gil Profile picture
Oct 15, 2022 102 tweets 18 min read Read on X
MULIH (Bagian 1)

"Bapak yang sudah meninggal, PULANG lagi kerumah saat malam, menemuiku, untuk menyampaikan sesuatu".

#bacahorror #idnhorror #ceritaht #menghorror @bacahorror_id @IDN_Horor @ceritaht @menghorror Image
Cerita ini sudah Tamat di karyakarsa ya, untuk teman-teman yang pengen buru-buru baca bisa di baca disini :

Bagian 1. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bagian 2. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bagian 3. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bagian 4. (Tamat). karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Karena cerita ini cukup panjang, akan saya up dari bagian 1, secara bertahap ya, dan akan saya update setiap harinya, Oke!!! Ayo kita Gas!!!
MULIH (Bagian 1)

Narasumber : Sukirman

Malam itu, Sabtu pahing pertengahan juni tahun 1990, bau ‘Minyak wangi Srimpi’ (Minyak Mayat), masih tercium, semerbak di ruang tengah, ruangan dimana tadi jenazah Bapak di rebahkan. Orang-orang masih duduk bersila di atas tikar yang--
--terbentang di ruangan tamu, mengobrolkan hal basa-basi tentang kehidupan. Sudah sore tadi Bapak dikuburkan. Sedih bercampur lega, sedih karena bapak sudah tiada, tapi lega karena akhirnya bapak bisa lepas dari penderitaannya selama kurang lebih 2 tahun belakangan ini.
Aku berjalan keluar rumah, menghampiri kerumunan orang yang tengah duduk di bawah tenda didepan rumahku.

“Rene kir!!”.
(Sini Kir!!) Panggil Naryo, kawan sebayaku yang sedang duduk di ujung.

Sambil menghela nafas panjang, aku berjalan menghampiri dan duduk disampingnya.
“Sing sabar yo..”. Ucapnya sambil sedikit memegang bahuku, sambil tersenyum aku pun menyambut baik kata-kata dari temanku itu, kata-kata yang sedari tadi selalu diucapkan oleh orang-orang kepadaku.
Aku pun mengobrol dengan Naryo, membicarakan hal remeh temeh dengan sedikit candaan yang sepertinya memang coba dia selipkan untuk menghiburku.
Entah berapa batang rokok dan berapa sesapan kopi yang aku dan Naryo habiskan yang jelas tak terasa, malam sudah semakin larut, satu per satu tetangga mulai berpamitan untuk pulang. Hingga akhirnya sekira pukul 01.00 dini hari, Naryo pun juga sudah tak kuat menahan kantuknya.
“Aku tak mulih sik yo mbel”.
(Aku pulang dulu ya mbel). Ucapnya sambil berdiri membenarkan sarungnya dan menepuk pundakku.
Suasana sudah semakin sepi, aku pun beranjak masuk kembali ke dalam rumah, & sayup-sayup masih terdengar obrolan di arah belakang rumah, Suara Pakde Karjo & Lik Manto, Kakak & adik mendiang Bapakku. Aku yang masih belum ingin tidur pun berjalan menghampiri Pakde dan Pamanku itu.
Dari balik ambang pintu dapur terdengar percakapan yang cukup serius antara Pakde dan Paman. Entah apa topik yang sedang mereka bicarakan, yang jelas disitu nama Bapakku beberapa kali di sebut.

“Eh..Rene Kir..”.
(Eh, Sini Kir..). Kata Pakde yg melihat aku mengintip di pintu.
Aku pun duduk di antara mereka, yang kembali saling berbicara meneruskan obrolan yang sempat terpotong oleh kedatanganku. Ku ambil sebatang rokok milik pakde dan kunyalakan seraya menyimak obrolan mereka.
“Ojo aku mas, aku ra wani, keris kui kudu diwenehke ning wong sing wes dimandati”.

(Jangan aku Mas, Aku tidak berani, Keris itu harus diberikan kepada orang yang sudah diberikan mandat). Kata Lik Manto menanggapi salah satu pernyataan Pakde Karjo.
Sesaat batinku terpikir, “jangan-jangan keris milik Bapak ya”. Batinku yang semakin memperhatikan pembicaraan Pakde dan Paman.

“Berarti, Sukir no!!”. Ucap Pakde sambil membalik memandangiku.

“Nopo Pakde?”.
(Apa Pakde?). Jawabku.
“iku lho, keris nggone Mbah Kakung sing diwariske ning bapakmu, miturut piweling, iku kudu digowo kowe”.

(Itu lho, Keris milik Mbah Kakung yang diwariskan ke bapakmu, menurut perintah, itu harus diberikan kepadamu). Kata Pakde Karjo yang langsung aku sanggah.
“Mboten-mboten.. Pakde, kulo mboten ajeng urusan kalih barang kados ngoten!!”.

(tidak-tidak, Pakde, aku tidak ingin berurusan dengan hal seperti itu). Tolakku.
“Nanging iki Dawuh nang, dawuh seko swargi Mbah Kakung”.
(Tapi ini mandat nak!! dari almarhum Mbah Kakung). Kata Pakde kembali menegaskan. Mendengar kata Mbah Kakung disebut, membuatku sedikit berfikir & kembali mengingat sosoknya yang sangat hangat & flamboyan menyayangiku.
Disini aku pun tak bisa menolaknya dan belum juga mengiyakannya, dan dengan beralasan mengantuk, aku pun meminta ijin ke pakde dan pamanku itu untuk masuk kedalam kamarku. Sebenarnya hanya untuk keluar dari pembicaraan ini saja.
“Lagi mau Bapakku ora ono, sing dibahas wes sing ora-ora, koyo raono dino wae!!”.

(baru tadi Bapakku meninggal, yang dibahas sudah yang tidak-tidak!!!, kayak tidak ada hari lain saja!!). Gerutuku dalam hati sambil berjalan menuju kamarku.
Saat aku berjalan Sempat ku lihat dari luar pintu kamar ibu yang sedikit terbuka, tampak ibu sudah tertidur bersama Budhe (istri Pakde Karjo) disampingnya. Ku tengok dia sebentar dan aku pun kembali berjalan masuk ke kamarku.
Aku merebah memandangi langit-langit kamar, merangkai kenyataan yang masih seperti mimpi, beberapa detik kadang aku terlupa jika Bapak sudah tiada. Hingga perlahan rasa kantuk pun memaksaku untuk tidur. Aku pun terlelap di malam itu.
Singkat waktu, aku terbangun di subuh hari, aku menoleh sambil mengusap mataku dan disinilah aku dibuat terkejut ketika melihat kursi roda bapak sudah berada tepat di samping ranjangku. Beberapa saat aku masih mencoba mencerna namun seketika aku tampar wajahku sendiri,
“Aghstafirullah!!”.

Siapa yang menaruh kursi roda ini disini, terburu aku keluar kamar, mencari ibu yang sepertinya sudah terbangun dan berada di dapur bersama budhe.
“Buk, sopo sing ndeleh kursi rodane bapak ning kamarku!??”.

(Ibu.. Siapa yang menaruh kursi roda bapak di kamarku!?). Tanyaku sedikit menyentak. Ibu dan budhe tampak kebingungan mendengar kata-kataku itu. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
“Sing nggenah to nang, mosok kursi roda ning kene iso mlaku dewe ning kamar”.

(Yang benar saja kamu, masa’ kursi roda disini bisa berjalan sendiri ke kamarmu). Kata ibu sambil berjalan membuka pintu gudang yang berada di dekat dapur.
Dan seketika ibu terdiam, kembali menoleh ke arahku dan budhe yang berdiri didekat situ.

“ono opo dek?”.
(Ada apa dik?). Kata budhe seraya mendekat dan ikut melihat ke dalam gudang.
“Kursine ra ono mbak”.
(kursinya tidak ada mbak). Kata Ibuku sambil beranjak dan sedikit berlari menuju kamarku, diikuti oleh aku dan budhe.
Sesampainya didalam kamarku, ibu hanya terdiam, sambil memegangi gagang kursi roda bapakku itu. Budhe pun mendekat dan memegang pundaknya, terlihat ibu menahan air matanya seraya menuntun kursi roda itu keluar dari kamarku. Dan aku hanya tercengang melihatnya.
Beberapa saat setelah ibu dan budhe keluar, aku pun duduk di ranjangku. Dengan perlahan kesadaranku yg mulai kembali, aku ingat betul, memang dulu setiap pagi bapak selalu masuk ke kamarku, membangunkanku & memintaku utk mengantarnya berjemur di depan rumah dgn kursi rodanya itu.
Bagaimana kursi roda itu bisa masuk ke kamarku? Hampir seharian penuh aku mencari alasan logisnya dengan bertanya kepada kerabat yang semalam berada dirumah. Namun sama sekali aku tak menemukan jawaban yang masuk akal. Bahkan aku sempat merasa sakit hati--
--dengan sepupuku yang menanggapi cerita itu dengan berkata kalau orang meninggal sebelum 40 hari, arwahnya masih bergentayangan disekitar rumahnya. “Dipikir bapakku setan gentayangan apa!!”. Batinku waktu itu.
Pasti ada orang yang iseng menaruh kursi roda itu, itulah alasan masuk akal yang masih berada dalam pikiranku waktu itu. Hari pun silih berganti dengan biasa saja. Acara doa 1 hari hingga menuju 7 hari berjalan lancar sewajarnya walau Pakde dan Paman terus saja--
--merayuku agar menerima keris itu yang lama-lama membuat aku sedikit muak dan risih. “kenapa harus sekarang dibicarakan, ini kan masih masa berkabung”. Pikirku menggerutu. Hingga sampailah aku pada malam dimana semua teror berawal.
Tepatnya 8 hari setelah kepergian bapak, aku dan ibu sudah selesai berberes, menggulung karpet di ruang tamu dan menata meja kursi seperti sediakala. Tenda di depan rumah juga sudah diturunkan sore tadi. Tak lupa juga ibu melipat kursi roda bapak dan memasukkannya kedalam gudang.
Sekira pukul 22.00, ibu masuk kedalam kamarnya, begitu juga dengan aku yang langsung menghempaskan tubuhku di atas kasur. “Ahhh.. Semua akan baik-baik saja”. Kataku sambil melipat kedua tanganku dan menjadikannya bantal.
Menit berlalu, mengantarkanku kepada rasa kantuk, aku pun memejamkan mata yang sudah mulai berat ini, hingga tak terasa aku pun terlelap dan bermimpi.
Ya!! Seperti dugaan kalian semua, aku bermimpi tentang bapak. Dia mendatangiku di sebuah lembah dekat rumah, sambil membawa bungkusan hitam yang di pegang oleh kedua tangannya.

“Iki kudu ditompo”.
(Ini harus diterima!!). Ucap Bapak menyodorkan bungkusan itu dalam mimpiku.
“Opo iki pak?”.
(Apa ini pak?). Jawabku seraya menengadahkan kedua tanganku untuk menerimanya.
Seperti mimpi bertemu orang yg sudah meninggal yg dialami oleh kebanyakan orang, aku saat itu awalnya benar-benar tak menyadari kalau bapak sudah tiada.
Baru ketika aku benar-benar memegang bungkusan itu, disitu aku seketika menyadari jikalau bapak sudah meninggal.

“Aghstafirullah Bapak!!”. Teriakku spontan hingga tak sengaja aku melepas dan menjatuhkan bungkusan itu.
& bersamaan dgn itu aku terbangun, sampai terperanjat dengan keringat bercucuran. “hhuh!!!”. Hela ku lega ternyata ini hanya mimpi.

Namun ternyata kelegaan itu tak bertahan lama ketika beberapa saat kemudian aku mendengar engahan nafas yg sepertinya berasal dari bawah ranjangku.
“Suoro opo iku?”.
(Suara apa itu?). Bisikku.
Dengan keadaan itu sebenarnya aku masih mencoba untuk berfikir rasional dan menganggap itu adalah suara kucing atau entahlah. Namun rasionalitas itu malah membuatku penasaran dan ingin memeriksa apa yang ada dibawah ranjangku ini.
“Tak mungkin aku bisa tidur lagi kalau aku tak memeriksa apa yang ada di kolong ranjangku!!”. Batinku seraya bergeser pelan ke ujung tempat tidur. Suara engahan nafas tak bertuan itu masih terdengar,--
--seakan memaksaku untuk memeriksanya. Perlahan aku pun turun dari ranjangku dan memeriksa sumber suara itu, dan apa yang aku lihat?.
Wajah yang sangat ku kenal muncul tengkurap dari bawah kolong ranjangku, ya!! Itu bapak!! Tatapannya sayu memandangku. Aku hanya bisa mematung tak bisa apa-apa, sungguh keadaan yang tak bisa digambarkan. Image
Kakiku bergetar, nalarku terkacaukan. Hingga entah berapa lama kemudian wajah bapak di kolong ranjang itu perlahan membayang semakin kabur dan menghilang.
Baru setelah itu aku bisa bergerak, sambil berjalan keluar aku menangis, ingin teriak namun tak bisa, langkahku terasa sangat berat. Dengan sekuat tenaga aku berjalan menuju kamar ibuku dan ku ketuk dengan sisa tenagaku. “Bukk..Bukkk”. Ucapku dengan sedikit terbata.
Hingga beberapa saat kemudian ibu membuka pintu, melihatku yang sudah berurai air mata dan tampak ketakutan.

“Kenopo kir!! Kenopo!!”.
(Kenapa Kir!! Kenapa!!). Kata ibu sambil meraihku dan mengajakku masuk.
Berulang kali ibu mengulangi pertanyaannya itu, yang waktu itu rasanya sulit mulutku untuk menjawabnya, hingga setelah ibu memberikanku air putih, barulah disitu aku mulai bisa bicara.

“Bapak buk!!! Bapak!!!”. Kataku yang masih menangis.
“Bapak kenopo? Bapak kenopo?? Bapak wes tenang le!!”.
(Bapak kenapa? Bapak kenapa?? Bapak itu sudah tenang nak!!). Jawab ibu sambil memegang kedua bahuku.

Bersambung

karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
“Baa..Bapak, ono ning ngisor longan buk!!!”.
(Ba..Bapak, ada dibawah kolong bukk!!). Jawabku dengan tangis yang semakin tak terbendung.

“Nyebut, kir!! Nyebut!!”. Kata ibuku yang kini memelukku.

“Tapi aku weruh Bapak ning ngisor longan Buk!!!”.
--
(Tapi aku melihat Bapak dibawah kolong Buk!!). Kataku lagi.

Entah bagaimana tepatnya suasana malam itu, yg jelas setelah itu ibu mengajakku untuk memeriksa di bawah tempat tidurku.
“Ayo cobo ibu tak ndelok!!”.
(Ayo Coba ibu mau lihat!!). Kata ibu sambil menyeretku berjalan--
-- menuju kamarku. Dan setelah sampai disana,

“Mulo kowe kui sing ikhlas, mesakke bapak yen kowe ra ikhlas”.

(Makanya, kamu itu yang ikhlas, kasihan bapak disana kalau kamu tidak ikhlas). Kata ibu sambil menyingkap seprei dan memeriksa di bawah kolong tempat tidurku. Image
Aku hanya terdiam, sambil mengusap air mataku, “Percuma saja sepertinya bila ku jelaskan!!”. Batinku. Ibu pun menyuruhku untuk kembali tidur, meninggalkanku di kamar.
Dengan sedikit ragu, aku pun kembali naik ke atas tempat tidur, sambil kuraih tasbih yang berada di meja, kurebahkan tubuhku, ku pejamkan mataku dengan pikiran yang sebenarnya masih berkutat dengan hal yang tadi baru saja terjadi.
“Apa benar itu Bapak?”. Batinku berdebar.

Ku tengok ke arah jam dinding yang sudah hampir menunjukan pukul 02.00 dini hari. Suasana tampak senyap dan aneh, dingin menusuk tubuh. Ku tarik selimutku dan ku pejamkan mataku kembali, berharap aku bisa tidur lagi.
Entah berapa lama menit berlalu, dengan aku yang masih saja terjaga, berulang kali aku membolak-balikkan posisi tidurku untuk mencari yang ternyaman, namun nyatanya aku tak juga bisa terlelap. Pikiranku masih saja berada di bawah tempat tidur.
Hingga terdengar suara lagi, namun kini berasal dari balik jendela. “Tok..Tok..Tok”. Jendela kamarku diketuk, seperti dijentik dengan jari.
Pikiranku sudah macam-macam!! Dengan perlahan aku menoleh ke arah jendela di sudut kiri kamarku itu, yang bodohnya hanya bertiraikan kelambu. “Tok..Tok..Tok”. Ketukan itu terdengar lagi.
Dibarengi dengan bayangan hitam yang berdiri di baliknya, aku tak begitu yakin karena memang suasananya agak gelap. Namun ketika bayangan hitam itu mulai semakin mendekat di balik kaca, semua tampak jelas.

Dan!! “Kir!!! SUKIR!!!!!!” Image
Suara dari balik jendela itu memanggilku!! Dan itu adalah suara Bapak!!. Aku yang terkejut sontak memalingkan tubuhku, dengan ketakutan ku tutup kedua telingaku.

“KIR......SUKIR!!!!!”. Suara bapak masih terdengar terus memanggilku.
“Aghstafirullah!! Aghstafirullah!! Aghstafirullah!!”. Ucapku terus menerus.

Karena suara bapak masih saja terus memanggilku, aku pun bangkit dan berlari keluar dari kamar. “AMPUNNNNNN!!!”. Teriakku tergopoh-gopoh berlari menuju kamar ibu.
“Bapak buk!!! Bapak!!!”. Ucapku gelagapan seraya menggoyangkan tubuh ibu yang sedang tertidur itu. Ibu pun terbangun dan segera memelukku,

“Nyebut Kir..Nyebut”. Kata ibu mencoba menenangkanku.
“Kowe ra gelem ngopeni kerise mbah kakung to? Ra popo, kui raiso dipekso, nanging kowe kudu betah koyo ngene terus, rapopo ibu tetep dukung keputusanmu, mengko tak warai piye carane nglewati iki kabeh”.--
--(Kamu tidak mau merawat keris mbah kakung kan? Tidak apa-apa, tak bisa dipaksakan tapi kamu harua sanggup seperti ini terus, tak apa, ibu tetap mendukung keputusanmu, nanti aku bantu cara melewati ini semua). Kata ibu, yang seketika membuatku berhenti menangis dan kebingungan.
Malam itu pun aku tidur bersama ibu, dengan perasaan dan pikiran yang masih kacau akhirnya aku pun terlelap dipelukan ibu bak masa kecil dulu.

-------------
Singkat cerita aku pun terbangun keesokan harinya dengan badan yang terasa tak enak, kepalaku pusing, dan semua bagian tubuhku terasa sakit. “Mungkin ini karena kejadian semalam”. Batinku.
Ku menoleh ke samping, ibu sudah tak ada di sampingku. “Oh ibu sudah bangun duluan”. Batinku seraya bangkit dengan payah dari tempat tidur.

Samar-samar, aku mendengar suara orang yang tengah berbincang,--
--sepertinya itu Pakde karjo dan Lik Manto yang sedang mengobrol dengan ibu di ruang tamu. “Ngobrolin apa mereka? Pasti tentang keris itu lagi!!”. Batinku yang kembali duduk di atas tempat tidur karena tak tahan dengan pusingnya kepalaku.
Tak selang beberapa lama, ibu masuk ke kamar dan memintaku keluar untuk menemui Pakde dan Paman. Dengan sedikit di papah aku keluar dari kamar berjalan menuju ruang tamu dan duduk di hadapan Pakde Karjo dan Lik Minto.
Sebuah keris tergeletak di atas meja, dengan kain putih yang menutupi seluruh bagiannya.

“Iki kerise Kir”.
(Ini kerisnya Kir). Ucap Pakde dengan pandangan yang memohon.
Entah apa yang aku pikirkan, dengan sadar ku ambil keris itu, kubuka temali dan kain kafan yang membalutnya. Bau minyak klenik mencuat membaui seisi ruangan. Dengan agak gemetar kucabut bilah keris itu dari sarungnya. Ku pandang setiap balik sisinya, dan dengan aneh mendadak--
--tubuhku bercucuran dengan keringat. Aku menyadari tubuhku yang tadi terasa sakit kini tak lagi, begitu juga dengan peningku yang begitu saja menghilang.

Karena aku merasa aneh kulemparkan kembali keris itu di atas meja, tanpa menutup bilahnya.
“Piye? Opo sing mbok rasakke?”.

(Bagaimana? Apa yang kamu rasakan?). Tanya Pakde kepadaku.
Aku masih ragu untuk menjelaskan apa yang aku rasakan saat itu, ku alihkan saja dengan aku yang bercerita tentang kejadian semalam.
Pakde, Paman dan ibu tampak mendengarkan ceritaku dengan seksama, yang di akhir aku tutup dengan pertanyaan. “Apa harus aku yang merawat keris ini?”. Tanyaku.

Bersambung karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
“Persis kui!!!!! Persis!!!!”. Kata Lik Manto yang terdengar tak nyambung dengan pertanyaanku tadi.

“Persis pripun Lik?”.
(Persis bagaimana Paman?). Tanyaku mengrenyitkan dahiku.
“Yo Persis!!, persis koyo sing dialami Bapakmu gek biyen meh oleh titah keris iki”.

(Ya persis, Persis seperti yang dialami Bapakmu waktu dulu akan menjadi pewaris keris ini). Ucap Paman yang berlanjut dengan ceritanya.
Ternyata dulu Bapak juga seperti aku, sempat tak mau menerimanya, dan mengalami gangguan hampir mirip dengan apa yang aku alami. “Apa aku terima saja ya mandat ini”. Pikirku setelah mendengar sepenggal cerita dari Lik Minto itu.
Namun belum sempat aku menjawab, ibu langsung menyela.

“Tapi iki yo raiso dipekso to?, opo raiso iki sampean-sampean wae sing ngopeni?”.

(Tapi ini juga tidak bisa dipaksakan to? Apa tidak bisa kalian saja yang merawat?). Tanya ibu yang mulai sedikit emosi.
“Ora iso dik, ora iso, iki wes mandat turun temurun, nek masalah ngrumat, mengko aku karo minto melu ngopeni, nanging keris iki kudu ono sing waris disik sakdurunge 40 dino”.
(Tidak bisa dik, tidak bisa, ini sudah mandat turun temurun, kalau masalah merawat, nanti aku sama Minto (Paman) ikut membantu, tapi keris ini harus ada pewarisnya dulu sebelum 40 hari). Jawab Pakde.
“Nanging Sukir iki ameh Kuliah tahun ngarep, nek deknen dadi dukun, opo ra keganggu sekolahe?, aku sing ngadepi tahunan yo!! Mas Parman (Bapak) di parani uwong ameh njaluk tulung rangerti wayah, kadang tengah wengi!!, iyo nek do ngekeki duit!! Paling gulo karo teh!!”.
(Tapi Sukir ini akan Kuliah, tahun depan, kalau dia jadi dukun, apa tidak terganggu sekolahnya?, Aku yg menghadapi bertahun-tahun ya!! Mas Parman (Bapak), didatangi orang yg ingin meminta tolong tak tahu waktu, Kadang larut malam!!, iya kalu pada ngasih uang!! Palingan--
-- gula sama teh). Kata ibu yang tak setuju.

“Pisan meneh Mbakyu, iki mandat keturunan keluarga Sosromihardjo (Mbah Kakung), Mas Parman kui dudu dukun mbak, mung wong sing dimandati kaluwihan gawe nulungi uwong, nek masalah opah utowo duit iku pancen aturane raoleh nampani,--
--lawong iki ilmu ikhlas, bayarane yo ganjaran lan kaberkahan”.

(Sekali lagi ya Mbakyu, ini sudah mandat keturunan keluarga Sosromihardjo (Mbah Kakung), Mas Parman itu bukan dukun, hanya orang yang dibekali kelebihan untuk menolong orang, kalau masalah upah atau uang itu--
--memang aturannya tidak boleh menerima, lawong ini ilmu ikhlas, bayarannya ya Pahala dan keberkahan). Kata Paman kini berbicara.

Satu fakta yang belum aku ceritakan di awal adalah, sedikit berubahnya bapak setelah Mbah Kakung meninggal, mungkin sekira 4-5 tahun yang lalu,--
--beliau mendadak sering didatangi oleh orang-orang yang dalam tanda kutip ingin meminta pertolongan dengan cara tak lazim. Dari orang sakit, orang kesurupan, sampai orang-orang penting. Aku tahu itu, aku juga tahu Mbah Kakung dicap sebagai “Orang Pintar”, dan Bapak bisa jadi--
--juga seperti itu. Tapi aku dulu tak peduli, bukan secara harfiah, tapi memang aku tidak ingin tahu saja & sama sekali tak tertarik.

“Berarti, mbiyen Bapak nggih ditekani Mbah Kakung kados kulo?”.
(Berarti, dulu Bapak juga didatangi Mbah Kakung seperti aku?). Kataku disela--
--perdebatan antar Lik Minto & ibu.

Perdebatan pun berhenti sejenak, dgn Pakde yg menanggapi pertanyaanku itu, yg pada intinya Mau ataupun tidak mau aku menerima ini, “Bapak” tetap akan terus datang namun dgn tendensi atau motif yg berbeda. “Tetap saja, datang2 juga”. Batinku.
Obrolan pun berakhir buntu, dgn ibu yg masih kekeh tidak setuju aku menerima mandat ini, & sebagai anak yg menuruti orang tua, aku pun tidak mengiyakannya.

“Nek ibuk mboten kerso, kulo nggih mboten saget nampi”.
(Kalau ibu tidak setuju, aku juga tidak bisa menerimanya). --
--Pungkasku mengakhiri pembicaraan itu.

Hingga tak selang beberapa lama Pakde dan Paman pun pulang, membawa kembali keris itu, dengan pesan di akhir yang mengatakan cepat atau lambat aku mau tak mau pasti akan menerima keris itu.
Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi, --
--ibu menyuruhku untuk mandi dan setelah itu kita makan bersama.

“Emang ibuk ono duwit gawe nguliahke aku?”.

(Emang ibu ada uang untuk menguliahkanku?). Tanyaku kala itu di atas meja makan.

“Ono Le.. Ono, tabungane bapak kui lumayan akeh, cukup lah nggo nguliahke kowe--
--karo nikahke kowe mbesuk, pensiunan yo iseh nompo kok, ben sasi”.

(Ada nak, ada, tabungan Bapak itu lumayan banyak, cukup lah untuk kamu kuliah dan kamu nikah kelak). Jawab ibu sembari menyuap nasi ke dalam mulutnya.
Aku pun mengangguk sejenak & kembali makan, terlintas keraguan dlm pikiranku tentang omongan pakde tadi, perihal sosok yg menyerupai bapak itu yg akan terus datang.

“Opo aku kuat ya Buk, nek sing koyo mau bengi kae kejadian maneh?”.

(Apa aku kuat ya Bu?, kalau kejadian seperti-
-semalam itu, terjadi lagi?). Tanyaku.

“Kuat le... Kowe kudu kuat, imanmu kudu teteg, nek pengen kowe ngerti, sing mau bengi nemoni kowe kae ibuk yakin dudu Bapak, mung jin sing ngejawantah dadi jenate bapakmu, wong sing nduwe iman mesti ngerti iku”.--
--(Kuat nak... Kamu harus kuat, imanmu harus teguh, asal kamu tahu, yang semalam menemuimu itu bukanlah Bapak, hanya jin yang menyerupai almarhum bapakmu saja, orang beriman mestinya tahu akan hal itu). Kata ibu yang mulai sedikit menguatkanku.
Makan pun selesai, ku bawa piring bekas makanku ke dapur, dan setelah itu aku bersantai dibelakang rumah sambil menyesap kopi dan mengisap rokok. Sambil melamun dan menikmati, ingatanku mulai merangkai runutan kejadian semalam. “bisa gitu ya?”.--
--Batinku yang masih belum menerima nalarku kalau tadi malam aku melihat sosok yang menyerupai almarhum bapak, mendatangiku, memanggil-manggil dan seperti menerorku.
Baru 9 hari yang lalu bapak di semayamkan. Jika kata orang, sebelum 40 hari arwah orang yang meninggal akan berada disekeliling rumah dan orang terdekatnya, apakah yang semalam mendatangiku adalah benar arwah bapak? Atau aku lebih baik mempercayai kata ibu,--
--bila itu hanyalah jin yang menyerupai bapak saja?. Aku pun tidak bisa memastikannya, yang jelas apa yang kulihat semalam adalah wajah Bapak yang sangat aku kenali.

----Bagian 1 selesai----
Sampai jumpa beberapa hari lagi, untuk bagian ke 2 ya, masih bersama SUKIRMAN, !!!

Buat yang buru-buru pengen baca sampe tamat, bisa langsung saja ke karyakarsa yaaa

Bagian 2 karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

Bagian 3 karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

Bagian 4 tamat karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with gil

gil Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @AgilRSapoetra

Jun 25
[HORROR STORY]

PENGHUNI LAMA

~ Jiwa-jiwa yang tertinggal ~

[A THREAD]

#bacahorror #menghorror #IDN_Horror @bacahorror @menghorror @IDN_Horor Image
Temanggung, Jawa Tengah 2007,

Malam itu, Bau asap rokok menyelinap masuk ke kamar Tari, menusuk kuat hingga membangunkannya.

Tari pun melihat kearah jam di dinding kamarnya yg menunjukkan pukul 00.30.

"Oh Mas Doni sudah pulang". Batin Tari yg menyadari bahwa bau rokok ini ada-
-lah Mas Doni (Suaminya) yg sudah pulang dari bekerja & sekarang tengah merokok di ruang tamu.

Dengan kantuknya Tari pun beranjak keluar dari kamarnya, untuk membuatkan kopi bakal sang suamui

"Mas,sudah pulang?". Ucapnya-
Read 204 tweets
Jun 17
[HORROR STORY]

PASAR SETAN ~ Alas Randu

[A THREAD]

@bacahorror @IDN_Horor @menghorror #bacahorror #menghorror #IDNhoror Image
Hi.. Lama bgt gak bikin thread ya.. :)

Kali ini saya akan menceritakan sebuah pengalaman ganjil sekaligus ngeri dari seorang kerabat, yg bersaksi bahwa ia pernah tersesat di 'Pasar Setan', cerita ini terjadi sudah cukup lampau, yakni kisaran tahun 1994-95, tapi bagi nara-
-sumber, setiap detilnya masih membekas, bahkan menyisakan trauma yg cukup dalam.

*****

Jawa Tengah kisaran tahun 1994-95,

Pada suatu sore..

"Mbok dikirim besok pagi saja to Le". Kata seorang ibu kepada anaknya yg sedang menali 3 ekor kambing di atas mobil baknya. Image
Read 68 tweets
Apr 26
GUMBOLO PATI #13 (TAMAT)

Bedhong Mayit 2

"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror Image
Sebelumnya Part 12 :

Part 13 ( Akhir ) :

****

“GUMBOLO PATI #13”.

Pukul 05.30 pagi..

Sampai Pagi ini Darwis &Pak Dirja masih terjaga di dalam kamar, tampang-tampang lesu & kelopak mata yg agak menghitam, terlihat jelas di pa-
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
-gi ini, apa lagi penyebabnya kalau bukan kejadian semalam.

Matahari pun mulai muncul, mengembalikan kewarasan anak & cucu mendiang Mbah Gajul itu, untuk keluar dari kamar.

“Ayo ‘metu’ (keluar)”. Kata Pak Dirja lirih membisik untuk mengajak Darwis.
Read 94 tweets
Apr 8
GUMBOLO PATI #12

Bedhong Mayit 2

"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror Image
“GUMBOLO PATI #12”.

Perjalanan Pak Dirja dan Darwis menuju desa Turi..

“Alon-alon penting tekan nggih Pak..”.

(Pelan-pelan yang penting sampai tujuan ya Pak). Kata Darwis yang agaknya mulai mengerti kenapa ayahnya sejak berangkat tadi mengendarai mobilnya dengan cukup pelan.
Read 70 tweets
Mar 22
GUMBOLO PATI #11

Bedhong Mayit 2

"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror Image
Bagian sebelumnya di @X :

Selanjutnya di @karyakarsa_id :
11.

12.

13. (Tamat) - ongoing.

*****

GUMBOLO PATI #11

Tiga hari berlalu sudah, sejak ‘Bedhong Mayit’ itu di ambil kembali dari almarhum Pak-
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
-Broto. & sudah selama tiga hari ini pula Pak Dirja hampir dibuat putus asa, karena teror dari jin kafan yg semakin mengerikan saja.

Bagaimana tidak, semalam ada kejadian yg hampir saja mencelakai Darwis. Cucu mendiang Mbah Gajul atau anak Pak Dirja itu hampir menelungkupkan ke-
Read 71 tweets
Mar 15
GUMBOLO PATI #10

Bedhong Mayit 2

"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror Image
Part sebelumnya #9

On @karyakarsa_id

10.
11.
12.
13 -Tamat. (On going)

“GUMBOLO PATI” #10.

Sore ini, sekira pukul 16.00.
Tampak Pak Dirja & Darwis sudah berada di dekat mulut-
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
-terminal, di dalam mobil pinjaman dari kantornya, mereka menunggu Pak Sukoco untuk melayat ke tempat Pak Broto.

Sekira 5 menit menunggu, Pak Sukoco pun muncul, dengan pakaian rapinya, ia langsung masuk ke dalam mobil, dan mengajak untuk segera berangkat.

“Ayo berangkat”. Ka-
Read 74 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(