Daniel Ahmad Profile picture
Aug 18, 2022 55 tweets 7 min read Read on X
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 18 DAN 19
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 18

Erik sedang tidak di rumah. Kata adiknya, dia sudah pergi kerja sejak pukul delapan pagi. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya. Aku yakin dia sudah dengar tentang terbakarnya rumah Pak Jawi,--
--karena saat hendak pamit pulang barusan, adiknya menanyakan tentang itu padaku. Aku jadi teringat kata bapak, kalau kabar buruk selalu lebih cepat menyebar daripada kabar baik, dan kejadian ini telah membuktikannya.
Dalam perjalanan pulang dari rumah Erik, aku sempatkan mampir di kios bensin. SPBU terdekat berada di kota Sembalur, dan sisa bahan bakar di tangki tidak akan cukup membawaku ke sana.
Lagipula kios bensin ini bersebelahan dengan warung gorengan. Aku bisa sekalian beli pengganjal lapar karena hari ini sedang malas masak.
Di sampingku tengah berdiri seorang gadis. Sama sepertiku, dia juga sedang membeli gorengan. Aku sangat yakin kami tidak pernah bertemu, tapi gadis itu seolah kaget melihatku lalu cenderung menghindar dan memalingkan wajah.
Ia juga buru-buru memberikan uang, mengambil pesanannya, lalu bergegas pergi mengendarai sepeda mini dengan keranjang besar di depannya, tempat ia meletakkan sebungkus gorengan barusan.
“Itu seragam madrasah tsanawiyah di pesantren Sumbergede, kan?” gumamku, kala mengenali seragam yang dikenakan gadis itu.

“Kamu Fatah, anaknya Haji Karim, kan?”

Pertanyaan dari pemilik warung itu mengalihkan perhatianku yang sempat melekat pada gadis barusan.
“Eh, i, iya, Mbah,” jawabku.

“Wah, sudah besar, ya.”
Fatah adalah nama panggilanku sebelum masuk sekolah. Biasanya saudara dan orang-orang yang sudah tua memanggilku dengan nama itu, sedangkan teman-teman sekelas, Ustaz dan beberapa keluarga dekat memanggilku Dani.
Sejujurnya aku masih keberatan dipanggil Fatah, karena itu adalah nama salah satu pengasuh Pesantren Sumbergede.
Bapak sengaja memberikan nama itu dengan harapan aku bisa meneladani akhlak, ilmu, dan perjuangan Kiai Abdul Fatah, dan itu cukup menjadi beban. Aku tidak bisa memenuhi ekspektasi bapak dalam mengemban nama besar ini.
//Innalillahi, wa innailaihi rajiun. Telah meninggal dunia, Bapak Asmawi bin Saad. Dusun Krajan, Sumbergede.//
Seketika orang-orang di sekitar berhenti bicara. Semua memperhatikan pengumuman yang tersiar melalui pengeras suara di masjid. Aku tidak kenal siapa yang meninggal, tapi sepertinya itu nama yang sama dengan yang waktu itu disampaikan Kang Yudis.
Kalau tidak salah, Pak Asmawi ini teman bapak yang sudah lama sakit, yang dicurigai Kang Yudis sebagai korban santet. Terbukti dari bisik-bisik orang-orang dengan pemilik warung. Semua menyayangkan meninggalnya Pak Asmawi, dan menyangkut-pautkannya dengan kasus santet.
Merasa tidak ada lagi urusan, aku pun pulang. Rencananya setelah makan gorengan, aku ingin nonton televisi sampai tidur.
Banyak hal yang terjadi di desa ini, sampai-sampai aku lupa kalau pulang untuk liburan. Waktuku di sini kurang dari satu minggu, dan aku ingin memanfaatkannya sebaik mungkin.
***
Sore hari, telepon di rumah berdering. Aku yang sedang rebahan di ruang tamu karena lelah habis menjemur pakaian, terpaksa bangun untuk menjawabnya. Rupanya yang ada di ujung telepon adalah bapak.

“Kakekmu mana?” tanya bapak, tanpa basa-basi, tanpa mengucap salam.
“Nggak tahu, Bah, belum pulang dari tadi.”

“Abah dengar kabar, katanya ada yang meninggal?”
“Iya, namanya Pak Asmawi. Waktu itu Kang Yudis sempat ke sini nyariin Abah, dia ngasih tahu kalau Pak Asmawi itu sudah lama sakit.”

Terdengar bapak menggumamkan innaillahi, kemudian menyampaikan kabar itu pada ibu yang mungkin sedang menguping di sampingnya.
“Ya, sudah, nanti kalau kakekmu pulang, suruh telpon ke Lik Endang. Nomornya ada di buku hitam, cari saja nama lik Endang.”

“Iya, Bah.”
Ada beberapa detik diam antara aku dan bapak. Aku pikir, ini waktunya menyudahi panggilan, tapi tiba-tiba bapak menyambung percakapan.

“Kapan balik ke pondok?”

“Sabtu, Bah.”
“Kalau liburannya udah cukup, mending cepat balik. Tidak usah nunggu Sabtu.”

“Loh, eman, Bah. Lagian kalau aku balik cepat, di pondok masih sepi. Teman-temanku belum balik.”
“Ya, sudah, yang penting kamu di situ jangan ngelakuin yang aneh-aneh. Jangan terlalu sering ikutin kakekmu. Kunci pintu rumah sebelum jam tu—”
KAKAK
Perlahan suara bapak mengecil. Lama-lama tidak kudengar lagi. Telingaku seperti mengabaikan semua bunyi kecuali suara yang barusan memanggil.
Rasanya seperti dibisiki dari dekat, dari belakang telinga, tapi ketika aku menoleh, tidak ada siapa pun di sana, hanya pintu rumah yang terbuka dan membiarkan angin sore menelusup ke dalam.
Perasaanku jadi tak keruan. Kututup telepon tanpa mengucap salam. Pelan kudekati pintu yang terbuka, berdiri di ambang memperhatikan halaman rumah yang sepi.
Jelas tidak ada tamu di sana, tidak juga di dalam rumah. Entah yang barusan itu suara angin, atau aku saja yang berhalusinasi.
CHAPTER 19

Firasat buruk tadi sore kubawa sampai malam datang, dan makin parah saat lagi-lagi aku menemukan sebuah ubi rebus di teras. Tanpa pikir panjang, aku langsung membuang ubi itu ke seberang jalan.
Kiranya sejam aku mondar-mandir di dalam rumah menunggu kakek yang tak kunjung pulang. Gorengan yang tadi hangat kini mendingin bersama hawa malam mendung. Terpaksa aku makan juga karena lapar sudah tak terbendung.
Kuhabiskan waktu menonton televisi dan membaca buku, terus bergantian sampai kedua aktivitas itu tidak lagi terasa menghibur. Bosan. Kulihat jam dinding sudah menunjuk angka delapan. Waktunya memasukkan motor ke dalam ruang tamu.
Untuk kedua kalinya aku coba menelepon Erik. Panggilan pertama tak terhubung, sedangkan yang kedua aku hanya dapat kabar dari adiknya kalau Erik belum juga pulang.
Barulah aku pasrah meratapi nasib. Tinggal di rumah yang jauh dari tetangga, sendirian jauh dari orangtua, berada di tengah ragam masalah yang terjadi di desa, dan tidak ada satu orang pun untuk berbagi cerita.
Saat memutuskan untuk tidur, kudengar suara dari ruang tamu. Kali ini bukan bunyi sembarang, bukan juga sepatah dua patah kata, melainkan satu bait lagu yang dinyanyikan dengan suara rendah, nada tak beraturan, dan napas yang cenderung mendesah, serta bahasa yang tak kumengerti.
Pikiranku langsung tertuju pada mereka, keenam anak Pak Jawi yang dinyatakan hilang setelah kebakaran, karena selain mereka, tidak ada orang waras yang nekat pergi satu kilometer jauhnya, hanya untuk menerobos masuk ke rumah orang lain tanpa izin, di malam hari pula.
Aku bisa saja tetap di kamar dan mencoba tidak peduli, tapi rasa penasaranku tak bisa kutahan lagi. Kalau sumber suara di ruang tamu itu bisa menjawab satu saja misteri yang ada, maka aku rela memaksakan diri untuk memeriksa.
Kubuka pintu kamar. Kubawa sebelah sandal, tapi bukan sebagai alas kaki, melainkan sebagai senjata. Entahlah, semasa kecil dulu, aku amat takut jika ibu menjemputku sambil membawa sandal. Kupikir metode ini pun bisa menakuti anak-anak aneh itu.
Kali ini langkahku cepat. Takutku pada mereka mulai berkurang karena telah terbiasa, dan setelah semua yang terjadi, aku makin yakin kalau mereka hanyalah anak manusia, terlepas dari beberapa hal yang tidak biasa.
Sesampainya di ruang tamu yang kuduga adalah sumber suara nyanyian barusan, aku tidak menemukan siapa-siapa, sementara nyanyian itu masih mengalun di ruangan gelap, dan tidak berhenti bahkan saat lampu kunyalakan.
“Se-sembunyi di mana kalian?”

Senjataku jadi tak berguna, tidak jadi kulemparkan karena tidak ada sasaran. Kuletakkan sandalku di atas jok motor, lalu melihat sekeliling ruangan berharap menemukan seseorang.
KAKAK
Aku menoleh ke belakang. Seseorang memanggilku dari ruang televisi. Sigap aku menghampiri, dan segera menyambar sakelar lampu yang ada di samping lemari.
Sama seperti barusan, aku tidak menemukan siapa pun kecuali sebuah benda tergeletak di atas kasur lantai. Sebuah bantal berwarna putih dengan gambar mata, hidung, serta mulut yang dibuat menggunakan entah spidol, atau pena.
Tanganku belum lepas dari sakelar lampu, bergetar karena teror yang tidak masuk akal. Merasa terancam oleh sesuatu yang tidak bisa aku lihat, niatku untuk melawan kini berubah drastis menjadi rencana untuk kabur.

“I-itu boneka si Mencong?”
Instingku menajam, hingga tanpa diperintah serta tanpa alasan jelas, aku mendongak ke atas lemari, mendapati si Mencong sedang duduk jongkok, melongok ke bawah, menampakkan wajahnya yang rusak seperti terkena luka bakar.

“Kakak,” sapanya, lirih.
Persetan dengan melawan, aku lari terbirit-birit kembali ke ruang tamu, berencana kabur sejauh mungkin dari rumah ini. Berharap pintu rumah tidak tiba-tiba macet seperti kebanyakan adegan di dalam film, dan syukurlah kunci pintu rumah terbuka hanya dengan sekali coba.
KAKAK
Aku menjerit karena tiba-tiba si Mencong sudah berada di belakangku, menyeret boneka anehnya itu, mengulurkan tangannya yang hitam legam. Jelas aku tidak menyambut uluran tangannya, justru aku makin mantap membuka pintu, menutupnya lagi, mengunci, lalu berlari ke halaman.
“Dani?”

“Erik?”
Terkejut dengan siapa yang kutemui di halaman rumah. Erik belum sempat mematikan mesin motornya, kesempatan yang bagus buatku untuk segera naik dan menepuk pundak Erik agar menyegerakan tahap akhir dari rencana besarku untuk kabur.
“Cepat berangkat!”

Tanpa banyak tanya, Erik memutar motor di halaman, lalu kami pun pergi meninggalkan si Mencong yang sedang mengintip di dalam rumah, di balik kaca jendela.
Bersambung minggu depan. Terima kasih buat teman-teman yang sudah ngikutin kisah ini dari awal. Terima kasih juga buat yang udah dukung di Karyakarsa, Wattpad, Cabaca, dan beli novel-novel saya. 😊

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Feb 2, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 38, 39

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 38

Lembu hitam besar menghadang di tengah jalan. Tergeming memperhatikan kami lewat matanya yang merah menyala, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak semata ingin melintas, tapi ia punya tujuan, dan tujuan itu adalah menjemput apa yang ia rasa adalah miliknya.
Read 81 tweets
Jan 26, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN SATU.

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN 1

Keseharian Hayati saat pagi hari tak jauh dari tungku dan sumur. Menjaga agar tungku tetap menyala, serta memastikan peralatan masak bersih dari noda.
Read 111 tweets
Jan 5, 2023
Kakek dan Mbah Sopet harus pulang dengan berjalan kaki. Setelah semua aksi mereka yang membuatku kagum, aku baru sadar kalau keduanya tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Read 23 tweets
Dec 22, 2022
CHAPTER 35

Butuh waktu untuk memproses perkataan Pak Edi agar terdengar masuk akal. Ada sebagian kalimat yang tidak jelas kutangkap, tapi sesuatu tentang menghidupkan anak yang sudah mati,--
Read 97 tweets
Dec 15, 2022
Teman-teman yang baru bergabung, silakan lewat pintu masuk dulu.

CHAPTER 33

Usai mendengar cerita dari Mbah Sopet, kami memutuskan untuk segera menyusul kakek. Di luar dugaan, Sugik masih setia menunggu.
Read 62 tweets
Dec 8, 2022
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 31, 32
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 31

Saat masih sekolah dasar dulu, aku ikut pelantikan Pramuka. Kami di lepas pukul sembilan malam, berjalan kaki melewati jalan sepi di perbatasan desa, dengan kuburan sebagai garis finishnya.
Read 113 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(