Selingan lagi ya.
Cerita ini mengisahkan tentang rumah yang sudah lama dikosongkan. Angker bukan karena posisi rumah nya atau lokasi jalannya. Bukan juga tentang rumah tusuk sate, tapi pada kisah masa lalunya.
Apalagi yang mengalami peristiwa ini adalah beberapa mahasiwi yang niatnya pindah kontrakan karena suatu hal. Ini bukan cerita tentang KKN, melainkan kejadian seram yang di alami oleh mahasiwi ketika menempati kontrakan barunya.
Banyak kejadian seram yang meneror mereka, lebih baik tidur di kuburan sekalian daripada di dalam rumah tersebut.
Akan saya mulai nanti malam. insya Allah 😁
Like dan RT dulu gpp.
"Lin, Aku wes oleh omah sewo, lumayan murah misal di songgo wong telu."(Lin, Saya sudah dapat rumah sewa, lumayan murah misal di angkat bertiga.)
Farida, atau biasa di panggil Rida, dengan antusias menghampiri Lina, teman satu Kampus namun berbeda jurusan.
"Gon ngendi, Da?"(Di mana, Da?) sahut Lina tak kalah semangatnya.
"Iku lo ... cedak e tower, pojok kiwo pertelon seng arep mlebu nang kost e dewe. Aku wes nilek i karo seng di pasrahi."
(Itu lo ... Dekatnya Tower, sudut kiri pertigaan yang akan masuk ke kost kita. Saya sudah survei dengan yang di percayai merawat.) Terang Rida.
Lina diam sebentar, seperti tengah membayangkan lokasi yang di jelaskan Rida.
Selagi berpikir dan belum sempat berkomentar, dari seberang jalan kantin tempat biasa nongkrong para Mahasiswa/Mahasiswi,
lambaian tangan dari seorang gadis seumuran mereka, sejenak menunda lanjutan obrolan Rida dan Lina.
"Nah, Pas iki. Dewe wong telu nyewo omah iku. Selain ringan, yo jembar."(Nah, pas ini. Kita bertiga sewa rumah itu. Selain ringan, juga longgar.) Ujar Rida sembari tersenyum,
membuat gadis ayu berambut sepundak yang baru datang, sedikit bingung.
Di temani minuman rasa buah kesukaan masing-masing, pembahasan tentang rencana untuk pindah kost dan menyewa sebuah rumah dengan alasan sempitnya tempat kost lama, berlanjut serius.
Hingga tercapai kesepakatan untuk mengambil sebuah tempat yang telah Rida datangi, dengan biaya patungan.
Setelah obrolan siang itu dan saling setuju, segala sesuatu pun di percayakan Rida sepenuhnya.
Mengingat, dialah diantara Lina dan Novi yang paling hafal sekitaran tempat itu, juga paling memiliki waktu senggang.
Sabtu, tanggal Tiga Belas, memasuki waktu senja, tiga gadis dengan latar belakang berbeda, jurusan berbeda meski dalam satu kampus,
berkemas meninggalkan Kost lama Mereka, menuju sebuah hunian baru. Sebuah Rumah bercat kuning dominan, berpagar tembok dengan terusan kawat berduri mengelilingi, yang bakal menjadi tempat baru bagi ketiganya.
Dari depan rumah itu terlihat asri dan bersih, meski terletak tak jauh dari jalan hitam aspal, lintas satu arah.
Mempunyai halaman cukup luas, bertumbuh bunga warna-warni serta sepokok pohon Rambutan rindang menjulang, menambah nuansa indah rumah itu,
juga mencerminkan perawatan yang baik, walau telah lama di kosongkan.
"Gone anyes temen, Da?"(Tempatnya dingin sekali, Da?) ujar Novi saat baru menjejakan kaki di dalam.
"Malah penak to gak kudu nganggo kipas opo AC.(Malah enak to tidak harus pakai kipas atau AC.) jawab Rida sembari meletakan koper miliknya di ruangan berlantai keramik, tepat di depan dua buah pintu berjejer tanpa lapisan kain horden.
"Dewe ngenggoni kamar seng endi iki? opo kudu sak kamar-sak kamar?"
(Kita menempati kamar yang mana ini? apa harus satu kamar masing-masing?)
tanya Lina setelah tau bila rumah itu mempunyai tiga kamar, dengan dua berjejer bersekat tembok yang saat itu ada di hadapan mereka.
Sedangkan satunya berada sedikit kebelakang, sebelah kiri berbatasan langsung dengan dapur dan kamar mandi.
"Nek jare pak Bari, dewe oleh ngenggoni kamar loro iki tok. Seng siji kui, isine barang-barange seng nduwe omah."
(Kalau kata Pak Bari, kita boleh menempati dua kamar ini saja. Yang satu itu, isinya barang-barang yang punya Rumah.) jawab Rida, menjelaskan.
Mendengar ucapan Rida, Lina kemudian berpikir dan menyarankan untuk menggunakan dua kamar itu.
Namun lain dengan Novi. Gadis yang bercita-cita menjadi seorang Apoteker itu menginginkan mereka tinggal satu kamar.
Satu alasan yang sebenarnya ingin di ungkapkan Novi atas permintaannya saat itu.
Tetapi sungkan untuk keluar dari bibirnya, mengingat dirinya tau watak dua temannya sejak kecil yang memang berasal dari satu desa, tak akan mempercayai bakal alasannya.
"Wes, ngene ae. Kamar loro iki di nggo kabeh, bebas misal arep turu nangdi ae. Wong yo dewe ki jadwal kuliahe gak tau bareng."
(Sudah, begini saja. Kamar dua ini digunakan semua, bebas semisal mau tidur di mana saja. Lagian kita itu jadwal Kuliahnya tidak pernah sama.) ucap Rida memutuskan.
Bersih namun sinung, lagi-lagi di rasakan Novi begitu memasuki kamar yang letaknya paling depan bersama Rida.
Bahkan beberapa kali ia mengusap leher belakangnya, merasai hembusan aneh, seperti sebuah tiupan.
Perasaan tak nyaman itu di rasakan Novi hingga tiga hari berturut-turut. Tetapi anehnya, hal itu hanya terjadi ketika sore menjelang malam.
Masuk di hari ke empat, tepat setelah waktu 'Asyar, Novi yang kebetulan pulang lebih cepat dari Rida dan Lina, merasa ragu untuk berada sendiri di dalam rumah. Apalagi saat itu langit tengah di rundung gumpalan mendung-mendung berserak, membuat ketidaknyamanannya semakin menguat.
Namun baru saja berniat ingin keluar sekedar mencari makan sambil menunggu kepulangan dua temannya, rintikan air hujan menghalangi.
Menunggu beberapa saat tapi tak juga mereda, mengurung diri dalam kamar akhirnya menjadi pilihan Novi.
Mulanya ia seperti biasa hanya sebatas merasai hembusan dan hawa aneh. Namun petang itu, berselang beberapa menit dari sebuah terpaan angin dingin menusuk, hidungnya membaui beberapa wewangian yang khas, antara aroma kembang dan minyak pembalur mayat.
Novi pun terdiam dalam cekatan tak nyaman. Batinnya kemudian tergerak untuk bangkit dari pembaringan, berusaha menghindari bau yang semakin tajam menusuk rongga penciumannya.
tiba di ruang tamu yang hanya terdapat dua buah kursi plastik berwarna biru, Novi menghenyak sambil menatap halaman depan dari balik kaca. Pikiranya yang sudah tak tenang, sedikit terselingi oleh tetesan-tetesan air hujan berirama tiupan angin.
Sekitaran ruang tamu telah gelap.
Bergegas Novi bangkit untuk menghidupkan lampu. Satu langkah kakinya berayun, tersambut suara keras dari teras samping sebelah kamar yang ia huni.
"Duukkk ... Duukkk ... Dukkk...."
Tak hanya sekali, suara derapan kaki berlari berulang sampai tiga kali. Membuatnya tertegun, menerka-nerka.
Sekian detik diam menunggu dan tak lagi terdengar, Novi melanjutkan niatnya, melangkah mendekati saklar lampu yang menempel di dinding ruang keluarga.
Satu kali pencetan ujung jarinya, membuat seisi ruang rumah itu terang tersorot cahaya putih dari tiap2 balon yang tergantung.
Dari situ juga sebuah pemandangan aneh kembali terpampang di hadapan Novi.
Kali ini bukan suara kaki berlarian, namun bercak tapak-tapak menempel di lantai keramik, menggambar bekas jejak kaki ukuran orang dewasa.
Jejak itu begitu sempurna layaknya melangkah terarah. Menunjuk ke belakang, berawal dari ambang pintu kamar yg di tempati Lina.
Terheran, membuat Novi tnp sadar mengurut bekas jejak itu. Mengikuti setapak demi setapak, sebelum mendadak terhenti kala keganjilan kembali menghambat.
Pikiran Novi saat itu langsung merekam ulang dengan apa yang di rasanya sewaktu dalam kamar. Membaui aroma wangi kembang dan Minyak, sama persis dengan yang sedang ia cium, seperti berasal dari bercakan menggambar jejak kaki.
Membuatnya merinding, Novi mengurungkan niat, dan berbalik menuju kamar. Sampai di dalam, ia langsung merebahkan diri, menutupi seluruh tubuhnya dengan selembar selimut berbulu lembut.
Desahan nafas memburu terus saja mengiringi gerak cepat dadanya meski tak lagi mencium atau mendengar sesuatu yang ganjil. Hal itu baru sedikit terasa longgar, manakala suara krietan pintu terbuka, membangkitkan harapan, jika itu adalah Lina dan Rida yang telah pulang.
Hampir sepuluhan tarikan nafas setelah suara terbukanya pintu, Novi tak mendapati apa-apa. Tak ada suara langkah, tak ada ucapan salam atau obrolan dari dua temannya yang biasa ia dengar saat keduanya entah pulang dari manapun.
Menunggu dlm beberapa detik, keberanian Novi kembali muncul. Perlahan bangun dan bergegas, berniat menilik pintu yang terdengar terbuka. Tetapi baru tiba di ambang pintu, lagi-lagi Novi sudah hampir tersurut mundur, Menyaksikan seluruh ruangan begitu gelap kecuali dalam kamarnya.
"Eeee ... Eeeeee....."
"Lin, Rid,..." panggil Novi dengan suara lebih keras dari tangisan lirih yang baru saja ia dengar.
"Eeeee ... Eeeee ... Eeeee...."
Terus dan terus tangisan dari dua suara bersamaan, wanita dewasa dan bocah perempuan, menjawab panggilang Novi.
Membuatnya tersadar bila bukanlah sosok temannya yang menangis, melainkan ada penghuni lain di rumah itu.
Novi lalu memaksa tubuhnya bergerak kembali masuk dan menutup pintu kamar rapat-rapat. Kemudian menyandarkan tubuhnya di sudut kamar, di atas kasur busa berbalut kain halus berwarna cream.
Isakan tangisnya mulai ikut mengiringi suara tangisan yang masih nyaring terdengar seperti berada di kamar sebelah. Tubuhnya dingin, memucat dan lemah tanpa daya, terkalahkan oleh rasa takut teramat sangat.
Belum lepas dalam saruan suasana mencekam, ketukan pintu depan berulang menambah tubuh Novi gemetar. Tetapi tak berapa lama, ketukan itu berhenti, berganti suara lelaki tua memanggil.
"Mbak ... Mbak...."
Hal itu langsung merubah raut Novi. Ia segera bergegas melangkah cepat keluar dari kamar.
Sebelum menghampiri seruan di depan, Novi menyempatkan kembali menghidupkan lampu.
Lalu tergesa menuju pintu utama, yang terdapat seorang lelaki berusia lima puluhan lebih, berdiri tegak di ambang luar.
"Sepurone, Mbak, ganggu."(Mohon maaf, Mbak, mengganggu.) ucap lelaki berkaos lengan pendek yang tipis menerawang, bergambar sebuah logo partai.
"Njeh, Pak. Enten nopo?"(Iya, Pak. Ada apa?) sahut Novi dengan suara serak.
(Cuma mau bilang, Mbak. Kalau sudah masuk waktu Maghrib, semua lampu harus di hidupkan.) ujar lelaki itu, dengan mimik muka sedikit tegang.
"Njeh, Pak. Wau nggeh pun kulo uripaken, nanging mboten ngertos kok pejah kiambak."
(Iya, Pak. Tadi juga sudah saya hidupkan, tetapi tidak tau kenapa, kok bisa mati sendiri.) terang Novi menjelaskan.
Ucapan Novi kali ini menambah ketegangan menyirat jelas di kerutan wajah lelaki itu.
Bahkan ia terlihat risau, terekam dari beberapa kali wajahnya menoleh ke sisi kanan dan kiri seperti ada yang ditakutkan.
"Nggeh sampun nek ngoten, Mbak. Kulo nyuwun pamit."(Ya sudah kalau begitu, Mbak. Saya mohon pamit.)
Aneh pikir Novi melihat sikap Lelaki yang belum ia ketahui siapa. Dirinya hanya bisa mengangguk ketika sosok lelaki seumuran orang tuanya itu mengatupkan dua telapak tangan tanda berpamitan, sebrlum berjalan keluar pagar.
Di saat yang sama, setelah lelaki itu menghilang tertutup tembok dan gelapnya malam, dari gerbang pagar tak berpintu muncul Lina dan Rida.
Seketika juga, kelegaan mengganti degupan rasa takut, menghembus dari wajah Novi.
"Nopo kowe ngadek dewean nang teras wengi-wengi, Nov?"(Kenapa kamu berdiri sendiri di teras malam-malam, Nov?) tanya Lina yang berjalan di depan Rida, terheran.
"Iki mau bar ono bapak-bapak rene, ngandani, kon nguripi lampu sak durunge Maghreb."
(Ini tadi habis ada bapak-bapak ke sini, bilang, suruh hidupkan lampu sebelum Maghrib.) jawab Novi.
"La kowe muleh jam piro?"(La kamu pulang jam berapa?) tanya Rida, setelah berdiri di samping Lina.
"Aku muleh jam limo. Wes saiki mlebu disek."(Saya pulang jam Lima. Sudah sekarang masuk dulu.) jawab Novi, sambil menarik tangan dua sahabatnya untuk masuk.
Setiba di dalam, tepatnya berada di salah satu kamar, Novi mulai menceritakan satu persatu hal aneh yang ia alami.
Alih-alih mendapat solusi, atau dukungan menguatkan, Novi malah menjadi ledekan Rida dan Lina.
Sebetulnya hal itu sudah dirinya duga. Dari dahulu, Farida dan Marlina memang tak mempercayai perkara takhayul, atau apapun yang berbau mistis.
Tetapi pikir Novi, dengan ia bercerita setidaknya untuk menjaga-jaga, bahkan berharap bisa di jadikan pertimbangan dua temannya itu untuk pindah.
"Iki kekeselen kowe, Nov. Mangkane ngasi kegowo halusinasi."(Ini kecapekan kamu, Nov. Makanya sampai terbawa halusinasi.) ucap Lina tak percaya.
"Sak karepmu ae, lah. Arep percoyo opo ora. Tapi aku wes kondo opo enek e."
(Terserah kalian saja, Lah. Mau percaya apa tidak. Tapi saya sudah bilang apa adanya.)
"Iyo ... Iyo, Nov. Saiki mangan disek ae, gampang urusan demit-demit iku."(Iya ... Iya, Nov. Sekarang makan dulu saja, gampang urusan setan-setan itu.) Sergah Rida berbumbu candaan.
Meski wajah Novi merah, tak puas akan tanggapan Lina dan Rida, ia memilih menyudahi perdebatan dan menuruti dua temannya untuk keluar kamar, bersantap bersama.
Setelah selesai, Novi pun memilih kembali masuk ke dalam kamar.
Merebahkan tubuhnya, berharap tak lagi merasai hal apapun yg membuatnya takut.
Tetapi hal itu tak sepenuhnya terwujud. Sbb ketika matanya terkatup, selalu di penuhi dua bayangan sesosok wanita dan seorang bocah perempuan,
masuk tergambar tengah menagis, merintih dalam kubangan lelehan darah.
Berkali-kali dan selalu terulang, membuat Novi tak tahan lalu terbangun.
"Nopo Nov, kok gelisah ngunu."(Kenapa Nov, kok gelisah begitu.) tanya Rida, yang baru masuk setelah membersihkan tubuhnya.
"Jujur gak tenang blas aku, Da. Bayangan wong wedok karo bocah cilik nangis, ketok-ketok en nang mripat."
(Jujur tidak tenang sama sekali Saya, Da. Bayangan perempuan bersama anak kecil menangis, menggambar terus di depan mata.) jawab Novi pelan.
"Moco Doa nek arep turu, ki."(Baca Doa kalau mau tidur, makannya.) sahut Rida cuek, sambil terus menyisir rambutnya.
"Uwes, Da. Tapi panggah ae. Aku dadi ngroso, nek omah iki gak beres."
(Sudah, Da. Tapi tetap saja. Saya jadi merasa, kalau rumah ini tidak beres.) Sanggah Novi dengan raut merengut.
Namun ucapannya tetap saja di tanggapi dingin oleh Rida. Bahkan tak berselang lama, Rida yang selesai berhias ringkas, berbaring menutup telinganya dengan sepasang Handseat sambil memejamkan mata.
Malam itu benar-benar membuat lelah pikiran Novi. Berusaha sekuat apapun untuk terlelap menyusul temannya, namun kelopak matanya seakan terganjal, sampai lantunan suara Tarhim berkumandang.
Semua kejadian itu membuat Novi harus bangun terlambat. Tergesa dalam menyiapkan bekal untuk ke kampus, tertinggal oleh Rida dan Lina yang telah lebih dulu berangkat.
Menjelang sore hari, nafas lega terdengus keluar dari bibir dan penciuman Novi, mendapati Rida telah berada di rumah. Sedang Lina, dirinya tau bila ia paling sibuk oleh karena jurusan yang di ambil mewajibkan waktu lebih banyak.
Berbasa-basi sejenak, Novi meninggalkan Rida sendiri di teras. Menuju kamar sebentar, kemudian keluar melangkah ke kamar mandi.
Sekira baru ingin mengguyur tubuh penatnya, tiba-tiba Novi di kagetkan dengan aroma wangi kembang kamboja yang hadir seperti berasal dari belakangnya.
Seketika, tangannya urung menggayung air bening dari bak mandi berlapis keramik warna hijau, memilih berpaling untuk sekedar memastikan.
Kosong, tak ada apapun kecuali pintu yang tertutup rapat. Membuatnya kembali pada niatan membasuhkan air pada tubuhnya.
Sampai pada gayungan terakhir, Novi tak lagi membaui wewangian khas kembang kuburan. Namun saat ia akan beranjak keluar, dari dalam bak mandi tercium bau amis darah menyengat.
Tak percaya begitu saja, tangan Novi lalu menyentuh air di dalam bak. Hampir saja Novi terjatuh setelah tubuhnya terhuyung mundur, manakala tak hanya berbau amis darah saja air yang baru ia gunakan membersihkan tubuhnya, tetapi juga berubah kental, seperti berlendir.
Tak ingin lebih jauh merasakan ketakutan, Novi buru-buru keluar, dan berlari menuju kamar.
Rida yang saat itu tengah mengutak atik alat komunikasinya, sempat terheran melihat raut pucat Novi sekembalinya dari kamar mandi.
Tetapi tak lama ia pun tertawa, mendengar Novi menceritakan apa yang baru saja ia alami.
"Wet cilik tekan sakmene gedine aku ngerti setan iku nang film, Nov. Mulo aku yakin, enek e setan, demit, iku yo mung gawe-gawene menungso. Halu film horor yo kowe, Nov....."
(Dari kecil sampai sebesar ini saya tau setan itu di film, Nov. Makanya saya yakin, adanya setan, demit, itu ya buatang manusia. Halu film horor ya kamu, Nov.....) ujar Rida, masih dengan senyum ledekan.
LANJUT BESOK YA, PEGEL EH.
Novi yang mendengar itu, hanya menggelengkan kepala. Bukan mengiyakan ucapan tentang dirinya halu oleh film horor, namun tak menyangka tingkat ketidakpercayaan Rida sampai sebegitunya.
"Mugo-mugo ae nang omah ikilah kowe karo Lina bakal weruh, ndadekne percoyo karo seng jenenge mahluk ghoib, Da."(Moga-moga saja di rumah inilah kamu dan Lina akan melihat, menjadikan kalian percaya dengan yang namanya mahluk ghaib, Da.) sahut Novi sedikit ketus.
Kali ini Rida yang ganti menggeleng dengan di barengi sunggingan sinis. Tapi gelengannya bukan menolak ucapan mengandung unsur Doa, melainkan masih berupa ejekan dan ledekan.
Setelah itu keduanya saling diam.
Rida kembali sibuk dengan Laptopnya, sedang Novi memilih duduk menyudut di kasur tanpa ranjang.
Puluhan menit suasana hening menyelimuti rumah dengan posisi pintu tepat menghadap pertigaan jalan.
Meski di dalam terdapat Novi dan Rida, namun keduanya masih terus saling berdiam diri.
Hingga alunan Tarhim terdengar sebagai isyarat akan masuknya waktu Maghrib, Novi bergegas bangun untuk menghidupkan lampu.
Setiba menjejak di lantai ruang keluarga, Novi langsung merasakan sapuan angin sangat dingin hingga menembus kaos lemes yang ia kenakan. Tak begitu ia hiraukan walau mengusik rasa kaget, Novi tetap mendekati tempat sakral menempel.
Belum sempat ujung jarinya memencet, bola mata Novi lebih dulu terarah pada satu bayangan sesosok lelaki berperut buncit penuh bercakan darah, berdiri di sudut luar kamar yang terkunci gembok.
Tak menunggu lagi Novi pun segera menekan telunjuknya, berharap bisa segera melihat jelas sesosok itu.
Tapi aneh, saklar yang menjadi penyambung lampu, seakan tak berfungsi meski telah tertekan seperti biasa.
Hal itu langsung membuat kepanikan merundung Novi. Apalagi sosok itu dari keremangan terlihat melotot, seakan ingin menerkam Novi.
Tak kuasa lagi, Novi pun menjerit. Mengejutkan Rida yang langsung datang menghampiri.
"Enek opo, Nov!?"(Ada apa, Nov!?) tanya Rida ketus.
Bibir Novi bergetar tak sanggup menjawab. Hanya tangannya mengulur, menunjuk arah tempat dirinya melihat sosok lelaki tak berbaju menyembulkan perut buncit penuh lumuran darah.
"Opo! ra enek opo-opo, Nov!"(Apa! tidak ada apa-apa, Nov!) kembali, dengan sengit Rida berucap setelah matanya menuruti arah yang di tunjuk Novi, namun tak menemukan apapun.
Novi yang menunduk perlahan mengangkat wajahnya. Menatap lurus ruang kosong, yang semakin bertambah gelap.
"Klekkk!"
Seketika seluruh pandangan menjadi terang, setelah Rida berinisiatif menekan saklar lampu.
Semua terlihat biasa, tertata seperti semula.
Rida yang merasa kesal kemudian membalikan tubuh dan melangkah sambil terus mengeluarkan rutukan gerutu. Tepat ketika melewati tubuh Novi yang masih mematung, lengannya tercengkram kuat oleh jari-jari Novi hingga menahan kepergiannya.
"Opo meneh, Nov!?"(Apa lagi, Nov!?) seru Rida di penuhi kejengkelan.
Namun kali ini, berselang beberapa detik, setelah tangan Novi untuk kedua kalinya menunjuk arah lantai, Rida terdiam.
Matanya melebar, seakan ingin memperjelas pandangannya pada bekas tapak kaki tergambar lengkap oleh bercakan darah.
"Iku, Da. Iku opo!"(Itu, Da. Itu apa!) seru Novi mulai terisak.
Rida sendiri masih mematung antara percaya tak percaya. Wajahnya masih terlihat datar, dengan tatapan menyirat penasaran.
Berniat membuktikan, Rida melengos cengkraman tangan Novi untuk mendekati jejak kaki itu lebih dekat.
Tubuhnya kemudian merunduk, berjongkok, mengamati tapakan berlumur darah yang masih tercium bau amis.
Hal itu pun membuatnya merasai dingin tetiba menyerang sekujur tubuh, sebelum akhirnya ia kembali bangkit dengan raut wajah menggurat sesuatu yang tak bisa di tebak....
"Percoyo saiki, Da?"(Percaya sekarang, Da?)
Diam, lagi-lagi yang bisa di lakukan Rida sampai beberapa lama.
"Dewe kudu pindah seko kene, Da."(Kita harus pindah dari sini, Da.) sambung Novi masih di iring isakan.
"Tenango disek, Nov. Mengko le rembukan, dewe ngenteni Lina muleh."(Tenang dulu, Nov. Nanti ini kita bicarakan, nunggu Lina pulang.)jawab Rida pelan.
"Tokkk....Tokkk....Tokkk...."
Baru saja bibir Rida terkatup, dari depan terdengar ketukan keras di pintu berulang-ulang. Sejenak membuat keduanya terperanjat, sebelum Rida yang mengalah untuk bangkit, berjalan ke depan.
Saat bersamaan, mata Rida melirik ke lantai. Bersih, tak ada lagi jejak kaki, tak ada lagi aroma amis.
"Klekkk...."
Terbukanya pintu, memunculkan kerutan pada dahi Rida. Mendapati sesosok lelaki berdiri dengan posisi membelakangi, sedikit membungkuk.
"Maaf, siapa ya?" tanya Rida pelan.
Sosok itu perlahan menegakkan tubuhnya, kemudian berpaling. Membuat Rida tersurut mundur selangkah, menyadari keanehan pada lelaki yang hanya berjarak tiga langkahan dengannya.
"Ada perlu apa, Pak?" tanya Rida kembali.
Lelaki itu masih saja terdiam. Namun bola matanya yang belong ke bawah, kemudian terangkat, menatap lekat pada Rida.
"Pak, Bapak ini siapa dan mau apa!?" Mengeras kali ini suara Rida, oleh karena kecemasan yang mulai menggayuti.
Namun, lelaki bertubuh gempal dengan perut membuncit itu tetap tak bergeming. Bahkan semakin menajamkan tatapannya.
"Ya sudah, Pak. Saya mau ke dalam!"
Rida yang sudah terbauri antara cemas, takut dan jengkel, secara halus berucap mengusir serta berniat menutup pintu. Tetapi Belum sempat tanganya menyentuh handle, lelaki berwajah pucat pasi itu tiba-tiba menggedekan kepalanya sambil berkata
"Ngaliho seko kene, ngalih.... ngalih...ngalih...."(Pergilah dari sini, Pergi....pergi....pergi....)
Suara lelaki itu lirih dan serak, seakan tenggorokannya tersumpal oleh sesuatu. Dari nafas yang terhembus, aroma sangat arus terkandung menyesak dada Rida.
Setelah mengucapkan kalimat itu, lelaki yang hanya bercelana jeans tanpa penutup bagian atas, membalikan tubuh dan berlalu. Namun ia melangkah bukan ke luar dari halaman, tetapi menuju sisi kiri rumah.
Rida yang masih merasakan mual pada perutnya segera menutup pintu. Melangkah cepat menuju belakang, tapi tertahan oleh sosok Novi yang berdiri gemetar di samping pintu kamar.
"Seng mbok temoni kui mau, iku seng tak delok nang pojok kunu!"(Yang kamu temui tadi, itu yang aku lihat di sudut sana.)
"Maksudmu kae mau berarti....."(Maksudmu itu tadi berarti....)
Belum sempat Rida menyelesaikan ucapannya, Satu jeritan melengking menyentak dalam rumah itu. Membuat keduanya terjingkat, seraya bersama melempar wajah ke arah belakang, tepatnya di kamar mandi.
Beberapa kali lolongan menyayat suara wanita itu berulang. Dan pada tiap-tiap jeritanya selalu terjeda oleh suara seperti benda terjatuh ke dalam air, menimbulkan gelombang gebyuran yang keras.
Belum sempat berkurang ketegangan yang tercentang pada wajah Rida dan Novi, tak lama harus kembali menguap kuat, manakala dari kamar yang di tempati Lina, suara gedoran keras ikut meramaikan suasana malam di rumah itu.
Tubuh keduanya tak luput seketika melemah dingin, gemetar dan saling merapat.
"Brakk....!"
Tak lagi berdaya, tak juga mampu mengeluarkan suara, Rida dan Novi hanya pasrah, menyaksikan gebrakan pintu kamar terbuka paksa,
memunculkan bocah kecil berambut sedikit keriting berlari keluar dari kamar menuju ke kamar mandi.
Setelah anak perempuan berumur sekitar delapan tahunan itu masuk, Rida dan Novi tak lama mendengar suaranya ikut menjerit, memohon-mohon ampun serta belas kasihan.
Detik berikutnya, keheningan menghimpit ketakutan Rida dan Novi sejenak. Namun hanya beberapa puluh detik saja, lalu kembali terkerek oleh pemandangan menghampar kesadisan, di mana dari dalam kamar mandi terlihat seorang lelaki berperut buncit tak berbaju keluar sambil -
menyeret dua tubuh sekaligus dalam keadaan berlumuran darah.
Lelaki bertubuh gempal itu terus menyeret menuju ke kamar yang di huni Lina. Tak perduli dengan ceceran darah membercak mengotori lantai,
juga tangisan merintih lirih dari bibir seorang wanita berusia tiga puluhan tahun dan bocah bertubuh kurus yang ia seret.
Tak berhenti itu saja, setelah masuk ke dalam, lagi-lagi terdengar suara benturan di tembok hingga beberapa kali.
Kemudian lengkingan keras serentak membahana dari suara wanita dan bocah itu, menutup keriuhan menjadi keheningan setelahnya.
Novi dan Rida yang tak terlukis lagi ketakutannya, tersimpuh di lantai. Nafas keduanya tersengal di samping tubuh yang basah oleh keringat,
setelah menyaksikan kejadian seolah sangat nyata di hadapan mereka.
"Da, Nov! ngopo ndeprok nang kunu?"(Da, Nov! kenapa bersimpuh di situ?)
Lina, yang baru saja pulang terkejut melihat kedua temannya terduduk dengan wajah basah pucat pasi.
Kemudian dengan cepat ia memapah bergantian antar Rida dan Novi, membawanya ke dalam kamar, sadar jika kedua temannya itu tak main-main.
"Rida, Novi, koe kenek opo!"(Rida, Novi, kalian kenapa!)
Bingung, panik, saat itu Lina yang tak berhasil menyadarkan dua sahabatnya. Segala cara telah dirinya lakukan, mulai dari memanggil, menggunjang, namun tetap saja tak mampu membuat Rida dan Novi membuka mata.
Dalam suasana kecemasan, Lina yang teringat sesuatu segera bergegas menuju kamarnya. Mengobrak-abrik tasnya, mencari sesuatu yang dirasa bisa untuk menolong temannya.
Setelah teracak-acak, akhirnya Lina menemukan sesuatu yang ia cari, sebotol kecil minyak cap kapak, menumbuhkan harapan agar Rida dan Novi bisa siuman.
Tetapi, belum sempat kakinya keluar dari lantai kamar yang di tempatinya,
matanya tetiba melolong tajam tertuju pada lelehan darah menempel di tembok, bersama dua tubuh di bawahnya dalam keadaan mengerikan.
Dua tubuh dari seorang wanita muda dan seorang bocah itu di penuhi lumuran darah.
Kedua bola matanya melotot, serta bagian kepala atas remuk, mengelupas, menyisakan warna putih dari tulang-tulang batok kepalanya.
Lina yang sudah gemetar dan tak sanggup untuk melihatnya, perlahan mundur setapak demi setapak hingga sampai di ambang pintu.
Kemudian ia membalikan badan, namun belum sempat kakinya melangkah, tepat di depannya, berjarak sejengkal saja dari wajahnya, sepasang kaki membiru menghalang.
Sebelum menerobos juntaian dua kaki menggantung, sebentar Lina mendongak, menatapi pelan sampai ke ujung atas,
mendapati seraut wajah lelaki menjulurkan lidahnya.
Lototan bola mata dari lelaki yang tergantung dengan seutas tali tambang, seperti tepat menyorot ke arah Lina. Membuat tubuhnya goyah, terhuyung, namun tak sampai roboh.
Merangkak pelan, Lina akhirnya sampai di kamar tempat Novi dan Rida terbaring. Selanjutnya dengan sisa tenaga dan keberanian, Lina naik mengoleskan minyak yang ia genggam.
Tangisan berisak dalam cekaman ketakutan meriuhkan kamar paling depan, di mana setelah tersadar Rida dan Novi saling berpelukan satu sama lain.
Kondisi ketiganya saat itu benar-benar lemah. Tak lagi mampu untuk sekedar menyahuti seruan memanggil beberapa suara, berasal dari arah teras depan.
Satu menitan suasana terjeda kesunyian. Hanya suara langkah-langkah kaki bersliweran yang terdengar, seperti tengah mengitari seluruh bagian luar rumah.
Berselang lima tarikan nafas, suasana kembali riuh. Berasal dari gedoran beruntun di pintu depan, seperti ingin membuka paksa.
Namun kali ini, mendengar gedoran di sertai teriakan, justru membuat wajah ketiga gadis ayu berubah penuh harapan. Oleh karena keramaian di luar, mereka yakini dari para warga setempat, bukan dari para penghuni alam lain.
Setitik harapan itu akhirnya menguatkan mereka untuk bersama bangkit, keluar dari kamar dengan tertatih. Lalu berubah raungan keras, luapan terlepasnya mereka dari ketakutan, saat puluhan orang memapah keluar dari dalam rumah, menuju ke sebuah rumah milik salah seorang warga.
"Alkhamdulillah selamet kabeh awakmu, Nduk."(Alkhamdulillah selamat semua kalian, Nduk.) ucap seorang wanita berhijab kurung, memanjatkan rasa syukur, melihat Novi, Rida dan Lina, berangsur membaik setelah meneguk masing-masing segelas air putih yang ia berikan.
"Kok iso ngene iki piye to Nduk critane ki."(Kok bisa begini ini bagaimana to Nduk ceritanya.) ujar seorang lelaki sedikit sepuh, berkopiah hitam dengan setelan baju koko dan sarung bergaris pinggir.
Ketiganya sebentar terdiam mengatur nafas, sebelum Rida, yang awal mendapatkan tempat itu menegakkan tubuh untuk menceritakan semuanya.
Anggukan dan beberapa kali gelengan kepala dari beberapa orang yang ada di ruangan itu, menyambut jalan cerita yang di ungkap Rida.
Rerata mereka terlihat begidik ngeri, kecuali dua lelaki yang berpakaian kontras.
"Awakmu kui coro jowone keno Selong. Mergo Mbah Bari iku wes ninggal pirangane taun kepungkur."(Kamu itu ibarat ilmu jawanya terkena sihir mengurung sukma.
Karena Mbah Bari itu sudah meninggal beberapa tahun yang silam.) ujar lelaki tua berkain batik panjang.
"Biyen iku, lemah seng di dekno omah kae, jane tegalan biasa. Neng sak bare kedaden ribut geden tahun sangang puluhan, lemah iku dadi ngeres.
Mergo akeh wong mati di kubur nang kunu tanpo di rumat."(Dulu itu, tanah yg di dirikan rumah sekarang, sebenarnya pekarangan biasa. Tp setelah terjadi kerusuhan besar tahun sembilan puluhan, tanah itu jadi angker. Karena banyak orang meninggal di kubur di situ tanpa di sucikan.)
"Seng duwe kui asline wong sebrang seng wektu iku di gegeri. Mergo sak keluarga di pulo soro ngasi mati, akhire lemah kui di kuasai ndeso. Di dol nang wong tuone Bari, terus di kekne Bari, di dekne omah pengobatan awal-awale."
(Pemilik pertama itu aslinya orang tanah sebrang yang waktu itu di ributkan keberadaanya. Karena semua keluarganya ikut jadi korban penganiayaan hingga meninggal, akhirnya tanah itu di ambil pihak desa.
Di jual kepada orang tuanya Bari, terus di berikan ke Bari, di dirikanlah rumah praktek pengobatan awal-awalnya.) Sambung lelaki jangkung yang di kenal sesepuh di Desa itu.
"Artine memang Bari iku Dukun Biyene, Mbah?"(Artinya memang Bari itu dukun dulunya, Mbah?) tanya salah seorang dari beberapa warga yang ikut berkumpul.
"Pertamane dukun pengobatan, suwi-suwi mbukak praktek ndobelne duwet. Mulo seng teko waktu iku tamune roto-roto seko adoh-adoh. Neng kahanane Bari mek dukun obat, akhire dekne nglakoni coro opo ae, -
misal di kejar karo pasien seng do setor duwet akeh, salah sijine korban seng ganggu nduk-nduk iki."(Pertamanya dukun pengobatan, lama-lama bukak praktek penggandaan uang. Makanya yang datang waktu itu tamu dari jauh rata-rata.
Tapi karena Bari itu hanya dukun obat, akhirnya dia melakukan apa saja ketika di kejar para pasien yang sudah terlanjur setor uang banyak, salah satunya yang jadi korban, yang mengganggu Nduk-Nduk ini.)
"Wektu iku pas Bari di grebek Polisi, sak ilingku ono wong pitu seng di kubur gok njero omahe. Bocah cilik e siji, wedok loro, lanange papat. iku seng sekeluarga matine mergo seng lanang di apusi, di kon mateni anak bojone jare kanggo syarat,
seng wektu iku melu runu, sak bare seng lanang di gantung gon lawang."(Waktu itu saat Bari di tangkap Polisi, seingatku ada tujuh orang yang di kubur di dalam rumahnya. Satu anak kecil, dua perempuan, empat lelaki.
Itu yang satu keluarga meninggalnya karena si Suami di bohongi. Di suruh membunuh anak dan istrinya bilangnya untuk syarat yang waktu itu ikut ke situ, setelahnya si Suami ini di gantung di pintu.)
"Mulo sampek saiki gak ono wong gelem nuku, masio murah, pisan angker mergo akeh nyowo seng di kubur, kelorone madep pertelon pas. Pendelokanmu omah iku resik nduk, neng sak bare iki, sisok isuk delok en meneh, bakal ngerti asline."
(Makanya sampai sekarang tidak ada orang mau membeli, walau murah. Pertama angker karena banyak nyawa terkubur, ke dua karena menghadap pertigaan tepat. Penglihatanmu rumah itu bersih Nduk. Tapi setelah ini, besok kamu lihat kembali, akan tau aslinya.)
"Nek saiki seng nduweni omah iku sopo, Mbah? terus Bari ninggale?"(Kalau sekarang yang memiliki rumah itu siapa, Mbah? terus Bari meninggalnya?) tanya lelaki berkopiah, tak lain sang tuan rumah, Suami dari wanita berhijap yang mendampingi Rida, Lina dan Novi.
"Saiki seng nduweni adine Bari. Neng wonge wes pindah adoh, sak bare Bari ninggal nang penjara. Bari iku gak mbojo, dadi gak nduwe garis turun."
(Sekarang yang memiliki adiknya Bari. Tapi orangnya sudah pindah jauh, setelah Bari meninggal di penjara. Bari itu tidak beristri, jadi tidak mempunyai anak keturunan.)
Semua orang yang mendengar itu terdiam, tertegun, meresapi cerita ngeri di balik Rumah pertigaan yang hanya mereka dengar sekedar angker, tanpa tau sejarah kelam di balik keangkeran itu sendiri.
"Untung Nduk, mau kok kang-kang iki do krungu suoro lemu do njerit-njerit."(Untung Nduk, tadi kok mas-mas ini mendengar suara kalian menjerit.) ujar wanita berhijab, sambil mengusap kepala Novi yang duduk tepat di sampingnya.
"Kami ki ngiro nek cah telu iki lagi KKN. Makane gak wani marani waktu pertama ngerti manggon kunu."
(Kami ini mengira kalau tiga cewek ini sedang KKN. Makanya tidak berani menghampiri waktu pertama tau menempati rumah itu.) sahut salah satu pria muda yang ikut menyelamatkan Novi dan dua temannya.
Obrolan panjang lebar masih sekitaran Rumah Pertelon itu terus berlanjut hingga larut malam, walau tanpa Novi, Rida dan Lina.
Ketiganya mengiring Wanita berhijab untuk menuju sebuah kamar. Merasai ketenangan setelah tercekam ketakutan luar biasa, oleh satu kejadian yang bakal membekas seumur hidup ketiganya....
SELESAI.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
"Separo badannya dari kepala sampe perut masuk ke mesin ketel, sementara separonya lagi masih diluar pintu mesin ketel. Dulu kalo kata pegawai yang lama, berita itu sampe masuk koran."
gambarannya kayak gini 👇
a thread
DARAH MANIS PABRIK GULA
#bacahorror
Disclaimer : semua nama dalam cerita sudah di samarkan. Dan cerita ini dibagikan untuk di ambil hikmahnya saja dan tidak bermaksud untuk menjatuhkan suatu tempat yang menjadi lokasi kejadian. jadi kalo ada yang tau ttg kejadian ini mohon di simpan untuk diri sendiri aja.
“Di pabrik gula ini ada cerita terkenal, Mas. Tentang mandor pak Tarjo (samaran). Klo sampai ditampakin, terus di ajak kerja bareng mandor itu, udah pasti di ajak mati!” kata mas Rusdi (samaran) salah satu mantan karyawan pabrik.
"Lahir tanpa detak jantung, ia diselamatkan dengan ritual ghaib yang dilakukan ibunya."
a thread
#bacahorror #anakjahanam #bocilkematian
Biasanya, kelahiran seorang anak itu jadi rejeki untuk orang tuanya. Tapi gimana ceritanya, kalo kelahiran seorang anak itu malah jadi teror yang mengerikan? Bahkan gak cuman di dalam keluarganya aja, tapi seluruh warga desa pun juga ikut kena dampaknya.
Kalo kata Mbah Supri, seseorang yang dulu pernah kerja jadi sopir di keluarga tersebut berucap, “Anak jahanam! bocah pembawa kematian!”
Semua itu bermula ketika Mbah Supri mengantarkan mbak Gina ke sebuah tempat. Tempat di mana awal mula teror mengerikan dan sinting terjadi. Mbak Gina adalah istri dari mas Gani. Mereka sudah menikah lama, dan sudah 2x hamil namun keguguran dengan kasus yang sama. Yaitu setiap menginjak usia enam bulan, pasti keguguran.
Dan ini adalah kehamilan yang ketiganya. Mbak Gina tak ingin jika harus kehilangan lagi. Hingga saat itu tiba, mbak Gina bertemu dengan seseorang yang mbak Gina sendiri gak kenal.
Ada yg bilang, kalo PULUNG GANTUNG PATI NGENDAT (bunuh diri) itu NULAR. Terus ada DM bilang kalo beliau punya temen yg pernah liat Pulung Gantung. Penasaran, kita lgsg ke tempat yg pernah kejadian pulung gantung.
Nah jadi beberapa waktu yang lalu, ada yang ngechat saya lewat DM. namanya sebuat aja mas Sugeng dari Gunung Kidul. Inti dari chat ini mas Sugeng ngasih saya informasi terkait Pulung Gantung atau Pati Ngendat (bunuh diri) yang ada di Gunung Kidul.
Mas Sugeng bilang, kalau dia punya kenalan yang katanya pernah lihat bola api atau semacam banaspati yang di duga Pulung Gantung yang jatuh ke rumah salah satu tetangganya sebelum akhirnya besoknya meninggal gantung diri.
Pernah gak? Kalian nyewa rumah tapi pemilik rumahnya itu juga tinggal di rumah yang kalian sewa?
Sebelumnya, Ini bukan soal cerita tentang kontrakan berhantu atau pun angker. Tapi lebih ke ibu pemilik kontrakannya yang ANJ*NG BANGET!! Dasarnya emang JANDA SESAT.
#bacahorror @IDN_Horor @asupanhororrr #bacahoror
Kenalin aku Arin. Aku mau cerita tentang kejadian yang menyebabkan ibu meninggal dan bapak sakit-sakitan gara-gara si ibu pemilik kontrakan. Sebut saja si ibu pemilik kontrakan itu bu Ajeng. Umurnya kisaran 40-50an. Tapi mukanya boros. Keliatan banget tuanya.
Sebelumnya aku jelasin dulu rumah kontrakan ini. rumah ini punya 2 lantai memanjang ke belakang dengan luas muka sekitar 10 meter. Lantai 1 & 2 hampir sama, mulai dari penempatan barang2 sama furniturnya. Cuman yang bedain lantai 2 gak ada garasinya.
“Aku lagi naik motor sama temenku. Ceritanya mau liburan ke Pantai Gunungkidul. Gak tau kenapa, tbtb pandanganku gelap beberapa detik, kayak ada yang nutupin mataku. Pas normal lagi, di depanku udah ada BAK TRUK. “BRAK!” Aku nabrak, aku lgsg jatuh ke tengah jalan. Kejadiannya cepet banget. Mobil dari belakang nelindes kakiku. Aku koma 12 hari.”
a thread
#bacahoror #bacahorror @IDN_Horor
Gak cuman warga sekitar yang menyimpan kecurigaan. Saya rasa, hampir semua orang di desa ini menyimpan pertanyaan yang sama. Bagaimana bisa, keluarga yang awalnya begitu melarat, menjadi super kaya dalam hitungan minggu. Sebuah pola lama yang terus terjadi. Cerita lama yang tak akan habis dicertikan sepanjang keturunan.
Semua itu bermula ketika Arum masih kecil. Dulu Pak Seno, bapaknya Arum ini kerja diperusahaan besar di jogja dan ekonomi keluarga mereka bisa dibilang cukuplah.
kisah nyata
"NIAT MERANTAU MAU KERJA, MALAH SETOR NYAWA"
Menurut cerita dari warga, dulu, di rumah itu pernah ada tragedi pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang dan di dalangi oleh adik kandung yang punya rumah. lalu dia berhasil di habisi dengan cara di sembelih tepat jam 12 malam di dalam kamar . Tapi sebelum dia meninggal, dia sempet bersumpah....
a thread horror
#bacahorror #asupanhorror @IDN_Horor
Mereka menghabisi nyawa si pemilik rumah karena sudah gak tahan sama kelakuan dan kejahatan yang di lakukan pada warga sekitar. Termasuk sama keluarganya sendiri.
Lalu si pemilik rumah berhasil di habisi setelah di rencanakan lama. Karena si pemilik rumah itu punya banyak ilmu, makanya yang ikut terlibat itu gak cuman 1 atau 2 orang aja, tapi banyak orang.
Dan setelah menentukan waktu yang tepat, berdasarkan anjuran dari orang2 yang tau ilmu kebatinan, di malam kelahirannya , jadi malam tragisnya.