Shankara Anggita Profile picture
Jul 20, 2022 231 tweets >60 min read Read on X
"ANGGINI"

-HORROR THREAD-

@bacahorror
#bacahorror Image
"Anggini wae, cah ayuku jenengono Anggini, Nduk. Jeneng iku cucuk karo opo le deknen duweni," (Anggini sja, Cah Ayuku beri nama Anggini, Nak. Cocok dengan apa yang dia punya). kata Mbah Nang sembari menimang" seorang bayi yg badannya sudah di bedong rapi menggunakan kain jarit.
Bayi itu terus melihat wajah Mbah Nang dengan mata yang berbinar-binar. Dia tersenyum dan berteriak "Ngyangghkkkhhhi" seolah menandakan bahwa dia setuju dengan saran nama yang diberikan.
"Nggih setuju nggih? Seneng nggih diparingi asma niku nggih?" kata Mbah Nang yang meliling bayi itu sembari menciumi pipinya. (Iya setuju ya? Suka ya diberi nama itu ya?)
"Nggih ampun. Mangkih namine sami kali anake Lik Rus, Pak." (Ya, Jangan. Nanti namannya sama dengan anaknya Lik Rus, Pak) sanggah seorang perempuan yang rambutnya diikat bulat menyerupai sanggul. Itu adalah ibuk. Wajahnya cantik dengan mata sipit khas wanita asia.
Sedangkan Lik Rus yang dimaksud adalah tetangga dekat rumah yang memiliki anak bernama Andini. Usianya saat itu sudah 5 Tahun.
"Alahh bedo adoh. Anggini ro Andini toh? Bedo, Gini karo Dini ki" (Alahh beda jauh. Anggini dengan Andini kan? Beda, Gini dengan Dini tu) sangkal Mbah Nang yang masih kekeuh mempertahankan saran nama darinya.
Kata Mbah Dok, dulu banyak sekali yang menyarankan nama untukku. Tapi Mbah Nang-lah yang paling keras ingin agar sarannya didengar. Alasannya adalah konon Mbah Nang menggunakan perhitungan dan laku tirakat setiap mencari nama untuk anak cucunya.
Dan, kebetulan. Ibukku adalah satu-satunya anak dari Mbah Nang yang selalu berpikir menggunakan logika. Dimana dia tidak pernah memperdulikan perhitungan ini dan itu yang dimaksudkan. Namun, justru selalu berlogika sesuai realita yang ada di sekitar kita.
Seperti Ibuk berlogika apakah nama itu familiar di telinga masyarakat sekitar? atau seperti, apakah nama itu akan baik-baik saja untukku kelak?
Bagi Ibuk, nama Gini akan membuatku tidak percaya diri dikemudian hari, karena nama itu terkesan kurang familiar di daerah kami. Ibuk takut jika kelak aku juga akan diejek dengan anak-anak sebayaku jika bernama Gini. (Gono Gini)
Sedangkan Mbah Nang? Dia memohon kepada Ibuk agar tetap menggunakan nama Anggini. Mbah Nang percaya nama itulah yang cocok denganku. Tanpa menyebutkan apa sebenarnya alasan Mbah Nang memberikan nama Anggini.
Bahkan Mbah Nang memberi opsi agar nama panggilanku bisa dengan nama depankun kelak, yaitu Anggi. Tapi Ibuk juga masih bersikeras tidak setuju dengan nama itu.
Hingga akhirnya, Ibuk memutuskan sebuah nama untukku. Anggita. Kata Mbah Dok, Mbah Nang sempat merasa tersinggung dan tidak setuju dengan keputusan Ibuk itu.
Mbah Nang sempat mendiamkan Ibuk hanya karena keputusan memberi namaku, Anggita. Tapi itu tidak berlangsung lama. Pada akhirnya, untuk kebaikan bersama Mbah Nang mencoba memahami perasaan Ibuk.
Aku tidak tahu kenapa Mbah Nang masih tidak setuju dengan keputusan Ibuk yang memberikanku nama Anggita. Padahal saran nama Anggi yang diberikan Mbah Nang sudah dimasukkan dalam namaku.
Hingga ketika usiaku menginjak 17 tahun. Mbah Dok menerangkanku alasan Mbah Nang yang kekeuh ingin memberikanku nama Anggini.
Aku ingat, saat itu Mbah Dok memintaku duduk di kamar berdua dengan beliau. Setelah mengucapkan selamat dan memberikanku doa atas hari ulangtahunku. Mbah Dok bertanya kepadaku.
“Siro isih sok weruh komonoan?” (Kamu masih sering melihat yang seperti itu?) tanya Mbah Dok ambigu membuatku bingung dan hanya bereaksi meninggikan kedua alisku dengan bola mata menerawang seolah berpikir.
“Siro isih sok weruh demit tah?” (Kamu masih sering melihat bangsa lelembut ya?) tanya Mbah Dok mengulangi pertanyaannya ketika paham bahwa aku masih belum menangkap maksud dari pertanyaannya tadi.
Saya lanjut nanti kalau sekiranya banyak antusiasmenya. Mungkin bisa dibantu retweet dan like nya terlebih dahulu. Saya pamit lanjut kerja dulu nggih🙏🙏🙏
Aku hanya tersenyum. Aku bingung harus menjawab apa. Karena jika dikatakan tidak, aku bahkan baru saja mengalaminnya. Tapi jika dikatakan iya, aku sendiri tidak yakin bahwa yang aku selalu melihat mereka.
“Simbah yakin isih tah? Ameh di pageri mubeng kongopo ae po ameh di tedengi kepie ae nek ancene jatahe weruh ya weruh.” (Simbah yakin masih ya. Mau dipager sprti apapun atau dihalangi bagaimanapun kalau jatahnya melihat ya lihat.) kata Mbah Dok sembari membuka almari tua miliknya
“Siro eling gak? gek biyen cilik senenge nangis gero-gero yen dikon bobok nong kamare Ibuk Bapak?” (Kamu ingat tidak? Dulu waktu kecil kamu sering menangis histeris jika disuruh tidur di kamar Ibuk Bapak) tanya Mbah Dok sembari mengeluarkan bungkusan kain putih usang.
Pertanyaan Mbah Dok membuat isi kepalaku berputar seperti tengah menayangkan kejadian beberapa tahun silam. Dimana aku yang masih kecil terus menangis jika sudah berada di ambang pintu kamar milik Ibuk dan Bapak.
Kamar tersebut berada di pojok Lor (utara). Dimana ada dua daun jendela kayu jati yang sangat besar sebagai pelengkap.
“Nggih, Mbah. Pripun?” (Iya, Mbah. Bagaimana?) tanyaku heran kenapa tiba-tiba Mbah Dok bertanya demikian kepadaku saat itu.
“Siro yo sih eling bentukanne barang opo le marai siro nangis gero-gero ngunu iku?” (Kamu juga masih ingat bentuk barang yang membuatmu menangis histeris itu?) tanya Mbah Dok yang membuatku Kembali berpikir keras mengenai kejadian itu.
Tapi aku sama sekali tidak mengingat apa yang membuatku menangis. Aku hanya mengingat bahwa aku akan selalu menangis histeris jika mulai memasuki kamar itu. Itu alasan kenapa aku selalu memilih tidur di kamar Mbah Nang dan Mbah Dok saat kecil.
“Mboten niku Mbah ..” (Tidak tu Mbah) jawabku sambil menggelengkan kepala dengan yakin.
“Owalahh berarti kasil Mbah Nang gawe siro lali ujud e barang iku,” (Owalah berarti Mbah Nang berhasil membuatmu lupa dengan wujud barang itu) kata Mbah Dok yang kemudian membuka bungkus kain putih yang mulai berdebu itu.
Kelud.
Itu adalah kelud yang dulu diberikan Mbah Nang khusus untukku. Aku ingat, aku hanya bisa masuk dan tidak menangis ketika aku membawa kelud itu masuk ke kamar Ibuk dan Bapak.
“Eling tah karo barang iki?” (Ingat kan dengan barang ini?) tanya Mbah Dok yang menunjukan kelud itu kepadaku.
“Nggih, tasih Mbah nek niku,” (Ya, masih Mbah kalau itu)
“Yowis, yen wis ra girapen berarti barang iki wis gak mok butuhno ya? Gek biyen lak mesti nangis nek gak digawani kelud iki” (Yasudah, kalau sudah tidak ketakutan lagi, berarti barang ini sudah tidak kamu butuhkan ya? Dulu kan pasti nangis kalau tidak diberi kelud ini)
“Hehehe nggih paling Mbah hehehehe” jawabku sambil menggaruk tengkukku yang tidak terasa gatal.
“Siro yo reti ? gek biyen Mbah Nang tau nganti neng-nengan karo bapa biyungmu sakmergo meh melu maringi asma?” (Kamu juga tau? Dulu Mbah Nang sampai saling diam dengan orangtuamu hanya karena ingin ikut memberi nama?) tanya Mbah Dok.
Aku langsung menjawabnya dengan anggukan. “Nggih sekedik-sekedik ngertos Mbah..” (Ya, sedikit tahu Mbah)
“Ngerti pora yen Mbah Nang pengen maringi siro asma opo?” (Tau tidak Mbah Nang ingin memberi nama kamu apa?) tanya Mbah Dok yang kemudian kembali membungkus kelud dengan kain putih tadi.
“Anggini," jawabku singkat.
“Siro ngerti artine opo gak?” (Kamu tau artinya atau tidak?) tanya Mbah Dok yang masih sibuk menyimpan kelud ke dalam almari tua miliknya.
Aku hanya menggeleng hingga Mbah Dok membalikkan badan ke arahku. Lalu beliau memilih duduk di tepian dipan kasur yang terbuat dari kayu jati.
“Anggini iku nduweni arti elok nemen nduk. Simbahmu iku gek biyen pengen yen besuk siro dadi bocah wadon kendel, kuat lan duweni roso percaya diri, Nduk. Yo podo kaliyan arti asma Anggita.”
“Anggini itu mempunyai arti yang sangat cantik, Nak. Simbahmu itu dulunya ingin kedepannya kamu jadi wanita pemberani, kuat dan percaya diri, Nak. Ya sama dengan arti nama Anggita”
Aku yang mendengar penjelasan Mbah Dok hanya mengangguk-anggukan kepala sembari menyimak penjelasan dari beliau.
“Ananging, dudu kui alesan Mbah Nang maringi asma Anggini gawe siro,” (Tapi, bukan itu alasan Mbah Nang memberi nama Anggini untukmu)
“Anggini, sejatine dijupuk soko tembung Anggon Gini,” (Anggini sejatinya berasal dari kata anggon dan gini) kata Mbah Dok yang menatapku dengan serius.
“Maksudte kepripun Mbah?” (Maksudnya bagaimana Mbah?) tanyaku bingung dengan pernyataan Mbah Dok baru saja.
“Anggon iku wadah utawa tempat utawa panggonan, Nduk. Mbah Nang kati awal laire siro ngerti yen siro iku bedo karo putu-putu liane. Mbah Nang mudeng yen siro iku ibarat wadah le sopo ae pengen.”
(Anggon itu wadah atau tempat, Nak. Mbah Nang dari awal kelahiranmu tau bahwa kamu ini berbeda dengan cucu-cucu lainnya. Mbah Nang paham kalau kamu itu ibarat wadah yang diinginkan siapa saja dari “mereka”)
“Ndilalah Mbah Nang yo ruh nek siro iku dijagani karo ya Gini iku mau,” (Kebetulan Mbah Nang juga tau kamu itu ya dijaga oleh Gini itu tadi)
“Mulakno kok diparingi asma Anggini.” (Itu sebabnya kok diberi nama Anggini)
“Gini sinten Mbah?” (Gini siapa Mbah?) tanyaku yang tidak paham dengan Gini yang Mbah Dok maksud. Mbah Dok berbicara seolah aku sudah mengenal Gini yang dimaksud oleh beliau. Padahal aku sama sekali tidak paham siapa dia?
“Ekhehekehekkk ya barang le gawe siro nangis gero-gero gek biyen iku,” (Ekhehekehekkk ya barang yang membuatmu menangis histeris itu) jawab Mbah Dok dengan terekekeh.
Hingga mendengar jawaban Mbah Dok tersebut aku masih planga plongo bingung dengan makhluk apa yang tengah dibicarakan beliau. Rasanya aku sama sekali tidak mengingat apapun dan siapapun itu.
"Siro bakale eling maneh yen sekirane siro memang wis siap ketemu barang iku. Opo malah uwis?" (Kamu aman ingat lagi dengannya ketika kamu sudah siap bertemu dengan barang itu. Apa malah sudah?) tanya Mbah Dok yang semakin membuatku bertanya-tanya.
"Ekehkhekkek gak usah dipikir. Suk bakale mudeng," (Tidak usah dipikir. Besok juga akan mudeng) kata Mbak Dok yang lalu nyelonong pergi keluar. Meninggalkan aku yang masih penasaran dengan apa yang sejak tadi dibicarakan oleh beliau.
Tapi aku tidak ingin mengambil pusing. Jadi aku juga memilih bergegas keluar dari kamar Mbah Dok dan bersiap untk plng ke rumah. Dmna Alhamdulillahnya di tahun itu, Ibuk dan Bbk sdah mendapatkan rejeki rumah sendiri di bagian kulon desa. Lumayan jauh dri rumah Mbah Dok saat ini.
Jadi, mengharuskan aku untuk pulang secepat mungkin jika saja tidak ingin pulang di malam gelap sendirian. Pasalnya, jarang warga sini yang mau melewati jalanan ke arah rumahku ketika malam hari. Alasannya, takut.
Sesampainya di rumah aku segera cuci kaki, cuci muka, cuci tangan kemudian bergegas naik ke kasur busaku. Kutarik selimutku hingga menutupi bagian dadaku. Hangat. Aku ingin bergegas tidur. Lelah rasanya. Aku ingin beristirahat.
Kukedipkan kelopak mataku berulang hingga akhirnya mengatup karena kantuk. Perlahan aku kehilangan kesadaranku menuju ke gerbang alam bawah sadarku. Aku tertidur.
DYARRRRHHH !!! Suara sambaran petir membangunkanku. Membuatku meringkuk ketakutan memanggil-manggil Ibuk.
"Bukkkk !!!! Bukkk !!! Ibuukkk!!!" teriakku histeris.
Aku benci dengan suara petir. Aku pasti akan mengalami kepanikan mendadak karena takut dan ingin menangis. Sepertinya dua hal tersebut merupakan reaksi alami dari tubuhku ketika mendengar suara gelegar petir.
"Huhuhuhu ibukkk !!!!!" Aku menangis tersedu-sedu. Tapi tak ada jawaban satupun sejak tadi aku berteriak-teriak histeris. Nampaknya ibuk tidak di rumah. Dan tentu, fakta tersebut membuatku semakin panik dan takut.
Aku mencoba melangkah keluar rumah. Di luar, aku hanya melihat gumpalan awan hitam menghiasi langit di atas sana. Belum hujan. Tapi gemuruh suara petir terus terdengar.
"Allahu Akbar .. Allahu Akbar .. huhuhuhu" aku terus menangis dan bergegas mengunci pintuku. Aku berniat pergi ke rumah Mbah Dok saja saat itu. Rasanya aku benar-benar tidak ingin di rumah sendirian.
Aku bergegas berlari di tengah gemuruh suara petir. Sesekali aku melihat kilatan cahaya petir menyorot dari langit. Membuatku berulangkali mengucap istighfar dan semakin mempercepat langkahku.
Di saat-saat seperti ini. Aku benar-benar mengumpati rumahku yang berada menyendiri di tengah sawah. Rasanya membuatku semakin berjalan lama dan tersiksa dengan ketakutanku yang luar biasa ini.
Sialnya lagi, di tengah perjalan aku tersandung jatuh. Aku merasakan kakiku menyandung entah kayu atau galengan sawah yang menggunduk. Aku hanya meringis kesakitan dan berusaha segera bangun.
Hingga kepalaku mendongak ke depan. Melihat apa yang membuatku tersungkur hingga begini.
Sejenak aku terdiam.
Sial ! itu ular. Saat ini aku bahkan sedang saling menatap dengan begitu banyak ular. Ahhh yang benar saja?!
Aku tau rumahku berada di tengah sawah. Tapi melihat ular sebanyak ini? Aku benar-benar tertegun. Bagaimana mungkin?! Bahkan ini adalah jalan yang biasa kami lalui.
Aku melihat ada begitu banyak ular dengan berbagai jenis ukuran di sekitarku. Nampaknya tadi aku tersandung kumpulan mereka. Membuat mereka menyebar di berbagai sisi.
Aku ingin menangis. Tapi aku takut bilamana itu akan membuat mereka bereaksi mendekatiku?! Untuk sepersekian detik aku bahkan menahan napas karena takut.
Aku lihat ada satu ular yang berada tepat di depanku. Besarnya sepergelangan tangan orang dewasa. Panjangnya sekitar satu setengah meter dengan sisik mengkilap berwarna hitam legam.
Rasanya baru kali ini aku melihat ular dengan sisik hitam pekat tanpa corak lain seperti itu. Lidahnya menjulur-julur berwarna merah bercabang.
Aku jadi ingat kata Mbah Nang, ular itu pertanda buruk. Dan YA! Ini benar-benar buruk. Kemungkinan besar aku bisa saja di patok ular bukan?!
Firasatku berkata, LARI ! jadi aku langsung mengambil langkah lari secepat mungkin. Aku tidak ingin dipatok ular di tengah sawah di bawah mendung yang menggumpal. Itu sama sekali tidak lucu bukan?
Tapi aku lupa, bukankah ada spesies ular yang akan mengejar apa yang telah mengusiknya? Aku melihat ke belakang. Ada beberapa yang bahkan mungkin saja merasa aku adalah ancaman. Membuat mereka mengejarku dengan desis yang membuatku bergidik ngeri “SSTTTSHHHhhhttttt”
Aku terus berlari tanpa memperdulikan lagi apakah mereka masih berada di belakangku atau tidak. Aku hanya perduli aku harus segera sampai ke rumah Mbah Dok.
Sebenarnya sedari tadi aku merasa aneh. Kenapa aku tidak melihat atau bahkan berpapasan dengan satu orang pun setelah memasuki kawasan pemukiman? Semua seperti mengunci pintu mereka rapat-rapat dan tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan.
Tapi aku mencoba tidak peduli dan tetap focus berlari dgn sekuat tenaga agar segera sampai di rumah Mbah Dok. Aku bahkan tidak berani menengok ke belakang untuk sekedar mengecek apakah ular² tadi msih mengejarku atau tidak.
Karena sejak aku berlari tadi aku masih terus mendengar desis ular yang membuatku menambah kecepatan lariku.
Aku bahkan langsung menggebrak-gebrak pintu rumah Mbah Dok. Aku berteriak dengan panik karena dari kejauhan aku masih melihat satu ular hitam itu merayap perlahan menghampiriku.
Aneh?! Bagaimana mungkin ular itu masih mengejarku hingga sejauh ini.
“Mbah ?!!! Simbah?!!!! HOSHHH HOOOSHH Mbah Dokkkk ? HOOSHH !!!! nyuwun tulung?!!!!!” teriakku dengan terus menggebrak pintu yang terbuat dari kayu jati kuno itu. Pegal rasanya. Nafasku juga sudah tidak beraturan. Sesak.
Selanjutnya...
“Nggit ?! Nggit?! Tangii oo. HEH?! Tangi !!!” (“Nggit ?! Nggit?! Bangun HEH?! Bangun !!!) suara Ibuk membangunkanku. Badanku digoyang-goyangkannya karena tidak segera bangun.
Lega rasanya ketika mengetahui aku baru saja terbangun dari mimpi itu. Sejak aku pulang dari rumah Mbah Dok, aku benar-benar terlelap tidur tanpa sadar saat itu tengah sorop.
“Nangopo?! Nangopo kok krenggosan ngunu iku hee?” (Kenapa? Kenapa kok ngos-ngosan begitu hee) tanya Ibuk sembari mengusap peluh yang membasahi keningku. Raut wajahnya menyiratkan rasa khawatir kepadaku.
“Mimpi ala Buk hoshh hoshh hoshh. Anggita wedii ..” (Mimpi buruk Buk hoshh hoshh hoshh. Anggita takut) jawabku spontan sembari mengatur nafasku.
Aku merasa semua itu begitu nyata. Aku bahkan juga merasakan sakit di pergelangan kaki seperti nyeri yang kuperoleh karena terjatuh tadi.
Kusibak selimutku untuk melihat kondisi kakiku. Lebam. Aneh. Semua ini terasa begitu aneh.

Bagiamana mungkin bisa kakiku lebam seperti di dalam mimpiku karena terjatuh?
“Mulakno, wayah sore iku ojo mapan bobok. Nangilok.” (Makanya, kalau sore jangan tidur. Pamali) kata Ibuk yang kemudian menyodorkan segelas air putih kepadaku.
"Mimpi opo to Nduk kok nganti keweden ngunu?" (Mimpi apa sih Nak kok sampai ketakutan seperti itu?) tanya ibu setelah aku selesai menenggak habis segelas air putih darinya.
"Mimpi ula niko melih Buk. Anggita wedi tiap mimpi ngeten niki. Onten nopo nggih Buk kok mimpine sami terus?" (Mimpi ular itu lagi Buk. Anggita takut setiap mimpi begini. Ada apa ya Buk kok mimpinya selalu sama) tanyaku bingung.
Terhitung sudah empat puluh hari ini aku setiap tidur memimpikan hal yang sama. Dan selalu memimpikan ular itu. Aku tidak tau apa arti mimpi itu. Aku hanya tau, ular hitam itu pasti pertanda tidak baik.
Sial, hari-hariku menjadi tak tenang. Aku bahkan selalu mengingat detail dan setiap inci mimpiku. Aku juga mengingat alur mimpiku akan selalu diawali dengan aku yang terbangun karena suara petir disaat aku sendirian di rumah.
Lalu dilanjut dengan kejadian dikejar begitu banyak ular hitam. Dan pasti akan berakhir di satu tempat itu ! Dan aku akan bertemu dengan sosok itu ! Siapa dia?!
"Wiss wisss gausah dipikir. Kembang mimpi iku. Wis rasah mikir macem-macem," (Sudah sudahh tidak usah dipikir. Bunga tidur itu tidak perlu mikir yang nggak nggak) jawab Ibuk sambil ngeloyor ke dapur.
Jujur, aku memahami maksud ibu berkata demikian. Karena ibu tidak ingin aku terlalu khawatir dan ketakutan. Tapi, tentu tidak semudah itu aku percaya
Aku mengalami mimpi yang sama persis secara berturut-turut 40 hari ini. Bagaimana mungkin aku bisa dengan mudah percaya bahwa itu tidak ada artinya.
Ahh sudahlah. Lebih baik aku bangun dan mengambil wudhu. Sudah Magribh. Lebih baik aku solat agar pikiranku tidak semakin kemana-mana. Malam ini aku akan pergi ke rumah Mbah Dok.
-----
Jam menunjukkan pukul 19.07. Aku mengambil jaketku dan bergegas ke rumah Mbah Dok. Rasanya aku ingin menceritakan semua mimpi yang terasa janggal untukku ini.
Jalanan sepi dan gelap tanpa ada penerangan lampu jalan. Sudah sekitar 11 kali Ibuk dan Bapak memasang lampu bohlam di jalan ini. Tapi semuanya selalu berakhir sama. Selalu meledak entah karena apa. Jadi dibiarkannya jalan ini gelap tanpa penerangan di malam hari.
Heuhhh karena mimpiku itu aku jadi parno berjalan di daerah ini seperti in. Aku takut bilamana mimpi itu terjadi. Aku tidak akan siap bertemu dengan begitu banyak ular di sini.
Jadilah aku berjalan dengan hati-hati. Mataku meneliti jalanan di depanku. Takut bilamana benar ada ular yang membuatku tersandung.
Dibantu dengan senter tua yang cahayanya tidak sebegitu terangnya. Aku berjalan di galengan yang rumput-rumput liarnya sudah mulai meninggi.
Seperti biasa, aku harus berjalan menyusuri sawah. lalu diharuskan melewati sebuah kebun yang lumayan luas untuk sampai ke rumah Mbah Dok.
Banyak orang yang percaya bahwa kebun ini merupakan pasar bagi "mereka". Itu sebabnya, bisa dipastikan hampir semua orang di kampungku tidak pernah mau melewati kebun ini di malam hari.
Pernah suatu waktu, ada seorang pemuda yang berasal dari luar daerah kami, mengantarkan pulang pacarnya yang rumahnnya beralamatkan di kampung kami.
Sepulangnya dari mengantarkan pacarnya. Ia berniat pulang melewati kebun ini. Alasannya karena tembusan jalan ini lebih cepat untuk segera sampai ke rumahnya.
Dia melihat ada pasar yang begitu ramai di kebun ini. Semua makhluk begitu sibuk dalam hiruk pikuknya. Ada yang tengah berjualan buah, sayur dan berbagai hal lainnya. Tapi aneh, mereka semua terlihat bergerak begitu lambat seperti gerakan slow motion.
Yang aneh lagi, bebarengan dengan pemuda itu. Ada seorang kakek yang menggunakan sepeda kebo miliknya melewatinya dengan membunyikan bunyi kringgg khas miliknya. Dimana kemudian itu membuat semua makhluk di sana seketika itu terdiam mematung dan menoleh semua ke arahnya.
Dia yang merasa bergidik ngeri segera mempercepat laju motornya untuk pulang. Lalu dipagi harinya dia bercerita ke pacarnya mengenai kejadian semalam.
Jelas cerita itu disambut dengan ketidak percayaan pacarnya. Karena daerah yang ia lewati semalam ada kebun luas yang banyak ditumbuhi daun berduri. Jadi mana mungkin dalam sekejap orang mau membuka pasar di sana?
Bahkan pemuda itu sampai kembali ke kebun yang saat ini aku lewati. Hanya sekedar untuk memastikan bahwa yang semalam ia lihat adalah pasar bukan kebun.
Tapi nihil. Karena memang daerah ini benar-benar hanya sebuah kebun luas yang tidak akan mungkin ada ruang untuk orang sekedar berdagang. Apalagi sampai dialihfungsikan sementara menjadi pasar malam.
Dan banyak cerita tidak masuk akal lainnya. Tapi, mau bagimana lagi? hanya ini jalan satu-satunya untukku sampai ke rumah Mbah Dok.
Aku juga tidak enak hati meminta ibuku untuk menemaniku berjalan kaki. Karena ibuku memiliki luka di telapak kakinya. Dimana itu akan semakin parah jika dipaksakan untuk berjalan kaki ke rumah Mbah Dok. Jadilah mau tak mau aku juga harus berjalan sendirian malam itu.
Malam itu begitu sunyi dan dingin sekali. Orang-orang sudah berada di dalam rumah masing-masing. Mengunci pintu rapat-rapat untuk sekedar berkumpul keluarga di ruang tengah atau malah sudah bergegas untuk tidur.
Yang tersisa hanya aku yang berjalan sendirian di jalan malam itu. Sesekali aku mendengar suara burung perkutut liar yang membuatku jengkel. Suaranya terdengar seperti mengejek dan cerewet di telingaku.
Seolah dia mengejekku yang berjalan sendirian di malam yang dingin itu. Ahh kamprett, perkutut sialan. Sebentar lagi aku juga segera sampai di rumah Mbah Dok. Bangunan rumahnya sudah mulai terlihat. Yahh, mungkin sekitar 100 meter dari posisiku saat ini.
Dokk dokk dokk dokkk. "Assalamualaikum Mbah. Niki Anggita," kataku sembari mengetuk pintu rumah Mbah Dok. Dari dalam aku mendengar seseorang tengah memutar kunci. Krieettttttt.
"Lohh nangopo Nduk? Kok mriki bengi-bengi? Kene melbuo" (Lohh kenapa Nak? Kok kesini malam-malam? Sini masuklah) kata Mbah Dok mempersilakan aku masuk ke dalam rumah.
"Anggita pengen bobo mriki nggih Mbah," (Anggita ingin tidur di sini ya Mbah) kataku kepada Mbah Dok yang mengunci kembali pintu tadi.
"Iyooo jelas uleh, nek ngunu yok mapan nong kamare simbah," (Iya jelas boleh, kalau begitu ayok masuk ke kamar Nenek)
"Nggih Mbah," (Iya Mbah) jawabku yang mengekor di belakang Mbak Dok.
Di dalam kamar, Mbah Dok memukul mukul kasur dengan kelud pribadi miliknya. "Nek meh mapan, kasur kudu mok seblaki ngene ya Nduk. Ben regetan lan barang ora ketok podo sumingkir." (Kalau mau tidur, kasur harus kamu sapu begini ya Nduk. Agar kotoran dan makhluk halus semua pergi)
"Kan dunyo iki gudu nggone dewe tok. Sak lumrahe yen awak dewe ono unggah ungguhe. Yen arep mapan yo diseblaki ndikik. Ibarat kulonuwun marang barang alus ben podo sumingkir. Ben ora ono le ketibanan opo ketindihan awak dewe le arep mapan."
(Kan dunia ini bukan hanya untuk kita. Sepatutnya kita ada tata kramanya. Jika mau tidur ya di sapu dulu. Ibarat permisi kepada "mereka" agar pergi. Agar mereka tidak ada yang tertindih badan kita yang mau tidur)
" Mengko yen gak ngunu. Ono le ketindihan, orak trimo. Nah kan malah bahaya." (Nanti kalau tidak begitu. Ada yang ketindihan tidak terima akan lebih berbahaya)
Aku yang mendengar penjelasan Mbah Dok tersenyum. Mendengar wejangan seperti ini, aku merasa beryukur di besarkan di keluarga yang selalu menjunjung tinggi unggah-ungguh.
"Ohh iya, Nduk. Pengen dak critani pora?" (Ohiya, Nak. Ingin aku beri cerita tidak?) tanya Mbah Dok.
Menurutku, Mbah Dok adalah salah satu orang yang ingatannya masih bagus diusia senjanya saat ini. Itu sebabnya, beliau sangat suka bercerita mengenai semua pengalamannya kepada anak cucunya.
"Nggih, Mbah. (Iya Mbah) jawabku dibarengi anggukan. Walau sebenarnya tujuanku kemari adalah ingin bercerita mengenai mimpiku yang terus sama. Tapi, bagiku alangkah lebih baik dan sopan bilamana aku lebih dulu mendengarkan cerita Mbah Dok yang sudah menawariku sebuah cerita.
"Gek biyen iku, Mbah Nang mu uakih nemen le nyenengi lan ngregani, Nduk. Yo menungso, lan dudu kalangan menungso," (Dulu itu, Mbah Nangmu banyak yang menyukai dan menghormati, Nak. Ya manusia dan yang bukan).
"Mergane Mbah Nang saben-saben sopo ae le ditemoni bakal digemateni lan ditulungi. Mulo gak heran yen hampir kabeh do nyenengi." (Karena Mbah Nang setiap siapa saja yang bertemu akan digemateni dan ditolong. Jadi tidak heran kalau hampir semua menyukai)
"Eloke eneh, Nduk. Mbah Nang gak tau ngungkit-ngungkit utawa cerita- cerita yen lebar nulung uwong. Jarene, samar yen malah dadi sesumbar." (Bagusnya lagi, Nak. Mbah Nang tidak pernah membahas tentang kebaikannya. Katanya, takut jika malah menjadi Riya/sombong)
"Simbah ae nganti kaget naliko sedone Mbah Nangmu iku, akeh ABRI lan wong wong jobo deso le gak Mbah Dok kenal moro menyang kene. Do melu belosungkowo lan ngaturaken maturnuwun kagem Mbah Nangmu."
(Simbah saja sampai kaget ketika meninggalnya Mbah Nangmu itu, banyak ABRI dan orang luar desa yang tidak Mbah Dok kenal datang kemari. Semua ikut berbelay dan mengucapkan terimakasih untuk Mbah Nang.)
Mohon maaf penulisan tersendat-sendat. Belakangan sedang banyak sekali pekerjaan dan tubuh saya kurang fit 🙏🙏🙏
Aku yang mendengarkan Mbah Dok tersenyum mengingat kenangan dimana segerombolan ABRI dengan seragam lengkapnya menyempatkan hadir ke rumah Mbah Nang. Bahkan sebagian dari mereka mau ikut menggotong Mbah Nang hingga ke pesarean terakhir.
"Siro eling tah nalikane Mbah Nangmu arep seda?" (Kamu ingat kan ketika Mbah Nangmu akan meninggal) kata Mbah Dok yang mencobaku memutar kembali kenangan yang ada di dalam kepalaku.
Pertanyaan Mbah Dok seolah mengingatkanku pada detik-detik sedanipun (meninggalnya) Mbah Nang.
Saat itu, kurang lebih satu minggu Mbah Nang harus rawat inap di sebuah rumah sakit di kotaku. Selama itu pula, Mbah Nang tidak bisa tidur nyenyak karena Mbah Nang tidak bisa bersandar atau berbaring di kasur seperti biasanya.
Alasannya, Mbah Nang menolak melakukan keduanya karena merasa sakit luar biasa ketika bersandar atau berbaring (?)
Hari-hari hanya duduk dengan kedua kaki di tekuk di depan dada. Lalu tangganya memeluk kedua lututnya yang pula di gunakan untuk menopang kepalanya.
Sampai tiba di malam sehari sebelum meninggalnya beliau. Dimana aku diminta beliau untuk terus membacakan Surat Yasin hingga suaraku serak. Saat itulah beliau baru bisa tertidur nyenyak dan bisa bersandar di kasur yang di buat kemiringan 90°.
Saat itu Mbah Nang sanjang, "Terus yaa, aku pengen siro moco Yasin. Aku ngroso ayem, ojo mandeg ya? Ben aku iso turu" (Terus yaa, aku ingin kamu membaca Yasin. Aku merasa tentram, jangan berhenti ya? Biar aku bisa tidur)
Dan yah, Mbah Nang akhirnya dapat tidur pada jam 12 malam. Dimana pada akhirnya aku baru bisa menyusul tidur setelahnya.
"Eling tah?" (Ingat kan?) tanya Mbah Dok kembali melihat aku yang diam belum bereaksi.
"Ehhh ehh .. nggih Mbah, tasih" (Ehhh .. Ehh .. Iya Mbah, Masih.) jawabku gugup karena mengingat sebuah hal yang cukup membuatku terpukul.
Ya, bagaimana tidak? Aku satu²nya cucu yg trus menemani beliau di rmah skit. Aku orang pertama yg bisa berhsil membuat Mbah Nang tertdur setelah bberapa hari terjaga. Aku orang pertama yg menyadari Mbah Nang berpamitan. Aku pula orang pertma yg mengetahui beliau sudah tidak ada.
Pagi itu, kurang lebih pukul 08.30 aku baru saja mandi dan wudhu. Aku diminta Mbah Dok untuk kembali membacakan surat Yasin untuk Mbah Nang. Karena pagi tadi beliau bertanya apakah aku mau membacakan lagi surat untuknya.
Aku yang mau, langsung saja masuk dan duduk di kursi ranjang penjaga. Kubuka buku Yasin ku dan segera aku memulai melantunkan ayat demi ayat di dalamnya.
Aku melihat Mbah Nang masih mendengarkan dengan seksama dan seperti tadi malam, beliau terlihat asyik mendengar lantunanku.
Hingga di lantunanku pada ayat 45 surat Yasin. Aku mendengar teriakan beliau. Beliau berkata
"Meneng !!! Crewett !!! Meneng !!! Panas panas rasah nambahi panas !!!" ( Diam !!! Crewet !! Diam !! Panas panas tidak usah menambah panas !!) Teriak beliau.
Aku terlonjak kaget dan gemetar takut. Tidak pernah Mbah Nang membentakku secara tiba-tiba seperti ini ketika aku tidak melakukan sebuah kesalahan.
Aku aku tersadar ketika melihat bola mata Mbah Nang.
Mbah Nang isi.
Yang baru saja membentakku bukanlah Mbah Nang. Melainkan Makhluk lain yang merasa tidak nyaman denganku yang terus membaca Yasin untuk Mbah Nang.
Aku yang mengetahui itu memilih meneruskan bacaanku hingga akhir. Walau aku terus mendengar Mbah Nang marah dan membentakku. Aku terus menyelesaikan bacaanku walau diiringi tangisan karena tidak kuat mendengar cacian makhluk yang saat itu berada di tubuh Mbah Nang.
Selanjutnya? Aku justru melihat wktu dimna Mbah Nang akhirnya melepaskan semua barang yg merasuk, menempel bahkan mengikutinya selama ini. Mbah Nang melepaskan brang yg mungkin beberapa orang menyebutnya sbgai perewangan. Tpi Mbah Nang lbih suka menyebutnya mereka sebagai "dayoh"
(Dan, Bismillah semoga ini pertanda baik dan mari kita doakan Almarhum Mbah Prayit mendapatkan surga Allah SWT.)

Aku melihat Mbah Nang menghembuskan nafas terakhirnya dengan terus menyebut nama Allahu Akbar. Dan ditutup dengan Laa ilaaha illallaah ..
"Pas iku, Mbah Dok gak di pamiti. Mbah Nangmu iku nglimpe kabeh anak bojone ben gak weruh pas arep ora onone" (Saat itu, Mbah Dok tidak dipamiti. Mbah Nangmu itu nglimpe semua anak dan istrinya biar tidak melihat detik-detik meninggalnya)
"Mik Siro le sih ngeyel nganti bolos sekolah. Karo ngueyel wegah menyat lungo ninggal Mbah Nang, le diolehno Simbahmu weruh arep lesss e Mbahmu"
(Hanya kamu yang ngeyel sampe bolos sekolah. Dan ngueyel tidak mau pergi meninggalkan Mbah Nang, yang dibolehkan Simbahmu melihat detik-detik meninggalnya)
Ya, itu benar. Aku sangat mengeyel untuk membolos hingga menangis ketika pagi dipaksa untuk tetap berangkat sekolah. Karena entah angin dari mana, aku merasa sangat berat meninggalkan Mbah Nang hari itu. Padahal, aku sudah terbiasa dengan Mbah Nang yang sering keluar masuk RS
"Gek iku, Siro weruh sesuatu opo gak?" (Saat itu, kamu melihat sesuatu atau tidak) tanya Mbah Dok seketika.
"Maksudtipun pripun Mbah?" (Maksudnya bagaimana Mbah) tanyaku yang selalu saja lemot jika ditanyai sesuatu.
"Koyok misal weruh opo wae le ono po opo ngono?" (Seperti melihat apa saja yang ada atau apa gitu) kata Mbah Dok yang menjurus ke sesuatu barang halus.
"Mboten Mbah, Anggita mboten diparingi gambaran awujud nopo. Ananging Anggita ngertos Mbah Nang sempet ngeculno kabeh dayohe le Anggita pun ngertos sakderenge, onten Kethek Putih, Simbah Macan, dayoh Gunung Merapi, kalih ula .."
"Tidak Mbah, Anggita tidak diberi gambaran wujudnya. Tapi Anggita tau Mbah Nang sempat melepaskan semua dayoh yang sudah Anggita tau sebelumnya, ada Kethek Putih, Simbah Macan, dayoh Gunung Merapi, kalih ula)
"Ohayoooo kuii ulaaa. Aku dadi eling Nduk, aku meh takon. Siro gak diparani barang alus awujud ula maneh tah?" (Ohh iyaa itu ular. Aku jadi ingat Nduk, aku mau bertanyalah. Kamu tidak didatangi barang halus berwujud ular lagi kan) tanya Mbah Dok tiba-tiba.
Aku jadi bingung menjawabnya. "Mbah, pangapunten sakderenge. Kula bingung bade jawab kepripun. Onten keterkaitan nopo mboten kalih ingkang Mbah Dok maksud niku, kula pengen sanjang Mbah. Anggita mimpi ula terus pinten-pinten dinten niki"
Sejenak Mbah Dok terdiam. Wajahnya menyiratkan perasaan campur aduk yang tidak mudah terdefinisi.
"Isih tah?" (Masihkah?) "Tak pikir gak sampe siro gede" (Aku pikir tidak akan sampai kamu dewasa) susul Mbah Dok yang membuatku jadi merasa was-was dengan jawaban beliau.
"Gak," (tidak) kata Mbah Dok sembari memukul bahuku yang sudah mulai berpikir yang tidak-tidak. "Gak usah terlalu dipikir ngunu. Hla Siro mimpi opo tah?" (Tidak perlu terlalu dipikir begitu. Hla kamu mimpi apa sih).
Aku pun segera menceritakan mimpiku yang terus sama selama 40 hari belakang ini. Kuceritakan secara terperinci apa dan bagaimana aku di dalam mimpiku.
"Kok siro gek omong tah? Kok ora kawit wingahane?" (Kamu kok baru bilang sih? Kok tidak dari kemarin?) tanya Mbah Dok yang terlihat cemas.
Aku hanya diam dan mengernyitkan keningku bingung sekaligus cemas. Melihat reaksi Mbah Dok barusan, membuatku berpikir yang tidak-tidak.
"Heeeuhhh..." Mbah Dok menghela nafasnya berat. "Sakjane yo gak ono opo-opo Nduk. Barang iku ga niat ala marang sliramu. Nanging ngelingi gek biyen siro gilo nganti kongono Simbahmu dadi samar."
(Sebenarnya ya tidak ada apa-apa, Nduk. Barang itu tidak berniat buruk kepadamu. Hanya saja, mengingat kamu yang dulu ketakutan setengah mati membuat Simbahmu menjadi khawatir)
"Ngapunten Mbah, barang punopo ingkah Simbah maksud?" (Mohon maaf Mbah, barang apa yang Simbah maksud)
"Gini," jawab Mbah Dok.
"Wis, Nduk. Rasah di bahas maneh sik yo? Siro teko diokehi dedungo. Mbah Dok gak iso ngei akeh penjelasan mergo Mbah Dok ora mampu," (Sudah, Nduk. Tidak usah di bahas lagi dulu ya? Kamu banyak berdoa saja. Mbah Dok tidak bisa memberi banyak penjelasan karena Mbah Dok tidak mampu.
"Dudu ranahe Simbah gawe jelasno kui.Wis, anggep o iku kembang mimpimu .." (Bukan ranah Simbah menjelaskan itu. Sudah, anggap saja itu kembang mimpimu)
Sejujurnya saat itu aku benar" ingin terus bertanya tentang bnyak hal. Sperti siapa itu Gini? knpa dia ikut bersamaku? kenapa dia berada di mimpiku terus menerus dan banyak hal lainnya. Tpi aku urungkan niatku karna kulihat Mbah Dok tidak nyaman dengan pembicaraan kami malam itu
Yang aku ingat, selanjutnya aku menuruti perkataan Mbah Dok untuk tidak membahas mimpiku dan menganggapnya hanya sebagai kembang tidur saja. Yahh, beruntungnya itu berguna. Untuk sementara waktu aku tidak kembali memimpikan hal yang sama tentang ular-ular itu.
Sementara. Aku garis bawahi bahwa itu semua sementara.
Mimpi itu kembali terulang di tahun 2018an.
Berbeda dari tahun sebelumnya. Mimpi ini tidak terjadi secara beruntun. Yang aku ingat, mimpi itu akan menghampiriku ketika pasaran senin pahing.
Saat itu aku mecoba acuh dan semakin terbiasa dengan mimpi itu. Aku tidak menganggapnya serius serta menganggapnya adalah hal yang wajar dan lumrah terjadi.
Aku terus beraktivitas seperti biasa seolah tidak ada hal janggal terjadi. Hingga akhirnya aku menyadarinya dan memahaminya malam itu.
Malam itu, aku dan beberapa remaja lain sangat sibuk menyiapkan persiapan untuk jamuan. Pengajian khusus Remaja Masjid.
Kegiatan itu merupakah sebuah usulan dari Pak Kyai yg menyarankan kami untuk aktif melaksanakan kajian bersama beberapa Kyai dari berbagai tempat setiap senin minggu pertama di masjid.
Kami sangat asyik dan menikmati acara pengajian khusus yang nampaknya justru lebih mirip seperti diskusi bersama dengan para kyai. Kami duduk melingkar dan membahas mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan agama.
Hingga seorang Pak Kyai yang usianya sudah terbilang lanjut memanggilku. "Nduk, coba duduk kemari" kata beliau menyuruhku mendekat. Aku yang mendengarnya pun menurut dan segera berjalan menunduk mendekati beliau.
Beliau adalah Pak Kyai dari pelosok perbatasan. Usianya sudah hampir mencapai kepala enam. Sebenarnya, kami jarang mendengar beliau berceramah. Tapi mendengar penuturan Pak Kyai lain, kami percaya bahwa beliaulah yang ilmu agamanya lebih luas saat itu.
Jadi saat beliau memintaku untuk duduk di dekat beliau. Aku merasa sangat kecil dan merasa tidak percaya diri.
"Nduk, dingapunten yen Mbahmu iki kurang sopan yo Nduk, tapi Mbahmu ameh tekon karo Genduk, Cah Ayu. Opo Genduk nduweni toh putih nong buri geger?" tanya beliau dengan penuh kehati-hatian.
(Nduk, mohon maaf jika Mbahmu ini kurang sopan, tapi Mbahmu mau tanya kepada kamu, Cah Ayu. Apa kamu punya toh putih (tanda lahir warna putih) di punggungmu)
Aku yang mendengar pertanyaan beliau merasa unik sekali. Baru kali ini, aku bertemu seseorang yang justru tidak menanyai siapa namaku, dimana rumahku atau kapan tanggal lahirku. Namun justru menanyaiku tentang tanda lahirku.
Dan, yah beliau tepat. "Nggih Mbah Yai, kulo onten toh pethak meniko." (Iya Mbah Kyai, saya punya toh putih itu) jawabku yang terus menunduk.
"Opo genduk ngerti yen genduk iki lair bedo?" (Apa kamu tau jika kamu ini lahir berbeda) tanya beliau yang membuatku reflek mendongakkan kepalaku. Yang kemudian dibalas senyuman dan anggukan dari beberapa kyai lain.
"Ngapunten Mbah Yai, kula mboten ngertos" (Mohon maaf Mbah Kyai, saya tidak tahu menahu) jawabku yang kembali menunduk.
"Nek sak perkiraanku genduk wis ngerti ning berusaha nolak kenyataan nek genduk iki ngerti. Genduk yo wis kawit biyen weruh barang-barang opo wae le melu genduk tapi genduk ora yakin"
(Kalau sesuai perkiraanku kamu ini sudah tau. Tapi kamu berusaha menolak kenyataan bahwa kamu tau. Kamu juga sudah melihat barang-barang apa saja yang ikut denganmu. Tapi kamu tidak meyakininya)
"Kawit kapan genduk mimpi iku?" (Sudah sejak kapan kamu mimpi itu?) tanya beliau yang membuatku terperanjat kaget. Apakah beliau tau tentang mimpiku? Bagaimana bisa?
"Ngapunten Mbah Yai, mimpi punopo nggih ingkang dimaksud?" (Maaf Mbah Kyai, mimpi apa ya yang dimaksud) tanyaku dengan tidak percaya diri.
"Ya mimpi "Gini"mu iku Nduk. Genduk mesti wis ngerti tah barang opo le melu Genduk saiki?" (Ya mimpi Ginimu itu Nduk. Kamu pasti sudah tau kan barang apa yang ikut bersamamu saat ini)
Aku sempat menahan nafasku sepersekian detik. Rasanya ini tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin Mbah Yai tau bahwa aku memimpikan ular itu? Dan bagaimana bisa Mbah Yai tau tentang nama ular itu?
"Barang iku melu genduk kawit genduk cilik. Tapi kayake amarga di pageri deknen muk iso ngetut rodo adoh. Gak secedak biyen. Tapi tetep isih melu bareng barang liane."
(Barang itu mengikutimu sejak kamu kecil. Tapi sepertinya karena dipager, dia hanya bisa mengikuti dari jauh. Tidak sedekat dulu. Tapi tetap masih ikut bersama barang lainnya)
"Toh pethak iku nduk salah sijine tanda yen awakmu lair bedo. Akeh barang alus le pengen melu ning mburine genduk." (Tanda lahir putih itu nduk adalah salah satu yang menandakan kamu lahir berbeda. Banyak barang halus yang ingin ikut di belakangmu)
"Gini iku salah sijine barang le luwih kuat ono ing burine genduk. Awujud ula emas le gede nemen lan duweni mahkota uelok. Iku sebabe akeh ula-ula le mati lan tunduk ning mimpine sampean nalika wis cedake Gini"
(Gini itu salah satu barang yang lebih kuat di belakangmu. Berwujud ular emas yang sangat besar dan mempunyai mahkota yang sangat cantik. Itu sebabnya banyak ular yang mati dan tunduk di mimpimu ketika kamu berada didekat Gini)
Aku benar-benar ternganga. Seketika aku mematung tidak percaya dengan semua yang telah dituturkan Mbah Yai.
Bukan, bukan aku tidak percaya dengan kevalid-an penuturan beliau. Tapi lebih ke tidak percaya bahwa bagaimana bisa Mbah Yai benar-benar tau wujud Ular yang ada di mimpiku. Dan akhir cerita mimpiku yang selalu berakhir dengan ular-ular kecil mati dan tunduk kepada ular besar itu
"Gini iku pengen awakmu ngerti Nduk yen deknen isih ono ning mburimu. Deknen pengen genduk ngerti yen deknen isih jagani awakmu" (Gini itu ingin kamu tau Nduk kalau dia masih berada di belakangmu. Dia ingin kamu tau kalau dia masih terus menjagamu)
"Kalau kamu bingung dia siapa, dia adalah barang yang menjagamu dari kamu lahir. Entah itu pemberian atau tidak. Dia ada sejak kamu lahir Nduk" tegas Mbah Kyai dengan bahasa Indonesia secara perlahan dan jelas.
"Genduk yo mesti ngerti yen ono sedulur alus laine le jagani genduk. Tapi eling Nduk, barang komono ora iso dadi cekelan lan panggone njaluk pitulungan. Lamung manunggal Gusti Allah swt ingkang saget dados panggonmu nyenyuwun."
(Genduk ya perlu tau kalau ada sedulur alus lainnya yang menjagamu. Tapi ingat Nduk, barang seperti itu tidak bisa untuk pegangan dan tempat meminta pertolongan. Hanya satu tuhan Allah swt yang bisa menjadi tempatmu meminta)
"Mbahmu iki lamung pengen ngei ngerti. Karena simbah tau, kamu sedang kebingungan dengan apa yang kamu alami beberapa tahun belakangan ini. Mimpi berulang dan selalu meuju pohon tua itu bersana Gini," tutur Mbah Kyai.
"Yen awakmu pengen weruh ujud barange Gini. Yang berbentuk pusaka. Ya, itu ada di pohon yang sama persis di dalam mimpimu. Tapi pesanku, tidak perlu kamu ambil barang itu, sudah biarkan saja."
Dari penuturan Mbah Kyai, sekarang aku jadi semakin paham. Kenapa setiap aku melewati pohon tua rindang di dekat rumahku. Aku selalu saja diganggu dengan dilempari entah itu pasir atau batu kecil. Nampaknya "dia" sedang ingin menunjukan tempatnya.
Jujur saja aku jadi semakin tertarik dan ingin berbicara banyak dengan Mbah Kyai. Namun, aku menghormati beliau yang nampaknya sudah lelah dan ijin untuk pulang terlebih dahulu. Saat itu, beliau sempat titip pesan kepadaku.
Bahwa tidak seharunya aku menolak apa yang sudah ditakdirkan. Aku hanya perlu menerima tanpa harus terlalu jauh mendalami.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Shankara Anggita

Shankara Anggita Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @shankaraanggita

Dec 29, 2022
"WINGIT"

-HORROR THREAD-

@bacahorror
#bacahorror Image
Desember, 2022. Masih musim penghujan ya? Belakangan memang kulihat mendung terus menghiasi langit. Dan bisa dipastikan setiap pulang kerja, tubuh ringkihku ini harus bergumul dengan derasnya air hujan. Dimana nantinya rasa dingin berhasil menyusup hingga ke sum-sum tulang.
Lumayan, semua kepenatan ini harus kunikmati. Bagiamanapun aku mensyukuri tiap tetes air yang Gusti Pangeran kirim turun ke bumi.
Read 303 tweets
Aug 30, 2022
"ANGGINI"
PART II

-HORROR THREAD-

@bacahorror
#bacahorror Image
Setelah mendapat wejangan dari Mbah Kyai, aku mencoba menjalani hari-hariku dengan biasa. Aku berusaha menerima apa yang memang seharusnya aku terima.
Dan sesuai pesan Mbah Kyai, aku juga berusaha mengacuhkan semua pikiranku mengenai siapa atau apa hubungan ular yang disebut Gini itu dengan diriku. Walaupun semua pertanyaan tengah berkecamuk di dalam kepalaku.
Read 206 tweets
Jun 25, 2022
"PAHING"

-HORROR THREAD-

@bacahorror #bacahorror Image
Tadi sore, aku baru saja pergi ke rumah Mbah Dok. Aku melihat beberapa orang tengah sibuk membersihkan sebuah bangunan yang sudah terlihat usang.
Bangunan itu berada persis di perengan bawah rumah Mbah Dok.
Aku tersenyum tipis tatkala pandanganku melihat seorang anak kecil tengah asyik sendirian di pojok bangunan itu. Membuatku mengingat sebuah kisah yang sudah lama sekali terjadi.
Read 239 tweets
Jun 13, 2022
"CAH AYUKU"

- HORROR THREAD-

@bacahorror #bacahorror Image
"Cah Ayuku," itu adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh Mbah Nang ketika melihat seorang bayi perempuan yang baru saja lahir dari rahim seorang perempuan yang selama empat tahun ini mengalami keguguran merulang kali.
Seorang bayi yang kulitnya tidak hitam tapi juga tidak putih. Seorang bayi yang alis matanya tebal, hidungnya cenderung pesek dan bibirnya tipis. "Cah ayu, lambe kok koyo mik di silet," (Anak cantik, bibirnya tipis seperti hanya di silet). Kata Mbah Nang yang berdecak kagum.
Read 146 tweets
May 18, 2022
"DIGONDOL"

- HORROR THREAD-

@bacahorror #bacahorror Image
Dari tadi sore hujan terus mengguyur perkampung kecil ini. Menyisakan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Kalau hujan begini, banyak memori masa kecil yang menyeruak keluar ingin kuceritakan.
Tapi aku akan fokus ke pembahasan sesuai judul yang sudah aku post sebelumnya. "Di Gondol". Walaupun kalau hujan-hujan begini akan sulit untuk fokus, karena biasanya, "mereka" dengan menyebalkannya akan tanpa ijin meneduh di dalam rumah. Apakah di tempat kalian juga hujan?
Read 89 tweets
May 15, 2022
"SEDULUR ALUS"

- HORROR THREAD-

@bacahorror #bacahorror
Karena beberapa pembaca mungkin bukan berasal dari Jawa. Jadi mungkin saja beberapa orang tidak tahu apa arti dari sedulur alus. Sedulur dalam Jawa berarti saudara sedangkan Alus berarti halus.
Namun, bukan berarti Sedulur Alus adalah saudara yang berperilaku halus seperti yang terpikirkan oleh beberapa di antara kalian.
Read 134 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(