Langsung diurainya tangannya dari pinggangku, berjalan meninggalkanku yang hanya melambai tidak rela.
Tujuh bulan itu tidak sebentar. Entah serindu apa aku nanti setelah kami bertemu kembali. Kuharap, Mas Naufal tidak memiliki wanita lain di luar sana. Meski aku tidak berhak mengharapkannya.
Sepeninggal Mas Naufal aku hampir terduduk di lantai saat merasakan tendangan-tendangan tidak wajar di perutku. Rasa sakit beruntun yang kudapatkan, membuatku tidak sempat berpikir jernih. Apa-apaan ini? Usia kandunganku kurang dari dua bulan.
Seharusnya gejala ini kurasakan jika usia kandunganku sudah menginjak 16 sampai 25 minggu. Belum lagi, rasanya seperti tendangan dari pria dewasa.
Aku bisa membandingkannya, karena adik Mas Naufal pernah menendang perutku sebelumnya, akibat berani buka mulut tentang kebejatan mereka padaku selama ini kepada Mas Naufal.
“Bu! Ibuk!” Aku menjerit-jerit memanggil nama Ibu. Tak lama seorang wanita paruh baya menghampiriku dengan tergesa, Ibu langsung menopang tubuhku dan bertanya cemas, “Ada apa, Nduk?”
Ditelitinya sekujur tubuhku dengan mata berair. Aku mengeluh sakit, “Sakit, Buk. Perutku sakit. Kayak ada yang nendang dari dalam.”
Ibu terlihat bingung, diusapnya perutku sambil bertanya heran, “Jangan mengada-ngada kamu, Paula. Kamu masih hamil muda. Lagian andai iya meski mustahil, kamu tidak akan sampai sesakit ini. Ayo, ayo Ibu bawa masuk ke dalam.”
Meski tubuhnya kurus dan menua, Ibu membawaku berdiri dan berusaha memapahku masuk ke dalam rumah. Tendangan-tendangan tidak wajar itu tidak kurasakan lagi, tapi perutku masih terasa nyeri.
Ibu langsung membawaku ke dalam kamar sederhana yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak kutempati. Aku dibaringkan ke sana, Ibu duduk di pinggir ranjang dengan ekspresi cemas.
“Masih sakit, Nduk? Kalau masih, Ibu bawa aja kamu ke dokter Mirna. Tadi suamimu nitip duit ke Ibu, andai kamu kenapa-napa kita punya uangnya.”
Aku menggelengkan kepala, takut merepotkannya. Ibu yang menggenggam tanganku tersenyum sendu, diusapnya perutku dengan penuh kasihsayang.
“Mas Naufal bilang, kembar tiga.” Aku memberitahu Ibu dengan niat untuk menghiburnya. Ibu urung menangis setelah mendengarku berkata demikian, kerutan bingung menghias dahinya. “Yang bener kamu? Naufal tahu darimana. Emangnya udah USG?”
Aku menggelengkan kepala, “Belum, sih. Mungkin Mas Naufal cuma ngayal dan nerka-nerka aja.”
“Ish,” Ibu berdesis kesal. “Ibu kira beneran. Andai iya, langsung rame rumah ini jika kamu lahiran.”
Ibu kembali mengusap perutku. Terlihat sekali wanita paruh baya tersebut sangat mendambakan cucu. Meski aku tahu, di sisi lain sebenarnya Ibu kecewa. Karena bayi yang akan kulahirkan bukan darah-daging Mas Naufal.
Aku sudah menceritakan semuanya pada Ibu. Apa yang menimpaku, apa yang terjadi selagi Mas Naufal pergi dan menitipkanku ke rumah keluarganya, terutama siapa Ayah dari bayi ini, yang dari ketiga pelaku bejatnya, aku tidak bisa memastikan yang mana.
Tadi pagi Ibu sangat shock. Tangisnya pecah membuat rumah sepi kami bising. Mas Naufal yang ikut serta untuk membantuku menjelaskan keadaan menjadi pelampiasan Ibu.
Ibu memaki, memukul dan menamparnya. Mas Naufal hanya bergeming, tidak mengelak maupun membela diri. Hingga emosi Ibu mereda lalu memelukku.
Aku teringat wajah Mas Naufal tadi pagi. Saat aku berusaha membujuk Ibu, Mas Naufal menangis diam-diam. Di sepasang matanya terpancarkan kobaran dendam. Aku tidak tahu, neraka apa yang lelaki itu janjikan pada ayah dan adik-adiknya.
“Ibu ambilin makan, ya.” Ibu bangkit berdiri. Ditatapnya lembut wajahku yang mengangguk.
Sepeninggal Ibu, aku mengusap-ngusap perutku. Eh?
Aku membeku sesaat saat menyadarinya. Kembali kuusap-usap perutku dan membandingkan ukurannya dengan yang sebelumnya. Rasanya, perutku seperti sedikit membesar?
Karena selisihnya tidak jauh, kepalaku pening saat memutar otak untuk berpikir.
Aku menelan ludah, memilih untuk tidak mengambil pusing, karena berkemungkinan aku saja yang terlalu mengada-ngada.
Kujauhkan tanganku dari perut, lalu menarik selimut yang terlipat untuk membungkus diri.
Andai Mas Naufal ada di sini. Aku hanya bisa menghela napas saat mengayalkan kehadirannya. Entah kenapa Mas Naufal harus memulangkanku ke rumah Ibu? Atau kenapa tidak dia saja yang tinggal di sini untuk menemaniku sampai lahiran.
Aku tidak keberatan jika harus melayaninya dalam keadaan hamil. Meski aku tahu sebenarnya itu tidak boleh, aku istri yang haram disentuh karena mengandung anak lelaki lain. Tapi daripada nanti Mas Naufal kelepasan meniduri wanita lain, mau tidak mau sebagai istri aku harus siap.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
“Anak-anak ini masih terlalu kecil untuk membuat mereka kenyang.”
Aku terkesiap mendengar gumaman Mas Naufal saat mengusap perutku yang masih ramping.
Lelaki itu yang tadinya merundukkan kepala, kembali mengangkat dagunya, menatapku tajam yang gemetar. Mas Naufal merapikan anak-anak rambutku, bersikap seakan bibirnya tidak sempat mengatakan apapun sebelumnya.