Daniel Ahmad Profile picture
Aug 25 71 tweets 9 min read
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 20
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
CHAPTER 20

Erik membawaku ke rumahnya. Ia suguhi aku secangkir kopi, dan tiga stoples kue kering. Tanpa ragu aku menyeruput kopi susu instan yang manisnya luar biasa, sementara kue kering itu baru aku sentuh setelah Erik bersumpah bahwa itu bukan sisa lebaran tahun lalu.
Rumah Erik berada di perbatasan antara Sumbergede dan Desa Leduk. Karena sama-sama tinggal di perbatasan, di dua mata angin yang berbeda, kami harus menempuh jarak jauh untuk berkunjung ke rumah masing-masing, atau memilih titik tengah yakni di warung Nyai Munah.
Erik tinggal bersama Ibu dan kedua adiknya. Bapaknya meninggal ketika kami sama-sama duduk di kelas dua Ibtida’iyah—setara kelas dua SD—dan sejak saat itu ibunya menjadi tulang punggung keluarga dengan berjualan kue basah di pasar.
Kondisi itulah yang memaksa Erik berhenti sekolah setelah lulus Tsanawiyah, dan memutuskan untuk bekerja agar mampu menyekolahkan adik pertamanya yang duduk di bangku SMP, atau membeli susu untuk adik kecilnya yang baru berusia tiga tahun.
Orang-orang mungkin akan iba dengan kisah hidup Erik, tapi sebaiknya tidak diucapkan di hadapannya, karena si pirang ini sangat benci dikasihani. Dia pernah membuat teman sekelas babak belur gara-gara mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya sang bapak.
Kali ini Erik lebih banyak diam. Sepertinya dia menunggu aku bercerita, sambil menggeleng heran melihatku melahap habis kue kering yang ia sajikan.
“Lapar?” tanya Erik.

“Iya, hari ini cuma makan gorengan. Ada makanan lagi?” tanyaku, tak tahu malu.

“Ada sisa kue jualan ibu yang nggak habis, tuh. Onde-onde, lemper, tahu isi,”
“Aku mau semua!”

Erik memberi isyarat pada Yanti, adik perempuannya yang sejak tadi mengintip dari balik pintu kamar. Kalau dipikir-pikir, setiap kali aku main ke sini, Yanti selalu mengintip dari pintu kamarnya, dan langsung sembunyi kalau aku pergoki.
“Anak-anak itu datang lagi?” tanya Erik.

Aku mengusap bibir dengan punggung tangan, menyandarkan punggung yang lelah, lalu mengangguk.

“Ya, setiap kali mereka berkunjung, tingkahnya jadi lebih berani.”
“Memangnya pintu rumah nggak kamu kunci?”

Aku mencondongkan badan ke depan. Berharap dengan sikap seperti ini, Erik percaya apa yang hendak aku jelaskan.

“Aku sudah kunci semua pintu, semua jendela, tapi mereka tetap bisa masuk ke dalam rumah.”
“Dicongkel?” tanya Erik, ngeyel.

“Enggak. Nggak ada satu pintu atau jendela pun yang rusak. Awalnya mereka masuk lewat pintu dapur, tahu, kan, pintu yang ke tempat jemur baju itu?”
“He-em,” Erik mengangguk.

“Nah, setelah kejadian itu, grendel pintunya aku perbaiki. Aku juga tambahin plang kayu biar susah dibuka, tapi mereka tetap saja bisa masuk nggak tahu dari mana.”
“Lubang tikus?” celetuk Erik.

“Bodoh!”

Aku jarang mengumpat, mungkin karena itu Erik sampai kaget.

“Ya, terus lewat mana?”
“Aku juga bingung. Nggak usah mikirin gimana cara mereka masuk, jarak rumahku sama rumah mereka aja jauh banget. Anak seumuran itu jalan kaki ke rumahku malam hari aja udah nggak beres. Satu-satunya hal nggak masuk akal yang bisa bikin kejadian ini masuk akal cuma satu.”
“Apa tuh?” Erik antusias.

“Mereka bukan manusia.”

“He-hewan? Serangga?”

“Mereka demit, bodoh!”
Lagi-lagi Erik tercengang karena umpatanku. Namun, ia tidak protes, seolah memaklumi kondisiku yang sedang stres.

“Demit, ya,” gumamnya.
“Jin, tuyul, hantu, apa ajalah. Bayangin mereka bisa muncul begitu saja di rumah yang terkunci. Tadi juga salah satu dari mereka tiba-tiba muncul di atas lemari, terus dalam sekejap bisa nyusul aku ke ruang tamu. Manusia biasa nggak bakal bisa kayak gitu.”
“Mereka kan berenam?”

“Yang aku ceritain barusan itu yang perempuan. Si Mencong. Dia sendirian.”
“Namanya juga anak kecil, Dan. Faza aja yang masih tiga tahun sudah bisa naik ke atas meja.”

“Oke, sekarang suruh Faza naik ke atas lemari, terus lompat ke pintu di sana!”
“Kok lama-lama kamu ngeselin juga, ya!” Erik mulai mengangkat suara.

“Kamu yang ngeselin. Dikasih tahu ngeyel!” Aku pun mengangkatnya lebih tinggi.

“Ehem, ini.”
Kehadiran Yanti yang sedang membawakan kue berhasil meredam perselisihan kami yang makin memanas. Berbeda dengan si pirang, Yanti pendiam dan pemalu.
Posturnya jenjang dan lumayan tinggi untuk ukuran anak SMP. Rambutnya lurus tergerai sampai leher, dan punya lesung pipi yang hampir selalu kelihatan karena memang murah senyum.
Dengan sopannya Yanti menyajikan kue-kue di nampan besarnya ke meja. Onde-onde dan lemper dalam satu piring, lalu pisang goreng dan tahu isi di piring lainnya.

“Woy!”
Erik mencoba menjemput perhatianku yang sempat teralihkan pada Yanti.

“A-apa?” balasku tak kalah songong, dan tanpa sungkan langsung menyambar tahu isi di meja.
Setelah Yanti kembali ke kamarnya, kami pun melanjutkan obrolan sambil makan.

“Kamu nginep di sini aja, Dan.” Erik menawarkan.

“Aku belum pamit sama kakek. Kalau dia pulang terus aku nggak ada di rumah, dia bisa marah.”
“Aku ketemu Mbah Saleh di rumah Almarhum Pak Asmawi. Malah Mbah Saleh yang nyuruh aku ke rumahmu, katanya kasihan kamu sendirian.”

“Oh, pantas nggak pulang.”
Kami menyeruput kopi beberapa kali. Menenangkan pikiran. Membiarkan kafeina bekerja dengan maksimal, sampai tak tersisa apa pun kecuali ampas yang membuat gigi hitam.
“Dan, menurutmu kebakaran di rumah Pak Jawi, apa ada hubungannya sama kejadian malam itu? Apa mungkin ini balas dendam dari Pak Muhadi dan teman-temannya?”
Setelah sempat ngotot dan memainkan peran apatis, sekarang Erik justru melunak. Peran kami seolah tertukar. Nyata kulihat di wajah Erik adanya trauma akibat kejadian di halaman rumah Pak Jawi malam itu.
Meski aku merasakan hal yang sama, sebisa mungkin aku tidak membuat Erik makin gelisah. Tidak perlu juga aku ceritakan tentang imbauan Pak Edi tadi pagi yang menurutku lebih mirip ancaman.
“Nggak tahu,” jawabku singkat.

“Tapi di antara semua warga desa ini, kita yang paling tahu, Dan. Kita ada di sana.”

“Nah, sekarang tugas kita untuk tutup mulut biar orang lain nggak tahu kalau kita tahu.”
“Benar juga,” sahut Erik, lesu. “Kita bukan siapa-siapa. Cuma dua anak muda yang lagi ape, jadi tidak perlu ngerasa jadi pahlawan. Sejujurnya dari tadi aku mikirin soal ini. Aku takut pulang ke rumah. Takut kalau dijemput polisi terus diminta jadi saksi."
“Justru itu yang aku herankan. Penyerangan ke Pak Muhadi bisa dipidanakan, meski pelakunya di bawah umur, tapi luka yang mereka dapatkan itu fatal, bisa menyebabkan kematian juga. Anehnya, kasus ini nggak seramai kebakaran di rumah Pak Jawi."
“Menurutmu kenapa?" tanya Erik.

“Sepertinya Pak Muhadi dan teman-temannya memilih diam, atau … ada orang lain yang menyuruh mereka diam."
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Tanpa melihat jam pun, mata kami yang basah dan sedikit memerah sudah jadi tanda bahwa hari akan memasuki puncak pergantian.
Erik mulai menguap, dan kuap itu menular padaku. Kopi yang kami minum seolah berhenti bekerja. Lelahnya tubuh dan pikiran tidak bisa lagi dipaksa. Dalam kantuk yang mulai terasa, tiba-tiba kami dikejutkan oleh sebuah suara.
“Apa tuh?”

“Enggak tahu, kayaknya suara orang lagi teriak.”
Lekas kami pergi ke luar mencari asal suara. Rumah Erik bisa dibilang tidak punya halaman karena berada di belakang rumah orang. Daerah perbatasan utara memang padat penduduk.
Bisa dibilang lebih padat dari pusat desa Sumbergede sendiri. Sayangnya, daerah ini termasuk yang jauh dari pusat perbelanjaan, kegiatan, dan hiburan.
Mereka harus pergi ke jantung desa untuk berbelanja, salat jumat, ikut pengajian pesantren, atau sekadar nongkrong di warung demi melepas penat.
Suara barusan kembali terdengar. Teriakan histeris dari seorang perempuan, berpadu dengan jerit tangis anak-anak. Kami langsung bisa menebak arahnya, tapi belum memastikan di rumah yang mana.
“Ada apa, ya?”

“Nggak tahu. Di sini anak kecil nangis tengah malam udah biasa, tapi ini nangisnya kayak ketakutan gitu,” sahut Erik.
Aku dan Erik masih diam di halaman rumah, menunggu kegaduhan reda. Namun, bukannya berangsur membaik, jeritan itu malah makin menjadi-jadi. Kini sudah bercampur dengan gaduhnya para tetangga yang lain.

“Ke sana, yuk!” ajak Erik.
Aku mengangguk. Baru beberapa langkah keluar dari halaman, kami harus berhenti karena mendengar suara serupa dari arah yang berbeda. Aku dan Erik saling pandang. Bila jeritan pertama tadi bejarak tiga sampai empat rumah, jeritan kedua ini terdengar lebih dekat.
“Sepertinya dari rumah Lik Mis.”

“Kamu kenal?”

“Masih saudara almarhum bapak.”
“Ya udah, kita ke sana!”

Kami mengubah haluan. Bukan pilih kasih pada orang yang sama-sama terkena musibah, tapi saat ini kami sepakat mendahulukan tetangga yang dekat. Dalam perjalanan, kami berpapasan dengan orang-orang. Mereka sama-sama sedang bingung akan pergi ke mana.
“Ada apa, Lik?” tanya saya pada seorang laki-laki yang ikut berlari sejajar dengan kami.

“Ndak tahu, Cong. Anaknya Mis tiba-tiba teriak kayak kesetanan, terus di sana anaknya Gofar juga teriak-teriak sampai kejang-kejang.”
Teriak tengah malam saja sudah aneh, ini malah sampai kejang-kejang, batinku.
Sampailah kami di rumah Lik Mis. Sudah banyak orang berkumpul di teras rumahnya. Rupanya benar, anak Lik Mis yang kira-kira masih berusia empat sampai lima tahun sedang menjerit seperti ketakutan.
Matanya melotot, tubuhnya kaku dan sesekali kejang-kejang seperti ingin kabur dari dekapan ibunya. Lik Mis cuma bisa menangis histeris dan berkali-kali menyebut nama anaknya.
Erik dan aku tidak berani mendekat. Selain karena sudah sesak dengan orang, aku juga merasa kehadiran kami tidak akan mengubah apa-apa.
Orang-orang yang hadir sama-sama menggumamkan tanya tentang apa yang terjadi, dan bagaimana bisa anak Lik Mis berada dalam kondisi demikian, sampai akhirnya jeritan baru lagi-lagi terdengar. Kali ini tidak hanya dari satu rumah, tapi dua sekaligus dalam jarak yang berdekatan.
“Lagi?”

Kerumunan di rumah Lik Mis terbagi. Ada yang memilih tinggal meski perhatiannya sudah terpecah, ada yang langsung bereaksi mengunjungi rumah selanjutnya, sementara aku dan Erik hanya bisa saling tatap tidak tahu harus bagaimana.
“Kayaknya mending kita balik ke rumahmu aja,” usulku.

“Aku juga mikir gitu.”
Berbeda dengan saat pergi tadi, kami pulang dengan langkah cepat, dan langkah cepat kami berubah jadi lari kencang saat kami mendengar jeritan lain di arah rumah Erik.
Dalam perjalanan, satu persatu lampu rumah warga dinyalakan, dan hampir di setiap rumah yang kami lewati, terdengar jeritan tangis anak-anak.
Di pintu rumah Erik, Yanti sudah menunggu dengan cemas. Ia langsung menyambut kami dengan pertanyaan.

“Ada apa, Kak?”

Kami memilih tidak menjawab. Bukan menyepelekan Yanti yang masih SMP, tapi karena kami pun tidak tahu harus menjelaskan apa.
Erik menutup pintu, aku bantu menutup gorden. Entah apa yang coba kami antisipasi dengan cara ini, tapi setidaknya ini membuat kami merasa aman berada di dalam.
Saat hendak menutup gorden, aku melihat anak kecil di teras rumah tetangga yang ada di samping rumah Erik. Anak itu sedang memegang botol susu, dan tampak celingukan di teras rumah.
“Mak?” rengek anak itu.

“Itu Aim, anaknya Pak Jumanto. Orang yang barusan lari sama kita ke rumah Lik Mis itu.”

“Ngapain dia sendirian di luar?” tanyaku.

“Mungkin dia kebangun gara-gara ribut, terus bapak dan ibunya malah nggak ada.”
“Kasihan,” ucap Yanti yang entah sejak kapan ikut-ikutan mengintip. “Biar aku suruh ke sini saja,” cetusnya.
Erik dan aku tidak keberatan, sebelum akhirnya Aim menjatuhkan botol susu miliknya, mendongak ke atap rumah, lalu menjerit seraya mengentak-entakkan kaki kecilnya ke lantai. Tidak lama setelah itu, Aim berguling-guling di teras dengan mata masih memelototi langit-langit rumahnya.
“Yanti!” cegah aku saat Yanti sudah membuka separuh pintu untuk keluar.

“Ke-kenapa, Kak?”
Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi sedikit banyak mulai paham akan pola dari peristiwa aneh ini. Itu sebabnya ada satu hal yang terpikirkan olehku sekarang.
“Faza, adikmu ....”
DIA TIDUR DI MANA?
Bersambung minggu depan.
Maaf, sebulan ini, dan mungkin sebulan kedepan saya bakal jarang nongol di medsos. Ada sesuatu yang bikin saya nggak boleh duduk terlalu lama. Tapi tenang, saya akan tetap menulis, meski harus berbaring di kasur.

Terima kasih untuk teman-teman yang sudah baca. Semoga terhibur.
Di Karyakarsa sudah update sampai Chapter 23, monggo dilanjut.

karyakarsa.com/ahmaddanielo/m…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Aug 18
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 18 DAN 19
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 18

Erik sedang tidak di rumah. Kata adiknya, dia sudah pergi kerja sejak pukul delapan pagi. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya. Aku yakin dia sudah dengar tentang terbakarnya rumah Pak Jawi,--
Read 55 tweets
Aug 11
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 16 DAN 17
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 16

Usai membersihkan diri dan ganti pakaian, aku merebah di kamar sambil menunggu azan subuh, sambil melamunkan apa yang sedang dilakukan Erik sekarang. Tadi, setelah mengantarkanku pulang, Erik langsung pergi tanpa mengucapkan apa-apa.
Read 63 tweets
Aug 4
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 15
@bacahorror

@IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 15

“Sejak kapan aku tidur di ruang tamu?”

Kulihat jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Tenggorokanku serak dan hidung berair.
Punggung sedikit pegal karena tidur di permukaan kursi yang tidak rata, bahkan setelah duduk hampir sepuluh menit lamanya, pusing di kepalaku tidak jua hilang.
Read 42 tweets
Jul 28
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 13 DAN 14
@IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
CHAPTER 13

Pagi ini rumah Pak Mursid sedang ramai dikunjungi warga. Mereka berdesakan masuk ke halaman rumah demi menyaksikan sendiri peristiwa yang jadi sumber keramaian. Tadi malam, tepat ketika listrik padam, seekor sapi milik Pak Mursid raib dicuri.
Read 162 tweets
Jul 21
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 11 DAN 12
@bacahorror
@IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
CHAPTER 11

Salah satu yang membuat kakek disegani warga adalah, dia seorang guru silat, meski tidak bisa dibilang begitu karena tidak punya murid. Aku malah baru tahu tentang ini setelah berada di pesantren. Salah seorang ustaz kenal dengan kakek.
Read 111 tweets
Jul 7
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 8

@bacahorror

@IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
Tak terhitung berapa kali aku menguap. Kantuk ini tak tertolong lagi hanya dengan mandi dan secangkir kopi hangat. Terbiasa tidur sehabis subuh, membuat tubuh ini malas.
Read 44 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(