Tiga tahun yang lalu, #Rinkas lahir. Saya dan Mas @napisoflife sedang mempersiapkan workshop penerapan Agile di pemerintah yang akan diselenggarakan di DJP. Berhubung workshop itu adalah workshop ketiga dan masih mungkin ada lanjutannya, kami memutuskan sebuah nama, Rinkas.
Rinkas, singkatan dari Pemerintah Tangkas, diharapkan menjadi bagian dari gerakan transformasi birokrasi ke arah #Agile. Workshop adalah wujud dasar gerakan itu, yaitu untuk menyebarluaskan nilai-nilai Agile. Komunitas Rinkas otomatis menjadi komunitas yang mendukung gerakan itu.
Sayangnya workshop ketiga itu adalah workshop terakhir. Perhatian DJP ke Agile mulai menurun. Dukungan untuk workshop otomatis hilang. Sempat ada seminar hasil kolaborasi antara DJP dengan Google yang mengangkat Scrum sebagai salah satu topiknya, tapi tidak ada kelanjutannya.
Komunitas Rinkas tetap ada, tapi cenderung pasif karena tidak ada kegiatan yang riil. Anggota Rinkas, yang jumlahnya sedikit, hanya berkumpul di grup WA. Jumlah anggota yang sedikit itu membuat grup tidak terlalu ramai, tapi tetap ada yang berbagi, walaupun hanya sesekali.
Rinkas sempat ramai kembali saat buku #ASNJugaBisaAgile dipublikasikan pada tahun 2020. Ada beberapa pembaca yang bergabung menjadi anggota Rinkas. Minat terhadap penerapan Agile di pemerintah juga sempat naik sehingga intensitas diskusi di grup WA ikut meningkat.
Di tahun 2021, Rinkas sempat saya gaungkan lewat beberapa seminar yang membahas #ASNJugaBisaAgile. Teman-teman di komunitas Rinkas juga ikut membantu dengan caranya masing-masing. Upaya itu membuahkan hasil. Rinkas tetap berkembang, walaupun perkembangannya terbatas.
Di tahun 2022, Rinkas sempat ramai lagi dengan publikasi buku #PrakomTidakBisaAgile. Sayangnya target pembaca buku itu terbatas, sehingga riaknya tidak terlalu kuat. Walaupun begitu, buku itu memancing munculnya diskusi-diskusi baru yang masih relevan dengan Agile dan Rinkas.
Sampai akhirnya Rinkas berusia 3 tahun. Grup WA ada, FB Page ada, Medium ada, tapi frekuensi diskusi/publikasi masih rendah. Kegiatan sejenis workshop juga masih belum bisa diwujudkan. Walaupun begitu, semangat menjadi Agile masih ada. Dengan modal itu, Rinkas akan terus hidup.
Selamat ulang tahun ke-3, Rinkas! Supaya lebih segar, ganti logo, yuk! 😁
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Sedang baca-baca tentang pathological liar. Dari situs healthline, ciri pertama (utama?) seorang pathological liar adalah "their lies seem to have no clear benefit" atau "kebohongan mereka tidak menunjukkan adanya manfaat (bagi diri mereka)".
Di situs MedicineNet justru ditekankan kalau pathological liar "... is often goal-oriented". Di situs itu juga dibedakan antara pathological liar dengan compulsive liar, tapi saya belum bisa betul-betul memahami bedanya. Membingungkan. 🤔
Pathological liar ini lebih lihai dalam berbohong karena kebohongannya dilakukan untuk membangun realita tersendiri. Compulsive liar justru sebaliknya. Kebohongannya cenderung tidak utuh. Akibatnya kebohongan compulsive liar lebih mudah runtuh.
Kemarin sore saya nobar Dear Evan Hansen dengan istri dan anak-anak. Saya meyakinkan keluarga untuk menonton karena ceritanya menarik, yaitu cerita tentang seorang remaja dengan masalah social anxiety yang menemukan zona nyaman lewat tragedi bunuh diri orang lain. Seru, kan?
Saya akui kalau saya bias untuk film-film bertema kesehatan mental, apalagi seputar keluarga. Film seperti itu memberikan gambaran sulitnya membesarkan anak, apalagi saat anak itu memiliki masalah mental. Dear Evan Hansen melakukan hal itu dengan cukup baik.
Hal paling menarik adalah adanya unsur kebohongan. Masalah mental sepertinya tidak lepas dari kebohongan. Entah untuk menutupi kenyataan yang pahit atau untuk membangun ilusi yang manis, ketidakjujuran adalah kunci. Runtuhnya kebohongan itu yang saya tunggu dari film ini.
Apa pun cara kerjanya, kompetensi tetap penting dan akan selalu penting. #Agile tidak terkecuali. Kolaborasi saja tidak cukup untuk membuat produk yang berkualitas. Respons juga tidak mulus tanpa adanya kompetensi yang memadai saat merespons. Itulah pentingnya "individuals".
Percaya atau tidak, masih ada yang luput melihat bahwa #Agile mengutamakan kompetensi. Padahal kompetensi adalah pernyataan pertama di dalam Manifesto Agile: "individuals and interactions". Maksud "individuals" di situ adalah kompetensi setiap orang yang terlibat.
Pengguna (atau perwakilannya) harus kompeten menyampaikan kebutuhannya. Mereka harus bisa menuangkan kebutuhannya dalam bentuk yang mudah dipahami oleh pembuat produk. Apa pun bentuknya, misalnya dokumen, video, coretan, kuncinya adalah mudah dipahami, bukan lengkap.
Orang yang meminta pelatihan memiliki kecenderungan memaksimalkan kuantitas, tapi tetap menekan ongkos. Ingin banyak materi yang dibahas, tapi tidak mau keluar uang terlalu banyak. Itu wajar. Sayangnya niat memaksimalkan itu justru berbalik meminimalkan.
Contohnya ...
... pelatihan Scrum. Tidak jarang pelatihan Scrum yang diminta itu membahas lengkap tentang pengelolaan produk, bahkan sampai scaling. Kalau semua itu dibahas dalam 1 pelatihan berdurasi standar, biaya pelatihan jelas minimal. Pertanyaannya apakah benar hasilnya maksimal?
Memadatkan materi pelatihan membuat pembahasan tidak mungkin mendalam. Akibatnya pemahaman yang terbentuk juga hanya di permukaan saja. Dengan contoh yang tadi, Scrum paham, pengelolaan produk paham, scaling paham, tapi tingkat pemahamannya rendah.
Isu yang menghambat penerapan Agile bisa muncul di awal rantai pekerjaan: penentuan produk. Bukan hanya namanya, tapi ruang lingkupnya dan nilai tambahnya. Hal ini mungkin terlihat sepele, tapi begitu pekerjaan berjalan, kelalaian di awal ini bisa berdampak signifikan.
Sederhana saja. Kalau kita tidak tahu apa yang mau kita buat, kita juga tidak akan tahu apa dan berapa besar nilai tambah yang akan dihasilkan. Ibaratnya kalau kita tidak tahu mau ke mana, kita juga tidak akan tahu sudah sedekat apa kita pada tujuan. Betul, kan?
Jangan sampai kita membuat rumah pohon, padahal produk yang dibutuhkan adalah GAMBAR rumah pohon. Sebaliknya, jangan juga kita hanya membuat gambar kalau yang dibutuhkan adalah barang yang riil. Bayangkan berapa banyak waktu dan tenaga yang terbuang percuma kalau itu terjadi.
Ini mengulang, tapi rasanya memang layak diulang: "Cepat adalah efek samping. Agile bukan soal cepat."
Salah satu sumber kekacauan dalam #Agile adalah HANYA memandang Agile sebagai lincah, gerak cepat, atau sejenisnya demi merespons perubahan dunia yang tidak kalah cepatnya. ...
... Fokusnya hanya pada kecepatan. Akibatnya Agile identik dengan ngebut. Dari situ muncul kekacauan.
Padahal Agile itu bukan soal cepat. Bahkan dalam urusan merespons, Agile juga bukan soal respons yang secepat kilat sampai The Flash juga bengong. Menjadi Agile itu berarti selalu merespons dengan baik setiap perubahan yang relevan dan bernilai sesuai kapasitas. Mulai dari situ.