Daniel Ahmad Profile picture
Aug 11, 2022 63 tweets 8 min read Read on X
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 16 DAN 17
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 16

Usai membersihkan diri dan ganti pakaian, aku merebah di kamar sambil menunggu azan subuh, sambil melamunkan apa yang sedang dilakukan Erik sekarang. Tadi, setelah mengantarkanku pulang, Erik langsung pergi tanpa mengucapkan apa-apa.
Aku memaklumi kalau dia trauma, dan itu membuatku merasa bersalah. Terlebih setelah semua yang terjadi di sana, Erik masih sempat membawa pulang obat milik kakek yang aku sendiri sempat melupakannya.
Aku akan mengunjunginya nanti, sekarang waktunya menyembuhkan diri sendiri. Banyak hal yang sengaja kujejalkan dalam lamunan agar pikiranku tentang anak-anak Pak Jawi teralihkan.
Tentang waktu liburanku yang tinggal satu minggu, tentang bapak dan ibu yang baru akan pulang empat hari lagi, lalu tentang gadis misterius yang waktu itu datang menjemput kakek,
semua bergantian kuputar di dalam kepala, tapi tetap saja ujung-ujugnya aku memikirkan kejadian malam ini.
Apa yang dilakukan anak-anak Pak Jawi sudah masuk tindakan kriminal, terlepas dari siapa yang lebih dulu memulai, dan dengan situasi di Sumbergede yang sedang gawat, aku penasaran bagaimana nasib keluarga Pak Jawi selanjutnya.
Mereka pasti akan diusir dari desa. Aku yakin itu. Membiarkan anak-anak dengan gangguan mental yang bahkan tega melukai orang dewasa masih berkeliaran di desa, tentu akan menuai protes keras dari warga.
Ada satu hal yang dari tadi masih mengganjal di benakku. Mulanya tidak terlalu kupikirkan karena bisa jadi salah lihat. Hanya saja, setelah kuingat lagi kejadian di tempat jemur pakaian waktu itu, rasanya ini bukan sekadar kebetulan.
Tadi, saat hendak meninggalkan rumah Pak Jawi, aku sempat menoleh untuk terakhir kali. Saat itulah kulihat ada sosok hitam sedang berdiri di teras rumahnya. Entah pakaiannya yang serba hitam, atau memang kulitnya yang sangat gelap.
Dia sosok yang sama dengan yang kulihat di tempat menjemur pakaian. Tingginya tidak jauh berbeda dengan anak-anak, tapi karena jarak yang cukup jauh, aku tidak bisa melihat wajahnya.
Kudengar suara pintu dibuka. Langsung aku bangun untuk menyambut kakek dan menceritakan semuanya. Aku berharap kali ini kakek tidak memberiku tanggapan mentah seperti yang sudah-sudah, karena peristiwa malam ini benar-benar sangat parah.

“Kakek dari mana? Tadi aku—”
Kakek tidak sendirian. Dia bersama dengan gadis bercadar merah tempo hari. Tidak hanya itu, saat ini kakek sedang mengenakan serban merahnya yang biasa ia lingkarkan di leher.
Setahuku, serban merah itu hanya ia kenakan di saat-saat tertentu. Aku sempat bertanya apa arti serban merah itu, tapi belum cukup mengerti selain itu merupakan simbol dari sebuah kelompok. Kalau aku ingat lagi, Bapak, Mbah Sopet dan Kang Gusafar juga punya serban yang sama.
“Tumben sudah bangun,” ucap kakek yang langsung berlalu melewatiku tanpa menunggu jawaban. Ia tampak sedang terburu-buru.

Sementara itu, gadis bercadar merah yang datang bersama kakek sudah masuk, lalu berdiri di samping kursi ruang tamu tanpa aku persilakan terlebih dahulu.
Gadis ini pasti lebih muda dariku. Lantas kenapa ikut keluyuran bersama kakek-kakek? Pikirku. Setelah menyalakan lampu ruang tamu, aku duduk di depan gadis itu. Dia langsung membuang muka. Kulihat pakaian hitamnya kotor, kakinya juga berlumur tanah.
“Kalian dari mana?” tanyaku.

“Dari rumah Ki Ahsan.”

“Ki Ahsan ... Pak Jawi?”

“Ya,” jawabnya, singkat.

“Nga-ngapain?”
Gadis itu baru mau menatapku setelah ditanya begitu. Ia tampak sedang berpikir sebelum memutuskan untuk menjawab.

“Rumah Ki Ahsan baru saja kebakaran.”
CHAPTER 17

Garis polisi melintang di sepanjang pagar rumah Pak Jawi. Beberapa aparat kelihatan mondar-mandir di sekitar puing-puing gubuk tua itu, sementara aparat yang lain menjaga warga agar tidak masuk ke area Tempat Kejadian Perkara.
Aku masih tercengang dengan jumlah penonton yang datang. Bahkan ada yang naik ke atas pohon hanya agar bisa melihat gubuk hangus dengan jelas.
Tidak hanya padat dan berjejal, analisis amatir dari warga juga membuat gaduh. Mayoritas hanya tebak-tebakan tentang sumber api, sisanya obrolan tak penting yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Pak Jawi.
Di pinggir jalan tadi kulihat ada truk pemadam kebakaran. Sayangnya karena akses ke rumah Pak Jawi yang sempit, truk itu tidak bisa lewat.
Beruntung selang airnya masih bisa menjangkau titik api, meski menurut yang aku dengar, gubuk itu sudah lebih dulu rubuh sebelum sempat disentuh air.
Di antara hiruk-pikuk warga, ada satu percakapan yang menarik perhatianku, hingga sengaja kumenguping karena ingin mendengar lebih jelas.   

“Kata petugas pemadam, waktu ditemukan mayatnya yang sudah hangus.”
“Mayat Pak Jawi, kah?”

“Memang siapa lagi kalau bukan Pak Jawi?”

“Cuma satu?”

“Ya, yang ketemu cuma satu. Belum ada kabar lagi tentang mereka.”
Tewasnya Pak Jawi sudah aku dengar dari gadis bercadar merah yang datang ke rumah bersama kakek tadi subuh, meski dia bilang itu hanya dugaan sementara, karena mayat yang ditemukan di dalam rumah belum diidentifikasi.
Berdasarkan cerita si gadis bercadar, orang yang pertama kali menemukan jenazah Pak Jawi adalah tiga orang nelayan yang sedang berangkat ke Desa Leduk untuk berlayar.
Mereka melihat cahaya merah dari ujung Gang Kadal, bersama dengan kepulan asap membumbung ke angkasa.
Tiga nelayan itu bergegas memeriksa, dan mendapati rumah Pak Jawi sudah dilalap api. Selagi dua orang nelayan berusaha menerobos api demi menyelamatkan penghuninya, satu orang lagi bergegas ke rumah tetangga untuk cari pertolongan.
Baik dari gadis bercadar, maupun dari bisik-bisik warga, semua kronologi kebakaran diceritakan seolah-olah terjadi karena kecelakaan.
Namun, bagiku yang berada di sini beberapa jam sebelum kejadian, serta menjadi saksi bagaimana sepak terjang anak-anak Pak Jawi melawan komplotan Pak Muhadi, aku tidak bisa menepis curiga bahwa kebakaran ini memang disengaja. Mungkin sebuah peringatan, atau buah dari dendam.
Didorong oleh rasa penasaran, tanpa sadar aku sudah berada di barisan terdepan, terus maju hingga sampai di depan garis polisi.

“Mundur!” tegur seorang polisi, sambil mengacungkan jarinya padaku.

“Ma-maaf, Pak,” ucapku.
Saat hendak kembali ke kerumunan, kudengar seseorang memanggil. Dia adalah Pak Edi. Lagi-lagi Pak Edi. Dia sedang bicara dengan polisi barusan, sambil sesekali menunjuk ke arahku.
Setelah itu, Pak Edi melambaikan tangannya, memintaku untuk masuk, seperti orang tua yang baru saja membelikan anaknya tiket ke pasar malam.
“Abahmu belum pulang?” tanya Pak Edi.

“Belum, mungkin minggu depan.”
Aku melintasi halaman rumah Pak Jawi sambil memperhatikan sekitar. Salah satu ayunan di pohon mangga putus karena rantingnya patah. Jejak ban motor Pak Muhadi dan kawan-kawan tersapu air hujan.
Mungkin tidak kelihatan bagi orang lain, tapi bagiku yang menyaksikan sendiri kejadian semalam, bahkan jejak kaki mereka pun rasanya masih bisa jelas tergambar.
Di dekat reruntuhan gubuk, kulihat kakek sedang duduk sendirian. Ia dan gadis bercadar itu pergi ke luar lagi setelah salat subuh. Katanya ada urusan yang belum selesai.
Aku berniat menghampiri kakek, tapi Pak Edi mencegahku. Ia merangkul dan menggiringku jauh dari keramaian, ke dekat kandang sapi yang masih utuh seolah tak tersentuh api. Gelagat Pak Edi mulai aneh. Seperti orang yang gugup.
“Dani, janji sama saya, kamu dan temanmu mau tutup mulut!”

“Maksudnya?” tanyaku, heran

“Tidak usah pura-pura. Saya tahu apa yang kamu lihat di sini semalam,” ucap Pak Edi.
Aku tidak heran kalau ada orang lain yang tahu, aku hanya tidak mengerti kenapa Pak Edi menyuruhku tutup mulut.
Lagipula, bagian mana yang harus aku tutupi? Si gendut yang ditangkap Pak Muhadi, Pak Muhadi yang berniat menjarah rumah Pak Jawi, atau anak-anak Pak Jawi yang mengamuk?
“Muhadi sudah cerita semuanya sama saya, dan kami sepakat untuk tidak memperpanjang masalah. Maksud saya, ehm, tentang anak-anak Pak Jawi itu.”
Jadi, Pak Edi ingin aku tutup mulut soal penyerangan anak-anak Pak Jawi terhadap komplotan Pak Muhadi? Aneh. Kalau mengingat watak Pak Muhadi, dia bukan orang yang mudah menerima kekalahan.
Dia pasti akan menuntut Pak Jawi atas tuduhan penyerangan dan penganiayaan, bahkan jika Pak Jawi membela diri dan menyinggung soal pemukulan yang dilakukan Pak Muhadi terhadap si gendut, akar permasalahan ini tidak berubah. Pak Jawi tetap di pihak yang bersalah.
“Baik,” ucapku, ragu.

“Bagus!”
Usai berkata demikian, Pak Edi pun pergi. Ia kembali bergabung dengan warga lain di dekat reruntuhan rumah Pak Jawi. Dia mengajakku masuk ke dalam TKP, tapi kemudian ditinggalkan sendiri.
Aku bisa saja pulang, tapi karena terlanjur di sini, kumanfaatkan waktu untuk melihat-lihat sekitar, sambil masih bertanya-tanya, jika memang mayat hangus yang ditemukan nelayan itu adalah mayat Pak Jawi,--
--lantas bagaimana nasib keenam anaknya? Si gadis bercadar tidak menjawab saat kutanya begitu tadi subuh. Dia ikut-ikutan bersikap seolah membicarakan anak Pak Jawi adalah hal yang tabu.
Selagi perhatian orang-orang tertuju pada polisi yang sedang memberikan pengumuman, aku bisa leluasa berkeliling di dekat reruntuhan. Sudah beberapa kali ke sini, baru kutahu ada sebuah sumur di belakang rumah Pak Jawi.
Sumurnya lebih besar dari yang ada di rumah, tapi mulut sumurnya tertutup papan kayu besar dan diberi batu sebagai pemberat. Sekilas tercium bau menyengat, mendadak aku pun mual.
Di sekitar sumur ada tumpukan rumput. Mirip rumput gajah yang biasa dijadikan pakan sapi. Karena rumputnya sudah kering, aku tidak bisa memastikan. Namun, jika memang benar rumput gajah, kemungkinan besar ini adalah rumput yang sama dengan yang ada di kandang.
Aku yang sudah mengecualikan kandang sapi Pak Jawi dari daftar keanehan, sekarang justru makin heran setelah penemuan rumput kering di dekat sumur. Untuk apa Pak Jawi cari rumput kalau akhirnya dibuang?
Cukup dengan sumur, kini kualihkan perhatian pada rumah Pak Jawi yang hangus, rata, dan jadi lebih mirip sisa-sia api unggun di perkemahan, hanya saja bahannya bukan dari kayu bakar, melainkan lemari, ranjang, beberapa perabotan, dan tubuh seseorang.
Rumah yang kukhawatirkan runtuh karena hujan deras, ternyata harus rubuh karena kobaran api. Aku selalu penasaran dengan isi rumah Pak Jawi. Sekarang saat dinding bambunya sudah tak berdiri lagi, gubuk kecil itu jadi kelihatan lebih sempit dari yang kubayangkan.
Entah bagaimana caranya Pak Jawi membagi ruang dengan keenam anaknya. Dari puing-puing yang ada, aku hanya menemukan satu ranjang, itu artinya sebagian besar dari mereka harus mengalah tidur di lantai tanah entah beralaskan apa.
“Heh, jangan masuk!”

Kakek menegurku yang tanpa sadar sudah hampir melewati batas. Dia sendirian. Tak kulihat ada pendamping kecilnya di sekitar.
“Kek, sudah ada kepastian soal jenazah yang ditemukan di sini? Benar itu Pak Jawi?” tanyaku.

“Sepertinya gitu, polisi belum kasih tahu,” jawab kakek sambil menguap.
“Terus, gimana sama keenam anaknya?”

“Anak?”

“Iya, anak! Ayolah, Kek, berhenti main-mainnya. Aku sudah bukan anak kecil yang bisa dibohongi terus!”
Kakek menepuk pundakku, bersamaan dengan jari telunjuk di depan bibirnya. Dia menyuruhku diam, dan ini sudah membuatku sangat jengkel. Bahkan setelah kepergian Pak Jawi, orang-orang di desa ini masih tega mengabaikan keenam anak cacat itu, dan menganggap mereka tidak ada.
Bersambung minggu depan.

Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini.
Di Karyakarsa sudah update sampai Chapter 20, nih. Silakan dikunjungi.

karyakarsa.com/ahmaddanielo/m…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Feb 2, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 38, 39

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 38

Lembu hitam besar menghadang di tengah jalan. Tergeming memperhatikan kami lewat matanya yang merah menyala, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak semata ingin melintas, tapi ia punya tujuan, dan tujuan itu adalah menjemput apa yang ia rasa adalah miliknya.
Read 81 tweets
Jan 26, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN SATU.

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN 1

Keseharian Hayati saat pagi hari tak jauh dari tungku dan sumur. Menjaga agar tungku tetap menyala, serta memastikan peralatan masak bersih dari noda.
Read 111 tweets
Jan 5, 2023
Kakek dan Mbah Sopet harus pulang dengan berjalan kaki. Setelah semua aksi mereka yang membuatku kagum, aku baru sadar kalau keduanya tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Read 23 tweets
Dec 22, 2022
CHAPTER 35

Butuh waktu untuk memproses perkataan Pak Edi agar terdengar masuk akal. Ada sebagian kalimat yang tidak jelas kutangkap, tapi sesuatu tentang menghidupkan anak yang sudah mati,--
Read 97 tweets
Dec 15, 2022
Teman-teman yang baru bergabung, silakan lewat pintu masuk dulu.

CHAPTER 33

Usai mendengar cerita dari Mbah Sopet, kami memutuskan untuk segera menyusul kakek. Di luar dugaan, Sugik masih setia menunggu.
Read 62 tweets
Dec 8, 2022
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 31, 32
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 31

Saat masih sekolah dasar dulu, aku ikut pelantikan Pramuka. Kami di lepas pukul sembilan malam, berjalan kaki melewati jalan sepi di perbatasan desa, dengan kuburan sebagai garis finishnya.
Read 113 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(