meme Profile picture
Aug 13, 2022 600 tweets >60 min read Read on X
- LEMAH GETIH -

"Terusno laku santetmu, entenono sasi suro rogo sukmo ne sopo sing mati.."

- a thread based on true story
@IDN_Horor @bacahorror @threadhororr
#bacahorror #threadhorror Image
Sebagai pemahan terhadap alur dan setting kisah ini, aku buatkan sebuah denah lokasi kejadian berlatar waktu tahun 90 an. Image
Bismillah.
Kisah ini aku tuangkan berdasarkan kisah nyata, menurut kisah hidup yang bapak alami saat ia berumur 10 tahun dengan saudara sedarahnya yg berjuang melawan ganasnya santet pring sedapur vs saktinya ajian lembu sekilan dan bandung bondowoso. Siapa yg akan gugur?
Kisah ini tdk dibuat untuk rekayasa, karena kisah ini dituturkan langsung oleh 7 saksi hidup tragedi tersebut. Tidak menuntut juga untuk kalian percayai, tapi yg pasti tanah Jawa menyimpan banyak misteri. Semua tokoh akan disamarkan demi menjaga privasi keluarga. Selamat membaca
Udara malam itu dingin, gerimis kian turun tanpa henti. Ditemani semangkuk kuaci dan laron yg seakan menyambut kisah bapak malam itu. Perkenalkan bapakku bernama Samin, pria paruh baya berumur 50 tahunan yg pada umumnya menyukai kopi sambil melihat hujan seperti remaja masa kini.
Namun, jangan salah. Bapakku istimewa. Kalian hanya melihat rintik air dan awan kelabu jika disana bersamanya sore itu bukan? Namun netra bapak dapat melihat kehidupan lain yg tidak bisa kalian lihat. Benar, bapak mempunyai kemampuan six sense sejak ia lahir.
Ia sudah terbiasa kini melihat hujan sembari melihat kuntilanak yg terbang mengikuti anak kecil jika maghrib menjelang. Ia juga sudah terbiasa melihat pocong dengan berbagai bentuknya, berdiri? tidur? pocong dengan kain kafan yg lepas? atau pocong terbang mengelilingi rumah?
Semua bisa ia lihat. Bapak memang anak istimewa, sampai saat itu aku memintanya untuk bercerita bagaimana kisah masa kecilnya. Bapak pun menjawab
"Mungkin kalau bukan karna kakekmu, bapak gak mungkin bisa disini sama kamu sekarang nduk"
"Kenapa? Ada kisah apa" tanyaku sembari menemaninya makan kuaci
"Dulu, semua saudara bapak kena santet pring sedapur. Dan semua saudara bapak termasuk bapak sendiri hampir tidak kuat menahannya. Sampai akhirnya kakek mu berkoban untuk menolong 7 anaknya dan 1 cucunya" jelasnya
"Seganas apa memang santet itu? Bagaimana bentuknya? Dan apa yang mendasari kejadiannya?" cerca ku
"Kamu tau kan kalau santet pring sedapur itu adalah ilmu santet paling sakti dan ditakuti di tanah Jawa kita?....
... Dan kamu tau kan sedikit orang yang bisa lolos dari jerat santet itu? Tapi kakekmu bisa. Sapa yg melakukannya, dia masih saudara kita sendiri nduk..
.. Hanya karena harta warisan ia gelap mata membinasakan keturunan saudara kandungnya sendiri. Mbah Diran pelakunya, kakek mu dan keturunanya adalah sasarannya." pungkasnya
- start

Siang itu, aku pulang sekolah bersama adik perempuanku. Aku adalah anak nomor 6 dari 7 bersaudara. Adik perempuanku itu bernama Tumi
"Tum, tadi sore mbokde Irah kenapa kok teriak2?" tanyaku. Mbokde adalah panggilan untuk bibi yg lebih tua, sama dengan budhe maupun bupuh
Sedangkan mbokde Irah sendiri adalah saudara kandung dari bapak. Ia adalah anak pertama, anak kedua adalah pakdhe Diran dan anak terakhirnya adalah bapak ku, Demun.
"Nggak tau, Kang. Kayaknya sakitnya mbokdhe udah tambah parah. Emang akang liat apa?" tanya Tumi agaknya ia sudah terbiasa dengan tabiatku yg ceplas ceplos saat melihat makhluk tak kasat mata.
"Nggak sih tum, akhir2 ini aku sering liat ada gagak hitam bertengger diatas rumah mbokdhe. Kenapa ya?"
"Eh kang tapi kayaknya bukan akang aja yg liat, kemarin Kang Amin juga liat terus tuh ya dia langsung lapor ke bapak..
... aku denger tuh bapak bilang kalau emang kayaknya mbokdhe mau meninggal" jelas Tumi.
Anak 6 tahun itu memang cerewet, tidak cocok dengan cita2 nya menjadi intel. Kang Amin adalah kakak ketiga ku.
"Huss kamu tuh nggak boleh bilang gitu tum" sembari tanganku menjiwit bibir Tumi
"Tapi iya Kang aku nggak bohong. Emang akang liat apasih cerita dong" cecar Tumi yg hobi sekali mendengar cerita horor, dan dia pun tau kalau aku bisa melihat mereka yg tak kasat mata.
"Nggak sih, cuman akang kan tadi sore main ya sama temen akang terus akang tuh lewat rumahnya pakdhe Diran, akang liat kok pakdhe Diran tuh kayak bawa kemenyan sama boneka dari jerami gitu loh dibawa ke halaman bambu itu" jelasku
"Ahhh itu mah paling cuman buat tolak bala kang. Kan biasa tuh orang2 sini masih pada percaya sama yg namanya sajen tiap malam jumat kliwon" kata Tumi yg sepertinya dia tidak tau maksud arah pembicaraanku tentang boneka jerami itu.
Aku pun tidak mau juga untuk menjelaskan padanya karna sepertinya percuma.
"Mungkin. Tapi Tum, tau nggak, 7 hari ini setiap aku tu pulang sholat Isya dari surau aku tu liat ada keranda di depan pintu rumah mbokdhe"
"Hah? Akang serius? Tapi kok aku nggak liat apa2 ya padahal ke surau pulang pergi juga sama akang" Tumi kaget dan menghentikan langkahnya kemudian berdiri didepanku.
"Iya jelas lah itu bukan keranda yg bisa kamu liat. Terus juga tiap aku lewat rumah mbokdhe aku tuh selalu nyium bunga melati Tum, padahal kamu tau sendiri disini nggak ada melati adanya bambu, beringin sama pisang.." belum selesei kalimatku, Tumi berlari meninggalkanku.
Padahal jarak rumah kita sudah dekat. Namun aku memilih untuk mengabaikannya.
10 menit kemudian sampailah aku di rumah
"Assalamuaikum" sapaku saat membuka pintu rumah. Dan kudapati Tumi sedang berbicara dengan bapak.
Seperti biasa, selalu mengadu dan menjadi informan yg dapat diandalkan.
"Waalaikumsalam, udah pulang le?" jawab mbok
"Udah mbok, ini tapi kenapa kok suasananya jadi aneh gini?" Aku merasakan ada yg berbeda. Pasalnya, semua anggota keluarga berkumpul saat itu, lengkap.
6 kakakku, dan 2 anak kakak pertama ku. Biasanya, kakak pertamaku, sebut saja dia dia mbak Ipah, selalu tidur di rumah suaminya. Namun sore itu ia datang dengan raut muka yg sedih.
"Ndak le, ini mau ke rumah mbokdhe, kayaknya mbokdhe udah semakin parah sakitnya, kasian nggak ada yg ngerawat, ini kakakmu, Ipah, bersedia merawat mbokdhe. Kasian le udah berhari hari mbokdhe gamau makan, juga teriak2 terus tiap denger adzan" jelas mbok.
Memang, mbokdhe hidup sebatang kara. Ia pernah menikah, namun bertahun tahun tidak memiliki anak dan akhirnya ditinggalkan oleh suamimya. Sampai saat akhir hidupnya pun ia sendirian, dirumah itu.
Mbokdhe bekerja sebagai pedagang gorengan keliling yg digendong sebagai sumber mata pencahariannya. Kasian memang. Mbokdhe adalah orang yg sehat, raganya kuat meskipun umurnya sudah renta. Namun, sudah beberapa bulan ini ia jatuh sakit. Mendadak.
Awalnya kami kira itu sakit biasa, karena memang gejalanya pun mengarah ke penyakit dalam karena selalu memuntahkan darah. Kami sudah berusaha mendatangkan mantri ke rumah, sudsh diberikan obat tetapi tidak kunjung sembuh.
Karena saat itu memang terkendala jarak yg sangat jauh apabila harus pergi ke rumah mantri untuk berkali kali, akhirnya mbokdhe dirawat sendiri oleh mbok seadanya.
Pasalnya, puskesmas di desa kami sudah bertahun tahun tutup, dengar2 karena banyak dari suster maupun dokter praktek yg sering kesurupan disana, akhirnya mereka tidak kuat dan lebih memilih untuk pindah tugas. Kalau kataku, itu bukan rumor, tapi memang benar adanya.
maaf maksudnya 5 kakak dan 2 ponakan
Malam itu, kami berkumpul di rumah mbokdhe. Ada juga pakdhe Diran dan istrinya. Alasan kami berkumpul saat itu dikarenakan akan ada diskusi keluarga besar terkait pembagian warisan tanah mbokdhe.
Mbokdhe sendirilah yg meminta kami semua untuk berkumpul. Agaknya mbokdhe sudah pasrah dengan keadaannya, agaknya mbokdhe sudah tahu bahwa ajalnya kini sudah semakin didepan mata.
Namun, saat kami berkumpul, aku sedikit melirik ke arah Pakdhe Diran. Karena jujur ada perasaan yg bertarung di dalam hati dan otakku. Meskipun saat itu aku masih kecil, tapi aku merasakan Pakdhe Diran mempunyai sebuah rencana besar pada kami.
Terlihat dari sorot matanya yg selalu melihat kearah mbokdhe. Yang pasti aku lihat, Pakdhe yg duduk di samping pintu itu, kini tangannya sembari mencari2 sesuatu di lantai beralaskan karpet anyam itu.
Semakin aku ingin tahu, aku berniat untuk bergeser ke arah lebih dekat dengan Pakdhe, namun Kang Amin yg ada di dekatku menahanku.
"Jangan ikut campur" larangnya.
Aku pun menurut. Tapi masih tetap mengamati dari kejauhan apa yg berusaha ia cari.
Dan ketika tangan Pakdhe berhenti, semakin ku fokuskan mata bahwa Pakdhe mengambil sisa rambut jatuh mbokdhe. Jelas itu rambut mbokdhe, tidak hanya 1 helai tapi lumayan banyak sehingga ia pelintir membentuk gumpalan. Mengapa aku yakin itu rambut mbokdhe?
Memang biasa mbok menyisir rambut kakak iparnya itu didepan pintu, dan mbok sendiri bilang pada kami kalau kondisi rambut mbokdhe saat ini sudah rontok banyak. Mbok juga tidak tahu mengenai hal2 kejawen, beda dengan bapak. Jadi ya mbok melakukan tanpa berpikir ada yg salah
Aku saat itu memang masih kecil, masih awam dengan hal2 keilmuan kanuragan atau kejawen. Yang pasti, aku hanya bisa melihat sesuatu tak kasat mata, tidak lebih. Saat Pakdhe memasukkan gumpalan rambut itu, tiba2 aku melihat dibelakang Pakdhe muncul asap berwarna hitam pekat
Asap itu terbang melalui pintu samping menuju rumah ku, kemudian lenyap. Kupikir saat itu, itu hanyalah penampakan seperti biasa yg kulihat. Namun aku salah, itulah kail yang Pakdhe taruh untuk memanem hasil pancingannya. Gampangnya, panen nyawa.
Sebagai informasi, menurut adat yang aku percayai bahwasanya rambut adalah salah satu media paling efektif untuk menjadi media ilmu hitam. Pasalnya, rambut itu mengandung DNA korban yang akan menjadi tujuan praktik ilmu hitam.
DNA itu tidak mudah hilang, bahkan dalam waktu yang cukup lama. Salah satu cara agar ilmu hitam itu bekerja dengan efektif adalah dengan mendapatkan DNA si korban, selain nama lengkap dan tanggal lahir.
Jadi hati-hatilah kalian apabila menyisir rambut, perhatikan rambut2 yg jatuh. Alangkah baiknya kalian ambil dan buang di tempat yg sejuk.
Karena kita tidak pernah tahu, apabila ada tamu datang atau bahkan keluarga kita sendiri yg memiliki niat buruk, setidaknya kita meminimalisir adanya peluang untuk hal negatif terjadi. Santet salah satunya.
Namun, informasi itu ku ketahui saat tragedi ini telah usai. Bapak saat itu hanya memberikan alasan bahwasanya jangan menyisir sembarangan karna pamali. Hanya itu saja. Dan kami pun menurut.
Kembali di malam itu, setelah semua anggota besar kini berkumpul, mbokdhe Irah dengan sisa tenaganya berbicara pada bapak dan Pakdhe Diran. Mereka berdua pun mendekat ke arah mbokdhe yang sudah lemas tidak bisa mendudukkan dirinya sendiri.
"Kang Diran, Demun, aku mau pesan sesuatu, karna aku sudah tidak memiliki siapapun, anak pun aku tidak memiliki, suamiku meninggalkanku seorang diri, jika suatu saat, jika memang ajal ku sudah dekat, aku mohon kalian yang akur mulai lah berbicara satu sama lain kembali..
...untuk tanahku ini, aku akan memberikannya pada Ipah, sebagai balasan dia sudah mau merawatku, aku harap keputusanku ini tidak memberatkan salah satu pihak diantara kalian" terang mbokdhe.
Disini kalian menemukan 1 fakta kembali, bahwa ternyata bapak dan Pakdhe Diran sudah tidak lagi mulai bertegur sapa, entah apa alasannya, aku belum mengetahuinya saat itu.
"Iya mbak, nggak usah mikir yang aneh2. Aku nggak mikir tentang tanahmu ini, terserah kamu mau berikan ke siapa itu hak mu. Aku cuman minta, yang kuat ya mbak, yg ikhlas dengan siapapum yang melakukan ini sama kamu" sembari mata bapak melihat ke arah Pakdhe.
Pakdhe diam, aku pastikan saat itu Pakdhe Diran mengulas senyum tipis di wajah garangnya itu, tanpa sepatah kata pun.
"Iya le, mbak sudah ikhlas, lagian mbak hidup juga untuk siapa, nggak ada yg mengharapkan kehadiran mbak lagi disini" balas mbokdhe dengan memegang tangan bapak.
Sepertinya bapak tahu sesuatu, ditambah lagi beberapa minggu setelah kondisi mbokdhe semakin parah, bapak jarang pulang. Entah kemana, saat kutanya mbok, mbok hanya menjawab bahwa bapak sedang bertapa, sudah ada sekitar 1 bulan lebih ia tidak pulang.
Namun saat ia pulang, justru kondisi mbokdhe semakin menurun. Begitupun Kang Amin, beberapa minggu ini ia selalu puasa, entah puasa apa yg ia lakukan, ia selalu berdiam diri di kamar sholat tidak pernah keluar dan sesekali pergi keluar kemudian berhari hari juga tidak pulang.
Jarak umurku dan Kang Amin saat itu memang terpaut cukup jauh, Kang Amin sudah berumur 20 tahun, ia sudah tamat sekolah dan kesehariannya membantu kedua orang tuaku bekerja. Aku semakin bingung, sebenarnya ada apa.
"Kang, liat nggak bapak kenapa liat ke arah Pakdhe kayak benci banget ya?" tanya Tumi
"Emang kayaknya ada yg aneh sih ini Tum"
"Akang masih liat ada keranda?" tanya Tumi lagi
Seketika aku memalingkan wajah ke arah luar pintu, kini kudapati keranda itu sudah tidak ada disana.
"Kok nggak ada ya, padahal tadi ada" aku pun heran. Tapi aku masih berpikir itu tidak ada arti apapun, aku kembali memfokuskan pandanganku untuk mengamati Pakdhe Diran dengan lekat.
Saat mataku kembali memandang, bapak dan Pakdhe bergerak menjauh dari mbokdhe. Rencana saat itu, kami ingin membacakan yasin untuk mbokdhe. Namun, saat Pakdhe menggeser dirinya menjauhi mbokdhe, aku melihat Pakdhe merapalkan sesuatu dengan mulut komat kamit membelakangi mbokdhe.
Dan seketika itu, mbokdhe berteriak bahwq badannya panas. Aneh tapi nyata, tubuh mbokdhe perlahan mulai menghitam. Diawali dari ujung kaki dan berhenti pas di dada mbokdhe. Tepatnya dada sebelah kiri, tepat dimana jantung manusia berada.
Kami pun langsung membacakan surat Yasin, namun saat itu, justru Pakdhe Diran pamit untuk pulang dengan alibi bahwa ia lupa belum mengandangkan kambing peliharaannya.
Karena semua fokus terarah ke kondisi mbokdhe yang terus berteriak merasakan panas, kami pun mengabaikan Pakdhe Diran, alih2 mendebatnya atau memintanya untuk tetap disini, membacakan yasin untuk adik perempuan satu satunya itu, kami memilih untuk tidak memperdulikannya.
Saat Pakdhe Diran meninggalkan rumah mbokdhe, aku yang memang dari awal menaruh curiga terhadapnya, ikut meninggalkan acara yasin itu dan lebih memilih untuk mengikuti Pakdhe Diran dengan mengendap ngendap.
15 langkah sudah cukup membuatku keluar dari rumah mbokdhe keluar melalui pintu belakang, dimana tembus dengan pohon beringin tepat di depan mata. Malam itu memang gelap sekali, bulan pun enggan menunjukkan kecantikannya malam itu.
Dengan absennya sinar rembulan malam itu membuat halaman belakang itu sangat gelap tanpa adanya pencahayaan satu pun. Aku mengendap ngendap bersembunyi di balik pohon beringin itu, untuk memfokuskan mataku mengamati gerak gerik Pakdhe Diran yang justru pergi ke arah rumpun bambu.
Saat itu aku masih waras, aku tidak punya nyali apabila harus mengikutinya melangkah masuk ke rumpun bambu itu. Karena menurut mitos yang beredar di desa ku, berpuluh puluh tahun lalu pernah ada seorang dukun santet meninggal saat bertapa disana.
Dukun itu bertapa untuk menarik wangsit pusaka yang katanya ditanam leluhur desaku. Namun, entah karena hal apa justru ia ditemukan wafat dengan jasadnya sudah membusuk dimakan belatung. Dan setelah kejadian kematian dukun itu, ada juga rentetan kejadian aneh.
Seperti anak2 yang sering hilang entah kemana setelah bermain di area rumpun bambu itu, dan kemudian baru kembali lagi setelah beberapa minggu namun dengan kondisi seperti orang kosong atau linglung.
Mbok yg menceritakannya pada kami, sehingga cerita itu cukup membuat kami untuk tidak berani dekat2 dengan rumpun bambu itu. Namun, Pakdhe justru masuk kesana, malam malam pula.
Saat aku mengamati Pakdhe, seketika aku dikagetkan dengan suara angklung berasal dari dalam rumpun bambu. Diikuti dengan beberapa munculnya sosok penjaga dengan riasan busana kerajaan dahulu.
Ada 2 orang, sosoknya tinggi besar, namun fengan telinga yang lincip menjulang keatas, tapi anehnya, mereka menutup mata mereka dengan kain berwarna kuning. Sosok itu kemudian mengantarkan Pakdhe masuk lebih dalam ke rumpun bambu itu.
Karena aku sangat kaget dengan pemandangan itu, bergegaslah aku kembali masuk ke dalam rumah mbokdhe dengan badan gemetar hebat. Saat aku membalikkan badan, alangkah terkejutnya aku melihat rumah mbokdhe kini dikelilingi pocong dengan posisi menghadap ke arah dalam rumah.
Tidak hanya 1, seluas rumah mbokdhe, pocong itu ada mengelilinginya. Ditambah lagi, kemudian aku mendengar seperti suara dokar, namun anehnya suara berasal dari atas.
Aku memang sudah sangat lemas, tapi entah memang karena aku bodoh atau apa karena semua nilai rapotku memang berwarna merah, tapi justru aku memilih untuk melihat keatas. Mencari tahu suara itu berasal dari mana.
Innalillahi, aku melihat, keranda yg kulihat berhari2 lalu didepan pintu mbokdhe, kini terbang diatas atap rumah mbokdhe. Tidak ada yg mengangkat. Keranda itu terbang mengitari dengan sendirinya, sembari menimbulkan suara tek..tek..tek.. akibat gesekannya dengan genteng mbokdhe.
Aku sudah lemas dan memilih untuk berlari ke dalam rumah mbokdhe, dan benar, dengan melewati barisan pocong itu. Karena jujur aku lebih memilih jarak terdekat, dan banyak orang meskipun harus melalui kengerian mendekati pocong itu.
Daripada aku harus kembali ke rumah dengan melewati pocong, sumur lalu makam dan yang pasti tidak ada orang dirumah. Aku lebih memilih untuk opsi pertama.
Dengan badan gemetar dan kepala menunduk, aku memberanikan diri untuk masuk, sembari membaca ayat kursi dan doa doa lain yang aku bisa dalam agamaku. Saat langkahku kurang 5 untuk menuju pintu, aku terhenti, dan tiba2 mendengar bisikan.
"Gak usah melu2, aku weruh le awakmu istimewa, aku ra bakal natoni awakmu yen awakmu manut aku" kupastikan itu suara Pakdhe namun orangnya tidak ada disana.
Artinya, aku dilarang untuk ikut campur, Pakdhe Diran tahu aku anak istimewa, Pakdhe janji tidak akan melukaiku jika aku membisu dan menuruti permainannya.
Aku meneruskan langkah, dan kini kain kafan itu bisa telihat oleh mataku, pertanda bahwa jarak ku dengam pocong itu hanys terpaut 1 jengkal saja. Bau busuk, sangat busuk menyengat hidungku, bau anyir darah juga tercium sangat jelas menandakan bahwa pocong2 itu masih muda.
Karena menurut informasi yang aku dapat, umur pocong bisa ditentukan dengan baunya. Semakin busuk ia, semakin muda, juga sifat mengganggunya semakin tinggi. Begitupun sebaliknya.
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menerobos dan memeluk Tumi.
"Akang dari mana? Kenapa?" tanya Tumi berbisik karena posisi saat itu semua masih membaca yasin. Karena energi ku seakan sudah terkuras, aku tidak sanggup bahkan untuk menjawab pertanyaannya.
Namun, mataku kembali melihat mbokdhe, kini mbokdhe sudah tenang, namun justru bapak menatapku dengan nyalang, dia marah.
Nyaliku semakin menciut. Ada apa sebenarnya dengan mbokdhe?
Siapa sosok kerajaan memakai kain penutup mata kuning itu? Apa maksud bisikan Pakdhe Diran padaku? Sungguh, aku sangat bingung. Bingung harus bagaimana dengan situasi ini.
Disisi lain, aku merasa ada yg tidak beres dengan sakitnya mbokdhe dan perginya bapak dan Kang Amin dari rumah, aku merasa itu ada sangkutannya dengan Pakdhe meskipun saat itu aku belum ada bukti.
Namun, di sisi lain, Pakdhe sudah berjanji untuk tidak menyakitiku apabila aku tidak ikut campur urusannya. Aku bingung, harus melindungi diriku sendiri, atau berusaha memecahkan teka teki ini yang sepertinya mengarah pada peperangan gaib antara bapak dan Pakdhe Diran.
ice breaking, lah aku sbg author baru tau kalau kain kuning itu sakral di tanah Jawa loh. Pas bapak cerita, beliau memang bilang kalau ada bbrp batang bambu yg diikat kain kuning. Eh ternyata artinya memang sakral ya... Image
Singkat cerita, acara yasin malam itu telah selesai. Bapak sesekali melihatku, masih dengan ekspresi marahnya. Namun aku lebih memilih untuk tidak memperdulikan ekspresi bapak, karna jujur saat itu banyak sekali pertanyaan yang bergelut dengan rasa takut di pikiranku.
Sesuai dengan rencana, mbak Ipah kini tinggal di rumah mbokdhe bersama suaminya. Sedangkan kedua anaknya, Win dan Pri tinggal dengan kami dirumah bapak.
Jam saat itu sudah menunjukkan pukul 11 malam, hari itu hari Sabtu, dimana besoknya kami libur sekolah, sehingga mbok tidak menyuruh kami untuk cepat2 memeluk selimut.
Singkat cerita, kami pun beranjak untuk kembali ke rumah, kecuali mbak Ipah dan bapak. Agaknya bapak masih ingin menemani kakaknya, memastikan semua keadaan baik2 saja. Belum aku melangkahkan kaki ke pintu, tanganku ditahan oleh bapak, aku dibawa keluar untuk berbicara dengannya.
Saat itu aku langsung berpikir tentang keberadaan barisan pocong itu, masih ada atau tidak ya?
Saat tanganku digandeng bapak melangkah keluar, mata kupejamkan karena sisa ngeri atas pengalaman tadi masih terasa sangat nyata. Namun, aku sudah tidak mencium bau amis dan busuk itu, padahal aku yakin aku sudah berada diluar rumah mbokdhe, di depan pohon beringin itu kembali.
Karena merasa penasaran, aku membuka mataku, benar, semua penampakan tadi aman. Kenapa ya? Padahal saat aku di dalam, sesekali aku melirik pocong itu masih ada disana, namun saat aku bersama bapak kenapa semuanya terasa begitu aman?
Setelah sampai di depan pohon beringin itu bapak berlutut ke arahku sembari tangannya mengelus rambutku.
"Le bapak nggak marah, tapi boleh bapak tanya sesuatu?" tanya Bapak lembut. Sekiranya ia menahan diri untuk tidak marah denganku padahal dari ekspresi matanya jelas2 ia marah.
"Iya pak, boleh. Soal pakdhe ya?" tanyaku langsung menyambar.
"Iya, apa pakdhe sadar kalau kamu tau sesuatu tentang dirinya?"
Aku kembali mengingat moment2 yang ditanyakan bapak.
"Sepertinya iya pak" kataku.
Mungkin ini saatnya aku membuat keputusan. Memihak pakdhe Diran namun aku aman, atau memihak keluargaku namun keamananku belum tentu bagaimana nasibnya. Aku memilih opsi kedua. Karna jujur percuma jika hanya aku yg selamat, aku akan hidup dengan kehilangan warna.
Jika pun aku harus mati, setidaknya bersama keluarga kesayanganku kita bisa hidup lebih indah di akhirat nanti. Jadi aku memutuskan untuk ikut campur dan bergabung dengan keluargaku untuk melawan niat jahat pakdhe.
"Apa yang kamu lihat?" tanya bapak
"Setiap aku pulang main sore, aku selalu lewat rumah pakdhe, pak. Setiap lewat rumah pakdhe sesekali aku melihat pakdhe membawa boneka sepertinya dari jerami? Tapi kenapa warnanya hitam ya? Apa mungkin itu rambut, pak? Aku masih belum yakin...
... Pakdhe membawanya ke arah belakang rumah, aku tidak yakin tapi sepertinya pakdhe membawanya ke arah rumpun bambu itu" sembari mataku mengarah ke rumpun bambu. Tidak menunjuk dengan tangan.
Karena menurut ajaran keluargaku, menunjuk ke tempat sakral dan angker dengan tangan itu adalah simbol ketidaksopanan terhadap keberadaan mereka, dan itu bisa saja membuat mereka tersinggung dan kemudian mengganggu.
"Pakdhe seperti itu setiap sore pak, menjelang magrib. Terus beberapa hari ini setiap sore aku pulang dari surau, aku selalu melihat ada keranda di depan pintu rumah mbokdhe. Dan yg pasti itu bukan keranda nyata pak, itu gaib, soalnya Tumi nggak bisa lihat..
... Tapi pak, hari ini ada yg sedikit beda. Tadi waktu sebelum yasin, pakdhe mengumpulkan rambut mbokdhe. Buat apa ya pak? Masak rambut mbokdhe dipilin dibuat boneka? Aku masih bingung pak...
... Kemudian tadi aku liat pakdhe juga komat kamit nggak tau ngomong apa, nah setelah pakdhe gitu, mbokdhe tiba2 teriak tadi" sambungku
"Kenapa nggak cerita langsung ke bapak le? Lalu kamu tadi kenapa kok nggak ikut yasin? Kamu ngikutin Pakdhe kan, apa kamu lihat sesuatu di rumpun bambu itu?" cecar bapak
Aku kemudian menengguk ludah ku. Sangat traumatis jika harus aku menceritakannya kembali.
Tapi bagaimanapun, sepertinya aku harus.
"Iya pak, aku tadi keluar buat ngikutin Pakdhe. Cuman aku ngga berani ngikutin pakdhe ke bambu itu. Aku liat pakdhe masuk kesana pak, dengan membawa rambut mbokdhe...
... kemudian tiba2 aku denger ada suara angklung diikuti dengan 2 orang dengan pakaian kerajaan tapi ditutup kain kuning, terus pas aku balik aku liat ada barisan pocong ngelilingi rumah mbokdhe dan keranda terbang diatas..."
Kalimatku masih menggantung namun kami kembali mendengar suara angklung itu. Bapak langsung menggandeng tanganku, dan membawa ku lari ke dalam rumah. Di perjalanan melewati sumur, bapak bilang.
"Sudah cukup le kamu ikut campur, suara angklung itu udah pertanda nggak baik buat kamu, bahwa kamu sudah disambut dan diterima. Entah diterima sebagai pengikut atau sebagai tumbal, hanya ada 2 kemungkinan...
... Semua kakakmu sudah pernah mendengar suara angklung itu, kecuali Amin dan Tumi. Kamu harus hati2 mulai sekarang dengan pakdhe mu karena dia punya niat jahat kepada kita, dia bersekutu dengan para penguasa gaib di rumpun bambu itu...
... dan jika tebakan bapak benar, ia bekerja sama dengan kerajaan jin bambu kuning itu le" jelas bapak.
Aku gemetar kembali, kerajaan jin katanya? Jika berbicara mengenai kerajaan, pasti ada sosok raja yg kuat dengan patih2 nya kan? Aku langsung menangis karna sudah sangat takut.
Namun saat itu hanya bisa terbungkam, dan tetap menuruti perintah bapak untuk terus berlari. Sesampainya di depan rumah, terlebih dahulu aku membasuh kaki, mencuci tangan, meskipun tidak terlalu bersih karena tergesa.
Tapi aku selalu melakukannya setelah berkunjung ke tempat keramat atau sakral dan aku melihat sesuatu.
Konon katanya, selain karna alasan kebersihan, ada alasan gaib apabila setelah dari tempat sakral dan keramat atau minimal setelah kita melihat penampakan diluar rumah.
Jika kita tidak membersihkan diri terlebih dahulu sebelum masuk rumah, maka sosok itu akan menjadikan kita sebagai inang, menempel seperti parasit, dan mengikuti kita kemanapun kita pergi. Itu salah satu etika dasar yg diajarkan bapak kepadaku.
Singkat cerita, setelah aku masuk rumah, aku buru2 menemui kang Amin yg saat itu sudah kupastikan berada dalam kamar sholatan. Aku tidak mengetuk pintu, dan langsung masuk.
Posisi kang Amin saat itu duduk diam membelakangi pintu, dan menghadap ke lemari yg tingginya sekitar 2.5 meter berisi perlengkapan sholat. Namun, saat aku melihat keatas lemari itu, aku mendapati ada sosok berjubah berwarna hitam, sangat besar.
Sosok itu duduk diatas lemari, dan itu cukup membuatku terhenyak kaget. Namun tidak lama sosok itu menghilang. Kejadian masa kecil ku satu ini, cukup menjadikanku parno sampai usia ke 53 tahunku sekarang.
Setiap kali tidur, aku sudah menjadi kebiasaanku untuk melihat keatas lemari, apakah ada sesuatu atau tidak. Karena jujur saja meskipun kini aku berusia 53 tahun, aku masih merasakan takut apabila ada sosok yang mengagetkan seperti itu, apalagi di kamar.
Kembali pada malam itu, setelah aku melihat sosok itu hilang, aku langsung menyapa kang Amin.
"Kang..kang.." sapaku terbata bata
Tidak lama kang Amin menoleh. Kaget melihatku dalam kondisi berantakan.
"Ada apa, min? Kenapa kok ketakutan? Liat ya?" kata kang Amin
"Itu barusan apa kang diatas lemari?" tanyaku
"Nggak papa, itu penjaga akang. Kenapa?" oh penjanganya akang mungkin, pikirku.
Kemudian aku menceritakan semua yg telah ku ceritakan kepada bapak di bawah pohon beringin itu tanpa terlewat. Setelahnya aku bertanya pada kang Amin.
"Tapi kenapa bapak bilang Kang Amin tidak bisa mendengar alunan angklung itu?" tanyaku
"Akang beda sama kamu. Saat ini akang sama bapak masih berusaha buat ngelindungi kelurga kita, min...
... Akang gak bisa jelasin apa yg terjadi sama akang sekarang, mungkin nanti. Tapi yg pasti benar kata bapak, jangan sekali2 kamu mendekati arah rumpun bambu itu dan jangan pernah mau menerima pemberian makanan dari pakdhe Diran dan keluarganya sementara ini...
... Karena semua tinggal menunggu waktu, min. Entah siapa yg menang dan siapa yg kalah. Yang jelas, yg kalah harus mati" jelas kang Amin emosinya sangat terasa, marah, sedih, kecewa, semua perasaan itu bisa terpancar dari sorot matanya.
Begitupun aku, anak kecil yg saat itu masih berusia 10 tahun, harus mendengar penjelasan tentang hidup dan mati. Benar2 membuatku sangat takut, tapi bagaimanapun aku juga harus berdiri untuk keluargaku.
Tiga hari berlalu setelah kejadian malam itu. Tepatnya kini di hari Selasa, pagi hari aku bersiap siap untuk berangkat sekolah bersama Tumi, kami berjalan kaki, dan rute sekolah kami harus melewati rumah Pakdhe.
Aku sengaja tidak memberitahu kejadian malam itu ke Tumi, karena aku yakin jika diberitahu justru dia akan kepo, karna memang dia anaknya sangat pemberani. Makanya aku, bapak dan kang Amin memilih diam, hanya memberitahu Tumi mengenai urban legend tentang bambu itu saja.
"Kang, kemarin ya aku habis main sore masa liat Pakdhe bawa sesajen terus masuk ke bambu2 itu" Tumi menunjuk arah rumpun bambu itu.
"Hush, tum nggak boleh nunjuk2. Udah biarin aja kamu nggak usah ikut campur, ayo jalannya yg cepat" lekasku menggandeng tangan Tumi.
"Tapi kang, kemarin aku denger percapakan mbak Mi sama mbak Ni mereka bahas soal suara angklung gitu, katanya mereka denger, terus semua anggota keluarga denger tapi kenapa aku enggak ya?"
Waduh. Aku bingung saat itu harus menjelaskan apa kepadanya. Aku hanya menjawab
"Itu suara dari puskesmas, yg kamu pernah liat kuntilanak. Makanya jangan suka main kesana, puskesmas banyak demitnya, tum bisa2 kamu diculik gabisa pulang" jelasku tanpa pikir panjang. Alasan yg kubuat demi menghindarkannya dari Pakdhe, justru berakibat fatal.
"Iya kah? Apa kapan2 aku kesana ya sama temen2ku hehehe" candanya
"Kamu jangan macem2 ya Tum, kalau kamu ketahuan kesana, aku bakal bilangin ke Kang Amin biar kamu disetrap" ancamku, karna memang Kang Amin lah yg paling Tumi takuti diantara kami selain bapak.
"Iya iya enggak" jawabnya sembari cemberut.
Ohiya, sebagai informasi, aku akan jelaskan urutan nama kakak2 ku agar pembaca semakin paham ya.
Bapak dan mbok punya anak 7, urutannya mbak Ipah 25 thn (sudah menikah, 2 orang anak) - mbak Mi 23 thn (bekerja) - kang Amin 20 thn (bekerja) - mbak Ni 19 thn (bekerja) - kang Salim 16 thn (SLTA) - aku, Samin 10 thn (SD) - Tumi 6 thn (SD).
Firasatku memang selalu tajam. Pagi itu perasaanku tidak enak, aku sesekali mengecek Tumi di kelasnya, memastikan dia baik2 saja. Setiap kulihat, dia sedang bermain dengan teman2 nya. Tapi entah kenapa hari itu terasa sangat sesak, seakan akan mau terjadi sesuatu.
Singkat cerita, bel sekolah berdering, menandakan berakhirnya kegiatan membosankan ini. Aku bergegas pulang, dan menghampiri Tumi. Saat kuhampiri, aku melihatnya sedang bergerombol bersama teman sekolah sekaligus tetangga kami, teman bermainnya, ada 5 orang termasuk Tumi.
Namun, saat aku mendekatinya, mereka bubar seakan akan punya rencana besar yg tak boleh ku ketahui.
"Ngapain sih tum?" tanyaku sedikit gusar
"Nggak papa kok kang, ayo pulang" wajahnya justru sumringah
Kami pun berjalan pulang, tapi ditengah perjalanan Tumi bertanya.
"Kang, kata temenku kemarin sore dia habis main kan, terus lewat rumah kita, masak dia sore2 maghrib liat ada keranda terbang di atas rumah kita. Emang bener?"
Makdeg. Seketika jantungku berdegup sangat kencang dan menghentikan langkah.
"Temenmu siapa? Mereka bisa liat kayak akang?" tanyaku ketakutan.
"Temenku 4 orang itu, semuanya liat nggak cuman 1" jelasnya
Entah saat itu aku harus mempercayai perkataan 5 orang anak 6 tahun itu atau tidak.
Tapi jika dikaitkan dengan firasat burukku hari ini, apa benar yg dikatakan Tumi itu? Aku ketakutan, sungguh, bahkan Tumi bisa merasakannya saat gandenganku semakin ku kuatkan pada tangan kecilnya.
"Kang sakit..akang kenapa kok gemeter? Akang nangis?" tanya Tumi
"Bagaimanapun, akang bakal lindungi keluarga kita Tum, akang janji" tak terasa air mataku menetes. Tumi tidak memberikan respon apapun.
Sudah 15 menit perjalanan kami, tibalah kami di rumah. Sesampainya dirumah, kami menemukan mbak Ipah yang sedang ketakutan, badannya gemetar hebat, mbok ada disampingnya untuk menenangkannya.
"Udah nduk, tenang, nggak papa, ada bapakmu, ada Amin juga. Inshaallah semua baik2 saja" sembari mengelus punggung mbak Ipah.
Aku sampai lupa mengucapkan salam, langsung aku mendatangi bapak, meninggalkan Tumi yg saat itu justru terpaku diam melihat mbak Ipah terisak.
Entah apa yg ada didalam pikirannya, aku pun merasa Tumi pasti punya rencana.
Aku berlari mencari bapak disetiap sudut rumah, namun aku tidak menemukannya. Kembali aku membulatkan niat untuk pergi ke kamar sholat, tempat traumatis aku melihat sosok penjaga Akang.
Beberapa kali juga melihat perwujudan makhluk halus yg memiliki level berbeda dari hanya sekedar pocong. Entah apa aku menyebutnya.
Yang jelas di kamar sholat yg sudah lama beralih fungsi menjadi kamar tapa bapak dan Kang Amin itu, membuat siapapun yg menginjakkan kakinya akan merasa segan dan takut.
Kembali kubuka kamar itu dengan segala emosi yg tercampur, tidak ada siapapun. Aku pun heran, kenapa saat kang Amin atau bapak tidak ada disana makhluk itu juga hilang? Kemudian muncul kembali apabila mereka sedang duduk berdiam diri?
Sebenarnya bapak dan kang Amin melakukan apa sih? Aku hanya berharap, mereka tidak salah arah dan justru menggunakan makhluk2 itu sebagai pujaan.
Karena aku tidak menemukannya di kamar itu, aku langsung berlari ke arah belakang rumah. Benar saja, bapak dan kang Amin ada disana.
Mereka sedang mengobrol entah apa yg mereka bahas. Aku langsung bertanya dengan nafas yg terengah engah.
"Pak..Kang... mbak Ipah.. mbak Ipah kenapa? Pakdhe berbuat apa?"
Kang Amin terlihat terkejut melihatku menyebut nama Pakdhe.
Sepertinya bapak belum memberitahu kejadian malam itu pada Kang Amin bahwa sedikit banyak aku mengetahui gelagat aneh Pakdhe. Bapak pun memberikan isyarat kepada Kang Amin dengan anggukan, berarti tidak apa2 semua akan baik2 saja meskipun aku mengetahuinya.
"Pakdhe mu kirim santet ke mbokdhe le. Sudah 3 hari ini mbakmu merawat mbokdhe, hari2 kemarin mbakmu hanya merawat fisik mbokdhe saja, memandikan dan semacamnya. Hari ini, dia berniat buat bersih2 rumah, karna rumah mbokdhe mu sudah sangat kotor...
... Saat mbakmu berniat mengganti sawal bantal mbokdhe mu karna dia merasa ada yg berbau tidak sedap, dia meraba ada yg aneh dengan bantal itu. Bantal biasanya akan terasa empuk karena berisi kapuk, tapi ini terasa seperti ada benda keras didalamnya...
... Dia berinisiatif untuk mencari tahu, dan kemudian merobek bantal itu. Benar, kapuk memang ada. Tapi kapuk itu tercampur dengan paku, silet, bangkai hati ayam, bambu kuning, jerami dan rambut. Mbak mu syok...
... dia berinisiatif kembali untuk melihat dibawah tikar tempat mbokdhe mu tidur, dan mbakmu menemukan kembang setaman (bunga untuk nyekar) di bawahnya" jelas bapak masih dengan emosi marahnya.
"Innalillahi, pak, ini benar Pakdhe yg melakukan? Pak apa niat Pakdhe? Santet jenis apa pak ini?" tanyaku ketakutan dengan buih airmata yg bercucuran.
"Namanya penyakit gaib le, kita nggak pernah bisa mencari bukti siapa pelakunya. Tapi dengan ilmu kebatinan, seseorang bisa mengetahui pelakunya, namun tidak semua orang bisa. Bapak dan kang Amin tau itu Pakdhemu...
... Entah apa tujuannya, tapi yg paling pasti dia ingin mbokdhe mu mati dengan menguasai tanah miliknya. Untuk santet jenis apa, bapak tidak tahu pasti le. Tapi karna mbakmu menemukan bambu kuning itu, itu ciri khas pring sedapur...
... Tapi le, mbokdhe mu tidak memiliki anak keturunan. Lalu siapa sasarannya? Bapak dan akang mu masih belum tahu. Padahal resiko pengguna ilmu santet ini juga sangat besar, jika ia gagal sewaktu2, ia sama saja menjual jiwanya sendiri pada iblis" jelas bapak lagi
Aku menangis tak tentu. Aku tidak tahu bahwa Pakdhe akan setega ini. Pada adik perempuannya yg sebatang kara.
Karena aku sudah tidak sanggup mendengarkan kalimat bapak, aku kemudian kembali untuk melihat kondisi mbak Ipah.
"Mbak, dimana bambu itu? Mbak sempat bawa?" tanyaku
"Nggak min, mbak sempat pegang, tangan mbak terasa seperti terbakar saat memegangnya, kemudian mbak lempar entah kemana" jelasnya masih dengan terbata bata
Tanpa memperdulikan orang2 sekitar, aku langsung pergi ke rumah mbokdhe dengan Kang Salim.
Kang Salim berniat menemani mbokdhe, namun niatku mencari keberadaan bambu itu. Siapa tahu. Siapa tahu pikirku saat itu jika aku bisa menemukannya dan membakarnya kutukan ini bisa hilang. Itu hanya asumsiku saja, padahal aku tidak tahu bagaimana cara menghilangkannya.
Terus aku mencari, tanpa kusadari Tumi juga sedang disana.
"Tum, ngapain? Pergi" kataku
"Aku mau cari mainanku yg hilang, kang" katanya
Memang beberapa hari ini dia sering menemani mbak Ipah jika pulang sekolah ke rumah mbokdhe dan bermain disana.
Yasudah, aku tidak berpikir yg lain2 lagi. Aku masih mencari di berbagai sudut ruangan selama 30 menit, pencarianku tidak membuahkan hasil. Tumi pun sampai sudah menemukan mainannya dan kembali ke rumah. Namun aku masih tidak menemukan bambu itu.
Aneh, kemana perginya bambu itu setelah mbak lempar? Wallahualam.
Karena aku merasa pencarianku tak membuahkan hasil, dengan lesu aku kembali ke rumah. Memikirkan apa yg bisa ku lakukan untuk membantu Kang Amin dan bapak.
Aku tdk sesakti mereka yg setahuku memiliki ilmu kebatinan tingkat tinggi, aku hanya seorang anak dengan mata batin istimewa. Jika kerasukan pun aku tdk bisa mengeluarkannya sendiri. Sebegitu lemahnya aku, sampai2 mau membantu melawan ilmu Pakdhe yg sudah bersekutu dengan iblis.
Kira kira seperti ini ilustrasi kembang setaman ini. Biasanya buat ziarah kubur atau sesajen dan semacamnya. Bagaimana ditempat kalian? Jika ada yg berbeda maklumi saja, mawa desa mawa cara. Image
Singkat cerita, sore menjelang. Entah jam berapa tepatnya, aku tidak menyadari. Yg kusadari hanya sinar mentari yg semakin pudar digantikan dengan jaya nya sinar rembulan.
Kondisi mbak Ipah sudah stabil, kami pun berkumpul dirumah mbokdhe sore itu. Namun, justru aku melihat keranda itu lagi. Keranda yg sempat terbang itu, kini tepat berada diatas kepala mbokdhe. Aku hanya diam. Keadaan mbokdhe kian hari kian parah.
Sudah tidak mau makan, badan kering seperti digerogoti sesuatu tak kasat mata. Setiap maghrib ia selalu berteriak kepanasan dengan bola mata membesar dan mulut yg menganga. Kami berniat kembali membacakan yasin. Ke-5 kakaku ada, suami mbak Ipah, anak2 nya, mbok dan bapak.
Namun aku tdk melihat Tumi. Kemana dia?
Belum sempat aku bertanya pada mbok akan keberadaan si bungsu, aku mendengar suara Tumi memasuki pintu rumah kami. Jelas tdk ada orang, dia pun tidak tahu bahwa kami saat itu ada di rumah mbokdhe. Aku buru2 mengampirinya bersama kang Amin.
"Akaangg!!!!" Ia berteriak tak tentu dengan gema tangisnya
"Tum, kamu kenapa tum, tenang tum" kataku memeluknya
"Kamu kenapa? Sudah akang bilang kan kalau sore itu pulang jangan keliaran saat situasi kayak gini" cerca kang Amin
"Kang, Tumi takut" tangisnya
"Kenapa, tum? Cerita ke akang ada apa?" paksaku
"Tumi tadi mainan sama temen2 Tumi, kami mainan di depan puskesmas itu. Terus katanya temen2 Tumi liat ada kuntilanak disana, terus mereka takut lari pulang...
... Tapi aku sendiri yg nggak liat kang. Yaudah aku pikir mereka bohong cuman alasan biar gak jadi yg beres2 mainan. Aku yg beresin masukin karung. Tapi, pas Tumi bersih2 sambil potong kuku disana, Tumi liat Pakdhe.." belum selesei Tumi berbicara Kang Amin menyelak pembicaraan
"Potong kuku katamu!! Kan sudah diberi tahu kalau sisir rambut potong kuku itu dirumah, Tum!!!" bentak Kang Amin
Tangis Tumi kian pecah. Namun aku berusaha menenangkan keduanya.
"Sabar kang, kita dengerin Tumi selesei cerita dulu. Lalu gimana? Belum selesei sampai situ saja kan?" tanyaku halus karena jujur aku tidak setega akang, aku sangat menyayangi bungsu kami.
"Iya kang, sambil potong kuku aku liat Pakdhe diseberang rumahnya, dia ketawa ke arahku, yasudah aku juga senyum. Tapi lama2 aku denger ada suara angklung..." katanya dengan menangis
Hatiku hancur. Aku sangat kaget mendengarnya. Kini lengkap sudah keluargaku mendengar semua. Kecuali bapak dan kang Amin karena yg kita tahu bahwa mereka sepertinya memiliki "sesuatu tameng" yg membuat mereka tidak bisa disentuh makhluk seperti itu.
"Kang, Tumi tadi juga menemukan ini pas di rumah mbokdhe" dia menyerahkan sebuah kain putih kecil, ditali 3 seperti pocong. Tapi itu hanya kain, namun saat kang Amin membukanya, kain itu berisi sebuay tulisan aksara jawa gundul tanpa sandangan.
Maksudnya disini, aksara jawa tanpa huruf vokal. Entah apa itu, tapi kang Amin langsung lari ke arah tempat bermain Tumi. Aku pun menyadarinya, buru2 aku menyuruh Tumi untuk cuci kaki tangan dan masuk ke rumah mbokdhe. Berpesan padanya agar tidak keluar rumah.
Singkat cerita aku dan kang Amin tiba di depan puskesmas itu. Tujuan kami sama, mencari potongan kuku Tumi. Se inchi demi se inchi kami susuri, namun sama sekali tidak ada jejak potongan kuku Tumi.
"Jancokkk, iki jelas wes dijumok Pakdhe" kang Amin terlihat sangat emosi.
Dia memang orang yg keras dan temperamen. Tapi hatinya sangat baik, jika ada sesuatu yg menyinggung orang yg ia cintai, ia tak segan2 membalasnya tanpa tanggung. Kang Amin kemudian berlari pulang, aku tahu maksudnya ia akan menceritakan semuanya pada bapak untuk mencari solusi.
Aku yg sudah lemas, yg sudah berpikir yg tidak2, hanya bisa pasrah, berharap semua akan baik2 saja. Berharap Allah maha penolong, melindungi yg berniat baik, dan memberikan balasan yg tepat untuk orang yg berniat jahat. Air mata dan keringat ku bercucuran.
Sembari aku melihat dengan nyalang ke arah rumah Pakdhe, kembali kudapati rentetan barisan pocong membelakangi rumah Pakdhe, seakan akan mereka adalah pengawal. Namun pocong itu berbeda dengan pocong dirumah mbokdhe, pocong itu berwarna hitam legam.
Seakan mereka dituguskan menghalangi balasan kiriman gaib yg mungkin bapak atau kang Amin kembalikan padanya. Sungguh, tidak punya hati mengorbankan saudara nya yg tak ternilai harganya demi sebidang tanah yg memiliki harga.
Jika kalian bertanya, apa saat itu aku tidak melihat kuntilanak penunggu puskesmas itu? Ya, aku melihatnya. Tidak hanya itu, aku juga melihat adanya wewe gombel, dengan postur tubuh berbulu besar dan maaf memiliki payudara yg menjuntai ke bawah.
Keberadaan wewe itulah yg seakan menarik anak2 kecil untuk bermain disana, dan jika sore hari, jika anak2 kecil itu tidak segera pulang, biasanya ia akan menunjukkan dirinya.
Namun hal itu tidaklah membuatku takut, selain karna terbiasa, pikiranku saat itu sangatlah kalut. Sampai2 aku sudah tidak bisa lagi merasakan takut akan kehadiran wewe itu.
Singkat cerita, sebelum adzan maghrib berkumandang, aku kembali ke rumah dengan langkah lesu. Seperti biasa, aku membasuh kaki dan tangan. Namun, seketika aku mendengar sesuatu. Bapak dan mbok berdebat.
"Sudahlah pak, sudah kita pasrahkan saja ke Allah pak. Mau bagaimanapun kang Diran itu kakang mu. Sudah pak, sudah" kata mbok halus
Namun kata2 mbok tidak dibalas oleh bapak. Bapak hanya diam saja.
Singkat cerita, sholat telah usai, kami pun bermain di surau sembari menunggu sholat Isya, bapak dan kang Amin kembali lebih dulu. Namun tiba2 ponakanku, anak laki2 pertama mbak Ipah, pingsan. Seketika, kami langsung geger. Kami langsung membawa Win ke rumah.
Sesampainya dirumah, mbak Ipah histeris, begitupun mbok. Lantas bapak langsung meruwat Win, karena menurut Bapak, Win terkena serangan gaib. Sudah bisa ditebak dari siapa. Bapak merapalkan sesuatu yg entah itu apa. Dan anehnya, Win langsung sadar.
Tapi dengan posisi matanya berwarna putih tanpa ada warna hitam, tidak berbicara, juga mulutnya yg terus menganga. Kemudian bapak berkata
"Ini perbuatan Kang Diran. Aku yakin dia menyasar Win sebagai syarat perjanjiannya dengan iblis bambu kuning itu" kata Bapak
"Pak.. gimana anakku, pak.." tangis mbak Ipah
"Tenang nduk, bapak bakal ngatasi ini, kamu sabar ya" tenang bapak.
Aku masih tidak mengerti korelasi antara kondisi fisik Win saat itu dengan iblis bambu kuning.
Saat bapak mengajak Kang Amin untuk keluar rumah, aku mengikutinya diam2 dan menguping pembicaraan mereka dibalik pintu.
"Pak, apa Win ini dirasuki oleh iblis bambu kuning itu?" tanya Kang Amin
"Semoga pilihan terbaiknya hanya itu, tapi bapak kuatir dengan pilihan terburuk nya" kata bapak
"Apa pak pilihan itu?" tanya Kang Amin
"Kamu pernah kan dengar kisah dukun santet yg mati di rumpun bambu itu?...
... Konon katanya, dukun itu mati karena tidak bisa memberikan tumbal seperti yg diminta oleh kerajaan iblis itu untuk laku santetnya. Dan jika kamu tahu, para koloni iblis itu menutup mata mereka dengan kain berwarna kuning...
... Tapi, bapak pernah melihat ada diantara mereka yang tidak memakai kain penutup mata itu. Dulu, saat masih kecil, bapak sering bermain sampai larut malam. Saat itu malam 1 Suro, bapak keliling malam dengan teman2 bapak, saat melewati rumpun itu, bapak mendengar suara kuda...
... Saat bapak cari tahu, ada sosok yg keluar dari rumpun bambu itu, sosok bertubuh besar mengendarai kuda, wajahnya bapak tidak melihat, seperti raja, diikuti dengan iringan memakai pakaian kerajaan serba kuning dengan kain penutup mata...
... Namun, di paling belakang, juga ada beberapa iringan yg tidak memakai kain penutup, sepertinya ia budak, dan saat bapak melihat matanya, berwarna putih semua dengan posisi mulut mengaga ia berjalan membawa bambu....
... Itu yg dimaksud seseorang yg mendengar angklung itu, akan dijadikan tumbal atau dijadikan pengikut. Jika dijadikan tumbal maka akan seperti Win, dan jika dijadikan pengikut maka ia akan seperti pakdhemu" jelas bapak
"Lalu kita harus bagaimana pak? Apa kita bisa menyembuhkan Win?" tanya kang Amin
"Soal menyembuhkan, bapak tidak bisa le. Bapak hanya bisa membentengi keluarga kita. Tapi mungkin belum bisa menjangkau semuanya, tandanya Win bisa ditembus oleh Pakdhemu...
... Tapi kita tunggu 3 hari lagi, Pak Ramin (ayah Mas Agus di cerita bulek) pulang. Bismillah Pak Ramin bisa bantu sembuhkan Win" jelas bapak
Aku terkejut. Pakdhe benar2 sudah gila. Win akan dijadikan tumbal?
Singkat cerita, kami pun akhirnya membagi tugas malam itu. Mbak Ipah sementara menunggu Win masih dengan posisi seperti itu. Aku dan kang Amin menunggu mbokdhe dirumahnya.
Malam itu, aku masih melihat ada keranda diatas kepala mbokdhe. Namun aku masih juga berusaha mencari2 dimana bambu kuning yg mbak Ipah buang itu. Namun nihil, yasudah aku menyerah dan memilih untuk tidur karena besok sekolah.
Jam kini sudah menunjukkan pukul 11 malam, aku masih terjaga, kang Amin sudah tertidur. Namun, aku mendengar mbokdhe mengerang seakan akan mau mengatakan sesuatu
"Engg...enggg" katanya
"Ada apa mbokdhe? Mau minum?" tanyaku
Tapi bola mata mbokdhe seperti orang ketakutan, ada air mata yg membasahi pipinya kala itu. Mbokdhe melihat keatas atap, dan aku merasakan ada yg aneh. Aku melihat diatap mbokdhe ada kepulan asap berwarna hitam.
Seketika aku membangunkan kang Amin
"Kang kangg bangunn!! Panggil bapak!!" kataku
Kang Amin langsung bangun, ia berlari menuju rumah untuk memanggil orang2 rumah. Aku juga berlari keluar rumah untuk melihat ada apa.
Innalilahi aku melihat sinar berwarna merah tidak hanya sekali, 7x sinar itu datang dar arah rumpun bambu itu menghantam rumah mbokdhe. Kalau orang bilang, itulah tanda santet atau teluh. Diikuti dengan suara berisik diatas atap seperti tertiban benda keras.
Aku langsung menangis entah aku tidak bisa mengatakan apapun saat itu. Kulihat bapak dan yg lain berlari menuju rumah mbokdhe. Kecuali mbak Ipah, karna ia menjaga Win dengan kondisinya itu. Saat bapak masuk rumah, posisi mbokdhe matanya sama dengan Win.
Putih tanpa hitam. Mulut mengaga. Tubuh yg kaku. Diikuti dengan kulit mbokdhe yg sudah berubah hitam seperti orang terbakar dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Innalillahi wa innalillahi rajiun" tangis bapak pecah, diikuti dengan tangisan yg lain.
Malam itu, mbokdhe tiada. Mbokdhe sudah terbebas dari rasa sakitnya. Mbokdhe sudah bisa tenang dengan meninggalkan kenangan terbaiknya bersama kami. Mbokdhe adalah sosok baik hati, namun memang nasibnya yg tidak mujur harus mempunyai saudara yg bengis hanya mementingkan harta.
Segini dulu ya update hari ini, besok Insyaallah aku akan ceritain dimulainya proses santet pring sedapur ini😢 ternyata, mbokdhe cuman sebagai tumbal, jika mbokdhe wafat, proses santet ini akan dimulai!!
Malam itu, kami tidak mengira bahwa kepergian mbokdhe adalah sebuah awal, bukan akhir. Kami tidak menyadarinya sama sekali, termasuk bapak, sosok paling tua di keluarga kami dan yg lebih memahami ilmu2 gaib selain kami.
Saat itu kami semua mengira bahwa mbokdhe lah sasaran pakdhe, dan sakitnya Win merupakan sebuah teguran agar kami tidak ikut campur antara urusan pakdhe dengan mbokdhe. Tapi justru, kami lah sasaran pakdhe dengan menggunakan mbokdhe sebagai persembahan.
Menurut informasi yg kudapatkan, ilmu hitam selalu membutuhkan persembahan nyawa. Apapun ilmu itu. Saat tumbal itu diserahkan, maka barulah ilmu itu dapat bekerja. Dan biasanya tumbal ini selalu berhubungan dengan sasarannya. Begitupun santet.
Namun ternyata kasus santet pring sedapur ini agaklah lain. Tumbal yg dimaksud disini, bukanlah tumbal sasaran yg dituju. Melainkan tumbal acak tanpa syarat khusus.
Dan apabila tumbal ini terpenuhi, maka ilmu santet ini baru akan mengabulkan permintaan pelaku untuk berjalan sesuai sasaran yg dituju. Hanya sebatas ini yg kutahu.
Malam itu, kami pun tidak menunda proses pemakaman mbokdhe. Karena dalam agama yg kami anut, menunda proses pemulasaran jenazah itu tidaklah suatu hal yg baik. Jadi apabila meninggalnya dini hari, maka juga harus diproses secepatnya. Saat itu, pakdhe belum datang.
Sampai pada akhirnya kami mengantarkan mbokdhe menuju pemakaman. Sekitar 20 menit kami berjalan, sampailah kami di tempat TPU desa kami. Pakdhe ada disana. Ia menunggu didepan gapura TPU.
Aku kemudian melihat ke arah bapak, sorot matanya menunjukkan bahwa ia sangat murka pada pakdhe namun ia tahan. Proses pemakaman kami lakukan pada jam 2 dini hari. Tentu suasana saat itu mencekam, gelap, dan hanya ditemani lampu gantung petromax.
Samar2 aku melihat ke arah pakdhe, ia tidak ikut menyemayamkan mbokdhe kala itu. Ia hanya melihat dari atas liang lahat. Tampak pakdhe berkomat kamit sembari melihat jenazah mbokdhe. Entah bacaan apa yg pakdhe lantunkan itu.
Singkat cerita, proses pemakaman telah selesei. Orang2 bergegas untuk kembali pulang. Aku pun juga memutuskan untuk pulang bersama bapak dan yg lain. Namun, saat aku hendak melangkahkan kakiku, aku melihat posisi pakdhe duduk disamping batu nisan mbokdhe.
Tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung baju kokonya. Itu kain yg berisi serbuk, dan kemudian pakdhe menaburkannya. Aku melihatnya, namun kang Amin justru menutup mataku dan mengajakku untuk terus melangkah meninggalkan pakdhe malam itu.
Karena suasana masih berduka, kami mengesampingkan ego kami untuk membahas permasalahan pakdhe ini saat itu. Kami hanya fokus pada tamu2 yg datang. Karna bagaimanapun kami belum memiliki bukti bahwa pakdhe lah pelakunya.
Malam itu kami sangat kelelahan, sehingga aku, kakak2 ku dan Tumi memutuskan untuk kembali ke rumah kami untuk mengistirahatkan diri sebentar. Meskipun sudah dapat dipastikan besok kami akan diizinkan untuk tidak masuk sekolah.
Singkat cerita, malam berlalu kian cepat. Sampai kami tak sadar jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi hari. Kami melewatkan sembahyang subuh ke surau. Alhasil kami saat itu memiliki sholat subuh dirumah secara bergantian.
Kami saat itu tidur di ruang tamu, begitupun mbak Ipah, meninggalkan Win sendiri di kamar. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi, suasana masih sepi, mungkin karna semua orang terlalu lelah hari itu, sehingga mereka tidur terlalu pulas. Dan akulah orang pertama yg bangun.
Aku bergegas untuk mengambil air wudhu di sumur timba belakang rumah. Pasti saat menuju sumur aku harus melewati kamar mbok dahulu, kamar yg saat itu didalamnya ditempati oleh Win. Karena aku penasaran bagaimana kondisi Win saat itu, aku berencana melihat kondisinya.
Aku membuka kamar mbok. Saat itu, aku melihat Win tengah duduk. Oh dia sudah sadar, batinku.
"Win? Gimana keadaanmu?" tanyaku pada keponakanku yg berumur 5 tahun itu.
Posisi Win saat itu duduk di pinggir dipan (kasur kayu) membelakangiku.
Namun, win tidak menjawab apapun. Kemudian aku berjalan untuk lebih dekat dengannya.
"Win?" tanyaku menepuk pundaknya.
"Has hahahu hehana" katanya. Aku kaget meliha Win berbicara tidak jelas. Kemudian aku berangsur untuk melihat kondisinya dari depan.
Innalillahi, Win sadar dengan posisi mata masih putih sepenuhnya, mulut yg terus menganga dan tak bisa terkatup. Dan aku baru sadar maksud kalimatnya tadi adalah "Mas mataku kemana" dia mencari matanya. Aku langsung sontak berlari.
Aku berpikir, Win saat itu sadar sudah normal. Namun justri Win sadar dengan posisi sama persis saat ia pingsan.
Aku kemudian berlari menuju ke arah rumah mbokdhe untuk memberitahu pada bapak kondisi Win saat itu.
"Bapak!! Bapaak!!! Win pakk!!" teriakku
Bapak pun bergegas berlari menuju rumah kami. Dan saat sampai di rumah, bapak tidak menemukan Win berada di kamarnya.
"Goleki Win saiki!!" bentak bapak. Artinya cari Win sekarang.
Bergegas semua orang mencari Win saat itu, aku dan kang Amin memiliki pemikiran yg sama, rumpun bambu itu. Benar saja, kami menemukan Win tengah berjalan kaku seperti seonggok bambu menuju arah rumpun. Kami langsung mencegah Win, kang Amin membacakan doa2 entah apa itu.
Anehnya, Win ini masih sadar dirinya siapa, jiwanya masih ada, namun fisiknya tidak bergerak sesuai apa yg ia mau.
"Has hohong hahu" katanya sembari air mata keluar dari mata putihnya itu dan masih dengan tubuh yg sangat kaku. Artinya, mas tolong aku.
Setelah kang Amin berhasil menaha tubuh Win untuk melangkah ke arah rumpun, seketika tubuh Win menjadi sangat kaku. Tidak bisa digerakkan sama sekali. Menekuk jari pun tidak bisa. Sehingga kami berdua terpaksa menggotong Win dengan posisi badan tegak kaku seperti bambu.
Sesampainya dirumah, bapak membantu kami untuk merebahkan Win. Win masih menangis mengatakan kata2 yg tidak jelas namun mulutnya selalu menganga. Sampai akhirnya bapak pergi pamit untuk menjemput Pak Ramin ditempat Pak Ramin pergi.
Pikir bapak, kondisi Win tidak bisa dibiarkan berlarut2. Butuh waktu bagi bapak untuk menjemput pak Ramin kala itu, sehingga keesokan harinya barulah pak Ramin tiba.
Akhirnya kami membagi tugas. Sebagian mengurus tamu mbokdhe, sebagain menemani Win untuk memantaunya.
Kami juga bersepakat untuk merahasiakan kondisi Win ini ke tamu2 keluarga yg lain. Alhasil Win dikunci didalam kamar mbok, bersama mbak Ipah dan aku. Sedangkan lain sisanya mengurus tamu2 mbokdhe. Mbak Ipah terus menangis saat itu.
Begitupun Win yg selalu berbicara merintih tidak jelas dengan kondisi badan terbujur kaku. Aku hanya bisa melihat tanpa melakukan apapun. Alhasil aku pamit keluar sebentar pada mbak Ipah untuk mencari angin segar setelah kurang lebih 6 jam aku berdiam diri di kamar menemani Win.
Singkat cerita, malam kini tiba. Bapak juga tak kunjung pulang. Malam ini, adalah yasin ketiga harian mbokdhe. Dalam Jawa khususnya di desaku, jika ada orang meninggal dibawah jam 12 malam, itu sudah dihitung 1 hari meninggal. Kemudian, akan ada selamatan di malam hari ketiganya.
Saat di malam ketiga itu, biasanya orang2 di desa ku akan menunggu kuburan orang yg baru saja meninggal sampai hari ke-7 nya. Dan yg boleh menunggu adalah saudara laki2 sedarah. Mawa desa mawa cara. Kenapa hal itu dilakukan?
Karena menurut kepercayaan warga, kala itu ilmu hitam masih menjadi trend. Dan seperti kubilang, bahwa ilmu hitam itu selalu memerlukan prasyarat entah itu tumbal atau tali pocong orang yg baru meninggal kurang dr 7 hari, apalagi kala itu mbokdhe meninggal di hari Selasa kliwon.
Bukankah yg kalian tahu Jumat Kliwon lah yg digadang gadang sebagai hitungan Jawa paling klenik yg kalian dengar? Ternyata salah. Selasa Kliwon berada di pucuk rantai piramidanya.
Orang-orang yang meninggal tepat pada malam Selasa Kliwon di beberapa tempat kuburannya akan diburu oleh pencari “jimat”. Ya, orang yang meninggal pada malam Selasa Kliwon memang dianggap “penting”.
Beberapa bagian tubuhnya, atau kain morinya, akan diburu oleh pencari wangsit atau ilmu hitam sebagai pentuh salah satu mahar atau prasyarat. Sehingga kuburan itu harus dijaga. Beberapa desa di Jawa terkenal dengan cerita itu, termasuk desaku.
Saat itu jam masih menunjukkan pukul 5 sore. Aku memilih untuk duduk di depan rumah, menemani kang Amin yg sedari tadi kulihat sedang duduk sendirian di amben itu.
"Kang" sapaku
Kang Amin tidak memberi jawaban.
"Nanti malam Bapak kayaknya belum pulang, lalu siapa yg akan jaga makam mbokdhe?"
"Aku atau kamu" katanya
"Kita berdua" tawarku
Kang Amin tidak memberikan jawaban dan hanya melemparkan senyum getir sembari mendongakkan kepala ke atas.
Dan aku mengamininya sebagai bentuk persetujuan.
"Kang, kita bakal baik2 saja kan?" tanyaku kembali
"Aku harap gitu. Kamu lihat apa waktu di pemakaman mbokdhe?" tanya kang Amin
Kang Amin memang bukan tipe orang yg berbasa basi. Bersama nya harus siap dicecar segala pertanyaan dan pembahasan yg serius. Dengan dudukku disana sore itu, aku sudah mengira akan dicecar mengenai pertanyaan seputar Pakdhe.
"Aku lihat Pakdhe naburin sesuatu di kuburan mbokdhe, Kang. Tapi nggak tau itu apa. Aku juga lihat Pakdhe selalu diikuti sosok pocong tinggi besar berwarna hitam legam kemanapun ia pergi, pun malam itu di pemakaman mbokdhe" jelasku
"Benar kata Bapak" kata kang Amin
"Ada apa? Serbuk apa itu?" tanyaku
"Sebenarnya kami belum yakin itu apa, tapi dilihat dari santet pring sedapur ini, selalu berhubungan dengan bambu. Mbak Ipah nemuin bambu dibawah dipan mbokdhe, dan sejak saat itu kondisi mbokdhe jadi kaku.
Begitupun wujud bambu itu kini hilang, dan bapak yakin serbuk yg kamu lihat ya itu bambu yg sama dengan yg ditemuin mbak Ipah. Tapi aku nggak tau apa maksudnya. Karena kami pun tidak mendalami ilmu hitam semacam itu" jelas Kang Amin
Apa mungkin ini saatnya aku bertanya tentang ilmu yg dianut bapak dan kang Amin? Karena pikirku saat itu sedikit lega karena mau apapun ilmu itu, kang Amin sudah meyakinkanku bahwa bapak dan dirinya tidaklah memilih jalan yg salah, yaitu ilmu hitam.
Dengan hati yg berdegup aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Kang, boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku hati2
"Soal ilmu kami?" tanya Kang Amin
Aku lupa, bahwa bapak pernah bilang kalau kang Amin itu hebat.
Dia punya ilmu kebatinan tingkat tinggi yg terkadang bisa mengetahui apa yg membuat hati lawan bicaranya gelisah. Karena umur kang Amin kala itu juga masih belia, sangat hebat untuk ukuran manusia yg sudah bisa menguasi ilmu2 kejawen atau kebatinan meskipun belum terlalu sempurna
Aku tidak menjawab. Aku yakin kang Amin menanyakan hanya sebagai bentuk formalitas, padahal ia sebenarnya tahu.
Ia lalu kembali tersenyum getir, seakan ada emosi di dadanya yg tidak bisa ia salurkan.
"Kalau kita mau bicara tentang itu kita awali dari bapak dulu"
Kang Amin membenarkan posisi duduknya untuk menghadap ke arahku.
"Dengar baik2. Dulu, waktu aku masih kecil seumuranmu, aku pernah sakit keras. Sakit yg tidak bisa disembuhkan oleh medis...
... Sampai akhirnya bapak tahu bahwa aku terkena sawan, selayaknya anak kecil dulu aku suka bermain di tempat2 angker seperti punden, rumpun bambu dll. Sampai akhirnya bapak ngundang Pak Ramin. Saat itu aku menguping pembicaraan keduanya...
... Pak Ramin bertanya, apa nggak bisa bapak menyembuhkan ku sendiri? Bapak menjawab tidak bisa, karena ilmunya bukanlah untuk penyembuhan dan ilmu hitam, seperti halnya rawa rontek. Ilmu bapak hanya bisa digunakan untuk tameng dirinya sendiri...
... Dan ia saat itu sedang mencari cara agar ilmunya bisa ia gunakan juga untuk melindungi anggota keluarganya yg lain. Singkat cerita, aku sembuh. Aku cukup dekat dengan bapak sedari kecil. Sore itu, aku bantu bapak ngarit di sawah, cari rumput buat makan kambing...
... Aku bertanya padanya, bahwa aku mendengar percakapan diantaranya dengan Pak Ramin, bertanya apa ilmu yg ia anut? Bisakah jika aku juga mempelajarinya? Kemudian bapak melarangku untuk mengikutinya...
... Karena katanya ilmunya itu terlalu berat cara memperolehnya, begitupun dampaknya. Bapak bilang ia memiliki ilmu kanuragan Lembu Sekilan. Ilmu tingkat tinggi yg setauku memungkinkan pemiliknya tak bisa tersentuh senjata apapun, baik itu benda nyata maupun gaib...
... Hebatnya lagi, tubuh seseorang yang menguasainya tidak bisa merasakan sakit alias kebal. Jika ada serangan baik fisik maupun gaib, akan melenceng berjarak 1 kil dari tubuh si empunya. Konon, tameng gaib ini sangat kuat dibanding baju besi atau perisai apapun...
... Beberapa di antara ritual riadat adalah puasa selama 40 hari dengan menu buka dan sahur menyerupai makanan seekor lembu atau sapi, cara makannya pun harus tanpa alat makan dan menyerupai lembu....
... Selain itu, konon masih dilanjutkan puasa 3 hari 3 malam tanpa makan, minum, maupun tidur. Masih ada lagi, katanya agar tidak mempan pada senjata berapi, ajian Lembu Sekilan harus puasa menghindari cahaya selama kurun waktu yang ditentukan...
... Namun ada pantangan untuk pemilik ajian ini, bahwa pemilik ajian ini harus menghindari daging lembu atau sapi jika tidak ingin binasa. Dan bapak tahu aku tidak akan kuat untuk melakoninya...
... Ilmu bapak ini hanya bisa ia gunakan sendiri kala itu, tapi bapak tidak pernah putus asa untuk terus mencari jalan agar ilmunya bisa ia gunakan untuk melindungi keluarga yg lain...
... Saat ini setahuku bapak sudah hampir menguasainya meskipun perisai gaib yg diberikan kepada anggota keluarga lain masih sedikit lemah jika dibandingkan perisai milik dirinya sendiri" jelas kang Amin
Aku menganga, tidak mengerti harus menanggapi cerita ini seperti apa. Ternyata, ilmu kanugaran hebat itu ada. Bapakku sendiri pemiliknya.
"Lalu bagaimana dengan akang? Apa ilmu yg akang punya sampai2 berani bersama bapak melawan Pakdhe?" tanyaku antusias.
"Saat itu aku masih tidak terlalu percaya dengan ilmu yg dimiliki bapak, mirip Joko Tingkir kataku. Sampai pada suatu hari, aku mau membuktikan sendiri, aku ambil pisau, bapak saat itu sedang bertapa di kamar sholat...
... Aku berencana untuk menikam bapak dibagian kakinya, saat pisau akan aku hunuskan, benar saja pisau itu bengkok dan terlempar bahkan belum sempat menyentuh tubuh Bapak...
... Bapak pun menoleh ke arahku dengan tersenyum, seakan ia tahu niatku kala itu untuk membuktikan bahwa omongan bapak itu tidak hanya sekedar bualan semata. Ada juga saat dimana, dukun santet yg mati di rumpun bambu itu, dulu sangat membenci bapak...
... Hanya karena alasan sawah bapak selalu panen subur, sedangkan sawahnya selalu mengalami gagal panen. Tak cukup ia menggunakan pesugihan, ia berencana untuk menyantet bapak menggunakan santet biasa, bukan pring sedapur...
... Sampai akhirnya bapak menyadarinya lewat mimpi, bapak kemudian bertapa berhari2, hasil akhirnya, bapak tidak tersentuh sedikit pun dengan adanya kiriman santet itu. Justru, santet itu menjadi boomerang ke dukun itu dan mengenai dirinya sendiri...
... Ia sempat sakit berbulan bulan sampai akhirnya ditemukan wafat di dalam rumpun bambu, semua karena ulahnya sendiri. Mulai saat itulah, aku selalu merengek pads bapak untuk diajari ilmu seperti itu. Namun, bapak selalu menolak...
... Sampai akhirnya, bapak menyerah setelah melihat kegigihanku mengikutinya berpuasa dll. Yah meskipun aku sudah ikut2 an tapi jika tidak sesuai prasyarat aku tidak akan bisa...
.. Sampai akhirnya aku putus sekolah di bangku SMP. Aku memutuskan untuk berguru di guru bapak, di daerah Jawa Tengah. Disana aku diajari ajian bernama Bandung Bondowoso"
Sama seperti sebelumnya, semua terasa sangat hebat di mataku. Aku bahkan merinding mendengar nama ajian itu
"Aku bukan anak sepertimu, yg terlahir istimewa bahkan dari lahir. Sehingga aku harus berupaya ekstra untuk meneruskan posisi bapak jika suatu saat bapak tiada. Harus ada sosok penggantinya yg sakti melindungi keluarga...
... Itulah pikiranku saat itu, sehingga aku lebih tertarik belajar ilmu kanuragan dibanding matematika yg membuatku sakit kepala harus memikirkan PR setiap hari. Singkat cerita, aku mempelajari ini kurang lebih sekitar 2 tahun di padepokan Jawa Tengah...
...Aku adalah murid paling kecil saat itu, satu2 nya anak yg berumur 16 tahun. Jika ilmu hitam bekerja dengan cara manusia menjadi budak jin, maka ajian ini sebalikmya. Manusia sebagai bos nya dan jin inilah sebagai pasukan. Pernah mendengar kisah Candi Prambanan?..
... Itulah ajian yg kakangmu ini miliki. Ajian Bandung Bondowoso ini merupakan ajian tingkat tinggi dalam kanuragan Jawa, fungsinya untuk menaklukkan bangsa jin. Dengan ajian ini jin-jin yang ada di sekitar akang akan tunduk dan takluk pada akang...
... Mereka akan mau diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan tanpa ada imbalan sepeser pun. Namun ilmu ini ada beberapa tingkatan, bisa menklukkan jin biasa atau bahkan raja jin..
... Nah untuk kasus akang, akang masih belum terlalu sempurna jika harus dikatakan bisa menaklukkan rajanya jin. Akang sekarang masih sebatas menaklukkan jin2 atau setan biasa yg kita temui di kehidupan sehari2. Bukan raja jin seperti yg ada di rumpun bambu itu...
... Laku yang pertama yg akang lakukan yaitu niat yang bersih untuk menggunakan ajian Bandung Bondowoso ini jalan kebaikan, bukan sembarangan. Kemudian melakukan puasa selama 30 hari dimulai pada hari Sabtu Kliwon bulan Suro..
... Kemudian dilanjutkan dengan puasa ngebleng selama 7 hari dan terakhir puasa patigeni dan laku ritual adat yg lain. Tapi dalam menekuni ajian ini haruslah bersungguh2 karena jika main2 konsekuensinya adalah nyawa...
... Jin yg sudah kita taklukkan bisa berganti menyerang kita. Oleh karena itulah akang sampai sekarang masih mendalami ilmu ini agar lebih sempurna" pungkas kang Amin mengakhiri ceritanya.
Aku terkesima, dan cerita akang barusan membuatku sedikit lega tentang situasi saat ini. Setidaknya kami punya Bapak yg memiliki ajian Lembu Sekilan, ajian tameng terkuat di tingkatan ilmu kanugaran Jawa.
Bapak pun saat ini masih berusaha memberikan perlindungan pada masing2 anggota keluarga meskipun belum sesempurna tameng pribadi miliknya. Kami juga memiliki kang Amin, pemilik ajian Bandung Bondowoso yg juga salah satu ajian hebat dalam tingakatan ilmu kanuragan Jawa.
Kang Amin setidaknya bisa memerintahkan jin2 lain untuk melawan jin kiriman dari Pakdhe. Dan ada Kang Salim, entah aku belum mengetahui ilmu apa yg ia miliki, tapi aku pernah melihatnya menonjok teman sekelasnya dengan sekali pukul giginya rontok tiga. Sepertinya ilmu preman.
Mengingat postur tubuhnya sangat kekar, wajah garang. Jika kang Amin adalah bos para jin, kang Salim adalah bos para preman di desaku. Dan ada aku, anak laki2 bungsu yaah meskipun hidup lempeng lempeng aja, sembari menyesap nutrisari jeruk setidaknya aku punya keistimewaan.
Aku bisa melihat bahwa Tumi saat ini tidak sendirian sore itu, disebelah ia bermain ada 2 kuntilanak yg memainkan rambutnya. Aku adalah anak dengan six sense. Aku semakin yakin, Inshaallah kita bisa melawan Pakdhe. Bismillah niat baik selalu Allah permudah, yakinku kala itu.
Adzan maghrib tengah berkumandang. Menandakan bahwa kami harus segera pergi ke surau dan mengakhiri percakapan dua bersaudara ini. Diteruskan dengan yasin mbokdhe ba'da maghrib. Pakdhe hadir, masih dengan gimmick seolah olah dia bukanlah pelakunya di hadapan tamu2 keluarga jauh.
Singkat cerita, malam tiba. Acara kami lalui dengan lancar tanpa hambatan. Win masih dengan kondisi yg sama, bapak pun juga belum menunjukkan tanda2 kepulangannya. Jam kini sudah menunjukkan pukul 8 malam, aku dang Kang Amin bergegas pergi ke TPU untuk menunggu makam mbokdhe.
Saat itu, kami hanya membawa 2 senter, dalam perjalanan pun kami harus melewati rumah Pakdhe.
"Min, lihat ke arah rumah Pakdhe" perintah kang Amin
Aku langsung menengok kala itu. Kemudian kang Amin memegang tengkuk belakang leherku. Seketika yg tadinya aku melihat hanya deretan pocong hitam legam itu, kini aku melihat rumah Pakdhe juga dikelilingi pasukan dengan mata tertutup kain kuning itu, membawa bambu.
Tidak hanya itu, aku melihat beberapa makhluk yg berbentuk separuh kuda berkepala manusia. Kepala kuda itu juga prajurit dengan memakai kain penutup berwarna kuning. Aku rasa itu bukanlah setan lagi, itu sudah selangkah diatasnya. Siluman.
Aku bergidik ngeri, kemudian kang Amin melepaskan tangannya pada tengkukku.
"Kang apa itu tadi?" tanyaku
"Pakdhe membuat perpanjian dengan kerajaan gaib itu. Yg kamu lihat pocong itu, itu adalah penjaga Pakdhe pribadi, karena setauku Pakdhe memang menganut ilmu hitam. Namun, selayaknya sebuah perjanjian pasti ada sebuah kesepakatan...
... Karena disini Pakdhe bersekutu dengan raja jin, Pakdhe pun juga dikawal oleh beberapa utusan kerajaan itu apabila sewaktu2 Pakdhe melanggar kesepakatannya, prajurit itulah yg nantinya akan membinasakan Pakdhe" jelas kang Amin masih dengan berjalan.
Aku tidak bisa berkata2 lagi. Kenapa Pakdhe sampai bertindak sejauh itu? Hanya karena harta yg nggak seberapa, dan belum tentu rencananya itu berhasil, konsekuensi yg ia hadapi justru lebih besar. Nyawa adalah taruhannya.
20 menit berlalu, kami pun sampai di TPU. Tidak usah bertanya berapa banyak yg kulihat kala itu, banyak sekali, penuh. Tapi bersama kang Amin, mereka bahkan enggan untuk mendekatiku. Mereka hanya mengamati dari kejauhan saja.
"Kang, akang bener2 nggak tahu ya itu serbuk apa?" tanyaku kembali memastikan. Sembari menggelar tikar anyam di samping makam mbokdhe.
"Belum tahu. Yang bisa aku curigai bersama bapak, itu serbuk bambu itu. Tapi alangkah baiknya kita menunggu bapak dulu...
... Aku yakin saat ini bapak bersama Pak Ramin sedang mencari cara, karena setauku, Pak Ramin sendiri dulu adalah penganut ilmu hitam sebelum ia sadar. Aku rasa sedikit banyak Pak Ramin bisa menjelaskan runtutan kejadian ini akan bermuara kemana" jelas kang Amin.
Kang Amin pamit untuk tidur lebih dahulu, meninggalkan berjaga sendirian malam itu. Suara bising kodong, jangkrik dan nyamuk dan yg pasti, suara mereka, berkolaborasi menjadi 1.
"Le, mbok jogo yo kuburane mbokdhe mu? Entenono ae wayahmu yo le, tak entekne kabeh dulur dulurmu" lagi lagi aku mendengar suara Pakdhe. Yang artinya, le kamu menjaga mbokdhe ya? Tunggu saja giliranmu, aku akan menghabisi seluruh saudaramu.
Buru2 aku menyalakan senter, menyenteri seluruh area TPU malam itu. Namun nihil. Tapi, aku merasa ada sesuatu yg bergerak di pohon tepat diatas kepalaku. Sembari menelan ludah karena ketakutan, aku memberanikan diri menyenteri pohon itu.
Bugg!!! Sesuatu jatuh tepat di pangkuanku. Kepala mbokdhe!! Kepala mbokdhe yg gosong seperti terbakar, mata putih dengan mulut menganga persis seperti disaat saat terakhirnya! Kemudian aku mendengar lagi suara orang tertawa, aku mengarahkan senter tepat di depan gapura TPU.
Itu Pakdhe, tertawa seolah memperingatkanku kembali, dan kemudian hilang. Aku berteriak dengan membangunkan kang Amin, anehnya, dengan hilangnya Pakdhe, kepala itu kini juga hilang.
Kang Amin kemudian bangun dan menenangkanku, kemudian aku menceritakan yg kulihat saat itu.
Kang Amin hanya diam, dan kemudian ia pamit untuk pergi ke arah sungai belakang TPU. Aku rasa ia sedang bertapa, untuk mencari tahu sedikit banyak apa maksud perkataan Pakdhe.
Karena jujur, raut wajah kang Amin pun syok seakan akan ia tertipu selama ini dan mengetahui fakta bahwa sasarannya kini sudah berubah.
Malam itu kami lalui dengan berbagai kengerian. Sampai subuh kini berkumandang, aku bergegas bersama kang Amin untuk pulang.
Update hari ini sudah banyak, tunggu kelanjutannya yaa🥺
Insyaallah besok diupdate penjelasan dari Pak Ramin, dan keluarga kami baru menyadari bahwa target aslinya bukanlah mbokdhe tapi kami! Teror santet pun dimulai, dimulai dari bupuh Ipah..
Aku dan Kang Amin melengkahkan kaki dengan cepat, tak lupa kami mampir sebentar di surau dekat TPU untuk melakukan sholat subuh berjamaah. Kami tidak sempat mengikuti doa setelah salam terakhir kami. Karena pikiran kami saat itu hanyalah ingin cepat2 bertemu bapak.
Singkat cerita, tibalah kami di depan halaman rumah. Aku melihat ada motor tua astrea bapak disana. Hatiku lega dan cepat2lah aku masuk rumah setelah membersihkan diri.
Setelah masuk, aku mendapati bapak bersama seorang pria kira2 seumurannya? dengan badan yg lebih pendek dari bapak dan wajahnya yg memancarkan aura positif.
Ia adalah pak Ramin. Mantan pengguna ilmu hitam yg kini sudah bertobat dengan terlebih dahulu melewati karmanya.
Ternyata keduanya juga baru sampai, terbukti dari datangnya mbok yg baru saja menaruh 3 cangkir kopi hitam. Padahal saat itu yg datang cuman ada 2, kenapa ada 3 cangkir? Dan ternyata, yg 1 adalah untuk proses ritual Win nantinya.
Sebelum menemui Win, kedua orang tua itu kini berbincang, aku dan Kang Amin ikut duduk disebelah Bapak.
"Ini Samin?" tanya pak Ramin
"Nggih pak, anak laki2 bungsu Saya" kata bapak
Pak Ramin tersenyum ke arahku, aku sebisa mungkin membalas senyum dengan makna tersiratnya itu.
"Coba le kamu minum kopinya" disodorkannya kopi di cangkir padaku, yg katanya ini buat Win.
"Tapi pak, bukannya ini buat Win?" tanyaku
"Sudah ndak papa, saya hanya mau tau saja" katanya.
Mau tau apa sih? Aku pun melirik ke arah bapak untuk meminta persetujuannya. Dan akhirnya pun bapak mengangguk. Aku pun menuruti untuk meminum kopi itu.
"Bagaimana le? Manis?" tanya pak Ramin
"Nggih pak, manis, enak" kataku.
Pak Ramin tersenyum, dan kini ia menatap kearah atas kepalaku. Bersama dengan bapak.
"Owalah pantes. Aman kang Demun ini Samin. Dari sampean?" tanya Pak Ramin ke bapak
"Nggih pak, saya berikan ini karna Samin memang sudah ada bakat dari lahir. Darahnya itu darah seger kalau kata orang bilang. Jadi lebih riskan" jelas bapak tenang
Mereka berdua membahas apa sih?
"Kang, ada apa sih?" tanyaku ke Kang Amin
"Kopi tadi nggak pakai gula. Tapi katamu manis. Karna kamu itu sebenernya dikasih penjaga sama bapak, makanya Pakdhe tertarik buat jadiin kamu sekutunya. Meskipun penjagamu bukan sama dengan penjaga bapak, tapi setidaknya, penjagamu sama kuatnya dengan punya bapak" kata Kang Amin
Aku semakin melongo. Aku yg kukira adalah orang paling spesial di muka bumi karna diberikan berkat bisa melihat makhluk halus, ternyata orang2 ini lebih spesial lagi.
Konon katanya, makhluk halus itu sangat suka sekali dengan kopi hitam, tentu tanpa gula. Apabila ada seorang manusia yg disuguhkan kopi itu namun merasakan rasa manis, itu menunjukkan bahwa dalam dirinya ada makhkuk lain.
Entah sebagai penjaga atau parasit. Makhluk itu akan menunjukkan wujudnya. Namun hanya orang tertentu yg bisa melihat. Bukan orang yg memilikinya. Sehingga aku pun tidak mengetahui bagaimana bentuk penjagaku, tapi kang Amin bisa melihatnya. Seorang tinggi besar dgn pakaian raja.
Setelah itu, pak Ramin kini bangkit untuk menuju ke kamar dimana Win saat itu masih terbujur kaku.
Dalam perjalanan ke arah kamar, aku sempat berbisik pada bapak.
"Pak, nanti aku mau cerita" kata ku
"Sudah tau, kakangmu yg memberitahu bapak" katanya.
Hah? Semanjak kapan kang Amin cerita? Kan kang Amin baru bertemu bapak pagi ini bersamaku.
"Kang?" tanyaku yg saat itu ada disebelah kang Amin.
"Tadi malam, di sungai" katanya
Hebat. Kang Amin pun bisa telepati ke bapak? Dengan bertapa kukira kang Amin lagi berduel dengan Pakdhe ternyata justru komunikasi jarak jauh dengan bapak toh. Aku pun kembali dibuat kagum olehnya. Aku sempat berpikir kang Amin justru mencari kodok malam itu untuk dijual. Salah.
Pak Ramin kini duduk di dipan samping Win berada. Kondisi Win semakin berantakan. Karena juga berhari2 ia tidak makan ataupun minum.
"Hah hohoh hahu" masih dengan air matanya yg terus bercucuran dari kedua mata putihnya. Artinya mbah tolong aku.
Pak Ramin kemudian merapalkan doa2, matanya terpejam, fokusnya ada di Win. Setelah beberapa saat, tangan pak Ramin kini meraba bantal milik win. Dibukanya bantal itu. Sama dengan mbokdhe. Berisi barang2 aneh seperti paku, silet, rambut, tulang belulang. Namun bukan itu yg ia cari
Melainkan sebuah bambu. Namun saat itu, tidak ada. Beda dengan mbokdhe. Pak Ramin pun kaget, seharusnya ada. Jika memang target nya adalag keluarga Bapak, Win adalah cucunya. Seharusnya ini adalah bagian dari santet itu!!
Pak Ramin sudah kalang kabut. Begitupun kami yg semakin cemas melihatnya dengan susah payah mencari keberadaan bambu itu. Namun, tidak lama, Win tertawa. Tubuhnya sehat seperti sedia kala, matanya sudah kembali, ia duduk.
"Kecelik yo" sambil tertawa terbahak bahak. Kali itu suara Pakdhe! Win berbicara dengan suaranya! Yang artinya, tertipu ya?
Sambil terus tertawa dan kini justru memutahkan sesuatu yg menjijikkan
Hoeekkss....
Kelabang, tulang belulang, rambut dan darah keluar dari mulutnya.
Dan seketika ia pingsan.
Setelah Win pingsan, bapak, Pak Ramin dan kang Amin langsung mengambil posisi masing. Pak Ramin berniat untuk memberikan pengobatan, sedangkan bapak dan kang Amin berniat untuk memfokuskan perlindungan sementara waktu ke Win.
Tapi semua salah. Benar kata Pakdhe. Kami semua tertipu.
Setelah semua fokus ke Win, mbak Ipah, mbak Mi, mbak Mi, kang Salim dan mbok yg terakhir kejang dalam waktu yg bersamaan. Kecuali kang Amin, bapak, aku dan Tumi.
Mereka kejang dengan mata yg berubah menjadi putih hingga kemudian kaku. Aku menangis berteriak meminta pertolongan ini bagaimana.
"Bapakkkk bapaaaaakkk hentikan pak!! Paaak, mbok, kakang sama adik kenapa pak!" teriakku dari luar pintu kamar
Seketika mereka menghentikan proses itu. Dan kemudian menemuiku, bapak sangat kalang kabut, kang Amin menangis sembari mendekap mbok, aku pun menangis mendekap tubuh kakak ku yg lain. Tumi menangis bersembunyi karena takut.
"Bajingan, kecelik awake dewe" marah Pak Ramin
Bapak dan pak Ramin tidak tinggal diam, bapak langsung mengambil posisi untuk kembali bertapa, sekiranya memberikan perlindungan kembali ke orang2 yg terkena ilmu itu. Aku masih menangis melihat kondisi ini.
Namun, kini aku membantu kang Amin untuk memposisikan tubuh mbok dan kakak ku untuk disejajarkan.
5 orang itu kini terbujur kaku bak mayat hidup. Kang Amin pun mengambil kain jarik untuk menutupi tubuh mereka, sampai batas leher ke kaki.
Dan setelahnya kang Amin ikut bergabung dengan bapak untuk membantunya memberikan perlindungan.
Aku menghampiri Tumi, untuk menenangkannya dan memberikannya arahan agar tidak jauh2 denganku.
"Tenang nduk, masih ada akang, mbok dan yg lain akan baik2 saja" rangkul ku meskipun aku masih dengan manik mata yg syok tapi aku berupaya menenangkan Tumi adalah yg utama. Tumi masih menangis, sampai2 ia takut untuk keluar kamar.
Yasudah aku membiarkannya disana, dan kurasa bapak juga sudah kembali memberikan perlindungan.
Aku kemudian keluar kamar, dan tiba2 aku merasakan ada sesuatu yg bergerak dalam perutku.
Hoeeekss....
Kembali. Binatang2 melata, rambut dan tulang2 kecil lancip bercampur darah keluar dari mulutku. Aku sempat kesakitan, dan berlangsung sekitar 30 menit aku merakan sakit teramat sangat. Namu tidak sampai membuatku terbujur kaku layaknya mbok dan ke 4 kakakku.
Saat aku menoleh ke arah 5 orang itu, kudapati kini keranda ada diatas mereka masing2. Aku menangis kembali tak tentu, sembari berharap bapak lah yg memenangkan pertarungan gaib ini. Celakalah Pakdhe yg membuat kami seperti ini. Aku sampai gelap mata berdoa seperti itu.
Dan aku masih berpikir saat itu, apa maksud kami tertipu?
Aku membulatkan tekad setelah ini aku akan mencari tahu ini semua ke Pak Ramin setelah ia bisa mengatasi kekacauan ini.
Singkat cerita, sepertinya mereka sudah selesai melakukan pertapaan itu. Kemudian aku melihat Win, dia masih pingsan selayaknya orang normal. Sudah tidak kaku, mata juga normal terpejam, mulut yg mengatup. Namun mbok dan keempat kakakku yg kini masih dalam kondisi memprihatinkan.
Namun, keranda itu kini hilang. Dengan hilangnya keranda, aku memperhatikan perut mereke ber 5 membesar dengan tubuh yg menyusut kurus. Persis dengan orang tekena busung lapar. Namun masih dengan mata yg membuka putih, mulut menganga, badan kaku, namun tidak bisa bicara apapun.
Hanya bisa menangis. Syukur, setidaknya jiwanya masih ada. Pikirku kala itu.
Buru2 bapak mengajakku ke depan, untuk berbincang bersama pak Ramin. Karena memang sejujurnya, keluargaku adalah penganut ilmu putih, jadi tidak tahu menahu mengenai ilmu hitam ini.
Dan kenapa harus Pak Ramin? Pernahkah kalian mendengar, bahwa penyakit astral hanya bisa disembuhkan dengan ilmu yg selevel. Jika terkena penyakit hitam, maka ilmu hitam lah yg bisa menyembuhkan. Jika terkena penyakit ilmu putih, maka ilmu putih lah yg bisa menyembuhkan.
"Jadi bagaimana pak? Apa yg dimaksud kang Diran kami tertipu?" tanya bapak dengan suara beratnya, tangannya mengepal sebisa mungkin menahan emosinya.
"Pangapunten kang, Saya sendiri juga tidak tahu sebelumnya akan jadi seperti ini. Menurut pengalaman Saya dulu, cara kerja pring sedapur adalah membasmi seluruh anggota keluarga target...
... Dengan terlebih dahulu mengorbankan orang terdekat yg sangat ia cintai sebagai syarat dijalakankannya santet ini. Dan prosesnya, tidak otomatis "panen" seperti ini, namun pelaku lah yg menyebutkan dari siapa dulu dan siapa selanjutnya..
... alias acak selama masih dalam 1 garis keturunan. Saya pikir, Win adalah yg pertama target yg dipilih oleh kang Diran jika menurut sistem umumnya. Dan mbak Irah lah adik kesayangan kang Diran yg dijadikannya sebagai laku persembahan...
... Sebenarnya, santet ini bisa tidak jalan apabila tumbal di awal itu tidak mati.Namun, Saya kira mbak Irah sudah tahu bahwa ia disalahi oleh kakaknya sendiri, namun, mbak Irah juga punya khodam sendiri kang...
... dan khodam nya itulah yg membantunya bertahan agar santet ini tidak berjalan ke target utamanya yaitu anak cucumu. Namun takdir berkata lain, mbak Irah sudah berusaha, namun karna sekutu kang Diran ini bukanlah dukun...
.. tapi langsung dari sumber tangan pertamanya, yaitu kerajaan pring kuning, maka dapat dipastikan kekuatan santet ini memang luar biasa. Bahkan bisa menembus anak cucumu yg sudah sampean bentengi dengan ilmu terhebat kalian berdua.." sembari Pak Ramin mengelus kepala kang Amin
"Tapi 1 yg kita bisa simpulkan. Mau bagaimanapun santet pring sedapur ini ada dalam beberapa versi, dasar kerjanya sama. Proses hanya bisa jalam apabila awal targetnya mati, maka semua anggota keluarganya juga akan mati...
... Win bukanlah target, ia hanya sebagai pengecoh agar kita merasa seolah olah dialah taregetnya. Karena kerja umumnya adalah acak, bukan berurut. Namun, sebelum ilmu ini sampai ke cucumu, semua anakmu lah target pertamanya..
... Melihat yg pertama kali terkena adalah Ipah, kita lihat bagaimana Ipah bisa bertahan. Jika ia bisa bertahan, semua akan baik2 saja. Namun, jika Ipah tidak bisa, Saya mohon maaf semua usaha kita akan sia sia. Karena santet ini memanglah sangat ganas...
... Dan saya baru tahu, kenapa Ipah? Bukankah dia pernah mengambil bambu dibawah bantal mbak Irah saat ia merawatnya? Sebenarnya itu adalah pancingan, dan sebagai salah satu syarat...
... Bahwa selain tumbal secara acak, target utama dari santet ini juga harus bersentuhan secara langsung dengan benda kiriman santet untuk mengambil energinya. Dan itulah kesalahan Ipah. Satu lagi, saat ini fokus lah pada Tumi...
... Ini masih menjadi misteri kenapa dia lolos sendiri, bahkan Samin yg memiliki penjaga pribadi pun sempat terkena dampak santet ini meskipun penjaganya bisa menghalau dan tidak menyebabkannya sakit parah seperti ibu dan suadaranya yg lain....
... Saya melihat bagian tubuh dia (kuku) kini ada di tangan kang Diran, dan dialah yg menemukan mantra yg disembunyikan kang Diran dirumah mbak Irah. Dia mengambilnya dan sempat membuat rencana kang Diran hampir gagal...
... Saya mohon maaf, saya sudah tidak bisa membantu lebih banyak lagi. Ini bukan tentang penyembuhan, semua akan berakhir jika ada yg menang dan kalah. Karena ilmu saya sendiri juga tidak saya tekan seperti dulu. Dan saya rasa, kalian berdua bisa mengatasi ini...
... Bandung Bondowoso dan Lembu Sekilan adalah ilmu putih dengan kesaktian tinggi, berada diatas level ilmu hitam Santet Pring Sedapur ini. Sebernarnya kalian bisa saja dengan mudah mengakhiri ini, namun karena sekutu kang Diran adalah jin nya langsung...
... itulah yg membuat kerjs santet kali ini berbeda dan lebih mematikan. Saya hanya berharap sampean yg memenangkannya, Kang. Yang sabar" pungkas Pak Ramin dengan manik mata yg berkaca kaca. Begitupun bapak. Seorang bapak yg pertama kali kulihat air matanya.
"Saya pikir, kondisi mereka saat ini masih bisa dihalau. Saya lihat tadi ada keranda yg menjadi salah satu tanda ajal gaib bahwa ganasnya pring sedapur ini bisa melenyapkan dalam hitungan detik. Namun, kini sudah hilang...
... Aku pikir, kini kang Diran juga kewalahan untuk menembus benteng gaib mu dengan Amin" lanjut Pak Ramin yg pindah posisi duduknya mendekati Bapak untuk menenangkan sahabatnya itu.
"Mau bagaimanapun, sebenarnya aku tidak tega pak jika harus bertarung melawan kakangku sendiri. Bagaimanapun dia adalah keluargaku. Aku sudah yatim piatu dari kecil ditinggal bapak, dan kang Diran lah yg menggantikan sosok bapak bagiku dan mbak Irah...
... Entah hal apa yg membuatnya jadi gelap mata dan hanya harta dimatanya. Mbak Irah memang adik kesayangannya, sangat sangat menyayanginya. Bahkan kang Diran sempat babak belur dihakimi warga hanya karena membela mbak Irah yg saat itu salah memetik lombok dr kebun tetangga...
... Jadi tidak heran jika ia memilih mbak Irah jika memang syarat nya adalah orang yg paling ia kasihi, karna memang itu mbak Irah" tangis bapak kian pecah. Aku pun tak tega, pasti berat baginya menghadapi perlakuan orang yg ia sayang yg tiba2 berubah menjadi pribadi jahat.
istirahat dulu ya?? nanti malam Inshaallah aku lanjutin, sneak peaknya, ada sesuatu yg terjadi sama bulek Tumi😭
Saat itu kembali tiba2 aku mendengar bisikan Pakdhe.
"Bapakmu ora bakal iso mateni aku. Kowe kabeh bakal mati wayah purnama suro" Artinya, bapak nggak akan bisa membunuh Pakdhe. Dan kami semua tanpa terkecuali akan mati saat malam 1 suro.
Dimana malam itu tinggal menghitung hari. Tepatnya 4 hari mulai dari sekarang.
Belum sempat aku mengatakannya pada bapak, aku kembali merasakan sesuatu yg aneh di perutku, dan kemudian memutahkan kembali benda2 menjijikkan itu bercampur dengan darah segar.
Akupun kembali merasakan sakit yg teramat sangat di perutku.
Bapak dan kang Amin bergegas untuk menggotongkan dan melakukan mantra untuk melindungiku. Begitupun pak Ramin yg membantu untuk meringankan rasa sakitku malam itu.
Setelah beberapa menit akhirnya rasa sakit kian pudar, namun sisanya masih terasa, aku lemas dan diberikan perintah untuk berbaring saja.
Namun aku masih sadar saat itu, bapak terlihat sangat marah.
Feelingku mengatakan, bapak menemui Pakdhe. Bapak terlalu sembrono. Padahal santet ini adalah ilmu yg bisa dibilang jarak dekat, semakin dekat jarak dengan si korban, ilmu ini akan semakin kuat. Tapi bapak tidak peduli dan sepertinya ia percaya diri dengan kekuatan yg ia punya.
Ohiya, bagi kalian yg menanyakan dimana suami mbak Ipah dan anak keduanya, Pri, mereka tidak diberitahu apa yg kini terjadi. Karena saat itu juga belum ada HP. Mereka berdua sudah disuruh pergi kembali ke rumah si suami dengan mengamankan Pri setelah kejadian yg menyerang Win.
Mbak Ipah berpesan jangan sekali2 datang kesini kecuali mereka menerima pesan dari mbak Ipah sendiri.
Kembali ke bapak, karena aku khawatir dengan bapak, aku melangkah mengikuti bapak tertatih tatih.
Meskipun saat itu bapak sudah ditemani kang Amin dan pak Ramin, tapi aku tetap ingin memastikan bapak baik2 saja. Aku tidak mau jika bapak dan kang Amin ikut menjadi seperti mbok dan ke 4 kakakku.
Sampai pada di bawah pohon beringin, kembali aku melihat, rumah Pakdhe yg penuh dengan pocong hitam beserta dengan dereta para prajurit berseragam serba kuning itu kian banyak jumlahnya. Bapak tidak sampai masuk ke dalam rumah Pakdhe, Pakdhe pun keluar.
Agaknya ia mengetahui tamunya malam itu. Ia tertawa dibalik pintu rumahnya. Tanpa mengatakan apapun.
Namun, bapak berteriak.
"Terusno laku santetmu, entenono sasi suro rogo sukmo ne sopo sing mati, kang! Menungso bejat!" teriak bapak.
Artinya, lakukan sesukamu santetmu itu, tunggu bulan suro jiwa raganya siapa yg akan mati, manusia bejat!
Aku merinding. Merinding tatkala mengetahui bahwa kini bapak menerima tantangan peperangan itu, alih2 menuruti rasa belas asihnya kepada kakaknya.
Karena jujur aku merasa bapak selama ini tidak membalas bukan karena ia tidak mampu, karena dia menahan mau bagaimanapun itu adalah kakak kesayangannya. Aku merinding saat bapak menerima tantangan peperangan ini.
Pakdhe masih diam. Tidak berkata apapun. Dia mengangguk dan beberapa menit kemudian berkata
"Deloken anak wadon mu" sambil kepalanya mengarahkan ke arah sumur. Artinya, lihat anak perempuanmu.
Dari balik pohon beringin aku melihat Tumi. Dengan mata putih dan mulut menganga ia berdiri di samping sumur dengan tangan yg meraba raba tali timba sumur itu.
Aku pun berlari dan berteriak.
"Allahuakbaarr Tumiiii jangan ndukkkk"
Aku, bapak, kang Amin, pak Ramin berlari menghampirinya.
BYURRR...
Kami telat. Tumi kini menjatuhkan dirinya ke dalam sumur sedalam kurang lebih 10 meter itu.
"Tidaakkk Tummm... Tumiii.." tungkai ku lemas begitupun bapak dan kang Amin.
Kami bertiga benar2 sudah tidak tahu harus berpikir jernih bagaimana lagi. Bahkan, bapak yg kukenal baik akan pengendalian emosinya pun kini seperti orang kesetanan saat melihat Tumi menjatuhkan dirinya.
Bapak bahkan nekat mau menyelematkan Tumi sendirian dengan ikut menceburkan dirinya ke dalam sumur tua itu. Mustahil bagi Tumi untuk bisa selamat, dalam posisi kedalaman 10 meter itu juga penuh dengan air.
Beruntung kala itu Pak Ramin menahan bapak, menenangkannya untuk kemudian mencari bala bantuan. Pak Ramin kemudian langsung datang ke balai desa malam itu, dengan tujuan menyebarkan bende (berita) melalui toa untuk mencari bantuan.
Kala itu semua warga berbondong2 datang ke sumur untuk bersama mengeluarkan Tumi, baik hidup maupun mati.
Sampai akhirnya segala upaya telah kami lakukan, tubuh Tumi kini berada di permukaan. Aku langsung memeluk tubuh bungsu kami yg malang.
Bungsu kami yang kini sudah tidak bernafas. Bungsu kami yg sudah wafat. Tangis ku pecah, sepecah pecahnya. Aku tak kuasa menahannya, karena Tumi adalah adik kesayanganku. Tubuhnya kini tidak kaku lagi, justru lemas dengan mata yg tertutup. Innalillahi wa innalillahi rajiun.
Kami tidak menceritakan kepada warga yg saat itu berkerumun memadati sumur. Kami diam membisu bersama rasa sesal yg kami emban masing2. Andai saja aku saat itu tidak mengikuti bapak, andai saja aku bisa menemani Tumi dirumah, hal ini tidak akan terjadi.
Begitupun bapak dan kang Amin, aku yakin saat ini mereka juga sedang merutuki diri sendiri. Andai saja mereka tidak termakan emosi dengan meninggalkan Tumi sendiri, pasti hal ini tidak akan terjadi. Namun semua hanya pengandaian sebagai imbas kata penyesalahan.
Saat itu, akulah yg menggotong tubuh Tumi untuk terlebih dahulu kami bersihkan di dalam rumah sembari menyiapkan segala bentuk persiapan pemakaman.
Namun, kami lupa bahwa saat itu mbok dan 4 suadara kami yg lain juga sedang terbujur kaku dengan perut yg kian membesar.
Warga pun melihatnya. Mereka pun ketakutan, aku yakin mereka tahu bahwa saat itu keluarga kami terkena santet pring sedapur dengan melihat kondisi di dalam rumah.
Tidak satu pun dari mereka berani untuk masuk ke rumah, tidak satupun dari mereka berani membantu kami mengurusi jasad Tumi, hanya Pak Ramin
Aku tidak bisa menyalahkan mereka, atau mengutuk mereka yg tidak mau membantu. Karena konon katanya, apabila ada sebuah keluarga yg terkena santet pring sedapur ini, dan ia sedang dalam posisi sakit atau meninggal,
para pelayat dilarang untuk mengucapkan kata "kasihan" baik dalam hati maupun lisan. Hal itu dapat menyebabkan kutukan itu juga mengenai keluarga pelayat yg saat itu mengucapkan kata "kasihan" pada korban.
Juga, beberapa ada yg percaya bahkan untuk melayat saat jenazah masih ada pun sebuah pantangan. Boleh melayat apabila jenazah si korban santet sudah dimakamkan, untuk menghindari kutukan tersebut mengenai dirinya.
Oleh karena itulah aku bisa paham yg saat itu warga satu per satu mulai pulang dan membiarkan ku, bapak, kang Amin dan Pak Ramin mengurusi sendiri proses pemandian sampai sholat jenazah Tumi.
Kami dengan sisa tenaga, kembali mengurusi jasad Tumi. Membersihkannya, menyiapkan pengkafanan, memandikannya dan menyolatkannya. Aku mengerti sekarang kenapa hanya Tumi yg terkena kutukan dengan cara yg berbeda. Kuku.
Pakdhe hanya memilih bagian tubuh Tumi, bukan kami yg lainnya. Ini hanya asumsiku, bahwa Tumi tidaklah dimusnahkan hanya sebagai bagian dari proses pembinasaan satu keluarga ini, pasti ada alasan dibaliknya.
Aku pernah mendengar, beberapa ilmu hitam itu mensyaratkan jiwa anak kecil yg belum akil baligh sebagai tumbal. Anak kecil berkisar 0-7 tahun biasanya jiwanya masih bersih, dan gampang bagi jin2 itu menjadikannya sebuah inang. Dan Tumi memenuhi syarat itu.
Singkat cerita, kami telah selesei mengkafaninya, kemudian menyolatkannya. Sebelum kami memberangkatnya ke liang lahat, yg saat itu kang Amin yg bersedia menggali kuburan Tumi, aku bapak dan Pak Ramin membacakan yasin pada Tumi.
Namun, saat yasin kami bacakan, mata Tumi kini terbuka, normal. Tapi masih dengan tubuh yg tidak bergerak. Ia berkata
"Ular..ular.." katanya
Aku kaget, kami semua kaget. Tumi mati suri. Dia wafat hanya beberapa jam saja. Dan setelah ia bangun, ia berkata ada ular. Benar.
Aku melihatnya, kini ada ular berwarna kuning dengan manik mata merah melilit tubuh Tumi yg terkafani. Tentu bukan ular nyata, ini ular gaib. Dan saat itu, bapak meneriaki kang Amin untuk kembali. Saat itu kang Amin dan bapak kembali merapalkan mantra entah apa itu.
Aku yg tidak tahu apa2 saat itu sedikit lega bahwa adikku kembali. Meskipun masih belum normal seutuhnya. Aku mau mendekatinya, tapi dilarang oleh Pak Ramin dan kemudian berbisik
"Jangan, ular itu adalah raja kerajaan bambu kuning, jika kamu melewati garis ini, perlindungan yg bapakmu dan Amin berikan akan sia2, kutukan bisa berpindah padamu" jelasnya.
Saat itu aku baru sadar, memang bapak memberikan garis dengan garam tepat 1 jengkal dari posisi kami duduk. Dan saat itu aku hanya bisa mengamati Tumi, yg terus berkata ular..ular.. tanpa berkedip sama sekali.
"Jiwa Tumi masih ditahan sama ular itu, bapak dan Amin saat ini masih bertarung dengannya. Amin memerintahkan segala bentuk bantuan jin untuk menundukkan ular itu, dan bapakmu memberikan perlindungan ke Amin" tambahnya
Aku sesekali melihat kang Amin dan bapak. Matanya terpejam. Raut wajah mereka yg selalu berubah sepersekian detik. Kadang biasa, kadang mengernyitkan dahinya, dan terkadang seperti orang yg menahan sakit.
Begitupun ular itu, yg kadang berhenti melilit dan seolah olah merasakan sakit, kemudian melata lagi. Sampai pada akhirnya, kang Amin mengepalkan tinjunya, dan kemudian meraih garam pembatas. Aku kaget saat tiba2 ia berteriak
"Mati koee!!" sembari melemparkan garam itu ke arah ular yg melilit tubuh Tumi. Kemudian ular itu kini terbakar api berwarna biru dan seketika lenyap. Dengan lenyapnya ular itu, Tumi mengerang kesakitan seperti orang sesak nafas.
Kemudian ganti bapak yg mengambil alih, ia mendekati Tumi dan memberika sebuah irisan bambu untuk kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya. Namun Tumi memberontak, akhirnya Kang Amin membantu bapak
Aku bertanya pada pak Ramin
"Pak, apa yg dimasukkan oleh bapak ke mulut Tumi?" tanyaku
"Itu pantangan"
"Pantangan? Memang Tumi kenapa pak?" tanyaku cemas
"Tumi saat ini jiwanya belum sepenuhnya kembali. Masih berebut didalam sana antara raja jin bambu kuning itu untuk merebut tubuh Tumi sebagai inangnya, karena sosok perwujudan utama jin itu, ular, sudah dihancurkan oleh kakangmu...
... Kini, ia hanya punya media yg lebih lemah dari ular itu, dan karena ular itu lenyap, ia ingin mengambil tubuh Tumi sebagai gantinya. Dan makanan berwujud bambu, seperti rebung, adalah pantangan bagi kerajaan pring kuning itu....
.. termasuk pengikutnya yg menganut santet pring sedapur, Pakdhemu. Kelemahannya adi di makanan bambu. Bapakmu berusaha untuk merebut jiwa Tumi, dengan mamaksanya makan bambu sembari Amin memberikan bala bantuannya kembali untuk menjinakkan jin itu.." kalimat Pakdhe belum selesei
Kini Tumi teriak, sangat kencang dan nyaring. Dan kemudian ia lemas dan pingsan. Berarti bahwa kang Amin berhasil meluluhkan jin itu untuk tunduk pada perintahnya. Aku pun bergegas kembali melepas kain kafan dan menggantikan pakaian Tumi.
Bapak dan kang Amin seperti orang yg kehilangan banyak energi, tubuhnya terhuyung dan kini ia berbaring untuk memastikan ia tidak pingsan. Aku membiarkannya istirahat.
Sudah beberapa jam berlalu, Tumi masih juga belum sadar. Saat adzan subuh berkumandang, aku merasakan tangan lain meraba tanganku.
"Kang..."
Suara Tumi. Aku yg tadinya terkantuk kini terhenyak, rasa bahagia tak terkira melihat Tumi kembali. Meskipun mbok dan ke 4 saudaraku masih dalam posisi yg sama. Pak Ramin selalu mengawasi mereka dengan membacakan mantra, memberikan beberapa olesan garam dan lain sebagainya.
Sama seperti katanya, bahwa yg bisa mengembalikan mbok dan yg lain, adalah salah satu dari bapak atau Pakdhe harus mati. Jadi kami hanya menunggu garis finish untuk dimenangkan oleh siapa.
"Nduk..gapapa? Mau minum? Makan bubur? Biar akang buatin" kataku
"Nggak. Kang Tumi takut" tangisnya
Aku pun memeluknya, begitupun bapak dan kang Amin kala itu terbangun mendengar tangis Tumi.
"Tumi tau gambaran alam barzah yg diceritain bu guru, Tumi sendirian. Tapi Tumi ditolong sama 3 anak kecil...
... Tumi gatau itu siapa, Tumi ditolong buat diajak pergi dari tempat itu, digandeng, diajak masuk ke rumah. Rumahnya putih bersih, disana ada mbok sama mbak Ipah, mbak Ni, mbak Mi sama kang Salim. 3 anak itu nggak bilang apa2...
... Tumi diajak lihat keluar jendela, disana ada banyak pocong warna hitam dililit ular warna kuning kang. Tumi digandeng sama anak2 itu, buat keluar rumah. Tumi ngajak mbok sama saudara lain, tp mereka gabisa keluar soalnya di kakinya ada rantai...
... Mbok bilang, Tumi bisa duluan, ikutin terus 3 anak itu, jangan noleh ke belakang, meskipun takut nglewatin pocong hitam itu dan setiap kali bersentuhan dengan mereka Tumi merasa panas, akhirnya Tumi bisa...
... Dan tiba2 anak itu balik lagi ke rumah putih itu kang, Tumi ditinggal sendirian sampai akhirnya Tumi udah nggak inget lagi. Kang, itu siapa 3 anak baik?" tanya Tumi
Aku hanya diam, aku tidak tahu harus menjawab apa karna memang aku tidak tahu jawabannya. Akupun melirik bapak. Bapak tersenyum.
"Itu kakak mu, kakakmu yg belum sempat lahir, belum sempat tumbuh kayak kamu, nduk"
"Bayi bajang" sela Pak Ramin
"Apa itu bayi bajang?" tanyaku
Pak Ramin kini memindahkan posisinya di dekatku setelah ia selesai mengurusi mbok dan yg lain
"Itu saudaramu. Jauh sebelum dirimu, mbok mu pernah hamil. Namun 3x keguguran, dan saat itu bapakmu percaya ulah Pakdhemu. Karena, istri Pakdhe mu sendiri bahkan sekarang sudah tidak bisa lagi memberikan keturunan, karena setiap ia hamil..
... janin itu akan diganggu oleh Pakdhemu sebagai salah satu syarat penyempurnaan ilmu hitamnya. Namun, bapakmu tidak tinggal diam. Sudah 3x mbokmu keguguran, ia kemudian bertapa untuk bagaimana caranya ilmu Lembu Sekilan bisa ia bagikan ke mbokmu, yg saat itu mengandung Ipah..
... Jadi, Ipah sebenarnya adalah kakak mu nomor 4, bukan yg pertama. Mereka yg pertama, kedua dan ketiga adalah mereka yg ada di 3 makam belakang rumahmu. Sampai akhirnya, usaha bapakmu tidak sia sia...
... Perlindungannya cukup kuat sampai akhirnya Ipah sampai dengan Tumi bisa tumbuh dengan sehat. Selayaknya bayi, meskipun mereka tidak bisa hidup di dunia, mereka juga hidup di alam lain. Bayi bajang, apabila orang tuanya memperlakukannya dengan baik..
... dalam artian mengirimkannya doa selalu, memberikannya perhatian dengan sering menyekar atau minimal membersihkan kuburannya sudah bisa dipastikan ia bisa menolong saat keluarganya terkena praktek ilmu hitam...
... Namun, jika bayi bajang diperlakukan buruk dan dibuang layaknya sampah tak guna, ia justru akan menjadi parasit bagi keluarganya, menempel sampai keluarganya itu menderita sakit gaib dan berujung meninggal...
... Itulah bayi bajang, bayi yg suci, bayi yg masih bisa dimanfaatkan dengan baik atau buruk, tergantung induknya" jelas Pak Ramin
"Saat ini, ke 3 kakak mu itu juga sedang berusaha menjaga mbok dan saudaramu dari pocong dan ular itu, sehingga tidak sampai seperti Tumi tadi, tidak sampai diambil jiwanya, hanya saja saat ini memang kutukan dari Pakdhemu masih ada di dalam diri mereka" imbuh bapak
"Lalu gimana dengan Pakdhe sekarang? Bukankah kang Amin sudah menundukkan jin bambu kuning itu? Bukankah jin itu adalah bos Pakdhe?" tanyaku
"Aku memang sudah menaklukkan rajanya, aku sudah memberikan tali padanya sehingga ia bisa bergerak sesuai dengan perintah. Tapi kini, Pakdhe mu bekerja sendiri. Tidak dengan bantuan para jin ini pun ia masih cukup kuat...
... Karena Pakdhe sudah menekuni ilmu ini dengan waktu yg cukup lama dan matang. Perjanjiannya dengan jin itu hanya sebagai bentuk tambahan bala tentara saja, beda dengan dukun yg mati itu, ia adalah budak, sedangkan Pakdhe adalah rekan kerjanya" jelas kang Amin
Aku mengerti kini, bahwa Pakdhe setidaknya sudah kehilangan separuh kekuatannya dengan ditaklukkannya jin itu ditangan kang Amin.
Tapi, presensi Pakdhe juga tetap harus diwaspadai, pasalnya aku bisa menebak bahwa Pakdhe setelah ini akan melancarkan serangan yg lebih tidak masuk akal lagi karena ia tengah murka. Sedangkan malam 1 suro tersisa 3 hari lagi, namun keadaan masih belum tau akan dimenangkan siapa
3 hari sebelum 1 suro datang, yg kata Bapak tepat memasuki malam itu bulan akan berpendar dengan sempurna, membentuk sebuah purnama tanpa celah.
Dan aku pun masih bertanya kenapa harus menunggu sampai malam 1 suro? Apa tidak bisa jika kita selesaikan lebih cepat saja agar semua keadaan bisa kembali normal?
Pertanyaan ku saat itu tidak terjawab. Aku pun tidak memikirkannya saat itu, karena pikiran sudah kalut hanya memikirkan nasib keluargaku saja. Namun di umur ku yg sekarang, setidaknya aku mengerti mengapa tragedi traumatis masa kecilku itu harus bertepatan dengan malam 1 suro.
Beberapa masyarakat di Jawa meyakini bahwa pada malam 1 suro, makhluk tak kasat mata yg telah lama berdiam dan energinya tidak terlalu solid, maka pada malam 1 suro mereka akan keluar tanpa terkecuali dengan energi yg solid dan sangat kuat.
Dipercaya juga, bahwa pada malam 1 suro, arwah dari tumbal praktek ilmu hitam, atau jiwa yg masih dibelenggu di suatu dimensi astral, akan mudah untuk melepaskan dirinya agar bisa keluar dari tempat dimana mereka di penjara.
Mitos lainnya juga mengatakan bahwasanya kebanyakan masyarakat Jawa juga percaya pada malam 1 suro, terdapat larangan tertentu yang hendaknya dipatuhi. Misalnya larangan tidak boleh bepergian jauh pada malam 1 suro.
Hal tersebut menjadi pantangan karena malam 1 suro adalah malam dimana makhluk tak kasat mata berkeliaran tanpa syarat, hal itu juga bertujuan untuk menghindari orang-orang awam dari godaan makhluk gaib yang dapat mencelakai mereka.
Namun, bagi penganut ilmu tertentu, seperti bapak, kang Amin dan Pakdhe, malam 1 suro menjadi malam dimana mereka akan mendapatkan kekuatan penuh apabila ia memanfaatkannya dengan tirakat atau bertapa tepat di bulan purnama.
Hal ini menguntungkan bagi mereka untuk "merekrut" para bantuan makhluk gaib untuk menjadi bagian dari dalam peperangan antar saudara ini.
Dan mudah juga bagi jiwa mbok dan kakak2 ku yg lain untuk bisa lepas dari rantai gaib yg Pakdhe berikan dan kemudian keluar dari belenggu dimensi astral yg Pakdhe gunakan saat itu.
Malam itu, kami merasa semua sudah sedikit membaik. Pakdhe setelah kejadian Tumi itu tidak terlihat seharian ini, padahal aku sering mengecek dari pintu belakang rumah.
Tapi bapak dan kang Amin tidak membuat celah sama sekali, aku sendiri bisa melihat kini berbagai bentuk makhluk halus ada di sekitar rumah kami.
Namun, bukan makhluk seperti pocong atau kuntilanak. Melainkan makhluk dengan bentuk yg aneh seperti kloning. Sebagian ada yg berkepala kuda bertubuh manusia, ada sosok full memakai jubah putih namun tingginya ada sekitar 3 meter, sosok manusia dengan kepala bercabang tiga,
sosok perempuan jawa memakai selendang dan pakaian serba hijau, sosok seperti kera namun perutnya besar seperi pewayangan bagong, sosok kerajaan dengan memakai pakaian perang dan yg paling aku takuti adalah sosok perempuan dengan tubuh ular bersisik emas.
Sosok itu melilit rumah kami, namun wajahnya sangatlah cantik. Saat aku mengetahuinya malam itu, aku buru2 menghampiri kang Amin untuk memberi tahukan semuanya. Aku mengira itu adalah kiriman Pakdhe yg akan menyerang kami. Namun jawaban kang Amin membuatku kaget.
"Bukan. Itu jin dibawah kendaliku. Mereka mulai malam ini masih dalam tahap berjaga, pada malam 1 suro nanti, saat malam purnama, mereka akan terbebaskan untuk saling menundukkan satu sama lain dengan penjaga yg Pakdhe punya...
... Jika kamu tahu, pocong hitam itu adalah makhluk yg sangat setia pada tuannya. Begitupun kekuatannya juga cukup besar. Mereka semua yg disini berniat untuk menundukkan para pengawal Pakdhe untuk menjadi anak buahnya" jelas kang Amin
Namun saat itu aku sangat terkagum. Jika kalian saat itu bersamaku, jika kalian bisa melihat, ada suatu perbedaan yg sangat kentara. Kalian bisa merasakan bahwa bala tentara kang Amin jauh lebih menyeramkan dan unik berkali2 lipat dibanding milik Pakdhe.
Aku semakin yakin bahwa kami bisa melalui semua ini dengan aman.
"Aku hanya bisa membantu bapak sebatas ini. Bapak berkali kali lebih hebat dariku, min. Coba kamu buktikan sendiri. Kamu keluar, dan kamu lempar batu ini ke arah luar" perintah kang Amin sambil memberiku sebuah batu
Tanpa banyak tanya, aku kembali membuka pintu, masih dengan pemandangan yg sama, para makhluk halus unik itu. Aku kemudian melemparkan batu ke arah luar. Luar biasa, batu itu hancur berkeping2.
Batu itu bahkan tidak bisa terlempar jauh, seperti ada dinding gaib yg mementalkan batu itu kembali dan menghancurkannya berkeping2. Aku kemudian berlari menemui kang Amin lagi dengan mata yg terkagum kagum.
"Kang! Batunya hancur, itu perisai bapak? Kok aku nggak lihat?" kataku
"Iya, tidak bisa, min. Kamu tidak bisa lihat bahkan aku saja tidak bisa. Hanya bapak yg bisa. Tapi masing2 dari kita, juga sebenarnya sudah diberikan oleh bapak namun tidak terlalu kuat...
... Perisai bapak itu bertujuan juga untuk menahan para jin dibawah kendaliku ini berbalik menyerang, karena sejinak apapun, mereka hanyalah makhluk rendahan yg tidak bisa dan tidak boleh kita percayai...
... Sehingga bapak berjaga2 jika suatu saat jin itu kembali berbalik untuk menyerang.." belum selesai kang Amin berbicara aku merasakan hawa menjadi sangat panas.
"Pak?" tanya kang Amin ke bapak
"Banaspati, Pakdhe mu mengirimnya. Jangan keluar. Diam saja disini" perintah bapak
Aku langsung lari mencari Tumi, dimana dia. Aku melihat di kamar, ia tidak ada. Aku cemas kala itu, dan berlari ke bapak.
"Bapak, Tumi nggak ada di kamar"
Belum sempat bapak menjawab, kami mendengar suara teriakan Tumi dari dapur belakang. Kami berlari menemui Tumi malam itu.
Benar. Tumi ada disana. Dengan posisi ia menangis mengatakan bahwa tubuhnya merasa panas. Diikuti dengan asap yg keluar dari tubuh kecilnya. Sampai2 ia menggebyurkan air ke seluruh badannya.
"Bapak panas.." katanya sambil terus menangis.
Kemudian bapak kembali merapalkan mantra. Dan memungut sejumput tanah di dapur kemudian melemparkannya ke tubuh Tumi. Aneh, sangat aneh. Tanah yg mengenai tubuh Tumi itu mengeluarkan api. Terus bapak melemparinya dengan tanah yg sudah ia mantrai.
Saat itu Pak Ramin sudah pulang karena ia sudah berhari2 membantu kami dirumah. Tinggal lah kami sekeluarga malam itu.
Kembali pada Tumi, aku merasa sangat tercabik hati ku melihat kondisinya. Sampai2 aku mau mendakatinya dan memeluk nya untuk menenangkan.
Namun, lagi2 kang Amin mencegahku dengan alasan yg sama saat Pak Ramin mencegahku. Saat ini, Tumi masih terkena dampak santet karena kukunya masih dibawa oleh Pakdhe. Aku tidak boleh mendekatinya jika tidak ingin dampaknya mengenai ku juga.
Sampai pada akhirnya, bapak berhasil menghalau santet itu kembali.
Namun, setelah Tumi pingsan, kini ganti bara api itu membakar tanah yg ada di belakang rumah. Dan akhirnya dengan bantuan kang Amin, api itu bisa padam.
Aku sudah berusaha memadamkannya dengan menggebyurkan air tapi sama saja api tidak bisa padam. Karena memang itu bukanlah api biasa. Saat api itu padam, padamnya bukan yg tiba2 hilang. Melainkan kobaran api itu berubah bentuk menjadi kepala manusia yg dikitari api.
Kepala itu menunjukkan ekspresi marah dan kemudian terbang kembali menuju rumah Pakdhe.
"Pakdhe mu memang benar2 sudah buta hati. Ia tahu kita memberikan perlindungan yg lebih, oleh karenanya ia memanfaatkan Tumi untuk membakar tubuh Tumi dan kemudia membakar habis kita semua"
Kata2 bapak barusan terdengar sangat emosional, ada rasa sedih marah dan kecewa yg bergabung menjadi 1. Tapi aku bersyukur hingga pada akhirnya usaha bapak dan kang Amin tidaklah sia sia.
Kami menggotong Tumi yg pingsan saat itu, hingga kemudian ia demam. Bapak kembali memantrai Tumi, aku kira perlindungan yg diberikan ke Tumi akan lebih baik daripada yg diberikan padaku.
Terbukti saat itu, saat kang Amin mengelus dahi Tumi, aku bisa melihat dari kepala Tumi keluar segumpulan asap putih. Kemudian asap itu berubah menjadi sosok bersorban putih dengan tinggi 3 meter yg aku lihat di halaman belakang.
Ternyata, kang Amin menyuruhnya untuk menjadi pengawal Tumi, bahkan sampai sekarang, diumur Tumi yg ke 49 pun sosok itu masih menjaganya atas perintah dari kang Amin. Aku sedikit lega.
Malam itu kami lalui dengan suara gagak yg terus terusan berputar dirumah. Gagak itu sudah beberapa hari ini selalu berputar, kadang diatas rumah Pakdhe, kadang diatas rumah kami. Kita tunggu saja dimana ia akan bertengger pada malam 1 Suro nanti.
Karena mitosnya suara gagak di malam hari itu adalah pertanda kematian atau sakit keras. Dimana ia bertengger, itulah rumah orang yg akan diberikan ujian berupata kematian atai sakit. Wallahualam.
Sampai akhirnya esok hari menjelang. Aku memang sengaja tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Mungkin nanti, jika semua sudah selesei, bapak akan dipanggil ke sekolah ku untuk diberikan peringatan. Aku hanya bisa berharap moment itu terwujud.
Yang berarti bahwa, bapak masih bertahan. Bapak yg memenangkan peperangan ini dan memarahiku kembali seperti sedia kala, menghadiri undangan di sekolah ku dengan Tumi sembari menaiki sepeda motor bututnya.
Kurang 2 hari malam itu datang. Perasaan ku tidak karuan. Aku memiliki insting bahwa malam itu juga akan aku lewati dengan beberapa kejadian aneh. Benar saja.
Singkat cerita, jam menunjukkan pukul 11 malam. Saat itu, kami tidak merasakan ada sesuatu yg aneh.
Kami kemudian beristirahat tapi masih dalam keadaan siaga. Kami tidur bersama di sebelah mbok dan saudara ku yg masih terbujur kaku itu.
Tiba, kami mendengar mbak Ipah mengerang.
"Hkkhh..hkkhh" seperti orang sesak nafas.
Kami langsung bangun dan menghampirinya.
Mulutnya yg menganga itu kini dipenuhi dengan makhluk2 menjijikkan. Kelabang, kalajengking, ulat keluar dari mulutnya. Begitupun mbok dan saudara kami yg lain. Setelah mbak Ipah, mereka juga.
Masih dengan posisi kaku seperti bambu, juga masih dengan mata membelalak putih dan perut yg menggembung. Aku tidak bisa menahan mualku, dan kemudian muntah saat melihatnya. Tumi berteriak ketakutan saat itu. Aku benar2 tidak bisa mendekat karena sangat menjijikkan.
Sampai akhirnya bapak kembali merapal mantra bersama kang Amin. Dari kejauhan aku melihat, kelabang dan hewan lain yg mulai keluar itu kian semakin besar.
Namun setelah beberapa saat, hewan yg sudah jatuh dari mulut mbok dan saudara ku lenyap seketika, dan yg belum sempat keluar kembali ke dalam mulut mereka. Mualku semakin menjadi jadi saat melihat para hewan itu kembali ke mulut mereka.
"Pak kenapa...kenapa dengan hewan itu.."
"Itulah santet. Berhubungan dengan hewan2 menjijikkan. Jalan Pakdhemu saat ini bisa menyentuh kita hanya melalui Tumi dan mbok serta saudara2 mu ini. Dia tidak bisa menyerang langsung karena rumah ini sudah ada penjaga...
... Namun, meskipun kini Tumi sudah ada penjaga, dia tidak sepenuhnya aman. Bagian tubuhnya masih diepegang Pakdhemu. Jika sewaktu waktu ia gagal melancarkan santer ini pada seluruh anggota keluarga, ia masih punya Tumi untuk menjadi satu2nya korbannya...
... Untuk mbok dan saudara, Pakdhe masih memiliki kendali 50%, karena jiwa mereka ada di genggamannya, namun separuhnya lagi, 3 saudara bajangmu lah yg mengamankan mbok dan saudaramu dengan masuk ke rumah putih itu meskipun masih dalam posisi kaki terantai" jelas bapak
Aku semakin tidak sabar untuk menantikan malam 1 suro. Besok malam, besok malam akan terjawab siapa yg akan menyentuh garis finish.
Untuk kalian yg menanyakan Win, setelah kejadian itu ia dibawa oleh Pak Ramin. Karna kami sudah memastikan cara kerja santet kali ini berbeda. Bukan acak, melainkan berurutan. Win tidak akan terkena dampak apabila semua anak anak bapak masih hidup dan bisa bertahan.
Win hanyalah sebuah pengecoh yg disetting oleh Pakdhe sama persis skenarionya dengan proses santet pring sedapur pada umumnya. Sehingga, justru keberadaan Win dirumah tidaklah aman. Setelah memastikan Win terlindungi, ia dibawa oleh Pak Ramin untuk tinggal sementara dirumahnya.
Pagi kini menjelang, menandakan akhri dari Bulan Besar dalam hitungan kalender Jawa. Hari ke-29, dan besoknya adalah awal bulan baru, yaitu 1 Suro. Setelah kejadian semalam, aku tidak bisa tidur. Memikirkan bagaimana nanti malam akan berlangsung. Malam 1 Suro.
"Kang, tidak apa2 kan? Pasti kita bisa kan?" tanyaku
"Inshaallah, hidup mati kita pasrahkan pada Allah SWT. Kita hanya bisa berusaha untuk yg terbaik" jawab kang Amin.
Tapi bapak, sudah berhari2 ia bertapa, tidak makan minum. Tubuh tuanya kini terlihat semakin lemah.
Sore menjelang, adzan maghrib berkumandang. Kami tidak ke surau, bukan, semua warga tidak ada yg berani ke surau yg berjarak hanya 6 meter dari rumahku. Karena ya itu, mereka takut akan kejadian yg menimpa keluargaku.
Bahkan Pak Ramin lah beberapa hari ini yg mengumandangkan adzan karena yg lain tidak ada yg berani.
Samar2 dari balik jendela aku selalu melihat ke langit, bagaimana bulan hari ini. Apakah benar akan purnama tepat di puncak malam?
Aku menunggu dengan Tumi, sesekali mengecek keadan mendung sore itu. Sehingga bulan hanya tampak separuh.
"Tum, kalau terjadi apa2 sama keluarga kita, misal, akang atau yg lain nggak selamat, kamu bisa kan jaga diri baik2?..
... Kemarin malam akang nggak bisa tidur, akang udah nulis di buku belajar kamu, resep2 masakan mbok. Akang juga udah nulis biasanya dimana akang nyimpan stok sabun odol dll...
Akang juga udah beresin lemari kamu, kalau mau ambil baju jangan mulai dari bawah ya, nanti bisa berantakan lagi..." aku bahkan tidak bisa melanjutkan kata2ku. Airmataku bercucuran begitupun Tumi.
"Tum, maafin mbok ya yg setiap hari selalu ngomelin kamu. Maafin bapak yg setiap kamu ajak ke lombamu nggak bisa dateng karna harus cari uang. Maafin kakang dan mbakyu mu semuanya kalau nggak bisa nepatin janji buat main terus sama kamu, buat terus jagain kamu" kataku terisak
Tumi hanya diam, menangis, dan menggeleng2ka kepalanya. Sampai akhirnya bapak merangkul kami dari belakang.
"Bukan seharusnya kamu yg minta maaf le. Maaf kalau bapak selama ini nggak jujur sama kalian. Bapak berusaha baik2 saja agar kalian tidak khawatir...
... Kalian aman, kalian bisa terus melanjutkan cerita kalian, lukis kisah yg baik dengan berbagai warna. Jangan berhenti untuk terus berbuat baik, meskipun kalian bukan orang baik. Tetap menjadi orang yg bermanfaat dimanapun kalian berada ya le, nduk" kata bapak
Aku terkejut. Hatiku sangat hancur. Aku masih tidak mengerti apa maksud bapak. Namun aku bisa merasakan, kalimat bapak itu mengandung sebuah kalimat perpisahan. Seakan akan itulah kalimat terakhir yg bisa bapak sampaikan.
"Bapak.. ada apa?" tanyaku terud memeluknya
"Nggak papa" jawabnya. Lembut seperti bapak yg ku kenal. Namun peluk bapak malam itu sangatlah erat. Kemudian ia melepaskannya untuk kemudian beralih ke mbok, bapak mencium dahi mbok dan saudaraku lainnya.
Aku kemudian melihat ke arah kang Amin. Ia juga bercucuran air mata, seakan ia tahu apa maksud bapak.
"Kang, ada apa?" tanyaku memaksa
Tanpa jawaban dan kemudian ia berlalu kembali untuk bertapa bersama bapak.
Bulan sebentar lagi sudah menunjukkan bentuk yg kian sempurna. Jam juga sudah menunjukkan pukul 10 malam. Suara gagak juga masih terdengar mengitari rumah kami berdua.
Aku mengecek ke pintu belakang, melihat bagaimana Pakdhe saat itu. Barisan pocong itu kini membungkuk menghadap rumah Pakdhe, dan Pakdhe ada disana dengan melihat ke rumah kami.
Seketika terdengar ledakan yg begitu keras dari dalam rumah, aku sempat menoleh ke dalam rumah. Hingga pada saat aku melihat kembali ke luar, pocong itu kini berbaris di sekitar rumah kami, masih tidak bisa melewati perisai bapak. Aku kemudian berlari setelah mendengar suara Tumi
"Kaangg bapak kangg" teriaknya
Aku sempat melihat bulan saat itu sudah sempurna utuh purnama.
Aku kemudian berlari ke dalam rumah, melihat bapak dengan posisi duduk, memejamkam mata, namun darah keluar deras dari mulutnya membasahi bajunya.
Sampai terbatuk batuk. Dan yg paling membuat ku ngeri adalah, jari bapak kini hancur sebagian. Jari tangan kirinya, hancur seperti terkena ledakan, kukunya pun hilang.
"Pak sudah, cukup biar aku saja" Kang Amin lantas membantu kian ekstra
Saat kang Amin menggantikannya, bapak sudah tidak sadarkan diri. Tapi ia masih bernafas. Aku segera mengampil kain untuk menghentikan pendarahannya sebisa mungkin. Raut wajah kang Amin terlihat sangat kesulitan saat ia bertapa. Dan kemudian lagi terdengar ledakan.
Kali ini arahnya dari luar, aku meninggalkan Tumi, berpesan padanya untuk terus menekan pendarahan bapak. Aku mengecek kembali dari balik pintu belakang.
Kini, semua makhluk yg tadi menjaga rumahku, kini beralih ada di rumah Pakdhe.
Ledakan tidak sekali dua kali, tapi berkali kali terdengar dari dalam rumah Pakdhe. Sampai suara Pakdhe pun terdengar.
"Setaaaann koe setaaann!!" dengan teriakan yg kian terdengar seperti orang kesakitan.
Setelah memastikan kini serangan berbalik arah, aku kembali lagi ke dalam rumah. Dan kini kudapati mbok dan ke 4 saudaraku terbangun dengan mata normal, tapi masih seperti orang yg sesak nafas. Tubuhnya sedikit demi sedikit telah lemas. Dan sampai akhirnya, mereka kembali sadar.
Terbatuk2, dan langsung menemui bapak. Tangisan kian pecah.
Aku kembali melihat situasi yg terjadi diluar, teriakan istri Pakdhe juga sangat nyaring terdengar. Sampai pada akhirnya, semua makhluk aneh itu kini lenyap.
Pocong hitam juga lenyap. Dan malam itu, baik bapak maupun Pakdhe tidak sadarkan diri. Masih belum ada yg menang ataupun kalah. Aku langsung menuju menemui kang Amin untuk meminta penjelasan apa yg terjadi
Namun kang Amin meresponnya dengan air mata dan buru mengecek bapak.
"Alhamdulillah" kata Kang Amin
"Kenapa kang bapak kenapa" tanyaku terisak
"Bapak bagi tugas denganku. Dan bapak mengambil bagian yg paling bersiko. Bapak berniat melenyapkan kuku Tumi dari tangan Pakdhe. Agar Tumi aman. Jiwa bapak sendiri yg kesana, bukan perantara orang lain atau makhluk lain...
... Dan itu sangat beresiko karena bapak secara tidak langsung berhadapan secara langsung dengan khodam Pakdhe. Setauku, pilihannya hanya ada 2. Bapak akan mati dengan menukar jantungnya dengan barang milik Pakdhe (kuku Tumi) secara suka rela..
.. atau bapak bisa melawan penjaga Pakdhe meskipun bapak harus terluka alias melindungi diri sendiri, dan itu juga beresiko bapak seperti sekarang. Aku masih bersyukur, bapak tidak apa2. Meskipum jarinya hancur...
... Dan tugasku, saat penjaga Pakdhe melawan bapak, aku harus mengambil alih untuk menyerang dengan mengendalikan jin itu, sampai akhirnya, jin itu berhasil mengambil penjaga Pakdhe yg merupakan sudah menjadi bagian dari dirinya...
... bisa dibilang, Pakdhe saat ini tidak sepenuhnya hidup, tapi juga tidak mati. Termasuk pocong2 itu kini sudah tidak ada. Bapak dan Pakdhe sama kuatnya" jelas kang Amin
Aku setidaknya lega. Setidaknya santet ini sudah hilang. Hingga akhirnya kami semua saat ini merawat bapak yg 3 hari tidak sadarkan diri. Kami mendatangkan mantri dari luar desa untuk mengobati tangan bapak. Begitupun suami mbak Ipah kini ia kabari untuk datang ke rumah.
Setelah semua aman, kami berkumpul.
Setelah beberapa hari bapak tidak sadarkan diri, kini ia sadar. Ia baik2 saja, namun dengan kondisi tangan yg maaf sudah cacat. Sampai akhirnya kami semua lega melihat bagaimana kondisi bapak saat itu, kondisi kami semua juga semakin membaik.
Baru saja sadar bapak langsung bertanya ke Kang Amin
"Bagaimana pakdhemu?" tanya bapak
"Pakdhe masih ada pak, tapi sudah kehilangan semua pengikut termasuk penjaganya. Jadi pakdhe mungkin sekarang juga sedang meregang nyawa. Aku belum melihatnya" jelas kang Amin
"Kang ngapain ke rumah Pakdhe sih" cecar Tumi
"Bagaimanapun juga dia keluarga kita, Tum" bantah kang Amin
Ada raut wajah lega bapak pagi itu. Tapi aku lupa memberitahu sesuatu bahwa aku melihat burung gagak di malam 1 Suro itu bertengger diatas rumah Pakdhe.
Namun, karena kondisi saat itu sudah kembali membaik, aku tidak mengatakannya pada siapapun. Aku hanya diam dan memendamnya sendiri sampai sekarang. Karena dapat kulihat dengan jelas pada manik mata bapak, begitu sayangnya ia pada kakak yg sudah menjahatinya itu.
Maka dari itulah, bagaimanapun dendamnya pada Pakdhe, ia pasti juga akan sangat terpukul apabila Pakdhe harus pergi seperti mbokdhe Irah.
"Mbok, ditolong anak kita?" tiba2 bapak memecah keheningan dengan bertanya pada mbok
"Iya pak, mereka tumbuh dengan baik. Menjadi anak yg baik disana. Mereka menjaga kita semua yg tadinya ada di sebuah tempat gelap, mereka tuntun kami buat masuk ke rumah mereka. Sesekali mereka berusaha melepas rantai kami, tapi tidak bisa...
... Sampai akhirnya entah bagaimana aku melihat mereka tumbuh begitu cepat hanya dalam waktu sepersekian detik. Tepat malam itu, mereka membantu kami melepaskan rantai sampai akhirnya kami bisa keluar. Sempat mereka berkata mbok.. padaku" air mata mbok menetes.
Mau bagaimanapun bentuknya, 3 makhluk itu adalah anaknya. Anak yg ia harap2 kan namun karena ulah manusia jahat ia harus merekalan kehidupannya di dunia.
Kami juga ikut menangis. Semua menangis tanpa terkecuali.
Sampai akhirnya bapak mengajak kami untuk menyekar ke 3 makam belakang rumah.
Kami pun bergegas kesana, membelakangi rumah Pakdhe.
Kami mendoakan 3 saudara kami yg telah berjuang bersama kami dalam beberapa hari yg sulit itu, hari2 dimana hidup atau mati kami diubahnya dari tanda tanya menjadi tanda titik.
Namun tiba2, kami dikagetkan dengan suara istri Pakdhe.
"Paak jangan pak sadar pak.." suara mbokdhe Asmi, istri pakdhe.
Dan saat kami menoleh, posisi Pakdhe saat ini ada di belakang bapak, sambil membawa pisau ia menghunuskan pisau itu pada bapak. Sekiranya ia masih tidak terima. Sekiranya ia masih menyimpan dendam.
Dan jleb...
Pisau itu tidak menembus bapak, tapi justru berbalik menusuk dada Pakdhe tepat di sebelah kiri, dimana jantung manusia berada. Bukan bapak yg membunuh, tapi ilmu bapaklah yg melindunginya. Penjaga bapaklah yg tidak terima jika "miliknya" terluka.
Seketika itu kami kaget, Pakdhe dengan sisa tenaganya masih menahan luka tusukan pisaunya sendiri. Bapak tahu, kakaknya sudah tidak bisa diselamatkan, mau dibawa ke rumah sakit pun pasti akan meninggal di perjalanan, karena Pakdhe tertusuk tepat di jantung.
Selayaknya umat Islam, di penghujung nafas kita wajib untuk mengucapkan syahadat, jika memang nafas sudah tercekat, ucap takbir, jika masih memang tidak bisa, ucap nama Tuhanmu. ALLAH.
Saat itu, bapak lah yg menuntun Pakdhe. Untuk mengantarkan hembusan nafas terakhir Pakdhe dengan khusnul khatimah terlepas dari apa yg ia lakukan semasa hidup.
"Kang..Allah...Allah...Allah.." masih dengan suara tangis bapak menuntun Pakdhe yg nafasnya kian berat.
"Ayo kang, ingat Allah kang.. ayo kang..Allah.." pinta bapak lagi
Namun, yg terucap dari mulut Pakdhe adalah
"Lemah...getih..." dengan nafas sudah ada di ujung
Pakdhe pun meninggal dunia saat itu. Dalam keadaan belum bertaubat. Dalam keadaan masih menyimpan iri dan dengki. Dan dalam keadaan tidak menyebut nama Tuhannya. Astagfirullah hal adzim.
Tangis kami pecah. Kami harus kehilangan satu lagi anggota keluarga kami. Ditambah saat itu para warga sama sekali tidak mau mendekati keluarga kami untuk sementara waktu.
Kami pun akhirnya mengurus pemakaman Pakdhe. Bapak dan saudaraku laki2 memandikannya, mengkafaninya, menyolatkannya. Itulah cara kami menyempurnakan kematiannya. Meskipun dalam dirinya sendiri ia menolak untuk menyebut nama sang pencipta.
Sulit bagiku untuk mengatakan ini, saat aku turut memandikan jasad Pakdhe, aku melihat asap keluar dari tubuhnya. Dan menurutku itu adalah sisa2 ilmu hitamnya yg keluar dari raga yg sudah tak bisa mereka jadikan inang itu.
Saat asap itu keluar, tubuh Pakdhe semakin kurus dan tinggal tulang dan kulitnya saja. Namun, perutnya kini membesar. Seperti busung lapar. Persis dengan kondisi mbok dan saudaraku yg terkena ilmu santet pakdhe. Pring sedapur.
Dan aku rasa ilmu itu justru kini berbalik padanya, di akhir hayatnya.
Kami pun mengantarkan Pakdhe ke pemakaman, dibantu dengan Pak Ramin dan beberapa teman bapak yg bisa dibilang "berisi" juga. Sehingga mereka tidak menakutkan apa yg warga takutkan.
Singkat cerita, pemakaman telah usai. Kami telah melakukan tugas kami sebagai keluarga Pakdhe untuk terakhir kalinya. Karena Pakdhe tidak memiliki keturunan, sehingga ia meninggalkan istrinya kini sebatang kara.
Karena setiap istrinya hamil, Pakdhe akan menggunakan janin itu sebagai persembahan untuk ilmu hitamnya. Dan mbokdhe Asmi tak berani jika harus melawannya.
"Mbak, sementara mau tinggal dengan kami?" tanya bapak duduk disamping kakak iparnya itu.
"Nggak, le. Aku nggak pantes nerima ini semua dari kamu sama anak cucumu.." mbokdhe terisam, tangisnya semakin pilu.
Aku mendengar percakapan keduanya siang itu dari balik pintu.
"Maafin kakangmu ya le.. maafin semua kesalahan kakangmu yg sudah membuat keluargamu menderita.. mau bagaimanapun kakangmu pernah menyayangimu seperti anaknya sendiri.." katanya masih terisak
"Apa mbak? Apa yg menyebabkan kang Diran jadi pribadi yg gelap hati seperti ini?" tanya bapak masih sulit baginya untuk mengontrol emosi agar terlihat tegar. Air matanya terus menetes mengingat harus kehilangan 2 kakak kandungnya hampir dalam waktu yg bedekatan.
"Dulu, sepeninggal bapakmu, kakangmu mengalami masa2 sulit. Harus menghidupi kamu dan Irah yg masih kecil. Ia harus bekerja banting tulang di tanah asing. Madiun...
... Tanah yg belum pernah ia jajaki setelah ia pindah dengan mu, Irah, dan bapakmu dari Banyuwangi. Dan semua tanah di Madiun ini adalah tanah peninggalan dari Ibumu sebelum ia ikut ke Banyuwangi, menetap disana, dan meninggal disana...
... Setelah Ibumu meninggal, bapakmu membawa kalian kesini, untuk tinggak di tanah milik Ibumu. Sampai akhirnya tidak ada seminggu bapakmu meninggal dalam keadaan disantet oleh dukun yg pernah mati di rumpun bambu itu. Kakangmu dendam, akhirnya ia mempelajari ilmu hitam ini...
... Dan kematian dukun itu, juga merupakan salah satu ulah dari kakangmu yg membalaskan dendam. Ia bahkan sampai rela mengorbankan janin yg ada di perut istirnya, anak kandungnya sendiri agar ilmunya semakin sempurna...
... Semakin tinggi ilmu ilmu hitam, juga akan semakin merubah pribadi seseorang, yg tadinya orang itu baik pasti lama kelamaan akan luntur karena tuntutan ilmu itu yg selalu merasa kurang karena bisikan iblis...
... Sampai akhirnya ia merasa bahwa ia harus menguasi seluruh tanah peninggalan ibumu. Dan mudah baginya untuk menyingkirkan Irah, tapi sulit baginya untuk menyingkirkanmu. Karena ia tahu, saat masa kecilmu, kamu sudah sering tirakat di Banyuwangi sana...
... Makanya ia melakukan tipu muslihat dengan menggunakan pring sedapur ini. Aku sudah berusaha menghentikannya, namun lagi2 aku tidak berani jika harus melawan kakangmu. Ia juga kesusahan saat menghadapimu, apalagi Amin...
... Ia pernah berkata bahwa mudah baginya melenyapkanmu tapi karena ada presensi Amin, ia susah menghadapinya. Oleh karena itulah jika kamu sadar, Pakdhemu tidak pernah berani sekali pun menyentuh Amin" jelas mbokdhe Asmi kala itu
Memang benar. Jika kalian menilik kembali cerita ini dari awal, adakah kalian menemukan bahwa Pakdhe berani menyakiti atau menyentuh kang Amin secara langsung?
Tidak. Mungkin yg bersentuhan dengan kang Amin adalah jin yg ditaklukkan olehnya melawan penjaga pakdhe. Bukan pakdhe sendiri yg menyentuhnya.
"Kang Diran dulu bukan orang seperti ini mbak. Baik saat kami masih di Banyuwangi atau sudah ada disini. Dia sosok yg sangat baik, penyayang, bahkan sosok pengganti bapak terbaik yg kami miliki...
... Sepeninggal bapak memang kita hidup sulit. Kang Diran harus membanting tulang menghidupi kami. Namun, aku memang merasa kang Diran mulai berubah setelah setiap malam ia selalu bertapa di rumpun bambu itu. Aku menyadari bahwa dirinya "mengisi" tubuhnya...
... Tapi aku tidak mengira jika itu akan berwujud hitam hingga sampai ia mengabdikan diri pada ilmu bejat seperti ini. Mulai saat itu ia menjadi pribadi yg temperamen, tidak lagi memperhatikan kami...
... Sehingga mbak Irah dan aku harus putus sekolah untuk kami mencari makan sendiri. Karena kang Diran sudah mulai hanya fokus pada dirinya dan mengabaikan kami" jelas bapak. Agaknya ia sudah bisa mengontrol emosinya, terlihat dari nada bicaranya yg semakin tegar.
Hari itu, adalah hari dimana kami harus kehilangan dan menemukan kembali apa yg hilang. Kami kehilangan Pakdhe, tapi kami kembali menemukan mbokdhe Asmi sebagai satu kesatuan keluarga. Mulai hari itu, kami masih sering mengunjungi mbokdhe.
Hanya sekedar menemaninya berjualan gorengan dengan jarik gendongannya, atau bahkan menemaninya bercakap di kala malam tiba.
Kami secara bergantian menemaninya. Tidak seharipun kami membiarkannya sendiri. Bahkan sampai akhir hayatnya, 2 tahun setelah kepergian Pakdhe, mbokdhe menghembuskan nafas terakhirnya karena penyakit tumor di rahimnya.
Kami menemaninya, memegang tangannya, menuntunnya menuju khusnul khatimahnya.
Sampai akhirnya ia berkata
"Terimakasih telah kembali menerima..."

- end
Sore itu aku baru mengetahui asal usul keluargaku. Bahwa buyutku, ayah kakek adalah orang Banyuwangi. Tidak heran jika memang darah Banyuwangi juga mengalir dalam tubuhku.
Bahkan di usia ku ke 22 tahun, aku masih menjadi Galuh kecil kakek dengan sensitivitas yg tinggi akan kehadiran makhluk halus. Bahkan kata pakpuh Amin, penjaga yg diwariskan kakek padaku masih menjaga ku sampai sekarang. Bahkan, kakek menjagaku dari surga.
Jika kalian membaca thread keduaku, aku mengatakan bahwa kakek meninggal di 2005. Nenek meninggal 6 bulan setelahnya. Saat itu kakek memang sakit keras, dan di saat terakhirnya ia bilang padaku bahwa
"Galuh akan aman dimanapun Galuh berada, kakek selalu ada di sampingmu"
Aku tidak menyangka bahwa itu malam terakhirku bersama kakek, bahwa saat itu kakek bisa lepas dan meninggal dalam keadaan tenang setelah beberapa hari melepas penjaganya untuk diwariskan padaku.
Memang aku sempat sakit seakan tidak kuat tubuh kecilku menerima itu. Dan karena penjaga kakek adalah bagian dari dirinya, sudah menyatu bertahun tahun, kemudian ia lepas, tentu kakek akan merasa berbeda. Yg tadinya kuat menjadi lemah. Yg tadinya sehat menjadi sakit.
Itulah kata pakpuh Amin padaku. Dan aku tidak boleh menyesalinya, karena ini bukan salahku. Melainkan ini adalah bentuk kasih sayang kakek padaku.
Sore itu, aku becerita dengan bapak tentang itu. Mengingat kembali kenangan masa kecil ku.
"Iya kah kamu baru tau sekarang bahwa kakek dari Banyuwangi?" tanya Bapak
"Iyaaa kan bapak ngga cerita" tanyaku sembari mengupas kuaci
"Bukankah dulu kamu pernah diajak ke Banyuwangi pas kakek meninggal ya? Yg kamu gamau turun gara2 tau kita lewat alas Purwo" ingat bapak
"Ohiya, itu kita rombongan memang mau kemana pak? Soalnya aku nggak turun waktu itu" tanyaku
"Waktu itu, pakpuh Amin mau mau mengembalikan suatu barang milik kakekmu setelah beliau wafat, harus dikembalikan ke tempatnya dan itu ada di daerah yg memang dekat dengan alas Purwo" jelas bapak
"Ke makam buyut?" tanyaku
"Bapak sendiri juga nggak tahu. Kami semua dilarang masuk oleh pakpuhmu, hanya dia sendiri. Katanya bahaya" jelas bapak
Percakapan ini telah membuatku kembali menyadari silsilah leluhurku. Berkat para pembaca, yg menuntun ku untuk menggali lebih dalam, terimakasih karena telah menemaniku menemukan garis keturunan ini.
Sore ini, aku masih mengganggu bapak, untuk menanyakan sesuatu yg sepertinya belum sempat ia katakan. Pertanyaanku, kenapa saat kakek melawan pakdhe secara terang2 an ia bisa terluka? Bukankah ia punya ilmu yg kebal akan serangan?
Bukan bapak yg memberikan jawaban, namun aku meraih handphone ku dan menelfon pakpuh Amin sore ini untuk menanyakan jawabannya. Beliau menjawab
"Satu hal yg harus kamu tahu, setan, iblis atau jin itu adalah makhluk yg lebih rendah dari kita namun ia memiliki sifat picik. Jika kamu mau menaklukkannya, jadilah dia. Ada pepatah mengatakan bahwa jika kamu mau menang, jadilah kawan musuhmu, bukan lawannya. Pakai cara mereka..
... Oleh karena itu, pakpuh saat itu mencari cara untuk bagaimana pertempuran ini berlangsung cepat karena tidak baik juga jika membiarkan nenekmu dan yg lain saat itu berlama2 terbelenggu di dimensi lain, bisa jadi jiwanya tidak kembali jika lebih dari 14 hari...
... Karena jika menunggu purnama, itu akan memakan waktu yg cukup lama. Sehingga pakpuh mengakali dengan menciptakan 2 bayangan bulan. Orang2 yg memiliki ilmu, atau terkena ilmu hitam, atau orang istimewa sepertimu dan bapakmu akan melihat saat itu bulan purnama...
... Begitupun para makhluk astral. Dan orang2 awam atau yg tidak berhubungan akan melihatnya seperti bulan pada umumnya. Bapakmu cerita kan kalau malam itu berkabut mendung?..
... Ya itulah batas antara yg asli dan yg palsu. Dengan diciptakannya ilusi itu, akan mengecoh para jin, baik pengikut ku atau pengikut Pakdhe untuk merasa bahwa energinya saat itu penuh. Padahal tidak. Dan nyatanya, kami menang...
... Karena memang dari awal pakpuh dan kakek sudah merancang ini berdua. Samin pun tidak tahu. Dan karena inilah, kakekmu selamat waktu itu, tidak terluka terlalu parah. Karena sesakti apapun ilmu harus memiliki strategi, nduk" kata beliau
Dan aku semakin tercengang sore ini. Pakpuh memang pantas mendapatkan semua keistimewaan dan keberkahan ini. Selain karena pribadi yg baik, dia juga sosok yg cerdas.
Karena penasaran, aku menceritakan ini pada bapak. Bapak kemudian memanggil Gino, teman sebayanya yg katanya saat itu tahu mengenai tragedi malam 1 Suro. Bapak melihatnya lewat rumah ketika ia mengintip di balik pintu.
"Aku waktu itu lagi main sama yg lain di balai desa. Aku kaget kok lihat ada gagak. Ada ledakan juga. Terus aku inget ah iya 1 Suro, biasa lah setan2 pada keluar, tapi kok ini kayaknya ekstrem, apa ngrangkam malam purnama juga? Ternyata tidak...
... Bulan saat itu terlihat tipis. Berbentuk sabit. Yasudah karena aku takut, pada saat itu memang ada rumor kalau keluargamu terkena santet kan. Aku kemudian pulang".
"Bukan rumor, memang santet pring sedapur ini benar adanya, kami adalah saksi hidupnya..." jelas bapak
Kisah ini telah selesai dituturkan. Dengan segala bentuk kekurangan, kami mohon untuk diwajarkan. Cerita ini tidak dibuat untuk memenuhi ekspektasi pembaca, cerita ini berjalan sesuai apa adanya. Kami juga tidak menuntut untuk dipercayai, tapi paling tidak ayo saling menghargai.
Pelajaran yg bisa sama2 kita petik adalah, jangan sekali kali bersekutu dengan makhluk yg lebih rendah dari kita. Sebaik apapun kita, jika kita bersekutu maka mereka akan merubah level kita serendah sama dengan mereka.
Yang kedua, harta yg paling berharga adalah keluarga. Bukan tanah atau uang yg hanya sementara. Hembusan nafas pertama menyapa dunia, sampai menghembusan nafas terakhir kita sebelum meninggalkan dunia, kita selalu butuh keluarga. Merekalah yg selalu ada. Jagalah selama masih ada.
Sekian cerita kali ini. Terimakasih telah menemani kisah masa kecil bapak. Sampai bertemu pada cerita selanjutnya💜💜

⏰ Papan Jiwo Alas Mantingan : coming soon
Ohiya lupa, yg paling epic tuh, rajanya kerajaam bambu kuning itu tunduk ke pakpuh Amin. Aku saksinya, pas pakpuh ke Madiun beliau selalu ke bambu itu, dan aneh tapi nyata, seakan akan bambu itu tu nyambut, kayak ada alunan angklung gt tp vibesnya bikin tenang bukan yg serem

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with meme

meme Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @mememayang

Aug 1, 2022
- TUMBAL NYOWO SEDULUR -

"Bulek Sri mu ogak salah nduk. Bulek mu kejupuk sukmane karo jin iku mergo ilmu soko mbah buyut mu sing urong sempurno tapi wes ditinggal sedo"

- a thread based on true story
@IDN_Horor @bacahorror @threadhororr
#bacahorror #threadhorror Image
Sebagai pemahaman terhadap alur cerita ini, aku buatkan sebuah denah yang kurang lebih sebagai penggambaran letak lokasi kejadian.
ImageImage
Read 608 tweets
Jul 20, 2022
- OMAH PUTIH -

Terlihat netra omah putih, terlihat batin omah abang.
"Kowe lek gelem meluo aku, tak dudui klakuane koncomu mbiyen ngorak ngarik omahku iki"

- a thread based on true story Image
Sebelumnya, sbg informasi di awal kos putri ini disebut oleh warga sbg omah putih karena bangunannya bercat full warna putih dgn nuansa kuno yg melekat. Sebagai pemahaman terhadap alur cerita ini nantinya, aku buatkan denah yg kurang lebih sebagai gambaran letak per letak ruangan
Denah Lokasi ImageImageImage
Read 310 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(