baik, disegani, berwibawa, juga di sepuhkan, namun tak jarang mereka akan berpikir ulang untuk sekedar lewat di depan atau samping rumah Mbah Sinom, yang sebenarnya sebuah jalan kampung,
Sebab kesan angker melekat kuat pada warga, yang tau kebiasaan dan tradisi keseharian di rumah Mbah Sinom.

Meskipun kini Mbah Sinom sudah tiada, namun kebiasaan dan tradisi itu masih berlanjut, terlihat dengan kepulan asap dupa dan taburan bunga-
bunga di hampir setiap sudut rumah serta di bawah pohon beringin, yang berbalut kain putih di halaman depan.

Adalah Mayang, putri bungsu Trah Rengko, yang mendapat mandat dari Mbah Sinom, untuk meneruskan semua tradisi yang selalu di lakukan Mbah Sinom semasa hidup.
Walau Mayang sendiri, tak pernah menjadi seorang Laweyan Lenggan, namun, setelah kematian suaminya, Mayang tak pernah lagi mau menikah.

Kini, Trah atau keterunan RENGKO, hanya tinggal bertiga, dengan tampuk Laweyan Lenggan di pegang oleh Wuri yang tengah mengandung.
Meskipun, rumah prabon peninggalan Ki Rengko masih utuh di kota apel, tapi mereka memilih tinggal bersama di rumah joglo kediaman Mbah Sinom, di tempat yang telah di buka awal oleh Trah keturunan Blambangan.
"Ada apa Mbah?" tanya Wuri pada Mayang, yang tengah berdiri di depan jendela ruang depan, dengan tatapan lurus kedepan.

Mayang membalikan tubuhnya setelah mendengar sapaan Wuri, matanya menatap sayu Wuri dan Laswati, yang baru saja masuk dari belakang.
"Gak apa-apa Nduk. Cuma ... mungkin sebentar lagi kita kedatangan tamu." jawab Mayang dengan polesan senyum tipis, menutupi keresahan pada wajahnya.

Sejenak, Wuri dan Laswati terlihat saling pandang. Benak keduanya di penuhi tanda tanya, mendengar kata TAMU, yg di ucap Mayang.
"Siapa Bulek?" tanya Laswati yang mulai gusar.

"Entahlah. Tapi, Saya harap tamu ini nantinya tak membawa memolo untuk kita, terutama kamu dan bayimu Nduk." sahut Mayang sembari menatap Wuri.
Baru saja Wuri menganggukan kepalanya pelan, mereka di kejutkan dengan suara deru mobil yang datang dan berhenti di halaman depan. Wajah Mayang tiba-tiba saja menegang, menatap dua lelaki yang baru saja turun dari mobil.
Tapi, nampaknya bukan dua sosok itu yang membuat Mayang tercekat, tapi sosok-sosok lain yang hanya bisa di lihat oleh matanya sendiri.

"Rupanya ABDI SASONGKO!" Gumam Mayang lirih.

"Ada apa Mas Diro kemari?" Ganti Wuri yang bergumam, setelah tau siapa tamu yang datang.
Ada kecemasan terlihat di wajah Wuri, sebab ia tau dan yakin, jika kedatangan Diro, tak mungkin tanpa suatu tujuan. Apalagi, selama ini Wuri juga tau jika hubungan Sudiro dan Suntoro, Suaminya, tak baik. Bahkan mereka saling bermusuhan.
"Kamu tunggu di sini saja Nduk, biar Aku dan Ibumu yang akan menemuinya." Ucap Mayang, melihat ada kecemasan yang mendera Wuri.

Wuri hanya terdiam tanpa menjawab, matanya tersingkup dan menunduk seperti berdoa, yang mungkin untuk meminta keselamatan dirinya, -
Mayang serta Ibunya, yang sudah berlalu dari hadapanya.

Wuri yang masih di liputi rasa cemas dan sedikit penasaran, melangkah, mendekat kearah jendela. Matanya mengawasi sosok Ibunya dan Mayang, -
tengah berhadapan dengan sosok laki-laki, kini berjumlah tiga orang, dan hanya satu yang Wuri kenal, Sudiro.

Sekilas, Wuri melihat tak ada ketegangan, meski wajah-wajah yang di terangi cahaya lampu remang, tengah serius. Sampai beberapa saat kemudian,
Mayang terlihat begitu antusias mendengar ucapan-ucapan dari Sudiro, yang Wuri lihat dari gerakan mulutnya, sebelum mereka semua melangkah beriiringan masuk kedalam.

Wuri yang keheranan dan sedikit takut, sempat ingin masuk kedalam kamar, tapi, -
langkahnya terhenti dengan terciumnya harum melati dan kemunculan sosok wanita ayu, di depan pintu.

"Kanjeng Ibu!" Seru Wuri sedikit terkejut.

"Tenanglah Nduk, temui Abdi Sasongko. Ada sesuatu yang bisa kamu dapatkan dari dia." Ucap sosok yang di segani Wuri.
Wuri tertunduk sebentar, namun saat ia ingin menyahuti ucapan NYI LENGI, yang membuatnya penasaran, sosok Nyi Lengi sudah menghilang.

Rasa heran, takut, membaur dalam benak Wuri. Heran, dengan ucapan sosok yang sudah ia anggap Ibunya sendiri.
Takut, saat harus bertemu dengan Sudiro, sebab Wuri tau, sikap diam mantan kakak iparnya, mencerminkan kebengisanya.

"Nduk," satu sapaan dari suara lembut Ibunya, Laswati, menyadarkanya dari lamunan.
"Iya, ... Buk." Jawab Wuri sedikit gugup, apalagi, kini di hadapanya lima sosok tengah menatapnya.

"Pak Diro ingin bicara padamu," Ucap kembali Ibunya, membuat Wuri terpaksa menganggukan kepalanya.
Diro yang berdiri di belakang Mayang, melangkah maju. Matanya menatap datar Wuri yang masih tertunduk, sebelum kalimat demi kalimat ia ucapkan, membuat Wuri yang mendengarkan dengan seksama, tertegun.
Jika awal dirinya di rundung rasa takut dan cemas, tapi setelah mendengar maksud dari tujuan Diro, Wuri berubah bingung.

"Bagaimana Dek? Apakah Kamu bersedia?" tanya Diro yang melihat Wuri terdiam cukup lama setelah mendengar penuturanya.
Wuri yang masih terlihat ragu dan bimbang, mengedarkan pandanganya pada Mayang dan Ibunya, seolah meminta petunjuk dan restu sebelum menyanggupi permintaan Sudiro.
Namun, Mayang dan Ibunya hanya diam tanpa expresi, seakan malah membalikan semua kepada dirinya. Ingatan Wuri sejenak kembali pada satu sosok, yang beberapa saat lalu muncul dengan ucapan penuh arti, dan kini Wuri mengerti jika itu adalah satu petunjuk baginya.
"Baiklah. Aku bersedia Mas! Tapi, setelah semua ini berakhir, Aku minta, Mas Diro tak mengganggu kehidupan kami lagi." ucap Wuri dengan tarikan panjang, membuat Diro tersenyum menyanggupi.
Semilir angin malam dengan cuaca mendung, yang sedari sore di rasakan Wuri beserta Ibunya dan Mayang, mendadak lenyap. Berganti dengan hawa panas menggerahkan, membuat buliran-buliran keringat mengucur dari tubuh semua orang, yang berada di dalam rumah peninggalan Mbah Sinom.
Tak hanya sampai di situ, ketika kepulan asap dupa yang memenuhi sebuah ruangan, di mana terdapat sesosok lelaki tua, Mbah Lenggono, yang tengah melakukan ritual, membubung keluar dari segala celah, seketika di sambut gemuruh, gelombang angin kibasan.
Yang kemudian di susul letupan-letupan kecil di atas atap genteng, menimbulkan percikan-percikan api, membuat suasana rumah peninggalan Mbah Sinom, berubah mencekam.
"Sebentar lagi Dia akan datang!" ucap Mbah Lenggono yang baru keluar dari kamar ritual, dengan wajah pucat berkeringat.

"Dek, Wuri. Apa kamu sudah siap?" tanya Diro pada Wuri, setelah mendengar penuturan Mbah Lenggono.
Wuri hanya menganggukan kepala dengan perasaan bercampur aduk. Kemantapan hatinya seolah goyah saat mendengar kata "DIA", yang membuat ingatanya melambung ke beberapa bulan silam, saat semua ketegangan dan kabut hitam dalam hidupnya di mulai.
"Dia sudah datang!" ucap Mbah Lenggono kembali dengan wajah menegang.

Namun, yang paling tercekat saat itu adalah Wuri. Kata "DIA" yang kembali di ucap mbah Lenggono, bagaikan welat tajam menyayat hatinya.
Wuri menunduk, di usapnya perut yang sudah mulai membesar, dengan guratan wajah menunjukan satu kesedihan dan keterpaksaan.

"Maafkan Ibu, Nak." Gumam Wuri, menitikan dua bulir bening, namun cepat-cepat ia hapus dengan tanganya.
Berbeda dengan keadaan di luar, saat dua sosok muncul beriringan, dengan raut amarah yang meluap. Terutama dari sesosok laki-laki muda bertelanjang dada, yang berdiri di depan sesosok wanita berambut panjang, bergaun biru.
Matanya merah, tatapanya tajam menusuk, mencerminkan luap kemarahan yang memuncak. Sedang di depannya, tiga sosok yang berdiri menghadang, memandang sinis dengan kilatan kesiapan yang tak kalah tajam menatapnya.
"Penghianat! Mana Tuanmu!" ucap tegas sosok lelaki muda berwajah pucat, yang tak lain Suntoro, sembari menatap Mbah Lenggono.

Tak ada sahutan dari Mbah Lenggono, ia seperti terpaku menatap sosok di belakang Suntoro, wanita jangkung bergaun biru panjang dan bersanggul.
"Rupanya Adikku, RANGGI ANOM. Masih belum menerima kenyataan" Satu suara pelan namun terdengar jelas dari Sudiro. Yang tiba-tiba keluar dari balik pintu, dengan tatapan dingin.
Sosok Suntoro, yg mendengar dan melihat Diro baru keluar, menyeringai sengit. Matanya terlihat bertambah merah dan nyalang. Apalagi, saat sosok-sosok hitam bermata bolong, yang pernah menghadang dan mengusirnya, saat ia meneror rumah Kakaknya itu, kembali muncul mengelilinginya.
"BETOROKOLO!" ucap sosok wanita jangkung bergaun biru panjang, terkejut! Ketika menyadari puluhan Mahluk bermulut lebar tak berahang, sudah mengepung dirinya yang berdiri di belakang Toro.
Tak hanya di luar, ketegangan juga di rasakan satu wajah yang tengah mengawasi di balik jendela dalam rumah. Kilatan bayang kenangan yang menggores, begitu membekas terlihat dari pancaran matanya, yang terarah ke sosok lelaki muda bertelanjang dada, Suntoro.
Ada kerlingan dendam bergemuruh, saat sosok tak lain dan tak bukan, dalah Wuri, yang mengawasi dari dari dalam, mendengar ucapan-ucapan sosok Suntoro yang menyangkut dirinya, sebelum terjadi pergulatan di iringi dentuman-dentuman yang sesekali di barengi kilatan berpercik api, -
dan hanya bisa di lihat dengan mata batin terjadi dari dua kubu yang sejatinya bersaudara kandung.

Sampai beberapa lama kemudian, suasana tegang memanas di halaman rumah peninggalan Mbah Sinom, terhenti sejenak. Saat mata semua sosok yang berada di tempat itu, -
terfokus pada sosok Suntoro yang tiba-tiba terpekik dengan mata membeliak.

Tubuh Suntoro menghitam, selaras dengan darah yang mengalir dari dada sebelah kirinya, yang tertancap sebilah keris bergagang kepala naga, bermata batu hijau.
Toro terduduk lunglai, matanya meredup menatapi satu persatu sosok-sosok di depanya, sebelum satu tangan mencabut keris dari dadanya, membuat tubuh Toro terbaring dengan keadaan gosong.
Sunggingan senyum sinis, atau seringaian dari sudut bibir Diro, yang telah berhasil menancapkan keris Laweyan Lenggan, bertolak dengan raut wajah Wuri. Semburat kesedihan nampak jelas, saat ia menatap tubuh gosong Toro, sembari mengelus perutnya.
"Sesuai janjiku. Mulai sekarang kita sudah sama-sama aman dari terornya, dan jika memang Kamu tak mau menerima pemberian dariku, atau dari peninggalan keluargaku, Aku tak berhak memaksa.
Tapi, jika suatu hari nanti, kamu, atau calon anakmu kelak membutuhkan sesuatu, silahkan datang padaku." ucap Diro, setelah tubuh gosong Toro menghilang bersama sosok perempuan jangkung bergaun biru.
Wuri hanya tertunduk tanpa menjawab, matanya menatap keris berkepala naga, yang baru saja ia pinjamkan pada Diro, untuk membunuh atau menyempurnakan sosok pewaris ROGOH NYOWO, yang juga mantan suaminya, Suntoro.
ROGOH NYOWO
((BAGIAN 6) Image
“Akkhhhggg ... Aaaakkhhgg...."

Jeritan panjang melengking, mendadak terdengar memecah kesunyian malam, berasal dari sebuah rumah joglo lawas. Dimana, di sebuah kamar yang bercahaya pendar dengan wangi dupa,-
tampak sesosok wanita muda berwajah pucat penuh keringat tengah mengejan kuat.

Berkali-kali ia mengangkat kepalanya sembari berteriak, tanganya mencengkram kain tilam pembungkus kasur kapuk, dengan mata sesekali terpejam menahan sakit.
Wajah tegang juga terlihat dari tiga orang wanita yang mendampingi. Mereka tak henti-hentinya menguatkan sang wanita muda. Sampai akhirnya, satu suara tangisan Bayi terdengar dan mengakhiri perjuangan sang wanita muda, yang tak lain, WURI.
"Laswati! Cepat kamu ambil lampit putih itu!" ucap perintah salah satu wanita berkebaya batik hitam, pada Laswati.

"Baik, Bulek." sahut Laswati sedikit gugup.
"Dan Sampean Mbok Par! Siapkan air untuk memandikan Bayi ini." Kembali sang wanita bersanggul, memberi perintah pada sosok wanita paling tua, penderek Mbah Sinom dulu.

Sedang sosok wanita berkebaya hitam sendiri, yang tak lain adalah, Mayang. Terlihat memejamkan matanya.
Bibirnya naik turun, suara lirihnya terdengar mengucapkan bait-bait rangkaian kalimat seperti sebuah senandung berirama, dengan bahasa jawa halus, sebelum tangan kanannya yang memegang sebuah welat bambu memutus tali pusar Sang Jabang Bayi.
Satu jeritan melengking kembali terdengar dari Wuri, yg di barengi dengan kemunculan satu sosok wanita ayu dgn wangi melati, manakala Mayang telah berhasil memutus tali pusar.
Sosok wanita ayu, yang tak lain adalah Nyi Lengi, tampak tersenyum seraya mengusap rambut kepala Wuri.
"Kanjeng Ibu." sapa pelan Wuri, yang juga tersenyum dengan wajah pucatnya.

"Kamu berhasil, Nduk. Lihatlah, GETEH PENGAREP sudah terlahir." sahut Nyi Lengi sembari menunjuk Bayi mungil yang tengah di gendong Mayang.
"Dengan kelahiranya ini, maka tugasku menjaga rahimmu, selesai Nduk. Aku akan kembali keselatan." kembali Nyi Lengi menyambung ucapanya, yang sejenak membuat wajah Wuri semakin pias.
"Kanjeng Ibu. Apakah kelak saya tak bisa lagi bertemu dengan Kanjeng Ibu?" ucap Wuri dengan raut kesedihan.
"Tentu saja masih bisa Nduk. Kendit sutra itu nantinya akan menjadi penghubung. Simpanlah baik-baik olehmu." sahut Nyi Lengi dengan senyum tipis seraya bangkit, dan mendekat kearah Mayang dan Sang Bayi Mungil.
"Mayang, kamu tentu tau apa arti dari kelahiran Geteh Pengarep?Jadi jgn sampai kamu lengah. Puluhan manusia, ratusan lelembut sudah pasti akan berebut mendapatkanya sebelum jejer pancernya kembali ke asal." ucap Nyi Lengi pelan, sambil mengusap kepala Bayi yang masih basah.
Mayang mengangguk pelan, sebelum menyerahkan Bayi mungil dalam gendonganya kepada Nyi Lengi.

"Air kembangnya sudah siap Nyai." ucap Mbok Par dari ambang pintu, sedikit membungkukan badan.

"Baik, Mbok." sahut Mayang sebelum Mbok Par berlalu.
Malam semakin merangkak jauh, kesunyian dan keheningan yang membungkam, kembali terusik dengan tangisan Bayi yang baru beberapa puluh menit lalu terdiam, kini semakin kencang saat guyuran air kembang bermantra, membasuh tubuh mungilnya.
Sapuan angin kencang yang menghempaskan daun-daun beringin, juga seolah ikut menyambut kelahiran serta prosesi pensucian Sang Geteh Pengarep.

"Mayang, apa batirnya sudah kamu bungkus?" tanya Nyi Lengi pada Mayang.
"Belum Nyi?"sahut Mayang pelan, setelah selesai membantu proses pensucian Bayi pertama Wuri.

"Sekarang bungkus dan gantunglah. Ingat! Jangan sekali-kali meninggalkanya di saat waktu petang." ucap tegas Nyi Lengi pada Mayang dan Laswati.
"Aku akan kembali kepada Kanjeng Ratu malam ini." sambung Nyi Lengi sembari menatap Wuri dengan tersenyum, sebelum sosok anggunya menghilang meninggalkan wangi melati yang menyejukkan.
***
Sementara itu, ketegang juga terlihat dari wajah berkeriput milik sesosok perempuan tua bertapi jarik batik. Dengusan nafasnya yang memburu, menunjukan jika apa yang tengah ia lihat dari celah-celah pintu, bukanlah satu hal main-main dan sepele.
Sesekali badanya menegak dengan mata dan kening menciut, di sertai gelengan kepala menunjukan rasa tak percaya, dengan pemandangan di dalam sebuah kamar khusus yang di intipnya dari celah pintu.
"Rupanya Tuan sendiri yang menandai Den Ayu." Gumamnya lirih, sembari mengayunkan langkahnya menjauh dari pintu kamar yang tertutup.
Namun, belum sampai sepuluh langkah sosok perempuan tua, tak lain Mbok Idah, berlalu dari pintu kamar itu, ia di kejutkan dengan satu suara panggilan menyebut namanya.

"Mbok Idah!" kembali suara berat memanggil, terdengar untuk kedua kalinya membuat Mbok Idah tercekat.
Mata Mbok Idah mengedar ke sekeliling, mencari sumber suara yang sudah dua kali memanggil namanya. Namun, sampai beberapa saat, Mbok Idah tak menemukan sosok pemilik suara itu.
Bahkan kini bulu kuduknya meremang, ketika hidungnya mulai tersusupi wangi bunga mawar yang tiba-tiba merebak di sekitaran tempatnya berdiri.

"Krriiieett"

Mbok Idah kembali terlonjak kaget, saat suara pintu di belakangnya, terbuka.
Tapi, hanya hembusan angin beraroma wangi dupa berbaur dengan wangi bunga mawar yang Mbok Idah rasakan, saat ia memperhatikan pintu kamar yang sempat dirinya intip terbuka lebar tanpa adanya sesosok apapun keluar dari kamar itu.
Jiwa Mbok Idah tercekam, keringat mulai bermunculan dari lubang pori-pori kulitnya. Namun, dari wajah keriputnya, terpancar sirat keberanian dalam diri Mbok Idah, saat satu dorongan kuat bergejolak menuntunya untuk kembali mendekat ke arah kamar.
Dorongan kuat yang membuatnya sampai di depan kamar, yang tadinya ia lihat dari celah pintu, kini nyata lebar di depanya.

Mbok Idah terdiam sejenak, menatapi ruang kamar yang di penuhi nyala lilin tersusun di lantai dengan taburan bunga-bunga mawar wangi merebak.
Ada gelombang penolakan dalam dirinya, saat satu kekuatan yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba seperti maghnet menariknya untuk memasuki kamar bercahaya remang terselimuti asap tipis dupa kuncup.
Tapi, penolakan yang di gaungkan batinya, tak mampu melawan rasa penasaran yang pada akhirnya membuat kaki Mbok Idah menapak di marmer lantai kamar.

Ketika langkah Mbok Idah berhenti tepat di depan lingkaran lilin-lilin yang menyala, satu sapuan angin kencang, -
tiba-tiba menyibak rambut putihnya dan menghempaskan daun pintu kembali tertutup. Kini, Mbok Idah. Benar-benar merasakan hawa mencekam. Tak ada lagi celah untuk ia bisa keluar, meski beberapa kali, sedikit kebatinan yang ia miliki di keluarkanya. Tapi, tetap saja nihil.
"Selamat datang Nenek tua!"

Satu suara sapaan menyengit, tiba-tiba terdengar di telinga Mbok Idah, membuatnya seketika beringsut mundur.
Sedikit gemetar tubuh sepuh Mbok Idah, saat ia menyadari kemunculan sesosok wanita cantik berkemben sebatas dada, tengah duduk di tepian ranjang.

Matanya melirik tajam, sambil jari-jari lentiknya, memainkan, membelai, rambutnya sendiri yang tergerai di depan.
"Nenek tua. Apa kamu puas setelah melihatku? Apa kamu masih penasaran? Apa kamu masih yakin ingin menyelamatkan calon Abdiku yang sudah tertandai?" ucap sosok yang kini terlihat memainkan setangkai mawar merah yang awal terselip di telinganya, masih dengan lirikan tajamnya.
"Si ... Si ... Siapa kamu!" sahut dan tanya Mbok Idah dengan terbata gugup.

Namun, bukan susunan kalimat yg Mbok Idah dengar sebagai jwban, melainkan suara tawa keras menggema seantero kamar yg keluar dari mulut sosok wanita itu. Membuat Mbok Idah semakin tercekam dan gemetar.
Mbok Idah menyadari jika sosok di depanya bukanlah manusia. Terlebih, Mbok Idah rasakan, ketika seluruh ilmu kebatinan yang ia kuasai telah di kerahkan, namun tak ada sedikitpun berpengaruh pada sosok itu.
"Kamu hanya seonggok ranting rapuh bagiku! Tak berguna!" Sentak sengit, sosok Ratu tak bermahkota, setelah tawa kerasnya mereda.

Tubuh sepuh Mbok Idah seketika lemas, wajahnya memucat, dengan tubuh berkeringat. Tanganya gemetar, serta bibir terkatup rapat.
Berkali-kali ia mencoba menekan handle pintu, tapi sayang, seolah semua ruang untuknya keluar dari kamar itu terkunci rapat-rapat.

"Sekelip mata saja bagiku untuk mengambil selembar nyawa tuamu. Tapi, Aku bisa mengampuni, jika kamu, mau menuruti satu permintaanku!"
Sebuah kalimat tegas bermakna ancaman, yang Mbok Idah dengar dan tak bisa terbantahkan, sejenak membuatnya terpekur diam.

Tapi, sebentar kemudian, Mbok Idah terhenyak dan terduduk di lantai ketika mendengar penuturan kalimat syarat yang di ucapkan sosok Ratu, junjungan Sudiro.
Wajahnya mempias tertunduk, seolah memikul satu beban berat, saat sosok sang Ratu memberikan dua pilihan yang di rasa Mbok Idah sama-sama berat.
"Ada apa Bulek? Sepertinya ada yang di risaukan?" Satu pertanyaaan sedikit mengagetkan Mayang, saat dirinya tengah menatap lurus ke halaman depan Rumah.

Raut wajahnya yang mulai di sisipi keriput, sebentar melega, saat di lihatnya, Laswati, sudah berdiri di sampingnya.
"Nggak apa-apa Laswati." sahut Mayang.

"Kelihatanya ada beban mengganjal yang Bulek rasakan?" Kembali Laswati menyahut dengan expresi masih terliputi tanda tanya.
Mayang terdiam, tarikan nafasnya terdengar berat dengan wajah sedikit berubah. Langkahnya mengayun medekati jendela kayu tanpa kaca. Membuat Laswati semakin bertanya-tanya.
"Sebenarnya Aku khawatir jika Wuri, tetap berada di sini bersama SANJAYA. Sebab, beberapa hari ini, semakin banyak mahluk-mahluk alam sebelah yang datang dan mereka semakin berani." ucap Mayang menjelaskan.
Bukan tidak mengerti bagi Laswati, namun, untuk urusan yang baru saja di kemukakan Mayang, ia tak bisa berbuat apa-apa. Dirinya tau jika Sanjaya (Anak Wuri) bukan bayi biasa pada umumnya, seperti yang telah di jelaskan Nyi Lengi.
"Lalu, apa yang Bulek ingin lakukan untuk Wuri dan Sanjaya?" tanya Laswati penuh harap.

Sejenak, Mayang menatap Laswati, datar. Tanganya menyibak kain putih yang hanya menutup separuh jendela. Memandang alam sore yang hampir masuk petang, sebelum menjawab ucapan Laswati.
"Aku ingin membawa Wuri dan Sanjaya ke tempat asal Leluhurnya. Disana Aku yakin! Sebab Romo, dulu sudah menanam Jangkar Semeti." Jelas Mayang pelan.

"Tapi, bagaimana dengan Rumah dan Wasiat Mbah Sinom? Apakah harus...."
"Bbrraakkk ... Bbbrraakkk...."

Mendadak Laswati menghentikan ucapanya. Ketika tiba-tiba satu suara layaknya benda terjatuh dengan keras, yang di susul pekikkan suara perempuan, mengejutkan dirinya dan Mayang.
Kepanikan seketika menyelimuti Mayang dan Laswati. Keduanya bersamaan melangkah dengan buru-buru, menuju sumber suara.

Sesaat mata keduanya terbelalak! Setelah sampai di ruang belakang, tepatnya di kamar khusus peninggalan Mbah Sinom.
Di mana Pancer Sanjaya, yang terbungkus kain putih, tersimpan dan tergantung di ruangan itu. Lebih terkejut lagi Mayang, saat ia melihat satu sosok wanita bergaun putih dombor dan berambut panjang acak-acakan, tengah menyeringai buas.
Matanya hitam menyorot tajam! Namun, bukan itu yang membuat Mayang terkesiap panik, tapi bungkusan kain putih yang tengah di pegang tangan kanan sosok tersebut.

"Celaka...! Kalau sampai Pancer Sanjaya dia makan!" Gumam Mayang kalut.
"Hi...hii...hiikk...hhiikkk...." Tawa ngikik dari sosok berbau wangi kamboja, seolah tau ketakutan Mayang, dengan bungkusan yang tengah di genggamnya.

"Letakkan bungkusan itu! Atau kubakar wujudmu!" Seru Mayang keras.
Sosok itu terdiam. Sorot matanya semakin nyalang mendengar ancaman dari Mayang. Tapi, sebentar kemudian, sosok itu kembali tertawa semakin nyaring, memperlihatkan deretan giginya yang putih, kontras dengan bibirnya yang hitam.
"Laswati! Bawa Mbok Par keluar dari sini!" Perintah Mayang pada Laswati, yang sedari awal hanya tertegun bingung.

Dengan perasaan gugup, Laswati segera menyeret tubuh sepuh Mbok Par yang pingsan di lantai. Sebelum geraman-geraman mulai terdengar ramai di dalam ruangan.
Baru saja Mayang, berniat ingin menghampiri dan merebut bungkusan kain putih berisi Pancer Sanjaya, terpaksa ia urungkan. Terlebih, Mayang sedikit beringsut mudur, ketika beberapa sosok pocong berwajah hitam berbau busuk menyengat,-
tiba-tiba muncul dan mengelilingi sosok wanita bergaun putih.

Wajah Mayang mempias, tubuhnya mulai berkeringat melihat situasi yang menjadi sulit baginya. Beberapa kali Mayang tampak berjibaku menerobos sosok pocong-pocong hitam,-
yang seperti sengaja melindungi sosok wanita bermata hitam.

Namun, setiap kali Mayang memaksa, seketika itu juga tubuhnya terjungkal. Mayang meringis menahan sakit, saat kembali jatuh terduduk untuk kesekian kalinya. Dari sudut bibirnya, kini tampak mengalir darah segar.
Matanya nanar menatap sosok pocong-pocong berwajah hitam, yang masih tegak berdiri, dengan kilatan pandangan tajam menusuk.
Dirinya bertambah geram, saat mendengar tawa melengking sosok wanita bergaun putih, sembari memamerkan bungkusan putih padanya. Seakan menantang kembali, untuk Mayang merebutnya.
Tawa ngikik sosok wanita seperti Sibyan, tiba-tiba saja terhenti. Dan sekejap itu juga, berganti dengan lengkingan panjang menyayat, saat satu sosok wanita bertapi jarik, dengan kebaya putih, melemparkan sebuah batu hijau ke tubuh sosok wanita bermata hitam.
Tak hanya itu, kilatan dari sebuah pusaka, keris bergagang kepala naga, menghantam dan menembus sosok pocong-pocong berwajah hitam. Jeritan-jeritan dan erangan dari sosok-sosok pocong, menandai sebelum roboh dan menghilang, membuat suasana sejenak hening.
Nampak kelegaan terpancar dari wajah Sosok wanita yang masih memegang erat keris kecil dan bungkusan kain putih, yang ia pungut setelah terlempar dari tangan sosok wanita bergaun putih dombor. Matanya sayu memandang Mayang, yang sudah di papah Laswati untuk berdiri.
Ringisan kecil sekilas terlihat dari bibirnya, sebelum tubuhnya limbung dan terduduk di kursi dingklik menyandar ke dinding, membuat Laswati, buru-buru menghampirinya.

"Kamu nggak apa-apa Nduk?" tanya Laswati penuh kekhawatiran pada sosok hang tak lain adalah Wuri.
"Tidak, Buk. Hanya nyeri sedikit." jawab Wuri, sembari meremas perutnya pelan.

"Mungkin rahimnya tergonjang saat tadi, Wuri. Menggunakan Keris Laweyan Lenggan." Sahut Mayang, yang sudah mampu berdiri tegak kembali.
"Itulah kenapa Saya ingin kita semua pindah ke Prabon leluhur. Dan sekarang! Mau tidak mau kita harus tetap pindah. Saya tak mau kejadian ini terulang kembali." sambung Mayang dengan tegas.
Wuri dan Laswati saling pandang, mereka berdua tak bisa membantah, -
meski dalam hati dan benak keduanya masih terngiang akan pesan Mbah Sinom, tapi, disisi lain, keselamatan Sanjaya, kini menjadi satu hal teramat penting bagi mereka.
"Maafkan Saya Den Ayu. Terpaksa Saya lakukan ini!"

Seru sesosok wanita sepuh dalam hati. Wajah keriputnya seakan menggambarkan satu keterpaksaan dan beban yang menggunung. Langkahnya sedikit terjinjit menyusuri halaman gelap di belakang Rumah sang majikan, Suntoro.
Rambutnya terkibas acak, tanganya sedikit gemetar saat meletakkan sebuah cawan kekuningan dengan kepulan asap kemenyan, di sudut halaman belakang sebelah kiri.
Tarikan nafas panjang terdengar berat, saat mengawali jari-jari tua miliknya mulai menggali tanah gembur yang sedikit becek. Beberapa kali kepalanya menoleh dan menengadah, seolah ada yang tengah mengawasi, membuatnya mulai merasakan hawa mencekam. Sampai beberapa saat kemudian,
sosok yang tak lain, Mbok Idah, menghentikan jarinya menggaruk tanah, setelah dirasanya sudah cukup dalam.

Tanganya cepat-cepat meraih bungkusan kain hitam kecil dari dalam cawan, yang bercampur bunga dan kemenyan gunung. Lalu, dengan sedikit keraguan,
Mbok Idah memasukan bungkusan kecil itu kedalam lubang sedalam siku, yang ia gali sendiri dengan tangan telanjangnya.

Mbok Idah tersurut mundur, setelah ia menutup lubang itu kembali, ketika tiba-tiba, telinganya mendengar suara tawa ramai dari dalam lubang.
Wajahnya seketika menunduk. Matanya menatap tajam ke arah lubang, seakan tengah memastikan pendengaranya.

"Celaka ...! Rupanya Pancer Cenayang yang telah aku kubur," gumamnya dengan wajah menegang.
Sesaat Mbok Idah terdiam, sebelum ketegangan berubah sebuah kepanikan, saat dirinya menyadari tentang arti dari semua yang telah ia lakukan.

Tanganya kembali gemetar bersaamaan keringat mulai mengucur deras. Ia kembali berusaha menggali lubang yang baru saja ia tutup.
Namun, baru saja dua kali tanganya menggaruk tanah penutup lubang, Mbok Idah melenguh sembari memegang dadanya.
Dari sudut bibir serta hidungnya, terlihat darah segar mengalir deras. Membuat Mbok Idah semakin sadar, jika sesuatu yang ia khawatirkan tengah terjadi pada tubuh ringkihnya.
"Biadab! Tak akan Aku relakan sukmaku di jadikan Cenayang Iblis itu!" geram Mbok Idah sambil mengusap darah dari bibir dan hidungnya.

"Prraangg...."

Suara cawan yang tiba-tiba saja Mbok Idah lempar membentur tembok. Membuat bunga warna-warni dan kemenyan gunung berserak.
Buah dari luapan amarah dan penyesalanya.

"Aku harus cepat pergi dari sini! Aku harus segera menemui Kang Jais. Harus! Harus....!" seru Mbok Idah dalam hati.

Namun, langkah gontai Mbok Idah, kembali harus tertahan.
Ketika penciumanya begitu pekat menghirup aroma wangi Mawar disertai suara ringikan suara Kuda. Membuat kepanikan dan ketakutan bertambah kuat menyelimuti jiwa Mbok Idah.
Sejenak Mbok Idah mengedarkan pandanganya. Mencari sumber suara ringikan kuda dan wangi bunga mawar, yang ia yakini sebagai simbol kemunculan satu sosok, tapi, di sekelilingnya kosong. Meskipun Mbok Idah tak melihat kemunculan mahluk apapun di tempat itu, tapi, -
dirinya bisa merasakan kehadiran sosok itu. Membuat Mbok Idah buru-buru beranjak, walau dengan langkah terseok-seok.

Mbok Idah terus mengayunkan kakinya meninggalkan halaman belakang rumah Sudiro, sembari membekap mulut dan hidungnya sendiri yang masih terus mengeluarkan darah.
Mengacuhkan beberapa pasang mata yang menatapi dengan tajam. Menerobos puluhan mahluk hitam bermata bolong, yang menghadangnya saat keluar dari gerbang rumah Sudiro.
Sampai beberapa saat kemudian, ketika beberapa meter kaki Mbok Idah sudah menginjak jalan hitam aspal, Mbok Idah, tiba-tiba saja tersungkur, setelah tiupan angin panas menerjang tubuh sepuhnya.

"Ini akibat dari campur tanganmu!"
"Dan, beruntungnya aku, ada darah Cenayang dalam tubuhmu."

Mbok Idah terpekik kuat, saat satu sosok dengan suara nyaring, tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapan dan memandangnya sadis.
Tubuhnya yang tersungkur dalam posisi tersimpuh, menggigil hebat. Matanya tajam menatap sosok berwajah ayu, berambut panjang dengan setangkai mawar terselip di telinga.
Namun, bukan itu yang membuat Mbok Idah terpekik dan menggigil ketakutan. Melainkan wujud separuh badan dari sosok wanita tersebut.

Separuh tubuh dari sosok wanita itu hitam legam. Berkaki empat serta di penuhi bulu.
Menjadikan Mbok Idah yakin jika dirinya tengah berhadapan dengan sesosok IBLIS yang sering ia dengar keberadaanya.

"Rupanya tipu dayamu, PAMBAYUN!" seru Mbok Idah dengan sisa amarah dan keberaniannya.

"Bagus kalau kamu mengenaliku Nenek Tua!"
"Tak susah payah aku menjelaskan, sebelum menjadikanmu Abdi Cenayangku." Sahut sosok Ratu Pambayun, dengan tatapan nyalang serta senyum seringai.
"Tak akan kurelakan Sukmaku menjadi kacungmu! Biar Ragaku hancur, sekalipun. Aku tak akan sudi!" ucap lantang Mbok Idah, sembari meludahkan darah merah yang masih terus mengalir dari mulutnya.
Mendengar penuturan Mbok Idah yang sengit, Ratu Pambayun tertawa keras. Sorot matanya sinis, sebagai ejekan dan jawabanya.
lanjut ya
"Silahkan ... Silahkan! Kalau kamu mampu merubah takdirmu Nenek Tua!" ucap sosok Ratu Pambayun sembari menyeringai.

Mbok Idah terdiam. Batinnya terus meruntuk kebodohan dan ketidak berdayaannya. Sebab, sebenarnya ia tau.
Jika Pancer Cenayang yang sudah di kubur dengan tanganya sendiri, menjadi satu simbol ikatan pengabdian sukmanya.

Hembusan angin malam yang semakin dingin. Sejenak, menyisir tempat di mana Mbok Idah masih duduk tersimpuh.
Sebelum, hawa panas yang menjadi awal kemunculan beberapa sosok hitam berbulu dan berekor, berwajah sama persis dengan seekor kuda.

Mata mahluk-mahluk yang ramai meringik, merah nyala. Menatapi sebentar tubuh Mbok Idah yang sudah terkotori ceceran darahnya sendiri, -
seakan ingin melumat tubuh ringkih berbalut kulit keriput, milik Mbok Idah.

"Bawa Dia!" suara tegas, mengandung perintah dari Ratu Pambayun, di sambut ringikan ramai, dari mahluk-mahluk hitam berkepala kuda.
Mbok Idah benar-benar tercekat hebat. Pekik rintihnya terdengar pelan tertahan. Seolah tersumbat darah yang semakin deras keluar, saat tubuhnya tercengkram jari-jari berkuku tajam yang menyeret dengan paksa.
Tak ada lagi yang bisa di lakukan Mbok Idah, kecuali jeritan melolong yang terakhir keluar dari mulutnya, sebelum tubuhnya hilang bersama puluhan mahluk dan Sang Ratu Pambayun, meninggalkan dua pasang mata yang mengawasi dari awal, di seberang jalan.
Dua sosok pemilik mata itu, tersenyum. Wajah semringah nampak jelas terpancar dari salah satu sosok, yang masih muda dengan pakaian rapi. Tanganya kananya mengusap lembut punggung tangan kirinya, seakan menjadi lambang keberhasilanya.
"Satu Abdi Cenayang sudah berhasil aku persembahkan, kini tinggal Abdi Inang yang harus Aku penuhi." Gumam sosok itu, sambil melirik sosok lelaki tua yang berdiri di belakangnya.
***
Langit bumi Malang, pagi itu masih terselimuti awan-awan hitam tipis. Setelah hujan lebat mengguyur hampir semalaman. Membuat para penduduk di sebuah desa lereng gunung, memilih beraktifitas dan menikmati suasana dingin di dalam rumah bersama keluarga.
Salah satunya, di sebuah rumah joglo lawas, beratapkan genteng, berdinding papan bersusun rapat dan kokoh. Rumah yang baru beberapa hari di huni oleh tiga orang wanita, dan seorang bayi laki-laki mungil, tampak rapi namun sepi.
Hanya terlihat sesosok perempuan belum begitu sepuh, salah satu penghuni rumah itu, tengah berdiri di depan jendela bagian dalam. Kedua tanganya menyilang ke belakang. Matanya lurus menatap tetesan-tetesan sisa air hujan, yang jatuh dari atap genteng.
Wajahnya datar, menyiratkan ada sesuatu yang sedang ia pikirkan begitu mendalam. Terlihat dari beberapa kali tarikan nafas panjangnya, terasa begitu berat, seolah tertekan beban besar.
"Apa yang kamu pikirkan, Laswati?" Satu suara teguran dari belakang, membuyarkan lamunan mendalam, sosok yang tak lain, adalah Laswati.

"Bulek," sahut Laswati, saat menoleh dan mengenali sosok yang baru saja sedikit mengagetkanya.
"Beban apa lagi yang tengah kamu rasakan?" tanya kembali satu sosok wanita berkebaya batik, Mayang.
oiya bagian 7-8-9 sudah ngangkring di Karyakarsa ya. Bagi yang mau baca duluan bisa mampir kesini.
karyakarsa.com/KALONG
"Aku hanya memikirkan tentang peninggalan Kang Wardoyo, Bulek." sahut Laswati yang kembali menatap nanar keluar.
"Rumah itu ... Rumah yang sulit untuk bisa saya lepaskan. Tapi, tak mungkin saya maupun Wuri untuk menempatinya kembali." Kembali Laswati meneruskan keluh kesahnya.
Sejenak Mayang tertegun, matanya ikut menatap rintik gerimis yang mulai turun, membasahi halaman depan Rumah Prabon peninggalan TRAH RENGKO.
"Tak mudah untuk bisa membersihkan kembali, Rumahmu dari bekas BALAK PROJO. Hanya Sanjaya kelak, yang bisa membuang LEMAH IRENG BALAK PROJO dari pusatnya." ujar Mayang pelan.

"Lalu, apa yang harus saya lakukan untuk rumah itu, Bulek?" tanya Laswati dengan wajah penuh harap.
Sejenak, Mayang menghela nafas. Kakinya mengayun dan mendekat ke arah jendela. Jari-jari tanganya memainkan jalusi kayu dgn mata menerawang jauh, mengingat kembali kejadian demi kejadian, yang sudah memporak-porandakan TRAH RENGKO, menyisakan dirinya sendiri sebagai pemangkunya.
"Nanti malam kita coba kunjungi Rumahmu. Tanpa Wuri dan Sanjaya." ujar Mayang, membuat kening Laswati berkerut.

"Maksud, Bulek?" tanya Laswati.

"Aku ingin mencoba menghancurkan Balak Projo dengan Keris Laweyan Lenggan." sahut Mayang sedikit ragu.
"Tapi, Bulek. Apakah tidak membahayakan keselamatan kita?" timpal Laswati yang juga di liputi keraguan.
"Kita lihat situasinya nanti." Sahut Mayang lirih.
"Kreeaaakk ... Kreaakk ... Kreaakk...."
"Rupanya sudah ada yang menyambut kita." ucap Mayang pada Laswati, yang baru saja menginjakkan kaki di gerbang rumah Laswati sendiri.

Laswati terdiam. Matanya menatap keatas, di mana klebatan burung-burung hitam, bersliweran saling berpindah dari satu pohon ke pohon lainya.
Lembab, sinung, di rasakan Laswati dan Mayang, saat keduanya mulai berjalan memasuki halaman yang di penuhi serakan daun-daun kering. Bunga-Bunga yang dulu begitu indah, saat di rawat apik oleh Wuri, masih tergantung di teras depan, meski sebagian nampak tinggal ranting.
Seakan ikut merasakan penderitaan Sang pemilik.

Langkah Mayang dan Laswati terhenti sejenak di depan pintu. Ada keraguan yang menghinggapi Laswati, ketika tanganya akan memasukan anak kunci untuk membuka pintu, sebelum sentuhan lembut Mayang, memantapkan hatinya.
Hawa pengap, seketika terasa. Begitu Laswati membuka pintu dan melangkah masuk. Beberapa lampu yang masih bisa hidup dan di nyalakan, memperjelas hunian yg kotor dan berantakan. Hunian yang awal begitu indah bagi keluarga Wardoyo, namun menorehkan luka begitu dalam pada akhirnya.
Mayang, yang berjalan kebelakang, sedikit terjingkat. Ketika mendapati satu sosok tak asing baginya, tengah berdiri dan tertunduk, dengan rambut tergerai acak-acakan.

"Nyai Asih!" gumam Mayang, dengan suara sedikit parau.
Sosok Wanita Sepuh berkebaya lusuh penuh sobekan, perlahan mengangkat kepalanya. Sorot matanya kosong. Wajahnya putih pucat, dengan beberapa luka sayatan mengering dan menghitam, pada bagian pipi memanjang sampai leher.
"Den Ayu, tolong bebaskan saya." sahut lirih sosok yang di panggil Nyai Asih, tapi bukan pada Mayang, melainkan pada Laswati, yang baru tiba di belakang Mayang.
Laswati terhenyak mendengar suara lirih hampir mirip rintihan dari sosok Nyai Asih, yang juga menatapnya sayu. Rasa nyeri seketika menyeruak dalam rongga dada Laswati. Ketika ingatanya kembali di paksa mundur beberapa puluh bulan yang lalu.
Di mana sosok Nyai Asih, adalah salah satu pelindung waris TRAH RENGKO, yang di ikrarkan padanya.

"Nyai, maafkan saya. Telah membuat Nyai Asih terbelenggu." ucap Laswati, dengan suara sedikit bergetar.
"Aku dan Bulek Mayang, akan berusaha membebaskan Nyai!" sambung Laswati sedikit tegas.

Sosok Nyai Asih yang mendengar penuturan Laswati, tiba-tiba memalingkan wajahnya kesamping, tepatnya ke halaman belakang rumah. Matanya nanar menatap ke arah pintu,
seperti memberi isyarat tanpa suara. Seolah mengerti, Mayang, tiba-tiba saja meraih lengan Laswati yang melangkah hampir melewatinya, menuju pintu.

"Jangan kamu buka!" seru Mayang.
Laswati, sedikit menujukan rasa heran. Sebelum melihat wajah Mayang menegang. Ia juga sempat menangkap kilatan mata Mayang, menyiratkan ada sesuatu yang tak main-main dari balik pintu. Sehingga membuat dirinya memilih menahan diri.
"Ada apa, Bulek?" tanya Laswati, memberanikan diri.

"Aura hitam pekat." jawab Mayang singkat.

"Lemah Ireng JALASUTO, itu sumbernya. Di tambah Balak Projo, membuatku terkurung, terbelenggu." ungkap sosok Nyai Asih.
"Iya, Nyai Asih. Untuk itu saya dan Laswati datang kemari, ingin menghancurkan JALASUTO dan BALAK PROJO, dengan ini." sahut Mayang, seraya menunjukan Keris kecil tanpa rangka, bergagang kepala Naga.
Namun, sosok Nyai Asih yang melihat kilatan Keris yang di pegang Mayang, menggelengkan kepalanya.
"Aku tau kekuatan Keris Laweyan Lenggan, tapi, tak cukup untuk menaklukan JRANGKONG JALASUTO, yang kini menjadi pemimpin di tempat ini." jelas sosok Nyai Asih, sambil menatap tajam daun pintu, yang menghubungkan ke halaman belakang.
"Maksud, Nayi?" tanya Mayang, dengan raut heran.

"Percumah! Keris itu tak akan mampu menembus Jrangkong Jalasuto. Kecuali dengan tetesan darah BOCAH PENGAREP." terang Nyai Asih, membuat Mayang dan Laswati tertunduk.
"Kenapa kalian tak meminta bantuan Kanjeng Ratu?" sambung Nyai Asih, bertanya.

"Krreeaakk...."

Baru saja Mayang akan membuka suara, menyahuti ucapan sosok Nyai Asih, namun urung. Ketika tiba-tiba suara burung keras dan nyaring,
seperti tengah berputar tepat di atas genteng, tempat mereka berdiri.

"Dia datang ... Dia datang." ucap Nyai Asih, seperti tau jika suara burung itu, satu isyarat.

"Aku harus kembali!" sambungnya, sebelum menghilang. Meninggalkan Mayang dan Laswati yang termangu.
"Hati-Hati Laswati, sepertinya memang ada yang datang!" tegas Mayang, ketika ia mulai merasakan suasana berbeda.

Dan tak berapa lama kemudian, suasana benar-benar begitu mencekam dengan terdengarnya suara riuh ramai, dari halaman belakang.
Di susul bau wangi bercampur dengan bau busuk menyengat, menyeruak sampai tercium ke dalam, di mana Mayang dan Laswati berada.
Kedua sosok wanita yang sudah berstatus Janda ini, semakin merasakan ketegangan, saat suara gemeratak kencang, di barengi gema tawa keras, dari satu sosok yang belum terlihat wujudnya.

"Brraaakk!"
Terjingkat kaget! Mayang dan Laswati, melihat pintu belakang tetiba saja terbuka dan membentur tembok dengan keras. Mata keduanya spontan terbelalak, melihat puluhan sosok mengerikan, berdiri di halaman belakang, yang kini terlihat dengan jelas setelah pintu terbuka.
Berbagai jenis sosok mahluk yang sepertinya memang sudah mengetahui kedatangan sang tuan rumah, nampak melotot tajam, pada Laswati dan Mayang.

Namun, ada satu sosok yang membuat Mayang dan Laswati sempat terperangah. Sosok tinggi, dengan tubuh kurus kerontang.
Dari kaki sampai kepalanya yang berambut panjang, tampak hitam mengkilap. Hanya dua bola matanya yang cekung, berwarna putih menyeluruh.

"JRANGKONG!" gumam Mayang bergetar.

"Sopo! Kewanen mlebu Jenggoloku kene!" (Siapa! sudah berani masuk tempat naunganku ini!)"
Suara bentakan keras dari sosok tinggi hitam, Jrangkong, membuat Mayang dan Laswati, sejenak terpaku.

"Ini adalah tempat Anak Cucu saya! Kamu dan pengikutmu lah yang telah lancang, membangun Jenggolo di sini!" sahut Mayang, dengan penuh keberanian.
Tawa keras dari sosok Jrangkong, seketika menggema mendengar ucapan Mayang. Dua bola matanya yang putih rata, menyorot tajam. Tubuhnya yang dua kali lebih tinggi dari tubuh manusia biasa, membungkuk, mendekat, menyeringai, menembus tembok dan gawangan pintu.
Menghembuskan nafas disertai geraman sengit, tepat di depan wajah Laswati dan Mayang.

"Tempat ini sudah menjadi Jenggoloku! Siapapun yang berani mengusik, akan menanggung Jejer Boko Ludahku!" seru sosok Jrangkong, sambil melototkan mata putihnya dan membuka mulutnya lebar.
Memperlihatkan deretan gigi runcing dengan lidah panjang, terbasahi cairan hitam kental berbau busuk menyengat.

Mayang dan Laswati tersurut mundur, menahan rasa mual dan getaran panas dari hembusan nafas sosok Jrangkong.
"Rupanya punya sedikit mainan kamu!" ucap sosok Jrangkong kembali, saat melihat Keris kecil yang di genggam Mayang.
"Enyahlah!" seru Mayang sembari menghunuskan Keris Laweyan Lenggan. Yang tak berapa lama kemudian, dari ujung Keris, muncul kepulan asap putih tipis membentuk satu sosok.
"ABILOWO" geram sosok Jrangkong, setelah terlihat jelas, satu sosok yang keluar dari Keris kecil Laweyan Lenggan.

Sosok bermata hijau, dengan dua sayap bersisik, serta jari kaki dan tangan masing-masing berjumlah empat, berkuku kuncup, runcing dan tajam.
Namun, lagi-lagi sosok Jrangkong, kembali tertawa keras. Seakan tengah meremehkan sosok Abilowo yang mengacungkan kuku tajamnya, sambil mengeluarkan geraman kuat.
Panas! Suasana malam, khusunya di halaman belakang rumah peninggalan Wardoyo. Ketika dua sosok yang hanya terlihat seperti kilatan dan bayangan, tengah saling serang. Dentuman-dentuman kecil memercikan api, mewarnai pergumulan dua mahluk tak kasap mata, berkekuatan besar.
Sampai beberapa saat kemudian, terdengar satu jeritan panjang melengking, mengakhiri pertarungan sosok Abilowo dan Jrangkong.

"Bulekkkk...!" teriak Laswati histeris, melihat Mayang, terpental dan memekik saat tubuhnya terpental menghantam tembok.
Keris kecil Laweyan Lenggan, yang ia genggam ikut terlepas dan jatuh beberapa jengkal di samping tubuhnya. Menandakan jika Abilowo, sosok penghuni Keris itu, tak mampu melawan kekuatan dari sosok tinggi hitam, Jrangkong.
Mata Mayang mengerjap pelan, wajahnya pucat membiru. Keringat mengucur deras dari pori-pori kulitnya, sama halnya dengan darah yang mengalir dari bibir dan hidungnya.
Sedang Laswati, sudah tak kuasa lagi membendung air matanya, melihat tubuh Mayang, satu-satunya anggota keluarga dekat, yang tersisa dari TRAH RENGKO, tergolek lemah berlumur darah.
Berkali-kali Laswati mengusap darah dari hidung dan bibir mayang, yg sudah mengotori kebaya batiknya, sambil menyangga punggung Mayang. Hingga tak menyadari, jika sosok Jrangkong yang tadinya tergelak, kembali menatap dengan bola mata putihnya, nyalang ke arah Mayang dan Laswati.
"Bakal tak dadekne Pucur Jenggolo, Nyowo loroan iki!" ucap sosok Jrangkong sinis, di barengi tangan kanannya yang panjang dan hitam, terangkat tinggi keatas.
Laswati, baru menyadari ada bahaya dari sosok Jrangkong, setelah tangan lemah Mayang berusaha mendorong tubuhnya. Namun, Laswati seperti tak mau menyerah. Tanganya cepat menyambar Keris Laweyan Lenggan, yang tergeletak di sisi kanan tubuh Mayang.
Di sabetkanya menyilang berkali-kali ke arah tangan hitam sosok Jrangkong, tapi tampaknya sia-sia. Sebab, sabetan-sabetan Keris Laweyan Lenggan dari tangan Laswati, seolah menerpa angin kosong. Tak sedikitpun mampu menyentuh kulit atau bagian apapun dari sosok Jrangkong.
Kekalutan seketika menghampiri Laswati. Ia menjerit-jerit dan memekik, sambil terus menyabetkan Keris, meskipun tanpa hasil.

"Hentikan, Laswati." satu suara terdengar lirih di telinga laswati, sejenak menghentikan teriakan dan aksinya.
"Pergilah! Selamatkan dirimu!" kembali suara berat tertahan, dari Mayang, yang masih tergolek dengan tubuh semakin membiru.

"Tidak! Bulek. Aku akan tetap disini! Kalaupun harus mati di tangan iblis ini, biarlah sama-sama." sahut Laswati parau serak.
Namun sekejap kemudian, Laswati diam tergagu. Jantungnya seolah berhenti bedetak. Matanya yang sudah sembab, melebar menatapi puluhan sosok perempuan bergaun putih lusuh, sudah mengelilinginya.
Mata sosok-sosok perempuan berwajah seputih kapas, dengan bulatan hitam, menyorot tajam. Dari perut mereka, terdapat luka berlubang, yang masih meneteskan darah bersama usus yang memburai.
Kini tak hanya bau busuk menyengat, yang tercium oleh hidung Laswati, melainkan bercampur amis darah. Membuatnya beberapa kali membungkuk, menahan mual.

"Cepatlah kamu pergi, Laswati!" kembali Mayang menyeru dengan suara yang sudah mirip sebuah erangan.
"Tidak...!" sahut Laswati tanpa menoleh. Ia masih berdiri, dan menjadi tameng tubuh lemah Mayang. Sambil terus mengacungkan Keris kecil Laweyan Lenggan.
Tawa keras kembali menggema dari sosok Jrangkong, yang di susul suara tawa cekikikan nyaring, oleh puluhan sosok perempuan berambut panjang acak-acakkan, yang berdiri mengelilingi Laswati dan Mayang.
Wajah pias Laswati, menunjukan kepasrahan. Saat beberapa jengkal lagi, tangan hitam sosok Jrangkong akan merobek perutnya. Mata Laswati terpejam kuat, menanti sambaran maut, yang akan menghantarnya pada kematian.
Air matanya masih mengalir deras, membayangkan wajah Wuri dan Sanjaya, cucu pertamanya.

Sesaat Laswati merasakan tiupan angin dingin, sebelum merasakan satu cengkraman kuat, yang menghentakkan tubuhnya. Tak sempat matanya melihat dengan jelas apa yang terjadi.
Hanya telinganya yang mendengar geraman amarah disertai riuh suara pekikan. Sebelum dirinya merasa seolah melayang dalam tarikan kuat melewati lorong gelap tak bercahaya.
ROGOH NYOWO
BAGIAN 7 - PENGORBANAN-

#bacahorror @IDN_Horor Image
"Ibu ... Mbahhhh....!"

Jerit Wuri, yang terkejut melihat tubuh dua wanita sepuh, Laswati dan Mayang, tiba-tiba tergeletak di lantai beralaskan karpet hijau.
Mayang sebentar-sebentar memejamkan matanya, sembari meringis menahan sakit. Darah masih terus mengalir dari sudut bibirnya yang membiru. Menunjukan jika luka bagian dalam yang di rasakan, tak main-main.
Sedang Laswati, terlihat linglung. Matanya sembab, rambutnya tergerai acak-acakkan, serta tubuh yang gemetar, seakan masih merasa tercekam.
"Mari iki, ojo pisan-pisan maneh, mbaleni papan panggonan iku. Mergo wes di gawe Jenggolo iblis Jrangkong."(Setelah ini, jangan sekali-kali lagi, mendatangi rumah itu. Sebab sudah di buat tempat naungan Iblis Jrangkong.)"
Satu suara berat tetiba saja terdengar tegas, dari sesosok lelaki tua, yang baru saja muncul dan membelakangi ketiganya.

Blangkon batik berpadu jas hitam khas tetua adat Kejawen, yang di kenakan sosok tersebut, membuat tercengang Mayang dan Laswati.
Seakan menjadi tanda dan membuat keduanya mengenali siapa sosok tersebut.

"Romo...." ucap Mayang lirih.

"Pangapunten Eyang...." sahut Laswati sambil mengatupkan kedua telapak tanganya dan bersimpuh.
"Aku gak iso suwi-suwi. Iling-Ilingo welingku kabeh. Iki ngunu, mergo welase Kanjeng Ndoro Ratu, iso nylametno nyowomu wengi iki."
"Nduk Wuri, jogo temen Canggahku. Mbisuk, ben Canggahku iku seng ngadepi Jrangkong. Mergo geteh angete, seng biso nembus balung sum-sum e, Jrangkong." ucap sosok lelaki sepuh, yang masih berdiri membelakangi, tanpa menoleh sedikitpun.
Tubuhnya yang berbau khas kemenyan dupa berpadu kembang setaman. Perlahan berjalan pelan, menembus dinding papan dan menghilang di kegelapan malam. Meninggalkan isak tangis Wuri serta Laswati.
Namun, sebaliknya Mayang. Ia sedikit tersenyum bahagia, saat melihat sosok yang sudah puluhan tahun tiada, kini bisa bertemu kembali, meski hanya punggung dan bau tubuh khasnya saja yang dapat ia lihat dan cium.
"Bulekk! Maafkan saya. Maafkan kebodohan saya, yang sudah membuat Bulek, jadi seperti ini." Tiba-Tiba saja Laswati bersimpuh dan menangis tersedu-sedu, di pangkuan Mayang.
"Tak apa-apa Laswati, bukan salahmu. Aku malah bersyukur dengan kejadian ini. Sebab, bisa bertemu Romo kembali." sahut Mayang pelan, dengan sunggingan senyum di sudut bibirnya yang masih teraliri darah.
"Nduk Wuri, simpan kembali pusakamu. Ingat! Apa yang sudah di pesankan Romo, Eyangmu, kita taati bersama." sambung Mayang, sambil menatap Wuri dengan sayu.
Anggukan kepala Wuri, menjadi satu jawaban atas pesan yang di ucapkan Mayang. Meskipun masih menyisakan gurat sedih bercampur bingung. Apalagi, mengenai sosok Lelaki Tua yang di panggil Eyang dan Romo.
***
Malam semakin beranjak larut. Menyisakan gelap dengan hembusan angin yang mulai dingin menusuk. Membuat hampir seluruh penduduk di bumi Pahlawan, terlelap dalam mimpi indah masing-masing.
Namun, ada satu kediaman yang tampaknya masih dalam keadaan terjaga semua penghuninya. Sebuah rumah bercat kuning, dengan penerangan cahaya lampu-lampu yang terang, menunjukan satu ukuran kelas menengah keatas.
Sekilas, jika di lihat dari mata telanjang, rumah dengan taman depan dan samping, seakan dipenuhi kedamaian dan ketenangan. Tapi akan berbeda jika di lihat dengan mata batin.
Seperti halnya malam itu, kecemasan dan ketegangan tampak menyelimuti se isi penghuni rumah, yang terdiri dari dua orang laki-laki dan dua perempuan, tengah menunggui seorang wanita muda yang sedang berjuang untuk menjadi seorang Ibu.
Sedangkan di luar kamar, tepatnya di salah satu sudut belakang sebelah kanan, sesosok lelaki tua berikat kepala kain hitam, terlihat duduk bersila.
Kepulan asap dupa yang tertancap dan terbakar pada sebuah nampan kuning, menyelimuti sekitaran tempat itu, ikut menebarkan aroma mencekam,
Liringan gema suara lirih, yang keluar dari bibir hitam sang lelaki tua, terhenti seketika, saat telinganya mendengar suara tangisan bayi melengking.
Namun, sepertinya bukan suara tangisan bayi itu yang membuat bibirnya berhenti melafalkan mantra kuno, melainkan suara ringikan kuda yang riuh, seolah ikut menyambut kelahiran Sang Jabang bayi.

***
Suasana haru, bahagia, menghiasi wajah Murni, Lasno dan Winarni. Setelah beberapa lama berjuang mempertaruhkan nyawa, demi menantikan kelahiran Sang bayi laki-laki mungil, akhirnya terbayar, setelah suara tangis kecil melengking memecah kesunyian malam.
Namun, berbanding balik dengan raut wajah seorang wanita tua yang membantu proses kelahiran Win. Dari awal Sang Bayi menghirup udara dunia, ada banyak keanehan yang di rasakan sang TAYEM (dukun Bayi).
Mulai bau Arus tak seperti biasa, sampai suara ringikan Kuda yang sangat jelas terdengar di telinganya.

Apalagi, ketika ia memandikan Sang Bayi, air yang di buat membasuh tubuh mungil, berubah hitam berbau prengus. Membuatnya tertegun merasakan keanehan.
"Teruskan merawatnya!" terjingkat Nenek Tayem, mendengar satu suara bentakan.

Sejenak ia menghentikan tanganya yang sedang mengusap tubuh Sang Bayi. Matanya mengedar ke sekeliling ruangan mencari sumber suara.
Akan tetapi, sampai matanya berulang menatapi tiap sudut kamar, ia tak melihat atau menemukan sosok lain, selain Win dan kedua orang tuanya.
Rasa takut mulai menyergap jiwa Mbok Tayem, berkali-kali ia mengusap tengkuknya, melirik kesana kemari, mencari keberadaan beberapa pasang mata yang di rasa seperti mengawasi setiap geraknya.
Jantunganya semakin berdetak kencang. Keringat mulai membasahi tubuh dan baju dombor yang melekat di kulit keriput, saat hidungnya mencium bau wangi mawar dan kamboja begitu menyengat.
"Duh, Gusti. Ono opo karo bocah iki? Ono opo karo Ibune? Ono opo karo griyo niki...?" tanya Mbok Tayem dalam batin, sambil mempercepat tanganya membasuh dan mengusap tubuh Sang Bayi.
Sedikit lega Mbok Tayem, setelah selesai memandikan Sang Bayi. Apalagi, bau Arus tak wajar yang membuatnya mual, seketika hilang. Meski wangi mawar dan kamboja masih pekat.
"Buk, mau di kasih nama siapa ini putranya?" tanya Mbok Tayem, setelah selesai memakaikan kain beberapa lembar pd tubuh Sang Bayi.

"Nanti saja Mbok. Biar saya yg memberinya." Tiba2 saja Mbok Tayem dan Win, serta kedua orang tuanya, di kejutkan satu suara dari arah pintu kamar.
"Ohh, iya Pak." jawab Mbok Tayem, setelah tau siapa sang pemilik suara.

"Yang penting, selesaiakan saja tugas Mbok." ujar kembali sosok lelaki yang tak lain adalah Sudiro.
"Oh, ya Mbok. Mana Ari-Ari Anak saya?" sambung Diro, bertanya sambil melangkah masuk.

"Itu, Masih di Lepan, Pak. Tapi belum saya bersihkan." jawab Mbok Tayem.
"Biar saya saja yang bersihkan dan menguburnya, Mbok." sahut Diro, sambil mendekat kearah sebuah tempat bulat beralaskan kain putih berlumur darah.
Lasno dan Murni, mertua Diro, yang sedari awal hanya diam, sedikit heran bercampur bangga. Melihat sosok Diro, mau bersusah payah dan mengotori tanganya untuk mengurus Batur anaknya. Begitu juga Winarni yang tersenyum melihat sang Suami, bersedia ikut andil.
Yang ia lihat dan anggap sebagai wujud kasih sayang, seorang ayah. Meskipun selama ini, Win. Menganggap sosok Sudiro seorang yang acuh dan dingin. Tapi tidak bagi Mbok Tayem. Ia melihat sesuatu tak wajar, ketika Diro ingin mengurus sendiri Batur Bayi yang belum bertanda Nama.
Keinginan Mbok Tayem, yang akan melarang Sudiro mengambil Batur Bayi, seketika tertahan. Saat ia yang hanya berjarak dua meteran dari Sudiro, kembali mencium bau Arus pekat. Tak hanya itu, sebentar kemudian tubuh sepuh Mbok Tayem, memucat dan dingin.
Saat melihat Diro mengangkat kain yang membungkus Batur, bersamaan munculnya sesosok wanita cantik, berkemben, tersenyum sinis penuh ejekan.

"Gusti! Onten nopo niki, Gusti...." seru Mbok Tayem dalam hati.
Tubuh sepuhnya terdiam kaku. Meskipun sosok wanita berselip bunga mawar di telinga, sudah berlalu mengikuti Diro yang keluar membawa Batur Bayi. Namun, batinya masih di landa ketakutan luar biasa.
"Aduh ... Tolong, Mbok!" satu jerit kesakitan, seketika membuyarkan lamunan Mbok Tayem.

Segera ia membalikan badannya, ingin menghampiri Win, yang menjerit. Namun Sayang, bukanya mendekat, Mbok Tayem malah beringsut mundur.
Tubuhnya semakin memucat dan gemetar. Wajahnya pias tak berdarah, saat dengan jelas, menyaksikan sekumpulan sosok mahluk hitam bermata bolong, tengah mengerubungi Win.
Sambil menjilati atau melumuri tubuh Win bagian perut dan bawah, dengan lendir-lendir kecoklatan, berbau busuk menyengat.

"Mbok! Ada apa? Kenapa Mbok, ketakutan." ucap Murni, Ibu Winarni, setengah teriak.
Murni bingung melihat Mbok Tayem, bukanya menolong Win yang merasakan sakit pada perut dan bagian tubuh bawahnya, tapi malah mundur dengan mimik ketakutan.
Mbok Tayem menyadari, jika Murni, Lasno bahkan Win sendiri, tak melihat beberapa mahluk hitam bermata bolong berada di kamar dan samping Win.

"Tidak ... Tidakkk! Maafkan saya, Buk. Saya tak bisa menolong!" sahut Mbok Tayem histeris sambil keluar kamar dengan buru-buru.
"Mbok! Mbok!" teriak Lasno, memanggil Mbok Tayem yang sudah keluar kamar.

Kepanikan seketika menghantui Murni dan Lasno. Sedang, Win. Masih meringis dan merintih menahan sakit. Wajahnya yang seputih kapas, bersimbah keringat.
Jari-jari tanganya mencengkram kuat, kain sprai laman kasur, bermotif bunga matahari. Semakin membuat Lasno dan Murni kebingungan, tanpa tau harus berbuat apa untuk menolong putri mereka.
Satu hal yang terlihat aneh. Ketika kepanikan, erangan, jeritan dan rintihan dari Win serta Murni, seolah tak berpengaruh pada sosok Bayi laki-laki mungil, yang terbaring di ranjang kecil, sebelah ranjang tempat Winarni.
"Kang, cari Diro! Kita bawa Nduk Win, ke puskemas atau kemana saja. Cepat! Kang." ucap Murni panik dan kalut.
Tanpa menunggu lagi, Lasno segera beranjak ke luar kamar. Langkah buru-buru Lasno, terhenti tepat selangkah dari pintu, saat ia berpapasan dengan Diro, yang baru selesai membawa Batur Anak pertamanya.

"Ada apa, Pak?" tanya Diro heran melihat wajah panik Lasno.
"Nduk win ... Nduk Win, kesakitan." jawab Lasno gugup.

Diro segera melangkah masuk, mendahului Lasno. Wajahnya yg awal ikut terlihat tegang, tiba2 berubah datar. Bahkan, tak terlihat sedikitpun rasa Iba, atau khawatir. Meski di lihatnya, Win Istrinya. Masih meringis kesakitan.
"Tolong ... Tolong saya Mas...." ucap Win lirih, saat melihat Diro mendekat dan meraih tanganya.

"Tenang, Kamu akan baik-baik saja." sahut Diro, sambil meremas genggaman tangan Istrinya.

"Sakit, Mas." kembali Win, merintih.
Sejenak Diro, terdiam. Matanya mengitari isi ruang kamar, sebelum menatap lekat Murni yang masih terisak, di dampingi Lasno.

"Mbok Tayem kemana?" tanya Diro, yang baru menyadari jika sosok Mbok Tayem, tak di jumpainya.
"Dia pulang. Dan ... Dan pulangnya, seperti orang ketakutan." jawab Lasno, ragu-ragu.

Diro tak segera menyahut, tapi ia langsung menatap ke arah samping kiri Win. Yang di matanya ada senyum dari sosok cantik, berkemben batik corak.
"Jangan kamu pikirkan Nenek Tua itu." Satu suara lembut dari sosok dengan harum mawar itu, membuat kelegaan di wajah Diro.
"Sepekan lagi, akan kuambil ABDI INANG ku ini. Dan segera Kamu cari pengganti, untuk merawat ABDI SASONGKO JATI, yang bakal meneruskan pengabdianmu." Tegas sosok yang tak lain RATU PAMBAYUM, sembari tersenyum dan menatap wajah Win.
"Nak Diro, apa tidak sebaiknya kita bawa Nduk Win, kerumah sakit atau puskesmas." Sedikit terjingkat Diro, mendengar suara Lasno.

"Tak usah, Pak. Sebentar lagi Win, akan sehat." jawab Diro, tanpa menoleh.
Lasno dan Murni, hanya bisa saling pandang. Mereka bingung mendengar jawaban Diro. Tanpa mereka sadari, jika Diro sedang berinteraksi dengan calon majikan baru putri mereka.
Kelegaan seketika menghapus rasa bingung dan panik Lasno dan Murni. Saat mendapati ucapan Diro yang terbukti, setelah Win mulai tenang tanpa merasa sakit. Apalagi, melihat Diro yang saat itu begitu semangat mengurus Win, memudarkan rasa curiga, terutama dari Murni.
Kini ia nampak bisa tersenyum menggendong cucu pertamanya. Kebahagiaan saat itu memancar terang dari wajah mereka, tanpa tau, jika itu hanya akan bertahan sepekan saja.

***
Malam semakin merambah jauh, menghampiri suasana larut, yang membuat sebagian orang makin terlelap dalam pelukan dan buaian mimpi. Begitu juga yang terlihat pada rumah berdinding tembok separo.
Keheningan nampak menyenyakkan para penghuni rumah, sebelum derap langkah buru-buru dan gedoran pintu, memecah kesunyian.

"Buka pintunya! ... Buka!" teriak sosok sepuh, masih dengan menggedor-nggedor pintu.
Namun, sampai beberapa saat lamanya, tak ada sahutan apapun dari dalam. Sosok yang tak lain adalah, Mbok Tayem, tersandar di tembok. Nafasnya memburu cepat, dengan wajah pucat terbasahi keringat. Matanya mengerjap sebentar, sebelum di edarkan ke sekitaran halaman yang remang.
Beberapa kali nafasnya tersengal, ketika hidungnya kembali mencium bau Arus pekat, bercampur wangi mawar menyengak.

"Tolong....!" teriaknya kembali dengan suara yang mulai tersendat putus.
Tangan Tua keriputnya, terlihat gemetar meraih gagang pintu yang terbuat dari kayu. Ia goncang kuat-kuat dengan sisa tenaga yang ada. Air matanya mulai mengalir deras, menampakkan ketakutan yang memuncak.
Manakala suara ringikan Kuda riuh, seperti tengah berbaris di halaman dan sedang memperhatikanya.

"Mbok Tayem ... Mbok...."

Sebuah suara panggilan, terdengar lirih di telinga Mbok Tayem. Namun sanggup membuat tubuhnya menggigil. Sebab, Mbok Tayem tau, siapa pemilik suara itu.
Dingin, kaku, tubuh Mbok Tayem. Saat wangi mawar berpadu kamboja begitu pekat, mengiringi sesosok wanita cantik, berjalan mendekatinya dari kegelapan malam.
"Jangan takut, Mbok. Aku ingin berterima kasih padamu." ucap sosok Ratu Pambayun, pada Mbok Tayem, yang masih bersandar di tembok.

"Sebagai imbalan, aku ingin simbok menerima ini." sambungnya sambil menyerahkan sesuatu berbentuk gumpalan.
Tak ada kata-kata yang bisa Mbok Tayem ucapkan. Mulutnya seperti terkunci rapat. Keringat dingin masih terus mengucur dari tubuh ringkihnya yang sedikit bungkuk, menandakan jika ketakutan masih menyelimuti jiwanya.
Apalagi, saat Mbok Tayem melihat bercak darah masih segar dari bibir Ratu Pambayun, yang ia yakini dari sesuatu yang di kunyah, atau lebih tepatnya Batur Bayi, membuat tubuhnya semakin kaku.

"Ayo Mbok! Terima!"
Bentak Ratu Pambayun, tak sabar melihat Mbok Tayem yang hanya terdiam. Gemetar tangan Mbok Tayem, saat menerima seonggok gumpalan hitam kemerahan, berbau amis.

"Makan!"
Perintah Ratu Pambayun kembali, sembari melototkan bola matanya. Mbok Tayem terperangah. Wajah tua itu menengadah, memberanikan diri menatap sosok cantik namun bengis.
Wajahnya yang sudah penuh garis-garis keriput sejenak menciut, seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar, jika ia harus memakan seonggok daging mentah, salah satu bagian Batur Bayi, ABDI SASONGKO JATI.

"Ampun ... Ampun...." Rintih Mbok Tayem, memohon.
Namun, bukan rasa iba yang di tunjukan sosok Ratu Pambayun, melainkan tawa keras dan tatapan sinis, seperti begitu bahagia melihat ketakutan Mbok Tayem. Tak cukup sampai di situ.
Setelah tawa kerasnya mereda, sosok Ratu Pambayun memberikan isyarat seringaian pada beberapa mahluk hitam bermata bolong, yang kemudian disambut ringikan-ringikan Kuda ramai riuh. Membuat Mbok Tayem hanya bisa menangis tanpa suara.
Tanganya masih berusaha untuk meraih gagang pintu. Tapi sayang, hanya angin kosong yang ia sentuh.

Tubuh Mbok Tayem seketika lunglai tanpa daya. Nafasnya sesak tersengal, mendapati dirinya sudah tertipu oleh samaran mata dari sosok Ratu Pambayun.
"Mau pilih mana? Kamu makan? Atau tubuh rentamu itu, yang menjadi santapan mereka!" kembali ucapan dari Ratu Pambayun, membuat tubuh Mbok Tayem seperti terlolosi.
Kepasrahan terpancar jelas dari wajah Mbok Tayem, yang sudah tersimpuh. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan selembar nyawa sepuhnya. Apalagi dirinya baru saja menyadari, jika tempat di mana ia berada, bukanlah alam nyata, tapi alam jagad lelembut.
"Silahkan kalian cabik-cabik tubuhku! Tapi tak sudi! Jiwaku, sukmaku menjadi budak atau pengikutmu." jawab Mbok Tayem, sembari melempar gumpalan daging Batur Bayi, anak Sudiro.
Ratu Pambayun terkesiap melihat apa yang di lakukan Mbok Tayem. Ia tak menyangka dengan keputusan Mbok Tayem, seolah malah menantangnya. Bahkan, gumpalan yang sejatinya ia ingin Mbok Tayem untuk memakanya, malah di lempar dan mengena wajahnya.
Rahang mulut Ratu Pambayun mengencang gemeretak. Dua bola matanya melotot tajam. Menunjukan kemarahan yang memuncak.

"Tuwekan goblok! Rencek sak balung sum-summu!"

"Plakkkk...."
Suara bentakan keras dari sosok Ratu Pambayun, lalu di susul sebuah tamparan tangan, membuat Mbok Tayem terguling ke sisi kiri. Darah seketika mengalir deras dari sudut bibir dan hidung Mbok Tayem.
Matanya mengerjap sayu, meski masih bisa sedikit menyunggingkan senyum sinis, membuat ledakan amarah Ratu Pambayun semakin memuncak.

"Tuo rakedugo! Rogomu ra kanggo gawe!" Kembali suara keras Ratu Pambayun menggema, saat menghampiri dan melihat ejekan dari Mbok Tayem.
Di seretnya tubuh lemah Mbok Tayem, dengan menarik rambut panjangnya yang sudah penuh uban. Kini, bukan hanya rintihan yang terdengar dari Mbok Tayem, melainkan lolongan menyayat saat tubuhnya harus merangkak mengikuti seretan tangan Ratu Pambayun.
"Buukk...."

Tubuh Mbok Tayem tersungkur setelah di lempar tangan penuh kekuatan Ratu Pambayun dan menghantam kaki-kaki keras, sosok hitam bermata bolong.
"Paksa dia untuk menelan ini!" Perintah Ratu Pambayun seraya melemparkan gumpalan daging Batur Bayi, pada sosok-sosok hitam yang menjulurkan lidah panjang mereka, sambil meringik. Mbok Tayem hanya pasrah, tanpa bisa melawan, saat jari-jari hitam, membuka paksa mulutnya.
Hanya lenguhan yang terdengar, ketika seonggok daging hitam kemerahan sebesar jempol kaki, tersumpal di mulutnya. Tangan Mbok Tayem mengepal kuat. Wajahnya mendongak dengan mata melotot sampai urat-urat lehernya tersembul menegang.
Tawa keras melengking kembali menghiasi tempat luas tak bertuan. Yang di susul ringikan riuh seakan sebuah sorakan, ketika melihat tubuh Mbok Tayem, mengeliat-liat dan tersungkur diam dengan mata terpejam.

***
Malam sudah melewati waktu larut. Suara nyaring ayam berkokok, menjadi penanda jika waktu sudah hampir berganti fajar. Menggugah sebagian orang untuk segera beranjak dari nikmatnya terlelap di peraduan mimpi.
Tp tidak bagi sesosok laki-laki yang tengah duduk di kursi teras belakang. Wajahnya mencerminkan jika ia tengah terbebani sesuatu yg sulit untuk di pahami. Meski sudah berulang kali kejanggalan atau kejadian aneh ia lihat dan saksikan, tp tetap saja batinya menolak untuk percaya.
"Apa sebenarnya yang terjadi? Apa benar yang di katakan Mbah Ilyas tentang Sudiro?" tanyanya dalam hati, sembari menyandarkan kepalanya pada telapak tangan untuk menyangga.
Matanya yang merah, karena semalaman tak terlelap, menerawang jauh, menatapi langit yang hampir memunculkan semburat-semburat merah. Ingatanya ia paksa memutar kembali, memory peristiwa dan kejadian yang sudah hampir setahun berlalu.
Di mana awal kebahagiaan bagi dirinya, tapi petaka bagi saudaranya.

Sejenak kepalanya kembali ia tegakkan. Tangan kirinya merogoh saku baju, mengeluarkan sebungkus rokok beserta korek jiponya.
Namun, baru saja ia ingin menghidupkan api untuk membakar sebatang rokok yang sudah terselip di bibirnya, seketika ia urungkan.

Perlahan ia bangkit sambil matanya menyorot lurus ke arah sudut belakang, tepatnya di sebuah bangunan kecil yang menghadap ke selatan.
Alam yang hampir terang, sedikit membantu pandanganya melihat jelas, sesosok lelaki tua berbaju komprang, lengkap dengan ikat kepala yang sama berwarna hitam, keluar dari bangunan kecil itu.
Langkah lelaki tua itu mengendap pelan, melewati halaman belakang, di mana sang lelaki berkemeja tengah memperhatikanya. Seketika, rasa penasaran bercampur curiga, memaksa sang lelaki berkemeja,
perlahan melangkah, mendekati bangunan yang baru saja di tinggalkan sang lelaki tua berikat kepala hitam.

"Apa yang di lakukannya, di bangunan sekecil itu?" gumamnya lirih, pada dirinya sendiri.
Langkahnya terhenti sejenak, manakala sedikit jelas, matanya melihat sekelebat wajah dari sang lelaki tua, meski jarak mereka lumayan jauh. Membuatnya langsung mengerutkan kening, mengingat-ingat tentang sosok tersebut.
"Sepertinya, aku pernah melihat lelaki itu? Tapi di mana?" gumamnya kembali, yang masih berusaha untuk mengenali pemilik wajah itu.
"Ahh, ya. Dia kan...."

"Bapak mau kemana?"

Tiba-Tiba saja, satu suara mengejutkan dan memutus gumaman lirihnya.

"Sebaiknya, apa yang bukan urusan Bapak, tak perlu Bapak tau! Dan tidak perlu Bapak cari tau." ucap Diro sengit, setelah mendengar penjelasan mertuanya, Lasno.
Lasno sendiri terdiam. Matanya menatap punggung dan langkah Diro, yang berlalu meninggalkanya. Meski sang menantu sudah memberikan penjelasan dan sedikit di bumbui sebuah peringatan, tapi Lasno, tak bisa mengurangi rasa penasaranya.
Bahkan, dengan adanya kalimat mengandung larangan dari Diro, semakin membuat Lasno bertekat untuk mencari tau.

Matahari pagi sudah menunjukan sinar hangat, ketika Lasno memutuskan untuk kembali ke rumahnya sendiri.
Meninggalkan Murni Istrinya, yang di tinggal untuk merawat Winarni. Namun, di tengah perjalanan, Lasno merubah arah laju kendaraannya, saat dalam benaknya muncul bayangan Mbok Tayem.
Lasno meyakini jika Mbok Tayem pasti mengetahui sesuatu, sebab Mbok Tayem teramat ketakutan, waktu melihat Win yang kesakitan.

Mobil Lawas Lasno terus melaju. Melewati jalanan hitam aspal yang sudah banyak mengelupas, sebelum menapak jalan sempit berkerikil.
Hingga tiba di satu persimpangan, Lasno harus berhenti dan memarkirkan mobil tua nya, di tepian jalan berparit.

Kening Lasno mengkerut, saat kakinya baru menginjak tanah pasir lorong jalan menuju rumah Mbok Tayem.
Matanya menatapi dengan seksama kerumunan laki-laki yang berjalan beriringan dengan wajah-wajah tegang. Ada rasa tak enak dalam hati, ketika telinganya mendengar ucapan-ucapan pelan dari mereka saat berpapasan menyangkut nama Mbok Tayem.
Dari semua kalimat2 yg Lasno dengar, ia menyimpulkan, jika ada sesuatu yg menimpa Mbok Tayem. Perasaan tak enak semakin bergelanyut dalam benak Lasno. Saat memasuki halaman rumah dgn bangunan tembok separuh, yg terlihat paling ramai saat itu, di antara deretan rumah2 yg lain.
Wajah-Wajah bingung dan tegang dari deretan para lelaki yang tengah duduk dan berdiri bergerombol, serentak menatap Lasno, sebelum satu teriakan keras dari arah dalam, mengejutkan semuanya.
"Itu dia!" sekejap, puluhan lelaki yang tadinya hanya menatap, langsung mengepung Lasno.

Wajah Lasno langsung memucat. Buliran-buliran keringat mulai mengucur dari pori-pori kulitnya.
Menunjukan ketakutannya, saat melihat puluhan lelaki berubah garang, dengan sebagian tangan mereka sudah memegang senjata.

"Benar ini orangnya, Kang?" ucap salah satu lelaki yang menenteng sebuah golok.
"Benar! Saya lihat dia kemaren ikut menjemput Mbok Tayem!" jawab lelaki setengah umur, yang berdiri di depan pintu.

"Saya yakin dia tau kejadian sebenarnya! Atau malah dia pelakunya!" sambungnya sambil melangkah, mendekati Lasno, yang masih berdiri mematung.
"Maaf ... Maaf. Saya tidak tau ada masalah apa ini?" ucap Lasno sedikit memberanikan diri.

"Masalah apa? Kamu tanya masalah apa!" hardik lelaki yang kini sudah berdiri di hadapan Lasno dengan melotot.
"Kemaren kamu ikut jemput Mbok Tayem! Dan sekarang Mbok Tayem di temukan tak bernyawa." Sambung lelaki itu, dengan wajah merah penuh amarah.
Lasno sendiri begitu terkejut mendengar penuturan lelaki di depanya. Darahnya seolah menyatu mengalir ke jantung, membuat detakanya kian kencang terpacu.
"Udah, Kang. Nyawa-bayar-nyawa." Sahut menyahut suara dari puluhan lelaki yang sedari awal diam mendengarkan, kini terlihat marah sembari mengacungkan senjata-senjata tradisional yang biasa di pakai mereka bertani dan berkebun, pada Lasno.
Lasno beringsut mundur. Tubuhnya gemetar menyadari jika nyawanya sedang terancam. Namun, tak banyak yang bisa Lasno lakukan ketika beberapa tangan begitu cepat menyambar dan memegangi tubuhnya.
Hampir saja Lasno menjadi bulan-bulanan puluhan lelaki yang sudah memuncak amarahnya, sebelum beberapa derap langkah kaki buru-buru datang seraya berteriak.

"Hentikan! Jangan main hakim sendiri!"
Suara keras dari seorang lelaki tua berkalung sorban, seketika menghentikan puluhan lelaki yang hampir mengamuk Lasno.

"Dia tidak bersalah! Dia juga ikut jadi korban!" sambung lelaki tua berkopiah hitam tingkat, sambil berjalan menerobos kerumunan.
"Kalian bakal berdosa jika menyakiti atau bahkan membunuhnya." Di tariknya lengan Lasno menuju ke dalam rumah.
"Duduklah. Dan kalian! Segera persiapkan untuk mensucikan jenazah Mbok Tayem." Perintah sang lelaki berjubah pada Lasno untuk duduk, dan beberapa orang lelaki yang masih berdiri di ambang pintu.
Lasno yang duduk berhadapan dengan sang Lelaki penuh wibawa, menarik nafas lega. Di pandanginya wajah-wajah asing yang ikut duduk mengelilingi dan juga menatapnya masih penuh curiga.
"Ambilkan dia air minum." Perintah sang lelaki berwibawa, pada seorang muda, yang sedari kedatanganya selalu mendampinginya.

"Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak tau dengan musibah yang menimpa Mbok Tayem." Lasno memberanikan diri membuka percakapan.
"Iya, Saya tau. Bukan bapak pelakunya. Tapi, orang yang sudah menjadi bagian keluarga Bapak, yang sudah berbuat tega!" jawab sang lelaki bersorban pelan, namun penuh charisma. Tersentak Lasno mendengar penjelasan dari lelaki yang ia yakini sebagai seorang kiay.
Wajahnya menciut dengan mata menyorot penuh makna.

"Maksud, Bapak?" tanya Lasno, penasaran.

Sang lelaki tak langsung menjawab. Bibirnya tersenyum menatap Lasno yang masih di landa antara bingung dan cemas.
"Apa yang Bapak ketahui tentang menantu Bapak?" ucap sang Kiay, balik bertanya.

Sejenak Lasno menundukan kepalanya, di samping matanya tak kuat saat berbenturan pandang dengan Sang Kiay, ada rasa tak enak ketika mendengar kalimat yang menyinggung menantunya.
"Ohh, ya. Perkenalkan dulu. Nama saya Hambali," ucap lelaki berjenggot tipis menyebut namanya, seraya mengulurkan tangan kanannya.
"Saya Lasno, Pak." sahut Lasno yg langsung menerima uluran tangan Pak Hambali.

"Saya tau Pak Lasno, tak begitu tau siapa sebenarnya sosok menantu Bapak. Tapi saya yakin, Bapak tau ikhwal Mbok Tayem sewaktu di rumah dan menolong anak Bapak saat melahirkan?" ucap Pak Hambali.
Lasno terhenyak, pikiranya berkecamuk. Ada keraguan yang mencoba menahanya untuk bercerita. Namun, di sisi lain, Lasno berpikir "Mungkin ini jalan untuk mengetahui kejelasan."
Wajah sendu di iringi tarikan nafas panjang, mengawali cerita Lasno. Mulai dari penjemputan sampai akhirnya Mbok Tayem pulang paksa dalam keadaan ketakutan.
Pak Hambali sesekali termangu dan menganggukan kepalanya. Antusias di wajahnya semakin mengembang, manakala Lasno menceritakan seluruh kejanggalan yang ia rasakan, sejak anaknya mengandung sampai melahirkan.
Beberapa kali Lasno mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, sebelum mengakhiri semua ceritanya. Sedikit tenang jiwa Lasno setelah meneguk segelas air putih yang di berikan Santri dari Pak Hambali.
"Sudah kuduga. Jika semua ini ada campur tangan, dari jiwa-jiwa hitam." ujar Pak Hambali, sembari menarik nafas berat.

Perlahan Pak Hambali bangkit, tanganya menyilang ke belakang dan menumpukan kedua telapak tanganya.
Matanya menatap hampa ke arah jendela kayu yang terbuka, seperti tengah memperhatikan beberapa orang yang sedia mempersiapkan pemandian jenazah Mbok Tayem.

"Pak Lasno, kapan-kapan bisa ke tempat saya, jika bersedia." ucap Pak Hambali sambil mengucapkan alamat kediamannya.
Lasno menganggukan kepala dan sempat ingin mengucapkan sesuatu, tetapi urung. Ketika suara gaduh dari luar membuat dan menarik perhatian semua orang yang ada di dalam, termasuk Pak Hambali.
Nampak iringan puluhan orang yang baru saja tiba, sembari memikul sesuatu, di sambut jerit tangis beberapa perempuan yang menanti dan berdiri di halaman. Suasana duka seketika menyelimuti kediaman sederhana Mbok Tayem, yang di huni empat orang, termasuk Mbok Tayem sendiri.
Isakan dan kesedihan juga begitu terasa dari beberapa tetangga yang ikut menyaksikan, saat sebujur tubuh tua, terbungkus tikar anyaman, di turunkan dari keranda darurat terbuat dari bambu. Semakin menyayat jerit tangis terdengar, ketika tikar pembungkus mayat Mbok Tayem di buka.
Antara kesedihan mendalam dan takut, melihat kondisi mayat Mbok Tayem. Tubuhnya membiru, dgn mata melotot keatas. Jari2 kedua tanganya yang mencengkram lehernya sendiri, kaku menegang, hingga tak mampu di rengkuhkan. Membuat beberapa orang merasa ngeri dan memalingkan wajahnya.
"Innalillahi wa inna illaihi roji'un...." ucap Pak Hambali saat mendekat dan di ikuti beberapa orang, termasuk Lasno.

"Kita segerakan saja untuk mengurus jenazah Mbok Tayem." seru Pak Hambali, pada beberapa orang yang langsung beranjak.
"Pak Lasno, tolong Bapak ikut kami mengurus jenazah Mbok Tayem. Masih banyak yang akan saya sampaikan pada Pak Lasno, tapi bukan di sini." ucap Pak Hambali, setengah berbisik.
Lasno mengangguk, seraya mengiyakan ucapan lirih Pak Hambali. Namun, ketika Pak Hambali berlalu dari sampingnya, mata Lasno terbelalak kaget. Tubuhnya sebentar kemudian terasa dingin.
Beberapa kali matanya di kerjapkan, seperti ingin memastikan, bahwa satu sosok yang sedang ia lihat hanya sebuah bayangan hampa.

"Gak mungkin!" gumam Lasno lirih.
Ia seperti tak percaya dengan apa yang di lihat matanya. Apalagi, saat itu sosok yang ia lihat tengah berdiri adalah, sosok yang baru saja di angkat untuk di sucikan.
Bayang-Bayang sosok Mbok Tayem masih terus membekas dalam benak Lasno. Meski sudah beberapa kali sebuah doa yang di ajarkan singkat oleh Kiay Hambali ia baca, namun masih saja jiwanya di liputi ketakutan.
Keresahan Lasno semakin membuncah, saat senja semakin meredup menandakan waktu bakal berganti petang. Yang pada akhirnya, membuatnya menyerah. Ia tak kuasa lagi menahan letupan kecemasan, hingga memutuskan untuk mendatangi kediaman Kiay Hambali, saat itu juga.
Di pacunya mobil lawas yang ia dapat dari sang menantu. Tak perduli dengan suasana alam yang mulai terselimuti mendung, menambah waktu semakin cepat merengkuh gelap.
Suara Azdan Maghrib yang terdengar berkumandang di sisi kanan kiri jalan saat melewati Masjid atau pun mushola kecil, sedikit menyejukan nuansa hati Lasno yang tengah di rundung kalut dan takut. Sampai terbersit dalam hatinya untuk berhenti dan ikut menunaiakan kewajiban.
Namun sayang, ada bisikan lain yang lebih kuat, hingga membuatnya urung melaksanakan niatnya.

Sejenak Lasno melambatkan laju mobilnya saat tiba di sebuah persimpangan. Wajahnya mengkerut, mengingat kembali ucapan Pak Hambali yang menyebut tempat kediamannya.
Setelah beberapa detik berpikir, Lasno meneruskan perjalanannya dengan memutar stir kemudi ke kiri. Melewati jalan berkerikil dengan penerangan cahaya dari lampu-lampu teras rumah warga di sisi kanan kiri. Tak ada keanehan di rasa Lasno saat itu.
Ia tetap fokus dengan menatap lurus ke depan untuk menghindari jalanan berlubang.

Sampai akhirnya, konsentrasi Lasno sedikit pecah oleh kabut-kabut tipis yang tiba-tiba muncul, bebarengan dengan jatuhnya rintik gerimis.
Jarak pandang yang pendek, mulai membuat kesulitan Lasno untuk menghindari lubang-lubang jalan, yang ia rasa semakin banyak di jumpai. Sampai beberapa kali mobilnya harus berhenti, hanya sekedar mengangkat tenaga agar bisa melewati kubangan yang lumayan dalam.
Lasno mulai merasakan kejanggalan, saat melewati gapura kecil bertuliskan Jawa Kuno. Keanehan semakin ia rasa, setelah jalanan yang ia lewati, berubah lurus dan rata tanpa lubang kubangan dan kerikil.
Keraguan seketika muncul dalam benak Lasno, sampai memaksanya menghentikan laju mobil dan menepi di sebelah kiri.

Hening dan sunyi Lasno rasakan tempat sekitar. Hampir tak ada yang bisa ia lihat kecuali kabut tipis dalam kegelapan.
Di tambah hawa lembab sangat di rasa Lasno, saat kepalanya keluar dari kaca samping mobil untuk meyakinkan keraguannya, yang saat itu begitu kuat menyeruak.
Belum sempat Lasno berpikir lebih jauh, ia sudah di kejutkan dengan bau wangi kembang Kamboja dan mawar, begitu pekat menerjang Indra penciumanya.

Bulu halus di tengkuk Lasno meremang. Matanya mengedar mencari sumber wewangian yang dirasa amat dekat dengan keberadaanya.
Sayang, hanya hembusan angin dingin yang menerpa wajahnya, semakin membuat jiwanya tercekam. Hingga beberapa saat Lasno berpikir, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memutar kembali mobil dan berbalik arah.
Namun, baru saja Lasno berhasil memutar mobil dan ingin meninggalkan tempat yang rasa aneh, ia di kejutkan dengan sesosok bayangan, yang terlihat dari sorot lampu mobilnya.
Jantung Lasno berdebar-debar ketika bayangan itu terlihat melangkah mendekati mobilnya yang terpaksa ia hentikan. Matanya tak lepas menatapi bayangan yang semakin dekat, semakin jelas memperlihatkan wujud utuh sesosok wanita cantik berkemben kain batik bercorak.
Lasno terkesiap seolah tak percaya, mendapati perempuan seorang diri di tempat aneh nan gelap. Apalagi, perempuan yang tengah melangkah lenggak lenggok dengan anggunya, terlihat sangat cantik.
Rambutnya panjang sepinggang tanpa terikat, menambah ke ayuanya saat tertiup angin lembut menggerainya ke belakang, bersama setangkai mawar yang terselip di telinganya.
"Siapa sampeyan? Kenapa malam-malam begini di sini dan sendiri?" tanya Lasno, pada sosok wanita yang berhenti dua meteran dari mobilnya.
"Seharusnya saya yang bertanya! Kenapa kamu berbalik arah?" sahutnya yang balik bertanya.
Lasno sedikit heran melihat sang perempuan bisa tau ia akan berbalik arah.
"Knp? Knp kamu ragu? Apa kamu tak ingin nantinya bisa bersama dgn Anak dan Istrimu?" Berdesir darah Lasno mendengar penuturan sosok wanita itu. Jantungnya kembali berdegup kencang. Matanya tajam menatap sosok wanita yg tengah menyunggingkan seutas senyum kecil dari sudut bibirnya
"Siapa Kamu! Dan apa urusanmu dengan keluargaku!" tanya Lasno tegas.

Tawa keras seketika menggema, membuat Lasno semakin yakin jika sosok wanita itu bukanlah manusia. Apalagi Lasno juga baru sadar, bau wangi Bunga Kamboja dan Mawar, berasal dari sosok wanita tersebut.
Keringat mulai mengucur dari tubuh Lasno. Wajahnya memucat dan mulai kaku saat rasa takut menguasai jiwanya.

"Cepat! Tinggalkan tempat itu." Tercekat Lasno mendengar suara nyaring di telinganya. Suara yang tak asing, namun tanpa wujud, membuat Lasno bingung.
Sementara sosok wanita yang baru saja menghentikan tawa kerasnya, sekejap mata kemudian menatap nyalang pada Lasno.

"Sebentar lagi, Kamu akan ikut menghuni Istanaku. Setelah anakmu menjadi ABDI INANGku!" seru sosok wanita itu kembali, sembari menyeringai sinis.
Gemetar tubuh Lasno. Tubuhnya dingin. Terbayang wajah anaknya yang tengah mengecap bahagia dengan kelahiran anak pertamanya. Terbayang wajah istrinya yang juga ikut merasakan satu kebahagiaan. Namun, kini ada sosok iblis yang ingin merampas mereka.
"Cepat Lasno! Tinggalkan tempat itu!"

Tersentak Lasno mendengar kembali suara keras tanpa wujud. Sejenak Lasno terdiam berpikir, sebelum kakinya menginjak kuat pedal gas, membuat mobil lawasnya menggerung keras.
Lasno sempat melirik sosok wanita, yang masih berdiri sambil menyisir rambut hitamnya dengan jari-jari tangan. Expresi wajahnya datar, seolah tak perduli dengan Lasno yang siap menancap laju mobilnya.
Decitan roda-roda mobil yang terdengar memekakkan telinga, memecah kesunyian gelap malam pekat. Di mana Lasno yang tengah di landa ketakutan, memacu laju mobilnya begitu kencang. Berkejaran dengan suara tawa nyaring sosok perempuan yang seperti terus mengikutinya di belakang.
Hingga sampai beberapa saat lamanya, Lasno yang merasa mobilnya sudah melaju begitu kencang, tapi seolah tak beranjak dari tempat pertama ia menepikan.
Menyadari hal itu, Lasno menghentikan mobilnya. Wajahnya menegang. Saat matanya menatap sekitaran tempat yang sama persis dengan tempat awal ia curigai.

"Kamu tak akan bisa keluar dari tempat ini!"
Satu suara pelan, tapi sanggup menghentakkan Lasno. Perlahan kepala Lasno memutar untuk melihat dan memastikan Sang pemilik suara.
Wajah Lasno mempias, guratan ketakutan terpancar jelas setelah melihat senyum seringai dari sosok wanita bertangkai bunga mawar, sudah duduk di jok belakang mobil.
Lasno membalikan kembali kepalanya, tapi lagi-lagi, pemandangan menakutkan terpajang di depan mobil, yang masih menyala dua buah lampu dengan cahaya putihnya. Mata Lasno kembali melotot dengan tubuh gemetar.
Lututnya menggigil kuat, mendapati wanita tua berdiri tepat di depan seperti sengaja menghadang.

Sorot mata wanita tua bertapi kain jarik tajam menyilau. Bibirnya meringis, menunjukan deretan gigi hitamnya.
Rambutnya yang panjang beruban, tergerai ke depan menutupi sebagian wajahnya, dan sesekali tersibak angin menampakan utuh wajah seramnya.

"Mbok Tayem," gumam Lasno.
Lasno benar-benar dalam titik kepasrahan. Tak ada lagi yang mampu ia perbuat. Tubuhnya seolah sudah tak bertulang, mendapati dua sosok berada di depan dan belakangnya.
Lasno memejamkan matanya, siap menerima apapun yang bakal di lakukan dua sosok perempuan itu, sebelum satu bisikan seperti memberinya satu kekuatan kembali.
Bisikan dari suara berat yang langsung bisa di bayangkan wajah pemiliknya oleh Lasno. Hingga tanpa sadar, mulut Lasno yang baru saja terkunci, seketika bibirnya bergerak naik turun seperti melafalkan sesuatu.
Sampai beberapa saat lamanya, Lasno yang masih tercekam membuka matanya. Meski belum berani menoleh, namun Lasno masih yakin, jika sosok wanita ayu berkemben masih berada di jok belakang. Tercium dari wangi bunga mawar dan kamboja yang begitu menyengat.
Lasno terpaku diam. Ada yang lain di rasa dalam dirinya, seperti dua kekuatan sedang tarik menarik. Membuat dadanya bergemuruh, dengan nafas memburu, sesak.
Seringaian tajam dari sosok Mbok Tayem, yang masih menatapi Lasno, seketika sirna. Berganti Auman dan geraman, manakala siluet-siluet putih, tiba-tiba saja muncul menabraknya. Begitu juga yang terjadi dengan sosok wanita berkemben.
Sosoknya yang sudah berada di luar mobil Lasno, mengeluarkan bentakan-bentakan keras penuh amarah pada beberapa siluet putih yang mengurungnya.
Tempat gelap berhawa lembab yang tadinya sunyi, kini berubah riuh ramai. Kilatan-kilatan bergantian menyambar antara putih dan hitam, membuat Lasno yang menyaksikan dengan mata telanjangnya, menggigil ketakutan.
"Cepat kamu tinggalkan tempat itu!" Satu suara keras, kembali menggema di telinga Lasno. Membuatnya tersentak dari ketakutan. Wajah pucatnya sejenak berpaling dengan mata mengedar, mencoba mencari pemilik suara.
Namun, tak ada siapapun yang bisa ia lihat, kecuali bayang-bayang hitam dan putih yang tengah bergumul.

"Cepat pergi! Sebelum terlambat!" kembali suara itu terdengar keras, membuat Lasno tersadar.
Tanpa menunggu ketiga kalinya, Lasno segera menginjak gas mobilnya kuat-kuat. Tak perduli dengan bayangan yang riuh menghadangnya. Tak perduli dengan geraman dan umpatan sebagai letupan amarah, saat mobil tuanya melaju, menerobos siluet hitam dan putih tanpa tersentuh.
Kali ini Lasno benar-benar yakin dengan jalan yang ia lalui. Meski masih begitu gugup penuh ketakutan, tapi satu kekuatan seperti menuntunya untuk segera bisa keluar dari tempat itu. Tak sedikitpun telapak kaki Lasno menginjak rem,
walaupun jalan yang di laluinya penuh lobang, membuat tubuhnya terguncang. Tapi, guncangan jiwa yang ia rasakan jauh lebih dahsyat, sehingga ia tak memperdulikan apapun meski kadang kepalanya beberapa kali terbentur bagian-bagian dalam mobilnya.
Entah sudah berapa puluh kilo meter dan berapa puluh menit ia lalui dengan penuh ketakutan. Sampai akhirnya, ia bertemu sebuah persimpangan jalan, membuatnya melambatkan laju kendaraanya.
Sedikit kelegaan terpancar dari raut basah wajah Lasno, saat menepikan Mobilnya ke sebelah kiri jalan, sebelum masuk jalan simpang. Nafasnya masih kencang memburu ketika ia mengusap buliran keringat di wajah dan lehernya.
Tanpa menyadari dua pasang mata, tengah memperhatikanya di balik gelapnya seberang jalan.

Lasno sempat menghempaskan tubuhnya di kursi kemudi, sebelum kembali tersentak oleh satu suara yang sudah menuntunya keluar dari tempat asing.

"Jangan sia-siakan waktumu!"
Lasno terkesiap kaget. Saat kepalanya tegak, matanya menangkap siluet putih yang berlalu cepat, menembus pekatnya malam ke arah kanan persimpangan.

"Ikuti apa yang kamu lihat, sekarang!" ucap suara yang sedari awal Lasno selalu dengar, menuntunya kembali.
Lasno yang baru menyadari jika dirinya belum aman, langsung melajukan Mobilnya. Meskipun siluet putih yang sempat ia lihat, sudah tak terlihat kelebatanya, namun Lasno yakin jika jalan yang kini di laluinya benar dari petunjuk suara itu.
Lasno sempat terkejut, setelah menempuh beberapa puluh menit perjalanan, ia nampak mengenali jalanan yang sedang di tapaki. Sebuah jalan yang baru tadi pagi ia lalui dan memang ia tuju kembali untuk bertamu ke rumah Pak Hambali.
Betapa ngerinya Lasno membayangkan kembali peristiwa yang baru beberapa jam berlalu. Ia sempat tak habis pikir, bagaimana ia bisa masuk tempat asing berhawa lembab penuh kengerian yang hampir membuatnya tak bisa kembali.
Berpikir sampai di situ, Lasno ingin segera bertemu dengan Pak Hambali. Di sisi lain, ada satu pertanyaan yang seketika masuk dalam benaknya, yaitu pemilik suara yang sudah menuntunya. Sebab Lasno tau dan hafal dengan sang pemilik suara, namun belum tau keberadaan sosok tersebut.
Tak terasa perjalanan Lasno sudah memasuki persimpangan kembali. Yang ia tau salah satunya menuju rumah Mbok Tayem, tapi kali ini, ia mengambil jalan berlawanan, yang tampak lebih lebar. Meski terlihat sunyi dan sepi, namun suasana tenang begitu di rasakan Lasno.
Ketenangan dan kelegaan Lasno sebentar kemudian kembali berganti ketegangan. Saat ia berjarak beberapa meter dari sebuah gapura bertuliskan huruf Arab, tiba-tiba saja satu dentuman lumayan keras terdengar di belakang mobilnya.
Lasno yang melihat kebelakang dari kaca spionya, terkejut bukan main, ketika matanya menangkap dua sosok wanita tua berdiri berdampingan, dengan salah satu dari mereka memegang sudut kanan mobilnya.
Sorot mata dua wanita tua yang Lasno kenal, tampak merah menyala, menunjukan satu amarah terpendam yang siap di letupkan.
Lasno yang kembali ketakutan, bingung dan terdiam kaku. Jantungnya berdegup kencang saat mobilnya tak mampu lagi berjalan, meski berkali-kali ia injak gas kuat-kuat, namun hanya deru mesin menggerung yang terdengar.
Apalagi, ia melihat dari kaca spion dua sosok wanita yang ia kenal, berjalan mendekatinya.

Seringaian-Seringaian sinis nan sadis dari bibir dan mata dua sosok itu membuat darah Lasno seolah berhenti mengalir.
Wajahnya pucat pasi dengan keringat kembali membasahi seluruh tubuhnya, melihat kengerian dua sosok berbau wangi bunga kamboja, tinggal beberapa langkah dari tempatnya.
Nasib baik rupanya masih menaungi Lasno. Saat beberapa jengkal lagi tangan-tangan berkuku tajam dua sosok wanita tua itu sampai pada leher Lasno, seberkas cahaya putih lebih dulu menghantam keduanya.
Lengkingan jeritan melolong dan menyayat, sejenak membuat Lasno terpaku. Merinding seluruh tubuhnya, menyaksikan kejadian yang begitu cepat. Matanya mengerjap seraya memalingkan wajahnya.
Ketika di lihatnya dua sosok wanita tua, terpental dan terguling sembari menjerit serta mengepulkan asap dari tubuh keduanya.

"Turun dan masuklah ke dalam gapura!"
Lasno yang tengah ketakutan dalam kengerian, seketika beranjak membuka pintu mobil dan turun, setelah mendengar kembali suara yang amat di kenalnya. Setengah berlari Lasno meninggalkan mobil dan dua sosok yang masih terguling mulai menghitam dengan bau gosong mulai menyengat.
Lasno terus melangkah cepat. Tak perduli lagi dengan suara jeritan dan geraman yang tiba-tiba riuh ramai di belakangnya. Tubuhnya sudah seperti tak bertulang saat langkahnya sampai di depan sebuah bangunan layaknya joglo, yang masih terang penuh pencahayaan dari beberapa lampu.
Kakinya sudah tak kuasa berpijak, saat akan menapak naik ke atas lantai Joglo yang sedikit bertingkat. Tubuhnya roboh tersungkur dan tersimpuh tak berdaya. Matanya nanar mengitari sekeliling bangunan, sebelum isi semua pandannganya berubah gelap gulita.

***
"Di mana Aku?"

Mungkin pertanyaan ini yang pertama terbersit dalam pikiran Lasno, saat matanya terbuka, mendapati tubuhnya sendiri terbaring di atas Ambal tebal berselimut kain putih.
Harum aroma cendana yang memenuhi ruangan bersih nan rapi, membuat ketenangan tersendiri dalam batin Lasno.

Lama Lasno terdiam dalam pembaringan. Matanya menatapi atap putih plapon kamar dalam ruangan.
Menikmati hawa sejuk mendamaikan, sebelum derap langkah kaki terdengar menghenyakkanya.

"Bapak sudah bangun?" ucap seorang pemuda berkopiah, yang baru masuk dan melihat Lasno memalingkan wajahnya dengan mata terbuka.

"Di mana, saya?" sahut Lasno, balik bertanya.
"Panjenengan di Pondok Abah Hambali, Pak." jawab Sang Pemuda sambil menunduk.

Lasno seketika tersentak. Meski tubuhnya masih terasa lunglai, ia paksa bangkit dan mendekati Sang Pemuda.

"Di mana Pak Hambali, Kang?" kembali Lasno bertanya seperti panik.
Sang Pemuda bersarung yang melihat kepanikan dalam diri Lasno, terdiam sambil menatap lekat wajah pucat Lasno. Tanganya yang tengah menyangga nampan, segera menyerahkan segelas air kekuningan pada Lasno.
"Monggo, di minum dulu, Pak. Sebelum saya antar ke tempat Abah." ucap Sang Pemuda, sambil mempersilahkan dengan jempol tangan kanannya sebagai isyarat.
Lasno yang menerima gelas terasa hangat, mengangguk pelan, sebelum meneguk habis air kekuningan dalam gelas yang beraroma Jahe. Kesegaran seketika menelusup persendian tulang Lasno. Memantapkan langkahnya, mengikuti Sang Pemuda dari belakang.
Sampai pd ruangan bercahaya remang, Lasno terperanjat kaget, melihat dua sosok berjubah putih dengan salah satu di antaranya tengah terbaring. Sosok yg sedari awal membantu Lasno keluar dari lingkaran Iblis, meski hanya suaranya, kini terlihat lemah dan pucat dalam pembaringan.
"Pakde Ilyas!" seru Lasno, menatap tubuh sepuh yang terbujur di samping Pak Hambali.

"Pak Lasno, mari ... silahkan masuk." sahut Pak Hambali dengan ramah, penuh wibawa.
Lasno melangkah pelan, meninggalkan Pemuda yang mengantarnya di depan pintu. Matanya tak lepas menatap tubuh pucat Mbah Ilyas yang terbaring beralaskan anyaman janur kuning.

"Pakde, maafkan saya. Maafkan kebodohan saya. Maafkan ketamakan saya." ucap Lasno penuh kesedihan.
Perlahan, wajah tua dengan mata yang awal mengerjab, menoleh dan terbuka. Senyuman kecil tersungging dari sudut bibirnya yang masih terlihat bercak darah mengering, menandakan jika ia tengah mengalami luka dalam.
"Kang Ilyas sudah tak dapat bicara lagi, sejak kejadian di rumahmu. Aku sendiri yang hanya mendengar beritanya dan mendapati keadaan Kang Ilyas sudah seperti ini." Jelas Pak Hambali, dengan wajah menggurat rasa iba.
"Benar Pak, itu terjadi karena saya dulu tak menggubris nasehatnya." sahut Lasno membenarkan, dengan nada penuh penyesalan.
"Sudahlah, Pak Lasno. Bukan waktu yang tepat untuk membahas masa lalu dan sudah terjadi. Sekarang yang terpenting Pak Lasno wajib bersyukur, sudah selamat dari cengkraman Iblis Ratu Hitam.
Dan semua ini tak lepas dari Kuasa ALLAH melalui Kang Ilyas. Meski dirinya sendiri harus menanggung LAYENG TOHPATI." Jelas Pak Hambali, sembari mengusap dada Mbah Ilyas yang membiru.
Lasno makin hanyut dalam kesedihan dan rasa bersalah. Ia menunduk menitikan dua bulir bening kala mendengar erangan lirih Mbah Ilyas. Dadanya bergemuruh menahan nyeri saat tangan Pak Hambali menekan sedikit kuat warna biru pada dada Mbah ilyas,
yang seketika di sambut muntahan darah hitam, mengalir dari bibir pucat Mbah Ilyas.

"Butuh waktu lama untuk memulihkan kondisi Kang Ilyas. Semoga saja fisik beliau di beri kekuatan oleh ALLAH." Ucap Pak Hambali yang di amini lirih oleh Lasno.
Jiwa Lasno sedikit terguncang, ketika mendengar Mbah Ilyas memaksakan diri menggerakan mulutnya, yang hanya bersuara pelan tanpa adanya kalimat yang jelas. Namun, dari raut wajahnya yang pucat, terlihat rasa khawatir begitu mendalam.
Apalagi, saat tangan lemahnya menggoncang tangan Lasno, seperti menyiratkan satu perintah untuk di segerakan.

Lasno yang sedih bercampur bingung, menatap penuh tanya pada Pak Hambali. Tanganya menggenggam erat jari-jari dingin Mbah Ilyas,
menunggu Pak Hambali, yang tertunduk menghela nafas panjang nan berat.
"Kang Ilyas, mengingatkan keselamatan anak dan Istri Pak Lasno. Beliau ingin agar Pak Lasno segera menjemput dan membawa mereka keluar dari Rumah yang sejatinya SAUNG IBLIS RATU HITAM." Ucap Pak Hambali, sedikit menjelaskan apa yang di maksudkan Mbah Ilyas.
Terhenyak Lasno mendengar semua kalimat Pak Hambali. Terngiang kembali ucapan-ucapan sosok wanita berkemben, menyangkut semua keluarganya.

"ABDI INANG."

Tanpa sadar, Lasno bergumam menirukan kalimat yang ia dengar dari sosok wanita yang hampir mencelakainya.
"Dari mana Pak Lasno tau kalimat itu?" sahut Pak Hambali, penasaran.

"Dari sosok wanita, yang saya temui di tempat gelap dan lembab. Juga di tempat di mana suara Pakde Ilyas menuntun Saya hingga bisa keluar serta sampai di sini." Jawab Lasno menjelaskan.
"Sulit ... Akan sangat sulit, jika memang keadaanya seperti itu." Gumam Pak Hambali, sembari menatap nanar jauh ke atas.

"Apa maksudnya, Pak?" tanya Lasno dengan raut wajah bingung dan menegang.
"Abdi Inang, adalah istilah tumbal wajib yang sudah di tandai jauh-jauh hari. Sukma calon Abdi Inang, akan di ambil saat waktu yang sudah di tentukan dan di sepakati antara pemuja dan yang memuja.
Jadi, akan sulit untuk menyelamatkanya, sebab tanda calon Abdi Inang, hanya orang-orang tertentu dan ikut terlibat persekutuan itu, yang tau persis letak dan waktunya." Jawab Pak Hambali.
Jantung Lasno seketika berdegup kencang. Terbayang kembali wajah Win, putrinya yg kini dalam bahaya. Tak hanya itu, wajah Lasno seketika merah padam, membayangkan wajah Sudiro, seolah tengah tersenyum mengejek di pelupuk matanya, membuat tanganya mengepal kuat menahan amarah.
"Jangan terbawa hawa nafsu Pak Lasno. Kita masih punya ALLAh. Jadi kita bisa memohon pada-NYA untuk keselamatan Anak dan Istri Bapak." Ucap Pak Hambali menenangkan Lasno yang ia lihat tengah terbawa emosi.
"Lalu bagaimana nasib anak dan Istri saya, Pak? Sudah jelas mereka akan di jadikan Tumbal oleh si keparat Sudiro!" ungkap Lasno dengan suara bergetar.

"Tolong mereka, Pak. Saya mohon...." sambung Lasno dengan suara parau di barengi membungkukan badan.
"INSYA ALLAH, Pak Lasno. Bukan hanya Saya, tapi Bapak juga. Kita akan sama-sama berusaha membebaskan Anak dan Istri Bapak dari lingkaran Syetan, dengan pertolongan dan ijin ALLAH."
Baru saja Pak Hambali menyelesaikan ucapan yang kembali di Amini Lasno, tiba-tiba saja, dari atas atap tempat mereka bercengkrama, terdengar suara gemeratak panjang, dan di susul liringan dahsyat seperti suara benda keras berbenturan.
Lasno dan Pak Hambali yang sama-sama terkejut, sejenak saling pandang, sebelum Pak Hambali yang lebih dulu bangkit, segera beranjak melangkah keluar.
"Kamu jaga di sini! Balutkan kain putih itu pada tubuh Kang Ilyas dan tutup pintu ini rapat. Jangan kemana-mana sebelum aku datang." Pesan Pak Hambali pada dua orang pemuda santrinya, yang baru saja ia panggil dan tiba.
Kedua Pemuda sedikit gondrong yang memakai sarung dan berkopiah lipat, hanya mengangguk dan menunduk. Keduanya tau, jika Sang Guru sudah berpesan seperti itu, bisa di pastikan ada masalah serius dan besar yang sedang terjadi.
"Jangan putus berdzikir selama di dalam." kembali Pak Hambali berpesan, pada dua santrinya.

"Njeh, Bah." Sahut kedua Santri bersamaan yang masih menunduk, sebelum Sang Guru melangkah keluar, di ikuti Lasno di belakangnya.
Hawa panas seketika di rasa Lasno, saat kakinya yang mengikuti langkah Pak Hambali, menapak di halaman samping bangunan yang mirip sebuah Pendopo atau Aula, lumayan besar.
Meskipun tiupan angin sedikit kencang, sampai menggugurkan daun-daun kering dari pepohonan yang sengaja di tanam di sebelah Aula, akan tetapi, tubuh Lasno dan Pak Hambali, tetap saja merasakan gerah, hingga keringat mulai keluar dan merembes, membasahi tubuh keduanya.
Bukan hanya itu, Lasno yang berdiri di belakang Pak Hambali, mulai di landa ketakutan, saat matanya melihat puluhan bayangan hitam melayang dan berputar di atas atap genteng. Yang sebentar kemudian berhenti dan melayang turun seperti tau kedatanganya dan Pak Hambali.
Sejenak suasana hening namun penuh ketegangan. Ketika sosok-sosok hitam berdiri tepat di hadapan Pak Hambali dan Lasno. Lutut Lasno seketika lemas, menatap puluhan sosok hitam bermata bolong, dan berambut panjang acakan menebarkan bau busuk menyengat.
Keringat di tubuhnya seolah enggan untuk berhenti mengucur, sama seperti rasa takutnya yang sulit ia tekan. Tapi Lasno melihat hal berbeda dari Pak Hambali. Sosok berjubah penuh kharisma itu tampak tenang, meski di hadapanya puluhan mahluk mengerikan,
tengah mengerang dengan membuka mulutnya yang tak berahang, menampakan gigi besar mereka bersama dua taring di sudut bibir serta lidah hitam yang panjang menjulur.

Tak ada ketakutan sedikitpun, yang terpancar pada wajah bulat Pak Hambali.
Bahkan, seutas sunggingan senyum masih sempat beliau tunjukan saat mahluk-mahluk itu mulai mendekat ke arahnya.

"Mundurlah, Pak Lasno." perintahnya, saat menyadari kondisi Lasno yang ketakutan.
Tanpa menunggu perintah kedua kali, Lasno segera melangkah mundur. Tubuhnya yang masih basah oleh keringat, tetap terlihat gemetar walaupun kini jarak dengan mahluk-mahluk itu sudah sedikit jauh.
Matanya tak lepas menatapi tubuh Pak Hambali, yang dalam sekejap sudah di kelilingi mahluk-mahluk berlidah panjang menjulur, meneteskan lendir-lendir hitam berbau busuk pekat. Namun, lagi-lagi Lasno di buat terpana oleh sosok Pak Hambali.
Tak sejengkal pun, kaki pengasuh sebuah Pondok Pesantren Salaf itu beranjak dari tempat awalnya berdiri. Beliau masih tampak begitu tenang, menghadapi puluhan makhluk bermata bolong.
Hanya bibirnya yang terus bergerak sama, seperti tengah melafalkan suatu bacaan berulang-ulang, dengan mata mulai terpejam. Hawa panas semakin menyeruak di sekitaran tempat itu,
saat mahluk-mahluk hitam yang mengepung Pak Hambali, berubah bagaikan siluet atau bayangan, bergerak kesana kemari begitu cepat.

Lasno tertegun dengan harap-harap cemas. Matanya terus menatapi sosok hitam bagaikan kilat yang menyerang Pak Hambali, tanpa berkedip.
Dalam hatinya, ia berdoa supaya Pak Hambali bisa mengalahkan mahluk-mahluk peliharaan menantunya.

Hingga beberapa saat kemudian, kilatan-kilatan bercahaya hitam dan putih bersiutan saling berbenturan. Mengeluarkan suara berdesing dan mengobarkan percikan-percikan api,
sampai membuat tempat sekitar terang benderang.
Lasno beringsut mundur. Wajahnya ikut menegang dengan mata mengedar mencari sosok Pak Hambali yang tertutup cahaya putih dan bayangan hitam.
Lama Lasno menyaksikan kejadian yang terpampang nyata di depanya. Bau busuk menyengat yang mendominasi tempat sekitar, seolah tak di hiraukan. Ia masih terus mencari sosok Pak Hambali dengan penuh kecemasan.
Sampai akhirnya, satu suara keras menggema, menggetarkan seantero lokasi Aula.

"ALLAH HU AKBAR ... ALLAH HU AKBAR ... ALLAH HU AKBAR...."

Teriakan keras dengan menyebut SANG KHALIK, dari bibir Pak Hambali, seketika menghempaskan puluhan bayangan hitam yang mengelilinginya.
Jeritan demi jeritan susul menyusul, saat siluet hitam berubah kembali menjadi mahluk-mahluk bermata bolong, bertumbangan dengan mengepulkan asap panas berbau gosong menyengat.
Keringat tampak membasahi wajah serta tubuh Pak Hambali, yang masih berdiri tegak sembari menatap mahluk-mahluk hitam, tengah bergulingan dan mengerang kesakitan, sebelum sirna meninggalkan jejak-jejak gosong tubuh mereka.
"ALHAMDULILLAH...." Gumam Pak Hambali, memanjatkan Syukur.

Namun baru saja kedua telapak tangan Pak Hambali mengusap wajah letih penuh kelegaan, setelah berhasil menghanguskan sosok-sosok Mahluk hitam, kembali harus merasakan ketegangan.
Ketika liringan angin panas bergelombang datang secara tiba-tiba menghantam tubuhnya yang berbalut jubah putih. Meski tak sampai merobohkanya, tapi cukup membuat tubuh Pak Hambali tersurut mundur beberapa langkah.
Lantunan kalimat Istighfar beberapa kali terucap dari bibirnya, saat merasakan panas pada dadanya. Pandanganya mengedar mencari pemilik kekuatan besar yang sudah membuat nafasnya terasa sesak.
Namun hingga beberapa saat lamanya, hanya hawa panas mencekam yang di rasa Pak Hambali, tanpa adanya tanda-tanda kemunculan bayangan atau pun sosok yang di carinya.
Pak Hambali terdiam sejenak. Sorot matanya masih mengitari sekitaran tempat kakinya berpijak, seakaan masih menyelami hawa aneh yang terasa lain saat itu. Di tambah wangi bunga Kamboja dan Mawar yang muncul pekat bersliweran, seperti tengah mengitari dirinya.
Pak Hambali yang sepertinya sudah tau dan menyadari keadaan sekitarnya, segera memejamkan matanya. Kedua tanganya bersedekap, dengan bibir kembali bergerak cepat melafalkan lantunan Do'a, guna melawan Aura hitam yang mengurungnya.
Lasno, yang tadinya terlihat cerah, kini kembali tercekat, menyaksikan Pak Hambali terlihat sedikit panik, dan tengah berdiri diam dengan bersedekap.
Beberapa kali ia melihat Pak Hambali memutar tubuhnya seperti tengah menghindari sesuatu. Tapi kali ini mata Lasno tak mampu melihat bayangan atau sosok apapun, kecuali sosok Pak Hambali, yang sudah terbasahi keringatnya sendiri.
Beberapa saat lamanya Lasno menunggu penuh rasa was-was, hingga satu dentuman sangat keras terdengar menggelegar, di barengi lengkingan panjang bersambung erangan berat dari dua sosok yang sama-sama terpental dan roboh terguling di tanah berpasir.
Hening, sesaat tempat berhawa panas yang mulai berkabut. Di mana dua sosok yang terkapar sama-sama berusaha bangkit perlahan. Sedangkan Lasno yang ikut merasakan guncangan menghentak, seketika pucat pasi, mendapati satu sosok yang baru saja terdengar menjerit,
bangkit dengan wujud teramat mengerikan. Tubuh sosok itu di penuhi bulu-bulu tipis hitam kecoklatan. Matanya merah menyala dengan tanduk sejengkal serta wajah memiliki moncong bergigi besar putih mengkilat.
Pak Hambali yang juga sudah kembali bangkit menatap nanar sesosok mahluk berbau arus menyengat, yang juga tengah menatapnya dengan mata merah, besar dan bulat layaknya mata seekor Kuda.
Tubuhnya sedikit sempoyongan, saat menyeka darah merah dari sudut bibirnya. Namun wajahnya yang pucat, masih terlihat baluran ketenangan.
"Saya harap kamu kembali ke asalmu dan jangan menganggu manusia-manusia yang tak berdosa." ucap tegas Pak Hambali pada sosok yang berjarak beberapa langkah darinya.
Sebuah suara ringkikan di akhiri satu erangan, keluar dari mulut sosok itu, sebagai respon ucapan Pak Hambali, sebelum sosoknya perlahan berubah dan menjelma menjadi sesosok wanita ayu berselip setangkai mawar di telinganya.
"Meskipun aku tak mampu membunuhmu saat ini, tapi jangan harap aku melepaskan Tetalen yang sudah mengikat." kini, bukan suara ringkikan yang terdengar, melainkan suara nyaring dan lantang dari sosok perempuan berambut panjang, berbalut kian kemben.
"KULLU NAFSIN DZAIQOTUL MAUT, TSUMMA ILAINA TURJA'UN....Jika Aku masih bisa bernafas saat ini, itu semata karena ALLAH, sebagai Sang Pemilik, Bukan karena hal lain." dengan tegas Pak Hambali menyahut ucapan dari sosok berbau wangi Mawar berpadu Kamboja.
"Untuk kali ini aku mengalah! Kulepaskan satu jiwa itu sebagai perkenalan kita." Sahut sosok itu sambil menatap Lasno, sebelum melayang dan menghilang di kegelapan malam.
"Tapi rungokno! Iki Sabdoku seng kudu dadi pepileng Siro kabeh! GETEH PANGKEP SENG WES MBANJIRI SAK JERONING KUBANGAN LAWANG ALUSKU, RA BAKAL KENO SIRO ILANGI. MERGO IKU WES DADI TETALEN PATI! YEN SIRO TETEP MEKSO MBUSAK TULISAN ANGKORO SENG TEMANCEP MARANG ALUSE SUM-SUM PUTIH!
BAKAL AKEH NYOWO SENG DADI GANTINE!" Satu suara tanpa wujud, nyaring menggema menembus gendang telinga, sesaat kepergian sosok perempuan yg tak lain, adalah sosok RATU PAMBAYUN. Seolah menjadi satu penjelasan bercampur sebuah peringatan, yg seperti di tujukan pada Pak Hambali.
Tercengang Lasno mendengar suara menggetarkan dari sosok Ratu Pambayun. Sedangkan Pak Hambali, sejenak menarik nafas panjang dan menghempaskanya begitu saja, sebelum bibirnya mengucap Istighfar berulang-ulang.
Dari sinilah di mulainya perang batin yang melibatkan antara hitam dan putih. Semoga masih berkenan mengikuti sampai akhir cerita ini, yang tak bisa sempurna saya jabarkan alur penulisanya.
LANJUT KE BAGIAN 8
Sudah bisa di baca di Karyakarsa sampai Bagian 9
terimakasih

karyakarsa.com/KALONG/rogoh-n…
Sementara part 10 - SELESAI-
(( special chapter ))
Nongkrong dulu di @karyakarsa_id . Atau teman-teman bisa baca dulu juga boleh, baca aja disini >> karyakarsa.com/KALONG/rogoh-n…

Besok kamis update Bagian 8

Bismillah lancar.

Maturnuwun. Image
JANGAN LUPA Pakai kode voucher "JAKACAKEP" untuk potongan harga karya.

MASIH TERSEDIA 600-an VOUCHER.
TUNGGU APALAGI KEBURU HABIS.
ROGOH NYOWO
(( PERANG BATIN )) - BAGIAN 8-

#bacahorror @IDN_Horor @gudangmistery #gudangmistery Image
Bagi temen2 yang mau baca duluan sampai tamat bisa mampir ke karyakarsa ya.

ini link nya,
karyakarsa.com/KALONG/rogoh-n…
Keresahan menyelimuti raut wajah Lasno, meski sudah beberapa hari dirinya aman, di Pondok Pesantren yang di Asuh oleh Pak Hambali. Pikiranya masih terus terbayang wajah Anak, Istri dan cucunya.
Apalagi, mengingat kata-kata terakhir dari sosok Ratu Pambayun, sebelum kepergianya saat terjadi pertikaian dengan Pak Hambali, membuat jiwa Lasno langsung tercekam.
Sedangkan Pak Hambali sendiri, yang cidera saat berhadapan dengan Ratu Pambayun, baru saja terlihat pulih, setelah beberapa hari terbaring.
Seperti sore itu, Pak Hambali yang baru menyelesaikan kewajibanya sebagai seorang guru, berjalan perlahan mendatangi Lasno, yang duduk termenung di pendopo kecil, tempat biasa Pak Hambali menerima tamu umum.
"Assalamu'alaikum...." ucap Pak Hambali memberi salam, ketika sampai di pintu bertangga 7 tingkat, jalan masuk kedalam Aula.

"Wa'alaikumsalam...." jawab Lasno, sedikit kaget akan kedatangan Pak Hambali.
"Maaf, Pak. Saya tidak tau kalau Bapak ada di sini." sambung Lasno, tertunduk sungkan.

"Tak apa, Pak Lasno. Saya tau apa yang sedang Pak Lasno pikirkan. Tapi semua itu, tak mudah seperti dalam bayangan kita." sahut Pak Hambali, langsung menebak pikiran Lasno.
"Apalagi, Jin, iblis dan syetan semuanya penuh tipu muslihat dan sangat cerdik. Sehingga kita harus extra hati-hati ketika berhadapan dengan mereka." Sambung Pak Hambali.

Lasno sejenak menatap wajah teduh Pak Hambali, sebelum kalimat pertanyan, meluncur dari bibirnya.
"Lalu, apa yang harus saya lakukan untuk menyelamatkan keluarga Saya, Pak? Saya rela meski harus Nyawa saya sendiri yang menjadi Badal mereka." ucap Lasno, penuh kesungguhan.
"Tak semudah itu, Pak. Alam mereka jauh lebih luas di banding Alam Kita. Jujur saja, saya sendiri mungkin tak akan sanggup jika berhadapan dengan Sang Ratu Hitam itu, kalau harus masuk dan berada di Alam mereka.
Karena ALLAH juga sudah memberi kuasa dan kebebasan kepada bangsa Lelembut, guna menggoda Bani Adam sampai Kiamat kelak." Terang Pak Hambali.
"Tapi kita juga tak boleh berputus asa, sebab putus asa menjauhkan kita dari Rahmat ALLAH. Kita akan tempuh cara lain untuk bisa membebaskan Keluarga Pak Lasno." Sambung Pak Hambali menjelaskan.
Lasno terpekur dalam diam mendengarkan semua kalimat yang di lontarkan Pak Hambali. Jiwanya yang masih terselimuti kekhawatiran berbaur amarah, sejenak terasa dingin.
Ada secercah harapan yang terkandung dari kalimat Pak Hambali, yang ia simpulkan, meski belum sepenuhnya mengerti.
"Cara apa yang bisa saya lakukan, Pak?" tanya Lasno tak sabar.

Pak Hambali terdiam sejenak, matanya menatap lurus semburat langit sore yang terpajang indah, sembari memikirkan jawaban yang di tunggu Lasno.
"Apakah Pak Lasno tau di mana menantu Bapak, mengubur Batur Anaknya?" ucap Pak Hambali yang balik bertanya.
Lasno tertegun, mendengar pertanyaan Pak Hambali yang tak di sangkanya. Keningnya seketika berkerut, mengingat kembali kejadian demi kejadian saat Win, Anaknya melahirkan.
"Maaf, Pak. Saya tidak tau di mana Sudiro mengubur Batur Pancer Cucu saya. Yang saya tau, dia memang yang membawanya." jawab Lasno, setelah beberapa saat berpikir.

"Apa ada tempat khusus di rumah menantu Bapak?" kembali Pak Hambali.
"Ada, Pak. Di sudut belakang rumah, seperti bangunan kecil. Tapi saya belum pernah lihat secara langsung. Sebab, tempat itu seperti di rahasiakan dan di jaga ketat." jawab Lasno, yang teringat kejadian di pagi hari, saat di belakang rumah Sudiro.
"Itu mungkin yang menjadi pintu masuk, dan pemujaan menantu Bapak. Dan mungkin, di situlah tersimpan Batur cucu Bapak, yang bakal menjadi pengikat Persekutuan dengan Ratu hitam." Ujar Pak Hambali, menerka.
"Maaf, Pak. Kalau memang tempat itu yang menjadi tempat Ratu Hitam itu, akan saya hancurkan! Apapun resikonya." ucap Lasno geram dan dengan sorot mata menyala menahan Amarah.
Pak Hambali mengalihkan pandanganya, ia kini menatap wajah merah Lasno, seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri akan keseriusan ucapan yang baru saja di lontarkan Lasno.
"Saya siap, Pak. Meski nyawa saya menjadi taruhanya." ucap Lasno kembali untuk meyakinkan, seperti tau akan keraguan dari sorot mata Pak Hambali.
Waktu semakin bergulir. Keindahan cakrawala senja sedikit demi sedikit mulai sirna dan meredup. Seperti ikut merasakan beban pikiran dari Lasno dan Pak Hambali, yg masih berbincang penuh keseriusan, dan terhenti tepat saat terdengar Adzan Mahgrib berkumandang, dgn satu keputusan.
Malam baru saja beranjak, dengan kegelapan menyelimuti yang sudah menjadi kodrat Alam dari SANG MAHA PENCIPTA.
Hawa dingin yang biasa di rasa, saat kabut-kabut tipis mulai bersliweran, di rasakan lain oleh sesosok perempuan 40an. Keresahan terpancar jelas dari wajah tirusnya, yang tengah duduk sendiri di sebuah sofa panjang di ruangan rapi nan mewah.
Matanya menatap keluar dari kaca jendela yang masih tersingkap tilam putih sebagai penutup, seperti tengah menantikan sesuatu. Hingga tanpa sadar, jika ada langkah kaki yang mendekat ke arahnya.
"Ibu ... Ibu kenapa? Sepertinya ada sesuatu yang Ibu pikirkan." Satu suara lembut menyapanya, sedikit membuatnya kaget dan membuyarkan lamunannya.
"Enggak kok, Nduk. Ibu cuma kepikiran Bapakmu. Sudah seminggu kok gak datang-datang." Sahut wanita, yang tak lain adalah murni, Istri Lasno.

"Mungkin Bapak sedang sibuk banget, Buk. Jadi belum bisa datang kemari." Sahut wanita muda bergaun putih dombor, Winarni.
Murni tak menyahut ucapan Win. Tapi, ia juga seperti tengah mencerna ucapan anaknya, seolah percaya, atau hanya sekedar menjadi penghibur batinya.
Namun jauh dalam lubuk hati Murni, ia merasakan ada hal aneh, lain dan berbeda dari malam-malam sebelumnya, yang ia sendiri belum jelas asal sumbernya.

"Sudahlah, Buk. Jangan terlalu di pikirkan. Win yakin, Bapak baik-baik saja." ucap Win, mencoba kembali, menghibur Ibunya.
Baru saja Win akan ikut merebahkan tubuhnya di kursi samping Ibunya, tiba-tiba suara tangisan dari bayi mungilnya, membuatnya urung dan beranjak kembali ke kamarnya.
Murni yang melihat melangkah meninggalkanya, merasa aneh melihat pakaian yang di kenakan Win, serta bau tubuh Win yang tak seperti biasanya. Ia baru menyadari semuanya, setelah Win masuk kedalam menenangkan sang buah hati.
"Kenapa aku merasa ada yang aneh dalam diri Win, malam ini...." gumam Murni dalam hati, namun segera ia buang cepat-cepat pikiran liarnya.
Murni yang sudah mulai bosan duduk sendiri di ruang depan, sekilas menatap jam dinding yang tergantung di tembok sebelah kananya, sebelum bangkit dan melangkah mendekati jendela berniat menutup kain horden bertilam putih.
Tapi baru saja tanganya meraih tali pengikat, matanya di kejutkan satu bayangan siluet hitam yang melintas di halaman depan.

Sejenak ia mengurungkan niatnya menutupkan kain horden. Matanya mengedar mencari bayangan yang begitu cepat berlalu,
namun sampai beberapa saat, ia tak lagi melihat bayangan itu kembali, membuatnya meneruskan menutup rapat semua jendela.

Setelah merasa selesai, Murni melangkah berniat menuju ke kamarnya. Namun saat baru tiga langkah beranjak, Murni kembali di kejutkan hembusan angin kencang,
yang masuk dari jendela dan menyibak kembali kain penutup.

Sadar dengan hal aneh itu, Murni kembali membalikan tubuhnya dan mendekati jendela. Lagi-Lagi, Murni hanya melihat halaman bertaman dengan pencahayaan remang yang sunyi dan kosong.
Hal aneh baru Murni rasakan saat kembali sapuan angin tak begitu kencang, membawa bau wangi Mawar dan Kamboja, melewati wajahnya.

Sejenak Murni terpaku memikirkan asal wewangian bunga yang khas, sebelum seklebat bayangan melayang dan melewati jendela, tepat di depanya.
Murni yang terkejut, tersurut mundur dengan wajah memucat, saat sekelebat bayangan putih itu berdiri di halaman membelakanginya.

Belum hilang rasa kaget Murni, kembali ia di buat tercekat yang seketika membuat tubuhnya terasa dingin,
saat lamat-lamat telinganya mendengar suara tangisan lirih dari bayangan bergaun putih dan berambut panjang, yang belum terlihat wajahnya.

Tapi dari bentuk tubuh dan rambutnya, Murni seperti tak asing dengan sosok itu.
"Gak mungkin ... Gak mungkin...."gumam Murni lirih, meyakinkan penglihatanya.

Namun keyakinan Murni terpatahkan, saat sosok itu membalikan tubuhnya dan kemudian terlihat jelas wajah pucat sama persis dengan Winarni, tengah menangis lirih penuh kepiluan.
"Nduk Win! Kamu...." Tak kuasa Murni meneruskan kalimatnya.

Ia menutup rapat mulutnya dengan telapak tangan, saat sosok sama persis dengan putrinya, tiba-tiba melayang mundur seperti di tarik satu kekuatan.
Tak hanya itu, tubuh Murni semakin menggigil ketakutan, ketika telinganya kini tak hanya mendengar tangisan lirih dari sosok sama persis putrinya, melainkan satu suara nyayian tembang jawa merdu, di iringi tabuhan Karawitan yang terdengar menyayat.
Desiran darah dalam tubuh, di rasa Murni, seolah terhenti. Jantungnya yang berdetak kencang, seperti sudah terlepas dari raga. Melihat semua penampakan yang terpampang nyata penuh kengerian.
Tubuh Murni semakin terasa dingin, tak kala iring-iringan layaknya sebuah pesta, lengkap dengan sebuah Gagar Mayang. Di tambah iringan musik Karawitan, dengan senandung tembang macapat, di syairkan begitu nyaring bernuansa penuh mistis, membuat Murni semakin tercekam.
Kedua kaki Murni seolah terpaku dan kaku, manakala satu iringan sebuah keranda yang di pikul oleh empat sosok, melewati halaman depan menuju halaman belakang. Sesaat mata Murni terasa celong, mendapati satu sosok yang duduk di dalam keranda, sama persis dengan Win, Putrinya.
Bibir Murni terkatup rapat. Wajahnya pucat mempias, meski iring-iringan sudah berlalu dari pandanganya.

Tak berapa lama setelah menghilangnya iringan pembawa keranda, tubuh Murni terduduk lemas. Isak tangisnya pecah menahan rasa takut, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Sebentar, suasana terasa hening. Ketika Murni menghentikan isak tangisnya. Tapi tak lama setelahnya, berganti kepanikan saat ia teringat akan keadaan Win.

Di paksanya tubuh dan kakinya untuk berdiri dan melangkah menuju salah satu kamar,
yang di tempati Win serta bayi mungilnya. Derap langkah Murni yang terdengar buru-buru, terpaksa terhenti di depan pintu kamar. Wajahnya bertambah panik, saat mendapati kamar Win tampak rapi namun kosong.
"Nduk, Win!" jerit Murni tertahan.

Kepanikan dan rasa takut membaur dalam diri Murni. Setelah memeriksa seluruh kamar, ruangan dan tiap sudut rumah, namun tak juga menemukan sosok Win maupun bayinya, membuatnya hanya bisa pasrah dan menangis tersedu.
Tubuh Murni yang terduduk dan menyandar di tembok ruang belakang, seketika terjingkat, mendengar alunan tembang lirih dari teras belakang. Perlahan tubuhnya bangkit,
langkahnya pelan menapak lantai marmer sambil terus mendengarkan lantunan tembang, yang biasa ia dengar dari orang tua dahulu, saat menidurkan anaknya.

Hembusan-Hembusan angin malam dari pintu belakang, yang entah sejak kapan sudah terbuka, sedikit mengibas rambut Murni.
Seakan ikut menyambut langkah Murni yang hampir sampai di pintu. Numun sejenak Murni menghentikan kakinya melangkah. Ada keraguan yang tiba-tiba menyergap, ketika hidungnya mencium wangi bunga Mawar berpadu Kamboja, begitu menyengat.
Murni yang masih terdiam ragu, di ambang pintu belakang, kembali tersentak. Saat satu suara lirih sangat di kenalnya, memanggilnya berulang-ulang.

"Ibu ... Ibu ... Ibu...."

Kembali suara lirih memelas, terdengar bergantian dengan suara merdu yang masih terus menyintren.
"Nduk, Win." gumam Murni, sambil menunduk, memastikan.

Setelah berpikir beberapa saat, kaki Murni akhirnya melangkah kembali dan berhenti tepat setelah melewati pintu belakang.

"Deg"
Jantung Murni seolah berhenti berdetak. Tubuhnya gemetar dengan mata melotot tajam, ketika di lihatnya sesosok wanita berkemben tengah menggendong dan menimang Cucunya.
Tapi sepertinya, bukan itu saja yang membuatnya menggigil ketakutan. Melainkan puluhan mahluk mengerikan yang berdiri memenuhi teras dan halaman belakang rumah.
Mahluk-mahluk yang tadinya ia lihat datang beriringan dengan membawa gagar mayang dan memikul keranda, kini tampak berkumpul dan seperti tengah ikut mendengarkan alunan tembang,
yang tengah di lantunkan sosok perempuan berselip bunga mawar dengan menggendong Bayi laki-laki mungil, cucu pertamanya.

"Ibu ... Tolong Win, Buk. Ibu...."
Tubuh Murni yang sudah seperti lumpuh, kembali terhenyak mendengar suara Win, yang memanggil dan meminta tolong dengan begitu memelas. Mata Murni kemudian mengedar pelan, dan mendapati Win, terbaring dalam ikatan rantai kecil di dalam keranda tak bertutup.
"Win...."

Hanya itu suara yang keluar dari Murni, sebelum satu tawa keras mengejutkan dan membuatnya seketika terduduk bersimpuh tanpa daya. Tawa melengking yang terus membahana dari sosok wanita ayu bertapi kain jarik bercorak, seperti melolosi tulang-tulang Murni.
Wajahnya yang menunduk dan terbasahi air mata, menyiratkan satu kepasrahan. Jangankan untuk bangkit, menengadahkan wajahnya saja, Murni seperti sudah tak sanggup. Hanya sesekali bibirnya yang bergetar menyebut sebuah nama berulang-ulang, nama Lasno, Suaminya.
Sayatan dalam hatinya semakin terasa perih, saat tetabuhan karawitan kembali terdengar bersamaan jeritan Win, yang begitu memilukan. Tergagap Murni dan sedikit ia paksakan wajahnya menengadah, demi melihat Win yang masih terus memekik meminta tolong.
Tangis tanpa suara Murni, menjadi saksi kepergian puluhan mahluk-mahluk mengerikan, yang kembali memikul keranda berisikan tubuh Win, dengan iringan tetabuhan karawitan, menuju lebih kebelakang dan menghilang, di telan gelap malam.
Namun, satu sosok perempuan yang masih menggendong bayi mungil, tampak belum beranjak. Ia masih begitu ceria menimang bayi laki-laki yang tertidur, tanpa memperdulikan Murni.
Suaranya masih terdengar nyaring melantunkan lirik-lirik tembang macapat yang begitu khas, seolah ada makna khusus yang terkandung di dalamnya. Sampai beberapa saat kemudian, sosok itu menghentikan liriknya.
Wajah ayunya menengadah ke atas sembari memejamkan matanya. Bibirnya bergerak cepat seperti tengah merapal sesuatu, sebelum kembali tertawa melengking sambil menatapi bayi mungil dalam dekapanya.
Murni yang masih tersimpuh dan sedikit memiliki kesadaran, kembali melihat satu kengerian. Saat sosok perempuan itu mendekatkan mulutnya pada wajah sang bayi, seketika lidah panjang dan hitam menjulur, menjilati seluruh tubuh bayi mungil laki-laki, anak Win dan Diro.
Nafas Murni tersengal, dengan mata menciut dan sayu, saat sosok perempuan yang baru saja selesai menjilati tubuh bayi dengan lidah hitam berlendir, mendekatinya.
Senyum sinis nampak menghiasi sudut bibirnya, seperti seringaian yang di tujukan pada Murni, sebelum satu ucapan menjadi yang terakhir Murni dengar.
"Ini sudah menjadi takdirnya ibu dari anak ini, harus menjadi abdi inangku. Dan besok anak ini yang akan meneruskan tetalen abdi sasongko jati"

Lolongan Anjing malam yang bersahut-sahutan, dengan suara melengking, menyayat, seakan di rasakan ganjil oleh Lasno.
Dirinya yang mengemudikan Mobil tua, bersampingan dengan Pak Hambali serta dua orang santri pilihan, merasakan nyeri tak mengenakan sedari awal ia berangkat.
Apalagi, suara lolongan yang terdengar menyeramkan bagi sebagian besar orang, seakan ikut mengiring tiap putaran roda mobil lawas Lasno.

"Semoga tidak terlambat!"

Lasno sedikit memalingkan wajahnya mendengar gumam lirih Pak Hambali.
Kecemasan semakin menggurat, manakala bayangan Win dan Istrinya, kembali mengusik dan menari-nari di pelupuk matanya.

Hembusan angin malam semakin menderu kencang, saat mobil Lasno berbelok, memasuki jalan kecil beraspal,
dan berjarak beberapa ratus meter dari rumah yang menjadi tujuan utamanya membawa Pak Hambali.

Sunyi, kesan awal saat mobil Lasno berhenti di tepi jalan depan rumah Sudiro. Cahaya remang dari lampu-lampu taman dan teras yang hanya beberapa watt,
menambah kesan angker dengan kabut-kabut tipis bersliweran menutupi, seolah menyambut kedatangan ke empat orang yang baru turun dari Mobil.

"Astaghfirullah!"
Lagi-lagi, wajah Lasno mempias mendengar sebuah kalimat yang di gumamkan Pak Hambali. Apalagi, saat itu Pak Hambali mengucapkanya dengan mata menyorot tajam halaman rumah yang beberapa bulan menjadi naungan anaknya.
"Kang Hanif, Kang Hakim, tolong Tasbih dan Sorban saya!" seru Pak Hambali, meminta tolong pada kedua santrinya.

Dua Santri itu kemudian menyerahkan seuatas tasbih hitam kecoklatan beserta sebuah kain Sorban berwarna putih, menebarkan wangi kasturi putih yang begitu khas.
"Ada apa, Pak?" tanya Lasno lirih, yang melihat wajah Pak Hambali menegang, saat akan melangkah masuk ke dalam halaman remang berhawa lembab.

"Ada kekuatan luar biasa hitamnya, yang mengurung tempat ini. Kita harus hati-hati,
Iblis punya segala cara tipu muslihat untuk mencelakai kita. Jangan putus berdoa dan berdzikir." Sahut Pak Hambali, sembari memberi pesan.
Keringat mulai membasahi tubuh Lasno dan kedua santri yg melangkah di belakang Pak Hambali. Rasa takut jg mulai tersembul dari wajah ketiganya, saat kaki mereka mulai menapak halaman bertaman, dengan nuansa alam berbeda hawa, sangat di rasa jika di bandingkan dengan hawa di luar.
"Monggo, Pak Lasno." ucap Pak Hambali pada Lasno, ketika mereka sampai di teras.

Lasno yang di persilahkan, sejenak terdiam ragu. Namun, satu tepukan pelan dari tangan Pak Hambali, seketika memantapkan dan menguatkan hatinya mendekati pintu bertralis yang tertutup rapat.
Ketukan-ketukan pelan di sertai panggilan, Lasno ulang-ulang beberapa kali, tapi tak ada sahutan apapun dari dalam.

Tak putus asa, Lasno kembali mengetuk dengan suara panggilan yang lebih keras, namun tetap saja, hening dan hanya hembusan angin lembab yang Lasno rasakan.
Lasno kembali mundur dan menghampiri Pak Hambali, yang berdiri memandang lurus rumah mewah yang tampak gelap isi di dalamnya. Tanganya masih terus memutar butiran-butiran Tasbih, seraya bibirnya melafal kalimat-kalimat suci yang di ikuti kedua Santrinya.
Sejenak Pak Hambali terdiam, ketika Lasno mendekat dan menggelengkan kepalanya pelan, sebelum akhirnya beliau memejamkan kedua matanya.
Wajah Lasno semakin menegang. Kegusaran dan kecemasan semakin ia rasakan. Seperti tak sabar menunggu Pak Hambali, yang masih memejamkan mata. Hingga beberapa saat kemudian, tarikan nafas Pak hambali terdengar lirih namun memburu.
"Pak Lasno, kita kebelakang!" Pak Hambali menyeru sambil bergegas beranjak, tanpa menunggu Lasno menjawab.
Lasno dan kedua santri, segera menguntit langkah cepat Pak Hambali, meski mereka sendiri belum tau sepenuhnya apa yang menyebabkan Pak Hambali buru-buru mengajak ke belakang dengan wajah tegang.
Wajah Pak Pak Hambali sejenak tertegun, ketika sampai di batas bangunan rumah yang menghubungkan area halaman lumayan luas, dan hanya bercahayakan sorot lampu teras belakang.
Merasakan keanehan tempat yang sebentar kemudian di penuhi kabut-kabut hitam bergelombang, dengan hawa tiba-tiba sangat dingin menusuk.
Bingung dan heran di rasakan Lasno dan kedua santri yang berdiri di belakang Pak Hambali. Apalagi, bagi Lasno, yang sudah beberapa kali tinggal dan menginap di Rumah itu, belum pernah merasakan hal seaneh yang kini ia rasakan begitu nyata.
"Rupanya, kita di paksa untuk masuk ke alam mereka." Tetiba Pak Hambali berucap, yang semakin membuat Lasno dan dua santri semakin bingung. Sebab, dalam pandangan mereka, hanya kabut hitam berhawa dingin yang mereka lihat dan rasakan saat itu.
"Kang Hanif dan Kang Hakim, siapkan diri kalian!" Perintah Pak Hambali, yang langsung di sambut kesiapan dua Santri, dengan duduk bersila beralaskan tanah dan bersampingan.

"Pak Lasno, silahkan pegang pundak saya dan pejamkan mata."
Lasno yang masih di landa rasa penuh kebingungan, dengan wajah pasrah mengikuti semua perintah Pak Hambali, yang maju tiga langkah dari tempat awal berdiri, di mana kedua Santri sudah duduk bersila sembari membaca lantunan ayat-ayat kalimah Suci.
Desiran panas di rasa Lasno, saat tanganya menyentuh pundak Pak Hambali. Yang kemudian susul klebatan bayangan bersliweran di pelupuk mata, dengan suara geraman-geraman ramai riuh memenuhi gendang telinganya.
Lasno benar-benar tercekat, ketika tepukan pelan di tanganya yang menempel di pundak Pak hambali, membuatnya membuka mata. Wajahnya memucat, mendapati puluhan sosok-sosok hitam berwajah hancur penuh darah,
berdiri mengelilingi sambil melototkan mata dan menjulurkan lidah panjang berlendir, ke arahnya dan Pak Hambali.

"Tempat apa ini, Pak.?" lirih dan bergetar suara Lasno bertanya pada Pak Hambali.
"Inilah Saung Iblis, sesembahan menantu Bapak, yang tampak seperti rumah mewah." Berdesir cepat seolah-olah darah Lasno, begitu mendengar jawaban Pak Hambali.

Ketakutan dan kengerian semakin membayang dalam benaknya, mengingat kembali wajah Win dan Istrinya,
yang ternyata selama ini hidup bersama-sama dalam ruang lingkup, lingkaran Syetan.

"Lancang! Menungso ra keno di warah!" (Lancang! Manusia tidak tau aturan)

Gemetar tubuh Lasno mendengar bentakan keras, dari sesosok wanita berkemben yang sudah ketiga kalinya ia lihat.
"Bakal menjadi pancang jenggoloku! Kalau tetap memaksa memutuskan ikatan tali bocah sasongko"

Kembali suara nyaring nan menakutkan dari sosok Ratu Pambayun menggema, dengan baluran sebuah ancaman.
"Saya tidak ingin menantangmu! Tapi, saya datang untuk mengambil yang bukan menjadi hakmu!" tak kalah sengit suara Pak Hambali, menjawab penuh keberanian.
Gemuruh angin seketika berdebur seakan ingin menggulung tubuh Lasno dan Pak Hambali, saat geraman kuat Ratu Pambayun menjadi jawaban atas ucapan Pak Hambali.
"Punya hak apa kamu, atas manusia-manusia yang memujaku!" kembali sentakan sengit dari sosok Ratu Pambayun, yang kini berjarak beberapa langkah dari Pak Hambali dan Lasno.
"Aku ingin kamu, mengembalikan dua wanita yang kamu ambil untuk menjadi pengikutmu. Ketahuilah! Mereka tidak tau apa-apa atas persekutuanmu."
Tegas dan keras, suara Pak Hambali lantang menggema. Namun, sepertinya tak membuat Sang Ratu Pambayun takut atau gentar.
Satu sunggingan sinis seolah mengejek, terlihat dari sudut bibir Ratu Pambayun, sebelum ia memberi satu isyarat pada puluhan sosok hitam berwajah hancur, untuk menyerang Lasno dan Pak Hambali.
"Blaarrr... Blaarrrr...."

Kesunyian malam yang sudah masuk dini hari, seketika terusik dengan beberapa kali dentuman memercikan api, dari sisi sebelah kanan rumah mewah Sudiro.
Asap-asap tebal mengepul berkejaran memenuhi sekitaran halaman belakang, seperti sedang mengurung empat sosok tubuh yang tengah terduduk dengan mata terpejam.
Wajah ke empat sosok lelaki menegang kencang. Dengan keringat terlihat begitu jelas mengucur deras, membasahi tubuh mereka.

Beberapa saat kemudian, suasana semakin mencekam. Saat kabut-kabut hitam tebal membentuk bayang-bayang,
berbenturan dengan klebatan bayangan putih yang tiba-tiba muncul dan menghadang. Seketika, halaman belakang yang hanya terlihat empat sosok dan kabut hitam serta bayangan putih, terdengar riuh suara geraman di sertai deburan angin bergemuruh.
Hawa panas membara sejenak begitu terasa, tersulut dari pecahnya gumpalan kabut hitam yang memudar membentuk kepulan asap tipis, di barengi dengan jeritan-jeritan mirip suara ringikan Kuda.
Tak berselang lama, suara dentuman keras kembali terjadi, manakala sebuah bola api muncul dari bangunan kecil yang terletak di sudut halaman, melayang dan jatuh tepat di depan dua sosok lelaki muda sedikit gondrong.
Tubuh kedua sosok yang tak lain adalah santri Pak Hambali, terpental jauh kebelakang.
Lenguhan dan rintihan sebentar terdengar, sebelum berganti suara batuk dengan menyemburkan darah, keluar dari mulut Hanif dan Hakim, dua Santri Pak Hambali.
Nafas Hanif dan Hakim tersengal dengan mata mengerjab, ketika mereka sedikit menunduk dan mendapati bagian dada mereka berwarna biru kehitaman membulat, mengepulkan asap tipis.
Di saat bersamaan, tak jauh dari tempat mereka, sebuah siutan merah menyala secepat kilat menyambar-nyambar yang kembali berbenturan dengan liringan cahaya putih, mengakibatkan tempat itu sekejap terang benderang.
Gelegar suara benturan cahaya merah dan putih yang baru saja reda, rupanya bukan menjadi sebuah akhir. Sebab, tak sampai lima tarikan nafas, gemuruh tetabuhan kencang terdengar bersama derap-derap langkah bersuara gemerincing dan ringikan Kuda.
"JANGER!"

Seru Pak Hambali, tersentak. Ketika baru saja membuka mata dan tersadar dengan kehadiran suara gamelan serta tetabuhan berirama kencang memburu tanpa nyayian.

"Pak Lasno! Cepat ambil Istri bapak di dalam!"
Lasno yang masih terbengong dengan keadaan sekitar, tergugup bangkit dari duduknya. Ketakutan yang masih menjalari dalam dirinya sedari mengikuti Pak Hambali masuk ke alam sebelah, terlihat lebih mencuat saat matanya melihat kepanikan pada wajah Pak Hambali.
"Tapi, ingat! Jangan hiraukan apapun, meski itu sosok anak, bahkan cucumu sendiri."

Pesan Pak Hambali sebelum Lasno mengangguk penuh tanda tanya dan melangkah mendekati pintu belakang rumah Diro, yang terlihat sudah terbuka.
Bercampur baur perasan Lasno saat itu. Antara takut, bingung, penuh kecemasan mendengar pesan tegas dari Pak Hambali. Apalagi, hawa dingin lembab langsung menyentuh kulitnya, ketika langkahnya memasuki teras belakang rumah Diro yang berpilar kayu dengan lekukan ukiran jawa kuno.
Lasno terdiam sebentar, dengan raut menegang mendapati angin lembut beraroma wangi melati dan kamboja, berhembus menerpa wajahnya yang baru berada di ambang pintu.
Sedikit ragu Lasno melangkahkan kakinya memijak lantai marmer ruang belakang, sebelum teriakan keras Pak Hambali kembali terdengar.

"Cepat, Pak Lasno! Jangan sampai terlambat."
Lasno kembali menguatkan dirinya. Setapak demi setapak langkahnya dengan cepat melewati lorong dan ruang-ruang bercahaya pendar guna mencari sosok Istrinya.
Sampai beberapa lama dan hampir semua ruangan serta kamar sudah di masuki Lasno. Namun, dirinya tak menemukan sosok Istri atau apapun. Hanya ruang-ruang kosong berbau arus menyengat, yang membuatnya semakin tersusupi rasa takut luar biasa.
Kini, hanya tinggal satu kamar yang menjadi harapan terakhir Lasno. Kamar dengan posisi terletak paling ujung di belakang dan biasa ia tempati bersama Istrinya ketika datang menginap, yang sebenarnya sudah terlewati saat ia masuk awal.
"Jangan kamu buka ... Jangan kamu buka...."

Suara-Suara lembut, seketika membisik di telinga Lasno, saat tanganya yang sedikit gemetar menekan gagang pintu berlapis kuningan.
Perlahan, daun pintu yang di dorong tangan gemetar Lasno terkuak. Sekilas terlihat ruang kamar bercahaya redup, nampak biasa saja, sebelum satu hembusan angin kencang berkekuatan, menghantam tubuh Lasno hingga terjengkang.
Mata Lasno spontan melotot, setelah dirinya bangkit dan mendapati pintu yang sudah terbuka lebar, membuatnya bisa melihat dengan jelas isi ruang kamar, di mana sebujur tubuh berbungkus kain putih bersih terbaring di tengah ranjang bertabur bunga.
"Win!" gumam Lasno.

Seketika, rasa sakit yang baru saja menderanya, seolah hilang. Kala Lasno mengenali sosok yang terbaring adalah anaknya, Winarni. Namun, lagi-lagi. Lasno kembali harus tercekat.
Saat akan masuk kedalam kamar dan baru melewati satu langkah dari pintu, matanya di hadapkan satu pemandangan tak kalah mengejutkan, oleh sesosok wanita yang duduk menyandar tembok, menyelonjorkan kedua kakinya.
Berdesir darah Lasno memuncak. Ketakutanya sejenak hilang terkalahkan amarah yang bergejolak, melihat tubuh istrinya membiru dengan mata terbuka, mendongak ke atas.

"Murni!" teriaknya keras seraya menghambur.

"Murni! Sadar, Murni!" seru Lasno yang mulai di barengi isakan.
Nafas Lasno tersengal saat merengkuh tubuh kaku Istrinya. Wajahnya merah padam, menadakan satu letupan emosi berkumpul di kepala.
Namun itu tak berlangsung lama. Sesaat setelah Lasno puas akan tangisan amarah, wajahnya kembali memucat. Rasa takutnya kembali mencuat ketika menyadari jika di sekelilingnya sudah berdiri puluhan mahluk hitam bermata bolong.
Terlebih, kala matanya mengedar lebih luas ke sekeliling kamar, di atas ranjang, di sisi kanan kiri tubuh Win, puluhan pasang mata merah sedang menatapinya.
Lasno benar-benar dalam titik terendah. Tak mampu lagi tubuhnya bangkit. Air matanya mengering, berganti keringat dingin yang membanjiri sekujur tubuh lemahnya.

"Pak Hambali, tolong saya, Pak." Hampir tak terdengar gumaman Lasno, yang baru ingat keberadaan Pak Hambali.
Lasno menundukan kepalanya dengan tangan masih merengkuh tubuh Murni, menandakan satu kepasrahan. Manakala sosok-sosok hitam bermata bolong menjulurkan tangan dan lidah panjang berlendirnya, seperti bersiap ingin melumat tubuhnya.
Di saat-saat Lasno yang sudah pasrah dalam ketidak berdayaan, satu sentakan kuat dari suara lantang menusuk gendang telinganya, seketika bagaikan sebuah sengatan mengaliri tubuhnya.

"Cepat bawa Istrimu keluar!"
Kembali suara yang tiba-tiba sanggup menghentakan jiwanya, untuk kedua kalinya terdengar nyaring dan lantang di telinganya.

Lasno yang tau siapa pemilik suara itu, menengadahkan sebentar wajahnya. Pikiranya kembali mengingat akan pesan tegas Pak Hambali,
agar ia tak menghiraukan apapun. Maka, saat itu juga, ia mengangkat dan membopong tubuh kaku Istrinya.

Sekilas matanya melirik ke arah ranjang, ke tubuh terbujur pucat yang di kelilingi puluhan sosok wanita bergaun putih dan berambut panjang, dengan mata merah menyala.
Ada rasa iba dan tak tega dalam hatinya yang tersembul dari tatapanya, terhadap sosok itu. Namun sebuah pesan yang terus ternginang-ngiang, mendorongnya begitu kuat untuk segera meningggalkan tempat itu.
Sehingga, dengan perasaan tak menentu, Lasno memantapkan kakinya cepat-cepat keluar dari kamar yang di penuhi wangi bunga dan busuk membaur bersama puluhan sosok mengerikan.
Tiga langkah Lasno keluar dari kamar dengan membopong tubuh Istrinya, lagi-lagi ia di buat terkejut dengan sesosok lelaki tua berjubah dan berikat kepala hitam, yang berdiri di sebelah kanan pintu sembari menyeringai.
Wajahnya yang garang dengan kerutan, sedikit tertutupi asap dupa dan kemenyan yang mengepul tebal dari tungku tanah liat sebesar cerek, menempel di dadanya dengan kedua tangan menyangganya.
Meski tak begitu jelas, Lasno menangkap kilatan nyalang dari sorot kedua matanya. Lasno yang sadar akan keadaanya, tak ingin membuang-buang waktu. Ia kembali meneruskan langkahnya walaupun Sang lelaki tua terus menatapi dan mengikutinya, namun Lasno seolah tak memperdulikan.
Bahkan, ketika puluhan tangan-tangan kurus hitam ingin menariknya, Lasno tak menghiraukan lagi. Ia masih terus berjalan cepat melewati lorong dan pintu belakang hingga sampai teras yang di penuhi siluet-siluet hitam, seperti sengaja menantinya.
"Jangan hiraukan!"

Lagi, suara yang sedari awal menuntunya, kembali menyentak Lasno yang terlihat sedikit ragu untuk melewati kerumunan bayangan-bayangan hitam di halaman.

Lasno terdiam sejenak, di tariknya nafas dalam-dalam, untuk memantapkan langkahnya.
Auman, ringikan, dan geraman-geraman dari bayangan-bayangan hitam mempiaskan wajah Lasno. Di tambah lambaian tangan-tangan hitam yang menjulur ingin meraih tubuhnya, sedikit menyulitkan langkahnya.
Namun tak berselang lama, bayangan dengan tangan-tangan hitam yang ingin menarik tubuh Lasno, seketika terhenti oleh liringan bercahaya putih memanjang bagaikan sebuah kilat yang menerjang.
Membuat pekikan-pekikan melengking bersahutan, kemudian di akhiri suara bentakan keras meredakan gemuruh riuh dan melenyapkan gumpalan kabut-kabut hitam.
"Alhamdulillah....Pak Lasno berhasil membawa raga Istri Bapak." Sambut syukur Pak Hambali, ketika sosok Lasno yang sudah kepayahan, muncul dengan membopong tubuh Istrinya.
Lasno hanya tertegun tanpa menjawab, melihat Pak Hambali, juga sedang menggandeng dua santrinya yang tertatih lemah.
"Mari, Pak Lasno. Kita cepat tinggalkan tempat ini. Waktu sudah hampir subuh." ajak Pak Hambali, sambil memapah dua santrinya berlalu lebih dulu menuju mobil. Tanpa memperdulikan dua pasang mata yg mengawasi dari balik gelapnya malam di sisi sebelah kiri rumah bertaman tersebut.
"Bagaimana keadaan Istri saya, Pak?"

Suara Lasno terdengar serak parau, saat menanyakan keadaan istrinya pada Pak Hambali.
"Tenang, Pak Lasno. Kita pasrahkan pada ALLAH." jawab Pak Hambali, menghentikan sejenak lantunan Dzikir yang terucap sedari mobil yang di kemudikan Lasno, meninggalkan kediaman Sudiro.
Lasno, yang masih terlihat cemas dan panik menarik nafas dalam-dalam. Matanya kembali fokus menatap jalanan gelap dengan tangan masih gemetar memegang stir kemudi.
Lantunan Dzikir kembali terdengar begantian dengan rintihan Hakim dan Hanif yang duduk bersandar lemah di jok belakang. Sedangkan Murni, terbaring di kursi tengah masih dengan keadaan yang sama, mata melotot serta mulut sedikit terbuka.
Satu malam yang penuh kengerian dirasakan begitu panjang oleh Lasno, Pak Hambali serta dua Santrinya. Meski berhasil lolos dengan membawa Murni, namun harus dibayar dua santri yang terluka.
Tak cukup itu saja, sesaat setelah mobil Lasno sampai di halaman Pondok Pesantren, satu tanda tanya sejenak menyelimuti benak Lasno dan Pak Hambali, melihat kerumunan para Santri ramai di Aula.
Bahkan, suara gemuruh lantunan Surah Yasin dari dalam terdengar hingga di halamam, membuat sedikit terburu Pak Hambali untuk segera keluar dari dalam mobil. Dua orang santri yg tergopoh2 menyambut kedatangan Sang Kyai, sebentar tertunduk, sebelum menceritakan apa yang terjadi.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...."

Guratan kesedihan seketika menghiasi wajah Pak Hambali, setelah mendengar satu kabar duka dari dua santrinya.
Begitu juga dengan Lasno, yang baru tiba di belakang Pak Hambali. Bahkan, kedua bibirnya terlihat gemetar yang menunjukan kesedihan mendalam, saat salah satu dari santri itu menyebut dengan jelas sebuah nama, Mbah Ilyas.
Sebentar kemudian, suasana pondok yang biasa di ramaikan bacaan Nadhom-Nadhom hafalan Kitab dari para santri setelah menunaikan sholat subuh, pagi itu berganti di ramaikan lantunan Ayat-Ayat Suci Al Quran tiada putus sampai fajar menyingsing.
Kesedihan sangat terasa menyelimuti ruang lingkup Pesantren beserta seluruh penghuninya yang tengah di rundung ujian berat. Bukan saja karena meninggalnya Mbah Ilyas, melainkan empat santri yang ikut terluka parah dan di lengkapi Murni, yang juga belum tersadarkan.
Lasno, yang ikut memandikan jenazah Mbah Ilyas, tak mampu membendung air matanya saat menatapi tubuh sepuh pucat membiru tanpa nafas. Apalagi, ia ingat betul, lagi-lagi suara Mbah Ilyas ikut andil menyelamatkan dirinya saat mengambil tubuh Murni istrinya di rumah terkutuk Diro,
meski akhirnya harus di bayar dengan selembar nyawanya.

Air matanya yang semakin deras mengalir, membuatnya mundur dari sekat darurat pemandian jenazah. Ingin dirinya menghampiri istrinya,
tapi hatinya belum mampu melihat keadaan Murni yang menurut Pak Hambali sedang terkena LIRANG SUKMA.

Selagi Lasno berjalan gontai, tiba-tiba dari gerbang matanya melihat sedan hitam melaju lambat ke arah halaman depan aula.
Rasa penasaran akan mobil yang seperti di kenalnya, menuntun kakinya melangkah mendekat. Sampai akhirnya dua orang lelaki tegap turun dari dalam Mobil, sedikit mengejutkanya.

"Rupanya benar dugaanku!" gumam Lasno, terdiam menunggu dua lelaki yang sedang berjalan ke arahnya.
"Pak Lasno, maaf. Kebetulan sekali kami langsung bisa menjumpai Bapak," ucap salah satu dari lelaki tegap berwajah sangar.

"Ada apa, kalian mencari saya?" jawab Lasno, dingin.
"Kami kesini, atas perintah Pak Sudiro. Untuk memberi tahu Bapak, jika Ibu Win meninggal dunia dan akan di kuburkan siang ini. Jadi, di harapkan kehadirannya, Pak Lasno."
Terhenyak Lasno mendengar penuturan lelaki suruhan Diro. Meskipun dirinya sudah mengetahui jika Win, putrinya telah meninggal, namun jiwanya tetap saja tergunjang ketika kembali mendengar kabar itu.
Raut sedih sebentar menghiasi wajah Lasno, sebelum berubah merah mengendap amarah ketika teringat kembali asbab musabab kematian Win. Matanya menatap tajam dua lelaki yang masih berdiri di depanya, yang sepertinya sengaja menunggu jawaban darinya.
"Pak Lasno, bagaimana? Apakah Bapak akan ikut bersama kami?" tanya salah satu dari lelaki, yang merasa aneh dan heran melihat Lasno, menatap penuh kemarahan.

"Tidak! Pak Lasno tidak akan ikut kalian."
Lasno dan kedua lelaki utusan Diro, sama-sama terkejut mendengar suara berat dari belakang Lasno. Serentak ketiganya mengalihkan pandangan mereka ke arah sesosok lelaki berjubah putih, yang berjalan pelan dari sisi sebelah kiri pendopo, mendekati tempat ketiganya berdiri.
"Pulanglah kalian, sampaikan bela sungkawa kami semua yang di sini, termasuk dari Pak Lasno pribadi," sambung lelaki berjubah, yang tak lain Pak Hambali, membuat kedua utusan Diro tertunduk.
"Lagian, di sini kami dan Pak Lasno, juga tengah berduka. Jadi mohon maaf, sekali lagi Pak Lasno tak bisa datang. Tolong sampaikan itu."
Penuh keheranan dua lelaki utusan Diro, mendengar semua ucapan Pak Hambali. Keduanya tampak saling pandang sebelum memilih pamit dan kembali ke mobil penuh tanda tanya.
Sedang Lasno hanya tertunduk dengan perasaan bercampur baur. Ingin rasanya melihat jasad terakhir kali putri semata wayangnya, tapi tak mungkin ia membantah ucapan Pak Hambali, yang sebenarnya belum dirinya mengerti.
"Mari, Pak. Kita sholatkan jenazah Kang Ilyas." ajak Pak Hambali, setelah sedan hitam yang di bawa dua utusan Diro, meninggalkan halaman aula.
Lasno hanya mengangguk pelan, dan segera mengikuti langkah Pak Hambali, menuju Masjid Pondok. Nampak puluhan santri laki-laki yang sudah menunggu kedatangan Pak Hambali guna melaksanakan Fardu Kifayyah.
Setelah melaksanakan serangkaian kewajiban untuk jenazah Mbah Ilyas, para santri yg di bantu puluhan masyarakat sekitar yang mengenal dan berdekatan dgn Pondok, menguburkan Jenazah Mbah Ilyas di belakang, sekitar 500 meter dari pondok yg masih dlm lingkup tanah milik Pak Hambali.
Lasno yang masih tampak terbebani dengan kedatangan dua utusan Diro, berjalan lunglai setelah proses pemakaman Jenazah Mbah Ilyas selesai. Jiwanya meronta dengan berita kematian putrinya.
Apalagi, saat-saat terakhirpun dirinya sebagai seorang bapak, tak sempat ikut mengurus dan mendoakan.

Air matanya kembali mengalir menahan nyeri yang menelusup dalam dadanya. Sampai satu sentuhan tangan menepuk pelan pundaknya, membuatnya tergugup.
"Pak," lirih suara Lasno, saat mendapati Pak Hambali yang menepuk dan sudah berada di sampingnya.

"Pak Lasno, maaf jika saya melarang Bapak, untuk datang kerumah Sudiro. Sebab yang sekarang di kuburkan mereka, bukanlah jenazah putri Bapak."
Sedikit terperanjat Lasno mendengar penuturan Pak Hambali.

"Maksud, Pak Hambali?" tanya Lasno dengan wajah bingung.

"Ya, putri Pak Lasno memang telah tiada. Namun, bukan hanya Sukmanya, melainkan bersama Raganya." jelas Pak Hambali, yang semakin membuat Lasno bingung.
"Siapapun yang di tunjuk dan di tandai menjadi tali persekutuan dengan Iblis, maka akan di ambil jiwa raganya. Sebab di alam sana mereka di jadikan budak. Dan akan terbebas saat persekutuan yang menjadi tanda serta mengikat mereka terputus."
Kembali Pak Hambali meneruskan penjelasanya, yang sedikit demi sedikit tercerna oleh pikiran Lasno.

Sebelum Lasno berucap menanggapi penjelasan Pak Hambali, seorang santri muda terlihat setengah berlari dengan wajah panik, mendekati keduanya.
Dengan terbata dan nafas sedikit tersengal, santri muda menceritakan maksud kedatanganya yang seketika membuat Pak Hambali dan Lasno menegang.

"Astaghfirullah...."
Bergetar bibir Pak Hambali saat mengucap Istighfar, sebelum kakinya melangkah cepat di ikuti Lasno dan santri muda, menuju sebuah bangunan di sisi kanan Masjid.
Mata Lasno dan Pak Hambali terbelalak mendapati lantai ruangan 4x5 tanpa satir yg sejatinya sebagai salah satu asrama santri putra, penuh bercak darah.

Nampak wajah2 pucat dari beberapa orang santri yg di tugasi menunggu empat santri teman mereka tengah terbaring tanpa daya.
"Kalian, pergilah dan cari 12 pupus Janur Kuning, secepatnya!" perintah Pak Hambali kepada para santri yang berada di dalam tempat itu.

Tanpa menunggu perintah kedua kali, seluruh santri di ruangan itu segera keluar dan mencari apa yang di minta Pak Hambali.
Sedang Lasno, masih berdiri terpaku di ambang pintu, menatap penuh keprihatinan dan kengerian pada empat santri yang terbaring berlumur darah.

Satu hal yang membuat Lasno merinding. Darah yang tersembur dari bibir ke empat santri itu,
berwarna merah kehitaman dan terdapat gumpalan-gumpalan kecil. Di tambah rintihan dan erangan dari ke empatnya, semakin membuat Lasno merasakan nyeri. Apalagi, Lasno tau jika ke empat santri itu menderita sakit mengerikan, akibat mereka ikut dalam penyelamatan istrinya.
Lasno masih ingat betul, bagaimana dua di antara ke empat santri itu, Hakim dan Hanif mengalami luka saat di rumah Diro. Sedangkan dua santri lainya, Lasno tau, mereka terluka saat membantu Mbah Ilyas, ketika mengirim suara bathin, namun ikut menjadi korban.
"Astaghfirullah ... Astaghfirullah.... Lahaula walaa quata illa billah."

Berat dan parau suara Pak Hambali. Wajahnya menegang kencang, ketika usai memeriksa bagian dada ke empat santri pilihanya.

"LAYENG TOHPATI"

Kembali Pak Hambali berucap yg kali ini terdengar bergetar.
Belum sempat berbuat apa-apa, kembali Pak Hambali dan Lasno di kejutkan satu suara perempuan yang menjerit keras melengking.

"Murni" terkesiap Lasno saat mengenali suara jeritan yang kembali terdengar untuk ketiga kalinya.

"Kita lihat, Pak Lasno."
Lasno yang mendengar ajakan Pak Hambali, segera menghambur keluar, mengikuti langkah cepat Pak Hambali yang lebih dulu beranjak.

Murni, atas persetujuan dan saran Pak Hambali, akhirnya berangkat ke sebuah Kabupaten yang di kenal dengan para Ulama' dan Habaibnya.
Ia berangkat di temani dua orang santri sebagai penunjuk jalan sekaligus wakil Pak Hambali. Tak ada halangan apapun di perjalanan mereka, hingga setelah menempuh perjalanan beberapa jam, mereka tiba dengan selamat.
Sejenak, kedua santri menghaturkan salam dan pesan-pesan amanah dari Pak Hambali, saat mereka bertemu dengan Sang Pengasuh Pondok Pesantren. Seorang lelaki 70an, namun masih terlihat tegap dan kuat, meski sudah banyak keriput menghiasi wajahnya yang teduh.
Kewibawaan dan kharismanya memancar terang dari raut berhidung mancung. Sikapnya tenang, penuh senyum keramahan. Tatapanya bening, tapi akan membuat sesiapapun yang beradu pandang, seketika menunduk.
Namun berbeda jika tatapanya beradu dengan orang-orang yang bersinggungan dengan mahluk alam sebelah.

Hal itu juga yang terjadi pada sosok Murni, saat ia membuka matanya, seketika berteriak-teriak histeris melihat wajah salah satu keturunan BAGINDA NABI MUHAMMAD SAW,
yang saat itu tepat di depanya. Sampai guratan-guratan hitam menonjol dari urat-urat di lehernya berubah merah, menunjukan ketakutan teramat sangat. Apalagi, ketika tangan Sang Ahlul Bait menyentuh keningnya, jerit melolong terdengar menyayat keluar dari tenggorokan Murni.
Setelah jeritan Murni yang sempat membuat Lasno dan beberapa santri tertunduk ngeri mereda suasana berganti hening. Hanya kalimat-kalimat Suci terdengar lirih dari Sang Ahlul Bait, yang kemudian di akhiri kalimat syukur bersamaan usapan pelan di wajah teduhnya.
Lasno yang menyaksikan penuh ketegangan, seketika mengendurkan urat wajahnya yang mempias, kala melihat seulas senyum tersungging dari sudut bibir Sang Ahlul Bait. Menandakan satu harapan akan kesembuhan Istrinya, bergolak penuh dalam benaknya.
Akan tetapi, setelah mendengar penjelasan dari sang Ahlul Bait, yang memberi satu tugas lagi untuk Lasno demi keselamatan Istrinya, wajah Lasno berubah murung, membayangkan satu tugas yang di embankan padanya lumayan berat.
"Berserah dirilah hanya kepada ALLAH. Akan tetapi, Kita juga wajib berusaha. Sebab ALLAH tak akan menyia-nyiakan Hambanya, yang berusaha."
Lasno tertunduk mendengar ucapan sang Ahlul Bait. Ia menyadari dan mengerti semua makna dari ucapan itu, tapi sekali lagi, ia tak bisa sepenuhnya meyakinkan keberhasilanya untuk menunaikan tugas yang mewajibkan dirinya sendiri sebagai syaratnya.
"Yakinkan dan kuatkan dirimu, Pak Lasno. Yakin, jika ALLAH akan menjadi pelindung dan penolong. Kuat, menghadapi segala cobaan dan rintangan apapun, demi kesembuhan Istri Bapak." Lembut namun tegas, suara Sang Ahlul bait, menguatkan hati Lasno.
"Mudah-mudahan barang terkutuk itu masih tersimpan di tempat menantu Bapak, sehingga bisa mengembalikan sukma Istri Bapak yang tertawan oleh Iblis, yang mereka puja." Sambung sang Ahlul Bait, yang di amini Lasno dan beberapa Santri.
Setelah mendapat penjelasan dan beberapa petunjuk dari sang Ahlul Bait. Sore itu juga, sehabis mengikuti Sholat 'Asyar berjamaah, Lasno dengan tekad kuat membulat, kembali melakukan perjalanan sendiri, menuju rumah Sudiro.
Di mana, sesuai petunjuk sang Ahlul Bait, agar ia sendiri yang harus mengambil sesuatu dari kediaman menantunya, yang menjadi pengikat sukma Istrinya.
Tanpa mengabaikan semua pesan dari sang Ahlul Bait, di mana ia selalu berhenti untuk menunaikan kewajiban sholat saat masuk waktu, Lasno menempuh perjalanan beberapa jam dengan berdebar.
Jantungnya semakin berdegup kencang, saat tinggal beberapa ratus meter lagi ia sampai di kediaman mewah Sudiro. Tampak suasana lengang dan sunyi, meski malam belum masuk waktu pertengahan.
Tak ada satu orang pun Lasno jumpai ketika perlahan mobil yang di kemudikanya memasuki jalan Desa dan langsung mengarah masuk di halaman rumah Sudiro.
Gelap, yang terlihat di mata Lasno. Menimbulkan sedikit rasa curiga, akan keadaan yang tak seperti biasanya. Namun, Lasno menghentikan pemikiranya itu. Terlebih dirinya memang sudah mengetahui ikhwal kematian Win, putrinya.
Yang bukan kematian wajar di rumah itu, meyakinkan hatinya tentang suasana sunyi, sepi tanpa adanya sebuah acara apapun seperti pada umumnya.
Bahkan Lasno sedikit bersyukur dengan suasana saat itu. Sebab, mengingat tujuanya datang kembali ke rumah yang sudah teramat di bencinya itu, bukan untuk main-main atau untuk bertemu siapapun, melainkan satu usaha guna penyelamatan Istrinya,
yang ikut terseret dalam persekutuan Sudiro, akibat keserakahanya sendiri.

Perlahan Lasno mulai melangkah pelan, menapak halaman rumah melalui samping sebelah kiri. Dalam benaknya hanya satu tempat yang menjadi tujuan utamanya,
tanpa harus masuk ke dalam rumah. Mata Lasno hanya melihat dua lampu redup yang tergantung dan menyala di teras depan dan teras belakang. Sehingga hanya bisa membantu penglihatanya sampai batas dua meteran saja dari menyebarnya cahaya lampu.
Kaki Lasno menapak penuh hati-hati, saat masuk halaman samping kiri yang memanjang. Nafasnya mulai memburu dengan keringat mulai membasahi pelipis dan keningnya.
Bukan hanya karena gelap, tapi hawa yang ia rasakan saat mendekati sebuah bangunan kecil di ujung belakang sisi kiri, terasa berbeda.

Lasno terus berjalan dengan setengah menunduk. Tanpa berani menoleh sedikitpun ke samping kanan kiri,
sebab ia merasakan jika saat itu dirinya tidak berjalan sendirian. Bahkan puluhan pasang mata, benar-benar di rasa olehnya tengah menatapi dan mengikuti tiap-tiap jengkal langkahnya.
Lasno baru berhenti, ketika melihat samar bangunan kecil tak lebih 2x3, tinggal beberapa jangkah lagi. Sebentar ia merogoh saku celana dan mengeluarkan sebuah korek api bersumbu kapas, yang memang di persiapkanya untuk menerangi saat ia masuk dalam bangunan itu.
Lasno kembali meneruskan langkahnya mendekati pintu bangunan dan melihat pintu tertutup rapat tanpa kunci. Cahaya kecil dari nyala api korek yang di hidupkanya, sedikit membantu Lasno perlahan membuka pintu kayu berukir yang tak begitu lebar.
"Kriiieett ... Deerrr!"

Terjingkat Lasno, saat pintu yang baru terbuka separuh, tiba-tiba saja terdorong hembusan angin kencang menutup kembali dengan keras.
Lasno beringsut mundur beberapa langkah sambil berusaha menghidupkan kembali nyala korek api yang ikut padam terhembus angin tanpa ia tau arah datangnya.
Lasno menyadari jika kejadian baru saja, bukan satu kebetulan, ia terus menguatkan hatinya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri sembari berusaha menyalakan korek di tanganya.
Tepat di saat api kecil dari koreknya menyala kembali, wajah Lasno juga seketika menegang. Ia spontan memalingkan wajahnya saat satu suara lembut dan lirih seperti memanggil dirinya.

"Bapak...."
Lagi, suara itu seperti terdengar dekat sekali di telinga Lasno, namun sekali lagi Lasno memalingkan wajahnya, ia tak melihat apapun kecuali bau wangi bunga kamboja berpadu melati yang memenuhi rongga hidungnya.
Meski sudah merasakan ketakutan, Lasno tetap berusaha menekan dan kembali maju menghampiri pintu yang tertutup rapat kembali.

Seakan tak mau lagi kejadian pertama terulang, Lasno dengan kuat dan keras mendorong kembali pintu bangunan itu.
Ia berangsur masuk setelah pintu terbuka lebar dan mengabaikan suara-suara lirih yang masih terus terdengar memanggilnya dengan sebutan

"Bapak", seolah ingin melarangnya masuk kedalam.
Lasno tercekat, terdiam sesaat. Mendapati isi ruangan di penuhi gumpalan asap dupa dan kemenyan yang masih terlihat kerlipan nyala apinya. Menandakan jika dupa dan kemenyan itu sengaja di bakar sekitar satu atau dua jam sebelum kedatangan dirinya.
Berpikir sampai di situ, Lasno segera menyadari akan tujuan utamanya. Matanya mengelilingi tiap jengkal sudut ruangan yang ternyata bukan hanya di penuhi asap dupa dan kemenyan, melainkan taburan bunga menebar bau harum.
Beberapa saat lamanya Lasno mengitari seluruh ruangan dengan hanya bantuan cahaya dari korek, guna mencari sesuatu yang menjadi tujuan kenekatanya. Tak ada yang terlewatkan oleh Lasno, semua benda yang ada di ruangan pemujaan itu tak luput dari pemeriksaannya.
Namun, kekecewaan harus di telan Lasno, ketika ia tak menemukan yang di carinya. Lasno panik, tubuhnya yang sudah basah oleh keringat, lemas menyandar di tembok, matanya mengerjap pelan membayangkan sekilas wajah Murni di ambang kematian.
Ketika Lasno terisak dalam keputus asaan, tiba-tiba tiupan angin lembut beraroma bunga kamboja, kembali menyapu wajahnya. Lasno terkejut, menyadari jika itu bukanlah angin biasa. Tapi, yang aneh baginya, sesaat wangi bunga kamboja berubah bau amis kental.
Lasno mulai menyadari akan bau amis itu, sebentar tambah menyengat, kala dirinya mengendus dan menajamkan hidungnya, ke balik pintu.
Wajah Lasno kembali mempias, saat matanya yang di bantu cahaya kecil dari korek api, menangkap sesuatu di sudut pintu. Sesuatu terbungkus kain hitam dan tertanam separuh kedalam lantai. Tanpa ragu, Lasno mengangkat benda bulat yang ternyata sebuah kendi.
Lasno sedikit memalingkan wajahnya, terkejut dengan bau amis bercampur busuk bersumber dari dalam kendi, saat kain penutupnya ia buka.

Berpikir sejenak, Lasno kemudian melangkah keluar sembari membawa kendi yang ia yakini sebagai sesuatu yang di carinya.
Namun, dua langkah lasno keluar dari dalam, satu sosok menghentikan langkahnya. Sosok wanita bergaun putih panjang berwajah pucat pasi. Dari kedua pipinya nampak bergaris seperti bekas darah mengering.
Lasno terkesiap, antara takut dan iba. Sebab sosok yang berdiri memandang dengan tatapan kosong dan hanya berjarak 5 langkah adalah sosok Win, Putrinya.
Beberapa puluh detik lamanya Lasno dan sosok Win, berdiam diri saling menatap tanpa bersuara. Sampai akhirnya sosok Win terlihat mundur dan menghilang, meninggalkan bau wangi yang merebak.
"Nduk, Win."

Lasno bergumam, ketika sosok itu sudah tak terlihat. Saat itu, Lasno ingin menangis, menjerit. Tapi ia tekan kuat-kuat. Terlebih ada hal penting yang segera harus ia lakukan.
Lasno mengusap wajahnya, menengadahkan wajahnya sebentar, sebelum kembali melangkah menembus gelapnya kabut hitam yang mulai memenuhi halaman belakang rumah Sudiro.
Lasno tak perduli lagi dengan puluhan pasang mata merah yang mengawasinya. Tak perduli suara riuh tanpa wujud. Ia terus berjalan cepat, sambil memegang erat sebuah kendi yang terbungkus kain hitam.
Sampai akhirnya Lasno tiba di halaman depan, tepat di samping taman. Lagi-Lagi ia harus menghentikan langkahnya. Di depannya, berjarak beberapa meter dari tempatnya, satu sosok sudah menghadanganya. Sesosok lelaki tua berbaju dan berikat kepala hitam.
"Berikan Pancer itu!"

Sejenak Lasno tercekat, mendengar ucapan tegas lelaki tua yang menghadangnya. Tapi di sisi lain, Lasno merasa usahanya tak sia-sia. Sebab apa yang di carinya, sudah di tanganya.
Lasno mendekap kuat Kendi dalam rengkuhanya. Matanya tak kalah sengit, menatap tajam pada sosok lelaki yang di kenalnya sebagai pengawal pribadi Sudiro.

"Sampai mati pun, tak akan aku serahkan!" jawab Lasno tegas.
Raut merah penuh amarah, seketika menggurat di wajah Sang lelaki tua. Perlahan ia melangkah, mendekati Lasno. Tanganya mengepal kuat, selaras dengan wajah angkernya.
Lasno tersurut mundur, melihat kesiapan lelaki di depanya. Aura hitam pekat langsung ia rasakan, saat berjarak beberapa langkah.

Lasno yang mempunyai kemampuan secara batin, hanya melihat keangkeran dan seringaian dari sosok lelaki tua yang tak lain, adalah Mbah Lenggono.
Tanpa ia sadari jika dari kesengitan wajah Mbah Lenggono, memunculkan hawa panas yang seketika membuat nafasnya sesak. Rasa nyeri luar bias mendadak di rasa Lasno, membuatnya sedikit membungkuk.
Kepalanya bergedek sebentar merasakan antara sakit dan berat, sebelum sadar, darah kental keluar dari hidungnya.
Lasno terdiam, sebentar wajahnya mendongak, menatap nanar wajah angker Mbah Lenggono. Sepintas pandangan Lasno kembali pada kendi yang di dekapnya. Ia seperti tengah berpikir dan menimbang sesuatu.
Sampai akhirnya, satu suara "Krumpiyang" terdengar, membuat Mbah Lenggono melototkan mata penuh kemarahan.

"Menungso ra keno di eman! Mati koe!"(Manusia gak bisa di untung! mati Kamu!)"
Lasno kali ini benar-benar merasakan kemarahan Mbah Lenggono. Tubuhnya terpental, terplanting kuat ke tanah, saat sesuatu yang hanya di rasakan panas, menghantam dadanya.
Lasno berusaha bangkit, tak menghiraukan kucuran darah dari mulut dan hidung demi berusaha meraih untaian kain putih berbentuk pipih, isi dari dalam kendi yang telah di pecahnya.

"Buukkkk!"
Lagi, tubuh Lasno harus terhuyung kebelakang, saat menerima tendangan dari kaki Mbah Lenggono, ketika saling memperebutkan isi kendi, yang ternyata tak hanya satu kain, melainkan beberapa dengan terikat satu sama lain.
Meski kembali harus merasakan sakit, kali ini wajah Lasno berubah. Senyum sinisnya sebentar tersungging, melihat bungkusan kain-kain putih beruntai, berada di tanganya.
Berbeda dengan Mbah Lenggono, wajahnya semakin merah, matanya menyalang, menunjukan kemarahan memuncak. Tanpa ampun lagi, Mbah Lenggono segera menghambur ke arah Lasno.
Bertubi-tubi pukuluan dan tendangan ia sarangkan, membuat tubuh Lasno yang tak melawan terhuyung, terjengkang dan akhirnya roboh bersimbah darah.

Lasno mengerjab, mengerang, menahan rasa sakit sambil meringkuk. Ia masih terus mempertahankan untaian kain putih dalam dekapanya.
Membuat Mbah Lenggono semakin kalap, saat kesulitan untuk merebutnya.

Pasrah, terpancar dari sorot mata Lasno. Menyadari ajal sudah di depan mata, melihat kilatan hitam dari sebilah keris tercabut dari sarungnya oleh tangan Mbah Lenggono.
Lasno memejamkan mata, menunggu detik hunusan keris menyentuh kulitnya. Namun, bukan rasa sakit tusukan yang akan menghantarnya pada kematian Lasno rasakan. Melainkan, rasa terkejut dari sebuah suara bergedebuk dan erangan tertahan tepat di sebelahnya.
Kejadian yang begitu cepat tak sempat Lasno rekam dalam otaknya. Ia hanya selintas melihat bayangan Mbah Lenggono yang terjungkal sampai dua kali terguling, Lalu bangkit dan menghilang.
Selebihnya, Lasno melihat sesosok lelaki berbaju putih berkalung sorban, berdiri beberapa langkah darinya.

Belum lagi Lasno berpikir tentang siapa lelaki bersorban yang sudah menolongnya, ia sudah kembali di kagetkan suara riuh derap langkah begitu ramai.
Kemudian langkah-langkah yang di barengi teriakan di sertai umpatan-umpatan kasar penuh amarah, seketika mengelilingi dirinya. Lasno tak mengerti akan tujuan puluhan atau mungkin ratusan orang, tiba-tiba sudah memenuhi halaman rumah Sudiro.
Ia hanya melihat dan mendengar orang-orang yang hampir merata bersenjata kayu dan beberapa senjata tradisional, mengumpat marah, bersahut-sahutan, sembari mengangkat obor-obor di tangan kiri mereka.

"Tenang-Tenang ... Saya harap sedulur semua, tenang!"
Sesaat suasana hening, setelah suara tegas sesosok lelaki bersorban yang baru saja menolong Lasno, berhasil membuat orang-orang yang marah terdiam.

Namun, beberapa saat kemudian, tampak dua lelaki berkalung sarung berjalan mendekat dari kerumunan.
Wajah keduanya terlihat berkilap memancarkan satu amarah, dengan tentengan sebilah golok di tangan kanan masing-masing.
"Pak Ansori, biarkan kami menghancurkan tempat Iblis ini! Sudah lama kami terganggu dengan semua ulah pemujaan di rumah ini!" Keras dan penuh emosi, suara salah satu lelaki yang maju dan berdiri di depan lelaki bersorban, Pak Ansori.
"Saya mohon, Bapak-bapak jangan main hakim sendiri. Alangkah baiknya kita selamatkan dulu Bapak ini, dan memusyawarahkan masalah ini dengan kepala dingin," sahut Pak Ansori, seraya menunjuk Lasno dan terus berusaha menenangkan seluruh orang yang berada di tempat itu.
Lasno yang masih terbaring meringkuk, ikut merasakan sedikit ketegangan di tempat itu. Walaupun dalam hati ia bersyukur, mendapati kedatangan mereka dengan tujuan menyelamatkan dirinya dan meluapkan amarah pada Sudiro.
Entah dari mana dan siapa yang membuat mereka bisa berkumpul di rumah Sudiro, Lasno tak bisa menebaknya. Akan tetapi, ketika beberapa orang yang di suruh Pak Ansori mendekat dan mengangkat tubuhnya, mata Lasno melihat sesosok bayangan putih,
berklebat dari kerumunan orang menuju teras belakang. Sejenak Lasno terpaku dalam ringisan kesakitan, mendapati bayangan putih itu berdiri dan memandangnya dengan tatapan kosong. Darah Lasno berdesir, jantungnya berdegup lebih kencang,
saat dengan jelas melihat wajah sosok yang sangat di kenalnya. "Nduk, Win," gumam Lasno lirih, sebelum tubuhnya di papah menerobos kerumunan.

Meskipun dalam kepayahan, menahan rasa sakit mendera sekujur tubuh, dan berjalan dengan tertatih,
tapi Lasno tak melupakan bungkusan beruntai kain-kain putih pembungkus Pancer. Ia masih terus mendekap kuat hingga sampai di pintu gerbang.

Sebelum Lasno menuruti langkah beberapa orang yang memapah dan mendampinginya semakin menjauh dan meninggalkan halaman rumah Sudiro,
ia masih sempat mendengar teriakan-teriakan keras, "Bakar" di susul gemuruh derap langkah menuju halaman belakang rumah Sudiro.

***
"Kurang ajar! Bangsat!"

Rasa kesal menahan amarah, sementara menghinggapi wajah angker Mbah Lenggono. Umpatan dengan kata-kata kasar, seolah menjadi luapan kemarahan tanpa bisa berbuat apa-apa.
Meski baru saja ia lolos dari amukan warga, namun kekhawatiran masih menyirat jelas di wajahnya. Mengingat, keberhasilan Lasno membawa beberapa Pancer yang sudah terikat. Pancer-Pancer yang seharusnya tak boleh di ketahui orang lain, kini bahkan malah jatuh ke tangan Lasno.
Mbah Lenggono sendiri yakin, jika ada seseorang di belakang Lasno, di balik kenekatannya, guna mendapatkan dan menemukan Pancer LIRANG SUKMO.
Satu hal yang membuat Mbah Lenggono seketika mempias penuh kecemasan, yaitu, bila sampai Lasno berhasil mengembalikan dan memudar Lirang Sukmo yang sudah terikat, maka sukmanya sendiri yang menjadi Badalnya.
Sadar akan hal itu, Mbah Lenggono sebentar menengadahkan wajahnya ke atas, menatap kegelapan, sebelum berlalu dengan cepat menembus malam pekat.

Mbah Lenggono terus berjalan, menyusuri jalanan setapak. Membiarkan tetes-tetes air gerimis,
membasahi wajah angkernya yang penuh kecemasan. Tiba di satu titik jalan bersimpang, Mbah Lenggono membelokan langkahnya ke sebelah kiri. Di mana,
berjarak beberapa puluh meter di depanya, terlihat sebuah cahaya lampu obor dari sebuah gubuk berdinding papan, berteras tak lebih dua meter dengan kondisi pintu terbuka.
Mbah Lenggono yang sudah lusuh dan kuyub, berangsur masuk, membuat tiga lelaki yang tengah duduk di kursi bambu, seketika berdiri. Mereka serentak memandang Mbah Lenggono sedikit aneh.
Apalagi, saat itu, wajah Mbah Lenggono terlihat sangat pucat, mengundang tanda tanya dan kepanikan tersendiri.

"Apa yang terjadi, Mbah?"

Satu suara, akhirnya terucap dari seorang lelaki muda, yang terlihat paling panik.

"Pancer-Pancer itu...."
Belum sempat Mbah Lenggono menyelesaiakan ucapanya, tiba-tiba ia terduduk. Matanya membeliak seperti tengah menahan sesuatu. Sesuatu yang sebentar kemudian, menjadi satu erangan berat, sebelum darah hitam kental, menyembur dari mulutnya.
"Mbah! kenapa?"

Seru salah satu lelaki yang paling dekat jaraknya dengan Mbah Lenggono. Lalu, perlahan ia mendekat, dan seketika terperangah, melihat darah hitam bergumpal-gumpal yang keluar dari mulut Mbah Lenggono.
Kengerian memancar dari bola matanya, membuat ia mengurungkan niat untuk merengkuh tubuh terjungkai Mbah Lenggono.

Sebentar ia mendekati seorang lelaki muda yang berdiri di ujung, namun baru saja ia berada di sampingnya, tangan lelaki muda itu sudah merentang,
mengisyaratkan untuk dirinya diam.

Kini, berganti lelaki muda yang berjalan maju, mendekati Mbah Lenggono. Di tatapnya wajah tua pucat yang meringis menahan sakit.

"Apa ini pertanda...."
Mbah Lenggono seketika mengangguk pelan, menghentikan ucapan lelaki muda yang tak lain adalah, Sudiro. Wajah Sudiro seketika mempias penuh kekhawatiran. Ia sudah bisa membayangkan apa yang terjadi, walau hanya dari sebuah anggukan kepala dari Mbah Lenggono.
"Kang Suyuti, Wito, bawa Mbah Lenggono dan baringkan di kamar." Perintah Diro, pada dua lelaki di belakangnya.
Sebentar saja, tubuh lemah dan pucat Mbah Lenggono di papah masuk kedalam sebuah kamar sempit, yang hanya terdapat sebuah dipan beralaskan tikar dengan sebuah bantal terbungkus kain serta sebuah selimut kusam.
Berkali-kali lenguhan terdengar dari mulut Mbah Lenggono. Meskipun darah sudah berhenti keluar dari mulutnya, namun keadaannya malah semakin memprihatinkan. Membuat Suyuti dan Wito, yang baru saja membaringkannya sekilas menatap sedikit ngeri dan iba.
"Pak Diro, apa selanjutnya yang kita lakukan, pada Mbah Lenggono?" Suyuti, yang baru keluar dari kamar mendekat dan memberanikan diri bertanya.

"Merawat, sampai tiba waktunya." Dingin, jawaban yang di ucapkan Sudiro.
Suyuti termangu, mencerna kalimat yang baru saja ia dengar. Meski tak sepenuhnya mengerti, tapi membaca dari gelagatnya, Suyuti yakin, jika tak ada harapan untuk Mbah Lenggono selamat.

"Kamu jangan berpikir jika Mbah Lenggono, akan secepat itu mati!"
"Maksud, Pak Diro?" tanya Suyuti, menciutkan wajahnya, mendengar ucapan Diro, seperti tau yang di pikirkanya.

Diro terdiam, melangkah mendekati pintu gubuk. Menatap malam berudara dingin, berhias rintik-rintik gerimis. Di silangkan kedua tanganya kebelakang,
sebelum melirik sebentar pada Suyuti yang masih terpaku di belakangnya.

"Jiwanya masih bisa tertolong dan kembali, dengan darah Laweyan Lenggan sebagai penebusnya," ucap Diro pelan.

"Laweyan Lenggan!" gumam Suyuti, sedikit terkejut.

***
Di sisi lain, Lasno, yang sedang terluka, terkulai lemah di sebuah ranjang. Lasno sedikit bingung, dengan Pancer-Pancer yang telah berhasil ia dapatkan. Seharusnya, ia bisa segera membawa ke tempat Istrinya berada, di tempat seorang Ahlul Bait yang sudah bersedia menolongnya.
Tapi, melihat luka yang di deritanya, tak mungkin dirinya mampu untuk pergi mengemudi sendiri.

Selagi Lasno terdiam dalam kebingungan, lamat telinganya mendengar derap langkah kaki, memasuki rumah yang ia sendiri belum tau milik siapa.
Sebentar kemudian, tampak seorang lelaki berkalung sorban, Pak Ansori, yang ia ingat telah menolongnya dari hujaman keris Mbah Lenggono, mendekatinya dengan dua orang mengekor di belakangnya.
Wajah Pak Ansori terlihat begitu serius, saat mentap Lasno. Tepatnya pada Pancer yang tergeletak di sampingnya.

"Pak Lasno, apa Bapak kuat jika harus melakukan perjalanan malam ini juga? Sebab saya tau benda terkutuk itu sangat berarti untuk Bapak."
Terhenyak Lasno mendengar penuturan Pak Ansori, yang bisa menebak, jika Pancer itu memang sangat di butuhkannya.

Sebentar Lasno berusaha bangkit. Meski masih meringis menahan sakit, namun demi mendengar tawaran Pak Ansori, Lasno mencoba untuk kuat.
"Saya kuat, Pak. Tapi...." jawab Lasno sedikit ragu.

"Kalau Pak Lasno kuat, Insya Allah mereka berdua akan mendampingi Bapak. Mereka sudah biasa mengemudi."

Seketika wajah Lasno terlihat semringah, setelah mendengar ucapan Pak Ansori.
Setelah menyiapkan sesuatunya, dan siap berangkat, sejenak Lasno mendekat dan menatap Pak Ansori. Ada satu ganjalan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya, tentang dari mana Pak Ansori bisa tau semua yang tengah di alaminya.
Namun, ketika baru saja ingin bertanya, Pak Ansori sudah lebih dulu menepuk pelan pundaknya seraya berkata pelan.

"Insya Allah, Pak Lasno akan mengerti dan tau sendiri nantinya. Sekarang yang penting, Pak Lasno bisa segera membawa benda terkutuk itu, secepatnya."
Meski masih merasa penasaran. Lasno, hanya berani mengangguk tanpa bertanya.

Malam itu juga, dengan di dampingi dua orang yang di tunjuk Pak Ansori, Lasno kembali melakukan perjalanan. Berpacu dengan waktu demi satu tujuan.
Ia tak henti-henti berdoa dalam hati, berharap apa yang di perjuangkannya bisa mengembalikan keadaan Istrinya. Tak sebentar pun, mereka berhenti beristirahat. Demi memanfaatkan jalanan sepi, agar tak terdahului sang fajar.
Setelah beberapa jam membisu dalam perjalanan, dan telah masuk waktu dini hari, Mobil Lasno memasuki halaman luas bercahaya terang. Sebentar kemudian, beberapa orang santri yang masih terjaga, menyambut mereka.
Tertatih langkah Lasno memasuki sebuah ruangan, di mana sesosok wanita tengah terbaring membujur, berbalut dan terikat kain putih.

"Kemana, Abah?" tanya Lasno, pada dua santri yang di tugaskan menjaga Murni, Istrinya.
"Abah, tadi berpesan, jika Bapak datang, suruh menunggu di sini," jawab salah satu Santri dengan menunduk.

Lasno terdiam, mengalihkan pandanganya, melihat wajah pucat Istrinya. Sesaat, kilatan masa lalu kembali menari dalam ingatanya.
Di saat-saat kebersamaannya bersama Win, sebelum malapetaka merenggut semua.

Dua bulir bening dari mata lebam Lasno, mengalir. Menandakan kesedihan dan penyesalan. Sebab, ia kini sadar, semua pangkal dari malapetaka, berawal keserakahannya.
Gemerlap kilauan pundi2 kemewahan, menggelapkan matanya. Hatinya tertutup, akalnya terkunci oleh sebuah tawaran hidup indah, dalam limangan harta. Tanpa ia tau, tanpa ia sadari, asbab musabab kemewahan itu, hingga akhirnya harus bertukar dgn nyawa putri dan penderitaan istrinya.
Lasno yg menangis dalam diam, perlahan bangkit. Manakala sesosok lelaki tua berbau wangi kasturi cendana, masuk dgn membawa lipatan kain putih. Wajah leleki tua yg teduh sekilas tersenyum, sebelum memberi isyarat pd Lasno, untuk mengikutinya duduk bersila di samping tubuh Murni.
Selembar kain tak begitu lebar, terhampar tepat di sisi kepala kiri Murni. Tak Ada yang aneh dengan kain itu. Bersih, putih tanpa noda. Tapi, ketika ikatan Pancer-Pancer yang di bawa Lasno di letakkan di atasnya. Tetiba saja, kain itu berubah merembes hitam.
Lasno terhenyak, seolah tak percaya, setelah melihat dengan seksama, jika rembesan yang mengotori selembar kain putih, adalah darah hitam berbau busuk, berasal dari telinga Murni. Wajah Lasno semakin menegang.
Di samping menahan rasa mual yang hampir membuncah, juga satu jeritan dari Murni yang terjaga. Lagi, dan lagi. Jeritan menyayat, memekakkan telinga terdengar, seolah menyahuti gumaman bait doa yang tengah di baca lirih Sang Ahlul Bait.
Lasno semakin merinding ngeri, melihat untaian kain putih Pancer di buka, berisi gumpalan-gumpalan berdenyut. Kembali bau busuk bercampur amis, menyeruak memenuhi rongga hidung Lasno. Yang berasal dari gumpalan isi Pancer, lunak, hitam, seperti darah beku.
Tak lama setelahnya, hawa panas tiba-tiba Lasno rasakan. Ketika tali-tali yang mengikat satu sama lain pada untaian kain pembungkus Pancer, satu persatu di putus oleh tangan Sang Ahlul Bait.
Hening, anyep, setelah tali terakhir terputus. Tak ada hal aneh di rasa Lasno saat itu. Namun, lima tarikan nafas kemudian. Tubuh Lasno bergetar hebat. Ia limbung, seakan mengikuti gerakan tubuh Murni yang mengejang kuat dalam ikatan.
Sebelum akhirnya, teriakan keras menggema dari satu suara tanpa wujud, menghentak tubuh Lasno hingga terpental beberapa jengkal ke belakang.
Lama tubuh Lasno terdiam. Ia masih begitu kaget dengan apa yang terjadi. Membuatnya hanya bisa mendenguskan nafasnya yang memburu. Lasno baru tersadar, ketika melihat senyum sang Ahlul Bait mengembang saat menatapnya.
Perlahan ia menggerakan tubuh, memaksa bangkit, demi melihat keadaan Murni.

Sekilas ia tertegun, bingung, tak percaya dgn apa yg di lihatnya. Kain putih yang ternoda darah hitam, kembali putih bersih. Gumpalan lunak Pancer, kini tak lebih dari gumpalan tanah liat, di matanya.
Namun, satu hal yang seketika membuat wajah Lasno semringah, Murni. Perlahan Lasno mendekat, ingin melihat lebih dekat, wajah istrinya yang sudah terjaga. Suara erangan lirih mengawali mata Murni yang mengedar. Menatap sayu, dua wajah di sampingnya.
"Alhamdulillah, Istri Bapak sudah sadar kembali," ucap syukur sang Ahlul Bait.

***
Sementara, di rumah gubuk tua, dengan penerengan lampu obor. Sesuatu mengerikan tengah terjadi. Mbah Lenggono, yang hanya di temani seorang leleki 35an, setelah kepergian Sudiro dan Suyuti, berkali-kali mengerang kesakitan.
Tubuhnya yang sudah tak berdaya, kini semakin memprihatinkan. Terlihat, wajahnya sedikit demi sedikit menghitam. Membuat Wito, yang mendapat tugas dari Diro untuk menjaga Mbah Lenggono, merasa iba bercampur ngeri.
Wito mulai merasakan hawa aneh, setelah mendengar sebuah dentuman di atas atap luar gubuk. Tapi, ketika ia memberanikan diri melihat, ia tak menemukan apapun. Setelah beberapa saat, Wito akhirnya memutuskan untuk kembali masuk.
Namun, baru saja tiga langkah, sejenak wajah Wito terlihat menciut. Ia seolah tak percaya saat hawa di dalam rumah, di rasa tubuhnya begitu panas.
Rasa penasaran Wito yang belum terjawab, sesaat saja berubah keterkejutan. Ketika mendengar jeritan Mbah Lenggono. Buru-buru Wito menghampiri kamar sempit, tempat Mbah Lenggono terbaring. Tapi, belum sampai kaki Wito menginjak lantai dalam kamar, tubuh Wito mendadak terdiam kaku.
Wajahnya pucat pasi, menunjukan satu ketakutan teramat sangat, melihat dua sosok wanita renta berambut putih sedang berada di samping Mbah Lenggono.
Dua sosok yang terlihat mata Wito tengah menjilati gumpalan-gumpalan hitam dari muntahkan Mbah Lenggono, sejenak berhenti. Mereka menyeringai, menatap tajam dengan bola mata putih rata, saat menyadari kehadiran Wito yang terpaku dalam ketakutan.
Bersambung ke Bagian 9
karyakarsa.com/KALONG/rogoh-n…

Yang mau baca duluan dan dukung saya, bisa mampir ke karyakarsa ya.

maturnuwun
BAGIAN 9
ROGOH NYOWO

#bacahorror @IDN_Horor @gudangmistery Image
"Brruukk"

Wito terduduk lemah. Wajah dan tubuhnya seputih kapas, melihat seringaian mengerikan dari dua sosok wanita tua buruk rupa. Ingin ia menunduk, atau memejamkan matanya. Agar tak melihat semua kengerian di dalam kamar sempit, bercahayakan lampu obor.
Tapi, seolah ada kekuatan yang menahan kepalanya untuk tetap menengadah. Bahkan, kelopak matanya terasa kaku, tak mampu ia pejamkan.

Kini, dengan jelas Wito melihat ceceran darah dan gumpalan hitam berdenyut, keluar dari mulut Mbah Lenggono.
Akibat dari jilatan dua sosok wanita tua itu. Lagi dan lagi, cairan kental hitam pekat berbau busuk mengalir. Setiap dua lidah panjang menjilat dari pusar naik sampai ke dada Mbah Lenggono.
Lenguhan, erangan lirih, dari mulut Mbah Lenggono seakan ledakan hebat yang menghentak jiwa Wito. Tubuhnya bergetar. Kepalanya terasa berat, melihat beberapa gumpalan hitam kembali di muntahkan Mbah Lenggono.
Kengerian itu terus berlanjut di saksikan Wito, sampai beberapa saat lamanya. Tak ada celah sedikitpun untuknya beranjak dari tempat itu. Sampai akhirnya, tubuh Wito mengejang kuat dan roboh, bersamaan hilangnya dua sosok wanita dan lengkingan panjang Mbah Lenggono.
"Krieett...."

Wito terhenyak, spontan memalingkan wajahnya. Mendengar pintu terbuka, di susul derap langkah kaki masuk ke dalam.
Sekilas matanya melirik dua sosok lelaki yang medekat ke arahnya. Menumbuhkan harapan untuk ia bisa lepas dari kengerian dan satu kekuatan aneh yang melumpuhkan tubuhnya.
Namun, saat dua sosok tak lain Sudiro dan Suyuti sampai di sampingnya, keduanya hanya melewati tubuhnya yang terlentang tanpa daya. Mereka seolah tak memperdulikan keadaannya. Mereka lebih perduli dengan sosok Mbah Lenggono, di dalam kamar terkapar bersimbah darah hitam pekat.
Wito berteriak, menjerit, memohon untuk bisa lepas dari cengkraman hawa aneh yang membekukan aliran darahnya. Tapi sayang, suaranya hanya sampai di tenggorokan. Membuatnya menangis dalam ketakutan.
Berbeda dengan Sudiro dan Suyuti. Meskipun mereka terlihat bergidik ngeri menyaksikan kondisi Mbah Lenggono. Namun tampak dari wajah keduanya satu kelegaan. Sebab, arti dari gumpalan hitam berceceran di samping tubuh Mbah Lenggono, sebagai tanda kembalinya Pancer-Pancer,
dan hanya berbalik menyerang pada diri Mbah Lenggono saja.

"Apa, Mbah Lenggono sudah terbebas, Pak?" Suyuti yang penasaran melihat mata Mbah Lenggono terpejam dengan kondisi mengenaskan, memberanikan diri bertanya.
"Belum." Dingin, jawaban Sudiro.

"Tak semudah itu! Mbah Lenggono akan terbebas jika segera di tebus dengan darah Laweyan Lenggan. Jika tidak, sukmanya tak akan kembali lagi, saat pengantin anyar tiba kembali."
Suyuti membisu, berpikir mengartikan kalimat Diro, yang jauh dari dugaannya.

"Lalu? dengan...."

Suyuti tak meneruskan kalimatnya, tapi matanya sesaat melirik pada Wito. Sebagai satu isyarat dari pertanyaannya.
"Aku masih membutuhkan Mbah Lenggono. Terpaksa Wito harus menjadi penyambungnya," ucap Diro, penuh keseriusan.

"Sekarang semuanya tergantung keberhasilanmu, Kang. Waktu kita tak banyak. Nyawa Mbah Lenggono, Wito dan Kang Suyuti sendiri, tinggal sepenggal purnama lagi."
Memucat wajah Suyuti seketika. Tak terbersit sebelumnya, jika nyawanya bakal ikut di pertaruhkan dalam lingkaran hitam persekutuan Sudiro. Laweyan Lenggan, Sepenggal purnama, dua kalimat itu, menanda kuat dalam benaknya. Sebab, gagal berarti nafasnya terputus.
"Sekarang, yang penting kita bawa tubuh Mbah Lenggono dan Wito, pergi dari sini," ucap Diro, memberi isyarat pada Suyuti.
Tak lama, Suyuti yang masih tegang, dengan terpaksa dan bersusah payah membopong tubuh lemah Mbah Lenggono lebih dulu. Mual di perutnya akibat bau busuk dari tubuh Mbah Lenggono, tak seberapa terpikir oleh Suyuti.
Terkalahkan oleh kondisinya, membuat dirinya merinding ngeri.

Sesudah tubuh Mbah Lenggono, Suyuti kembali ke dalam. Di angkatnya tubuh tak kalah mengenaskan Wito. Suyuti sejenak menatap wajah dan mata Wito yang masih terbuka penuh rasa iba.
Sebab, Karena dirinyalah, Wito ikut mengalami nasib naas.

Suyuti tau, bila Wito merutuki dirinya. Dan mungkin sumpah serapah terucap di batin Wito saat itu. Melihat sorot tajam penuh amarah terpancar dari mata Wito.
Untung saja, saat itu Wito sudah tak berdaya, akibat SUSUR PANCER yang sudah masuk ke dalam tubuhnya, menjadi penyambung dan bakal menemani kesengsaraan Mbah Lenggono.
Dalam perjalanan, tak henti-hentinya Suyuti berpikir tentang penyelamatan dirinya. Ia benar-benar takut, takut akan sebuah kegagalan. Karena dirinya tau, darah Laweyan Lenggan bukanlah hal mudah. Meski tak begitu mengenalnya, Suyuti sedikit mengerti dengan hal itu.
Bukan mustahil, jika nyawanya juga bakal menjadi taruhan, saat berhadapan secara batin dengan sang pemilik gelar Laweyan Lenggan.

Suyuti tak begitu hafal jalanan yang ia tempuh. Ia hanya mengikuti arahan Sudiro. Menyusuri jalanan beraspal hitam yang lengang,
sampai masuk sebuah jalanan sempit berkerikil dengan pepohonan tinggi menjulang di kanan kirinya.

Hampir satu jam, Suyuti menapaki jalanan gelap nan sunyi. Sebelum akhirnya, dari sorot cahaya putih lampu mobil,
matanya melihat sebuah rumah panggung bercahaya obor-obor besar yang terang.

Suyuti menghentikan Mobil hitam milik Diro, tepat di depan tangga naik penghubung pintu rumah. Tak lama, sesosok wanita tua sedikit gemuk keluar dari dalam.
Menatap tajam ke arahnya sebelum Sudiro turun menghampirinya.

Suyuti yang masih berada di belakang kursi kemudi, hanya memandang penuh rasa heran dengan tempat sangat asing baginya. Juga, dengan sosok nenek tua berwajah angker, yang tengah berbicara serius dengan Sudiro.
Meski ia tak mendengar apa yang tengah di bicarakan antara mereka. Tapi, menangkap gelagatnya, Suyuti yakin jika keduanya tengah bersepakat sesuatu. Terbukti, sebentar kemudian.
Suyuti melihat satu isyarat dari Diro, agar dia menurunkan tubuh Mbah Lenggono dan Wito, serta membawanya masuk ke dalam.
Sedikit merinding Suyuti pertama kali masuk dan melihat isi ruang tamu berkarper kain tanpa kursi. Di mana, matanya menangkap kepulan asap kemenyan dari sebuah tampah besar di sudut ruangan.
Dari tempat itu juga terdapat aneka bunga warna-warni beserta beberapa bungkusan daun pisang serta beberapa gelas berisi air. Namun, dari sekian banyak isi tampah sesajen, satu yang membuat
Suyuti merinding takut adalah, berjejernya tiga tengkorak kepala manusia persis menghadap ke arahnya.

"Jangan kamu tatapi batok kepala itu! Bisa buta matamu."
Suyuti terkejut, kaget, tapi lebih bergidik ngeri, mendengar ancaman dari nenek tua itu.
Suyuti mundur, setelah membaringkan dua tubuh tanpa daya di karpet ruang tamu berukuran 3x4. Ia memilih menjauh, dari ruangan di penuhi aroma kemenyan menyengak.
Meski sudah biasa dengan bau dupa, kemenyan dan sesajen, tapi Suyuti merasakan hawa berbeda dari cara penyajian sosok wanita tua berbibir tebal merah, hasil dari kinangan menyumpal mulutnya.
"Tak mudah merawat dua Susur Pancer cenayangmu ini. Kamu harus secepat mungkin mendapatkan secawan darah Laweyan Lenggan. Kalau tidak! Aku tak bisa menjamin hidup mereka," ucap sang wanita tua, di sela-sela meludahkan air merah kinangan ke dalam bambu bulat yang di pegangnya.
"Kenapa tak kamu bawa ke tempat Ambar! Bukankah dia yang membawamu pada persekutuan ini?" sambungnya, bertanya.

"Maaf, Nyai Angen. Nyai Ambar sekarang sedang tirakat ngramen, jadi, terpaksa saya harus merepotkan Nyai dengan masalah ini," jawab Diro, sedikit menjelaskan.
"Hemhhh ... Adikku satu itu, memang tak pernah puas dengan ngilmunya. Pantas Nyai Dewi Ratu Pambayun selalu mengabulkan keinginannya." sahut sosok wanita tua yang Diro panggil Nyi Angen, tak lain dan tak bukan adalah kakak dari Nyi Ambar.
Sejenak Diro terdiam. Membiarkan Nyi Angen larut dalam pandangan lurusnya, mengingat kenangan tentang Ambar, adiknya.
"Sudah! Cepat kamu pergi dari sini. Dan jangan kembali ke sini tanpa membawa secawan darah Laweyan Lenggan." Nyi Angen yang tersadar dari lamunannya, segera memberi perintah pada Diro.
Tepat, setelah Diro dan Suyuti pamit dan perlahan meninggalkan rumah panggung milik Nyi Angen, terdengar suara kokok ayam bersahutan. Menandakan, jika fajar akan segera menyingsing. Kelegaan menghiasi wajah Sudiro yang menyandarkan kepala dan memejamkan mata dijok mobil mewahnya.
Berbeda dengan raut Suyuti. Awal ia biasa saja, fokus dengan jalanan lurus berkerikil, sebelum wajahnya berubah menegang penuh keterkejutan, saat baru beberapa meter melajukan mobilnya, matanya tak sengaja melirik dari kaca spion di sisi kanan.
Dan satu kejadian aneh kembali nyata di matanya. Rumah panggung bercahaya obor milik Nyi Angen, tiba-tiba menghilang. Berganti sebuah gumuk berbatu tertutupi kabut-kabut hitam melayang.

*****
Suasana hangat dalam baluran cahaya matahari pagi, di rasakan sesosok wanita berkerudung coklat gelap, berwajah pucat. Ia termenung, tertegun tanpa expresi. Kilat kesedihan sangat jelas memancar dari dua bola mata beningnya.
Membuat lelaki yang berada di sampingnya, tertunduk, seolah ikut merasakan beban batin yang mendera jiwa wanita yang tak lain istrinya sendiri.
"Kita belajar Ihklas, Buk. Mungkin, ini sudah jalan hidupnya Win. Ingat, Kan? Apa yang di katakan Abah? Bila semua bakal kembali kepada Allah." Sang lelaki tak lain adalah Lasno, mencoba menghibur dengan ucapannya, pada Murni yang baru saja tersadar dari lingkaran Lirang Pancer.
Murni hanya diam. Matanya masih menatap kosong, melawan arah matahari. Meski ia bersyukur bisa selamat, namun jiwanya benar-benar terguncang. Mendapati jika anak satu-satunya sudah tiada. Bahkan, cucu yang baru beberapa hari melengkapi kebahagiaanya kini entah di mana.
Memikirkan hal itu, membuat mata Murni terlihat berkaca, dan tak berapa lama, buliran-buliran bening akhirnya tak terbendung menetes, membasahi kulit pipinya yang masih putih lemir.
Lasno yang menyadari akan rasa kehilangan dan kepedihan batin Murni, merengkuh kepala wanita yang telah menemaninya kurang lebih 25 tahunan. Guratan penyesalan lagi-lagi membelenggu diri Lasno. Membuat matanya ikut merabak merah, seolah marah. Marah pada dirinya sendiri.
Sudah tiga hari Murni tersadar dan dalam tahap pemulihan. Tak ada yang janggal, aneh, dengan sikapnya. Namun, di hari ke empat, Murni menunjukan gelagat tak biasa. Berawal dari keinginannya yang kuat, untuk datang ke rumah Win dan Diro.
Meski, berulang-ulang Lasno memberi pengertian, tapi Murni tetap kekeh. Bahkan, nasehat dari Ahlul Bait yang sudah menolongnya, juga tak di gubris. Murni terus bersikeras untuk datang dengan alasan ingin mengunjungi makam Win.
Sampai akhirnya, Lasno mengalah.

Dengan terpaksa ia menuruti kemauan Murni, walaupun benaknya di liputi perasan tak nyaman. Apalagi, sepanjang perjalanan, Lasno melihat binar aneh dalam wajah Murni.
Ia hanya terdiam, meski berkali-kali Lasno bertanya membuka percakapan, tak ada respon apapun dari Istrinya.
Lasno semakin merasa hawa tak enak, saat mobilnya memasuki jalanan Desa, menuju rumah terkutuk yang hampir membunuhnya. Ingin rasanya ia memutar mobil dan kembali, andai tak memikirkan Murni saat itu.
Keraguan sesaat menggurat di wajah Lasno, untuk turun dari dalam mobil, setelah ia sampai dan memarkirkan di halaman rumah suram beraura pekat. Namun, melihat Murni yang lebih dulu turun, pikiran liar dan keraguannya ia tepis jauh-jauh.
Sedikit takut Lasno ketika mengikuti langkah pelan Murni. Masih jelas membayang di pelupuk matanya, kejadian-kejadian mengerikan di rumah itu, di halaman itu, di tanah yang tengah ia pijak.
Sampai satu pemandangan, tanpa sadar menghentikan langkahnya. Di sudut sana, di ujung batas tembok halaman belakang, tepatnya di sisi sebelah kiri, Lasno melihat puing-puing dari bangunan yang terbakar.
Entah apa yang ada dalam pikiran Lasno saat itu. Ia seperti tertarik sesuatu untuk mendekati bangunan yang tampak hitam pada dinding-dindingnya. Tanpa menyadari, jika dirinya datang bersama Murni.
Tak ada apapun, tak ada siapapun yang di lihat, sesampainya ia di tempat itu. Kecuali, hitam arang dan sisa kayu yang hangus terbakar. Lasno kembali melangkah pelan, berkeliling, mengamati tiap-tiap sudut bangunan kecil yang sudah porak-poranda.
Lasno terdiam sebentar, seperti baru menyadari jika tujuan utamanya adalah menuruti istrinya. Seketika itu juga, Lasno berbalik dan setengah berlari saat teringat Murni. Ia mencoba memanggil, menyebut nama Murni ketika kakinya sampai di ambang pintu belakang.
Hening, sunyi. Tak ada sahutan apapun dari dalam, membuat perasaannya di cekam rasa takut. Sebab ia tau, jika di dalam bangunan mewah itu tersembunyi puluhan Iblis yang mengerikan. Walau rasa takut menyusup kencang dalam benaknya,
Lasno memberanikan diri menapaki lantai ruang belakang rumah Win dan Diro. Perlahan suara derap langkahnya terdengar mengiringi suaranya yang terus memanggil nama Murni.
Hawa lembab benar-benar di rasakan tubuh Lasno. Padahal, saat itu matahari bersinar terang. Tapi, seolah terik dan panas sang surya tak sedikitpun menyentuh atau merubah hawa dalam rumah yang sudah ketiga kalinya Lasno rasakan.
Lasno terus melangkah setapak demi setapak. Menyusuri tiap-tiap lorong, membuka satu persatu kamar yang di laluinya dengan jantung berdebar. Ketika tinggal satu kamar yang terletak di ujung, Lasno sejenak menghentikan kakinya.
Wajahnya tiba-tiba saja mempias penuh ketegangan, saat sayup-sayup suara tertawa lirih tertangkap pendengarannya.

Suara itu, tawa cekikikan itu, di rasa telinga Lasno tak asing. Membuat jantungnya semakin berdebar kencang.
Lasno terus saja menguatkan dirinya, dengan memanggil kembali nama Istrinya. Tapi, suara tawa itu, lagi-lagi yang seperti menyahutinya.

Ciut nyali Lasno, keberaniannya sudah menipis, namun demi menemukan Murni, kakinya ia langkahkan mendekati kamar terakhir.
Belum sampai tangan Lasno menekan handle pintu, ia sudah di sambut angin tipis yang membawa bau wangi bunga melati. Membuatnya lagi-lagi menunda sebentar. Di tambah suara tawa ngikik jelas berasal dari dalam kamar, semakin mencampur aduk pikiran dan perasaan Lasno saat itu.
Lasno terdiam sebentar. Mengingat beberapa doa yang sudah di ajarkan Sang Ahlul Bait. Setelahnya, Lasno mantap menekan dan membuka pintu kamar itu. Sekejap, tubuh Lasno terasa dingin, demi mendapati pemandangan pertama dalam kamar itu,
satu bayangan putih melayang dengan suara tawanya yang lirih. Namun, bukan itu yang membuat jantung Lasno seperti berhenti berdetak. Melainkan, sosok Murni, Istrinya, tersimpuh di samping ranjang bersimbah darah.
Darah yang mengalir deras dari pergelangan tangan kiri Murni, tersayat pisau kecil mengkilap masih dalam genggaman erat di tangan kanannya.

Lantunan kidung merdu khas Jawa, terdengar mendayu dari teras rumah penuh ukiran sore itu.
Sebuah rumah lawas nan kokoh yang baru beberapa hari terlihat dan terdengar nafas kehidupan di dalamnya.

Tembang-tembang Jawa berlirik, terus mengalun merdu penuh penjiwaan.Tapi kali ini, tembang berirama yang bila di artikan sebuah pujian dan nasehat, bernuansa keceriaan.
Adalah sesosok perempuan sedikit sepuh, yang melantunkan sembari mengayun pelan seorang bayi mungil dalam gendongannya. Rautnya penuh kebahagiaan, menatapi wajah polos calon Geteh Pengarep yang tertidur dengan nyaman dalam dekapan sang Nenek.
Seakan tau makna dari kidung, melambangkan sebuah ungkapan kasih sayang.

Tak berapa lama, dari dalam rumah, muncul seorang wanita muda berwajah cantik, menyunggingkan senyum ceria.
Mendekat dan ikut menimang bayi laki-laki yang telah ia jaga selama sembilan bulan dalam rahim, dengan bertaruh nyawa.

"Wes surup, gowonen mlebu Sanajaya. Mulai akeh seng moro."(Sudah petang, bawa masuk Sanjaya. Mulai banyak yang datang.)
Dua wanita yg tak lain Laswati dan Wuri, saling pandang. Mendengar suara tua dari dlm, memberi perintah untuk segera masuk membawa Sanjaya. Sebentar Laswati dan Wuri mengedarkan pandangannya. Menatapi tiap2 sudut halaman berbatasan dengan jalan, yang memang mulai terlihat gelap.
"Gowonen mlebu, Nduk. Ancen arep peteng delok ngkas."(Bawalah masuk, Nduk. memang mau gelap sebentar lagi.) ucap Laswati seraya menyerahkan Sanjaya kecil dari gendongannya.
Wuri yang menerima segera melangkah masuk ke dalam. Mendahului Ibunya yang tengah menyalakan obor, di tiap-tiap pilar kayu sudut teras rumah. Langkah Wuri baru berhenti di sisi sesosok wanita sepuh berwajah pucat yang sedang duduk di kursi goyang.
Mata wanita itu sepintas menatap Wuri dan Sanjaya kecil, sebelum kembali memandangi keremangan suasana luar dari jendela kayu di depannya.
"Wes tok toto bubur jenange, Nduk?"(Sudah kamu susun bubur jenangnya, Nduk?) tanya wanita Trah garis kedua Rengko Sasmito, Mayang.

"Sudah, Mbah," jawab Wuri pelan.

"Iku ngono ojo sampek mbok lalekne, sak durunge pancere Sanjaya kisat, lan mbalek nang sungkut selongmu."
(Itu semua jangan sampai kamu lupakan, sebelum tali sukma Sanjaya mengering tuntas, dan kembali pada tempat ruang rahim khususmu.)

"Mergo ... Mbok deloen dewe, kae."(Karena ... Kamu lihat sendiri, itu.)
Mayang tak meneruskan alasannya. Tapi ia memberi isyarat pada Wuri, untuk menyaksikan sendiri satu pemandangan di luar.

Tubuh Wuri seketika merinding. Matanya membelalak lebar, melihat puluhan mahluk menyeramkan dari wujud yang berbeda dan beraura hitam.
Mereka berdiri, berjejer, mengelingi halaman depan dengan tatapan satu tujuan, Sanjaya.

"Demit iku kabeh pengen nduweni getihe Sanjaya. Mulo nek mongso surup ngene, ojo ucul seko gendongan lan ojo lali jenang abang putih.
Syarat kanggo bature Sanjaya ben ora ke gowo mlebu alam lembut."(Demit itu semua ingin memiliki darahnya Sanjaya. Maka kalau sudah masuk waktu surup begini, jangan lepas dari gendongan dan jangan lupa jenang merah putih.
Syarat untuk empat pancer galangan limo Sanjaya supaya tidak ke bawa masuk jagad lelembut.).

"Lungguho njero kono, Nduk. Makhluk iku ora bakal iso mlebu teko njero kene, tenango."(Duduklah ke dalam sana, Nduk. Mahluk itu tidak akan bisa masuk sampai dalam sini, tenang saja.)
Laswati, yang baru saja masuk setelah merampungkan tugas rutinnya, ikut angkat bicara. Meski ada sedikit guratan kekhawatiran, namun tak sampai terlihat seperti wajah Wuri.
Wuri mengangguk pelan, mendengar perintah Ibunya. Lalu melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkan dua sosok wanita kuat yang selalu menjaganya.
Hari demi hari selalu Wuri rasakan hal yang sama ketika petang menjelang. Aktifitasnya bersama Sanjaya di luaran, hanya terbebas saat waktu siang. Selebihnya, ia akan habiskan dalam cengkraman dan kungkungan suasana mencekam dalam rumah.
Walau tak sekalipun makhluk-makhluk bermacam bentuk, yang selalu datang di kala senja bisa masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, Wuri, Laswati dan Mayang tetap waspada. Mereka tak ingin kejadian di Banyuwangi, tepatnya di rumah peninggalan Mbah Sinom terulang.
Mereka sadar, jika banyak manusia penganut golongan ilmu hitam mengincar Sanjaya. Untuk itu, setiap hari mereka memilih menutup diri dan menyamarkan status Sanjaya dari khalayak ramai.
Laswati, menjadi garda depan perlindungan untuk Wuri dan Sanjaya, menggantikan Mayang yang mulai melemah akibat kenekatannya melawan sosok Jrangkong. Ia tak mampu lagi melakukan ritual-ritual apapun. Kesemuanya ia serahkan pada Laswati, mengingat luka dalamnya tak kunjung sembuh.
Hening, sunyi, setiap malam keadaan rumah peninggalan dari Mbah Rengko Sasmito. Seorang tokoh paling di segani, di hormati sekitaran wilayah desa Krajan. Menjadi Trah golongan putih, meski menganut aliran Kejawen.
Tak ada kegiatan apapun, tak pernah sekalipun pintu rumah terbuka, layaknya rumah-rumah penduduk lainnya bila malam telah merambah. Tapi semua itu tak sampai membuat kecurigaan tetangga dan Warga sekitar. Sebab mereka tau dan mengenal asal-usul, siapa sosok Mayang dan Laswati.
Keadaan dan kehidupan seperti itu bertahan dan di jalani ketiganya sampai beberapa lama. Sebelum satu malam, tepat di malam ke 41 mereka menempati rumah itu. Satu kejadian merubah segalanya.
Berawal dari datangnya sapuan angin kencang susul menyusul, membuat Laswati berniat untuk keluar rumah guna menghidupkan obor dan dimar yang padam. Namun baru saja selangkah kakinya menapak lantai teras, Laswati sudah di kejutkan satu suara keras dari Mayang.
"Ojo mbok teruske! Cepet mlebu, tutupen lawange!"(Jangan kamu teruskan! cepat masuk, tutup pintunya!)
Sejenak Laswati terdiam heran, mendengar suara Mayang yang panik dan penuh kecemasan. Tapi setelah dirinya masuk dan kembali menutup pintu, baru dirinya menyadari jika sapuan angin itu membawa hawa aneh di dalam rumah.
Hawa yang membuat jiwanya tercekat, tercekam, dalam kekhawatiran. Karena ia tau dan telah beberapa kali merasakan hawa anyep itu, menjadi satu tanda sebuah kematian.

"Ada apa ini, Buk?"
Wuri, yang mendengar suara keras Mayang terlihat panik. Tak berapa lama, ia pun ikut merasakan ketegangan sama halnya dengan Laswati dan Mayang.
"Ojo mbok tinggal dewe Sanjaya! Cepet gendongen, gowo metu rene."(Jangan kamu tinggal sendiri Sanjaya! cepat kamu gendong, bawa keluar sini)

Wuri tersentak, setelah pertanyaannya di jawab satu perintah oleh Mayang.
Menyadarkannya akan keadaan Sanjaya yang ia tinggal sendiri di dalam kamar.

Buru-buru Wuri melangkah masuk. Mendekap dan membawa keluar tubuh kecil terbungkus kain jarik milik Sanjaya.
"Laswati, siap-siappo. Ono dayoh kurang ajar seng teko,"(Laswati, siap-siaplah. Ada tamu kurang ajar yang datang,) ucap Mayang memberi peringatan Laswati.
Tertatih langkah Mayang mendekati Wuri. Rasa sakitnya seolah hilang mendapati hawa anyep menyliring, seperti mengurung dalam rumah.

"Tamu siapa yang Mbah maksud?" tanya Wuri, setelah Mayang berada di sampingnya.
"Belum tau, Nduk. Kelihatannya tamu ini bukan sembarangan. Ia mampu menembus Jangkar Semeti yang di pasang Romo," jawab Mayang resah.

"Bluuukk...!"

Keras, seperti benda terjatuh di halaman depan. Membuat ketiganya terdiam saling pandang.
Laswati yang saat itu berada tepat di samping jendela, menempelkan matanya. Mencoba melihat sesuatu yang ada di halaman. Kosong, hanya kesunyian dan kegelapan yang tertangkap pandangannya.
Namun, hal itu justru membuatnya semakin cemas. Sebab tak lama, setelah suara sesuatu terjatuh, hawa anyep dalam rumah berganti hawa panas.
"Apa yang kamu lihat?" tanya Mayang pada Laswati, terlihat masih terpaku di samping jendela.

"Tidak ada apa-apa, Bulek," jawab Laswati.

"Aneh!" gumam Mayang lirih.

"Apa yang aneh, Mbah?" tanya Wuri, semakin di rundung kecemasan.
"Sepertinya ada maksud lain. Bukan Sanjaya tujuannya." sahut Mayang, mencoba menerka keadaan.

"Lalu, apa tujuan tamu itu Bulek?" Laswati yang baru saja mendekat, ikut merasa penasaran dan bertanya.
"Entahlah, belum bisa di tebak," jawab Mayang, seraya menatap sayu Sanjaya kecil tertidur dalam dekapan Wuri.

Lama ketiganya duduk dalam ketegangan. Saling mengatur degupan jantung masing2 sembari berdoa dalam hati. Mengingat, suasana hening namun sangat di rasa mencekam.
Kepanikan seketika kembali menjalar. Saat Sanjaya yang terpejam tenang, mendadak menangis keras memecah kesunyian. Berulang-ulang Wuri, Laswati dan Mayang berusaha mendiamkannya. Akan tetapi, suara tangis Sanjaya semakin mengeras dan melengking.
Sadar akan keganjilan pada tangisan Sanjaya, Mayang berdiri. Mengedarkan pandangan sejenak, sebelum meminta Laswati untuk memapahnya melangkah ke dalam kamar. Tak berselang lama, keduanya kembali dengan membawa secarik kain hitam beraroma wangi melati.
"Coba, Nduk. Kamu tempelkan di kening Sanjaya." Perintah Mayang, seraya menyerahkan secarik kain wangi itu.
Sayang, usaha itu pun tak membuahkan hasil. Sanjaya masih saja terus menangis, seolah tak merasakan apa-apa dengan kain hitam yang menempel di keningnya. Namun dari semua itu, ada yang aneh.
Mayang, setelah melihat sepintas Sanjaya. Ia terlihat manggut dan menyunggingkan senyum sinis dari sudut bibir sepuhnya. Seakan ada yang sudah ia pahami dari semua keganjilan malam itu.
"Nduk Wuri, bawa saja Sanjaya ke dalam. Rupanya bukan Geteh pengarep yang mereka inginkan," ucap Mayang setelah menyandarkan punggungnya di kursi.
"Apa maksud, Bulek? Mereka? Mereka siapa? Dan apa yang di inginkan?" Laswati mencerca pertanyaan, kala mendengar dan menyimak perubahan pada wajah Mayang.
"Antara aku dan kamu, Laswati. Mereka menginginkan darah Laweyan Lenggan," lirih suara Mayang. Tapi sanggup membuat Wuri serta Laswati saling tatap dan tergetar.
"Cepat, Nduk! Bawa masuk Sanjaya! Biar Aku yang menyambut mereka. Dan kamu Laswati, jaga Wuri." Sambung Mayang kali ini dengan suara tegas.
Keanehan lagi-lagi di rasa Wuri dan Laswati, melihat Sanjaya tetiba saja berhenti menangis, setelah mendengar ucapan-ucapan Mayang. Seakan tau arti dan maksud, bakal semua kejadian malam itu.
Wuri yang sekali lagi melihat anggukan kepala Mayang sebagai isyarat, segera melangkah ke dalam di ikuti Laswati. Tapi belum sampai lima langkah, mereka di kejutkan suara pintu depan terbuka dengan keras.
"Buk'." jerit Wuri tertahan seraya merapatkan tubuhnya pada Laswati. Tangannya mendekap erat Sanjaya kecil yang sudah kembali terlelap dengan raut penuh kecemasan.

"Tenang, Nduk. Ada Ibu di sini," sahut Laswati, seraya menamengkan dirinya di depan Wuri.
Suasana sepintas hening. Tak ada sesuatu apapun muncul dari pintu yang sudah terbuka lebar. Hanya hembusan angin dingin di rasa sedikit menyejukkan hawa di dalam. Sampai akhirnya, dua tarikan nafas kemudian, sekelebat bayangan hitam memanjang terlihat masuk ke dalam.
Terus dan terus, klebatan hitam berbau anyir masuk ke dalam rumah. Berputar cepat memenuhi ruangan dan mengurung Mayang, Laswati dan Wuri. Ketiganya terpaku. Merasakan ruangan menjadi lembab, anyir, terselimuti bayangan hitam pekat tak berujung.
"Laswati cepat, bawa Wuri dan sanjaya masuk!" Teriak Mayang, tersadar akan keadaan saat itu.

"Tapi....?"

"Jangan membantah! Ini bukan main-main!" sahut Mayang memotong ucapan Laswati yang ragu.
Tak menunggu lagi. Laswati segera menggandeng Wuri untuk meninggalkan ruangan itu. Namun sayang, belum lagi Wuri mengayunkan kakinya, ia sudah terpekik. Ketakutanya semakin mencuat, mendapati suara mendesis panjang dari seekor Ular hijau bermata merah.
Meski tak terlalu besar, ada keanehan tertangkap mata Wuri dan Laswati, dari ular yang melingkar memenuhi ruang pintu menuju kamar.
"Mundur kalian!"

Lagi-lagi, Mayang berteriak parau. Memberi perintah Laswati dan Wuri untuk kembali. Setelah dirinya sekilas ikut melihat ular bermata merah menyala, dengan kepala di tumbuhi rambut-rambut hitam berbau anyir menghadang langkah keduanya.
Kini, Mayang berganti melangkah ke arah pintu, ketika Wuri dan Laswati sudah mundur menjauh. Langkahnya yang pelan tertatih sebentar berhenti tepat di depan pintu.
Di mana Ular itu masih melingkar dan mendesis, memperlihatkan lidah hitam menjulur di sela-sela dua taring panjang dari mulutnya.
"Opo karepmu!?" ucap Mayang sengit, kepada sosok Ular yang tinggal berjarak beberapa jengkal saja. Seolah Mayang tau jika Ular itu hanya sebuah jelmaan.
Benar saja, ular itu perlahan bergerak. Memudarkan lingkarannya seakan mengerti, mendengar ucapan Mayang. Dan setelah memanjangkan tubuhnya, Ular itu merayap lurus menuju pintu keluar sampai menghilang di ikuti lenyapnya bayangan hitam pekat dalam ruangan.
Wuri dan Laswati yang masih di rundung ketakutan, sedikit tertegun menyaksikan kejadian antara Mayang dan sosok ular hijau yang sudah berlalu. Tanpa mereka ketahui alasan kepergian Ular itu, bakal terjadinya satu hal mengerikan bagi mereka.
"Laswati, Nduk Wuri. Mari iki, tetep manggon kene. Omah iki ojo mbok tinggalno. Rumaten, uripo soko peninggalane Romo. Jogonen kabeh opo seng di tinggali leluhurmu."
(Laswati, Nduk Wuri. Setelah ini, tetap tinggal di sini. Rumah ini jangan kamu tinggalkan. Rawatlah, hiduplah dari peninggalan Bapak. Jagalah semua apa yang di wariskan leluhurmu.)
Terperanjat Laswati dan Wuri mendengar penuturan Mayang. Mereka terlihat bingung, akan ucapan Mayang bermakna sebuah pesan mendalam.

"Apa maksud, Bulek? Bukankah Iblis itu sudah pergi?" tanya Laswati, belum bisa menangkap arti sesungguhnya.
"Yang di inginkannya darah Laweyan Lenggan. Dia sekarang menungguku di luar," jawab Mayang sembari menatap sendu.

"Siapa sebenarnya yang melakukan ini? Dan ... bukankah saya-lah Law...."

"Cukup, Laswati! Jangan kamu teruskan." Tegas ucapan Mayang memotong kalimat Laswati.
"Jangan bodoh kamu. Ingat! Wuri, Sanjaya, masih membutuhkanmu. Kita tak mungkin bisa mengalahkan atau lari dari mahluk kiriman itu,"
"Nduk Wuri, jangan lagi percaya dengan sang Abdi Sasongko. Penghianatan ini akan menjadi tetesan tumbal terakhir baginya dari Trah Rengko. Sekaligus pemutus pertalian darah antara Sanjaya dan keturunan dari Trah Suyono, sampai kapanpun."
Sambung Mayang dengan menyunggingkan seulas senyum, sebelum kakinya mengayun pelan menuju pintu dan keluar.

Laswati yang ingin mengikuti, harus rela tertahan bersama Wuri. Ia tak berani lagi membantah atau melawan perintah serta larangan Mayang.
Mereka hanya bisa berdoa dengan tetesan bulir bening dari kelopak mata.

Tubuh Wuri dan Laswati semakin terbasahi oleh keringat yang mengucur deras. Sama halnya dengan air mata mereka, ketika tak lama, telinga mereka mendengar dentuman2 kecil disertai pekikan-pekikan tertahan.
Laswati goyah, tubuhnya bergetar hebat, sebelum berubah dingin dan tersimpuh, saat satu jeritan menyayat lalu di susul tawa nyaring melengking dari luar, membuatnya yakin akan kekhawatiranya telah terjadi. Yaitu, kematian Mayang.
"Buk."
Laswati tak bergeming, meski berkali-kali Wuri memanggil dan menyentuh bahunya. Ia terhanyut dalam lamunan amarah dan kesedihan, melihat kenyataan satu-satunya sisa darah Trah Rengko yang selama ini menjadi pelindung Wuri dan dirinya,
harus tertumpah kembali oleh keserakahan Abdi Sasongko, Sudiro.

Seonggok tubuh tergeletak di depan pintu, tanpa nafas, putih bagaikan kapas membujur kaku, menjadi awal tangisan Wuri dan Laswati. Raungan keduanya menyayat menggema,
memecah sunyi malam dan mengundang beberapa orang yang mendengar, untuk ikut menyaksikan kengerian dari jasad melotot Mayang.
Dalam, sangat mendalam duka di rasa Laswati. Kehilangan Mayang, sama saja dengan kehilangan separuh nafasnya. Membuat gumpalan rasa dendam teramat sengit, mengobarkan semangatnya untuk bisa membalas.
Berbeda dengan Sudiro. Ia terlihat semringah, menatap cawan keemasan berisi cairan kental merah kehitaman di depannya. Suka citanya atas keberhasilan Suyuti dengan bantuan seorang lelaki tua. Membunuh guna mendapat darah Mayang, menghidupkan harapannya kembali.
Sesekali, matanya melirik ke arah dua tubuh terbaring bertelanjang dada. Membujur lemah tanpa daya dgn keadaan memprihatinkan. Dua tubuh milik Mbah Lenggono dan Wito. Semakin menghitam dan tersisa kulit membungkus tulang, membuat satu kengerian tersendiri siapapun yg melihatnya.
Sementara di sisi lain. Tak jauh dari tempat Diro berada, atau tepatnya di depan sebuah tampah berisi sesajen, menghadap pada tiga tengkorak kepala, juga terbujur seonggok tubuh bertutup kain hijau. Sepintas terlihat seperti jasad kaku tanpa sukma.
Namun jika di lihat lebih dekat, ada gerakan naik turun dari dada tubuh itu. Menunjukan jika masih ada nafas dan nyawa bersemayam di dalamnya.

Satu lantunan iringan mantra dari suara lelaki tua, tak lama menyibak kain hijau dan membangkitkan tubuh pucat di dalamnya.
Suyuti, nampak sedikit bingung saat membuka mata. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih dan baru kembali setelah tiga tiupan dari mulut bergigi hitam lelaki tua di sampingnya, menyapu wajah pucatnya.
Pikiran Suyuti seketika melayang jauh. Mengingat semua dari awal, dari pertama tubuhnya, raga kasarnya, yang menjadi media kiriman untuk menyerang dan membunuh, demi kepentingan mengambil darah sang Laweyan Lenggan.
"Wes rampung, Le. Koe wes berhasil. Koe wes bebas seko ritual Kemayen Pati iki," (Sudah selesai, Nak. Kamu sudah berhasil. Kamu sudah bebas dari ritual Kemayen Pati ini,) ucap lelaki tua, tak lain sahabat dari Nyai Angen.
Mbah Atmo, salah satu dari sekian banyak penganut ilmu hitam yang di cari Diro atas saran Nyai Angen. Kemampuan ilmu kiriman melalui media raga kasar seseorang tak bisa di ragukan.
Terbukti, dengan media tubuh Suyuti, ia berhasil membunuh dan menumpahkan darah Mayang ke dalam cawan melalui sebuah ritual. Kemayen Pati, satu ritual Iblis yang akan membunuh dengan cara menghisap habis darah korbannya.
"Kono adus banyu kembang, ben mbalek utek menungsomu," (Sana mandi air bunga, biar kembali pulih otak manusiamu,) Kembali Mbah Atmo berucap memberi perintah. Lalu tak lama, Suyuti bangkit dan melangkah kebelakang, guna menuruti perintah Mbah Atmo, Mandi Kembang.
"Angen, urusanku wes rampung. Saiki geteh iki dadi urusanmu." (Angen, urusan saya sudah selesai. Sekarang darah ini jadi urusanmu.)

Satu sunggingan senyum merekah sinis dari bibir Nyai Angen, yang baru keluar dari kamar saat mendengar penuturan Mbah Atmo.
"Maturnuwun, Kang Atmo. Bakal tak urus geteh iki gawe nyambung nyowone wong-wong iku. Upahmu, urusane Pak Sudiro,"
(Terima kasih, Kang Atmo. Akan saya urus darah ini untuk menyambung nyawa orang2 itu. Bayaranmu, urusanya Pak Sudiro,) jawab Nyai Angen sembari menatap tubuh Mbah Lenggono dan Wito.
"Heheheheee ... Iku urusan gampang. Seng penting kabeh iso rampung sesuai kekarepanmu." (Heheheheee ... Itu urusan gampang. Yang penting semua bisa selesai sesuai keinginanmu.)
Terkekeh Mbah Atmo sebelum menjawab ucapan Nyai Angen. Memperlihatkan deretan gigi hitam dan bibir tebalnya.

Sebentar kemudian, tangannya menyalakan sebatang klobot yang ia ambil dari saku baju dombornya.
Menghembuskan perlahan kepulan asap putih berbau menyengat, menikmati sebuah kemenangan sementara.

Sedang Nyai Angen, tampak bersimpuh di depan tampah sesajen bersampingan dengan Sudiro. Tujuh kerlipan api kecil dari ujung dupa yang baru saja terbakar,
menyebarkan bau wangi menyeruak, mengalahkan bau rokok klobot Mbah Atmo. Juga menjadi awal di mulainya suara gumaman lirih pelan berbait mantra, di baca bibir berbau kinangan Nyai Angen.
Erangan dan rintihan sahut menyahut antara Mbah Lenggono dan Wito. Keduanya sesaat mengeliat, mengejang, ketika tubuh kering mereka tersiram air bercampur aneka bunga warna-warni. Mata Mbah Lenggono dan Wito seketika terbelalak, terbuka melotot,
saat Nyai Angen mengucurkan darah dalam cawan bergantian. Dan tak lama, suasana terasa hening. Setelah secawan darah kental masuk ke dalam tubuh Mbah Lenggono serta Wito. Tubuh keduanya terdiam kaku, sama dengan menegangnya wajah Nyai Angen, Sudiro dan Mbah Atmo.
Nafas mereka terdengar memburu, tak sabar menanti reaksi dari ritual darah milik Mayang.

Hal itu terjadi sampai beberapa menit lamanya. Namun tak ada tanda2 tubuh Mbah Lenggono dan Wito membaik. Membuat Sudiro dan Nyai Angen saling pandang, bingung dengan keadaan saat itu.
"Ada apa, Angen?" tanya Mbah Atmo seraya melangkah mendekati tempat Nyai Angen di samping tubuh kaku Mbah Lenggono dan Wito.

Tepat, ketika kaki Mbah Atmo berhenti dan sampai di belakang Nyai Angen, raungan keras keluar dari mulut Mbah Lenggono dan Wito.
Tubuh keduanya mengejang kuat, mata semakin melotot lebar sebelum dari mulut keduanya bebarengan menyemburkan gumpalan darah hitam pekat berbau teramat busuk.
Kaget, terkejut, bersamaan dirasakan Nyai Angen, Mbah Atmo dan Diro. Mereka spontan mundur dengan wajah menegang kuat. Melihat kenyataan yang jauh dari harapan mereka.

"Celaka! Ada yang salah dengan ritual ini." Geram Nyai Angen, panik.
"Apa yang salah, Mbah?" timpal Diro yang ikut terlihat panik.

"Darah ... darah itu bukan darah dari tubuh Laweyan Lenggan." Terbata, gugup, suara Nyai Angen. Setelah tau dan menyadari kesalahan serta penyebab kegagalan ritualnya.
Detik-detik genting semakin menyelimuti ruangan berhawa lembab kediaman Nyai Angen. Manakala raungan dan jeritan keras melengking dari Mbah Lenggono serta Wito, berganti geraman marah dari dua suara wanita berbeda bersahut-sahutan.
Menandakan bila ada sosok lain dalam diri keduanya. Membuat sedikit ketakutan memancar dari wajah keriput Nyai Angen.
Lalu, tak lama kemudian, sebuah pemandangan mengerikan pun terjadi. Kala tubuh hitam kurus kering Mbah Lenggono dan Wito, mendadak bangkit terduduk. Mata keduanya nyalang. Menatap, serta menengadahkan wajah ke atas.
Mengeluarkan lolongan panjang menyayat, sebelum kembali roboh dengan simbahan darah yang keluar dari lubang telinga, hidung, mulut, bahkan mata mereka. Menjadi akhir dari sebuah ritual hitam, serta arti pengorbanan yang di berikan Mayang.

***
"Ini adalah peninggalan Kakekmu, yang dulu menjadi tempat bermain Ibumu, sebelum semuanya tercium Ilmu Iblis." Ucap Lelaki tua berkain batik lengan panjang, pada pemuda bercelana dasar dengan paduan kemeja lengan pendek garis-garis.
Sang pemuda, seperti tak begitu tertarik dengan semua ucapan lelaki tua itu. Ia lebih fokus pada benda-benda yang penuh debu dan tertutupi sarang laba-laba. Satu persatu tanganya menyentuh semua barang dalam kamar berhawa pengap.
Namun sepertinya tak ada satu barangpun yang menarik perhatiannya. Sang pemuda kembali memasuki kamar-kamar berikutnya, tapi tetap sama, hanya melihat dan menyentuh tanpa ada rasa tertarik.
Hingga sampai di kamar paling ujung belakang yang terlihat paling kecil, langkah kakinya tertahan sejenak ketika akan menapak ke dalam.
Ada keraguan dalam hatinya saat akan menyentuh gagang pintu terbuat dari kayu tua yang halus dan mengkilap. Sedikit aneh hawa yang ia rasakan dari kamar berukuran 2x3, berbeda dengan kamar-kamar sebelumnya.
"Jangan kamu buka!" Satu bisikan tegas, masuk gendang telinganya, membuatnya sedikit terjingkat.

"Ini kamar siapa dulunya, Mbah?" ucapnya, bertanya pada Lelaki tua yang mengekor di belakangnya.
"Mbah, tidak tau pastinya, tapi menurut beberapa orang yang dekat dengan orang tua dulu, kamar ini adalah kamar ritual Nenekmu. Sebab keluargamu dulu...."
"Sudah, Mbah. Jangan di teruskan!" Sahut Sang pemuda, memotong ucapan Lelaki tua yang seketika terdiam sembari membetulkan kopiah lusuhnya.
Nyeri dalam dadanya sangat terasa jika ia mengingat semua cerita masa lalu keluarganya. Meskipun sudah berlalu puluhan tahun, toh masih saja ada bekas yang sulit ia hilangkan. Sang pemuda yang urung membuka pintu kamar terakhir,
melangkah mundur dan membuka pintu yang menghubungkan dengan halaman belakang yang lumayan luas.

Tampak daun-daun kering berserakan menumpuk sampai menutup tanah berpasir, berasal dari beberapa pohon besar tinggi menjulang, tanpa buah.
Sinung dan lembab, itulah yang di rasakan Sang pemuda saat menapaki langkah demi langkah menjejaki halaman memanjang. Siutan angin sore tak seberapa kencang namun membawa kabut-kabut tipis, sejenak mengaburkan pandanganya. "Aneh" pikirnya.
Bagaimana mungkin alam sore dengan langit begitu cerah, memunculkan kabut hitam?

"Ahh ... Mungkin kebetulan saja" gumamnya, cepat-cepat membuang pikiran liarnya, meski dalam hatinya tak mengingkari hawa aneh yang kembali menyusup di benaknya.
Sang pemuda mempercepat langkahnya menyusuri halaman, dan segera kembali ke dalam rumah, di mana sang lelaki tua sudah menunggunya di teras depan, dengan wajah penuh kecemasan.
"Ada apa, Mbah?" tanya sang pemuda heran, saat menangkap raut wajah penuh khawatir dari lelaki tua yang tengah meremas jemarinya sendiri.
"Nggak apa-apa, Mas. Mbah hanya tidak terbiasa di sini saat Surup, seperti ini." Jawab Lelaki tua, masih dengan kecemasan.
"Ya sudah, Mbah. Saya pamit. Maaf tak bisa mampir, karena saya ada urusan lain. Terima kasih, Mbah, sudah mau menemani saya. Ohh, ya. Besok kalau yang mau ngontrak rumah ini jadi,
tolong Mbah yang urus semuanya." Ucap Sang pemuda, berlalu setelah menjabat tangan dan sedikit membungkukkan badan pada sang Lelaki tua.
Termangu, sang Lelaki tua, sepeninggalan Pemuda tampan, pewaris rumah yang sudah beberapa tahun ini ia jaga. Ada kesan tak enak saat rumah yang di kosongkan puluhan tahun, kini akan di tempati kembali.
Sebab ia tau, sedikit banyak tentang sejarah kelam rumah peninggalan dari Kakek dan Nenek Pemuda tadi, yang terkenal penganut KEJAWEN. Namun bukan itu yang membuatnya khawatir, tapi tragedi di balik kosongnya rumah tersebut.
Hal yang sama juga tengah di lakukan seorang Pemuda berkemeja dengan setelan jas hitam. Ia nampak berjalan menyusuri tiap lorong rumah mewah berlantai dua, yang sepertinya lama di kosongkan.
Di belakangnya, tampak seorang lelaki tua dan lelaki setengah baya, mengikuti langkahnya.

Sang lelaki muda terlihat biasa-biasa saja menatapi tiap-tiap jengkal bangunan, berornamen kental khas Jawa. Tapi berbeda dengan sang lelaki tua berblangkon.
Wajahnya menyiratkan ketakutan dengan pandangan menunduk. Apalagi, saat ketiganya memasuki halaman belakang, di mana sebuah pendopo dan bangunan kecil bersebelahan masih tampak kokoh berdiri, Sang lelaki tua, tampak sedikit gemetar dengan wajah memucat.
"Siapa yang merawat rumah ini, Mbah?" tanya Lelaki muda pada lelaki tua berblangkon, tanpa menoleh.

"Giman dan Tarji, Mas. Mereka warga sekitar. Tapi hanya siang saja. Setelah menghidupkan lampu sore, mereka pulang." Jawab Sang lelaki tua, menunduk.
"Kenapa kalau malam gak ada yang nunggu? Apa takut? Karena cerita angker rumah ini?" sahut Sang lelaki muda, dengan sunggingan sinis dari sudut bibirnya.
Tak ada jawaban dari lelaki tua. Bahkan ia semakin menunduk mendengar penuturan Lelaki muda, yang kini mewarisi Rumah Tua berlantai dua, peninggalan seorang tokoh yang amat di segani dan paling tersohor puluhan tahun silam.
Sang lelaki tua tak menampik anggapan yang di ucapkan lelaki muda tersebut. Sebab ia tau, bahkan masyarakat sekitar pun banyak yang tau akan sejarah hitam Rumah itu.
Di mana, di setiap sudut dan pilar bangunan, dari depan dan belakang, tercium aroma angker dari kekuatan hitam yang sudah menelan banyak nyawa.

***
LANJUT KE BAGIAN 10
Nangkring dulu di KARYAKARSA
karyakarsa.com/KALONG/rogoh-n…

Silahkan yang mau mendukung dulu, bisa mampir ke karyakarsa.com/kalong ya
nanti malem upload ya, maaf kelamaan 🙏bagian akhir Rogoh Nyowow.
ROGOH NYOWO BAGIAN 10 ( SELESAI )

"Rupanya iblis itu ikut membawa pergi sukmanya. Untuk sementara, kita urus jenazahnya. Dan tolong kosongkan dulu rumah ini selama 41 hari."

#bacahorror @bacahorror_id @gudangmistery @IDN_Horor Image
"Cepetan, San. Hujan hampir turun."

Seru sesosok perempuan 45an, bertapi kain jarik dengan setelan kebaya hitam, nampak ayu dan anggun dengan sanggulan rambut berkonde.
"Iya, Buk." Sahut lelaki muda, yang mempercepat langkahnya setelah tangannya mengambil dan menenteng tiga bungkus kantong hitam, dari dalam mobilnya.
Lelaki muda berkemeja hitam lengan panjang kembali memelankan langkahnya, kala ia sudah bisa menyusul sosok wanita dengan wangi kasturi menyejukan. Keduanya kini berjalan beriringan menyusuri jalanan setapak yang di apit dua sungai kecil,
sebagai sarana pengarian sawah-sawah milik penduduk, yang menghampar seluas mata memandang.

Hawa sejuk seketika terserap dalam tubuh keduanya, saat langkah mereka memasuki sebuah gapura terbuat dari bambu tanpa tulisan.
Sejenak, Sang pemuda tertegun, ketika wanita di depanya berhenti dan memejamkan matanya seraya menunduk, di depan tiga buah gundukan susunan batu-batu yang sudah berlumut.
"Sanjaya, ucapkan salam pada Eyang-Eyangmu." Tegur sang wanita ayu, saat melihat lelaki muda yang tak lain, SANJAYA, hanya terdiam di belakangnya.
"Baik, Buk." Sahut Sanjaya, seraya memejamkan matanya. Namun, dari gerakan bibirnya, ucapan salam yang di lakukan Sanjaya terlihat berbeda dengan sang Ibu.
Setelah selesai, Sanjaya mengedarkan pandanganya. Menatapi satu persatu tiga buah gundukan batu, dengan salah satu di antaranya paling tinggi dan memanjang. Terlihat aneh, saat Ibunya membakar masing-masing tiga dupa dan menancapkan pada -
tiap-tiap pangkal gundukan dengan sebuah nisan sedikit meninggi. Bukan karena aroma dupa yang menyengat, melainkan asap dupa yang menyebar, seolah membentuk sebuah bayang-bayang, seperti tengah menatapi dirinya.
"Bawa sini bunganya?" Sedikit kaget Sanjaya, saat Ibunya meminta tiga kantong hitam, yang ternyata berisi bunga tiga warna.
Sanjaya semakin terpekur, setelah menyerahkan bungkusan berisi bunga, yang kemudian di taburkan oleh Ibunya. Tak ada yang menarik bagi Sanjaya, kecuali kesan seram dari bangunan beratapkan genteng yang tampak tak terurus.
Mulai dari tiang-tiang penyangga yang mulai rapuh, hingga rumput yang lumayan tinggi mengitari luar bangunan.

Sejenak Sanjaya terdiam. Batinya tiba-tiba saja tercekat, manakala wangi dupa yang tercium semenjak di bakar Ibunya, mendadak bercampur bau aneh.
Sanjaya kemudian mengedarkan pandanganya mengelilingi sekitaran tempat makam leluhurnya. Namun hanya hembusan angin dingin dan sosok Ibunya yang tengah duduk bersimpuh menghadap tiga Makam, yang ia lihat.
Sanjaya semakin merasa hawa sekitar tempat itu terasa begitu lembab dan dingin, saat gelombang angin riuh masuk dengan membawa bau aneh, mengalahkan bau wangi kembang dan dupa yang awal menyebar.
Sampai beberapa saat kemudian, Sanjaya yang masih berdiri di belakang Ibunya, tersurut mundur, mendapati satu sosok Lelaki bertelanjang dada tengah berdiri di luar bangunan sedang menatapnya.
Wajahnya pucat, tatapanya sendu dan kosong menimbulkan rasa iba dalam jiwa Sanjaya sebelum berubah menjadi rasa takut, ketika melihat sebuah luka menganga di bagian dada sebelah kirinya.
"Jangan hiraukan sosok itu!" terjingkat Sanjaya mendengar sentakan Ibunya, yang tiba-tiba sudah berdiri dan menarik lengannya keluar dengan buru-buru.

Sanjaya yang terkejut, terpaksa menuruti langkah Ibunya, meski batinya menolak.
Apalagi, dirinya menangkap wajah tegang ibunya, seolah tau dan ikut melihat sosok Lelaki dengan bulatan hitam di kedua matanya, yang masih Sanjaya lihat tetap berdiri dan memandangi dirinya saat masih terus dalam seretan.
"Tunggu, Buk!" Seru Sanjaya, menghentikan langkah Ibunya. Setelah berjalan cukup jauh dalam seretan, sampai tak terlihat lagi bangunan Makam beserta sosok Lelaki yang membuatnya penasaran.
"Ada apa dengan Ibu?" tanya Sanjaya yang sedikit memelankan suaranya.

"Ibu, tidak apa-apa. Cuma takut kehujanan." jawab Ibunya, sambil mendongakkan wajah ayunya, yang memang saat itu langit sudah gelap tertutupi awan-awan hitam.
"Tidak! Ibu bohong. Ibu melihat sosok tadikan? Dan...dan kenapa, Ibu sepertinya ketakutan sekali." sanggah Sanjaya, sedikit parau.

"Sanjaya! Sejak kapan, kamu berani membantah sengit Ibumu?" Seketika Sanjaya tertunduk, mendengar kalimat tegas Ibunya, yg baru kali ini ia dengar.
"Sudahlah, kita pulang sekarang." ajak Ibunya yang langsung bergegas mendekati Mobil.

Sanjaya masih diam termangu, sebelum ikut menyusul Ibunya yang lebih dulu berlalu. Namun, lagi-lagi langkah Sanjaya kembali harus tertahan.
Ketika matanya menangkap satu sosok perempuan berselendang merah, berdiri di pinggir persimpangan jalan masuk ke Makam leluhurnya, tengah menatap sambil tersenyum padanya.
"Sanjaya!" Kembali suara keras Ibunya memanggil, membuyarkan rasa penasaran pada sosok cantik yang masih tersenyum, seperti sudah begitu mengenalinya.

"Apa lagi yang kamu lihat?" tanya Ibunya sedikit ketus, saat ia mulai menjalankan mobilnya perlahan.
"Apa sosok lelaki tadi?" sambung Ibunya.

"Bukan, Buk. Tapi...."jawab Sanjaya terputus.

Entah kenapa Sanjaya enggan menyebut sosok wanita berkemben, dan berselendang merah, kepada Ibunya. Seperti ada satu kekuatan membisiki yang melaranganya.
Sejenak Sanjaya tertolong dari kejaran pertanyaan Ibunya yang terlihat bertambah penasaran dengan jawabannya yang terputus, ketika dering HP dari saku celananya, membuat Ibunya urung bertanya.
Sebuah percakapan terdengar mengalir biasa saja antara Sanjaya dan seseorang yg baru sja menghubunginya lewat HP, seperti tak menarik perhatian sosok Ibunya yg duduk di sebelahnya, sebelum memasuki sebuah percakapan serius, hingga membuat Sang ibu mengerutkan kening dan menegang.
"Apa yang akan kamu lakukan dengan rumah kita, Sanjaya?" tanya Sang ibu, setelah Sanjaya menyudahi obrolanya di HP.

"Ada orang mau mengontraknya, Buk." jawab Sanjaya, sambil menoleh ke arah Ibunya sebentar.
Nampak raut wajah Ibu dari Sanjaya yang tak lain adalah Wuri, menyiratkan rasa khawatir penuh kecemasan mendengar penuturan anaknya panjang lebar tentang rumah yang sudah terjadi kesepakatan di kontrakan.
Beberapa kali dirinya memberi suatu alasan agar membatalkan, tapi nampaknya Sanjaya juga bersikukuh dengan alasan sudah terlanjur bersepakat.
Wuri, yang baru saja di landa gelisah dengan kemunculan sesosok lelaki sama persis dengan satu sosok yang puluhan tahun sudah binasa dan lenyap, kini harus kembali di hadapkan dengan kecemasan tentang rumah peninggalan orang tuanya,
yang ia tau masih di naungi satu kekuatan hitam BALAK PROJO dari tertanamnya LEMAH IRENG JALASUTO.
Apalagi, saat terakhir Laswati (Ibunya) dan Mayang (salah satu Eyangnya) sempat celaka saat nekat ingin menghancurkan kekuatan hitam itu oleh salah satu Mahluk yang bercokol dan sudah menjadikan Jenggolo di rumah itu.
"Semoga mereka mengurungkan!"

Satu gumaman lirih terdengar penuh harap, dari bibir seorang lelaki tua berkopiah lusuh.

Matanya menyorot lepas menatapi gerbang tak berpintu yang redup, tertutup sinungnya dua buah pohon besar nan tinggi yang berdiri di kanan kiri.
Wajahnya yang sudah mulai di penuhi kerutan, menggurat keresahan dan terlihat samar dari bayang-bayang kepulan asap tebal segulung rokok hasil olahan tangannya sendiri.
Sampai beberapa saat kemudian, wajahnya mendadak mempias seperti menahan rasa takut, kala telinganya mulai mendengar sesuatu dari belakang, tepatnya dari dalam rumah yang masih tertutup.
Sang lelaki tua berkain batik semakin memucat saat suara Tarhim terdengar nyaring, menandakan jika sebentar lagi masuk waktu Maghrib. Itu artinya waktu yang paling ia takuti saat berada di sekitaran rumah itu telah tiba, Surup.
"Mungkin mereka benar-benar urung datang," gumamnya sembari beranjak dan berlalu dengan cepat meninggalkan teras, setelah merasa yakin jika yang di tunggunya tak akan datang.
Namun, baru saja langkah kakinya menapak di halaman tanah berpasir, tiba2 matanya di kejutkan cahaya menyorot dari sebuah mobil yg baru saja berbelok dan masuk ke halaman. Tiga lelaki yang berada di dalam mobil, segera beranjak turun dan mendekati lelaki tua yang berdiri terpaku.
"Njenengan Mbah Toha?" tanya salah satu dari tiga lelaki muda, berkemeja kotak-kotak sambil menenteng tas hitam.

"Njeh, Pak." jawab leleki tua yang mengiyakan namanya di sebut, Mbah Toha.
"Ohh, Saya Fandi. Dan ini rekan-rekan kerja saya, Wasis dan Tanto." ucap laki-laki muda yang memperkenalkan diri dan kedua temanya, sambil mengulurkan tangan.
Mbah Toha langsung menyambut uluran tangan ketiga lelaki muda, yang sebenarnya ia sudah tau akan kedatangan dan tujuannya. Tampak seulas senyum yang di paksa keluar dari bibir tua Mbah Toha saat berbasa-basi sejenak,
sebelum mengantarkan ketiga lelaki itu memasuki rumah yang sama sekali belum pernah di masukinya saat malam, meski sudah hampir sepuluh tahun ia menjaga dan merawatnya.
"Waaooww, rumah lawas yang nyaman, sepertinya." Satu kekaguman terlontar dari lelaki muda yang memperkenalkan diri, Wasis, ketika lampu-lampu menyala terang, memperjelas isi rumah yang masih banyak menampilkan ciri khas Jawa.
Tak jauh beda dengan Wasis. Fandi dan Tanto juga terkesima melihat semua ornamen yang masih utuh, kental dengan Kejawen yang tak mereka mengerti sejarahnya.
Tak ada apapun yang ia lihat, kecuali barang-barang yang sudah di bersihkan Mbah Toha dan perabotan baru pesanan mereka. Namun, saat akan berbalik, dari salah satu kamar yang terletak paling belakang serta berukuran paling kecil di banding lainya,
tiba-tiba Tanto berhenti dan terdiam sejenak. Wajahnya menciut dengan kening berkerut ketika sayup-sayup telinganya mendengar suara wanita tengah melantunankan sebuah tembang dari dalam kamar itu.
Merasa kurang yakin dengan pendengarannya, Tanto melangkah pelan mendekati pintu kamar.

Hening, yang di rasa Tanto. Ketika ia menempelkan telinga kanannya pada daun pintu. Membuatnya sedikit lega dan merasa jika hanya perasaanya saja yang berhalu.
Tapi baru saja selangkah Tanto menjauh dari pintu, lagi-lagi suara lirih wanita layaknya Sinden, kembali terdengar oleh telinga Tanto. Bahkan, tak hanya itu, tubuh Tanto seketika merinding ketika suara tembang dengan syair menyayat di barengi-
bau harum kembang melati yang lembut tercium hidungnya.Tanto yang mulai tersusupi rasa takut, dengan jantung berdebar cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Kelegaan sejenak tersirat di wajah Tanto, setelah sampai di ruang tamu dan melihat Fandi tengah duduk di sofa. Meski jantungnya masih berdegup kencang, tapi setidaknya kini timbul sedikit keberaniannya dengan adanya Fandi.
Namun, perasaan itu bertahan sejenak. Berawal dari kecurigaan Tanto, saat suara sapaanya tak di jawab sama sekali oleh Fandi, menimbulkan segudang tanda tanya. Apalagi, ketika Fandi bangkit, sekilas mata Tanto melihat wajah Fandi yang pucat pasi.
Di tambah bau wangi Kamboja semerbak keluar dari tubuh Fandi yang berlalu, seketika membuat merinding Tanto.

"Aneh!" gumam Tanto lirih.
Tanto yang kini terduduk sendiri di sofa tamu, tertegun memikirkan sikap Fandi yang berlalu kebelakang dengan diam membisu. Ingin rasanya ia menceritakan terlebih dahulu kejadian yang dirinya alami di belakang, tepat nya di kamar paling ujung,
di mana ia mendengar kidung tembang menyayat dari suara seorang perempuan dari dalam kamar itu. Tapi sayang, Fandi sudah keburu berlalu dengan kebisuannya.
Hampir setengah jam Tanto menanti kembalinya Fandi, namun yang di tunggunya tak juga muncul. Rasa heran dan gelisah mulai menggelanyut dalam benak Tanto, saat semilir angin malam masuk melalui celah-celah atas jendela, berhawa lembab.
Heran dengan apa yang tengah di lakukan Fandi, sampai begitu lama ia tak kembali. Gelisah dengan sapuan angin yang di rasanya berbeda dan tak seperti biasanya.
Kegelisahan Tanto seketika berubah bingung mencekam dalam benak, ketika pintu yang di sangkanya telah terkunci tiba-tiba terbuka dan muncul sosok yang tengah di tunggunya, Fandi, dari depan.
Tanto terhenyak dan bangkit, saat sosok Fandi yang baru masuk mendekatinya. Perasaanya mulai tak nyaman dengan segala yang baru saja ia alami. Matanya menatap lurus wajah Fandi yang terlihat bingung akan sikapnya.
"Kamu dari mana?" sedikit bergetar suara Tanto saat bertanya.

"Lho, Aku dari tadi di luar sedang menelfon. Terus Aku dengar kamu memanggilku untuk masuk karena pintu mau kamu kunci." Jawab Fandi heran, melihat sikap Tanto.
"Aku? Aku memanggilmu masuk? Bukanya kamu tadi sudah di dalem?" jawab Tanto dengan wajah penuh expresi.

Perdebatan kecil seketika terjadi antara Tanto dan Fandi yang sama-sama bersikukuh dengan keyakinan mereka masing-masing.
Bahkan, Fandi terlihat acuh saat Tanto mengungkap kejadian ganjil yang di alaminya.

Sampai akhirnya, Fandi yang merasa jengkel serta terlihat acuh memilih untuk menyudahi dan berlalu.

"Sudahlah, kita istirahat. Capek aku," ujar Fandi berlalu meningalkan Tanto yang mematung.
"Kamu mau tidur di mana?" tanya Fandi sebelum ia memilih salah satu kamar.

"Terserah, kamu mau tidur di mana." jawab Tanto datar, membuat Fandi menggelengkan kepala sambil melangkah masuk di kamar kedua dari depan.
Tanto masih berdiri terdiam. Merekam kembali kejadian demi kejadian yang betul-betul di rasa janggal dalam rumah itu. Padahal belum juga semalam ia dan kedua temanya menempati, tapi sudah beberapa kali mengalami hal yang tak masuk akal.
"Pasti ada sesuatu di rumah ini."

Baru saja Tanto membatin, mendadak bulu-bulu halusnya meremang. Tengkuknya menebal saat menyadari dirinya sendiri di ruang tamu seperti tengah di awasi puluhan pasang mata.
Tak mau berlama-lama dalam ketakutan, Tanto segera memutuskan untuk masuk ke kamar bersama Wasis. Kamar pertama dari depan, yang pernah di tempati sesosok wanita cantik, Wuri Handayani.
Bebeda dengan Fandi, yang memilih tidur sendiri di kamar kedua. Meski terlihat bersih dan rapi, namun ada rasa tak nyaman menyusup benaknya ketika ia merebahkan tubuhnya di ranjang empuk bertilam kain putih nan halus.
Bukan hanya hawa lembab yang membuatnya tak nyaman, tapi juga isi dalam kamar.

Fandi merasa jika kamar yang ia tempati sedikit menyeramkan, mulai dari pencahayaan yang remang, bentuk ranjang dan segala ornamen kesemuanya dari kayu berukir Jawa kuno,
membuatnya seperti tengah berada di alam jauh.

Malam sudah merambat jauh, kesunyian sudah melelapkan sebagian hamba-hamba di bumi. Namun bagi Fandi, malam pertama di rumah itu, yang ia kontrak selama urusan kerja bersama kedua temanya, terasa begitu panjang penuh kejanggalan.
Ia yang awal menampik anggapan Tanto, sediki demi sedikit mulai membenarkan dan merasakannya sendiri.

Berawal dari telinganya mendengar suara pintu depan terbuka dan tertutup berulang-ulang seolah tengah untuk mainan.
Beberapa saat ia diamkan suara itu, sampai akhirnya Fandi yang sudah merasa terganggu beranjak dari pembaringan untuk memastikan.

Tak ada yang aneh di lihat Fandi. Pintu yang ia yakini sebagai sumber suara berisik, terlihat aman dan masih tertutup rapat.
Sebentar Fandi memastikan dengan memeriksa keadaan pintu yang ternyata sudah terkunci, sebelum beranjak kembali ke kamar. Namun, baru saja kakinya selangkah masuk kamar, tiba-tiba tubuhnya merinding saat hembusan angin lembut teramat dingin menyapu wajah dan lehernya.
Ada keraguan dalam diri Fandi saat itu, kala rasa takutnya mulai terbangun dengan satu hal yang baru saja ia rasakan. Belum lagi suasana kamar yang semakin lembab dan menyeramkan selepas tiupan angin yang seperti ikut masuk.
Tapi, Fandi masih mencoba untuk bertahan dan memberanikan diri kembali berbaring.
Mata Fandi mulai mengerjab setelah beberapa kali mulutnya menguap, menandakan rasa kantuknya sudah menyerang. Akan tetapi, belum sempat ia terlelap penuh, kembali Fandi terjaga dengan keterkejutan.
Matanya dengan cepat mengedar sekeliling, menatapi tiap-tiap sudut kamar mencari sumber suara tangisan lirih yang mengusik tidurnya.

Untuk beberapa saat, Fandi terdiam. Seperti tengah memastikan kesadarannya. Sampai akhirnya wajah Fandi berubah memucat ketika dirinya benar-
benar memastikan jika nyata mendengar suara tangisan meratap seorang wanita.

Suara tangisan yang kadang di iringi rintihan, kini Fandi bisa pastikan berasal dari kamar sebelah.
Sebuah kamar yang berukuran paling kecil di banding kamar lainya, dan sempat di singgung oleh Tanto saat debat dengannya. Namun baru sekarang, Fandi percaya jika ada kejanggalan di kamar itu.
Fandi mulai ketakutan saat suara tangisan dan rintihan, sebentar kemudian berubah sebuah jeritan menyayat berkali-kali. Apalagi, saat itu Fandi juga merasa jika di dalam kamarnya, seperti banyak sosok-sosok yang berdiri mengelilingi ranjang sedang menatapinya.
Fandi akhirnya bangkit dari pembaringan. Ia sudah tak mampu membendung ketakutan yang menyelimuti dirinya. Langkahnya cepat meninggalkan kamar dan berniat masuk ke kamar pertama bersama kedua temannya. Tapi, lagi-lagi langkah Fandi harus terhenti.
Bukan saja bau gosong menyengat tercium pekat di hidungnya, yang membuat tubuhnya gemetar, melainkan satu sosok hitam yang tingginya dua kali dari dirinya, sudah berdiri di depan kamar.
Keringat mengucur deras membasahi tubuh Fandi, sebelum berubah kaku dan dingin ketika ia menengadahkan wajahnya, menatap wajah sosok hitam di depannya yang hanya terlihat sorot matanya saja yang putih rata.
Fandi menjatuhkan tubuhnya yang sudah tak mampu untuk berdiri. Ia terduduk berselonjor menyandar ke dinding. Nafasnya tersengal dengan mata mulai sayu dan mengerjab perlahan, sebelum semua terlihat gelap serta hitam, sehitam sosok di depannya.

***
"Ini awal yang buruk"

Satu suara berat dari Mbah Toha, membuat Tanto dan Wasis saling pandang. Kening keduanya berkerut, menatap penuh rasa penasaran pada wajah tua di hadapan mereka.

"Apa maksudnya, Mbah?" Wasis yang tak sabar, memberanikan diri bertanya.
Mbah Toha sendiri seperti mengacuhkan ucapan Wasis, ia tampak fokus memeriksa sekujur tubuh membiru, Fandi, yang di temukan Tanto tergeletak di lantai depan kamar.
"Mbah, hal buruk apa? Yg Mbah Toha maksud?" kembali Wasis yang di rundung rasa penasaran mengulang pertanyaanya pada Mbah Toha.

Sejenak tangan Mbah Toha terhenti dari mengurut kening Fandi. Ia memalingkan wajah sebentar pada Wasis, yang terlihat begitu mengharap sebuah jawaban.
"Omah Iki ora keno gawe sembarangan. Akeh Cikal Pancer seng wes ketandur sak kelilinge. Mulo tak saranke, golek kontrakan liyane ae."
(Rumah ini tidak bisa untuk sembarangan. Banyak Sukma buangan yang sudah tertanam di sekelilingnya. Maka dari itu Saya sarankan, cari kontrakan lainya saja.)" Jelas Mbah Toha.
"Opo maneh, koncomu iki wes ketemu Rojo Jenggolone kene. Bakal dowo urusane yen tetep nekat mbok teruske manggon kene."
(Apa lagi, temanmu ini sudah bertemu Pimpinan dari semua mahluk yang bersemayam di sini. Akan panjang urusannya jika tetap nekat meneruskan untuk tinggal di sini.)" Sambung Mbah Toha, dengan penuh expresi kekhawatiran.
"Ada apa sebenarnya di rumah ini, Mbah? Dan siapa yang sudah mencelakai teman saya ini?" sahut Wasis yang seperti belum percaya dan mengerti dengan penjelasan Mbah Toha.

"Maaf, Saya tidak bisa menceritakannya," jawab Mbah Toha, sambil berdiri.
"Lalu, bagaimana dengan keadaan teman saya ini, Mbah?" Tanto, yang sedari tadi hanya diam, ikut bertanya.

Mbah Toha terdiam sebentar, matanya kembali menatap tubuh lemah Fandi yang sudah tertutup selimut,
menyiratkan keprihatinan tersendiri yang mendalam dengan apa yang sudah menimpa pada diri Fandi.

"Temanmu tersandra sukmanya. Dan hanya Sang Pewaris, yang bisa mengembalikan ke Badalnya." jawab Mbah Toha, seraya menarik nafas panjang.
"Sang Pewaris? Apakah, Sanjaya yang Mbah maksud?" tanya Tanto, yang kemudian di jawab anggukan kepala oleh Mbah Toha.

"Kalau begitu Saya akan meminta tolong pada Sanjaya, Mbah. Kebetulan Saya juga mengenalnya." sahut Tanto, penuh antusias.
"Bukan hanya Mas Sanjaya saja, tapi juga Ibunya, sebab ini ada kaitan erat dengan masa lalu Nduk Wuri." Terang Mbah Toha, membuat Tanto terdiam.
"Biar saya saja yang menemui Mas Sanjaya dan Ibunya. Kalian jaga saja teman kalian ini. Dan satu lagi, jangan pernah menyentuh atau bahkan membuka kamar paling ujung belakang." Tegas suara Mbah Toha berpesan setelah menyanggupi untuk menemui Sang Pewaris, SANJAYA.
Sepeninggalan Mbah Toha, Wasis yang seperti tak percaya akan semua cerita tentang rumah itu, menarik paksa Tanto ke belakang. Tak ada penolakan saat itu dari Tanto. Namun, ketika Wasis berhenti tepat di depan pintu kamar ujung, Tanto seketika terhenyak mundur.
"Apa yang akan kamu lakukan, Sis!" Sedikit bergetar suara Tanto melihat kenekatan Wasis.

"Aku tak percaya jika ada syetan bisa mencelakai manusia. Lagian, kenapa juga dengan kamar ini? Kok sampai gak boleh di sentuh."
Wasis dengan tegas mengutarakan rasa ketidak percayaanya, dan bersikeras ingin membuka pintu yang sudah 20 tahun lamanya tertutup. Tapi, ketika tanganya baru menyentuh gagang pintu, Tanto dengan cepat menepisnya.
"Jangan gila, Kamu! Apa bukti Fandi yang sudah seperti itu belum cukup untuk membuka pikiranmu!" Tanto dengan cepat menarik mundur Wasis dari depan pintu, dan menyeretnya kembali ke depan.
"Apa-apaan, kamu ini! Aku hanya ingin membuktikan! Apa benar dalam kamar itu ada makhluk yang sudah mencelakai Fandi. Itu saja!" ujar Wasis bersungut-sungut.
"Terserah, km mau percaya atau tidak. Tapi yg jelas, dgn adanya keadaan Fandi seperti ini, saya harap, kamu jgn menambah urusan tambah runyam. Ingat! Kita hanya tamu di sini." Tegas, kalimat yang di ucapkan Tanto, sebelum ia beranjak ke kamar depan, di mana tubuh Fandi terbaring.
Tak berapa lama, Tanto kembali ke depan sambil menenteng tas hitam. Di tatapnya lekat-lekat Wasis yang duduk terdiam dan menyandar di sofa, sebelum menyerahkan HP milik Fandi ke tanganya.
"Saya akan melapor ke kantor dan sekalian surfei lapangan. Tolong kamu jaga Fandi, dan ini HP Fandi, kalau sewaktu-waktu nanti Istri atau keluarganya ada yang nelfon, Kamu angkat. Tapi, ingat! Jangan Kamu katakan keadaan Fandi yang sebenarnya."
Pesan Tanto pada Wasis yang hanya menerima HP milik Fandi, tanpa menyahut ucapan apapun.

"Kalau ada apa-apa, kabari." Sekali lagi Tanto berpesan sebelum beranjak meninggalkan rumah itu, guna mengurus pekerjaan yang seharusnya mereka bertiga.
Namun, di karenakan keadaan Fandi, maka Tanto terpaksa mewakili kedua temanya. Di samping dirinya sebagai seorang pelaksana lapangan sekaligus penyuluh, Tanto juga terhitung orang paling lama di banding kedua temanya di sebuah Perusahaan penanaman kabel dan proyek Tower.
Sepeninggalan Tanto, Wasis masih terdiam di ruang tamu. Ia masih termenung dengan segala rasa tak percayanya. Tapi, ketika mengingat ucapan-ucapan Tanto, ia mengendurkan saraf penasaran yang mengencang bila mengingat dengan apa yang ia dengar tentang rumah itu.
***
Setelah beberapa jam melewati jalanan ramai, sepi, dan mengitari perbukitan kecil, Mbah Toha, akhirnya bisa merenggangkan otot-ototnya yang kaku, saat sepeda Motor yang memboncengnya berhenti di halaman sebuah rumah Joglo bergaya ciri khas Jawa.
Rumah yang di penuhi dengan lekukan dan ukiran indah bernuansa keraton, menggambarkan jika sang pemilik rumah adalah orang yang menjujung tinggi satu nilai budaya dan tradisi begitu kuat.
Mbah Toha yang tau tentang siapa dulunya pemilik rumah itu, sedikit sungkan saat berjalan keteras berpilar kayu jati berlekuk ukiran. Langkahnya pelan penuh hati-hati yang di ikuti seorang pemuda pemboncengnya.
Dengan memberanikan diri, Mbah Toha mengetuk pelan daun pintu tebal yang mengkilap. Sejenak Mbah Toha bersabar menunggu, sampai akhirnya terdengar sahutan lembut dari dalam, lalu di susul terbukanya daun pintu, Mbah Toha dan sang pemuda seketika menunduk penuh hormat,
saat muncul di hadapan mereka sesosok wanita Ayu bergelung, selaras dengan kebaya batik dan kain jarik sebagai bawahannya.

"Mbah Toha ... Monggo, masuk Mbah." Pelan dan penuh wibawa suara wanita anggun mempersilahkan tamu yang sudah di kenalnya.
Mbah Toha mengangguk pelan dan langsung mengikuti langkah gemulai wanita yang sebenarnya terpaut jauh usianya lebih muda. Akan tetapi, dengan beberapa alasan, membuat Mbah Toha yang lebih tua, seakan lebih menghormatinya.
"Sepertinya ada hal yang sangat penting, sampai Mbah Toha menyempatkan diri datang ke sini?" ucap Sang wanita setelah berbasa-basi sebentar, seraya menuangkan air teh ke dalam dua cangkir yang di suguhkan untuk Mbah Toha dan pengantarnya.
"Benar, Nyai. Ini ada kaitannya dengan tiga orang yang menempati rumah Prabon di sana." jawab Mbah Toha, setelah sedikit meneguk teh yang di suguhkan.
Sosok wanita yang tak lain adalah WURI, mengernyitkan keningnya dan sebentar kemudian berubah menegang, kala Mbah Toha mulai menceritakan semua kejadian yang menimpa Fandi.
Beberapa kali Wuri menarik nafas panjang seperti tengah menahan satu beban berat dalam batin, saat Mbah Toha menyinggung nama-nama yang ia tau sebagai penunggu rumah Prabon, dan sudah menjadikanya sebagai sebuah Jenggolo.
Suasana sesaat hening, setelah Mbah Toha selesai bercerita. Ia menunduk menunggu Wuri yang terdiam seperti tengah mencerna semua cerita dari Mbah Toha. Yang mau tidak mau memaksa ia mengulas balik peristiwa demi peristiwa di rumah itu.
Sampai membuat matanya panas dan menggulirkan dua air bening, tanpa terasa.
Sebentar Wuri mengusap air matanya, seraya menatap Mbah Toha dengan seulas senyum yang di paksa, membuat Mbah Toha terlihat iba.
"Maaf, Mbah. Untuk urusan ini, saya akan bertanggung jawab dengan Sanjaya. Tapi, karena Sanjaya masih pergi, jadi saya menunggu Sanjaya dulu, Mbah." ucap Wuri sedikit parau.
Mbah Toha terlihat mengangguk pelan, mengerti dan menyadari dengan apa dan semua yang tengah di rasakan sosok Ayu Trah terakhir Rengko Sasmito, yang juga pemegang pusaka simbol Laweyan Lenggan dari Penguasa Pesisir Selatan.
Hari beranjak sore. Wasis, yang sudah di hinggapi rasa bosan, terlihat mondar-mandir. Sesekali matanya menatap gerbang tak berpintu, berharap Tanto segera datang. Namun, dari Langit dengan semburat kemerah-merahan sampai berangsur tertutup awan hitam,
orang yang di tunggunya tak juga muncul. Bahkan, sudah tak terhitung ia mencoba menghubungi lewat HP, tapi sayang, juga tak bisa tersambung dengan Tanto.
Bosan, penat, dan jengkel membaur di benak Wasis. Ia kemudian memutuskan menutup pintu dan berniat untuk mandi. Akan tetapi, ketika kakinya berada tepat di depan pintu kamar ujung, lagi-lagi rasa penasaran menghinggapinya.
Terdiam Wasis menatap pintu yang tinggal berjarak dua langkah dari tempatnya berdiri. Seperti sedang menimbang-nimbang antara keraguan dan rasa penasarannya. Sampai akhirnya, kakinya mantap melangkah mendekati pintu yang terdapat ukiran bunga di tengahnya.
Perlahan, tangan Wasis mendorong gagang kayu yang menempel di daun pintu tak berkunci. Terdengar suara derit pelan saat sedikit demi sedikit pintu terbuka, lalu berganti sunyi saat pintu sudah terbuka lebar.
Wasis tertegun, menatap ruang kamar yang gelap dan berhawa lembab. Tak ada apapun yang bisa di lihat oleh matanya, namun justru membuat Wasis semakin diburu rasa penasaran.
"Apa yang aneh dari kamar ini? Sampai-sampai tak boleh di buka?" gumam Wasis, sembari melangkah masuk ke dalam kamar.

Wasis kembali mengedarkan matanya, menatapi seluruh ruang kamar yang gelap saat ia sudah berada di dalam kamar.
Tapi, lagi-lagi ia tak menemukan apa-apa. Sesaat, sebelum Wasis yang sudah berniat meninggalkan kamar itu, tiba-tiba matanya di kejutkan dua kerlipan berwarna merah, tepat lurus di depannya.
Seketika Wasis mengurungkan niatnya untuk meninggalkan kamar, ia beralih dan tertarik dengan dua larik kerlipan yang di rasa menarik baginya.

Setapak demi setapak Wasis lalui sambil terus menatapi dua larik merah, yang di rasanya begitu dekat.
Tanpa di sadari jika keganjilan sudah terjadi. Wasis terus melangkah menembus gelap ruang yang ia lalui, sampai ketika kakinya mulai merasakan lantai teramat dingin, di saat itulah baru ia merasakan keanehan.
Wajah Wasis mendadak pucat, saat menyadari ada hal yang tak masuk akal. Di mana ia awal memasuki sebuah kamar yang hanya berukuran 2x3, tapi kini dirinya seperti menyusuri lorong-lorong gelap tanpa ujung.
Wasis benar-benar panik, tanganya meraba-raba seperti ingin memastikan. Namun, hanya dinding lembab yang tersentuh jarinya, membuat ketakutannya mencuat setelah yakin jika ia memang berada di suatu tempat yang tak dirinya ketahui.
Sebentar Wasis terdiam, mencoba berpikir tenang sembari sesekali berteriak meminta tolong. Tapi, teriakan-teriakan Wasis hanya menghasilkan pantulan suaranya sendiri yang menggema. Dengan tubuh gemetar Wasis kembali berjalan menyusuri lorong lembab nan gelap tanpa tau arah.
Berharap akan ada jalan baginya untuk bisa keluar. Sampai pada titik di mana tubuhnya terduduk lemas, Wasis di kejutkan dengan suara riuh dari arah depanya.
Setitik harapan seketika memancar dari sorot mata Wasis. Yang kemudian memaksa tubuhnya untuk bangkit, mengayunkan langkah kaki penuh semangat dan berharap bisa segera lepas dari ketakutan yang menderanya.
Wajah Wasis sejenak menyirat satu kelegaan, ketika menemukan ujung lorong bercahaya terang. Bukan hanya itu, suara riuh yang membuat dirinya bersemangat juga terdengar dari arah ujung lorong, membuatnya yakin jika itu adalah jalan keluar dari lorong menakutkan berhawa lembab.
Wasis terlihat bisa bernafas lega, setelah sampai di ujung lorong dan mendapati tempat terang yang ramai. Ia sempat terduduk dan sebentar membaringkan tubuhnya, melepas rasa takut dan meredam nafasnya yang masih memburu.
Namun tak berapa lama setelah Wasis terlihat tenang, mendadak wajahnya kembali menegang, ketika hidungnya tiba-tiba mencium bau wangi Kamboja yang teramat menyengat. Buru-buru Wasis bangkit untuk memastikan bau kembang, yang ia tau adalah kembang kuburan.
Matanya menatap tempat lapang yang terang dengan banyak manusia bersliweran hilir mudik. Satu persatu Wasis menatap tiap-tiap orang yang berjalan dekat dengan tempatnya berdiri. Lama Wasis terbengong, bingung dengan keadaan di sekelilingnya.
Keanehan kembali ia rasakan ketika mengamati seluruh tempat layaknya tanah lapang yang sangat asing baginya. Apalagi, saat dengan seksama matanya melihat orang-orang yang berlalu lalang, Wasis semakin merasakan keganjilan.
Di mana, wajah dan kulit tubuh mereka semuanya putih memucat serta terdapat bulatan hitam di mata luarnya.

Tapi, yang membuat tubuh Wasis seketika merinding ketakutan adalah bau wangi bunga Kamboja, ternyata bersumber dari tubuh mereka.

***
"Di mana Aku?"

Wasis bergumam dalam hati. Ia benar-benar merasa asing dengan tempat dan setiap sosok yang ada di sekitarnya. Suatu tempat berhawa lembab tanpa Wasis tau arah Timur dan Barat.
Perlahan, Wasis yang sudah tersusupi rasa takut, melangkahkan kakinya. Melewati dan bersimpangan dengan sosok-sosok berwajah pucat, serta tubuh beraroma wangi bunga Kamboja. Mereka berjalan, berlalu lalang dengan diam. Tatapan mereka kosong, tak memperdulikan kehadiran Wasis.
Selangkah demi selangkah Wasis menapak lantai tanah dingin. Berharap akan menemukan jalan ataupun sesorang yang mungkin di kenalnya. Namun, sampai beberapa saat lamanya, Wasis tetap tak menemukan apapun yang menjadi harapannya.
Wasis baru menghentikan langkahnya sejenak, kala melihat sebuah gapuro bersusun batu bata merah dgn tinggi tiga kali tubuhnya. Meski merasa aneh, Wasis dengan sisa-sisa keberanian tetap meneruskan langkahnya, menjejaki lima tingkat tangga batu berlumut dan masuk ke dalam gapuro.
Tapi, sebentar kemudian, setelah menuruni dan dua langkah masuk, tubuh Wasis diam terpaku. Matanya terbelalak, menatap ngeri puluhan sosok di dalam gapuro.
Sosok-sosok bertubuh jangkung, kurus kering kerontang tanpa daging, dan hanya seperti tulang berbalut kulit berwarna hitam gelap. Namun, saat sosok-sosok itu bersamaan menatap Wasis, kengerian kembali terlihat dari bola-bola mata mereka yang putih rata.
Lutut Wasis seketika goyah. Tubuhnya gemetar hebat, ketakutanya memuncak, manakala sosok-sosok yang menyadari kehadirannya perlahan mendekat. Langkah mereka pelan tak bersuara, seolah tak berpijak tanah.

"Brrukk!"
Wasis tersungkur, tertunduk dengan lutut menopang.

Sekeilas ia masih melihat kaki-kaki kurus hitam tinggal beberapa jengkal dari tempatnya, sebelum sesuatu ia rasakan melilit kuat tubuh lemahnya.
Wasis mencoba mencari tau tentang apa yang membekap tubuhnya, ia mengangkat wajahnya, melihat lembar-lembar putih yang entah datangya dari mana tib-tiba sudah menempel kuat. Ia berusaha memberontak, dengan sisa tenaga yang tak seberapa, namun sia-sia.
Sebentar mata Wasis menatap lurus ke depan, di mana dari sebuah bangunan seperti pendopo, keluar sesosok tinggi, dua kali lebih tinggi dari sosok-sosok yang berada di depannya. Matanya menyorot putih tajam sebesar kepalan tangan,
menunjukan satu amarah yang meletup, saat kilat-kilat merah menyambar di sekitaran tubuhnya.
"Pllaakkk!"

Tubuh Wasis mendadak panas, setelah merasakan tamparan lumayan kuat pada bagian kepala belakang,
hingga sesaat kemudian membuat kepalanya sangat berat dengan mata melemah meski hanya untuk sekedar mengerjap.

"Bbblluukkk"

Kuat, tubuh Wasis terhempas ke tanah, membuatnya kembali tersadar dan membuka mata perlahan.
Erangan dan lenguhan pertama kali yang keluar dari mulut Wasis, saat merasakan tulang-tulang di tubuhnya seperti remuk. Ia hanya mampu terbaring lemah sambil meringis, sebelum beberapa tangan mencengkram lenganya dan cepat-cepat menyeretnya menjauh dari tempat itu.
"Bocah ora sopan! Kakean polah! Kewanen! Kemendel!"(Anak tidak sopan! Kebanyakan tingkah! Terlalu berani!)"

Umpatan-umpatan keras dan sengit, mendadak memenuhi rongga telinga Wasis. Membuatnya kembali berpikir dan berusaha memulihkan ingatannya.
Sedikit demi sedikit Wasis mencerna, mencoba mengenali sekitar tempatnya kini berada. Ingatan Wasis sebentar terbantu dengan beberapa sosok yang berdiri membelakanginya, menyadarkannya, jika ia kini tengah terduduk menyandar di tembok dinding teras.
Meski belum sepenuhnya mengerti tentang apa sebenarnya yang tengah dirinya alami, tapi Wasis kini tau dan yakin, bahwa ia telah berada di alam nyata. Bertambah keyakinanya saat melihat dengan jelas salah satu sosok yang baru saja mengumpat dirinya dengan sengit, Mbah Toha.
Wajah Wasis bertambah lega, dengan kemunculan seorang teman kerjanya, Tanto, yang mendekati dan menyodorkan segelas air putih padanya.

"Syukur, Sis, Kamu selamat. Nih, minum dulu."
Wasis segera menerima segelas air yang di sodorkan, tanpa menghiraukan ucapan Tanto. Tapi baru dua teguk, mendadak Wasis memuntahkan air di mulutnya. Wajahnya menegang menatap Tanto, yang terlihat santai.

"Air apa, ini To?" tanya Wasis lirih, sambil mengusap lidahnya pelan.
"Ini air sudah di doain sama Beliau, biar kamu bebas dari pengaruh Syetan yang memburumu," sahut Tanto, seraya menunjuk sesosok lelaki bersorban yang berdiri berdampingan dengan seorang lelaki muda, tengah menghadap sebuah pohon besar nan tinggi menjulang.
"Udah, kamu habisin aja. Jangan dipikir rasanya, yang penting kamu bisa pulih kembali." Tanto kembali menyodorkan gelas berisi sisa air yang tadinya tak ingin Wasis minum lagi. Namun setelah mendengar penjelasan Tanto, Wasis akhirnya memaksakan diri meneguk habis sambil meringis.
Setelah merasa lebih baik, Wasis kembali mencoba mengingat kejadian demi kejadian yang ia alami. Dari awal sampai akhir ia menuntut, tapi sebelum semua terekam dalam memori otaknya,
ia di kejutkan dengan suara bising disertai gemuruh angin dari pohon besar yang berada di hadapan dua sosok lelaki bersorban dan lelaki muda.

"Cepat! Bawa temanmu masuk ke dalam!" satu perintah tegas dari suara nyaring sosok perempuan yang berdiri di samping Mbah Toha,
menambah rasa tegang mencekat dalam diri Wasis, yang baru saja sedikit dan sebentar merasakan kelegaan.

Sepintas Wasis masih bisa melihat ketegangan dan suasana mencekam tempat itu, sebelum Tanto memaksa mengangkat tubuhnya dan memapah masuk ke dalam.
Namun dalam batin, Wasis yakin jika yang tengah terjadi di halaman belakang itu, ada kaitannya dengan apa yang baru saja ia alami.

"Sekarang jadi urusanmu. Abah, akan membantumu dengan Do'a."
Seraut wajah tenang penuh wibawa, dengan seulas senyum berkharisma, menatap dan menepuk pelan pundak sesosok lelaki muda, yang berada di sampingnya.

Meski keadaan saat itu, di halaman belakang, tepatnya di depan sebuah pohon besar nan tinggi menjulang, sangat mencekam.
Namun, tak tersirat sedikit pun rasa takut di wajah sesosok lelaki bersurban yang perlahan mundur, menjauh dari tempatnya berdiri bersama sang lelaki muda. Memberi kesempatan pada sang pemuda untuk merampungkan urusanya.
Sang pemuda sendiri hanya mengganguk pelan, menunduk sebentar, dan kembali tegak berdiri menghadap pada pohon di depannya.

Bersamaan dengan itu, dari arah pohon, angin kencang kembali bergemuruh kencang, menghempaskan daun-daun dan ranting kering berguguran ke tanah.
Tak hanya itu, satu helaan nafas kemudian, dari balik pohon tua yang tinggi menjulang, bau gosong menyengat tiba-tiba tercium pekat, menjadi awal kemunculan puluhan siluet hitam, melayang dan berdiri mengelilingi sang pemuda.
Kini, nampak jelas wujud dari puluhan sosok yang sudah tegak, meski hanya terpapar cahaya redup dari lampu teras. Wujud layaknya tulang belulang tanpa daging, terbungkus kulit hitam. Hanya saja mata sosok-sosok itu tampak putih rata, menyorot tajam pada Sang pemuda.
Ketegangan terlihat dari wajah sang pemuda. Walaupun tak tersirat rasa takut, saat dirinya harus berdiri sendiri menghadapi puluhan Mahluk mengerikan. Padahal, di belakangnya, di dalam teras, nampak tiga sosok laki-laki dan sesosok perempuan ikut menyaksikan.
Dari ke empat orang itu, hanya wajah sosok perempuan berkebaya hitam dan bersanggul tampak menggurat kecemasan. Sebab dirinya tau, yang tengah di hadapi sang pemuda bukanlah Makhluk sembarangan.
Tapi dirinya juga sadar, jika yang mampu memusnahkan makhluk-makhluk tinggi hitam itu adalah sang pemuda, di karenakan dalam darahnya mengalir darah Pancer dari dua TRAH besar yang menjadikanya seorang Getih Penggarep.
"Duh, Gusti. Lindungi dan bantu Anakku!"

Gumamnya lirih, saat melihat puluhan Mahluk tinggi hitam mulai berkelebat mengerumuni Sang pemuda.
Sang pemuda sendiri yang tak lain, Sanjaya, terlihat tak bergeming. Ia masih tegak berdiri menyungging senyum sinis, meski aura hitam pekat mengelilinginya.
Sejenak, suara gemeretak panjang mengeluarkan percikan-percikan api, membuat hawa sekitar panas. Suasana semakin mencekam manakala Sanajaya, mengeluarkan sebilah keris bergagang kepala naga, bermata batu hijau.
Riuh ramai sesaat halaman belakang. Di mana kilatan-kilatan hitam saling bertemu, berbenturan, menimbulkan suara gemuruh. Angin semakin berhembus kencang, menyamarkan pandangan, ketika sosok-sosok jangkung,
menjadi siluet-siluet membentuk gumpalan hitam berkabut, bergulung-gulung mengurung Sanjaya.

Tak lama setelahnya, hawa panas tiba-tiba begitu kuat menyengat, yang di susul satu dentuman keras terdengar, saat gumpalan-gumpalan hitam pecah dan memudar menjadi bayang-bayang.
Kelegaan sejenak terpancar dari wajah merah Sanjaya, melihat puluhan sosok jangkung hitam yang mengroyoknya sirna. Namun, itu tak bertahan sampai lima tarikan nafas, sebab sebentar kemudian,
mendadak kabut-kabut hitam lebih tebal dan pekat muncul bersama liringan bola-bola api memancar putih, dan menghantam Sanjaya.

Sanjaya terpekik, terkejut dengan kekeuatan besar di balik bola-bola api itu.
Hingga saat kembali benturan tak terhindari, tubuh Sanjaya terpental jauh kebelakang.

Wajah Sanjaya kini terlihat pucat. Matanya nanar menatap gumpalan kabut hitam yang di kelilingi bola api, berubah dalam sekejap menjadi satu sosok hitam yang tingginya tiga kali dirinya.
Sosok dengan sepasang mata putih rata sebesar kepalan tangan terdengar menggeram berat, seperti sedang menahan sebuah letupan amarah.
"Jahanam! Tak akan ku biarkan siapapun menghancurkan Jenggoloku. Termasuk, Kamu! Hai....Anak manusia!" Keras menggelegar, suara bentakan dari sosok yang menatap nyalang pada Sanjaya.
Bukan hanya Sanjaya, saat itu terlihat panik. Tapi juga pada ketiga sosok yang berdiri menyaksikan dari teras. Hanya satu wajah yang terlihat masih tenang, wajah dari seorang lelaki berbadan tegap yang terhitung dan memiliki gelar AHLUL BAIT.
Sanjaya perlahan bangkit, setelah mengusap darah yang keluar dari bibirnya. Rasa sesak serta nyeri di dadanya, seolah tak terasa lagi ketika mendengar amarah sosok mengerikan di depannya.
Ia kembali menggenggam erat keris kecil berkepala naga yang berada di tangannya, bersiap dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya.

"Sanjaya! Teteskan darahmua pada keris itu, cepat!"
Sedikit terkejut Sanjaya mendengar suara melengking, di belakangnya. Suara yang sangat ia kenal milik Ibunya, seketika mengingatkannya akan pesan awal sebelum ia dan Ibu serta Sang Ahlul Bait,
gurunya, datang untuk membebaskan rumah prabon yang di jadikan Jenggolo oleh sosok Jrangkong yang kini ada di hadapannya.

Sadar akan hal itu, Sanjaya mundur dua langkah. Lalu dengan setengah memejamkan mata, ia menggoreskan ujung keris pada tangannya.
Seketika darah merah mengalir dari bekas goresan. Walau tak deras, namun cukup untuk membaluri ujung keris hingga pada lekukan ke tiga.
Tawa keras dari sosok hitam sesaat menggema, melihat kesiapan Sanjaya, dengan sebilah keris kecil Laweyan Lenggan yang sejatinya milik Ibunya. Tanpa menyadari jika keris yang kini telah terolesi darah dari sang Getih Pengarep, mengandung sebuah kekuatan luar biasa.
Dengan di awali bentakan dan teriakan keras, Sanjaya berlari maju ke depan, sambil menghunuskan keris. Kilat-kilat kuning ke emasan seketika memenuhi dan menerangi tempat sekitar, berasal dari keris Laweyan Lenggan yang di sabetkan Sanjaya.
Kini riuh desingan angin bercampur kilatan berasap kembali memenuhi halaman belakang.

Entah berapa kali letupan-letupan kecil terjadi saat kilatan keemasan menghantam gumpalan hitam yang melindungi tubuh jangkung sosok Jrangkong.
Sampai akhirnya, di satu kesempatan, Sanjaya yang tepat berada di depan sosok Jrangkong, menerjang kencang dengan hunusan keris ke tubuh hitam Jrangkong.
Seketika itu, asap hitam membumbung tinggi, sebelum suara layaknya ledakan dan geraman terdengar keras membahana sampai menggetarkan sekitaran halaman. Jeritan tak kalah melengking juga sebentar kemudian menyusul,
saat Wuri, Ibu Sanjaya, melihat Sang Geteh Pengarep, Anaknya, terpental jauh dan terguling-guling.

Saat itu juga, Wuri berlari menghampiri Sanjaya. Naluri sebagai seorang Ibu seketika tergugah mendapati Anaknya terkapar berlumur darah.
Tangis Wuri tak mampu terbendung saat mengusap darah yang keluar dan mengalir dari bibir dan hidung Sanjaya.

"LAA HAULAA WALAA QUATA ILLAA BILLAAH"
Sejenak Wuri menolehkan kepalanya, mendengar suara lantunan Kalimah Suci dari Ahlul Bait yang memang ia percaya sebagai penuntun Anaknya. Lenguhan juga sebentar terdengar dari Sanjaya, yang mencoba bangkit dari pangkuan Ibunya.
"Apa ini sudah berakhir?" lirih suara Sanjaya, bertanya.

"Sudah, Nak. Mahluk itu sudah kembali ke asalnya."

Kelegaan seketika memancar dari wajah Sanjaya, mendengar jawaban sosok yang sedikit demi sedikit telah menuntunya keluar dari garis hitam, leluhurnya.
Akan tetapi, baru saja Sanjaya yang berjalan tertatih dengan di bantu Ibu dan Gurunya baru memasuki teras, mereka di kejutkan satu teriakan dari dalam.

Buru-buru ketiganya masuk dan memastikan yang terjadi.
Sesaat, ketiganya terhenyak, melihat Tanto menangis pilu di samping sebujur tubuh membiru yang tengah di pangku Mbah Toha. Tubuh itu kaku meregang. Matanya melotot, mendongak ke atas, seolah merasakan sakit luar biasa, sebelum nafasnya terputus.
"Fandi...!" Tanto masih begitu histeris, melihat kematian Fandi, yang tak di sangkanya.

"Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un," ucap Sang Ahlul Bait, ketika ikut memeriksa keadaaan Fandi yang benar-benar sudah tak bernyawa.
Sanjaya dan Wuri terlihat saling pandang. Bibir keduanya sama-sama kelu, melihat satu korban lagi, akibat kutukan Lemah Ireng Jalasuto. Meskipun kini Jenggolo sudah berhasil di hancurkan oleh Sanjaya, namun harus di bayar nyawa Fandi, sahabat Sanjaya.
Wasis, yang belum sepenuhnya pulih terlihat bibirnya bergetar, melihat sahabatnya meninggal dengan tragis. Air matanya deras mengalir tanpa ia sadari. Jiwanya sangat terguncang saat itu, hingga hanya isakan yang mampu keluar dari tenggorokannya.
"Rupanya iblis itu tak mau melepas dan ikut membawa pergi sukma nak Fandi," ucap Mbah Toha yang baru saja selesai mengatupkan kedua mata Fandi.
"Untuk sementara, kita urus jenazahnya. Dan urusan rumah ini, tolong kosongkan dulu selama 41 hari. Setelah itu, Insya Allah saya sendiri yang akan membersihkannya dari aura hitam lainya."
Sang Ahlul Bait, sejenak menarik nafas panjang setelah berucap. Kemudian menatap tubuh Fandi yang sudah tak bernyawa sembari melantunkan doa, membuat yang lain terdiam mengamini.

***
SELESAI

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with kalong

kalong Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @cerita_setann

Apr 25
Sebuah kisah tentang ISTRI yang melakukan pernikahan gaib dengan IBLIS demi KETURUNAN !!!

A Thread Horror
"SANG PENGANTIN IBLIS"

#bacahorror @asupanhororrr @IDN_Horor @bacahorror #pengantiniblis Image
September 1999

"Srekkk ... Srekkk ... Srekkk...."

Malam itu, suara langkah Kinanti terdengar mantap ketika menapaki jalanan tanah kering. Wajahnya terlihat datar, matanya menyorot penuh keberanian.
Ia terus saja berjalan menyusuri jalanan, sebelum akhirnya menghentikan langkahnya tepat di depan pintu sebuah rumah tak berpenghuni.

Hening dan gelap suasana di dalam rumah itu, membuat kesan seram begitu terasa. Namun hal itu tak membuat tekadnya goyah.
Read 53 tweets
Mar 11
-WARISAN PENARI-
"SAMPUR & KAWATURIH"

Jujur, banyak sekali DM yang masuk dan pembahasannya menarik semua. Mulai dari Gagar Mayang, Sampur / selendang, dan Kawaturih.

Tapi malam ini kita akan sedikit membahas tentang kengerian warisan sampur & kawaturih.

a thread

#bacahorror


Image
Image
Image
Image
Nah disini saya mau cerita sedikit tentang profesi seorang penari tradisional. Bisa di bilang seperti penari ronggeng atau semacamnya. Di cerita ini si ibu yang sudah terjun bertahun-tahun menjadi penari harus mengalami kengerian.
Di mana, yang seharunya itu di wariskan kepada anaknya, tapi si ibu ini memilih untuk tidak. Kenapa? Karena beliau tahu bagaimana rasanya dan kengeriannya ketika di ambang kematiannya. Beliau tidak mau anaknya akan bernasib sama.
Read 42 tweets
Mar 6
-POCONG CULI-

Sekitaran Demangan - Gejayan

"Tok...tok...tok...." pas di buka pintunya, ada pocong ngomong "...Culi"

a thread

#bacahorror #asupanhorror @asupanhororrr @IDN_Horor @merapi_uncover Image
Bagi teman-teman yang sudah lama tinggal di jogja, khususnya di daerah Demangan, pasti gak asing sama cerita pocong culi.

Menurut beberapa sumber, dulu di tahun 2000an, masyarakat sekitar Demangan di gegerkan sama teror pocong culi.
Ngerinya, pocong culi ini meneror warga sekitar dengan mengetuk pintu dan berteriak “culi...culi...” yang di artikan kalau pocong itu meminta untuk di lepaskan tali pocongnya.
Read 70 tweets
Mar 5
-BEGAL PESUGIHAN JALAN WATES-

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan

a thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Banyak perbincangan tentang jalan propinsi jogja-wates yang terkenal dengan pemasangan BEGAL PESUGIHAN.

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan.
Di Kilometer berapa pemasangan pesugihannya, saya juga kurang tau, hanya saja, sepanjang jalan itu sering banget terjadinya kecelakaan. Bahkan kalo pas apes, kadang melihat beberapa kali korban sudah tergeletak di pinggir jalan atau di bawah kolong truk.
Read 22 tweets
Feb 12
THE REAL "SANTET LORO JIWO"

“Lanang menang milih, wedok menang nolak.”

A Thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Sumatera 2018

Namaku Anis. Aku tinggal di Sumatera. Kejadian ini aku alami setelah menikah. tapi jauh sebelum itu, ketika masih sekolah, ada lelaki yang pernah suka sama aku. Namanya sebut ajaa Bowo.
Awal mula kita deket ketika ibuku jatuh sakit karena kecelakaan. Dikarenakan jarak sekolahan dgn rumahku jauh, aku gak bisa pulang buat jenguk ibuku. Dari sinilah aku meminta tolong Bowo untuk datang ke rumahku untuk melihat kondisi ibuku. Itu dikarenakan rumah kita memang dekat.
Read 58 tweets
Feb 7
“Ya beginilah, niatnya mondok mau cari ilmu agama, malah nemu hal munkar yg udah lama tersembunyi di pesantren. ((Bukan tempatnya)) Tapi ada penghuni di dalam tempat tersebut yg pernah ngelakuin hal biadab dan berusaha ia sembunyikan.”

a thread

#bacahorror Image
“Namanya Marlina. Dia salah satu santriwati di pondok pesantren ini. Dulu ketika mondok, dia menjadi korban bully karena bisu. Hal itu membuat Marlina ini mentalnya down. Sampai suatu ketika, karena kekurangannya itu,
ada salah satu oknum yg jg pengurus pondok sekaligus pemuka agama, melakukan tindakan munkar dan tak bermoral kepada Marlina. Marlina di lecehkan di salah satu ruangan pondok, sesaat setelah di suruh untuk mengembalikan buku hafalan.
Read 64 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(