Tasydid dalam Bahasa Arab sudah tidak asing lagi, ya. Kalau tasydid dalam #BahasaJepang, sudah tahu? Istilah yang digunakan bukan tasydid, tapi ...
... つ (tsu) kecil: っ.
Tsu kecil itu digunakan untuk membuat bunyi konsonan ganda seperti tasydid dalam Bahasa Arab.
Contohnya kata やった (yatta) yang berarti hore. Fungsi tsu kecil di kata itu untuk menggandakan bunyi "t" pada "ta" menjadi "tta". Bunyi "ya" pada dasarnya tidak berubah, tapi dengan adanya tsu kecil, yatta harus dibaca yat-ta, bukan ya-tta.
Alumni Iqra' pasti paham. 🙂
Selain itu, sama seperti tasydid, tsu kecil tidak hanya mengubah bunyi, tapi juga mengubah makna. Kakou dan Kakkou, misalnya, memiliki arti yang berbeda dalam #BahasaJepang. Sama halnya dengan damaro dan dammaro yang artinya berbeda dalam #BahasaArab.
Silakan cari artinya, ya.😁
Terakhir, Katakana. Saudara kembar fraternal Hiragana itu juga punya ツ (tsu) dengan tsu kecilnya sendiri, yaitu ッ. Fungsinya juga menggandakan konsonan yang mengikutinya. Kata dalam Katakana yang memiliki tsu kecil dan TIDAK memiliki tsu kecil memiliki arti yang berbeda. Sama!
Ingin tahu lebih lanjut tentang tsu kecil? Silakan baca artikel sederhana di Lingua Junkie ini: linguajunkie.com/japanese/small… (Gambar di bawah saya ambil dari artikel itu)
Ingin tahu lebih jauh tentang fungsi taysdid? Saya sempat bahas sedikit di sini:
Jawaban untuk pertanyaan itu sangat krusial dalam menentukan masa depan Agile di setiap organisasi. Arah penerapan Agile sangat dipengaruhi alasan memilih dan menerapkan Agile. Salah motivasi, salah arah, hasilnya berantakan.
Sebuah utas.🧵
Apakah Agile bisa mempercepat pekerjaan? Tidak langsung. Menjadi cepat dengan Agile itu hanya efek samping. Agile mendorong pembagian pekerjaan menjadi bagian-bagian kecil, pengaturan prioritas berdasarkan nilai tambah, dan fokus bekerja. Itu yang membuat pekerjaan menjadi cepat.
Apakah Agile bisa memangkas biaya? Tidak langsung. Memangkas biaya dengan Agile juga hanya efek samping. Pengaturan prioritas dilakukan berdasarkan nilai tambah. Pekerjaan dilakukan dengan mengutamakan hal-hal yang bernilai besar. Cara kerja itu yang berpotensi memangkas biaya.
Saya menemukan komik di bawah ini di sebuah grup WA. Komik itu menunjukkan bahwa seorang PM (project manager?) yang mengubah warna (antarmuka aplikasi?) tanpa tiket Jira itu lebih parah dari membunuh orang. 😱 Kenapa bisa seperti itu? 🤔
Yuk! 👇🧵
Jira adalah sebuah perangkat lunak pengelolaan tiket (isu/masalah). Bayangkan kita punya masalah dengan sebuah produk, lalu untuk melaporkan masalah, kita harus mengajukan keluhan secara tertulis. Keluhan tertulis itu bisa disebut tiket. Jira berfungsi mengelola tiket-tiket itu.
Dari pengelolaan tiket itu, Jira berubah menjadi pengelolaan task (tugas). Pekerjaan besar bisa dibagi menjadi beberapa pekerjaan kecil sampai ke tugas-tugas individu, bukan? Jira masuk di situ. Dengan skala cukup yang besar, Jira berubah menjadi perangkat pengelolaan proyek.
Capek bahas koruptor. Lebih baik bahas #BahasaJepang saja.
Sebelumnya saya sempat membahas soal belajar tata bahasa dan menulis Hiragana/Katakana di Duolingo. Kali ini saya ingin membahas yang lebih spesifik dalam tata bahasa Jepang, yaitu partikel seperti wa, ga, no, atau ka.
Partikel, menurut saya, adalah hal kedua yang perlu dipahami dengan baik saat belajar #BahasaJepang. Kita bisa mengenal kata benda, kata kerja, kata sifat, dll., tapi tanpa partikel, kita akan kesulitan memahami struktur dan makna kalimatnya. Sebaliknya ...
... kalau kita memahami partikel dengan baik, pemahaman kita terhadap #BahasaJepang akan meningkat pesat. Paling tidak itu yang saya rasakan sendiri saat mempelajarinya.
Tiga tahun yang lalu, #Rinkas lahir. Saya dan Mas @napisoflife sedang mempersiapkan workshop penerapan Agile di pemerintah yang akan diselenggarakan di DJP. Berhubung workshop itu adalah workshop ketiga dan masih mungkin ada lanjutannya, kami memutuskan sebuah nama, Rinkas.
Rinkas, singkatan dari Pemerintah Tangkas, diharapkan menjadi bagian dari gerakan transformasi birokrasi ke arah #Agile. Workshop adalah wujud dasar gerakan itu, yaitu untuk menyebarluaskan nilai-nilai Agile. Komunitas Rinkas otomatis menjadi komunitas yang mendukung gerakan itu.
Sayangnya workshop ketiga itu adalah workshop terakhir. Perhatian DJP ke Agile mulai menurun. Dukungan untuk workshop otomatis hilang. Sempat ada seminar hasil kolaborasi antara DJP dengan Google yang mengangkat Scrum sebagai salah satu topiknya, tapi tidak ada kelanjutannya.
Sedang baca-baca tentang pathological liar. Dari situs healthline, ciri pertama (utama?) seorang pathological liar adalah "their lies seem to have no clear benefit" atau "kebohongan mereka tidak menunjukkan adanya manfaat (bagi diri mereka)".
Di situs MedicineNet justru ditekankan kalau pathological liar "... is often goal-oriented". Di situs itu juga dibedakan antara pathological liar dengan compulsive liar, tapi saya belum bisa betul-betul memahami bedanya. Membingungkan. 🤔
Pathological liar ini lebih lihai dalam berbohong karena kebohongannya dilakukan untuk membangun realita tersendiri. Compulsive liar justru sebaliknya. Kebohongannya cenderung tidak utuh. Akibatnya kebohongan compulsive liar lebih mudah runtuh.
Kemarin sore saya nobar Dear Evan Hansen dengan istri dan anak-anak. Saya meyakinkan keluarga untuk menonton karena ceritanya menarik, yaitu cerita tentang seorang remaja dengan masalah social anxiety yang menemukan zona nyaman lewat tragedi bunuh diri orang lain. Seru, kan?
Saya akui kalau saya bias untuk film-film bertema kesehatan mental, apalagi seputar keluarga. Film seperti itu memberikan gambaran sulitnya membesarkan anak, apalagi saat anak itu memiliki masalah mental. Dear Evan Hansen melakukan hal itu dengan cukup baik.
Hal paling menarik adalah adanya unsur kebohongan. Masalah mental sepertinya tidak lepas dari kebohongan. Entah untuk menutupi kenyataan yang pahit atau untuk membangun ilusi yang manis, ketidakjujuran adalah kunci. Runtuhnya kebohongan itu yang saya tunggu dari film ini.