meme Profile picture
Aug 1, 2022 608 tweets >60 min read Read on X
- TUMBAL NYOWO SEDULUR -

"Bulek Sri mu ogak salah nduk. Bulek mu kejupuk sukmane karo jin iku mergo ilmu soko mbah buyut mu sing urong sempurno tapi wes ditinggal sedo"

- a thread based on true story
@IDN_Horor @bacahorror @threadhororr
#bacahorror #threadhorror Image
Sebagai pemahaman terhadap alur cerita ini, aku buatkan sebuah denah yang kurang lebih sebagai penggambaran letak lokasi kejadian.
ImageImage
Bismillah.
Cerita ini aku tuliskan berdasarkan kisah nyata, menurut kisah yg aku alami saat berumur 7 tahun sampai saat ini, sbg bentuk hal untuk mengenang salah satu Bibi ku (bulek) yg harus menghadapi kejamnya ilmu kejawen rawa rontek sampai titik akhir hidupnya.

Al-Fatihah
- start
Perkenalkan namaku Mayang, dalam keluargaku aku biasa dipanggil dengan nama tengahku, Galuh. Aku lahir dari seorang ibu yg memiliki kehidupan masa kecil cukup kelam, seram dan mencekam. Sampai aku berumur 7 tahun, ibuku baru berani mengajakku ke rumah itu.
Rumah nenek. Berada di Desa Geneng, Kabupaten Ngawi. Rumah itu masih berbentuk seperti rumah joglo tua yg terlihat sangat kental dengan aura mistisnya, bahkan sampai saat ini. Mamak, panggilanku pada ibu, menghabiskan masa kecilnya dirumah itu dengan penuh cerita kelam didalamnya
Saat itu aku masih belum banyak tanya, lanyaknya anak kecil yg selalu merengek ingin pergi ke rumah neneknya. Namun sebelum umurku 7 tahun, aku selalu dilarang oleh mamak untuk pergi ke rumah itu.
"Mak ayo ke rumah nenek"
"Nanti dulu nduk, tunggu umurmu genap 7 tahun"
"Memang kenapa? Aku udah gede pengen ketemu nenek, pengen kerumah nenek, bulek Sari sama yg lain juga"
"Ini demi kebaikanmu nduk, nanti tunggu bulan Februari kita ke rumah nenek ya"
Saat itu masih di akhir tahun 2006, kurang 2 bulan lagi aku bisa kerumah nenek. Idamku saat itu.
Malam itu aku tidur di kamar dengan pintu terbuka, sedikit aku mendengar percakapan mamak dan bapak dari luar kamar.
"Gimana keadaan Sari sekarang? aman gak bawa Galuh kerumahe simbah?" suara bapak.
"Aku ditelfon karo Yanto (suami bulek) Sari wes mendingan. Insyaallah aman"
"Kenapa mak sama bulek Sri?" panggilan kecilku pada bulek Sari yg saat itu masih susah untuk menghafal nama aslinya.
"Nggak papa nduk, bulek Sri lagi sakit. Nanti kalau kamu kesana, jangan terlalu deket2 dulu ya sama bulek. Kalau diajak bulek juga jangan mau dulu"
Singkat cerita, tibalah waktu yg aku nanti nantikan. 20 Februari 2007. Genap 7 tahun umurku. Masih ingat dgn jelas saat itu aku pulang sekolah dgn baju merah putihku. Dan sampai rumah aku menagih janji kedua orang tua ku untuk memberikan kado ulang tahun. Pergi kerumah nenek
Kedua orang tua ku pun tidak ingkar janji, mereka benar mengajakku pada hari Sabtu. Setelah pulang sekolah, aku berangkat dengan dibonceng tengah menggunakan sepeda motor. Diperjalanan masih teringat dengan jelas ibu tidak henti hentinya berdoa. Entah doa apa yg diucapnya.
Kurang lebih 1 jam perjalanan kami tempuh. Jam 6 sore setelah maghrib, tibalah kami disebuah rumah tua, berbentuk joglo dengan 3 kayu kekar sebagai pondasi. Aku yg tadinya semangat, justru menciut nyaliku saat melihat rumah nenek itu.
"Mak ini bener rumah nenek?" tanyaku
"Iya, nanti sebelum masuk pintu kamu baca Al-Fatihah dulu ya"
"Iya mak" ucapku tanpa banyak tanya kenapa, karena memang sudah sangat ketakutan.
"Assalamualaikum, mbok?" sapa mamak dibalik pintu.
Aku yg saat itu masih berdoa, sembari melihat rumah yg hanya diterangi lampu petromak
"Assalamualaikum mbok?" ganti bapak yg melantunkan salam.
Namun tidak ada jawaban yg didapat. Kami pun memutuskan untuk masuk saja. Tapi saat itu, aku tertegun sebentar. Melihat kearah bangunan kosong, ada seseorang yg melambaikan tangannya padaku. Usia sebaya denganku. Cantik
Aku kecil bertanya pada mamak.
"Mamak, itu namanya siapa?"
"Siapa nduk?"
"Itu dirumah itu, didepan teras" sembari menunjuk rumah kosong itu
Mamak pun menatap bapak, dengan semburat wajah yg ketakutan dan cepat2 menutup mataku dengan kedua tangannya.
"Udah ayo masuk" kata mamak
Sampai didalam rumah, ternyata sepi. Bulek Sari yg aku cari tidak ada, Titi anak bulek yg sebaya denganku pun tidak ada, begitu juga Paklek Yanto. Namun ternyata nenekku ada di dapur. Namun duduk terdiam di pintu penghubung ruanh keluarga dan dapur.
"Mbaaah" sambutku ceria
"Ya allah genduk ku (panggilan sayang oranh jawa) teko" kata nenek. Tapi ada yg aneh dari wajah nenek. Aku yg masih kecil pun menyadarinya. Begitu ketara. Takut tapi juga sedih.
"Ada apa mbok?" tanya mamak
"Sari ilang" kata nenek
"Hlo hilang kemana? Sejak kapan?" tanya mamak
Bapak segera menggendongku.
"Tadi sebelum maghrib setelah dari kamar mandi Sari ngamuk, ditenangkan karo Yanto. Udah tenang, ditinggal Yanto wudhu Sari udah gak dikamar"
"Hla sekarang Yanto nyari Sari dimana? Sama siapa mbok?"
"Yanto karo Kamidi, ng punden"
Sebagai informasi, dalam adat jawa yg disebut punden itu sebuah tempat yg disakralkan, tidak boleh dikunjungi sembarang orang, dan biasanya didalam punden ada sebuah makam leluhur desa yg disemayamkan disana.
Apalagi di Desa Geneng itu, sangat pantangan bagi para penduduk hanya sekedar melewati punden di sore hari menjelang maghrib apalagi memasukinya. Ohiya, semua percakapan aslinya dalam bahasa Jawa, namun aku ubah ke Bahasa Indonesia supaya teman2 lebih mengerti ya
Setelah percakapan dengan nenek, mamak langsung berkata pada bapak.
"Pak apa pulang aja?"
"Jangan, ini udah malem malah rawan kalau kita keluar sekarang. Nginep dulu aja mak bismillah"
Saat itu aku masih tidak mengerti ada apa dengan kondisi saat itu.
Yang aku yakini hanya satu, sepertinya rumah nenek memang tidak senyaman yg aku bayangkan selama ini.
Nenek pun langsung menimpali perkataan Bapak, "Iya nduk, gapapa nginep disini aja. Sari udah mendingan, cuman mungkin ini memang hari pas wetonnya saja jadinya rawan"
Singkat cerita, aku masih diam membisu, masih dalam dekapan Bapak sembari menunggu di ruanh keluarga dengan mamak dan nenek. Mataku sudah mengantuk, dan aku pastikan saat itu sudah diatas jam 10 malam. Namun bulek Sari masih belum pulang. Sampai akhirnya terdengar suara warga
"Mbok mbok inem" panggil warga
"Nggih, ada apa Pak RT?" balas nenek. Oh ternyata pak RT yg datang.
"Sari sudah ketemu" kata pak RT
"Tapi pingsan di pinggir rel kereta api" sambungnya
Semuanya kaget
"Tapi adikku baik baik saja kan pak?"
"Nggih mbak" kata pak RT
sedikit lega.
Sebagai informasi, memang desa nenekku dekat dengan jalur lintasan kereta api. Namun, lintasan itu jarang untuk dilalui orang karena tempatnya yg tinggi diatas tembok besar, dan sulit dibayangkan bagaimana bulek bisa sampai diatas sana?
Karna udah malem, mungkin sisa cerita pertama kali selama 7 tahunku bertemu bulek akan ku update besok sore ya! Stay tune! Dan aku minta tolong sekali lagi untuk pembaca thread ini, tolong berbesar hati untuk meluangkan waktunya membacakan Al-Fatihah untuk bulekku ya..🙏 Makasih
Kira2 seperti ini tembok yg aku maksud, diatas tembok tinggi itu ada lintasan rel kereta api. Dan bagi manusia normal sepertinya memang tidak masuk akal bisa sampai diatas sana, karena posisi tembok itu tidak ada tangga atau akses untuk menuju keatas. Jadi bagaimana bulek naik? Image
30 menit setelah kedatangan Pak RT tersebut, dibelakangnya muncul beberapa gerombolan warga.
"Laillahhaillah Sarii" pecah tangis nenek dan mamak ku.
Aku yg tadinya mengantuk justru saat itu terbuka lebar mataku melihat Paklek Yanto sudah pulang dengan Titi.
Namun bukan keadaan ini yg aku harapkan saat itu. Bukan keadaan mereka pulang dengan mulut Bulek Sari belepotan dengan sesuatu berwarna merah segar. Darah. Bukan kengerian itu yg aku bayangkan. Aku pun yg tadi berusaha menyembunyikan rasa takut kini justru menangis tak tentu.
Keadaan Bulek saat itu digotong 3 orang salah satunya Paklek Yanto. Tubuhnya terkulai lemas dan tidak sadarkan diri. Cepat cepat nenek mengambil waslap air hangat untuk membersihkan badan bulek Sari. Juga beberapa warga turut serta kembali ke rumah mereka masing2.
Setelah semua warga pulang, barulah Paklek bercerita apa yg dialaminya saat mencari bulek Sari saat itu.
Memang benar penuturan nenek diawal, bahwa kronologi kejadian malam itu diawali dengan Bulek yg tiba2 mengamuk membanting semua barang2 yg ada di dapur.
Namun paklek saat itu masih bisa menenangkan bulek dengan membacakan ayat ayat suci Al-Quran ditelinga bulek. Sampai akhirnya bulek dibawa masuk kedalam kamar. Paklek berani meninggalkan bulek untuk mengambil air wudhu karena pada saat itu memasuki waktu maghrib
Karena keadaan saat itu dinilai paklek bahwa bulek sudah cukup tenang dan tertidur. Namun, 5 menit setelah mengambil air wudhu paklek kembali ke kamar, paklek mendapati sajadah tergelar padahal awalnya masih terlipat rapi diatas kasur, dengan posisi bulek sudah tidak ada di kamar
Cepat2 paklek memberitahukan nenek bahwa Sari hilang, nenek kemudian meminta tolong kepada Pak Kamidi yg masih berstatus saudara, untuk membantu mencari Sari. Dengan inisiatif Pak Kamidi yg ternyata sudah mengetahui sedikit banyak tentang kisah bulek Sari, mereka menuju punden.
Alasan Pak Kamidi memilih punden sebagai tempat tujuan pertama pencarian dikarenakan kondisi saat itu maghrib dan memang pantangan saat maghrib bagi warga untuk melintasi punden tersebut, namun dgn kondisi Sari yg sepertinya bukan jiwanya, ia yakin Sari terkoneksi kesana
Selang 10 menit perjalanan mereka, sampailah mereka di punden. Dan benar saja mereka mendapati bulek dengan keadaan bersujud di makam punden tersebut. Saat melihat kondisi ibunya, Titi menangis dan demi keamanannya Titi dititipkan ke rumah warga sekitar punden sblm mengevakuasi
Setelah dirasa kondisi aman, paklek masuk kedalam punden dengan Pak Kamidi, sembari merapal doa doa yg ia bisa dengan mengucapkan salam.
"Buk, ayo pulang buk" kata paklek kepada bulek yg masih dalam posisi sujud.
Tidak ada jawaban dan hanya bicara komat kamit tidak jelas.
"Sar. Ayo pulang, disini bukan rumahmu sar" kata Pak Kamidi sembari memegang kepala bulek dengan merapalkan entah bacaan apa itu, paklek pun tidak mengerti. Yang jelas niat Pak Kamidi baik. Saat kepala bulek dipegang oleh Pak Kamidi, tiba tiba dalam punden ada burung gagak.
Burung itu hitam pekat, mata merah dengan ukuran yg cukup besar bercengger di atas makam sambil melihat kearah bulek. Saat itu, bulek mendongakkan kepalanya dan melihat dengan tatapan penuh benci kepada Pak Kamidi dan dengan tatapan seperti ingin membunuh gagak itu
Setelah itu, bulek bisa dibujuk untuk pulang. Namun baru sekitar 7 langkah bulek meninggalkan punden, bulek mengamuk lagi. Kali ini paklek menjadi saksi bahwa saat itu bulek bukan berlaku seperti orang. Namun seperti hewan kera dengan berjalan menggunakan tangan dan kakinya.
Dan anehnya, kekuatan bulek bertambah berlipat lipat. Bahkan Pak Yanto yg berbadan kekar bersama Pak Kamidi pun terhuyung saat berusaha untuk mencegah bulek lari. Namun naas, mereka justru jatuh tersungkur dan kembali kehilangan jejak bulek yg berlari cepat seperti kera.
Saat itu mereka cepat2 bangkit, kemudian mencari lagi posisi Sari berada dimana sembari meminta tolong Pak RT untuk mengirimkan warga membantu mencari. Warga berbondong bondong mencari bulek, mulai dari menyusuri sungai, kembali ke punden, sawah, bahkan kebun2 milik warga.
Mereka semua tidak berekspektasi bahwa bulek saat itu berada di lintasan kereta, karena memang tidak mungkin bagi seorang manusia bisa mencapai rel tersebut karena posisinya yg tidak dapat diakses untuk mencapai diatas.
Namun, salah seorang warga mendapati seorang pengendara sepeda pancal berusia tengah baya berteriak sembari menatap keatas rel. Benar. Bulek berada diatas sana dengan posisi separuh badan hampir jatuh ke bawah. Dengan panik warga itu memanggil bantuan yg lain
Paklek saat itu sangat kaget, bagaimana bisa istrinya sampai disana? Sampai saat itu pun tdk ada jawaban karena tidak ada 1 orang pun yg melihat bagaimana bulek naik. Tapi 1 yg diyakini Paklek, bulek bertingkah seperti kera dan mungkin tabiat kera itu yg membantunya sampai diatas
Sembari memikirkan cara bagaimana mengevakuasi bulek, saat itu Pak RT mengusulkan untuk meminjam traktor pengangkut pasir untuk membantu Paklek mencapai bulek diatas sana. Beruntungnya warga baik hati itu meminjaminya. Proses evakuasi berlangsung selama 1 jam.
Sampai akhirnya, paklek sangat lega bisa kembali menjangkau tubuh bulek. Namun, rasa lega itu tiba2 sirna saat dibarengi tangan bulek yg menggenggam burung gagak dengan kondisi yg sudah mati, beserta dengan polesan darah yg ada di mulut bulek. Ya, bulek memakan burung itu.
Sudah selayaknya seorang suami, untuk selalu menerima dan siap dengan segala kondisi istri mereka. Paklek memang takut dengan kondisi itu, tapi rasa sayangnya pada bulek lebih besar daripada rasa takut yg harus ia hadapi selama hidupnya bersama bulek. Termasuk hari itu.
Singkat cerita, setelah paklek sudah berhasil membawa bulek ke bawah, para warga pun tanpa ragu membantu untuk membopong bulek pulang. Namun, saat diperjalanan, paklek berani bersumpah melihat bulek tersenyum dengan posisi mata masih tertutup. Sebentar. Tapi sangat jelas.
"Tapi awakmu wes coba ngehubungi pak Amsar yan?" Kata bapak. Pak Amsar yg dimaksud Bapak adalah seorang kyai yg terkenal di desa nenek pada jaman itu.
"Sudah mas, tapi baru kali ini Sari bertindak ekstrim gini. Dulu nggak pernah. Semenjak ulang tahun Titi bulan Januari lalu"
Benar, Titi genap berumur 7 pada januari 2007. Satu bulan lebih tua dari ku. Ada apa? Kenapa dengan usia 7 tahun saat itu?
"Memang ada kejadian apa setelah ulang tahun Titi sebelum kejadian ini Yan?" tanya mamak
"Sari pernah mbak bawa pisau pas Titi tidur. Titi udah sampai terluka di perutnya sedikit. Untung saja aku langsung tahu, gabisa bayangin mbak kalau sampai Sari ngelukai Titi"
"Terus Sari gimana? Dia sadar nggak dia mau ngelukai anak kandungnya sendiri?"
"Pas aku dateng, buru2 mencegah Sari dan membacakan ayat suci sama menyadarkan Sari bahwa Titi anaknya, Sari langsung sadar mbak, terus nangis dan merasa bersalah banget sampai gak mau makan"
"Sudah coba dibawa ke Pak Amsar?" sambung mamak
"Iya mbak sudah, tapi ya sama itu2 aja, Pak Amsar nggak bisa bener2 ngehilangin yg salah di diri Sari. Pak Amsar cuman bisa membuat Sari lebih baik beberapa hari saja mbak"
Percakapan malam itu berakhir. Kami pun bergegas untuk tidur dengan posisi bulek Sari yg masih tidak sadarkan diri. Masuk ke hari berikutnya, di hari Minggu. Saat aku membuka mataku, keadaan kembali normal. Kejadian semalam seperti tidak pernah terjadi. Aneh.
Benar, bulek Sari kembali seperti bulek yg aku kenal lewat telfon. Bulek Sari yg ramah dan penuh kasih sayang itu tersenyum kepadaku, sembari membawakan masakan ayam goreng.
"Nginep disini aja ya nduk Galuh" katanya
"Tapi aku senin masuk sekolah bulek"
Namun aku bisa memastikan, jauh disana bapak mamak memperhatikanku dengan waswas.
"Nanti ya bulek kalau aku liburan panjang aku main kerumah nenek. Aku diajak bapak pulang nanti jam 11 soalnya PR ku belum selesei"
Tidak ada jawaban. Tidak ada kengerian.
Bulek Sari hanya mengelus kepalaku, dengan tatapan yg sayu. Khas miliknya. Tatapan penuh kasih sayang, namun yg pasti mata yg menceritakan bahwa ia telah lelah dengan kehidupan, mata yg bercerita tanpa suara bahwa ia sedang bermain peran.
Saat itu masih pagi, masih 3 jam sebelum jam 11 siang aku pulang. Selayaknya anak umur 7 tahun, aku tidak banyak bertanya tentang hal hal yg tidak asik bagiku, karna saat itu cukup bagiku ketemu bulek untuk pertama kali dan bermain dengan Titi selama 3 jam.
Namun, tempatku bermain dengan Titi hanya di teras depan. Bermain masak masak bersama. Bapak, mamak, nenek, paklek dan bulek semua berkumpul di ruang tamu. Sambil mengobrol melihatku bermain dengan Titi. Percakapan mereka pun masih bisa terdengar olehku.
"Sar, gimana keadaanmu?" kata mamak
"Alhamdulillah mbak baik, gak pernah merasa sebaik ini" kata bulek
Mamak dan bapak saling pandang seperti tahu, apa Sari tidak ingat kejadian tadi malam yg menggemparkan 1 desa? Namun mereka memutuskan untuk tidak bertanya.
"Yaudah. Setiap kamu ngerasa ada yg salah sama kamu Sar, kamu harus kembali sadar ya kalau semua keluargamu sayang sama kamu, masih butuh kamu, kamu harus bisa lawan ya" tak terasa air mata menetes di pipi mamak
"Memang aku kenapa mbak"
Ternyata bulek memang tidak sadar.
"Nggak kok, nggak papa. Kamu kuat kamu hebat selama 25 tahun ini kamu udah berjuang" sambil tangan mamak memegang tangan bulek
"Iya mbak, doain aku kuat ya mbak, doain aku bisa nemenin Titi sampai dia dewasa, sampai aku bisa dibanggain sama dia"
Dan aku bersumpah. Aku kecil saat itu menangis mendengar pernyataan bulek. Aku yg saat itu bermain dengan Titi, memastikan Titi tidak mendengarnya, tapi aku menangis saat melihat wajah Titi dan buru menghapus air mataku.
Satu hal lagi yg aku yakini, bulek memang sakit. Entah sakit apa yg ia derita. Mamak belum menceritakannya padaku. Selama 25 tahun bulek sakit, padahal saat itu umur bulek 35 tahun. Ada apa dengan bulek diumurnya yg ke 10 tahun?
Yang aku yakini saat itu, suatu saat pasti mamak menceritakannya padaku. Saat usiaku sudah sepantasnya mendengar kisah hidup bulek yg tragis. Kisah hidup bulek yg ternyata banyak menyimpan pesan moral dan mengandung makna besarnya kasih sayang seorang Ibu.
Saat itu jam menunjukkan pukul 11 lebih. Dan kami pun berpamitan kepada nenek untuk pulang. Begitupun kepada bulek. Ia berkata padaku.
"Sering2 kesini ya nduk, temenin Titi main soalnya gak ada yg mau main sama Titi"
"Iya bulek nanti aku main lagi"
Aku berani bersumpah. Di jam itu, memang jam bagi warga untuk beraktivitas. Namun anehnya, setiap warga yg melintas didepan rumah nenek, selalu melihat kearah rumah dengan tatapan yg takut, seolah enggan melihat tetapi mereka penasaran.
Dan satu lagi, di jam 11 siang. Aku kembali melihat ke arah bangunan kosong, yg dulu aku belum mengetahui bahwa ada kisah kelam dibalik rumah tua itu. Kembali aku lihat, anak itu, cantik memakai gaun putih kembali melambaikan tangan dibalik jendela rumahnya.
Break dulu ya. Nanti malam Insyaallah aku lanjutin pengalamanku di umur 8 tahun menginap selama 1 bulan dirumah nenek. Dan pengalamanku melihat gerak gerik bulekku yg diluar nalar. Termasuk pengalamanku bermain dengan teman tak kasat mata. Stay tune!
Dalam perjalanan pulang, dipikiranku saat itu hanya menerka nerka siapa anak cantik itu? Siapa dia sebaya denganku yg selalu melambaikan tangan dan tersenyum kepadaku? Ingin sekali rasanya saat itu juga aku bertanya pada mamak, kenapa dia sendirian disana?
Kenapa aku tidak boleh bermain dengannya?
Namun semua pertanyaan itu tertutup dengan sebuah pertanyaan yg lebih menguasai pikiranku: Bulek sakit apa? Dengan berani aku bertanya pada mamak, meskipun sudah tau jawabannya. Bukan. Meskipun sudah tau tidak akan diberikan jawaban.
Mamak saat itu memberikan pengertian yg lebih dapat kupahami selayaknya anak kecil berusia 7 tahun lebih 5 hari.
"Bulek udah lama nduk sakit, sakitnya bulek itu suka main main boneka boneka an, kayak kamu, kalau kamu main boneka kan bonekanya kadang kamu jadiin Anggun temenmu...
... kadang kamu jadiin kucing juga. Begitu juga bulek, jadi kadang bulek suka lupa sama dirinya sendiri" jelas mamak
"Oh jadi bulek bukan gila ya mak?"
"Bukan nduk. Tapi kamu sementara jangan terlalu dekat2 dulu ya nduk, karena kondisi bulek juga belum sembuh" pungkas mamak
"Kenapa? Katanya nggak gila kenapa aku harus jaga jarak? Apa bulek bahaya buat aku?"
Mamak sempat terdiam, aku mengira ia masih menyusun sebuah kalimat untuk membalas pertanyaan kritisku.
"Bisa dibilang begitu nduk"
Hening. Saat itu kepalaku penuh dengan pertanyaan tentang bulek, tapi kalimat jawaban mamak sebenarnya belum cukup menjawab pertanyaanku, karena beberapa jam yg lalu bulek sangat baik padaku, bukan seperti kata mamak.
Bohong batinku saat itu, kalau bulek bahaya bagiku, bagaimana dengan Titi? Kenapa dia tetap ada dekat bulek?
Singkat cerita, bulan Juli musimnya liburan sekolah. Saat itu kedua orang tuaku tdk berjanji mengajakku berlibur ke rumah nenek. Namun aku meminta pada mereka bolehkan jika aku menghabiskan liburanku ke rumah nenek? Jawabannya tidak. Entah apa alasannya mereka tdk memberi tahuku.
Selang beberapa minggu setelahnya, aku menguping mamak bertukar kabar dengan paklek. Dalam percakapan itu, mamak bertanya
"Assalamulaikim yan, pie Sari?"
"Alhamdulillah mbak Sari udah jauh lebih baik, 4 bulanan ini udah gak pernah bertingkah aneh aneh lagi"
"Alhamdulillah. Hla Sari apa udah bisa kamu tinggal kerja? Nggak papa dia dirumah sendiri sama mbok?"
"Udah mbak, udah nggak ada apa apa. Mbok juga bilang nggak ada apa apa. Cuman ini ada berita nggak enak mbak dari beberapa tetangga"
"Kabar nggak enak gimana yan?"
"Itu lho mbak, banyak kucing tetangga sama ayam tetangga itu tiba2 hilang, terus ditemuinnya cuman ada jejak darahnya aja, bahkan bekas bangkainya aja nggak ada"
"Loh kenapa bisa begitu? Udah lapor pak RT? Kira2 siapa pelakunya yan? Manusia apa binatang buas?" pungkas mamak
"Nah itu mbak, sampai sekarang belum ketemu. Tapi gara2 insiden beberapa bulan lalu yg Sari mulutnya belepotan darah...
... meskipun semua orang nggak tau cerita kalau Sari makan gagak itu, akunya jadi mikir yg nggak nggak mbak"
"Aduh yan, nggak mungkin lah Sari yg ngelakuim itu sama peliharaan tetangga. Katamu kan sudah mendingan, Sari gapernah aneh aneh lagi"
"Iya sih mbak udah gapernah aneh aneh, udah sewajarnya dia aja kayak dulu pas Titi masih kecil"
"Iya makanya gausah dipikir aneh aneh, nanti takutnya kedenger Sari malah kasian sama dia yan. Emang kasus ini udah berapa lama?"
"Udah ada sih mbak kalau 4 bulanan ini. Ini juga desa tiap malem ngadain pos ronda, tapi anehnya gapernah mergokin siapapun tapi besoknya ada aja peliharaan yg mati dan itu setiap malem selasa sama malem jumat mbak"
"Mungkin itu binatang buas kali yan, kan kamu tau sendiri desa kita masih asri banget kanan kiri tegal (hutan kecil) malah ada sungai"
"Iya mbak bismillah aja"
Saat mendengar percakapan mamak, aku mengingat sebuah kejadian. Saat aku bermain dengan Titi 4 bulan lalu dirumah nenek, tepat di bawah pohon beringin belakang rumah, aku menemukan sebuah telinga kucing yg masih sedikit basah.
Namun, saat aku coba mengambilnya dengan Titi, bulek saat itu dari balik sumur tua yg masih digunakan nenek untuk mencuci baju itu tersenyum dan menggelengkan kepala. Sebagai artian aku tidak boleh mengambil apa yg aku genggam saat itu.
Kemudian aku berpikir dalam kamar, apa itu salah satu kucing warga? Apa jangan jangan benar dugaan paklek bahwa bulek ada sangkutannya dengan ini?
Dengan beberapa dugaan di kepalaku saat itu, keinginanku berlibur kerumah nenek menjadi sirna dan digantikan dengan rasa takut.
Namun, saat itu aku memilih untuk diam. Aku hanya tidak mau menambah suasana menjadi lebih tegang dengan asumsi ku saat itu. Aku tidak menceritakan hal ini kepada siapapun, baik mamak ataupun paklek. Entah jika Titi yg membicarakannya, aku tidak tahu.
Setahun berlalu, aku menginjak usia ke delapan ku. Dan selama kurang lebih 6 bulan itu, setiap mamak bertanya kabar bulek, paklek hanya menjawab bahwa bulek sudah baik baik saja. Dan mamak pun merasa bulek Sari mungkin sedikit banyak sudah dapat mengontrol dirinya.
Singkat cerita, pada bulan Juli 2008 aku liburan kenaikan kelas. Aku mendapatkan waktu berlibur 3 minggu. Dan karena sudah setahun aku tidak ke rumah nenek, saat itu kembali aku meminta izin bagaimana jika aku berlibur kerumah nenek? Jawaban kedua orang tuaku boleh.
Aku pun kembali bertanya, bagaimana jika aku menginap selama 3 minggu disana? Sempat ragu untuk menjawab, akhirnya aku pun diperbolehkan. Mungkin dengan berbagai pertimbangan saat itu. Pertama, kasian melihatku yg memelas sudah lama tidak bertemu neneknya.
Kedua, melihat kondisi bulek yg beberapa bulan belakangan tidak lagi menunjukkan gelagat aneh. Namun, tebakan mamak meleset.
Selang 2 hari setelah pemberian izin, mamak membantuku berkemas. Beliau juga berpesan
"Nanti, kalau dirumah nenek jam 5 sore udah gak boleh keluar ya. Jangan lupa setiap mau kemanapun Galuh pergi, selalu baca Al-Fatihah dan bawa nama Allah ya nak" pesan mamak.
"Iya mak, aku nanti sholat juga sama geleng geleng kepala habis sholat" baca wirid laillahaillah maksudku.
"Pinter. Oh iya 1 lagi, kalau diajak bulek pergi jangan mau dulu ya nduk, sama bulek boleh dirumah nenek aja ya"
"Kalau aku dibeliin jajan gimana?"
"Jangan mau, nanti mamak beliin jajan disini kamu main sama Titi aja"
"Ya udah deh" jawabku sembari cemberut layaknya anak kecil yg dilarang untuk jajan.
Tibalah hari dimana aku berangkat ke rumah nenek. Aku hanya diantar oleh bapak, karena mamak saat itu harus menjaga toko.
Selama perjalanan, bapak juga berpesan bahwa aku kalau melihat apapun dirumah nenek jangan pernah bilang siapa siapa, cukup disimpan sendiri, dan kalau ada apa apa langsung telfon bapak minta tolong ke paklek.
Ohiya, sebagai informasi aku memang anaknya sedikit sensitif dengan hal yg bersinggungagan dunia tak kasat mata, dengan mereka yg tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Bapak pun tahu pasti, karna rasa sensitifku berasal dari Bapak.
1 jam perjalanan aku tempuh, dan di jam 9 pagi aku sampai dirumah nenek. Saat turun dari motor kembali aku melihat ke arah rumah tua, hanya ingin memastikan keberadaan si anak cantik itu apakah masih disana atau tidak. Ternyata nihil.
Aku pun langsung masuk ke rumah nenek, disambut oleh nenek dan Titi.
Saat itu paklek kerja. Benar, aku mencari cari keberadaan bulek. Setiap sudut ruangan ku susuri dengan kedua mata kecilku, sampai aku tidak menemukan baru aku bertanya.
"Mbah, bulek dimana?"
"Itu nduk di dapur lagi masak" kata nenek
Cepat2 aku ke dapur untuk melihat bulek. Kurus kering, mata yg semakin menjorok kedalam, rambut yg kian memutih.
"Buleek galuh disini" cepat2 aku berlari memeluk bulek
"Iya nduk. Sama siapa?"
"Sama bapak bulek tapi ini bapak udah mau pulang"
"Yasudah ayo temuin bapakmu dulu, bulek mau salaman"
Kugandeng tangan keriput bulek menemui bapak, bulek pun berjabat tangan dengannya. Namun wajah bapak aneh, terlihat seperti kebingungan? Begitupun bulek yg terus menatap bapak dengan mata nanar. Tak lama, bapak berpamitan, dan saat itulah kejadian aneh dimulai
Katakanlah saat bapak pulang, aku kembali bermain dengan Titi saat sinar matahari terang. Aku masih belum merasakan gangguan apapun saat itu.
Tibalah saat dimana adzan Ashar berkumandang, saat itu adzan di desa berbeda dengan adzan di kota.
Adzan di kota selalu mengikuti waktu sholat, tapi adzan di desa khususnya untuk sholat Ashar mengikuti waktu kerja para petani, biasanya diatas jam 4 sore baru adzan dikumandangkan.
Aku masih mengingat pesan mamak dengan jelas, untuk bergegas masuk apabila waktu mendekati pukul 5 sore. Aku pun mengajak Titi untuk masuk, mandi, makan dan bermain didalam rumah. Namun aneh aku tidak melihat bulek sama sekali, lalu aku tanya Titi.
"Ti, bulek dimana?"
"Biasanya sih jam segini dikamar, gak tau aku juga gak berani liat"
"Kok gak berani? Kenapa? Kan bulek ibumu sendiri"
"Pokoknya nggak berani coba aja kamu liat sendiri"
Karena memang masih kecil, jiwa ingin tahuku memang sangat besar. Pelan pelan ku totok pintu kamar bulek, namun tidak ada sahutan.
"Bulek? Bulek didalam? Galuh boleh masuk nggak?"
Hening tidak ada jawaban.
"Bulek? Bulek nggak papa?"
Masih hening.
"Yaudah Galuh masuk ya bulek"
Pintu kamar bulek pun ku buka, aku menemui bulek sedang sholat membelakang pintu. Namun aneh, kenapa berdiri terus? Aku memandangi selama 5 menit. Aku memang belum sholat saat itu, belum terlalu mengerti tentang tatacara sholat yg benar seperti apa.
Aku hanya mengerti saat melihat mamak, setelah berdiri lalu ruku', tdk lama. Karena melihat keanehan pada bulek, aku pun memberanikan diri untuk mendekati bulek, aku berjalan untuk duduk dikasur dekat bulek. Aku berani bersumpah, aku sangat ketakutan saat melihat bulek saat itu.
Yang benar saja, bukan seperti itu sholat yg mamak lakukan.
Aku mendapati bulek yg memakai rukuh putih, sedang berdiri tangan sedekap, mata yg tidak berkedip, mulut yg tersenyum kelihatan giginya sembari berkomat kamit entah apa yg dibaca, matanya bukan memandangi sajadah
Tapi memandangi jendela kamar yg belum tertutup sehingga bisa melihat dengan jelas jalan sempit berukuran setengah meter sebagai pembatas antar rumah. Dan yg pasti jalan itu tidak bisa dilalui oleh orang.
Dengan rasa takut, tapi aku masih penasaran, dengan suara serak bertanya pada bulek.
"Bulek? Bulek lihat apa..?" Sembari menahan tangis
Namum yg aku dapat bukan jawaban, tapi justru komat kamit bulek yg tadinya tidak bersuara kini bersuara seperti bahasa jawa kuno
Aku tidak mengerti bahasanya karena bulek mengucapkannya dengan cepat.
Namun aku sempat mendengar bulek mengatakan
"Ceng…cleceng.."
Entah apa artinya.
Seketika tubuhku gemetar dan airmata yg aku tahan akhirnya pecah karena rasa takut dan lari menghampiri nenek di dapur. Nenek pun bertanya
"Kenapa nduk? Ada apa?"
"Bulek mbah, bulek aneh sholatnya"
Nenek hanya diam, seakan sudah terbiasa dengan hal itu.
"Sst. sudah cup bulek nggak papa nduk, udah kamu lanjut main sama Titi aja"
Belum tangisku berhenti, kini ganti Titi yg berteriak menangis di ruang tamu. Buru2 aku dan nenek menghampirinya. Aku mendapati Titi yg nenangis ketakutan bersembunyi dibawah meja kursi tua milik nenek.
Dan yg pasti benar dugaan kalian. Aku juga mendapati bulek berada di ruang keluarga. Bedanya, bulek berada dibatas pintu depan, masih dengan memakai rukuh tapi dengan tangan menunjuk keatas seperti emoji ini "☝️" masih dengan mulut komat kamitnya.
Entah apa maksud bulek.
Aku kemudian bergegas menenangkan Titi. Dan nenek berusaha untuk mengajak bicara bulek.
"Sar, wis nduk, ayo masuk.. wis nduk"
Bukan jawaban yg nenek dapat justru bulek pingsan, badannya tersungkur kedepan teras. Nenek tidak kuat untuk menahannya, dan meminta tolong pak Kamidi.
Setelah keadaan kembali tenang, Pak Kamidi pulang, pas di jam 6 paklek pulang. Paklek kaget mendapati bulek yg terbujur lemas di kasur, lalu aku dan titi dengan mata yg sembab. Tanpa kami menjelaskan pun sekiranya paklek sudah mengerti, menyuruh kami untuk keluar dari kamar bulek
Malam semakin larut, memang anak jaman dulu jika berlibur kerumah nenek lebih memilih untuk tidur bersama menggelar tikar di depan TV, begitupun aku. Aku lebih memilih tidur bersama Titi, nenek dan paklek alih alih tidur di kamar. Hanya bulek yg tidur di kamarnya sendiri.
Jam menunjukkan pukul 1 dini hari, aku terbangun karena mendengar suara berisik di pintu samping kanan ruang keluarga. Yg apabila dibuka langsung mendapati jalan kecil selebar 1.5 meter yg sisi ini bisa dilalui orang. Aku mendengar ada derap langkah, tidak hanya 1 tapi lebih.
Mengingat pesan bapak, apabila mendengar atau melihat apapun aku harus diam. Namun telingaku sangat nakal, bukannya mengabaikan justru semakin memfokuskan suara itu. Kini suaranya hilang, berganti dengan suara seseorang mengetuk pintu.
Kali ini nenek juga mendengar dan terbangun. Kemudian nenek pun membuka pintu itu dan aku mengekori dibelakang. Setelah dibuka, angin berhembus sangat kencang dan dingin, tidak ada orang. Nenek langsung cepat cepat untuk menutup.
Belum sempat nenek mengunci pintu, terdengar bunyi gaduh dari dalam kamar bulek, dengan erangan bulek yg merasa kesakitan. Buru2 paklek bangun, betapa kagetnya kami melihat bulek yg menggeliat geliat menahan sakit. Kami pun panik sampai akhirnya paklek membacakannya ayat suci
Dalam kepercayaan Jawa, sebaiknya jika ada ketukan pintu di malam hari, jangan langsung dibuka atau lebih baik biarkan. Minimal lihat dulu di jendala, benarkah itu orang atau mungkin sebangsa mereka yg menumpang lewat.
Ceritanya aku sambung besok ya, Insyaallah pantas kok untuk dinantikan! Karena hari ketiga ku sampai hari terakhir aku menginap semakin banyak gelagat aneh dari bulek. Oh ya, bagi yg belum baca thread tentang kos angkerku, bida dibaca disini ya
Keesokan harinya, kembali aku dapati bulek seperti sedia kala. Dan sepertinya sama dengan bulek yg tidak ingat dengan kejadian semalam. Bulek kembali melakukan aktivitasnya, aku pun kembali bermain dengan Titi.
Namun, saat aku melewati jalan samping kanan, dimana malam hari aku mendengar derap kaki, aku mendapati seperti bunga untuk menyekar di kuburan tercecer disana. Pikirku saat itu, mungkin bunga itu ada sebelum aku sampai disini jadi kuabaikan saja.
Tapi anehnya, nenek terlihat ketakutan, dan buru2 membersihkan bunga itu. Aku pun tidak menghiraukannya dan kembali bermai.
Hari kedua terasa normal, aku bermain dengan Titi sampai larut sore. Saat jam menunjukkan pukul 3 sore, aku dengan Titi bermain disamping sumur tua.
Aku bermain masak masak disana karena disekililing sumut itu terdapat berbagai bunga warna warni yg bisa aku jadikan bahan mainan. Namun, mataku kembali melihat ke pohon beringin tempat dimana aku menemukan kuping kucing yg masih basah dengan darah dulu.
Aku kembali mendapati disela sela ranting kekar pohon itu, aku merasa ada yg memperhatikanku bermain. Aku semakin memfokuskan pandanganku, benar saja, aku melihat mata merah bersinar melotot kearahku dan Titi seakan mengusirku untuk meninggalkan area itu.
Dengan wajah takut, aku cepat2 menyuruh Titi untuk mengemas mainan dan kembali ke dalam rumah, tanpa memberitahu dirinya apa yg kulihat. Setelah masuk kedalam kamar, aku buru2 untuk mandi dan makan.
Saat itu, aku dengan Titi mandi bersama, layaknya anak kecil yg selalu bercanda, tak terasa aku bermain air sampai larut sore dimana jam sudah menunjukkan pukul 5 sore.
Aku bergegas untuk masuk ke ruang keluarga. Namun betapa terkejutnya kami, saat membuka pintu kamar mandi kembali mendapati bulek dengan memakai rukuh putih itu memelototi kami, kami pun berlari menghampiri nenek yg saat itu berada di ruang tamu.
Kemudian aku dan Titi berebut pelukan nenek yg saat itu duduk di kursi tua menghadap ke ruang keluarga. Saat kami bertiga duduk, kami kembali dikejutkan oleh bulek yg kembali dari dapur menuju kamarnya namun kali ini berjalan dengan loncat2 seperti pocong dengan tangan sedekap.
Kami pun semakin histeris. Dan saat itulah kami tidak berani untuk kemana mana, hanya kaku duduk membeku di ruang tamu sembari menunggu paklek pulang.
Jam menunjukkan pukul 6 sore, suara motor paklek terdengar. Lega batin kami.
Selanjutnya paklek kembali memeriksa keadaan bulek. Sama, saat itu bulek tertidur di kasurnya. Diajak bicara paklek pun normal, sama seperti bulek yg kukenal.
Malam itu kami tidur tanpa gangguan sampai tak terasa esok pagi telah tiba.
Tepat di hari Kamis, 3 hari aku disini. Ingat kan? Malam jumat, kamis malam.
Pagi itu masih sama, melakukan rutinitas seperti biasanya. Bedanya, saat itu aku dan Titi tidak bermain di area rumah nenek. Aku lebih memilih untuk bermain di sungai kecil belakang rumah Pak Kamidi.
Aku berencana menangkap ikan kecil dengan memancing dan mengumpulkan cacing. Berjam jam aku disana dengan Titi, sembari menunggu kail kami tersangkut ikan, kami pun bermain masak masak. Namun, tepat beberapa meter di belakang Titi aku merasa ada sesuatu yg mengamati kami.
Lagi. Instingku selalu peka dengan hal seperti itu. Kembali aku menyusuri area itu dengan mata kecilku, tidak ada si mata merah. Tapi justru anak kecil cantik yg sering melambaikan tangannya padaku itu bersembunyi dibelakang semak semak. Aku pun bertanya pada Titi.
"Titi, kamu beneran nggak pernah main sama temen temenmu disini?"
"Nggak ada yg mau temenan sama aku, soalnya temen2 mesti ngejak aku anaknya setan gara2 Ibu yg bertingkah aneh itu semua orang di desa udah tau"
"Tapi emang di desa ini kamu gak ada temen sama sekali main? Cewek yg sebaya sama kita"
"Ada tapi rumahnya jauuh diujung desa ini, kebanyakan cowok disini, gal"
Mataku masih melihat anak cantik itu, bersembunyi disana.
"Kalau dia?" Dengan tanganku yg menunjuk ke anak cantik itu.
"Siapa? Kamu nunjuk siapa?" kata Titi. Saat itu aku belum mengerti kalau Titi tidak bisa melihat anak itu, aku hanya mengira Titi kurang jeli menemukan keberadaan anak itu. Langsung aku pegang tangan Titi dan menunjuk kembali anak itu berada. Titi bisa melihat.
"Itu siapa ya, gal? Kamu tahu" tanya nya
"Aku gak tau sih, tapi dari pertama kali kesini setahun lalu aku udah tahu dia"
"Kok aku nggak pernah lihat dia? Apa karna aku ngga pernah main keluar ya pas kamu nggak disini" yakin Titi
"Mungkin. Ayo kita ajak kenalan" ajakku senang menyambut teman baru.
Saat itu aku tidak curiga apapun, karena memang dia terlihat sama seperti aku dan Titi.
"Halo, boleh kenalan nggak?" kataku pada anak itu
"Boleh" suaranya pun cantik
"Kenalin aku Galuh, ini Titi adikku. Boleh salaman nggak?"
"Boleh" jawabnya lagi
Kemudian aku menjabatnya terlebih dahulu. Dingin. Sangat dingin kulit itu.
"Kamu kenapa sembunyi? Kok ngga ikut kita main aja? Ohiya namamu siapa?" tanyaku
"Aku Yaya" jawabnya singkat
"Boleh aku ikut main?" sambungnya
"Boleh dong ayoo aku sama Titi lagi mancing, kamu bisa mancing?"
"Belum" jawabnya singkat seperti biasa
Apakah kalian menemukan keanehan? Ya, Titi tidak berbicara sepatah kata pun. Ia hanya diam memandangi anak itu.
"Ti, kenapa diam aja? Kenapa pucat?" tanyaku
Entah aku yg tidak peka atau memang aku yg terlewat ramah.
"Nggak papa, aku mau pulang" jawabnya sembari menunduk
"Loh kenapa? Sakit ya kamu?" tidak ada jawaban darinya, ia berlari pulang meninggalkanku sendiri dengan Yaya.
"Maafin Titi ya, emang dia anaknya jarang main sama orang lain, mungkin dia malu sama kamu"
"Iya nggak papa" jawabnya
"Rumahmu dimana?"
"Disana" sambil menunjuk bangunan tua yg megah itu namun terlihat sepi
"Sama siapa?" tanyaku
"Sama mamah papah"
"Kenapa pas itu malem malem kamu keluar rumah dada dada sama aku?"
"Nggak papa, aku seneng aja kamu kesini aku punya temen"
"Terus kamu kenapa pake baju bagus? Pake sandal bagus juga, kan cuman main di sungai aja"
"Nggak papa, aku suka ini, nggak bisa ganti"
"Kenapa?"
"Nggak papa, nggak bisa aja"
Percakapanku dengan Yaya tidak kuteruskan, karena mendengar suara nenek memanggilku dari arah kebun tela. Aku pun bergegas berlari menghampiri nenek dan meninggalkan Yaya seorang diri, namun ada percakapan singkat saat itu dengan nenek.
Sedikit spoiler, cerita ini berbeda dengan Omah Putih. Kalau OP lebih ke penampakan2 serem yg aku lihat, tapi kalau cerita ini lebih ke cerita gimana tingkah seram bulek kerasukan jin selama 25 tahun dan ada hubungannya dengan ilmu kejawen.
Meskipun ada scene dimana aku dan Titi melihat penampakan serem, tapi itu bukan inti ceritanya. Dan ini aku ceritakan sesuai dengan kondisi ku saat itu, tidak menambahi bumbu agar terlihat lebih seram. Jadi maaf ya kalau dinilai ceritanya kurang seram🥺🙏
Aku ceritakan semuanya apa adanya tanpa adanya bumbu tambahan lain. Cerita ini masih panjang, masih belum terkuak latar belakang kakek buyut ku penganut "ilmu itu" juga si Yaya yg ternyata ada sangkutannya dengan kakek. Tunggu kelanjutannya ya!
Kudapati nenek bersama Titi menungguku disamping kebun tela. Titi masih dengan wajah pucatnya, sembunyi dibelakang nenek.
"Kamu itu kenapa main sampai ke sungai" ketus nenek, dari nada intonasinya sepertinya ia marah.
"Iya mbah maaf aku tadi nggak izin dulu" mataku sambil melihat Titi. Aku kesal, sepertinya ia yg mengadukanku pada nenek.
Padahal kita sudah sepakat untuk nggak memberitahu nenek.
"Kamu jangan lagi sekali kali ke sendang (sungai) itu"
Tanpa jawabanku dariku, nenek langsung menarik tanganku untuk pulang.
Sampai rumah, aku duduk di teras dengan Titi. Masih dengan wajah yg kesal, aku membuka obrolan dengannya.
"Kan kita udah janji jangan bilang mbah"
"Tapi aku gak bisa kalau gak bilang mbah, aku takut"
"Takut apa sih? Takut mbah marah? Gak mungkin mbah marah kalau kamu gak bilang. Lihat kita pulang nggak bawa ikan buat masak masak" gerutuku masih tidak terima
"Bukan, bukan takut sama mbah. Aku takut sama Yaya"
Tanganku berhenti menggambar di tanah. Kembali memandangi Titi.
"Kenapa Yaya? Dia baik kok"
"Iya, aku tau kok. Tapi kayaknya ada yg aneh sama dia. Kamu tau? Pas kamu nyamperin dia, aku liat dibekas semak semak tempat dia sembunyi sebelumnya itu ada darah, banyak....
... Terus pas kamu ajak dia salaman, aku liat dibelakang rumah dia kayaknya mamah papahnya ngeliatin kita terus tapi melotot gitu loh. Makanya aku nunduk terus soalnya ngerasa nggak enak aja perasaanku" jelasnya saat itu.
"Apasih kamu ngarang. Kamu tu aku kenalin Yaya biar pas aku nggak disini kamu ada temen main, eh malah kamu bilang yg nggak nggak. Gimana kamu ada temen main kalau kamu dikit2 takut. Bisa jadi kan emang darah yg kamu maksud itu darah binatang..
... toh pas Yaya main sama kita ngga ada tuh di badan dia atau jejak dia yg ada darahnya? Kalau soal orang tua yg kamu liat itu aku belum tau sih mamah papah Yaya itu, tapi emang bisa jadi Yaya dikekang gaboleh keluar jadinya dia gaboleh main sama kita" jelasku masih tidak terima
"Iya sih gal, apa aku minta maaf aja ya ke Yaya?"
"Iyalah kamu harus minta maaf kamu udah nuduh yg enggak enggak. Tapi jangan sekarang, mbah masih marah. Besok aja kita kerumah Yaya ok?"
"Okee"
Kami pun berbaikan, kembali masuk ke dalam rumah dan bermain boneka.
Entah, kenapa Titi bisa melihat papah mamah Yaya yg ia maksud saat itu padahal aku sendiri tidak melihatnya. Begitupun darah yg dimaksud Titi, aku juga tidak melihat setetes pun.
Hari ketiga ku berlalu cepat, jam 3 sore sudah waktuku untuk mandi dan makan. Saat itu seharian aku belum bertemu dengan bulek. Namun saat kami melintasi kamar bulek dengan pintu yg terbuka itu, aku dan Titi melihat bulek memakai rukuh.
Bulek berdiri dengan tangan sedekap dan masih meringis dengan giginya yg terlihat serta mata melotot. Masih berkomat kamit. Yang baru, bulek kali ini berdiri tapi dengan gerakan menggerakkan badannya membungkuk kedepan, kemudian ke belakang dengan pelan tapi pasti.
Dan yg nggak masuk akal, gerakan bulek sangat lentur seakan akan tidak memiliki tulang untuk membungkuk dan menengadah 90 derajat. Kami pun lari, karna memang sehari hari kata nenek bulek seperti itu.
Setelah menyelesaikan mandi, kami makan di dapur.
Saat itu nenek memasak ayam, namun aku tidak menemukan bagian kesukaan ku. Hati ayam. Aku pun bertanya pada nenek.
"Mbah nggak ada hati nya?" tanyaku sembari bibir manyun
"Nggak ada, tadi mbah beli dipasar sih, pas taruh di dapur mbah tinggal dulu nyapu sebentar, pas balik buat nyuci ayamnya, hatinya nggak ada. Paling yg jual lupa nduk"
Namun dari panjangnya cerita ini, kalian menemukan suatu keanehan nggak?
Aku pun baru ingat, selama aku ada dirumah nenek aku tidak pernah melihat bulek makan.
"Bulek udah makan mbah?"
"Bulek nggak pernah makan bareng kita nduk"
Aneh. Tapi terserah, aku saat itu lebih memilih untuk tidak terlalu ikut campur urusan bulek karna memang aku sangat takut.
Setelah selesei makan, aku dan Titi kembali ke kamar Titi. Dan lagi lagi kami harus melewati kamar bulek. Saat kamu melintasi, alangkah kagetnya kami melihat kamar bulek yg penuh dengan kertas bertuliskan aksara jawa yg entah saat itu apa artinya.
Karena aku masih anak kelas 2 SD yg belum terlalu hafal tentang aksara Jawa.
Yg bisa aku pastikan, dinding kamar bulek hampir semua ditempel tulisan itu. Dan kudapati bulek duduk diatas sajadah berdiam diri sembari pintu terbuka. Kami langsung lari menuju kamar Titi.
"Kamu liat? Bukannya tadi tulisan itu nggak ada ya?" tanyaku
"Iya tadi nggak ada, padahal kita makan juga baru 30 menitan" kata Titi
Belum selesai kami berbicara pintu kamar Titi ada yg mengetuk.
tok...tok...tok
Aku kaget. Titi takut. Akhirnya akulah yg memutuskan untuk membukanya.
Saat aku buka, betapa kagetnya aku melihat bulek berdiri didepan pintu kamar Titi. Aku tertegun dengan ekspresi wajah bulek yg masih tersenyum.
"Sst. kowe cah cilik gausah melu2 yo nduk" artinya kamu anak kecil gausah ikut2 ya nduk.
Aku langsung menangis, bulek kembali meninggalkan kami dengan langkah pelan menuju ke kamarnya.
Ada apa sih? Kenapa bulek? Butuh waktu 5 tahun bagiku untuk mamak memberitahuku apa yg terjadi.
Singkat cerita, malam hari ketiga ku dimulai. Saat itu aku memutuskan untuk tidur dengan Titi di kamarnya. Nenek juga tidur di kamarnya, hanya paklek yg tidur didepan TV. Malam itu menunjukkan pukul 12 malam, aku terjaga dari tidurku karena kebelet pipis. Aku membangunkan Titi.
"Titi temenin ke kamar mandi" ajakku
"Nggak mau, takut" dengan suara yg tidak jelas
"Terus gimana aku gak ada temennya" rengekku
"Ajak mbah aja lah" katanya
Yasudah, aku menyerah. Kubuka pintu kamar Titi untuk membulatkan niat pergi ke kamar mandi sendirian di jam 12 malam.
Kamar bulek saat itu terkunci, kamar nenek pun juga. Karene aku tidak enak apabila mengetuk kamar nenek di malam hari, pasti nanti mengganggu yg lain tidur juga. Dengan lampu remang remang saat itu, aku belum bisa menggapai saklar lampu.
Sehingga yasudah aku berjalan menyusuri rumah joglo nenek dengan keadaan remang remang menuju kamar mandi. Tidak ada siapapun. Hanya ada suara jangkrik dan kodok malam. Aku buru buru masuk ke dalam kamar mandi. Dan saat itu, kudengar ada orang lain selain aku yg ada di dapur.
Entah siapa, orang itu membuka pintu dapur menuju halaman belakang rumah nenek. Batinku saat itu siapa sih? Siapa yg tengah malam begini berani keluar rumah, di halaman belakang pula, kan itu isinya ilalang semua.
Setelah aku selesaikan urusan ku di kamar mandi, dengan rasa waswas aku membuka pintu, tidak ada seorang pun.Pintu juga tertutup. Namun saat itu, tembok dapur rumah nenek terbuat dari kayu dibawah, dan ditengahnya terbuat dari anyaman bambu seperti kipas sate.
Di anyaman itu terdapat lubang kecil. Karena kepo, aku memberanikan diri untuk mengintip ke balik tembok itu. Gelap dan sepi. Saat aku akan menjauhkan mataku dari tembok itu alangkah terkejutnya aku melihat wajah bulek tersenyum dengan rambut panjangnya yg menjuntai ke bawah
Benar, aku yakinkan posisi bulek saat itu menggantung dengan kaki diatas dan kepala dibawah. Aku terkejut, dan tersungkur ke belakang. Sembari menutup mulut agar suara tangisku tidak membangunkan siapapun.
Aku langsung lari ke kamar Titi, saat melewati kamar bulek, aku melihat kamar itu terbuka, meskipun tidak lebar. Malam jumat.
Sesampainya di kamar, aku langsung tidur menutupi semua badanku dengan selimut.
Dengan menahan tangisku aku berpikir, kenapa bulek? Kenapa malam malam bulek keluar rumah?
Saat itu jawaban dari teka teki ini belum aku temukan. Dan kembali kupaksa diriku tidur. Sampai keesokan harinya, cerita baru dimulai.
Kira kira seperti ini gambaran tembok rumah nenek. Masih sangat kuno, dengan variasi kayu da anyaman bambu khas rumah joglo jawa timuran jaman dulu. Image
Nah ini contoh aksara jawanya bagi teman teman yg luar pulau Jawa yg belum pernah tahu menahu tentang aksara Jawa. Namun entah saat itu apa tulisannya, karena masih kecil jadi aku gak begitu tahu apa artinya. Image
Keesokan harinya, di hari ke empat pagiku, rasa takut masih aku rasakan dengan sangat jelas. Galuh kecil yg ceria dan aktif tiba2 saat itu aku merasa tidak berani untuk melangkah menjauh dari kamar Titi.
Biasanya selalu aku yg bangun pagi, membangunkan Titi dan mengajaknya bermain. Namun pagi itu tidak, sebaliknya Titi yg membangunkanku mengajak bermain.
"Galuh, bangun ayo main"
"Aku gak enak badan, nanti aja deh" alasanku menutupi rasa takut
"Yaudah deh aku main duluan ya nanti nyusul, aku di belakang rumah"
Belakang rumah. Bahkan aku membayangkan kejadian semalam pun masih bergetar tubuhku.
"Eh, kenapa ngga didepan aja? Aku ikut kalau di depan, kalau dibelakang nggak mau" kataku.
Sebenarnya aku masih takut dan enggan keluar kamar, tapi aku lebih takut kalau Titi bermain sendirian dibelakang rumah tempat kejadian mengerikan semalam.
"Yaudah deh aku ambil dulu ya tapi mainannya dibelakang sambil ambil bunga bunga" katanya
"Iyaa jangan lama lama ya" kataku.
Setelah percakapan itu, Titi berlalu meninggalkanku. Aku pun kembali mengumpulkan keberanian untuk beranjak dari tempat tidur. Saat aku membuka pintu kamar, aku melihat bulek sedang duduk di ruang tamu. Dengan tangan keriputnya bulek sedang menjahit baju yg sobek.
Normal, seperti tidak pernah terjadi apa apa.
"Baru bangun nduk?" tanya bulek padaku
"Nggeh bulek" karena aku merasa tidak ada yg salah dengan bulek pagi itu, aku menghampirinya, hanya untuk berbincang.
"Itu baju siapa bulek?" tanyaku
"Bajunya bulek nduk" jawab bulek
Aku masih ingat, baju itu berwarna putih tulang memiliki garis garis kecil berwarna hitam. Baju yg dipakai bulek saat kejadian malam itu. Namun, baju itu kini sobek, juga terdapat bercak merah yg seakan cepat cepat dibasuh menggunakan air, tapi masih meninggalkan jejak.
Baju itu terlihat lusuh dan terdapat beberapa jerami menempel dibajunya. Seperti baju yg baru digunakan untuk berburu di hutan.
"Kenapa nduk kok diem aja?" tanya bulek
"Nggak papa bulek. Bulek udah makan?" tanyaku, memastikan bulek memang sudah makan.
"Gatau nduk bulek itu sekarang kok nggak nafsu makan tapi perut bulek mesti kenyang, kenapa ya nduk" jelas bulek.
Alhamdulillah batinku. Bulek sudah mulai banyak bicara denganku.
"Bulek kalau sakit ke pak dokter aja bulek biar disuntik, soalnya bulek pucat" jelasku.
Sembari memperhatikan wajah bulek yg pucat pasi, bahkan tulang rahang bulek saja kini sudah terlihat sangat menojol seperti tidak berdaging.
"Nggak nduk, bulek nggak papa" jawab bulek sembari memasukkan benang jahit yg sudah habis.
"Bulek, Galuh boleh tanya sesuatu nggak?"
"Iya nduk boleh"
"Tapi bulek jangan marah ya"
Bulek menghentikan kegiatannya, lalu memandangiku dengan serius.
"Iya tanya aja nduk"
Sempat aku berpikir, lebih baik ku urungkan saja niatku. Tapi rasa kepo ku melebihi rasa takut saat itu.
"Bulek tadi malem mau kemana...."
Belum aku menyelesaikan kalimat, bulek mengelus rambut, menyisir dengan jari jemari kirinya. Kemudian mendekatkan wajahnya ke arahku. Kembali. Eskpresi mengerikan itu. Mata melotot dengen seringai lebar, komat kamit dgn cepat mengucapkan bahasa jawa yg aku tidak mengerti itu apa.
Aku teriak, menangis ketakutan. Melihat ekspresi bulek, juga melihat jarum yg dibawa bulek ditangan kanannya itu kini ditancapkan ke dada bulek sendiri.
Seketika itu, Titi dan nenek menghampiriku yg posisi masih dijambak oleh bulek. Nenek berusaha menenangkan bulek dengan membaca ayat suci dan menahan tangan kanan bulek menancapkan jarum itu lebih dalam, Titi yg berusaha melepaskan cengkeraman bulek dariku.
"Sar uwes nduk, sadar nduk" ucap nenek diselingi doa dan tangisan yg kian pecah.
Setelah beberapa menit, bulek Sari akhirnya sadar. Kemudian menangis melihat keadaan yg sebenarnya tidak ingin dia lakukan.
"Mbok, Sari kenapa to mbok.." dgn tangis yg terasa menyayat hati.
"Nggak papa nduk udah nggak papa istighfar nduk" ucap nenek sembari merangkul bulek, tangan nenek menekan dada bulek untuk menghentikan darah yt terus menetes akibat tancapan jarum itu.
"Mbok Sari udah nggak kuat mbok, relain Sari aja mbok, Sari nggak mau membahayakan Titi mbok"
"Gak nduk, gak mungkin mbok ngrelain kamu, kamu harus kuat ya nduk" tenang nenek
Seketika aku dan Titi yg berumur 8 tahun saat itu sedikit banyak mengerti arah pembicaraan itu. Aku dan Titi yg tadinya menangis ketakutan, kini Titi berlari ke dekapan bulek menangis dengan terisak.
"Ibuk jangan tinggalin Titi" dengan tangis yg sangat sangat menyayat hati
"Ibuk Titi nggak papa nggak punya temen, asalkan Titi masih punya Ibuk. Ibuk gapapa kayak gini, Titi janji Titi gak akan nakal lari2 takut lagi, asalkan Titi masih bisa lihat Ibuk"
Sungguh, aku tidak mau melihat keadaan seperti ini. Melihat Titi dan bulek seperti itu, aku semakin mengurungkan niat untuk mengadu ke Bapak dan meminta tolong paklek untuk menelfom Bapak menjemputku. Aku tidak bisa meninggalkan Titi bermain sendirian.
Setelah kejadian itu, nenek membawa bulek ke dalam kamar untuk membantu menenangkan bulek dan mengobati lukanya.
Aku pun mengajak Titi bermain, tujuanku untuk menghiburnya agar tidak sedih berlarut larut.
Karena saat itu kita masih sama2 anak kecil berusia 8 tahun, yg tidak bisa memberikan kata kata mutiara yg dapat menenangkan satu sama lain, selain kalimat Ayo kita main.
Aku pun bergegas membantu Titi yg saat itu belum selesei membereskan mainannya untuk dibawa ke halaman depan.
Dengan berat hati, aku melangkahkan kaki ke halaman belakang. Kali ini, aku melewati jalan kecil sebelah kanan rumah. Dan lagi, aku menemukan bunga layat tercecer disana. Namun aku mengabaikannya dan buru2 untuk mengambil mainan dibelakang.
Sesampainya di halaman belakang, aku dan Titi berkemas, namun tiba tiba Titi menemukan sesuatu dibalik sumur tua nenek itu. Kali ini kepala ayam berwarna hitam. Masiu dengan darah segar seakan akan baru dipotong beberapa jam lalu. Titi mengambilnya dan menyerahkan padaku.
"Kamu inget nggak Ti, setahun lalu kita nemuin kayak telinga gitu di bawah pohon beringin itu" kataku
"Iya kok inget. Terus sekarang ini kepala ayam ya"
Kami sudah seperti detektif conan memang. Seperti 2 anak kecil yg diberikan kasus untuk ditemukan jawabannya.
"Aku pernah denger pas mamakku telfon sama ayahmu, katanya warga disini banyak yg kehilangan hewan peliharaan. Kamu tau?" tanyaku
"Aku malah gak tau tp emang beberapa bulan ini kalau malem selasa sama malem jumat warga tu kayak bawa obor gitu keliling tadi malem kan juga" katanya
"Ini hari jumat Ti, berarti harusnya tadi malem ada kejadian dong? Kamu tau emangnya tadi malem?" tanyaku
"Pas kamu udah balik dari kamar mandi, aku tu denger kamu kayak orang nangis. Yaudah aku biarin aja...
... Terus pas itu aku liat kamu udah berenti nangisnya, terus aku denger suara warga tu keliling gitu. Terus aku coba intip ke depan, emang bener sih ada Pak Kamidi juga lagi keliling bawa obor"
Aku semakin yakin, bulek ada dibalik ini semua. Karena waktunya sangat bertepatan. Tapi aku kembali ingat pesan bapak untuk diam saja dan jangan beri tahu siapapun. Namun, aku justru semakin penasaran. Malam selasa dan malam jumat.
Malam jumat aku sudah melihat sendiri bulek keluar, 3 hari lagi malam selasa, aku harus punya bukti. Sok sok an memang aku ini. Tapi bagaimana lagi? Sudah sifat alamiahku seperti ini memang.
Hari2 selanjutnya masih seperti biasa, tidak ada yg aneh dari bulek. Hanya posisi bulek setiap menjelang maghrib yg selalu memakai rukuh berdiri sedekap, menyeringai sembari komat kamit. Itu2 saja yg terulang. Aku pun semakin terbiasa dengan itu dan kuanggap bukan hal baru lagi.
Atau di malam harinya, rumah nenek selalu berisik. Selalu ada suara derap kaki, suara burung gagak yg selalu mengitari rumah nenek. Kalau kata orang jawa, burung gagak itu menghantarkan pertanda tidak baik jika dia bertengger disalah satu atap rumah, pasti akan ada yg meninggal.
Semacam urban legend, tapi kami mempercayainya. Anehnya burung gagak itu hanya mengelilingi rumah. Selalu setiap malam.
Singkat cerita, tibalah hari dimana hari itu hari seni. Tepat, dimana malamnya adalah malam selasa. Apabila benar kata warga jika mereka kehilangan hewan peliharaannya, harusnya hari ini ada kejadian lagi nanti malam.
Pagi itu kita awali dengan bermain di kebun tela milik Pak Kamidi. Kebun itu hanya separuh bagian yg ditanami ketela, selebihnya dibiarkan tak terawat ditumbuhi ilalang yg tingginya jauh diatasku. Kami bermain disamping ilalanh itu. Sampai pada pembicaraanku pada Titi
"Galuh, kamu gak liat Yaya?"
"Ohiya ya kemana ya dia udah beberapa hari gak main sama kita"
"Kita kerumah Yaya aja yuk kita cari dia sekalian aku mau minta maaf" kata Titi
Tanpa banyak pikir panjang, aku berjalan dengan Titi menuju rumah Yaya yg terlihat tak terawat namun megah.
"Assalamuaikum, Yayaa" suara kami berdua besautan.
Namun tidak ada jawaban.
"Yayaaa kamu dimana aku Galuh ayo main" kataku
Ku dapati Yaya berjalan dari samping rumah menemuiku. Saat itu matahari terik, sinarnya pun mampu membuat kulitku merah jika lama lama berada di bawahnya.
Namun, Yaya lebih memilih menjauhi sinar itu, dia lebih memilih berdiri disamping rimbunnya pepohonan yg menutupi rumah itu.
"Haloo kamu kemana aja" sapaku ramah
"Aku dirumah" kata Yaya
"Yaya, aku mau minta maaf kemarin ninggalin kamu sendirian sama Galuh" kata Titi
"Iya gak papa kok udah biasa" kata Yaya
Udah biasa katanya? Berarti udah biasa yg pas lihat dia lari gitu? Atau udah biasa karna emang gak ada yg mau temenan sama dia? Saat itu aku belum terlalu memikirkannya.
Titi dan Yaya pun salaman, menandakan meraka sudah baikan.
"Ayo main kerumah nenekku, Titi punya banyak mainan" kataku
"Aku gak boleh kemana mana harus disini" kata Yaya
"Kan deket rumah kita, itu didepan itu loh rumahku" kata Titi
"Boleh disini aja?" kata Yaya memelas
"Yaudah deeh gapapa, tapi jangan disini juga takut ada ular. Agak kedepan yuk biar ada terang terangnya" ajakku
"Aku gak boleh" tolak Yaya
"Di depan juga gak boleh?" kata Titi
"Iya, gak boleh, boleh disini aja?" tanyanya kembali
Kita pun memutuskan untuk bermain masak masak disamping rumah Yaya ditutupi rimbunnya pepohonan dan semak belukar yg tidak terawat.
"Kamu ini sendirian dirumah?" tanyaku dengan tetap bermain
"Iya" jawabnya
"Mamah papahmu kemana?" tanya Titi
Sontak membuat Yaya tertegun, kaget atas pertanyaan Titi.
"Kamu tau mamah papahku?"
"Iya tau, pas kita ketemu di sungai kemarin aku liat mamah papah mu liatin kita. Tapi kayaknya gasuka deh sama aku"
"Hush, gaboleh Titi" kataku memutus
"Jangan dimasukin hati ya Yaya, mungkin perasaan Titi aja itu mamah papahmu gamungkin kan benci kita" sambungku
"Iya" jawabnya singkat.
Tak terasa kami bermain begitu lama, sampai jam menunjukkan pukul 2 siang. Karna sudah jenuh, kami pamit pulang ke Yaya.
"Yaya aku pulang dulu ya, besok kita main lagi oke?" ajakku
"Iya makasih ya" jawabnya
Aku membereskan mainan ku mamasukkannya ke dalam karung putih dengan Titi.
"Tapi, lain kali kalau kamu liat papah mamah ku lagi, lebih baik kalian pergi aja ya"
"Kenapa?" tanyaku
"Mamah papah gak suka aku mainan sama anak lain" jawab Yaya
"Iya deh" jawabku
Bergegas kami pulang dan membersihkan diri, makan dan kemudian menonton TV. Sore itu berlalu begitu cepat tak terasa malam pun kini datang.
Malam itu aku tidur di kamar Titi, kebetulan paklek saat itu tidak pulang, karena kerja mengikuti proyek, paklek diharuskan lembur. Tinggallah kami berempat. Masih tidur dikamar masing2. Saat itu aku bertekad aku harus mengetahui sebenarnya apa yg terjadi.
Jam menunjukkan pukul 12 malam, dan aku masih terjaga. Terdengar seseorang membuka pintu kamar.
kriet....
Kemudian disusul langkah kaki. Tapi anehnya, langkah ini tidak pelan.
Karena lantai rumah nenek saat itu masih terbuat dari semen yg dihaluskan permukaannya, suara langkah jika malam pun bisa terdengar.
Langkah itu terdengar tergesa. Tidak, bahkan lari seperti orang kegirangan.
Aku pastikan itu bulek, siapa lagi kalau bukan dia. Pikirku saat itu. Cepat2 aku mengambil senter yg sudah aku ambil dari kamar nenek diam diam sore itu. Aku kembali membuka kamar Titi, mengendap ngendap pelan sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara apapun.
Aku kemudian mengikuti jejak bulek, kulihat pintu penghubung ruang keluarga dan dapur terbuka. Jackpot. Itu benar bulek bukan orang lain. Senter saat itu masih belum kunyalakan, karena posisi masih didalam rumah, masih ditemani lampu remang2. Aku melanjutkan langkahku ke dapur.
Tapi aneh. Pintu dapur yg itu tertutup seakan akan tidak ada yg pernah membuka. Karena aku penasaran namun tetap masih takut, kuputuskan untuk tidak membuka pintu itu, tapi mengintip dari balik lubang dinding anyaman itu. Sedikit trauma tapi kupaksakan.
Senter kuhidupkan, tapi yg ku dapatkan bukan bulek. Justru sebuah keris dengan sinar berwarna biru melayang mengitari sumur tua nenek. Benar, tidak ada yg membawa keris itu, keris itu terbang dengan sendirinya kemudian menghilang. Karena aku kaget, aku memundurkan tubuhku.
Namun tidak terlalu takut, entah aku justru takut dengan setan berwujud manusia daripada benda benda kuno seperti itu. Namun tidak kupungkiri rasa gugup itu ada, bahkan jika kalian disana bersama ku saat itu, aku bersumpah detak jantungku mungkin bisa kalian dengar.
Setelah aku kehilangan jejak bulek, aku memutuskan saja untuk kembali. Namun belum sampai 3 langkah, aku berhenti. Aku mendengar suara dari sisi sebelah kanan ku, didepan kamar mandi, dibelakang tumpukan stok kayu bakar nenek yg menggunung itu, aku mendengar suara ayam yg sekarat
Hatiku tambah berdegup dengan kencang. Dengan langkah yg lemas, aku tetap mau menghampiri asal suara itu. Aku pun mencoba untuk berinteraksi dengannya meskipun aku belum tahu sosok apa dibelakang tumpukan kayu itu.
"Bulek.." suaraku bergetar
"Bulek disana?" kataku lagi tapi masih tanpa jawaban
Aku mengingatnya pun masih merinding sampai sekarang. Aku mendapati bulek, dia membelakangi ku, duduk berjongkok seolah olah lagi melakukan sesuatu. Pelan pelan aku mendekati bulek dan mengarahkan senter kearahnya. Innalillahi
Yg aku lihat, tangan bulek memegang ayam hitam, ayam itu sudah mati tersisa bulu nya, namun tangan bulek penuh dengan darah ayam itu. Saat senter mengarah ke bulek, bulek menoleh kearahku, dengan seringai itu, mengerikan.
Mata melototnya diikuti dgn mulutnya yg penuh dgnn darah dan usus ayam yg masih menggelantung di mulut bulek, belum sepenuhnya ia makan.
Aku pun menjerit, menangis. Namun bulek melempar ayam itu, menghampiriku, dan mengelus kembali rambutku dengan tangan penuh darah ayam itu.
"Putuku, ayo melu aku nduk" ucap bulek, yg artinya cucuku ayo ikut aku. Sembari wajah bulek yg kian mendekat kearahku dengan mengendus ngendus kepalaku.
"Polo seger" artinya otak segar. Entah apa maksudnya yg jelas aku bersumpah itu pengalaman paling mengerikan sepanjang hidupku.
Setelah mendengar teriakanku yg semakin keras, nenek bangun bersama Titi menghampiriku. Saat nenek mendekati bulek, bulek kembali sadar akan dirinya sendiri. Melepas eramannya pada rambutku. Menangis histeris.
"Mbok..mbok aku kenapa." tangis bulek seperti orang trauma dengan mual mual karena menyadari barusan ia memakan hewan.
"Wes nduk wes" nenek pun sampai tidak bisa berkata kata, cepat cepat nenek membersihkan badan bulek, berusaha menghilangkan jejak agar bulek tidak dihakimi warga
Aku dan Titi pun berpelukan menangis ketakutan.
"Mbok, relain Sari mbok, dimana mbok keris itu mbok bunuh Sari sekarang mbok" masih dengan suara tangis bulek
"Gak nduk gak" nenek pun tak kalah histeris.
Setelah menenangkan bulek, membersihkan badan bulek, dan menghilangkan jejak, nenek membawa bulek ke kamarnya, menenangkan bulek dan menemaninya  Aku dan Titi saat itu menenangkan satu sama lain di kamar Titi, berusaha untuk tidur sembari menunggu paklek pulang keesokan harinya.
Kira kira seperti inu ilustrasi dari pawon (dapur) nenek. Tapi tumpukan kayu bakarnya lebih tinggi sampai sekitar 1.5 meter karena nenek memang rajin berburu kayu bakar untuk stok bahan bakar. Image
Capek juga ya mengingat ngingat cerita beberapa tahun lalu🥺 update hari ini udah banyak, jadi tunggu kelanjutannya ya. Besok insyaallah aku update lagi dengan perilaku aneh dan diluar nalar bulek lagi. Ohiya, sekalian sneak peak soal si Yaya. Stay tune temen temen🥺
Keesokan harinya, aku bangun dan melihat jam menunjukkan pukul 10 pagi. Mungkin terlalu lelah, kejadian semalam terlalu banyak menguras energi sehingga menyebabkan aku dan Titi bangun siang hari itu.
Karena penasaran bagaimana keadaan bulek, aku langsung mencari nenek saat itu. Aku masih waras tentu tidak berani langsung menuju kamar bulek sendirian setelah kejadian tadi malam. Ku dapati nenek di dapur sedang memasak sesuatu untuk bulek. Jenang sengkolo.
Jenang 2 warna yg terbuat dari beras, yg satu berwarna putih dan satunya berwarna merah. Jenang sengkolo menurut tradisi Jawa dipercaya untuk membuang kesialan. Namun tentu, saat itu aku tidak tahu itu apa.
"Mbah lagi buat apa?"
"Buat jenang nduk sebagian biar dimakan bulek sebagian lagi nanti dihanyutkan ke sungai"
"Loh sebagiannya buat aku aja aku mau itu"
"Gak boleh nduk, ini khusus buat bulek. Kamu besok aja mbah belikan"
Dengan bibir mencabik kesal aku kembali bertanya pada nenek
"Mbah bulek gimana?
"Gapapa nduk, tapi bulek dari semalem diem terus, mungkin lagi sedih"
Aku si anak zodiak pisces ini, yg identik dengan perasaan sensitif, membayangkan di posisi bulek pasti dia sedih harus bertindak diluar jiwanya sendiri. Rasa takutku kian memudar kembali menjadi rasa iba.
"Mbah mau ke bulek? Aku boleh ikut?"
"Kamu gak takut?"
"Enggak" bohong. Lisanku berkata tidak. Pikiranku berkata takut tapi hati kecilku merasa iba.
"Yasudah, ayo sama mbah aja jangan sendiri"
Cepat2 aku mengekori nenek sembunyi dibelakang jarik yg nenek pakai
Saat nenek membuka pintu kamar bulek, aku melihat bulek duduk meringkuk di pojok kasurnya. Kondisinya semakin hari semakin mengkhawatirkan saja.
"Nduk ini dimakan, sedikit aja nggak papa"
"Nggak mbok" tolak bulek
Aku tau apa yg akan diucapkan nenek, tapi nenek memilih untuk diam daripada menyinggung perasaan bulek. Jawaban mengapa bulek tidak pernah makan dan selalu merasa kenyang dalam satu tahun belakangan ini, karena bulek memakan hewan2 peliharaan tetangga. Memakannya hidup2.
Dan menurut laporan warga, dalam 1 hari terkadang bisa lebih dari 2 ayam yg hilang, atau terkadang kelinci atau bahkan kucing. Dan bulek memakan semua itu hanya dalam waktu beberapa jam, tanpa meninggalkan jejak, tanpa bersisa.
Bisa bayangkan betapa mualnya aku waktu melihat kejadian malam itu. Kami lebih memilih diam dan tidak berani mengungkitnya didepan bulek.
Tawaran jenang sengkolo itu selalu bulek tolak, entah apa alasannya
Kemudian beberapa menit kemudian suara motor paklek terdengar, alhamdulillah paklek datang. Karena saat itu yg memiliki HP hanya paklek, sehingga paklek pun tidak tahu menahu ada kejadian ini karena kami tidak bisa mengabarinya saat itu.
Paklek masuk dan kemudian kaget melihat nenek membawa jenang sengkolo duduk di kasur bulek.
"Mbok ada apa?" dengan sorot mata paklek yg melihat jenang sengkolo itu.
"Ayo keluar dulu" kata nenek
Aku pun mengikuti nenek saat aku berbalik, aku melihat bulek berubah ekspresi kembali.
Tersenyum meringis ke arahku dengan kepala dimiringkan ke kanan seperti hampir patah. Aku langsung lari keluar.
Diluar aku menceritakan semua yg aku alami pada paklek, begitupun Titi saat itu ternyata sudah bangun.
Paklek terkejut dengan pengakuan ku, baru kali ini aku melihat paklek begitu takut, diiringi dengan derai air mata yg membasahi pipinya.
"Terus aku harus gimana mbok?" masih dengan suara gemetar
"Coba kamu kerumah Pak Amsar, minta untuk datang kesini"
"Iya mbok aku kesana sekarang"
Seketika itu paklek bergegas mengendarai motornya untuk menjemput pak Amsar.
Sembari menunggu paklek menjemput pak Amsar, nenek kembali masuk ke dalam kamar bulek. Kali ini aku tidak ikut masuk, karena yah sudah cukup takut.
Aku lebih memilih menunggu di ruang tamu bersama Titi.
"Kamu gakpapa? Mau ikut aku aja tinggal di Madiun sementara?" kataku
"Iya gak papa, aku gak mau pisah sama Ibuk" kata Titi menangis
"Bulek udah lama kayak gini?" kataku sembari menghapus air mata Titi
"Nggak. Pas aku kecil, Ibuk gapernah kayak gini. Cuman biasanya sering ngomong sendiri atau ketawa sendiri, tapi gak pernah sampai kayak gini" kalimatnya terputus
"Sejak kapan jadi kayak gini?"
"Ibuk dulu sayang banget sama aku, apapun yg aku mau selalu diturutin. Ibuk selalu ngajak omong aku, selalu ngajak aku main. Tapi pas itu malam tanggal 12 Januari aku ulang tahun ke 7....
.. malam itu aku tidur di kamarku sendiri karena Ibuk sama Ayah udah janji besok di hari ulang tahunku mau ngajak aku ke pasar malam. Aku tidur lebih awal. Tapi aku kebangun jam 12 malam, soalnya aku ngerasa perutku perih. Ternyata ada Ibuk, Ibuk bawa pisau ditempelin ke perutku"
Sembari Titi menunjukkan bekas goresan luka yg sudah menghitam, kurasa ada kalai 8 cm panjangnya.
"Aku langsung nangis, langsung teriak manggil Ayah. Terus ayah dateng nyadarin Ibuk...
... Ibuk akhirnya nangis sampai gapernah lagi ngajak omong aku bahkan ngajak main gapernah. Aku gak tau kenapa. Aku gak tau punya salah apa sama Ibuk. Tapi aku sayang Ibuk. Gamau pisah sama Ibuk" tangisnya semakin membuat suaranya terbata bata.
"Iya udah cup cup, gapapa Titi hebat kok" kataku saat itu.
Tak terasa 15 menit sudah kami menunggu kedatangan Pak Amsar. Suara motor paklek pun kian mendekat. Pak Amsar dengan paklek cepat2 melangkah ke kamar bulek.
Kami pun mengekori mereka.
Saat membuka kamar bulek, Pak Amsar langsung melihat aksara Jawa yg bulek tulis itu dengan mata kaget.
"Ini apa?" tanya Pak Amsar
"Saya nggak tau pak, Sari yg menulis dan melarang saya untuk melepasnya" kata paklek
Kemudian Pak Amsar mendekati bulek.
Ekspresi bulek saat itu kembali normal, tidak seperti tadi yg meringis melihatku. Pak Amsar kemudian membacakan sesuatu entah apa. Pak Amsar ini seorang kyai, mungkin dia membacakan ayat ayat suci? Wallahualam.
Ekspresi bulek masih sama.
Dan saat dirasa aman, Pak Amsar mengambil jenang sengkolo itu. Ia mendulangkan sesendok kepada bulek, tapi bulek menolak. Bulek justru meminta piring yg berisi jenang itu dari tangan Pak Amsar. Kami sedikit lega, ternyata bulek mau makan sendiri. Tapi salah dugaan kami.
Jenang itu bulek makan tanpa menggunakan sendok, ia makan menggunakan mulut seperti maaf anjing. Tidak, tidak bulek makan. Tapi bulek kumpulkan di mulutnya sebelum ia muntahkan jenang itu. Aku merasa, wajah bulek berbeda lagi. Seperti kakek kakek, kemudian menyeringai mengejek.
Saat itu aku dan Titi dijauhkan oleh paklek keluar kamar, menyisakan Pak Amsar dan bulek. Pintu itu tidak di tutup, jadi kami masih bisa melihat apa yg terjadi. Pak Amsar memercik mercikkan air putih ke wajah bulek. Dan bulek berteriak teriak dengan suara seorang kakek kakek.
"Ono urusan opo koe bocah!" gertak bulek mengerang ngerang wajahnya marah. Artinya, ada urusan apa kamu bocah.
"Sintena sampeyan cekap kagem ngganggu keluwargi puniki" jawab pak Amsar sambil terus memercikkan air. Artinya, siapapun anda sudah cukup mengganggu keluarga ini.
"Kowe ora ana urusan. Bocah iki arep terus dadi inang lawase aku durung diwenehake tumbal jumbuh karo prajanjen" jawab bulek. Artinya, bulek akan terus menjadi inang selama beluk diberikan tumbal sesuai dengan perjanjian.
"Napa mawon perjanjian puniku mboten wonten sesambetanipun kalih Sari mbah" jawab pak Amsar. Artinya, apapun bentuk perjanjian itu tidak ada hubungannya dengan Sari
"Kowe ora arep bisa ngusir aku kajaba nyawa bocah iki melu aku" jawab bulek
Yg artinya, kamu tidak bisa mengusirku kecuali nyawa bulek ikut bersamanya.
Seketika kami semua menangis mendengarnya, dan Pak Amsar kembali merapalkan doa doa untuk bulek, dan setelahnya bulek tidak sadarkan diri.
Sembari menunggu Pak Amsar dan paklek yg kembali mengurusi bulek didalam kamarnya, aku, Titi dan nenek kembali untuk mengurusi sisa jenang sengkolo yg akan dihanyutkan kedalam sungai.
Dalam perjalanan menuju sungai, aku bertanya pada nenek.
"Mbah, bulek udah lama ya kayak gitu?"
"Iya nduk, ada kisah dibalik semua yg terjadi sama bulekmu"
"Kisah apa mbah?"
"Belum waktunya kamu tahu. Bulek sudah 25 tahun lebih seperti ini. Kamu tanya mamak mu saja, dia tahu"
Kayak gini perwujudan jenang sengkolo, biasanya sih dibagiin ke tetangga kalau ada yg mau. Tapi lebih baik sih jangan mau makan ya, kecuali kalian buat sendiri dengan tujuan dikonsumsi. Tapi kalau dikasih orang lain, pikri2 dulu lah karna jenang ini simbol tolak bala🥲 ImageImage
ini banyak bgt yg bilang halu, banyak juga yg bilang kayak film. ya gimana ya, gamungkin halu sampai aku berani minta buat kirim doa bulek, berani buat nulis kalau bulek udah ga ada cuman buat narik pembaca🥲 jahat bgt dong aku.
aku pun nulis ini juga bingung, nulis atau engga. karna ini juga masuk tragedi kelam keluarga besar ku. nulis ini pun juga butuh riset lama, harus cari tau dulu kebenarannya kaya apa karna posisi sekarang mbah juga udah gak ada.
sumber informasiku cuman dari mamak sama budhe yg jadi saksi hidup kisahnya bulek. jd bagi kalian yg menuntut cerita untuk dibuat seram, aku gabisa. aku ceritain apa adanya. cerita ini itu emang lebih ke peristiwa kesurupan
jadi bagi kalian yg ngga percaya tolong jgn dibaca ya🥲 atau baca thread lain yg sekiranya sesuai selera. jadiin ini buat hiburan aja dan petik hikmahnya. jangan dipikir lebih sampai menelusuri tempat kejadian dll🙏🏻🙏🏻
ya allah baru sadar urutannya berantakan. maaf ya temen2, untuk terusannya bisa klik ini

Singkat cerita, kami tiba di sungai belakang rumah Pak Kamidi itu. Nenek melarungkan jenang sengkolo berbungkus daun jati. Saat itu masih pagi, matahari masih memancarkan teriknya. Diseberang sungai, aku melihat sosok sedang berdiri memperhatikan kami dibawah rimbunnya pepohonan.
Orang itu tinggi, mungkin 2 meter? Dia juga kurus kering, berwajah putih pucat, dan yg paling aneh tangannya pendek dengan jari yg hanya berjumlah 2 dan berselaput. Aku langsung memejamkan mata, menahan tangis agar suasana tidak tambah runyam.
Sosok itu tidak terlalu jauh dari keberadaan kami, mungkin 5-7 meter? Karena yg pasti aku bisa menangkap dengan jelas perwujudan sosok itu. Entah itu apa, yg jelas aku selalu menuruti pesan bapak untuk diam saja.
Setelah nenek selesai melarungkan jenang itu, kami pun kembali ke rumah. Kami melihat kondisi bulek yg saat itu masih tidak sadarkan diri. Pak Amsar masih berjaga disana untuk beberapa jam mengantisipasi apabila bulek menunjukkan gelagat aneh lagi. Sambil berbincang dengan paklek
"Yan lebih baik Sari kamu bawa ke daerah Gunung Kidul, disana ada kyai yg sepertinya bisa mengatasi Sari" kata pak Amsar
"Namanya siapa nggih pak?" tanya paklek
"Mbah Marto" terang pak Amsar
"Sebenarnya sejak kapan kamu tau Sari seperti ini?"
"Dari 10 tahun yg lalu pak, saat saya menikah dengan Sari diumurnya yg ke 25. Sari adalah teman SMP saya. Saya sudah menyukai saat SMP, karena dia termasuk anak yg saat itu jadi idola desa ini saya tidak berani mengungkapkan. Saat itu Sari masih terlihat seperti orang normal...
... Sampai saat kami sudah dewasa, saya beranikan diri untuk melamarnya, saat itu saya sebenarnya sudah merasa ada yg salah dengan Sari karena dia gak pernah mau makan sayur. Dia hanya mau makan daging setengah matang, makan buah pun juga hanya mau apel merah...
... Saat itu aku tidak banyak bertanya, karena rasa sayang saya sudah jauh lebih besar. Mendapatkan Sari sudah cukup bagi saya pak untuk menemaninya sampai kami tua. Seiring tahun berjalan pernikahan kami normal normal saja....
... Menginjak kelahiran Titi di tahun ke 3 pernikahan kami, Sari tiba tiba yg tadinya tidak pernah mau sholat, ini sholat. Namun sholatnya aneh, selalu menyeringai, bersedekap, dan hanya berdiri kemudian duduk. Tidak ada ruku' ataupun sujud ...
... Sari juga selalu membaca bacaan aneh yg Saya pun tidak tahu artinya apa. Sampai menjelang 40 hari kelahiran Titi, Sari tiba tiba menyendiri, tidak mau diganggi dan hanya makan nasi putih dan air putih. Sari juga selalu membasuh perut besarnya itu dengan bunga kuburan...
.. Karena merasa ada yg tidak beres, saya berusaha mencari orang pintar, saat orang pintar itu datang ke rumah, beliau kaget melihat kondisi Sari. Beliau mengatakan bahwa Sari ini jiwanya sudah tidak ada. Sukmanya sudah digantikan dengan sosok peliharaan kakek buyut ..
... Sosok itu sangat kuat, beresiko bagi Sari apabila harus dilakukan ritual di usia kandungannya yg mendekati hari persalinan. Orang pintar itu berpesan pada saya, sembari meninggalkan sebuah jimat yg wajib saya berikan pada anak saya saat ia akan menginjak usia 7 tahun ...
... Saat hari persalinan, kondisi Sari tidak stabil karena kekurangan gizi yg cukup parah, dehidrasi dan keadaan Sari yg lemah sehingga tidak memungkinkan untuk persalinan normal...
.. Kami memutuskan untuk melakukannua dengan cara sesar" buih air mata paklek menggenang saat mengingat moment kelahiran Titi.
"Saya bersumpah, saat melihat kondisi Sari saat itu sangat hancur hati saya, saya tidak ingin kehilangan Sari dan anak saya, pak. Saya kemudian sholat dan berdoa di mushola rumah sakit, meminta agar kedua malaikat dunia saya itu diberikan perlindungan...
... Allah maha besar, Allah mendengar doa saya. Setelah saya kembali, saya mendengar suara anak saya. Anak yg kuat bertahan. Bahkan dari saat ia masih berada dalam kandungan sampai saat ini dia menghadapi cacian teman2nya karena kondisi Ibunya....
... Singkat cerita, kami pulang dari rumah sakit saat itu. Sari normal, ia mau menggendong Titi, menyusui selayaknya Ibu. Namun, malam itu niat saya akan menguburkan ari2 Titi...
... Tapi saya lupa belum membeli bunga untuk menyekar dan diberikan diatas gundukan tanah2 tempat ari2 itu nantinya saya kubur. Saya tinggalkan Sari sebentar, saat itu mbok juga masih mengurusi hal lainnya. Namun saat saya kembali ke rumah, ari2 itu sudah tidak ada...
... Saya bertanya pada mbok apa tau ari2 nya dimana? Mungkin tadi saya yg lupa. Tapi mbok bilang tidak tahu. Kami pun mencari cari dimana ari2 itu. Sampai firasat saya mengatakan mungkin Sari tahu, meskipun mustahil baginya untuk berjalan di hari ke 3 bekas operasi sesarnya...
... Saya mendekati Sari yg saat itu menggendong Titi dengan berbaring di atas kasur dengan posisi duduk. Dia menyanyikan lagu untuk Titi, anehnya dengan tembang Jawa bukan lagu anak pada umumnya. Namun alangkah terkejutnya saya melihat gigi  Sari yg ada bercak berwarna merah..
... Begitupun kuku di jempolnya yg masih memegang barang seperti usus tetapi tinggal sedikit" paklek mengusap air matanya yg kian berderai.
"Saya kemudian menangis, melihat kondisi Sari yg tidak masuk akal itu...
Saya berusaha untuk melepaskan usus kecil itu dari genggaman Sari, dengan mencium kepalanya dan mengatakan bahwa "ini anak kita, ini buah hati kita" pelan2 Sari mau melepaskannya. Dan dia juga berubah ekspresi serta menangis, kemudian Titi kubawa untuk keserahkan kepada mbok.
Sembari aku menceritakan semuanya. Kemudian aku bergegas menuju depan teras untuk mengubur sisa ari2 Titi, usus kecil dengan panjang tidak lebih dari 3 cm" paklek mengusap air matanya
Kira kira seperti ini kidung Jawa yg dinyanyikan bulek saat itu.
"Setelah kejadian itu semuanya normal pak, hanya tingkah Sari yg sholat tidak sebagaimana mestinya itu yg setiap hari ia lalukan menjelang maghrib. Selebihnya tidak ada kejadian aneh2 lagi. Rumah tangga kami bahagia, penuh dengan tawa...
... Sampai di malam ulang tahun Titi yg ke 7, saya lupa memberikan jimat itu pada Titi karena saya ketiduran di depan TV. Saat bangun, jam menunjukkan pukul 12 lebih sedikit. Saya terbangun karena suara tangis Titi, cepat2 saya menemui Titi di kamarnya..
.. Saya melihat Sari disana dgn pisau dapur diletakkan mengiris perut Titi, sampai sekarang bekasnya pun masih ada. Cepat2 aku bacakan ayat suci yg aku bisa untuk menyadarkan Sari semenjak itu sampai hari ini Sari semakin bertingkah tidak wajar" jelas paklek mengakhiri ceritanya
Kita kira kalung hitam itu seperti ini. Dan memang Titi memakainya saat kami bertemu di usia kami yg ke 7 saat itu, bahkan sampai bulek menghembuskan nafas terakhirnya. Baru Titi lepas saat bulek sudah tidak ada. Image
Pak Amsar pun tercengang mendengarkan cerita paklek. Aku pun yg diam2 menguping dengan Titi juga merasa tidak percaya. Ini lebih seperti film horor yg pernah aku tonton dengan bapak. Titi hanya diam, menangis pun sepertinya dia sudah tidak bisa.
Namun pernyataan paklek masih belum menjawab ada apa dengan bulek. Asal mula bulek seperti ini. Karena paklek menemui bulek saat bulek berumur 25 tahun. Padahal kata nenek bulek seperti ini sejak ia umur 7 tahun.
Karena saat itu juga sudah menjelang sore, Pak Amsar kemudian pamit pulang setelah memastikan keadaan bulek baik baik saja. Bulek saat itu masih tidak sadarkan diri padahal sudah sekitar 5 jam terhitung.
Malam pun kini tiba, kami memutuskan untuk tidur di depan TV kembali kecuali bulek tentu saja yg masih tidak sadarkan diri.
Jam menunjukkan pukul 12 dini hari, aku terbangun tatkala mendengar bunyi gagang pintu yg bergerak. Seperti ada orang yg berusaha untuk masuk.
Karna sudah ada pengalaman sebelumnya yg tidak enak, aku membangunkan nenek. Kami sepakat untuk tidak membuka pintu, tapi lebih memilih untuk melihat dari balik jendela kecil dekat pintu. Saat nenek melihatnya, nenek tidak menemukan siapapun dan gagang pintu itu kini berhenti.
Nenek kemudian kembali untuk tidur. Namun aku masih penasaran. Benarkah tidak ada orang atau nenek yg salah lihat? Aku mengambil kursi untuk pijakan agar tubuh pendekku bisa mencapai jendela itu.
Yang benar saja, aku melihat ada orang dengan jubah berwarna hitam, memakai tongkat dari kayu berada di depan pintu itu. Aku tidak mengetahui wajahnya, karena tertutup dengan jubah. Seketika aku turun dari kursi dan berlari menghampiri nenek. Masih diam. Kembali tidur.
Ralat ini sejak umur 10 tahun
Kira kira seperti ini, tapi memegang tongkat kayu dengan postur bungkuk Image
Keesokan harinya, kami masih mendapati bulek tidak sadarkan diri. Bulek seperti itu sampai 3 hari. Entah sudah hari keberapa ku di rumah nenek, saat hari dimana bulek terbangun, bulek kembali normal. Bulek merasa lapar dan mau untuk makan ayam goreng serta nasi.
Hari berikutnya normal. Sudah tidak ada lagi kejadian ayam atau kucing yg mati, karna setiap malam selasa dan jumat paklek bersiaga menjaga bulek. Semua keadaan menjadi tenang. Bulek kembali mau bermain dgn kami. Aku juga bisa melihat wajah bahagia Titi yg sudah lama hilang itu.
Sampai pada suatu sore, bulek mengajakku dan Titi untuk membeli sate ayam. Titi sangat antusias karena sudah sangat lama ia merindukan pergi dengan bulek. Tapi, aku masih ragu sebenarnya, mengingat pesan mamak yg tidak memperbolehkanku ikut dengan bulek keluar rumah.
Tapi saat itu bulek memaksaku, Titi pun demikian. Yasudah pergilah kami bertiga dgn sepeda pancal. Bulek yg mengendarainya, Titi ditengah, dan aku paling belakang. Pergilah kami disuatu kedai sate ayam. Bulek memesankan untuk kami 2 porsi sate ayam dibungkus dengan sambal dipisah
Namun, bulek juga meminta 1 porsi lagi sate mentah dibungkus. Pikirku saat itu mungkin bulek mau memasaknya sendiri dirumah. Pulanglah kami bertiga, sampai dirumah, aku dan Titi makan dengan lahap sate itu di ruang tamu.
Karna aku merasa haus, aku berinisiatif untuk mengambil air di dapur. Saat aku membuka pintu dapur, kudapati bulek memakan sate mentah itu. Aku lgsg mengurungkan niatku, menutup pintu sepelan mungkin agar bulek tidak menyadari keberadaanku yg sempat melihatnya beberapa menit itu.
Namun karena memang pintu iu sudah tua, pintu yg kuusahan tertutup pelan itu berbunyi. kriet...
Adegan selanjutnya sudah bisa kalian tebak.
Bulek menoleh melihat kearahku, dengan wajah yg tersenyum lebar dengan gigi yg masih mengunyah tentunya dengan mata yg melotot. Aku pun langsung lari mengajak Titi untuk bersembunyi didalam kamar. Sepertinya Titi pun sudah paham.
Singkat cerita, setelah kejadian sate itu dalam beberapa hari sebelum masa liburanku habis ini bulek tidak bertingkah aneh lagi. Namun masih setiap malam kudapati suara orang mengetuk pintu, menggerakkan gagang. Dan agaknya kami semua tau itu bukan manusia, memilih mengabaikannya
Suatu pagi aku masih ingat, 3 hari sebelum aku pulang, sudah lama juga kami tidak bermain dengan Yaya. Kami memutuskan hari itu untuk kembali bermain dengan Yaya menghampirinya kerumah. Sebelum kami mengucapkan salam dan memanggil namanya, Yaya sudah ada di sisi pinggir rumahnya.
Tempat kami bermain dulu. Masih dengan pakaian yg sama. Tapi saat itu bedanya, Yaya membawa boneka beruang kecil.
"Mau main boneka?" kataku
"Nggak, ini boneka diberi mamah papah" katanya
"Aku kurang 3 hari lagi pulang" kataku
"Kemana? Disini aja" kata Yaya
"Nggak bisa aku harus sekolah. Kamu emang nggak sekolah?" katanya
"Nggak boleh sama mamah papah" jelas Yaya
Agaknya aku sedikit mengerti. Bukan, masih belum curiga.
Aku mengerti karena ada beberapa temanku di Madiun yg lebih memilih home schooling, menghadirkan guru ke rumah. Biasanya orang2 kaya yg seperti itu. Dan si Yaya ini melihat dari pakainnya yg bagus dan rumah nya yg besar itu, agaknya dia orang kaya. Pikirku saat itu.
"Ohh home schooling ya" tebakku
Tidak ada jawaban. Dia hanya diam.
"Tanganmu kenapa dingin sih Yaya" protes Titi saat ia berusaha mengajak Yaya mencari daun daunan untuk bahan masak2 kami
"Nggak papa, rumahku memang dingin, beda dengan rumahmu" jelas Yaya.
Percakapan mereka masih bisa ku jangkau dengan inderaku.
"Enak bangett. Boleh ngga aku main ke dalam rumahmu kapan2 pas Galuh udah pulang?"
"Jangan, mamah papahku nggak suka"
"Yaah.." gerutu Titi
Saat itu kami bermain sampai larut sore. Seperti biasa setelahnya kami pamit. Tapi saat itu aku dan Titi memutuskan untuk putar balik, melewati sungai mencari jenang nenek saat itu tersangkut atau tidak.
Kami mengitari sungai, kembali aku lihat diseberang sungai itu, sosok yg sama tempat yg sama si badan panjang dengan tangan mini itu memandangi kami.
Aku buru2 menggandeng tangan Titi untuk berlari. Aku pastikan Titi tidak melihatnya, karena dia justru tertawa2 saat aku ajak lari. Sepertinya dia cengengesan karena senang aku ajak lari, padahal aku sedang ketakutan saat itu.
Singkat cerita, kami berhasil menyusuri sungai itu. Tibalah kami disamping kebun tela yg dipenuhi ilalang setinggi 1 meteran itu. Kami pun ngos ngos an saat itu karena berlari dengan sekuat tenaga.
"HAHAHAHA kamu tu mau ngajak balapan malah gandeng aku gimana sih" celoteh Titi
"Diem deh," kataku yg masih ngos ngos an mengatur napas
"Ini jam berapa ya Ti?" tanyaku
"Entah, tapi aku udah denger adzan ashar tadi. Jam setengah 5 mungkin" jawabnya enteng sembari membersihkan kakinya dari daun2 yg menempel.
Jantungku kembali berdegup kencang mengingat kurang 30 menit lagi jam 5. Jam dimana mamak berpesan agar aku berada dirumah. Bagi Titi yg tidak sensitif mungkin ini biasa. Tapi bagiku berbeda, memang di jam jam menjelang maghrib selalu ada saja hal hal aneh yg aku lihat.
"Yaudah ayok cepetan pulang" sembari kuraih tangan Titi. Kali ini kami berjalan karena sudah habis tenaga kami untuk lari larian tadi.
Saat kami menyusuri kebun itu, kami mendengar suara. kresek..kresek..
Aku tidak bisa menirukan dalam tulisan ini. Tapi suara itu seperti seseorang sedang memasukkan sesuatu kedalam kresek.
"Itu suara apa ya?" kataku
"Burung kali, kan banyak burung disini" jawab Titi
"Kamu tunggu disini sebentar ya"
"Mau kemana? Aku ikut" Titi pun mengikutiku
Saat aku membuka ilalang itu, kudapati seorang pria, berumuran kurang lebih seperti paklek. Orang itu memakai kaos oblong, dengan wajah yg pucat memegangi kresek berwarna hitam.
"Ada apa nduk? Cari apa" katanya
"Ah enggak pak, saya kira siapa" kataku lega
"Emang kamu kira siapa?" sambil tersenyum. Innalillahi. Kepalanya terputus dari badannya terjatuh di ilalang itu. Masih dengan senyum, badannya kemudian meraba raba mencari kepalanya, kemudian dimasukkannya kedalam kresek.
Tanpa pikir panjang aku langsung lari, menangis, berteriak. Sampai di rumah, nenek menenangkan kami. Aku hanya diam. Namun Titi menceritakannya ke nenek. Nenek pun menasehati kami agar tidak lagi bermain di kebun itu. Aku semakin kaget saat Titi mengatakan padaku satu kalimat.
"Itu ayah Yaya" katanya sembari menangis. Aku hanya dia.
"Itu ayah Yaya yg aku lihat saat pertama kali kita ketemu" ia menyelesaikan kalimatnya.
Tubuhku gemetar, membayangkan itu ayah Yaya. Berarti selama ini Yaya bukan manusia? Berarti selama ini kami bermain dengan hantu? Aku berani bersumpah saat menulis ini pun bulu kudukku masih merinding.
Tepat setelah itu, aku demam. Dan paklek menelfon bapak mamakku untuk menjemputkku. Karene menurut paklek setiap malam aku selalu meracau memanggil2 mamak. Saat kutanya paklek, apakah mamak bapak sering menanyakan kabarku saat aku disini?
Paklek menjawab bahkan setiap hari bapak mamak menelfon paklek. Khawatir akan keadaanku. Tapi paklek hanya menjawab tidak terjadi apapun. Alih2 jujur dengan keadaan sebenarnya. Karena paklek kasian dengan Titi kalau aku tinggal sendirian.
Singkat cerita, bapak mamak menjemputku, paklek baru menceritakan segala kejadian yg ku alami selama kurang lebih 20 hari disini. Cukup dengan cerita paklek, mamak semakin terburu buru membawaku pulang ke madiun. Meninggalkan Titi yg menangis saat ku tinggal pulang.
Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, kami tiba di Madiun. Mamak masih menangis tak tentu arah. Dan kudengar percakapan mamak dan bapak saat itu.
"Pak, coba undang Arif kesini" kata mamak.
Arif itu merupakan warga desa kami yg mempunyai kemampuan six sense (indera ke enam) bukan dukun atau kyai. Tapi mas Arif ini kurang lebih sama seperti Om Hao kisah tanah jawa atau kak Angga di jurnal risa.
Segini dulu yaa update nya, aku mau nyiapin menu buka puasa dulu! Insyaallah setelah buka puasa aku lanjutin lagi ok?! Aku lanjutin kenapa kok selalu aku yg diganggu, kenapa kok aku diganggu tapi baik2 aja sehat wal afiat aminn hehe. Tunggu penuturan dari mas Arif ya!
spoiler dikit aja ya. kedepannya masih sedikit panjang. masih ada kejadian pas bulek ternyata hamil lagi, terus bulek sakit keras sampai dibawa ke rumah sakit. dan di rumah sakit itu satu ruangan koridor, diteror oleh bulek tiap malem
Sore itu bapak langsung bergegas menemui mas Arif memintanya datang ke rumah. Mamak khawatir jika terjadi hal diluar masuk akal padaku, dengan beberapa kejadian yg ku alami belakangan ini. Demam ku pun juga terlihat aneh, sudah diminumi obat tetapi tidak juga kunjung reda.
Aku pun merasakan setiap kali mataku terpejam seseorang memanggil manggil namaku. Dan yang pasti itu bukan manusia. Aku menceritakan semuanya pada mamak. Oleh karena itulah alasan mas Arif dimintai tolong oleh bapak.
Bukan berarti kami percaya kekuatan selain Allah SWT, cuman karena sakitku ini bukan sakit biasa maka kedua orang tuaku berusaha dengan cara lain untuk menemukan obat untukku karena obat medis sudah tidak mempan. Bukankah manusia itu harus berikhtiar?
Singkat cerita mas Arif datang dan langsung menemui yg saat iku aku masih terbujur lemas di kasur kecilku. Mas Arif langsung memegang tanganku, memejamkan matanya. Kemudian tangannya berpindah ke kepalaku, masih memejamkan matanya. Bapak dan mamak terlihat waswas diujung pintu.
Kemudian mas Arif meminta bapak untuk diambilkan gula batu berwarna putih dengan segelas air. Bapak pun mengambilkannya di dapur. Diberikannya bahan2 yg diminta mas Arif dan dibacakan doa olehnya.
Setelah mas Arif selesei membacakan doa, aku pun disuruh meminum air itu, setengahhya dipercik percikkan ke sekujur badanku.
Setelahnya mas Arif berbicang dengan kedua orang tuaku didepan pintu, aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Pak ini Galuh aman, nggak ada yg ikut" kata mas Arif
"Tapi kenapa mas emamnya ngga turun2?" tanya mamak
"Jadi begini buk, Galuh itu dari kecil paling dekat dengan kakeknya ya?" tanya mas Arif. Kakek yg dimaksud disini adalah kakek dari bapak. Kakek ku di Madiun. Ayah dari bapak.
Karena bapak mamak punya toko di kota, mengharuskanku untuk tinggal dirumah bersama kakek nenek. Saat malam hari saja aku bertemu kedua orang tuaku. Kakek nenek Madiun ku sudah wafat saat aku masih berumur 5 tahun. Kakek meninggal lebih dulu dan nenek menyusul 6 bulan setelahnya.
"Iya mas Arif, deket banget gak pernah mau lepas. Cucu kesayangannya soalnya. Ada apa mas emangnya?" jelas bapak
Mas Arif mengulas senyum diwajahnya
"Pantes pak, Galuh ini punya penjaga yg kuat. Kayaknya dikasih langsung turun temurun dari kakeknya. Demamnya Galuh ini ada sangkutannya dengan penjaganya itu. Selama Galuh ke Ngawi, Galuh kan mengalami beberapa kejadian tak kasat mata...
... Galuh sedikit bandel, anaknya terlalu penasaran, banyak makhluk yg tertarik ganggu dia sampai membuat gampangannya tuh penjaga nya njaga dia terlalu ekstra. Galuh kedepannya akan terus kayak gini pak...
... Karena dia itu anaknya memang sudah bakat dari lahir sensitif dengan hal hal seperti itu dia akan terus gampang melihat hal hal gaib. Ditambah dia punya penjaga yg ekstra ketat, akan banyak makhluk dari dunia lain yg tidak menyukainya....
... namun enggan untuk mendekat atau melukai Galuh karena istilahnya apa ya, penjaganya itu udah berumur ratusan tahun, turun temurun dari silsilah keluarga bapak. Jadi kedepannya saran saya, Galuh lebih diberikan pengertian tentang ini ...
... karena kalau dia terus terusan penasaran dan mencoba mendekati mereka, Galuh akan gampang sakit kayak gini pak" terang mas Arif
Relate. Serasi. Sama dengan yg kualami. Padahal bapak tidak menceritakan bahwa saat itu polahku melebihi detektif conan.
"Mas Arif sekalian saya mau tanya, mas Arif bisa nggak liat dari sini apa yg terjadi sama buleknya Galuh pas itu?" tanya mamak
"Sedikit banyak saya tahu buk" papar mas Arif
"Kenapa mas? Kenapa adik saya bisa makan hewan hidup hidup?" tanya mamak dengan suara serak
"Saya tidak tahu pastinya buk yg ikut adik ibu itu siapa dan darimana asalnya. Tapi saya saya yakin ibuk lebih tau cerita ini...
... Yg perlu sampaikan hanya adik ibuk saat ini jiwanya sudah menjadi jaminan makhluk itu. Adik ibuk merelakan jiwanya sendiri buat melindungi anaknya. Seharusnya, jin itu sudah berpindah ke anaknya saat usia dia 7 tahun dengan meminum darah dari anak itu...
.. Namun saat kejadian itu, di dimensi lain jiwa adik ibuk memberontak. Dia melawan dengan sisa energi yg dia punya agar jin itu tidak membawa anaknya. Dan akhirnya jin itu kini memegang kendali jiwa adik ibuk, maaf ibuk, bisa saya katakan saat ini adik ibuk seperti mayat hidup..
.. Jiwa nya sudah tidak ada lagi disana, sesekali dia akan sadar tapi hampir 80% saat ini sudah tidak dia lagi. Untuk mengeluarkannya pun susah buk, karena perjanjian ini sudah bukan lagi dengan arwah atau setan, tetapi sudah dengan jin hitam..
.. Dan hanya taruhan nyawa buk jalannya. Maaf jika saya berkata seperti ini, satu satunya cara agar adik ibuk bisa bebas dengan melahirkan anak lagi, sampai genap ia berusia 7 tahun, anak itu akan menjadi tumbal. Dan sampai saat itu, adik ibu baru bisa terbebas dari jin itu"
Mamak tidak bisa berkata apa apa lagi. Tidak tega dirinya jika harus mengabari paklek tentang apa yg mas Arif katakan, karena mamak tau jauh didalam sana paklek sangat menyayangi bulek. Dia akan melakukan apapun demi bulek.
Singkat cerita, aku menjalani kehidupanku di Madiun seperti biasa. Sekolah, bertemu teman2 manusia, juga bertemu mereka yg tak kasat mata. Stop, untuk cerita tentang masa sekolah SD ku aku kan bahas di lain kesempatan.
Sudah seminggu aku di Madiun, kangen juga dengan Titi yg setiap hari menghabiskan waktunya dengan ku bermain sepuasnya. Mengalami hal2 aneh berdua. Sampai suatu hari aku merengek pada bapak untuk ditelfon kan paklek, aku ingin bicara dengan Titi.
Bapak pun mengiyakan permintaanku, mengeluarkan HP nya untuk menghubungi paklek jam 7 malam.
"Halo, Assalamualaikum. Gimana yan kabarnya?" tanya bapak.
"Waalaikumsalam. Alhamdulillah mas sehat. Mas gimana?" tanya paklek diseberang sana.
"Alhamdulillah. Sari gimana yan?"
"Ini mas ada kabar aneh lagi dari Sari baru kejadian kemarin malem" jelas paklek
Buru2 aku mendekat memasang telingaku sebaik mungkin agar tidak terlewatkan 1 kata pun kalimat paklek.
"Innalillahi, kabar apa lagi?" resah bapak
Mendengar bapak berucap seperti itu, buru2 mamak juga menghampiri bapak untuk mendengarkan cerita paklek.
"Jadi gini mas, udah lama Sari itu nggak bertingkah aneh aneh. Udah sedikit banyak kembali kayak dulu lagi...
... Ya kan aku tenang to mas, aku tinggal kerja, aku tinggal cangkruk pas malem. Soalnya udah lama juga aku nggak kumpul sama tetangga. Takut dikira apa apa kan. Yasudah pas itu aku rencana nobar sama Pak Kasim dirumahe lihat bola. Malem itu jam 8...
... Aku udah pamit mbok, Sari sama Titi. Belum ada mas aku tinggal 2 jam, mbok nangis2 ngehampiri aku dirumahe Pak Kasim. Katanya aku disuruh pulang. Yawes aku pulang to, di perjalanan aku tanya mbok e ada apa, karna mbok gamau cerita pas dirumah Pak Kasim...
... Kata mbok e Sari nggak ada dirumah, padahal tadi pamit buat tidur pas aku berangkat. Hla aku tanya, emang ada pintu yg kebuka atau enggak. Kata mbok e pintu sampinh ruang keluarga kebuka, pas itu mbok sama Titi di dapur lagi buatin jelly kesukaan Titi...
... Terus mbok mau nawarin Sari ceritanya, balik dia ke ruang keluarga eh pintunya kebuka. Terus firasat mbok gak enak, benar aja dicari Sari dikamar nggak ada, dicari juga disekeliling rumah nggak ada. Yawes mas akhire aku minta tolong Pak Kamidi buat bantu cari Sari lagi...
... Aku cariin di punden, sungai, sampai ke rel kereta api tempat aku nemuin Sari dulu. Nihil mas. Akhirnya aku nemuin petunjuk, pas itu Sari pakai jaket, aku nemuin jaket Sari jatuh disekitar pasar. Dimana pasar itu jauh mas letaknya dari rumah, udah mau deket ke jalan raya...
... Aku ada feeling apa Sari ke jalan raya ya. Aku udah nangis mas itu, udah gak sanggup bayangin kalau apa apa terjadi sama Sari. Aku langsung naik motor sama Pak Kamidi mas ke jalan raya ...
... Pas aku sampek sana, aku lihat segerombolan warga lagi liatin sesuatu di pinggir jalan. Aku udah keringat dingin, aku takut Sari gak ada mas" paklek menangis lagi belum selesai dia menceritakan.
"Sari kenapa yan?" Mamak menginterupsi pembicaraan
"Ternyata bener feelingku itu Sari mbak. Tapi alhamdulillah Sari nggak kenapa2, nggak terluka sama sekali. Terus aku tanya ke bapak becak yg mangkal disana, dia tau alurnya sampai dia yg nolongin Sari mbak...
... Kata bapak itu, bapak pas mau beli kopi di warung dekat jalanan sawah dekat jalan raya itu, bapak liat ada cewek lari, gak pake sendal, matanya melotot tapi senyum menyeringai, tidak kedip sama sekali....
... Perasaan bapak pas itu udah mengatakan ini anak pasti mau lari ke jalan raya. Mbak tau sendiri itu jalur bis. Jalur besar yg kendaraannya rame. Pas itu bapak becak itu udah bersiap mencegat Sari mbak, tapi posisi bapak itu nggak sampai tangannya menangkap Sari...
.. Akhirnya Sari lolos. Keluar dari gapura, Sari tiba2 diam. Mematung. Kemudian dia jalan melomcat seperti pocong, dengan tangan sedekap, mata melotot dan wajah yg menyeringai. Dia menyeberang ke tengah2 jalan, menyetop semua bus yg lewat dengan jari telunjuk yg menunjuk keatas..
.. Entah apa maksudnya. Akhirnya bus nya berhenti mbak setelah ada anak remaja sepertinya dia indigo, dia teriak teriak untuk memberhentikan busnya pada sopir karna jika tidak, jika bus itu menabrak Sari, bukan Sari yg mati mbak, tapi seluruh penumpang bus itu yg akan kecelekaan"
"Innalillahi Sari, terus gimana yan sekarang Sari? Baik baik aja" tanya mamak tangisnya pun pecah
"Nggak papa mbak, kemarin Pak Amsar kesini lagi buat ngobatin Sari lagi"
"Titi gimana?" tanya mamak
"Titi nggak papa mbak, dia sekarang tinggal sama mbakyu ku (kakak) karena disana juga ada anaknya mbakyu jadi dia ada temen, nggak jauh kok, Titi juga biasanya kalau siang pulang sekolah kesini liat Ibunya" jelas paklek
"Yaudah kalau gitu Yan, kalau ada apa2 lagi tolong kabari ya Yan" kata mamak
"Iya mbak pasti"
Sejak saat itu aku sedikit lega. Setidaknya Titi aman. Setidaknya Titi punya teman.
Setelah percakapan itu, setiap kali mamak bertanya kabar bulek, paklek selalu menjawab masih sama. Masih dengan gerakan sholat yg tidak sewajarnya itu.
Dan setelah kejadian liburanku itu, mamak bapak tidak lagi membawaku ke Ngawi, bahkan saat lebaran.
Karena mereka masih trauma sepertinya dengan apa yg aku alami.
Jadi lebih memilih untuk menjaga jarak dan bersilaturahmi melalui HP.
Satu dua tahun berlalu. Sampai akhirnya aku menginjak usia ku yg ke 10. Saat itu Titi juga berusia 10 tahun, lebih 1 bulan tepatnya. Telepon bapak berdering, saat dibaca ternyata paklek menelfon.
"Mas, assalamualaikum. Alhamdulillah mas" suara paklek terlihat senang
"Ada apa yan?" Bapak pun tertular senang
"Sari hamil mas, alhamdulillah udah jalan 4 bulan. Tapi aku baru tau sekarang"
Bapak langsung terpaku. Bukan, bukan tidak senang karena berita gembira ini. Tapi bapak ingat apa yg dikatakan Arif 2 tahun yg lalu. Bapak masih ingat bagaimana jika bayi itu sampai berumur 7 tahun, bayi itu tidak akan selamat.
Tapi tidak mungkin bapak mengatakannya pada paklek. Tidak mungkin bapak mematahkan rasa gembira itu. Karena pikir bapak masih ada kemungkinan beberapa tahun kedepan sebelum bayi itu berusia 7 tahun, siapa tahu, siapa tahu kami bisa menemukan jalan keluar yg terbaik untuk keduanya
Serakah memang. Itulah sifat dasar manusia yg ingin memberikan yg terbaik untuk orang yg mereka sayang.
"Alhamdulillah yan, tapi kok bisa nggak ketahuan padahal udah 4 bulan" tanya bapak berusaha sebisa mungkin tidak mengubah nada bicaranya.
"Iya mas, soalnya beberapa bulan ini Sari juga kumat lagi. Tapi aku sengaja memang tidak mengabari saudara, karna masih ditahap nggak terlalu ekstrem"
"Kumat gimana?" tanya bapak penasaran
"Sari itu sekarang sering kumat mas jalan kayak kera...
... Sama kayak pas dia kumat di punden itu, bahkan 2 bulan lalu warga geger gara2 malam jam 12 lihat Sari ada diatas genteng. Entah bagaiman cara dia naik sampai diatas sana, nggak ada yg tahu. Yang memergoki warga yg lagi pulang cangkruk...
... Kok diatas rumah ada orang, tapi dia duduk, sambil makan sesuatu tapi dia tidak tahu kalau itu Sari. Akhirnya warga itu teriak teriak katanya demit demit gitu. Pas warga itu lari, katanya liat Sari terjun dari atas genteng itu...
... Aku bangun dong liat ada orang teriak2, buru2 feelingku gak enak mas, aku liat ke halaman belakang, disana ada Sari lagi makan burung gagak. Burung gagak yg sering mengitari rumahku itu mas. Cepat2 aku bawa Sari masuk, sebelum warga lain melihat dan menyadari itu Sari...
... Aku membacakan ayat suci dan langsung membersihkan badan Sari saat itu. Terus aku menemui warga yg udah ngumpul depan rumah, aku mengelak kalau mungkin salah akhirnya warga bubar...
... Aneh kan mas, kalau dihitung Sari pas kejadian itu dia udah hamil 2 bulan, tapi bayinya nggak papa. Anakku kuat mas" celoteh paklek
Amin. Batin bapak mengamini. Semoga memang anak itu kuat, kuat menjaga dirinya sendiri. Kuat untuk menghadapi kejamnya jin yg ada ditubuh ibunya.
Bapak memberitahu mamak atas berita itu, dan mamak sama dengan bapak, memikirkan bagaimana nasib bayi itu selanjutnya. Namun Allah memang maha baik. Sembilan bulan sudah bayi itu berjuang di dalam perut Ibunya.
Didalam perut Ibunya yg bahkan jiwanya pun tidak diketahui masih utuh atau tidak. Anak itu berjuang sendirian, dengan keadaan bulek yg susah sekali untuk makan selayaknya manusia. Dengan kondisi bulek yg selalu memberontak jika dibawa ke rumah sakit.
Alhasil paklek harus mendatangkan mantri (dokter desa) ke rumah. Sampai hari kelahiran itu tiba. Februari 2010. Anak perempuan cantik yg diberi nama Rani itu kini hadir melengkapi keluarga kami. Namun agaknya semesta terlalu banyak menguji keluarga kecil paklek.
Dengan kelahiran Rani, diiringi kondisi bulek yg semakin parah. Bulek tidak mau makan selama 10 hari, bulek lemas dan selalu memutahkan darah. Paklek sudah tidak sanggup dan membawa bulek ke rumah sakit di Ngawi saat itu. 2 hari bulek dirawat, dan hasil pemeriksaan kini keluar.
Bulek menderita kanker usus besar stadium 4 beserta komplikasi sirosis hati. Malang nasib paklek. Melihat Rani berusia 10 hari yg bahkan belum merasakan air susu ibunya, juga Titi yg masih membutuhkan Ibunya untuk mendampinginya meraih cita citanya
Juga paklek yg masih membutuhkan bulek. Selalu. Dan akan selamanya membutuhkan bulek. Bagaimanapun keadaan bulek. Hancur sudah saat itu paklek, kami juga yg mendengar kabar tak kuasa menahan tangis.
Dokter di RS Ngawi saat itu tidak bisa mengambil tindakan lebih jauh karena keterbatasan sarana prasarana, oleh karena itu bulek harus dirujuk di salah satu RS besar di Madiun.
Teror baru pun dimulai selama 1 bulan bulek menjalani perawatan di rumah sakit itu. Aku juga bertemu bulek kembali setelah 2 tahun tidak berjumpa.
Segini dulu yaaa temen2 update hari ini, udah banyak asupan kan🥺 Insyallah dilanjut besok ya, aku akan ceritain teror di rumah sakit itu sampai (Insyallah) cerita mamak sebagai narsum utamaku yg tahu tentang awal mula penyebab bulek kayak gini. Stay tune!!
kasih spoiler dikit kali yaa??? segini aja tapi 🤏🏻
pas dirumah sakit itu, bulek minum kantong darah yg dibawa suster, terus bulek masuk ruang bayi juga diem disana dicariin satu rumah sakit. pas dicek di cctv ternyata bulek... knp yaa hehe
Selanjutnya aku ceritakan dari sudut pandang paklek yg saat itu menemani bulek di RS Ngawi sampai perjalanan menaiki ambulans ke RS Madiun ya.
Saat itu tanpa banyak berpikir, paklek bergegas mengurusi permasalahan administrasi agar bulek cepat dibawa ke RS Ngawi. Paklek ditemani oleh budhe, yg kebetulan rumah budhe tidak jauh dari rumah paklek. Hanya berbeda kecamatan saja.
Paklek menitipkan bulek pada budhe, yg saat itu paklek bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah budhe seperti gusar ditinggal berdua dengan bulek dalam keadaan lorong yg sepi tidak ada orang lewat satu pun.
Padahal saat itu bulek tidak sadarkan diri, membuka mata pun tidak bisa bagaimana bisa budhe berpikiran bulek bertingkah aneh lagi?
Singkat cerita, paklek berhasil mengurusi administrasi. Cepat2 paklek menghampiri bulek agar segera dibawa menuju ambulan. Namun, saat berada di koridor, paklek kaget melihat budhe yg ngos ngos an. Ditanyalah budhe oleh paklek.
"Ada apa mbak? Kenapa ngos ngos an?" tanya paklek
Masih dengan sorot mata bergetar, suara pun bergetar dan keringat menetes.
"Nggak..nggak papa" jawab budhe yg sepertinya enggan menceritakannya saat itu. Ohiya sebagai informasi budhe memang orangnya penakut, sangat.
Oleh karena itu budhe jarang sekali menjenguk bulek saat tau bulek mengalami kerasukan bertahun tahun itu. Ambulan bulek pun datang, bulek dimasukkan kedalamnya. Ditemani paklek dan budhe.
Untuk kalian yg menanyakan Titi, paklek masih belum tega untuk membawa Titi melihat kondisi Ibunya. Titi dititipkan ke mbakyu paklek dan nenek dirumah.
Saat perjalanan, paklek dan bulek selalu merapalkan doa. Namun karena paklek gelisah, paklek mencoba untuk mengusir rasa gelisah itu dengan tengok kanan tengok kiri berusaha mencari pemandangan lain. Saat paklek menengok ke depan,
paklek melihat sopir itu matanya melihat ke cermin spion dalam mobil. Sepertinya ia melihat sesuatu, paklek sudah bisa menebak. Tidak sekali dua kali sopir itu melihat ke arah spion dalam itu, apalagi sesekali sopir melakukan pengereman mendadak seperti orang yg tidak fokus.
Sudah pasti sopir ini melihat sesuatu, paklek yakin itu, dan bertekad menanyainya saat nanti ambulan tiba di tempat tujuan.
1 jam perjalanan, akhirnya tibalah mereka di salah satu rumah sakit besar di Madiun.
Cepat2 pak sopir itu membuka pintu belakang ambulan, masih paklek perhatikan mimik wajah sopir itu seperti ngos ngosan, celingak celinguk memeriksa keadaan sekitar mobil ambulans. Petugas kesehatan IGD saat itu buru2 membawa masuk ke dalam, ditemani budhe.
"Le, nggak masuk?" tanya budhe ke paklek yg saat itu memilih tinggal sebentar di luar. Le itu panggilan sayang ke anak laki2 dalam Jawa ya. Kalau nduk itu untuk anak perempuan.
"Nggak mbak, mbak duluan saja saya tinggal disini bentar nanti saya nyusul buat ngurus administrasinya langsung. Ini mbak bawa aja rekam medis Sari, nanti kalau ditanyai dokter IGD mbak berikan aja ini" paklek menyerahkan stopmap berisi rekam medis bulek kepada budhe.
"Yasudah, jangan lama2 ya" pesan budhe dan kemudian berlalu.
Kini tinggallah paklek dengan sopir ambulans yg saat itu lebih memilih menenangkan dirinya dahulu dengan sebatang rokok sebelum kembali ke tempat kerjanya.
"Pak, tadi kenapa?" tanya paklek
"Saya minta maaf mas, Saya nggak ada niatan buat tidak respect dengan istri mas" jawab sopir itu, beliau tau sepertinya itu istri paklek.
"Iya pak santai aja nggak papa. Tapi pak, saya nggak pernah bilang lo pak kalau itu istri Saya, bapak tau darimana?" tanya paklek mencecar.
Sopir itu menghentikan kegiatan menyesap rokoknya. Dan kembali menelan ludah seperti orang ketakutan.
"Saya tau tadi diperjalanan mas. Saya liat ada orang lain duduk di samping kursi mas. Dia sama persis dengan mbak yg tidur itu. Saya kira itu arwah istri mas.." jawab sopir
"Pak istri saya masih hidup.." jawab paklek sekiranya tidak terima pak sopir itu mengatakan arwah.
"Iya mas saya tahu, tapi saya gaktau harus nyebutnya apa, tapi sosok itu sama persis sama istri mas. Dia nangis mas, ngerangkul mas...
... terus saya denger "Aku titip anak2 kita ya Pak, didik Sari dan Rani biar bisa jagain kamu gantiin aku. Maaf aku gak bisa menuhin janjiku buat nemenin kamu. Aku udah gak kuat, aku harus akhiri ini sendiri daripada aku membahayakan keluargaku...
... Pak yg sehat ya, jangan segan2 untuk cari penggantiku, anak2 kita masih butuh sosok Ibu, begitupun kamu. Aku pamit ya pak" gitu mas katanya, Saya udah berusaha buat nahan gak nangis, makanya Saya jadi nggak fokus...
.. tadi turun cepet2 meriksa apa istri mas masih hidup ternyata masih. Terus saya bingung kenapa pamit padahal masih ada. Tapi maaf mas jujur saja, saya lihat sosok yg menyerupai istri mas itu dilehernya ada seperti rantai mas, rantai itu menyala berwarna biru" jawab pak sopir
Paklek hanya menangis. Tidak tahu harus mempercayainya atau tidak. Tapi dengan segala kejadian diluar nalar yg sudah ia alami bersama bulek bertahun tahun, rasa percayanya lebih besar terhadap pernyataan si sopir meskipun batinnya hancur dan menolak pernyataan sopir itu.
Buru paklek mengusap air mata yg terus menggenang itu.
"Yasudah pak, makasih ya sudah jujur dengan saya. Hati2 dijalan pak" jawab paklek menjabat tangan sopir itu kemudian berlalu ke dalam untuk mengurusi bulek.
Singkat cerita, segala administrasi terpenuhi. Namun bulek masih harus menunggu di IGD itu untuk kamarnya. Sebagai informasi, bulek adalah peserta BPJS kelas 3. Dimana ia nantinya tidak mendapatkan kamarnya sendiri, namun kamar dengan bilik ditutup selambu sebagai pembatas.
Dan kamar itu berbentuk lorong yg berhadap hadapan antar bilik.
Setelah menunggu kurang lebih 30 menit, kamar bulek sudah siap dan akan segera dipindahkan. Ohiya sebelumnya bulek harus menjalani pemeriksaan radiologi terlebih dahulu dan pengambilan sampel darah.
Singkat cerita bulek sudah sampai di kamar perawatan. Dipasanglah infus pengganti dll oleh suster. Aku tidak bisa menyebutkan apa saja alat medis itu karena keterbatasan pengetahuan. Setelah semuanya rapi dan siap, paklek pamit pada budhe untuk telepon bapak mamak diluar.
Saat itu budhe mengiyakan karena posisi disebelah kamar bulek ada pasien lain bersama keluarganya, jadi budhe tidak sendirian. Paklek pun bergegas keluar untuk menghubungi bapak.
"Halo mas, Assalamualaikum. Ini kami udah sampai di rumah sakit X" kata paklek
"Waalaikumsalam, gimana Yan? Dimana posisimu?" kata bapak yg sembari menyiapkan segala peralatan yg diperlukan.
Disamping bapak, ada mamak yg menggandeng tanganku dengan cemas. Karena itu sudah malam, tidak tega kedua orang tua ku jika harus meninggalkanku sendiri di jam 10 malam
Akhirnya aku diajak. Dan aku kembali akan bertemu bulek. Entah, aku tidak merasakan takut sama sekali, aku hanya berharap bisa bertemu bulek dan Titi. Meskipun saat itu Titi tidak ikut, tapi aku belum mengetahuinya.
"Ini mas di ruangan X kamar X no X" jawab paklek
"Yaudah bentar lagi aku kesana" jawab bapak tergesa.
Ini sudah mulai beralih ke sudut pandangku lagi ya. Karena mulai dari sini aku akan terlibat secara langsung. Lagi.
Bapak mengendarai motor dengan cepat, aku bertanya dalam perjalan itu pada mamak.
"Mamak, bulek nggak papa?"
"Nggak papa nduk, kamu tenang aja. Nanti disana, jangan nakal lagi. Kamu diem aja disamping mamak ya. Jangan deket2 bulek dulu" jelas mamak mewanti wanti ku.
"Iya" jawabku
15 menit berlalu. Tibalah kami di parkiran rumah sakit. Bergegas kami menemui paklek yg saat itu berjanji untuk menjemput kami di depan gedung rumah sakit.
"Mas, mbak" sapa paklek sembari mengelus rambutku
"Ayo yan cepetan" ajak mamak.
Karena jarak ruangan bulek cukup jauh dari gedung utama rumah sakit itu, paklek sempat bercakap dengan bapak mamak tentang kejadian yg dialami olehnya di ambulans tadi. Aku mendengarnya, dan kembali aku merasakan ada sesuatu yg salah.
Posisi saat itu aku digandeng oleh mamak, di depan kami ada paklek dan bapak. Kami melewati lorong rumah sakit yg disebelah nya ada halaman seperti taman yg cukup luas. Jam 10 malam, tentu sudah gelap. Aku merasakan ada sesuatu yg salah di taman itu.
Kemudian aku melihat ke taman, ada orang berjubah berwarna hitam. Memakai tongkat didepanya, sembari keris bercahaya biru terang terbang disamping orang itu. Sama persis dengan yg kulihat di rumah nenek saat itu.
Aku memejamkan mata sembari terus berjalan dan membaca ayat suci yg kubisa saat itu. Tidak menangis karna bagiku tidak seram. Ada yg lebih seram.
Sampailah kami di ruangan bulek. Mamak menangis disana, budhe pun juga. Aku hanya melihat bulek yg masih terbaring.
Namun saat itu, posisi diatas kepala bulek ada jendela yg cukup lebar. Aku melihat kearah jendela itu, kembali aku dapati sosok jubah hitam itu berdiri mengamati kami, masih tidak kutangkap wajahnya seperti apa. Ia berdiri paling sekitar 6 meter di luar kamar bulek.
Aku langsung membalikkan badanku. Memeluk kaki bapak dan memejamkan mata. Ada 10 menit aku terdiam seperti itu. Karena aku merasa semua orang sudah keluar dari kamar bulek dan menyisakan bulek sendirian didalamnya. Aku kembali membalikkan badan menghadap ke kamar bulek.
Saat itu aku berinisiatif untuk melihat bulek dari balik selambu. Hanya melihat saja kok tidak mendekat.
Kusibaklah selambu itu, kembali aku melihat. Bulek yg tidak sadarkan diri beberapa menit yg lalu, kini kembali meringis, melotot sambil berkomat kamit melihat ke arahku.
Hal itu membuatku kaget. Ditambah ada hal lain yg semakin membuatku takut, saat itu di sisi kanan dan kiri bulek, aku melihat ada 2 pocong membungkuk, mendekatkan wajah mereka ke wajah bulek. Kalian bisa membayangkan kan?
Kali itu aku sudah tidak bisa diam. Aku menangis tapi masih berusaha menahan agar tangisku tidak terlalu terdengar.
"Bapak, bapak aku mau pulang, Galuh mau pulang" kataku masih memeluk kaki bapak.
"Nduk kenapa?" kata budhe menjadi orang pertama yg menyadari aku menangis saat itu.
Semua orang setelahnya menduduk dan menanyakan hal yg sama padaku. Aku kecil sudah mengerti salah satu etika bahwa jangan sekali kali membicarakan hal gaib yg kita lihat di tempat yg sama saat kita melihatnya. Karna menurut bapak, hal itu bisa mengundang yg lainnya untuk datang.
Karena sejatinya mereka itu makhluk yg suka eksis, ingin sekali menampakkan dirinya dan membuktikan eksistensinya. Apalagi dengan orang yg sensitif pada mereka. Aku contohnya.
Bapak langsung mengerti agaknya, dan menggendongku lalu berkata ke semua orang yg ada disana.
"Nggak papa mbak, Galuh memang kadang sensitif anaknya apalgi ini kan rumah sakit" kata bapak
Semuanya kaget, termasuk salah satu penunggu pasien samping kamar bulek. Melihatku. Ohiya, pasien itu adalah pasien kecelakaan dengan kasus kekurangan darah. Sehingga harus menerima donor darah yg dipasang seperti infus itu.
Karena melihat keadaanku yg semakin kacau. Bapak dan mamak pamit pulang untuk besoknya kembali menjenguk bulek lagi.
Singkat cerita kami tiba dirumah, bapak kemudian tanya padaku. Aku lihat apa. Terus aku memceritakan semuanya pada bapak.
Mamak tercengang, sepertinya kaget aku melihat sosok berjubah dan dua pocong tadi. Aku yakin mamak tahu mereka siapa. Karene ekspresi mamak yg saat itu seperti orang yg ketakutan tapi tidak bisa memberitahuku apa yg terjadi
"Ya allah nduk, mamak gak nyangka imbasnya ke kamu jadi kayak gini" kata mamak. Imbas? Imbas katanya? Pasti ada cerita dibalik ini semua, yg menceritakan adakah hubunganku dengan jin itu. Semua akan terjawab di akhir kisah ini.
"Udah mak, bukan imbasnya. Kan kamu denger sendiri kata Arif, Galuh itu nggak papa, emang udah dari sananya dia kayak gini bukan karena kamu" tenang bapak
"Tapi liat pak, Galuh jadi sering bentrokan sama simbah, sama jin jin simbah juga" masih dengan menangis.
Simbah? Buyutku jadi. Yang mana dia? Yg masuk ke bulek, sosok pocong, atau justru orang berjubah itu?
"Mak, jujur aja aku pun tadi juga liat sama kayak yg dilihat Galuh...
... Jadi ini nggak ada hubungannya sama Galuh. Karena aku sendiri lihat, bukan dia aja. Aku liat memang ada orang berjubah hitam diluar jendela. Aku juga liat ada 2 pocong yg mendampingi Sari...
... Tapi posisi saat itu pocong itu nggak nunduk ke Sari, yg aku lihat pocong itu sujud ke orang jubah hitam itu" jelas bapak
Sepertinya masih ada yg kelupaan dari kalimat bapak.
"Bapak tau ada keris biru nggak?" tanyaku
"Keris?" bapak menjawab
"Kamu tau nak ada keris? Dimana?" tanya mamak seraya memegang pundakku
"Ada mak, disamping orang itu" jelasku
Kenapa ya mereka kaget. Kenapa ya bapak bisa lihat yg aku lihat kecuali keris itu. Cepat2 bapak menelfon nenek dengan menghubungi mbakyu paklek yg saat itu ada di Ngawi
"Assalamualaikum, Nan. Tolong kasih HP nya ke mbok sebentar" kata mamak.
"Waalaikumsalam nduk. Gimana Sari nduk?" suara nenek diseberang sana
"Masih sama mbok. Mbok ini aku ada kabar. Mbok masih inget keris yg dulu pernah mbok lihat pas kakek meninggal?...
... Yang waktu jasad kakek ditemuin nggak ada tapi adanya keris. Keris yg pernah mbok simpan tapi tbtb hilang? Mbok inget" tanya mamak mencecar
"Iya iya nduk mbok inget. Keris yg hilang dulu, katanya itu punya kakek mu. Kenapa nduk?" jawab nenek
"Galuh tau mbok kerisnya ada dimana" jawab mamak seperti orang ketakutan
"Dimana nduk?"
"Galuh sama bapaknya lihat ada orang berjubah hitam yg ngikutin Sari sampe kesini. Tapi bapaknya gak lihat ada keris, Galuh yg lihat kerisnya ada di samping orang itu" jawab mamak
"Ini gimana mbok?" tambah mamak semakin keras tangisannya
"Itu kakekmu nduk. Udah saatnya kakekmu jemput adikmu. Kita pasrahin aja nduk semua ke Allah. Mbok udah ikhlas nduk" suara nenek juga terdengar sesegukan.
Apasih maksudnya? Apa arti omongan orang dewasa itu?
"Mak kenapa? Bulek Sari kenapa" tanyaku dengan suara lemas
Tanpa jawaban mamak. Bapak pun kini diam.
Singkat cerita, sudah berhari hari bulek berada di RS. Bapak mamak juga berhari2 bergantian menjenguk. Semuanya normal. Bulek Sari juga sudah sadarkan diri.
Meskipun kini rambutnya mulai rontok dan berujung botak. Masih kurus, masih juga tidak mau bicara. Itu kabar dari kedua orang tuaku, karena sejak hari pertama itu aku belum lagi diajak ke RS menjenguk bulek. Cuman, kata bapak, ruangan bulek Sari sangat panas.
Padahal di bilik sebelah tempat orang kurang darah itu dingin. Sebagai orang awam seperti paklek dan budhe mungkin mengiranya itu pengaruh cuaca, atau mungkin kebetulan bilik kamar bulek langsung terkena terik matahari dari luar.
Padahal penyebab panasnya suasana itu, karena menrut bapak yg "menjenguk" bulek itu tidak hanya manusia saja. Setiap bapak bergantian menjaga bulek, selalu ada mereka yg menghampiri.
Mulai dari 2 pocong itu, kera berwarna merah, atau bahkan anak anak kecil seperti tuyul namun berkulit keriput berwajah tua yg selalu datang membawa rombongannya. Yap, lebih dari 1.
Seminggu sudah bulek di rawat. Bulek menjalani kemoterapi untuk pertama kali. Saat itu kanker sudah di stadium 4 sudah menyebar sampai ke organ lain seperti hati dan lambung, sehingga tidak memungkinkan operasi dilakukan karna justru bulek bisa saja tidak bertahan di meja operasi
Oleh karenanya dokter hanya bisa memberikan obat2 an dan kemoterapi untuk memperpanjang usia bulek, bukan menyembuhkan. Karena memang sudah sangar sulit saat itu untuk sel kanker dihilangkan setelah menyebar kemana mana. Posisi bulek sudah tidak bisa duduk, apalagi berdiri.
Setelah setiap minggu bulek menjalani kemoterapi, kini Titi dan Rani untuk pertama kalinya datang ke Madiun. Rencananya mau melihat bulek, bersama mbah dan mbakyu paklek menyewa mobil. Tapi karena Rani masih bayi berusia kurang lebih 1 bulan, Rani tidak dibawa ke rumah sakit.
Menurut mitos, bayi rentan terkena sawan (penyakit gaib) jika diajak ke tempat2 umum. Apalagi rumah sakit. Akhirnya mereka berhenti di rumahku, menitipkan Rani dan segala perlengkapan bayinya ke mamak. Aku sangat senang saat itu bertemu Titi setelah 2 tahun kami tidak berjumpa.
"Titiiiii" teriakku menghampirinya turun dari mobil
"Galuh.. Ibukku kenapa" dia masih menangis
"Bulek kuat kok, Insyaallah bisa sembuh kamu yg sabar ya" jawabku
Tak terasa semua orang menangis saat itu.
Melihat bayi berumur 1 bulan yg harus menerima fakta bahwa Ibunya berjuang melawan ajal, juga anak berumur 10 tahun yg selalu bertanya dimana Ibunya, kenapa Ibunya.
"Budhe, Titi nggak mau Ibuk ninggalin Titi. Titi sayang Ibuk, Ibuk bisa sembuh kan budhe?" tanya Titi pada mamak.
"Bisa nak, bisa. Titi berdoa terus ya nak sama Allah biar Ibuk diberi kesembuhan oleh Allah ya nak" jawab mamak masih menangis memeluk Titi.
Singkat cerita kedatangan keluarga Ngawi itu menandakan bulek sudah 3 minggu berada di RS. Karena memang sudah lama bagiku tidak menjenguk bulek, aku pun ikut. Bersama bapak, nenek, Titi dan mbakyu paklek. Saat itu sore jam 5 kami berangkat dari rumah.
Tibalah kami, di rumah sakit itu. Aku bergandengan dengan Titi menuju bangsal bulek. Lagi. Aku melihat orang berjubah itu dengan keris, kali ini ia berada di ujung bangsal kamar bulek.
Sesampainya di bangsal, Titi memeluk bulek. Menangis tak tentu. Bulek pun sama, tidak bisa menggerakkan badannya, namun air mata keluar dari sudut matanya. Aku hanya melihatnya dari kejauhan, disamping bapak. Kembali aku melirik orang berjubah itu, kini sudah tidak ada.
Namun, kini aku ganti melihat di tubuh bulek penuh dengan belatung, darah segar yg menetes dari seluruh badan bulek, juga sosok berambut panjang, dengan kaki kurus sangaattt panjang, badan pendek, wajah kecil tapi dia memiliki tanduk.
Ia melangkahi dan menduduki bulek memakan perut bulek. Benar, memakannya layaknya burung pemakan bangkai. Ada lagi, makhluk dengan mulut seperti bebek, bergigi tajam, tidak memilik mata, berbadan manusia menyesap darah bulek.
Tentu saja semua itu gaib. Tidak semua orang bisa melihatnya. Dan pada kenyataannya apa yg aku lihat tidak ada. Namun bapak sepertinya bisa paham. Bapak menutup mataku, aku menangis bapak pun juga. Kami tahu, bulek hanya menghitung hari lagi.
Tubuhku bergetar, tapi aku dan bapak memilih diam menunduk.
Singkat cerita, karena Titi juga masih sekolah, keluarga Ngawi tidak lama menjenguk bulek. Mereka pulang ke Ngawi setelahnya.
Tinggallah paklek di rumah sakit. Saat itu, bapak dan mamak ada keperluan usaha yg tidak bisa ditinggal sehingga sudah 5 hari tidak menjenguk bulek.
Malam itu menunjukkan pukul 2 dini hari, bapak menerima telepon dari paklek. Aku pun yg mendengarnya ikut bangun. Karena posisi saat itu kami bertiga tidur bersama di depan TV.
"Assalamualaikum mas, mas Sari mas" jawab paklek menangis
"Waalaikumsalam, kenapa yan?" jawab bapak terperanjak
"Sari hilang mas" jawab paklek masih menangis
"Loh dimana? Kok bisa?"
"Iya mas, aku tadi tinggal Sari sebentar ke toilet. Pas aku balik udah gak ada, tinggal infusnya aja sama bercak darah bekas copotan infus. Ini aku udah minta tolong suster jaga buat bantu cari karena posisi tadi ruanh jaga suster nya nggak ada orang...
Jadi nggak ada yg tau Sari kemana. Ini dibangsal Sari kamar juga keisi 4 orang aja, banyak yg kosong. Ini aku masih jalan mas ke ruang cctv sama susternya" jawab paklek
"Iya yan kamu sabar tenang, aku kesana sekarang" jawab bapak meninggalkan ku dengan mamak dirumah.
Kami pun menunggu bapak pulang dirumah dengan perasaan cemas tentunya. Adzan subuh berkumandang, terdengar juga motor bapak didepan rumah. Kami langsung menghampiri bapak, kami melihat bapak dengan wajah pucat dan seperti orang kebingungan.
"Pak gimana pak?" tanya mamak
"Sari udah nggak masuk akal mak. Padahal kata Yanto, sebelum dia tinggal ke toilet Sari masih dalam keadaan nggak bisa apa apa. Tiba2 hilang, dicariin oleh penjaga rumah sakit sama suster ke ruang cctv dan area sekitar bangsal..
... Kita akhirnya mutusin buat liat cctv.Sari mak, Sari jalan ke kamar bayi. Disana ada susternya, tapi susternya ketiduran sehingga tidak tau Sari masuk. Pas kami liat di cctv, kami menemukan orang botak, itu Sari..
... Sari nggendong satu bayi, dia jilati bayi itu mak, sekujur tubuh bayi itu sambil tersenyum, mata melotot dan berkomat kamit. Aku langsung kesana sama Yanto pas kita kesana, posisi bayi udah dikembalikan, tapi Sari nya masih berdiri memandangi bayi itu terus...
... Anehnya mak, sekarang justru Sari keliatan sehat, dia bisa duduk, bahkan bisa jalan lagi" jelas bapak
Hal itu membuat mamak kaget tentunya sejak saat itu aku tidak boleh lagi ikut ke RS.
Setelah kejadian itu, paklek selalu menginfokan kejadian aneh dengan bulek di RS pada mamak bapak. Pernah sehari setelah kejadian itu, bulek setiap malam selalu menghampiri pasien2 di bangsal itu.
Menurut pengakuan dari pasien atau keluarganya ke paklek, bulek menghampiri mereka, hanya memandangi, melotot, menyeringai dan berkomat kamit. Sama seperti yg kudengar, mantra jawa kuno dan hanya kata Ceng.. cleceng... cleceng. Yg bisa mereka tangkap dengan indera mereka.
Setiap malam sampai 3 hari berturut2 seperti itu. Untuk jamnya tidak pasti, karena bulek selalu seperti mengelabui paklek. Bulek melakukannya saat paklek tertidur, atau saat ke toilet.
Masuklah di penghujung minggu ke 4. Kejadian aneh kembali terulang. Menurut paklek, saat sudah malam, paklek lelah, melanjutkan tidur. Tapi tiba2 paklek terkejut dengan suara suster yg mencari kantong darah untuk pasien yg berada di rak yg ia bawa kini lenyap, tidak tahu kemana.
Dan paklek kaget saat itu bulek tidak ada di kasurnya. Buru2 paklek mencari bulek. Saat itu paklek tidak memerlukan bantuan, karena ternyata bulek meninggalkan jejak. Di minggu terakhir bulek itu, bulek selalu meneteskan ait liur.
Sat itu paklek melihat di lantai ada semacam lendir yg mengarah ke toilet,saat itulah feeling paklek berkata itu bulek. Paklek menuju ke toilet, benar saja. Didalam sana, bulek duduk menaiki kloset duduk, meminum kantong darah itu dengan beringas.
Untuk menghilangkan jejak, paklek masuk ke toilet. Menenangkan bulek, membacakan ayat suci, bulek kembali tenang tapi masih seperti orang kosong. Buru2 paklek membersihkan badan bulek. Dan kembali ke ruangan.
Namun, tingkah bulek tetap terekam cctv. Suster itu melacaknya, dan usaha paklek menghilangkan bukti kini sia sia. Semenjak itu, satu ruangan takut dengan bulek bahkan ada yg meminta untuk pindah ruangan, ada pula yg tega hatinya untuk memulangkan saja bulek.
Suster2 disana pun saat mengecek tensi bulek, mengganti infus bulek dll selalu memasang wajah takut. Padahal setelah kejadiam itu, kondisi bulek semakin hari semakin turun.
Hingga pada suatu malam di hari ke 34 bulek di rumah sakit, bulek bisa bicara. Bulek menggenggam tangan paklek dan mengatakan pesan.
"Pak.." kata bulek
Mendengar istri tercintanya berbicara setelah sekian lama, paklek pun senang sampai tidak terasa meneteskan air matanya.
"Iya buk, ada apa buk? Bilang aja kamu mau apa?" sahut paklek
"Pak aku mau pulang aja, aku bakal sehat kalau ketemu Titi sama Rani" bulek terbata2
Karena permintaan bulek, dan kondisi RS saat itu seperti menganak tirikan bulek setelah kejadian kantong darah itu, keesokan harinya paklek pun memantabkan hatinya untuk mencabut rawat inap bulek
Kembali ke rumah mereka menggunakan ambulans rumah sakit. Karena dikabari oleh paklek bahwa bulek meminta pulang, siang itu perasaan bapak dan mamak tidak enak, seakan akan itu adalah hari terakhir bulek. Akhirnya kami pun memutuskan untuk ke Ngawi.
Sesampainya disana, kami melihat keluarga kami sudah berkumpul. Hanya keluarga dan seorang kakek tua yg aku tidak tau itu siapa. Menurut mamak, itu adalah orang pintar yg dulu memberikan kalung jimat pada Titi. Ada Titi dan Rani juga. Ada bulek ditengah2 nya.
Pas kami masuk, kami mendapati kakek itu berada diatas bulek. Saat kami tiba, semua sudah menangis. Saat itu bulek berpesan pada paklek yg terus terusan menangis.
"Pak, nitip anak2 ya. Jaga mereka sebagaimana kamu jaga aku selama ini. Pak maaf ya. Maaf belum bisa tepatin janjiku sama kamu buat terus ada. Maaf belum bisa jadi istri dan ibu yg baik. Pak, udah cukup usahamu buat aku, simpan uangmu buat kebutuhan anak anak...
... Buat susu Rani, buat biaya sekolah Titi. Pak, aku pamit ya. Ikhlasin aku ya pak. Jangan segan2 cari penggantiku karna kamu masih muda, anak2 butuh penggantiku" masih dengan terbata bata dan air mata yg menggenangi wajah kedua pasang jiwa itu.
Anehnya, bulek seperti tidak lepas. Bulek ingin melepas semuanya tapi seperti ada sesuatu yg menahan. Kakek itu kemudian menyuruh bapak untuk mengambil kambing yg sudah disiapkan sebelumnya. Kambing jantan hitam. Setelahnya kakek itu memantrai kambing itu.
Kambing itu berteriak tak tentu begitupun bulek. Sampai pada akhirnya kakek itu menebas kepala kambing itu, aneh tapi nyata. Kambing itu mengeluarkan darah berwarna hitam pekat. Dan saat kepala kambing itu menyentuh tanah, bulek menghembuskan nafas terakhirnya.
Pecahlah tangis seluruh keluarga. Antara sedih bulek meninggalkan kami dan lega setidaknya cukup untuk bulek selama lebih dari 25 tahun mengalami kejadian ini.
Keluarga pun segera mengurus pemakaman bulek.
Menurut adat Ngawi, yg boleh memandikan jenazah bulek hanya budhe dan mamak. Yaitu saudara perempuan dan ibu kandung. Karena saat itu nenek syok dan pingsan, begitupun Titi akhirnya mamak yg memandikan bulek.
Menurut penuturan mamak, saat memandikan jenazah bulek, tubuh bulek menyusut, seakan akan mau menghilang. Dan itu terbukti, saat mengafaninya pun, kafan sudah diukur tapi ternyata masih kebesaran. Jasad bulek menyusut.
Singkat cerita kami mengurus semua keperluan bulek dari pemakaman sampai selametan ke 40 hari. Dan disaat itu ganti nenek yg jatuh sakit.
cukup segini duluu yaa nanti malem dilanjut. aku bakal ceritain penyebab nenek sakit yg gak wajar, sampai penutup ceritanya (Insyaallah) dari cerita mamak tentang benang merah semua ini. stay tune!! terimakasih sudah menunggu cerita ini🥺
Saat itu hari ke 40 bulek. Titi masih terguncang dan sering sekali menangis. Paklek yg masih berusaha tegar untuk menguatkan anak2nya, meskipun aku tau jauh di dalam hati, paklek lah sosok nomer 1 yg paling kehilangan bulek.
Nenek juga sedikit demi sedikit pulih meskipun kadang seperti orang bingung melihat fakta anak bungsu nya pergi mendahuluinya. Begitupun mamak dan budhe yg kehilangan adik kesangannya, kini mulai tegar kembali.
Malam hari pun tiba, sudah biasa bagi seorang nenek nenek yg selalu ribet di dapur. Ada saja yg ia kerjakan. Saat itu nenek sedang membuat bubur, malam2. Tidak seperti biasanya. Saat itu kami menginap dirumah nenek. Berkumpul satu keluarga besar.
Mamak pun mendengar jam 11 malam nenek masih ada didapur, mamak menghampirinya, niat hati mau diberi tahu untuk segera tidur saja, lanjutkan perkerjaan besok. Semua orang sudah tidur, tapi aku masih bangun saat itu, mengikuti mamak ke dapur niat hati mau ambil air karena haus.
Namun, betapa kagetnya aku dan mamak ketika melihat nenek malam2 membuka pintu belakang dapur, terjatuh duduk dengan menunjuk kearah luar. Sambil menangis syok. Cepat2 mamak dan aku menghampiri nenek. Apa yg kami lihat?
Kami bertiga melihat, ada segerombolan orang berjubah warna hitam. Membawa keranda dari bambu yg tidak tertutup kain, didalamnya ada jasad yg terbungkus kain kafan. Setiap orang berjubah itu memiliki kera berwarna merah menyala yg duduk dipundak mereka.
Dan dibelakang barisan orang berjubag itu, kami melihat segerombolan pocong mengikutinya dengan meloncat. Pelan tapi pasti. Dan kejadian yg paling menakutkan ialah, barisan paling depan ada sosok jubah hitam, sosok itu lebih pendek dibandingkan dengan yg membawa keranda.
Sosok itu memegang keris bercahaya biru. Sosok itu menatap kami dan menodongkan keris itu kepada kami seperti orang yg mengancam. Rombongan itu menuju pohon beringin tua dan kemudian menghilang.
Seketika sosok itu menghilang, tubuh nenek kaku, mamak lemas dan aku pun lari memanggil bapak dan yg lain. Saat itu, semua orang terbangun dan membawa tubuh nenek yg kaku itu ke dalam kamar nenek. Mamak masih syok dan lemas.
Tubuh nenek tidak bisa digerakkan hanya mulut dan matanya saja yg bisa bergerak. Saat aku menangis di samping nenek dengan budhe nenek berkata padaku.
"Bulek Sari mu ogak salah nduk. Bulek mu kejupuk sukmane karo jin iku mergo ilmu soko mbah buyut mu sing urong sempurno tapi wes ditinggal sedo" sambil terus menangis.
Yang artinya, bulek Sari ku nggak salah, bulek diambil jiwanya oleh jin itu karena ilmu dari mbahyut ku yg belum sempurna tapi sudah ditinggal mati oleh pemiliknya. Yg berarti, ilmu itu kini mencari pemilik baru.
Nafas nenek semakin berat, karena nenek juga punya riwayat darah tinggi, jatuh dalam keadaan syok apalagi dengan usia renta memang sangat berpotensi sekali.
Malam tepat hari ke 40 bulek, nenek menghembuskan nafas terakhirnya. Tahun 2010, kami harus kehilangan 2 anggota keluarga kesayangan kami. Bulek dan nenek kami.
Singkat cerita, masih sama. Kami mengurusi pemakaman nenek. Budhe dan mamak yg memandikan. Mamak mengamati apakah jasad nenek menyusut seperti bulek. Ternyata tidak. Jasad nenek normal. Kami juga bertahan di rumah itu selama 40 hari.
Kami harus menemani Titi yg kehilangan 2 orang terdekat masa kecilnya sebelum ada Rani. Karena saat Titi kecil, paklek sibuk bekerja dan pulang larut sore. Sehingga Titi selalu dirumah bersama bulek dan nenek.
Tidak bisa kubayangkan bagaimana perasaan Titi saat itu, tidak ada teman yg mau bermain dengannya, dan kini 2 orang tersayangnya pergi dalam waktu yg hampir bersamaan.
Setelah 40 hari berlalu, paklek memutuskan untuk kerja diluar kota. Sembari menyegarkan pikiran agar tidak selalu merindukan bulek. Titi dan Rani dititipkan ke mbakyu paklek untuk diasuh oleh mereka.
Karena paklek tidak mau jika anak mereka jauh dari Ibunya, padahal mamak sudah meminta bagaimana jika Rani dan Titi ikut kami ke Madiun, tapi paklek menolak. Dengan alasan, agar saat paklek bekerja diluar kota, masih ada Titi untuk berkunjung setiap hari ke makam bulek dan nenek
Untuk membersihkan makamnya, dan memberikan bunga anyelir kuning diatas makam bulek. Menggantinya dengan rutin apabila bunga kesukaan bulek itu kering. Kami pun menyerah, karena bagaimanapun paklek lah yg berhak atas hak asuh Rani dan Titi saat itu.
Setelahnya, rumah nenek itu kosong. Sesekali Titi dan mbakyu paklek berkunjung untuk sekedar menyapu dan menghidupkan lampu.
7 tahun berlalu, dan mamak masih bungkam tentang bagaimana cerita bulek. Sampai saat itu aku mendesak mamak untuk bercerita sebenarnya ada apa dibalik semua ini. Mamak pun menyerah dan menceritakannya padaku secara detail terkait benang merah kisah ini.
Menurut mamak, mamak diberi informasi oleh nenek, tragedi ini berawal dari ber puluh puluh tahun yg lalu. Dimana rumah itu adalah rumah buyutku, didalamnya ada buyut, kakek, nenek, budhe yg berumur 14 tahun, mamak yg berumur 11 tahun dan bulek yg berumur 9 tahun.
Saat itu buyut memang terkenal sebagai orang yg nakal. Hobi bermain judi dan orang temperamen. Sampai pada saat itu buyut kalah bermain judi dan memiliki hutang yg sangat banyak. Buyut ini adalah ayah kandung dari kakek.
Dalam kondisi terpuruk, buyut justru pergi dari rumah dan bertapa di pohon beringin belakang rumah. Di samping pohon beringin itu dulunya ada goa kecil yg sekelilingnya terdapat sungai kecil. Disitulah buyut bertapa untuk memperdalam ilmunya.
Karena saat itu buyut banyak musuh, buyut memperdalam ilmu kekebalan, yaitu rawa rontek. Ilmu yg diyakini masyarakat Jawa sebagai ilmu hitam dengan tingkat kesaktian sangat tinggi yg membuat penggunanya tidak akan mati meskipun kepalanya terpisah dari badannya. Kecuali satu.
Pengguna itu bisa mati apabila kepalanya tidak menyentuh tanah alias digantung di atas pohon. Tidak hanya itu, buyut juga membekali dirinya dengan ilmu pesugihan popok wewe. Ilmu pesugihan yg diyakini bekeja sama dengan wewe gombel dengan tumbal berupa nyawa anggota keluarga.
Tapi tidak dengan buyut, saat itu ia melakukannya dengan wewe, ia melakukan perjanjian dengan jin. Sehingga harga yg harus dibayarkan pun kian bertambah.
Jika wewe meminta tumbal salah satu anggota keluarga, jin ini meminta tumbal seluruh anggota keluarga yg berumur 7 tahun untuk menjadi inangnya jika suatu saat buyut meninggal. Buyut melakukan persyaratannya dengan bertapa selama 40 hari dan berpuasa selama 40 hari.
Juga saat ditengah tengah 40 hari, yaitu hari ke 20 di jam 12 malam, buyut harus menyerahkan tumbal pertamanya berupa kepala laki2 yg memiliki anak berusia 7 tahun serta masih terikat hubungan keluarga. Usut punya usut, keluarga Yaya adalah kerabat jauh kami.
Dan masih memiliki benang merah kekeluargaan. Malam itu, sangat kebetulan buyut memergoki papa Yaya yg pulang melewati kebun tela. Saat itu buyut sudah menantinya dibalik ilalang, kemudian buyut memenggal kepala papa Yaya disana. Nenek melihat itu dari balik tembok anyaman rumah.
Namun nenek diam karena bagaimanapun itu mertuanya. Dia juga tidak berani jika harus menentang. Keesokan harinya papa Yaya ditemukan tanpa kepala, saat itu polisi sudah terlibat. Dan memang karena ini melibatkan dunia supranatural, jejak buyut tidak ditemukan. Aneh tapi nyata.
Hanya nenek satu2 nya saksi mata saat itu tapi nenek tidak berani membuka mulut. Sampai suatu ketika, kepala papa Yaya saja tidak cukup. Jin itu meminta untuk diberikan tumbal lebih yaitu kepala anak berusia 7 tahun.
Akhirnya, 10 hari setelah kejadian kematian tragis papa Yaya itu, mama Yaya ditemukan meninggal didalam rumahnya dengan kondisi mata melotot dan badan kaku, begitupun Yaya. Jejak pembunuh juga tidak ditemukan. Semua syarat itu kini telah terpenuhi.
Dan tinggal meghitung hari ilmu buyut sempurna. Tapi anehnya, nenek dan kakek hanya tau di hari pertama buyut melakukan tapa di goa itu. Selebihnya mereka tidak mengetahui bahwa buyut ada disana seakan akan tertutup gerbang gaib. Padahal buyut ada disana.
Saat di hari ke 35 sejak kepergian buyut dari rumah, kakek mencari buyut ke goa itu, betapa terkejutnya kakek ketika mendapati adanya jenglot dan keris di goa. Bukan buyut. Dan menurut ilmu rawa rontek, jasad penggunanya jika mati akan menyusut menjadi jenglot.
Diyakini nenek saat itu buyut tidak kuat, buyut wafat ketika ia melakukan tapa saat ilmunya belum sempurna. Dan setelahnya, kakek menyimpan keris itu namun naas kakek jatuh sakit, sama seperti nenek, kakek merasa saat malam hari melihat iring iringan menuju ke pohon beringin.
Seketika tubuhnya kaku hanya beberapa bulan setelahnya kakek meninggal. Setelah kakek meninggal, jin itu diyakini kini mencari inang lagi. Tapi saat itu tidak ada di keluarga kami yg berumur 7 tahun. Paling muda adalah bulek yg berumur menuju 10 tahun kurang beberapa hari.
Saat itu malam hari jam 12 malam, mamak menjadi saksi kisah hidup bulek yg baru. Bulek tiba2 berteriak kesakitan dalam tidurnya, padahal sebelumnya bulek sehat setelah main dengan mamak. Bulek berteriak2 sampai sekitar jam 3 pagi.
Saat adzan subuh, bulek tiba2 diam, namun dengan mata yg terbuka dan melotot. Bulek seperti itu sampai 3 hari. Tanpa makan dan minum. Karna ada keanehan, nenek mendatangkan orang pintar yg sama dengan pemberi jimat Titi. Orang pintar itu bilang bahwa ia tidak bisa mengatasi bulek
Karena sosok yg merasuki tubuh bulek adalah sosok jin yg sudah melakukan perjanjian dengan buyut. Sosok jin yg membantu buyut melakukan pesugihan dan memperdalam ilmu rawa rontek. Itu sudah bukan ranahnya lagi untuk menyembuhkan.
Saat itu orang pintar itu berpesan agar bulek dibawa ke daerah Gunung Kidul.Sempat waktu itu nenek membawanya bersama dengan ayah Pak Kamidi. Saat tiba disana, orang yg dijumpai nenek itu bilang bahwa jin ini tidak bisa dikeluarkan. Ada 3 cara mengeluarkannya jika memang harus.
Yang pertama, jin akan keluar sendiri apabila ia menemukan inang yg sesuai dengan persyaratan yaitu anak berusia 7 tahun. Yang kedua, jin akan keluar dan dapat dimusnahkan dengan keris yg dipakai oleh buyut, tapi keris itu menghilang entah kemana.
Orang itu mengatakan, hanya orang dengan kemampuan khusus yg bisa melihatnya, orang dengan kesaktian tinggi untuk menarik keris itu atau anak yg jiwanya masih bersih dan memiliki bakat alami dari lahir. Namun, resiko jika memilih jalan kedua ini adalah bulek harus mati.
Karena untuk menghilangkan jin harus menghilangkan nyawa bulek juga. Cara yg ketiga, jin itu akan hilang dengan sendirinya bersama dengan hilangnya nyawa bulek saat ajal dari yg Mahakuasa menjemput.
Meskipun dengan resiko akan menghadirkan beberapa penyakit baik medis maupun tidak di tubuh bulek karena jin itu akan merusak tubuh dan jiwa bulek seiring berjalannya waktu. Dan cara ketiga adalah cara yg dipilih bulek untuk tidak melukai siapapun.
Dan dengan cara itulah ia bisa melihat keluarganya lebih lama meskipun harus menderita sakit sepanjang hidupnya.
Sejak saat itu bulek tidak pernah mau makan selain daging setengah matang dan apel merah. Hanya itu makanan bulek.
Bulek juga sering melakukan sholat tidak sesuai dengan ajaran agama sembari merapalkan mantra yg diyakini itu adalah rapalan rawa rontek. Tidak hanya keluarga kami saja, keluarga mbah Sarmi dan Bu Didit samping rumah nenek juga harus kehilangan anggota keluarganya.
Karena mereka syok melihat iring iringan keranda itu. Entah apa maknanya. Dan di tahun usia 7 Titi, jin itu memaksa untuk berpindah ke tubuh Titi. Namun bulek menahan entah bagaimana cara ia menahannya. Karena paklek telat memberi jimat, Titi sempat terluka.
Karena usia ku terpaut 1 bulan dengam Titi, menjelang usiaku yg ke 7 pun aku juga mengalami gangguan. Namun karena mamak sudah mengerti cerita ini jauh sebelum aku lahir, mamak sudah memberikan aku perlindungan dengan mengatakan kepada kakekku Madiun
Mamak memintanya untuk memberikanku perlindungan lebih. Oleh karenanya aku bisa selamat meskipun tidak dapat kupungkiri di usia ku ke 6 menjelang 7 itu, aku sempat sakit tak kunjung sembuh juga. Itulah yg dimaksud mamak sebagai imbas.
Karena aku yg seharusnya menjadi inang, para penjaga ku menjaga ku sehingga jin jin itu tidak bisa menyentuhku. Oleh karenanya mengapa aku selali terlibat, mengapa aku selalu diberikan penampakan dengan frekuensi yg lebih sering.
Karena memang mereka tidak menyukai ku karena mamak sudah membentengiku terlebih dahulu. Mereka benci padaku tapi tidak bisa menyentuhku.
Sekian akhir cerita ini, hikmah yg kita bisa pelajari bersama, jangan sekali2 kita melakukan perjanjian dengan jin. Karena dalam agama, kita punya Tuhan untuk kita sembah dan maha besar, yg pasti akan mengabulkan doa hambanya jika memang kita bersungguh sungguh dalam meminta.
Sebelum melakukan sesuatu, pikir panjanglah dulu bagaimana dampaknya, apakah akan merugikan orang lain atau tidak, apalagi ini menyangkut keluarga. Darah daging sendiri.
Dan hikmah yg patut kita ambil juga, sayangilah keluarga kita, pasangan kita, dengan tulus dan dengan cara yg indah. Sebagaimana yg dilakukan paklek kepada bulek, yg bahkan selalu setia hingga detik ini.
Selalu berkunjung ke tempat peristirahatan bulek dengan membawakannya anyelir kuning, bunga kesukaan bulek, bunga yg indah namun bermakna salam perpisahan, sampai jumpa di kehidupan yg lebih abadi.

- end
Alhamdulillah cerita traumatis ini selesei juga. Terimakasih kepada semua pembaca yg mengikuti perjalanan kisah bulek. Aku persembahkan ini untuk bulek, ungkapan rasa sayang dan kangenku padanya
Cerita ini tidak dibuat untuk memaksa siapapun untuk percaya atau tidak. Itu hak masing2 individu. Tetapi satu yg pasti, aku menuliskannya dengan penuh rasa tulus. Aku tidak ingin kisah hidup bulek menjadi perdebatan antara cerita ini fiktif atau nyata.
Simpan saja asumsi kalian dalam perdebatan itu masing2. Yang aku minta, mohon untuk luangkan waku bagi para pembaca kisah bulek ini untuk berbesar hati mengirimkan doa Al-Fatihah, ataupun doa lain sesuai agama masing.
Terimakasih, dan sampai berjumpa di paranormal experience based on true strory mememayang selanjutnya💜
Ohiya satu lagi. Jangan menelaah dan menafsirkan hal gaib dengan logika nalar manusia. Karena nggak akan pernah ketemu jawabannya😔 malah ujung2nya antem anteman. Mari hidup damai dan jangan berdebat, bersama naruto kita damai
dapet salam dari Titi!!!😍❤️🧡💜💛💚🤍 dia gadis kuattt Image
yg tanya Rani😂 dia dikejar kuntilanak guys. ini aku samarin karna aku manggil nama aslinya. semua dalam cerita namanya aku samarin Image
Aku baca thread ku lagi, ada 1 cerita yg terlewat. Masih ingat dengan kataku bahwa rumah nenek itu terdapat 3 pondasi kayu (cagak)? Menurut perhitungan Jawa, rumah itu kan ibarat nyawa kedua kita. Sebagai perlambang jiwa kita. Nah itu ngga boleh kalau dibuat 3
Karna katanya itu melambangkan tali mayit (tali mayat). Maksudnya itu tali pocong kan ada 3, diatas, tengah sama bawah. Nah itu rumah gaboleh dibikin kayak gt karna itu pertanda sial dan sangkutannya sama nyawa pemilik rumah.
Makanya rumah itu sekarang mau direnov diperbaiki dan dibangun biar ngilangin kesan2 mistisnya. Kalau keluargaku meyakininya sih kayak gitu ya, namanya tali mayit
INI UNTUK LINK YOUTUBE YANG MAU DENGERIN CERITA INI 🥺

by @FaktaSejarah

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with meme

meme Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @mememayang

Aug 13, 2022
- LEMAH GETIH -

"Terusno laku santetmu, entenono sasi suro rogo sukmo ne sopo sing mati.."

- a thread based on true story
@IDN_Horor @bacahorror @threadhororr
#bacahorror #threadhorror Image
Sebagai pemahan terhadap alur dan setting kisah ini, aku buatkan sebuah denah lokasi kejadian berlatar waktu tahun 90 an. Image
Bismillah.
Kisah ini aku tuangkan berdasarkan kisah nyata, menurut kisah hidup yang bapak alami saat ia berumur 10 tahun dengan saudara sedarahnya yg berjuang melawan ganasnya santet pring sedapur vs saktinya ajian lembu sekilan dan bandung bondowoso. Siapa yg akan gugur?
Read 600 tweets
Jul 20, 2022
- OMAH PUTIH -

Terlihat netra omah putih, terlihat batin omah abang.
"Kowe lek gelem meluo aku, tak dudui klakuane koncomu mbiyen ngorak ngarik omahku iki"

- a thread based on true story Image
Sebelumnya, sbg informasi di awal kos putri ini disebut oleh warga sbg omah putih karena bangunannya bercat full warna putih dgn nuansa kuno yg melekat. Sebagai pemahaman terhadap alur cerita ini nantinya, aku buatkan denah yg kurang lebih sebagai gambaran letak per letak ruangan
Denah Lokasi ImageImageImage
Read 310 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(