Diosetta Profile picture
Oct 29, 2022 970 tweets >60 min read Read on X
SENDANG BANYU GETIH
(Sendang Air Darah)
Part 1-Desa Ini Dikutuk
- A Thread -
Gemericik air seolah memanggil seseorang untuk mendekat ke dalam hutan.
Siapapun tdak akan menduga akan apa yang ia temukan.
Sebuah sendang dengan air berwarna hitam..
#bacahorror @mwv_mystic @IDN_Horor Image
Ada hal mengerikan yang tidak mereka sadari di sana, sebuah kenyataan bahwa sudah ada ratusan mayat terbaring di dasarnya..

Sendang Banyu Getih…

@bacahorror_id @ceritaht
Prolog

Terlihat seorang pria berjalan memasuki rimbunya hutan yang hampir jarang sekali di jamah oleh manusia.
Wajah dan pakaianya begitu lusuh. Terlihat ruam di matanya bersama bekas luka dan darah yang menjadi riasan di sekitar pipinya.
Suara langkah kakinya berdampingan dengan sesuatu yang ia seret sambil tertatih. Isak tangis terdengar dari setiap langkah yang ia lalui. namun seperti lembaran yang sudah mengerak, sudah tidak ada lagi air mata yang bisa menetes di pipinya.
Pria itu terhenti di sebuah sendang di tengah hutan. Entah dari mana sendang itu mendapatkan airnya, namun hitamnya warna permukaan sendang itu seharusnya membuat setiap manusia menjauhinya.
“Ini bayaran atas permintaanku,” ucap pria itu seolah berbicara dengan sesuatu yang ada di sendang.
Tak ada jawaban apapun selain riak air yang tercipta dari pertemuan antara angin dan permukaan air hitam itu. Walau begitu, pria itu percaya ada yang mendengarkan ucapanya..
Ikatan tali dilepas. Bungkusan kain yang sebelumnya dibawa dengan diseret itu akhirnya bisa terbuka. Pria itu menangis sejadi-jadinya tanpa air mata namun sayangnya ia tidak bisa mundur lagi.
Jasad seorang anak kecil perempuan terbaring di bungkusan kain itu. tubuhnya pucat, kulitnya membiru dan mulai membengkak, bercak darah masih terlihat di beberapa bagian kulit dan bajunya.
Dengan sisa tenaganya pria itu menggendong jasad anak perempuan itu dan membawanya tepat di depan sendang. Ia melihat sekelilingnya, namun semua terlalu hening. Bahkan suara seranggapun tidak terdengar malam itu.
Pria itu terus menangis sembari mencelupkan seluruh tubuh anak kecil itu hingga perlahan-lahan tenggelam ke dasar sendang.
Awalnya semua hening seperti sebelumnya. Pria itu pikir, mungkin Ia akan menyesali apa yang ia perbuat.
Namun tiba-tiba jasad anak kecil itu tertarik masuk ke dasar yang lebih dalam dan mulai menghilang dari pandangan Pria itu.
Saat itu hawa semakin dingin, riak air sendang semakin deras seolah menandakan munculnya sesuatu dari dalam sendang.
Dan benar saja, terlihat sosok kepala-kepala manusia memenuhi sendang itu dan mengintip ke permukaan air. Mereka hanya menampakan wajahnya dari ujung kepala hingga sebagian hidungnya. Matanya menyala merah dengan terus menatap ke pria itu.
Rasa takut menjalar ke tubuh pria itu. sosok-sosok yang mengambang-ngambang di permukaan sendang itu berhasil membuat pria itu merinding dan terjatuh di pinggir sendang yang dangkal.
Kengerian itu tak berhenti sampai di situ. Sekali lagi dari dalam air muncul sesuatu yang mengambang. Perlahan tubuhnya terus naik seolah ia berjalan di permukaan air yang dangkal.
Sosok itu tidak kalah mengerikan. Wanita berwajah pucat dengan rambut yang tak berbentuk.
Tubuhnya dipenuhi borok dan sisik aneh dengan baju kebaya yang telah terkoyak.

“Seberapa berharga tumbal yang kamu hanyutkan?”

Makhluk itu mendekat ke arah pria itu hingga jarak antara wajah mereka hanya beberapa jengkal.
Pria itu ketakutan melihat sosok itu, namun kehadiranya menandakan apa yang ia lakukan sesuai dengan tujuanya.
Walau begitu, pria itu malah menangis seolah meledakkan penyesalan di dalam dirinya.
Ia mengacak ajak rambutnya dan beberapa kali memukul tanah dan air di sekitarnya untuk membuat pikiranya lega. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
Jasad itu dipastikan akan bersemayam bersama makhluk-makhluk mengerikan itu.
“Sekali lagi kutanya… seberapa berharga tumbal yang kau hanyutkan?”

Pria itu menatap makhluk misterius itu tanpa bisa menghentikan tangisnya.

“Di—dia anakku..” Jawab pria itu.

Seketika suara tawa makhluk itu pecah hingga terdengar ke penjuru hutan.
Makhluk-makhluk yang mengintip dari permukaan sendangpun ikut menyeringai dan membuat sendang itu terlihat seperti neraka yang mengerikan.
Tetapi, keputusan telah dibuat. Di tengah tawa makhluk-makhluk itu hanya pria itu yang menangisi perbuatanya. Entah apapun alasanya, pertukaran sudah terjadi dan tidak bisa dibatalkan.

***
Intermezzo :

Di Beberapa daerah, warga masih mengkeramatkan beberapa Sendang yang memiliki berbagai kisah di belakangnya.

Tak jarang banyak warga yang mendatangi sendang tersebut untuk mencari peruntungan dengan dipandu oleh paranormal.

liputan6.com/regional/read/…
Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu tempat, tapi juga berbagai Sendang yang memiliki latar cerita mistis.

bukanya menjauhi, orang-orang yg mengharapkan keuntungan dengan instan malah kerap kali mendatangi tempat seperti ini tanpa tahu konsekuensinya

news.detik.com/berita-jawa-te…
Namun tak hanya selalu soal pesugihan atau pengasihan.
beberapa sendang juga dipercaya bahwa airnya diyakini bisa menyembuhkan berbagai penyakit.

Apapun itu, semua memang diluar nalar manusia.

joglosemarnews.com/2020/09/mengua…
Dan kisah ini akan menceritakan salah satu dari sendang-sendang itu yang berada di salah satu tempat di Jawa Timur.

Semoga kisah ini bisa sedikit membuka mata kita untuk lebih bijaksana dalam menanggapi fenomena keberadaan Sendang Keramat di sekitar kita.
solopos.com/penampakan-sen…
Part 1 - Desa ini Dikutuk

Sudah hampir lima tahun aku berpindah ke ibukota bersama dengan seluruh keluargaku. Semenjak Bapak mendapat penempatan kerja dsana, hampir tidak ada alasan untuk kami sekeluarga untuk pulang kampung ke desa kelahiranku itu.
Desa Banyujiwo, itulah nama desaku. Sebuah desa yang terletak di selatan Jawa Timur. Bukan desa yang terkenal, namun desa ini sesekali masih menjadi tempat singgah bagi pelintas jalur antarkota yang melewati jalur selatan.
Saat ini aku masih menikmati pemandangan dari jendela bus yang kutumpangi. Sudah sangat jarang aku melihat jalan dengan jalur-jalur pegunungan yang dipenuhi pepohonan yang masih hijau.
Sayangnya jalur pegunungan yang penuh tikungan ini kadang membuatku kepalaku sedikit tidak nyaman.

Bukanya tanpa alasan aku seorang diri memutuskan untuk kembali ke desa, salah satunya karena rasa rindu dengan teman-teman masa sekolahku.
Tapi yang terpentinng sudah satu tahun ini hampir tidak ada kabar dari desa. Entah karena mereka semakin sibuk atau memang sudah lupa terhadap keluarga kami.

“Terminal-terminal!” teriak kernet bus yang memberi aba-aba untuk penumpang yang akan turun.
Akupun bersiap dengan menurunkan tasku dan berjalan ke pintu sisi depan bus.

“Nek sampean wis ngroso ora penak, ndang lungo ninggalke tempat kuwi yo.. ojo kesuwen ning kono,”
(Kalau kamu sudah merasa tidak enak, segera pergi tinggalkan tempat itu ya.. jangan terlalu lama di sana)

Tiba-tiba nenek yang duduk di kursi depan berbicara sembari menepuk pundakku.

“Ma—maksud mbah?” tanyaku.
Namun belum sempat berbicara lagi, bis sudah berhenti dan membukakan pintu untukku. Kernet buspun segera mempersilahkanku untuk turun bersama penumpang yang telah mengantri di belakang.
Aku masih penasaran dengan apa yang dimaksud oleh mbah itu. Tapi saat aku menoleh ke arah bis itu lagi, aku tidak bisa melihat keberadaanya di kursi depan tempat ia menepuk pundakku tadi.
Akupun tidak mau ambil pusing atas kejadian itu dan segera mencari angkutan umum untuk menuju ke desaku, desa Banyujiwo.
Perlu setengah jam perjalanan untuk bisa sampai di jalur menuju desa.
Tidak masalah, karena aku menikmati perjalanan itu sembari menikmati pemandangan kota yang nanti akan cukup sulit dijangkau bila sudah memasuki desa Banyujiwo. Pasalnya untuk sampai ke desa, aku masih harus menyambung dengan ojek dua tak yang bisa melewati jalur terjal.
Beruntung aku sampai saat hari masih siang, sudah ada beberapa tukang ojek yang bersiap mengantarku menunggu di ujung jalan setapak. Walau jalurnya sulit, tapi desa Banyujiwo tidak berdiri sendiri di tempat itu, ada beberapa desa lain yang bernasib sama dalam hal akses ke desa.
“Lha mase asli seko Banyujiwo to?” (Lha masnya asli dari desa Banyujiwo to?) Tukang ojek itu membuka pembicaraan.

“Iyo mas, nanging wis pirang taun ora mulih. Mbuh omahku saiki bentukane koyo opo,” (Iya mas, tapi sudah berapa tahun tidak pulang.
Nggak tahu rumahku sekarang bentuknya kayak apa).
“Tapi kalau masih ingat pulang itu sudah bagus lho, biasanya kalau sudah kenal gaya hidup ibukota sudah pada tidak mau lagi pulang ke sini,” balasnya.
Perjalanan itu kami lalui sembari mengobrol hal-hal ringan agar perjalanan tidak terasa terlalu lama.
Menjelang maghrib, sampailah aku di gapura desa. Aku hampir tidak percaya pernah tinggal di desa ini selama belasan tahun.
Tulisan Nama desa masih belum berubah, hanya saja ada bekas hiasan-hiasan baru sisa-sisa dekorasi acara kemerdekaan.

“Matur nuwun yo mas,” aku menyerahkan beberapa lembar uang untuk tukang ojek itu dan bersiap meninggalkanya.

“Mas..” tukang ojek itu memanggilku lagi.
Kali ini ia mengernyitkan dahinya seolah mengingat-ingat sesuatu.

“Masnya simpan nomor saya ya mas. Nanti kalau ada apa-apa telepon saya saja, biar saya jemput,” ucapnya.

Sebenarnya aku mau menganggap ucapan itu sebagai promosi jasanya.
Tapi raut wajahnya terlihat bahwa bukan itu saja maksudnya.
“Memangnya ada apa mas?” tanyaku.
Tukang ojek itu berusaha mengingat sesuatu. Dari raut wajahnya sepertinya itu bukanlah hal yang baik.
“Beberapa bulan lalu saya pernah mengantar seseorang ke desa ini. Dia bukan warga desa Banyujiwo. Nah, pas menjelang tengah malam tiba-tiba dia menelpon saya berkali-kali dan meninggalkan pesan untuk dijemput,” Tukang ojek itu memulai cerita.

“Terus mas?”
“Saya tidak mengangkatnya karna sudah ketiduran. Paginya saya telpon balik, nomornya sudah tidak aktif. Dan pas saya mengantar orang ke desa ini, saya tanyakan tentang orang itu namun sama sekali tidak ada petunjuk mengenai keberadaanya,”
Aku mengernyitkan dahi mencoba mencerna cerita tukang ojek itu.

“Menghilang? Diculik atau bagaimana mas?” tanyaku.

“Ndak tahu, sampai sekarang masih menjadi misteri. Yowis saya pamit dulu ya mas, keburu gelap,” balasnya.
Aku hanya menggeleng mendengar cerita orang itu. Orang menghilang di desa ini? seumur-umur aku hidup di desa ini, aku belum pernah mendengar cerita tentang hal itu. Tapi, tidak ada salahnya aku menyimpan nomor orang itu untuk mengantarku pulang nanti.
“Mas Tiko?” tanya seorang pemuda yang kebetulan melihat kedatanganku sembari melintas.

“Eh.. i—iya, sebentar.. Pak Sukoco bukan?” tanyaku sembari mengingat-ingat wajah orang itu.

“Ealaah… suwi ora mrene nganti pangling aku,” (Ealah.. lama nggak kesini sampai pangling kau)
ucapnya sembari memperhatikanku dari ujung kaki ke ujung kepala.
“Ke rumah kan? Ayo saya antar. Tenang saja, rumahmu dirawat sama Mbah Sagimin kok, Jadi masih layak tinggal,” lanjutnya.
“Eh iya Pak, matur nuwun yo.. kangen aku sama Pak Sukoco sama warga yang lain juga,” balasku.
Pak Sukoco memang cukup dekat dengan keluargaku saat masih tinggal disini.
Selain sering membantu bapak mengurus kebunya dulu, Pak Sukoco juga paling bisa diandalkan untuk membantu bapak membereskan masalah rumah seperti genteng bocor dan sejenisnya.
Seingatku ia mempunyai seorang anak perempuan. Srintil namanya. Mungkin saat ini ia sudah sekolah di tingkat SMA.

Mengetahui kedatanganku, beberapa warga menyambutku dan menanyakan keadaan bapak dan ibu di ibukota.
Sementara itu Pak Sukoco membantu mencarikan Pak Sagimin yang memang dipercaya bapak untuk mengurus rumah keluarga kami.

“Ngapunten Mas Tiko, ngenteni suwi yo?” (Maaf Mas Tiko, nunggu lama ya?) ucap Mbah Sagimin yang tergesa-gesa membukakan pintu rumah untukku.
“Boten mbah, santai mawon. Kulo yo isih nostalgia, menikmati suasana ning deso iki meneh” (Nggak mbah, santai saja. Saya ya masih nostalgia menikmati suasana di desa ini lagi) Balasku.
Dia adalah Mbah Sagimin, orang kepercayaan bapak. Umurnya mungkin sudah lanjut, tapi keberadaanya masih sangat berarti buat desa.

Aku kembali ke rumah tempat tinggalku sejak kecil. Benar kata Pak Sukoco, rumah ini benar-benar terawat tidak seperti ditinggal selama lima tahun.
Setidaknya listrik masih menyal, setidaknya aku bisa menyalakan lampu untuk tidur nanti malam dan menonton televisi tabung yang kulihat masih rapi di lemarinya.
“Setiap malam selasa dan malam kamis saya tidur di sini Mas, anak-anak juga sering saya ajak mampir sambil bersih-bersih sesuai amanah bapak dulu,” jelasnya.

“Iya mbah, matur nuwun. Saya jadi tidak usah repot beres-beres rumah dulu,” balasku sembari tersenyum.
Aku cukup lega, kukira saat sampai di rumah aku akan disambut dengan tumpukan debu dan sarang laba-laba yang melintang. Namun berkat Mbah Sagimin, semua itu tidak terjadi.
“Sebenarnya kami yang berterima kasih Mas. Bapak sudah mengijinkan saya dan warga untuk menggarap tanah bapak. Bahkan bapak tidak meminta sedikitpun dari hasil garapanya.

Setidaknya saat ini hanya inilah yang bisa kami lakukan untuk balas budi,” ucap Mbah Sagimin.
Aku tersenyum mendengar ucapan itu. Sebenarnya aku tahu bapak tidak berpikir sampai sejauh itu. Menurutnya lahan kebunya mungkin akan berguna untuk Mbah Sagimin dan yang lain daripada kosong dan dipenuhi tanaman liar.
Terlebih gaji bapak saat ini sudah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga kami.

“Pokoknya saya tetep berterima kasih sama Mbah Sagimin.” Balasku.

“Sama satu lagi Mas..”

Mbah Sagimin seolah sedikit ragu untuk berbicara.

“Kenapa Mbah?”
“Ngapunten, saya malam ini ada urusan. Jadi tidak bisa menemani Mas Tiko tidur di rumah,”
“Owalah, aku kira apa Mbah,” balasku.

Sebenarnya memang ada sedikit rasa takut untuk tinggal sendirian di rumah yang sudah lama tidak kutempati.
Tapi seharusnya aku bisa mengatasi masalah itu.
“Besok pasti saya temani mas, tapi tolong sebisa mungkin menjelang tengah malam Mas Tiko jangan keluar rumah ya..” ucap Mbah Sagimin dengan wajah serius.
“Saya memang tidak ada rencana keluar tengah malam mbah, tapi memang ada apa mbah?”

“Ti—tidak, pokoknya apapun yang terjadi menjelang tengah malam nanti tolong jangan keluar dari rumah. Saya pastikan rumah ini aman,” Ucapnya lagi.
Tingkah laku mbah sagimin benar-benar mencurigakan. Tapi karena aku berpikir tidak ada rencana apapun malam ini, akupun mengiyakan ucapan Mbah Sagimin.

Iapun memasukkan rantang yang ia bawa dan menggelarnya di meja makan.
“Di rumah lagi masak seadanya Mas Tiko, sayur bayem sama tempe. Besok biar saya motong ayam. Sudah lama kan nggak ngerasain opor buatan istri saya?” ucap Mbah Sagimin.

“Wah..terima kasih Mbah, nggak usah repot-repot.”
“Mboten repot kok mas, kulo sing seneng kedatengan Mas Tiko. Pokoke Monggo disekecake, kulo pamit riyen.”
(nggak repot kok mas, saya yang senang kedatengan Mas Tiko. Pokoknya silahkan dinikmati, saya pamit dulu)
Aku menghantarkan Mbah Sagimin keluar rumah dan kembali masuk ke dalam untuk menikmati makanan yang dibawakan oleh Mbah Sagimin. Tidak menyangkal, sedaritadi suara perutku juga sudah mendayu-dayu mengharapkan ada yang bisa membungkamnya.

***
Suara rintik hujan sedikit mengganggu tidurku. Walaupun tidak deras namun beberapa kali suara getaran jendela terdengar dari angin yang berhembus membangunkanku.
Aku masih terus berusaha menutup mata untuk melanjutkan tidur,
namun entah mengapa terasa begitu sulit untuk kembali terlelap.

“Dharrr!!”

Suara petir menggelegar berhasil mengagetkanku hingga terduduk. Seketika jantungku berdetak begitu kencang dan memaksaku untuk mengatur nafasku.

“Mas…”
Samar-samar aku mendengar ada suara seorang anak perempuan yang memanggil. Tapi ini sudah tengah malam, mana mungkin ada suara anak perempuan di sekitar sini?

“Mas tolong…”
Kali ini suara itu terdengar bersamaan dengan tangisan.
Suaranya terdengar lirih seolah benar-benar meminta pertolongan.
Aku yang penasaran segera beranjak dari kasurku dan mencari asal suara itu.
“Khikhikhi…”
Terdengar suara anak perempuan lagi. Tapi kali ini ia tertawa kecil.
Tak lama setelahnya terdengar suara langkah kaki yang berlari kecil.
“Siapa itu?” teriakku memastikan, namun sama sekali tidak ada jawaban.
Aku beberapa kali mencari asal suara-suara itu tapi nihil. Merasa cukup lelah, akupun memutuskan untuk kembali ke kamar.

“Mas….”
Kali ini terdengar sangat jelas. Suara itu berasal dari luar jendela.
Akupun membatalkan niatku kembali ke kamar dan berbelok ke arah jendela ruang tengah dimana asal suara itu berada. Aku menempelkan telingaku memastikan apakah masih ada suara?
Kali ini telingaku benar, terdengar suara tangisan dari sisi luar jendela.
Dengan segera aku membuka jendela kayu itu dengan susah payah. Engselnya sudah berkarat hingga aku harus menggoyangkan beberapa kali hingga daun jendela itu bisa terbuka.
Seorang anak perempuan berambut panjang berdiri beberapa meter di hadapanku. Ia mengenakan daster putih yang sudah sangat lusuh dan basah. Anehnya sebagian kulitnya menghitam dan samar-samar aku mencium bau yang tidak enak.
“Kowe sopo dek? Kok iso ono ning kene?” (Kamu siapa dik? kok bisa ada di sini?) tanyaku penasaran.

Anak perempuan itu tidak menatapku, ia hanya berdiri merunduk menutupi wajahnya dengan rambutnya dibawah rintikan hujan sembari terisak.

“Dek..” aku memastikan sekali lagi.
Tiba-tiba anak perempuan itu berhenti menangis. Perlahan ia mulai menatapku, namun ada yang aneh. Samar-samar aku melihat anak wanita itu menyeringai.
Saat itu juga tubuhku merinding merespon senyumanya.
Naluriku seolah menandakan bahwa ada yang tidak beres dengan anak perempuan itu.
Akupun mundur dan bersiap menutup jendela untuk pergi, namun anak itu malah berjalan perlahan untuk mendekat.
Hawa dingin yang menyelimutiku seolah memerintahkanku untuk meninggalkan wanita itu untuk pergi. Namun sebelum itu terjadi, perlahan terdengar suara kegaduhan mendekat ke arah sini.

“Brakk!”
Sebuah benda melayang disusul dengan cairan yang bermuncratan ke wajahku.
Aku mengusapnya perlahan dan mendapati bahwa cairan itu adalah darah.
Sontak aku menoleh ke arah benda itu dilemparkan.
Sebuah kapak melayang menghantam kepala anak perempuan itu. Benar-benar pemandangan yang mengerikan. Seorang anak perempuan dengan kapak menancap di kepalanya.
“Aaa… aaarrghh”
Aku panik! Namun setelahnya terdengar suara seseorang berlari menyusul arah kapak itu.

“Jangan keluar dari rumah itu!” Teriaknya.
Aku mengenal suaranya. Itu adalah Mbah Sagimin. Ia menatapku dengan mata serius dan kembali menyusul anak perempuan itu.
“Mbah! Apa-apaan ini?” tanyaku.
Ia tidak menjawab, sebaliknya pemandangan mengerikan kembali terlihat dihadapanku.

Anak perempuan itu bangkit berdiri!
“Khikhihkhi…. “
Ia tertawa… Anak perempuan itu berdiri dengan kepala yang tertancap kapak sambil tertawa! Tapi Mbah Sagimin tidak menunggu lama. Ia mengambil lagi kapak di kepala anak perempuan itu dan membelah tubuhnya berkali kali .
“Mbah! Sudah mbah! Sudah!!” teriakku yang tidak mampu melihat pemandangan itu.
Setelah memastikan anak wanita itu tidak bergerak, Mbah Sagimin menyeret tubuh anak perempuan itu dan meninggalkan rumah.
“Mbah! Apa maksud ini semua?” Aku memaksanya menjawab, namun sepertinya ia tidak berniat menjelaskan.

Dengan terpaksa aku berlari ke arah pintu rumah, dan bermaksud menyusulnya.

“Sudah kubilang! Jangan tinggalkan rumah.
Mereka tidak akan memasuki rumah itu,” teriak Mbah Sagimin dengan wajah beringas, sangat berbeda dengan tadi.

“Nggak Mbah… pokoknya jela…”
Belum sempat menyelesaikan kata-kataku tiba-tiba terlihat beberapa anak perempuan berbaju kumal dengan tubuh yang seolah membusuk berlarian memasuki desa. Mereka terlihat seolah ingin menikmati suatu permainan.
“Paaakk! Tolong pak!!” terdengar suara seorang ibu yang berteriak keluar rumahnya. Ia keluar dengan sesosok anak perempuan lainya yang menggigiti tubuhnya dengan beringas hingga beberapa bagian tubuh ibu itu terluka cukup parah.
Mbah Sagimin yang melihat hal itu segera menghampiri ibu itu. Dan melempar kembali kapaknya ke anak perempuan itu. Pemandangan mengerikan terjadi kembali dihadapankui.

Aku menoleh ke arah anak-anak wanita yang memasuki desa tadi.
Mereka sudah berhadapan dengan warga desa lain yang juga membawa kapak, alat pemukul, pisau, dan semua benda yang bisa dijadikan senjata.
Hal yang sama dilakukan oleh warga desa kepada anak-anak perempuan itu.
Mereka dibantai dengan sadis oleh warga desa, namun anehnya anak-anak aneh itu masih bergerak mencoba meronta dengan kondisi itu.
Suara tawa anak wanita terdengar dari seluruh penjuru desa.
Namun suara itu segera menghilang saat kepala makhluk-makhluk itu bisa dipisahkan oleh warga desa.

“Gerobaknya sudah di Gapura!” Teriak salah seorang pemuda yang berlari dari arah gapura..
“Fajri?”
Aku melihat pemuda yang wajahnya tidak asing untukku. Dia seperti teman sekolahku dulu.

“Fajri! Kamu Fajri kan?” Aku berlari meninggalkan rumah dan menghampiri pemuda itu.

“Eh… lho! Tiko? Kok?” Fajri terlihat bingung dengan keberadaanku.
“Apa maksudnya ini Jri? Anak perempuan ini siapa?” tanyaku yang tidak sabar menginginkan penjelasan.

Fajri masih merasa canggung denganku, sementara itu Mbah Sagimin menghampiriku sembari membawa jasad anak perempuan yang sudah ia habisi.
“Mas Tiko! Masuk kerumah, saya sudah meminta orang untuk memasang perlindungan di rumah itu,” ucapn Mbah Sagimin.

Aku menggeleng, saat ini sudah ada banyak warga desa yang keluar. Aku harus bisa memastikan apa yang terjadi saat ini.
“Nggak Mbah! Ini semua apa? Anak-anak perempuan ini siapa?” Tanyaku.

Mbah Sagimin meletakkan jasad anak-anak perempuan itu di gerobak di gapura. Beberapa warga menyusulnya sembari bersiaga akan kedatangan sesuatu yang lain.
“Sudah Tik, nanti aku jelasin. Kamu berlindung saja dulu. Biar kami ngurusin makhluk-makhluk ini,” ucap Fajri.

Aku tidak puas, dan berharap penjelasan saat ini juga.

“Sudah penuh Fajri! Bawa dulu ke sana…” ucap Pak Sukoco yang ternyata juga ikut melakukan hal serupa.
Kali ini ia tidak seramah tadi sore, ia hanya melirikku sebentar dan kembali membantu warga lain.

“Jri! Tolong Jri.. Jelasin ke aku!” paksaku.

“Aaarghh.. ya sudah, ikut aku! Itu di gerobak ada linggis, pegang buat jaga-jaga,” ucap Fajri.
Akupun menuruti perintahnya untuk mengambil linggis diantara beberapa jasad anak perempuan yang terbaring seperti bangkai di gerobak yang dibawa Fajri.
Gila.. baunya benar-benar menjijikkan, bau itu seperti bau daging yang sudah sangat membusuk.
Di tengah rintikan hujan aku dan fajri mendorong sebuah gerobak yang ukuranya tidak biasa ke arah hutan. Aku menebak, gerobak ini sengaja dibuat untuk hal seperti ini.

"Jasad ini mau dibawa kemana Jri? Dikubur?” Tanyaku.
“Kubur? Nggak Tik. Kami pernah mencoba mengubur mereka, tapi malam berikutnya mereka kembali lagi ke desa,” Jelas Fajri.

Sontak aku menoleh kearahnya.

“Kembali? Maksudnya jasad-jasad ini hidup lagi?” Tanyaku.
Fajri mengangguk, kali ini ia benar-benar benar-benar berniat menjelaskan kepadaku.

“Kejadian dimulai sekitar dua tahun yang lalu. Kami warga desa sampai saat ini belum tahu apa penyebabnya dan mengapa bisa seperti ini,” ucapnya.
Menurut Fajri, sekitar dua tahun yang lalu tiba-tiba ada anak-anak seperti ini yang mendatangi desa. Anehnya mereka terlihat mengenakan baju yang sudah sobek dan kulit yang menghitam. Terlebih mereka membawa bau busuk.
Di tengah malam mereka memasuki rumah ke rumah dan menyerang siapapun saat mereka terlelap. Ada yang digigit hingga telinganya putus, ada yang dagingnya terkoyak, ada yang bola matanya hampir tercungkil, dan yang paling banyak besoknya banyak warga yang terserang penyakit.
Di malam itu warga menangkap makhluk-makhluk berwujud anak kecil itu dan mengikatnya. Anehnya saat matahari subuh mulai bersinar anak-anak perempuan itu mati. Mereka seperti jasad yang sudah membusuk sangat lama.
Warga memutuskan untuk mengubur jasad itu di pinggir hutan. Mereka pikir masalah sudah selesai saat itu. Tapi ternyata mereka salah.

Di malam berikutnya, hujan turun dengan deras. Hal yang tidak bisa dipercaya terjadi lagi saat itu.
Anak-anak ini bangkit dari kuburnya dan kembali ke desa di tengah derasnya hujan.
Sekali lagi malam mengerikan terjadi di desa Banyujiwo. Ada beberapa warga yang menjadi korban, salah satunya adalah Anak pak Sukoco.. Srintil.
Ia meninggal dengan mengenaskan saat Pak Sukoco sedang membantu warga lain menangkap makhluk-makhluk ini. Srintil meninggal di rumahnya dengan tubuh yang tercabik cabik, dan kepalanya yang menghilang.
Esoknya Warga segera mencari bantuan orang-orang pintar untuk menangani masalah ini, namun hampir tidak ada satupun yang bisa mengatasi. Sampai ada salah satu orang pintar yang mendapat petunjuk.
Jasad-jasad ini harus dibuang di Sendang Banyu Getih yang berada di dalam hutan.
Cerita Fajri terhenti tepat saat kami tiba di sebuah sendang yang berada di tengah hutan. Sendang dengan air yang berwarna hitam pekat yang menyatu dengan akar-akar pohon kering. Aku mencium bau menyengat dari sendang ini.

“Ini yang dimaksud Sendang Banyu Getih?” Tanyaku.
Fajri mengangguk, ia mendekatkan gerobaknya ke pinggir sendang itu dan bersiap menghanyutkan jasad jasad anak perempuan tadi ke dalam sendang. Aku mencoba membantu sebisaku. Bau dari jasad-jasad dan sendang ini benar-benar membuatku merasa mual.
“Kalau memang sudah pernah melakukan itu, kenapa anak-anak ini bisa kembali lagi ke desa?” Tanyaku.

“Aku nggak tahu Tik, tapi makhluk-makhluk itu kembali bangkit tiap malam-malam tertentu. Sesepuh desa seperti Mbah Sagimin yang mengerti hitunganya.” Ucapnya.
Aku masih benar-benar tidak percaya dengan semua cerita ini. Setelah menghanyutkan semua jasad ke sendang itu, kamipun kembali ke desa. Kami berpapasan dengan sebuah gerobak lagi yang dibawa warga desa lain yang juga berisi jasad serupa,
sepertinya tidak cukup satu gerobak saja untuk membawa jasad anak-anak yang menyerang desa ini.
Saat sampai di desa, aku menyaksikan wajah warga desa yang lelah bercampur bingung.
Akupun tidak ingin menambah beban mereka dan memilih untuk kembali ke rumah dan berbicara dengan mereka besok.

“Sesok tak mampir Tik, kowe musti akeh sing arep ditakokke”
(Besok tak mampir Tik, kamu pasti banyak yang mau ditanyakan) ucap Fajri.
Aku mengangguk dan kembali masuk ke dalam rumah. Tidak ada yang ingin kulakukan lagi saat itu selain membersihkan diri dan kembali tidur. Mungkin saja bila besok ada yang mengatakan kejadian malam ini adalah mimpi, aku akan percaya.

***
“Desa ini dikutuk…”
Mbah Sagimin membuka pembicaraan dengan sebuah kalimat yang seketika membuatku merinding.

Fajri juga hadir di sini bersama Pak Sukoco. Mereka sengaja ingin menjelaskan ini semua kepadaku pagi ini.

“Maksud Mbah Sagimin? Dikutuk bagaimana?” Tanyaku.
Mbah Sagimin menggeleng, sepertinya ia juga tidak mengetahui penyebab kutukan itu. sama seperti yang Fajri ceritakan semalam.
“Tidak ada yang tahu Mas Tiko, selama dua tahun ini kami hanya bertahan dari hal-hal seperti semalam tanpa tahu penyebabnya dan tanpa tahu cara menyelesaikanya,” Jelas Mbah Sagimin.
“Tanggapan orang pintar selalu berbeda-beda. Ada yang bilang ada warga desa yang melakukan pesugihan, ada yang bilang warga desa melanggar tabu… ah mbuh mas,” tambah Pak Sukoco.
Fajri tidak berniat menambahkan, sebaliknya ia hanya menyeruput kopi hitam yang baru saja dibuatkan oleh Mbah Sagimin.

“Sudah lapor polisi?”

“Justru polisi yang pertama kali kami hubungi saat desa ini diserang. Namun mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa.” Ucap Mbah Sagimin.
Memang masuk diakal, tidak mungkin seorang polisi melakukan hal sebrutal yang dilakukan warga desa kemarin. Bahkan bila ada polisi, mungkin warga desalah yang akan ditangkap.

“O iya pak sukoco, saya turut berbela sungkawa ya atas kepergian Srintil,” ucapku.
“Terima kasih Mas Tiko, maaf saya tidak berani untuk cerita,” balasnya.

Perbincangan pagi itu menceritakan hampir semua yang sudah diceritakan oleh Fajri kemarin.
Menurut mereka, saat ini sudah ada orang pintar yang membantu menangkal serangan makhluk itu namun hanya beberapa rumah yang bisa terlindung karna syarat yang dibutuhkan cukup sulit. Tapi menurutku hal itu bukanlah solusi jangka panjang.
Siangnya, akupun memutuskan untuk menceritakan hal ini kepada bapak.


“Sendang Banyu Getih? Bapak tidak pernah menyangka warga desa akan ke tempat itu lagi,” ucap bapak heran.
“Iya pak. Menurut orang pintar yang membantu warga, hanya cara itu yang bisa menahan makhluk-makhluk itu,” balasku.

Bapak terdengar menghela nafas. Dari suaranya ia sepertinya juga tidak menyangka akan mendengar berita seperti ini dariku.
“Tapi keadaan warga desa bagaimana? Mbah Sagimin? Pak Sukoco? Temen-temenmu?” Tanya bapak.

“Baik pak, tapi anak Pak Sukoco juga jadi korban tahun lalu. Si Srintil..” jawabku.
Bapak cukup kaget mendengar kabar itu. pasalnya saat masih tinggal di sini, Srintil kecil sering main ke rumah dan bermain dengan bapak dan ibu.

“Kita harus bantu warga desa Le, coba kalau kamu ada kenalan orang yang bisa membantu.
Bapak juga sambil mencari informasi dari sini. Kalau masalah bayaran nanti bapak siapin,” ucap bapak.

Aku cukup senang mendengar reaksi bapak. Tapi seperti cerita Mbah Sagimin tadi, sudah banyak orang pintar yang ke sana namun masih saja gagal.
Apa aku dan bapak bisa mencarikan orang yang bisa menyelesaikan kutukan di desa ini?

“Mas mau coba ke desa Bonomulyo ga? Di kota sebelah” ucap tukang ojek yang mengantarku kemarin.
Ia memang sengaja kuhubungi untuk mengantarku ke kota untuk mencari informasi tentang kejadian semalam ke polisi setempat. Namun benar ucapan warga desa, mereka seperti pura-pura tidak tahu dengan kejadian itu.
“Bonomulyo? Ada orang pintar di sana?” Tanyaku sembari menyeruput kopi di warung kopi rekomendasi dari tukang ojek itu.

“Bukan mas, di sana sedang ada kejadian yang nggak kalah serem. Ada anak seorang juragan kaya yang kerasukan bertahun-tahun,” ucapnya.
Aku bergidik ngeri mendengar cerita itu.

“Terus hubunganya apa?”

“Nah.. juragan ini seperti sedang membuat sayembara. Mereka mengumpulkan orang pintar, pemuka agama, dukun, atau apapun yang bisa menyembuhkan anaknya. Nggak main-manin hadiahnya sawah lima hektar,” jelasnya.
Aku mulai mengerti maksudnya, mungkin bila bisa menangani masalah anak juragan itu, bisa saja dia juga bisa mengangani permasalahan di desa Banyujiwo ini.

“Kayaknya nggak ada salahnya dicoba, lha masnya mau nganterin ga?” Tanyaku.
“Lha nek aku siap tok to mas, sing penting bensin pite mbek supire aman” (Lha kalau aku siap donk mas, yang penting bensin motor sama supirnya aman) Jawabnya.
“Tenang mas, kalau itu saya juga ngerti. Terus daritadi kita ngobrol penjang lebar, padahal saya aja belum tahu nama masnya,” ucapku.
“Hehe.. panggil aja Mas Badrun. Tenang saja, kalau ke Bonomulyo nanti bisa numpang nginep di rumah bapak saya. Sekalian pulang kampung,” balasnya.

“Owalah.. ada udang dibalik rempeyek to,”
“Haha, nggak gitu mas kan sekalian. Seandainya masalah di desa itu bisa benar-benar bisa tuntas saya juga seneng mas.

Warga desa juga sudah banyak yang curhat ke saya. Kadang saya ikut sedih, tiap beberapa bulan pasti ada yang meninggal dengan tidak wajar.
Selama ini saya bertanya kepada warga Banyujiwo, namun mereka tidak pernah menceritakan dengan jelas. Entah karena malu akan keadaan desanya atau memang sedih untuk menceritakan lebih dalam.

Baru dari masnya ini saya dapet cerita jelas tentang keadaan desa Banyujiwo,” jelasnya.
Aku menghela nafas mendengar ucapan Badrun saat itu. Bahkan dia yang tinggal tak jauh dari desa saja tidak tahu secara jelas tentang kutukan di desaku.

Mungkin saja bila aku baru datang hari ini, warga desa akan menyembunyikan tentang kutukan desa itu juga padaku.
Hari itu kuputuskan untuk meninggalkan desa Banyujiwo sementara. Semoga saja dengan mendatangi desa Bonomulyo aku bisa mendapatkan jalan untuk menyelamatkan desaku dari kutukan mengerikan itu.

***
Bersambung part 2 – Para Pengusir Setan
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga akhir. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian yang menyinggung..

Buat yang mau baca duluan atau sekedar support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..
di part 2 kita akan mampir lagi ke Desa Bonomulyo

karyakarsa.com/diosetta69/sen…
SENDAN BANYU GETIH
Part 2 - Para Pengusir Setan

Tiko mencari pertolongan ke desa Bonomulyo dimana orang-orang sakti sedang berkumpul atas sayembara warga di sana.
Tapi apa itu adalah keputusan yang tepat?

#bacahorror @IDN_Horor @ceritaht Image
Part 2 - Para Pengusir Setan

Desa Bonomulyo, Sebuah desa yang cukup padat oleh penduduk dan termasuk desa percontohan di kabupaten ini. Walau begitu, sebenarnya pernah ada kisah yang cukup membuat bulu kuduk merinding saat membicarakan tentang desa Bonomulyo.
Beberapa tahun yang lalu, berdampingan dengan desa Bonomulyo ada sebuah desa yang bernama Desa Srawen. Sebuah desa kecil yang hanya dihuni sekitar seratus kepala keluarga. Namun ada satu kejadian aneh yang membuat seluruh warga desa itu meninggal dengan misterius.
Konon warga desa Bonomulyo juga mengalami kejadian-kejadian aneh setelahnya. Namun hal itu berhenti setelah ada beberapa orang yang menjaga desa ini.

“Nah, kita sudah sampe nih Mas Tiko,” ucap Mas Badrun yang menghentikan motornya di sebuah warung makan.
“Ya sudah, kita makan siang dulu saja. Wis laper to?” Balas Tiko.
“Yo jelas, makanya saya sengaja berhenti di depan warung,” ucapnya sembari tertawa cengegesan.
Tiko hanya menggeleng sembari tertawa menyaksikan tingkah laku Badrun.
Setidaknya dengan tingkahnya itu, Tiko merasa tidak bosan sepanjang perjalanan tadi.


“Mas, kok mung sayur karo tempe tok? Nambah iwak ayam opo liyane ngunu” (Mas kok cuma sayur sama tempe tok? Tambah lauk ayam atau lainya gitu) ucap Tiko.
“Boten sah mas, iki wae.. sing penting segone mumbul. Iya to bu?” (Nggak usah mas, ini saja.. yang pening nasinya penuh. Iya kan bu?) Balas Badrun yang dibalas dengan senyuman oleh ibu warung.

Tikopun mengambil lauk ayam goreng satu lagi dan meletakkanya di piring Badrun.
“Makan yang kenyang mas. Tenang aja, jajanya kita berdua ini ga semahal jajanku sekali makan di Jakarta kok,” Balas Tiko yang mulai menikmati makananya.

“Wah.. beneran mas? Matur nuwun lho.. rejeki ndak kemana.”
Badrun menatap dengan semangat menu makanya itu dan memakanya dengan lahap.
Sembari makan di warung, Tiko dan Badrun cukup sering melihat beberapa orang dengan pakaian aneh yang memasuki desa.
Mulai dari pakaian serba hitam seperti dukun, Pengembara menggunakan caping, hingga seseorang dengan menggunakan atribut agama tertentu.

“Bu, sejak kapan kampung ini jadi ramai dengan pendatang begitu?” Tanya Badrun penasaran.
“Owalah.. itu to? ya sejak seminggu yang lalu waktu Pak Juwono mengumumkan sayembaranya,” balas ibu itu.

“Jadi sayembara itu beneran?”

“Lha bener to mas, wong dipasang di papan pengumuman desa juga,”

Tiko penasaran dengan pengumuman apa yang di pasang.
Iapun menghabiskan makananya dan mengajak Badrun mencari tahu pengumuman apa yang dipasang juragan kaya itu.

Badrun menunjukkan jalan menuju pos desa dimana terdapat papan pengumuman yang di maksud.
Sepertinya dari cara Badrun menunjukkan jalan, dia tidak bohong bahwa dia memang berasal dari desa sini.

Sebelum mereka sempat sampai di papan itu, mereka melihat beberapa orang berpakaian hitam dengan benda pusaka yang terikat di pinggangnya.
Sepertinya dia berasal dari suatu perkumpulan.
“Minggir! Orang kampungan nggak usah ikutan urusan ini,”

Seseorang yang berkumis tebal menghardik pemuda yang sedari tadi terpaku menatap pengumuman itu. iapun hampir terjatuh, beruntung ada tiang pos yang menjadi peganganya.
Iapun hanya menatap orang-orang itu dan memilih untuk pergi sembari merapikan sarungnya yang melingkar di bahu.

“Kalau berurusan sama mereka, mending cabut aja Mas Tiko. Kayak orang tadi,” ucap Badrun.
“Iyo mas, ngerti aku. semoga bukan orang-orang itu yang harus kita mintai tolong,” balasku.
Cukup lama sekumpulan orang itu membaca pengumuman. Sepertinya mereka sudah mendapat petunjuk kemana mereka harus pergi.
Akupun mengambil kesempatan itu untuk membaca pengumuman yang ada di hadapanku.
Aku mengira akan menemukan pengumuman seperti sebuah sayembara jaman dulu, namun ternyata apa yang terpampang dihadapanku sangat berbeda dengan apa yang kubayangkan.
Sebuah surat…
Pengumuman itu adalah sebuah surat yang berisi rasa putus asa seorang ayah yang sangat mengharapkan kesembuhan anaknya.

------

Saya hampir menyerah…
Tapi, Menur adalah anak saya. Anak saya yang sangat saya sayangi dari lubuk hati yang terdalam.
Setiap teriakan kesakitanya, teriakan amarahnya, dan apapun yang terdengar dari mulutnya selalu menyayat hati saya.

Sudah berbagai macam cara kami coba untuk mengobati Menur.
Rumah sakit, tabib, pemuka agama, dukun, atau apapun itu namun sama sekali tidak ada perubahan dengan keadaan Menur.

Seandaikan ada yang bisa saya tukarkan untuk kesembuhan Menur. Saya bersedia memberikan harta saya seluas lima hektar tanah atas nama saya sendiri.
Itu tidak seberapa dibanding kesembuhan Menur saat ini.
Saya tidak peduli apakah yang datang akan dokter, dukun, orang pintar atau apapun itu. selama itu bisa membuat anak saya benar-benar sembuh dan sehat hingga ia bisa meneruskan masa depanya.
-Juwono

------
Ada gambaran peta yang menunjukkan ke arah rumahnya. Sebenarnya Tiko cukup heran dengan surat ini, perbuatanya ini benar-benar beresiko. Bisa saja pengumuman ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang licik dan berniat jahat.
Badrun ikut membaca pengumuman itu dan memastikan lokasi yang dimaksud. Rupanya ia mengenali lokasi itu dengan mudah. Sebelum terlalu sore, Badrunpun mengajak Tiko menaiki motornya lagi dan berangkat menuju rumah Pak Juwono.
Sesuai dugaan Tiko, sudah ada beberapa orang di sana. Namun seolah tidak ingin terlihat mencolok, beberapa dari mereka memilih menunggu di tempat-tempat sekitar rumah Pak Juwono.
Ada yang bersemedi di bawah pohon, mengobrol dengan tetangga, hingga ada yang berputar-putar mengelilingi rumah Pak Yuwono seperti mencari petunjuk.

“Ayo Mas, mumpung Pak Juwononya ada di rumah,” ajak Badrun.
“Tapi mas, yang lain aja pada menunggu di luar. Emang beliau mau menerima kita?” Tanya Tiko.

“Sudah, ikut saja mas..” balas Badrun dengan santai.

Tiko hanya mengikuti Badrun setelah ia memarkirkan motornya tak jauh dari rumah Pak Juwono.
Banyak mata memandang kami dengan sinis, namun Badrun masih tetap berjalan dengan santai.

“Kulo nuwun, Lek..” Panggil Badrun seolah ia sudah terbiasa dengan rumah itu.

Suara langkah kaki terdengar berjalan kearah keluar dengan ragu.
Seorang bapak mengintip sedikit sebelum akhirnya menghampiri Badrun.

“Eh Badrun, kowe kok iso ono ning kene?” (Eh Badrun, kamu kok bisa ada di sini?) Tanya bapak yang menyambut kami itu.

“Iyo Lek Ju, aku dapet kabar katanya Menur sakit. Maaf lek baru bisa jenguk,” ucapnya.
“Iya nggak papa, terima kasih sudah nyempatin waktu. Kamu sama bapakmu?” Tanya Pak Juwono.

“Nggak Lek, belum sempet mampir rumah malah. Ini malah saya bareng sama teman saya. Saya bener-bener khawatir sama keadaan Menur.” Ucap Badrun sembari mengenalkan Tiko.
“Saya Tiko Pak,” ucap Tiko memperkenalkan diri.

“Owalah.. ya sudah ayo masuk dulu. Mohon maaf ya, masih ada beberapa orang yang mengobati Menur, saya nemenin mereka sebentar” jawab Pak Juwono.
Merekapun masuk ke dalam rumah dan duduk di tempat yang dipersilahkan. Kamar Menur berada tepat di dekat ruang tamu. Dari kursi tamu, sedikit-sedikit mereka dapat melihat apa yang terjadi di kamar Menur.
Menur ternyata masih berumur belasan tahun, terlalu mengenaskan mengetahui seorang anak seumuranya mengalami bencana seperti ini.

Tiko memperhatikan seisi rumah Pak Juwono yang cukup mewah untuk sekelas rumah yang ada di desa.
Koleksi barang-barang antik seperti karpet kulit binatang dan guci-guci juga terlihat menghiasi isi rumah Pak Juwono.

“Pak Juwono paklekmu to?”Tanya Tiko sembari menyenggol lengan Badrun.

“Bukan,hanya saja Pak Juwono sering ke rumah bapak dulu. Jadi aku cukup dekat sama mereka.
Lagipula warga desa sini hampir setengahnya masih ada hubungan keluarga kok,” balasnya.
Tiko mengangguk, penjelasanya memang cukup masuk akal. Tikopun sebenarnya masih ada hubungan darah walau jauh dengan orang-orang di desanya.
“Drun, diminum dulu ya. Bapak biar nemenin tamu-tamu dari jauh itu dulu,” Ucap Mbok Tumi salah satu pembantu Pak Juwono yang juga sudah lama mengikuti tuanya itu.
“Iyo Mbok Tumi, matur nuwun” balas Badrun menerima dua gelas kopi yang disuguhkan pada mereka.
Sembari menunggu Pak Juwono merekapun menyaksikan apa yang terjadi di kamar Menur. Bau kemenyan tercium sangat pekat dari sana. Samar-samar terdengar juga suara-suara mantra berbahasa jawa kuno terdengar dibacakan oleh beberapa orang dari dalam sana.
“Khikhikhi… kowe ora iso. Khikhikhi…” (Kamu tidak bisa) terdengar suara wanita dengan suara yang aneh dari dalam kamar.
“Kowe ora iso misahke aku karo bocah iki,” (Kamu tidak bisa memisahkanku dari anak ini)
Itu adalah suara yang berasal dari tubuh Menur. Ia seolah tidak terpengaruh oleh bacaan-bacaan dan ilmu yang digunakan oleh orang-orang sakti itu.

“Nek kowe nantang! Tak ladeni!” (Kalau kamu menantang! Saya ladeni!) Ucap orang dengan dandanan menyerupai dukun itu.
Iapun mengeluarkan sebilah keris yang terselip di pinggangnya. Dengan abu yang ia lemparkan ke tungkunya, tiba-tiba muncul nyala api dari tempatnya membakar kemenyan.
Melihat kejadian itu seketika Tiko dan Badrun merinding.
Ia seolah merasakan udara di bangunan itu berubah semakin dingen bersamaan dengan suasana yang menjadi mencekam.
“Cring!”
Terdengar suara besi dari dalam kamar. Suara itu terdengar saat Menur berusaha pergi meninggalkan kamar untuk menjauh dari apa yang dukun itu lakukan.
“Gila! Menur dipasung Drun?” Tanya Tiko.
“Sepertinya begitu, aku nggak nyangka kalau memang separah itu,” Balas Badrun.

Menur terlihat ketakutan, ia berusaha merangkak keluar meninggalkan kamar untuk menjauhi dukun itu.

“To—tolong! Panass!” Teriak sosok dalam tubuh Menur.
Ia meronta dan merangkak keluar dengan wajah pucat dan tersiksa. Rambutnya terlihat acak-acakan dengan potongan yang tidak sempurna. Terlihat beberapa luka ditubuhnya yang mereka sendiri belum mengetahui penyebabnya.
“Hahaha.. pengecut! Kesini kamu!” Ucap dukun itu yang menarik rambut Menur dan menyeretnya ke dalam.

“Mbah.. jangan kasar mbah, dia anak saya,” ucap Pak Juwono berusaha menahan dukun itu.
“Bapak diam saja dan saksikan dari jauh! Biar saya habisi setan ini di depan mata bapak!” Balas dukun itu.
Pak Juwono terlihat kebingungan, ia merasa kasihan dengan anaknya. Namun satu sisi ia ingin anaknya segera pulih dari keadaanya saat ini.
Tiko dan Badrun merasa tidak tega saat melihat mata Pak Juwono berkaca-kaca.
“Pati geni ngiket urip, ngobong jiwo ngelarung angkoro..”
Mantra itu diucapkan dukun itu dengan menggenggam sebilah keris dan menjambak Menur dari belakang.
Menur berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Wajahnya terlihat ketakutan. Walau begitu, mereka tahu dengan pasti itu bukanlah raut wajah Menur yang sebenarnya.
Dukun itu tidak omong kosong. Mantra yang ia ucapkan menggetarkan setiap kaca yang ada di rumah ini selah ilmunya bisa menghancurkan apa saja yang berada di sekitarnya.

“Panass!! Panass!! Aku kobong!” (Aku terbakar) teriak Menur tersiksa dengan mantra itu.
Ia meronta memukuli pintu, lantai, atau apapun yang bisa iya sentuh namun dukun itu seperti tidak berniat menyiksa Menur.

Tapi… dalam hitungan beberapa detik tiba-tiba Menur terdiam.

“Be—berhasil?” Tanya Pak Juwono.
Suasana di tempat itu menjadi hening beberapa saat. Namun perasaan aneh tetap menyelimuti kami yang berada di rumah ini.

Dukun itu tidak menjawab pertanyaan Pak Juwono. Ia tidak dapat memastikanya sebelum melihat langsung wajah Menur.
Tapi, tidak dengan Tiko dan Badrun. Dari posisinya saat ini, mereka melihat wajah Menur justru tersenyum dengan tertutup oleh rambutnya.
Ia menoleh ke arah dukun itu dengan wajah yang melecehkan.
“Ora ono sing luwih seko iki?” (Tidak ada yang lebih dari ini) Ledek Menur sembari mulai tertawa.
Dukun itu kesal dan mulai membaca berbagai mantra. Rumah besar ini semakin bergetar, aku merasakan hal-hal mengerikan mendekat ke tempat ini.
“Lho.. kowe malah nyeluk demit-demit liyane. Khikhikhi”
(Lho kamu malah memanggil setan-setan lainya) ucap Menur yang sama sekali tidak terganggu dengan mantra itu, sebaliknya kehadiran sosok lain mulai terasa di sekitar bangunan ini..
Dukun itu mulai berkeringat. Tiko dan Badrun mulai resah merasakan kehadiran makhluk lain yang berada di sekitar mereka.

“Tiko, bahaya ki.. aku merinding” ucap Badrun.

“Dari dateng aku juga udah merinding Drun” balas Tiko.
Sekelebat mereka melihat sosok-sosok yang mengintip dari jendela, dan di celah pintu seolah ada sosok tak kasat mata yang penasaran dengan keadaan di rumah ini.

Dukun yang sedari tadi menjambak Menur tiba-tiba terlihat aneh.
Matanya melotot, Ia seolah menahan sesuatu sampai kesakitan seperti itu.

Tak berlama berselang, tiba-tiba dukun itu memuntahkan darah dan berusaha keluar dari kamar Menur. Menur tidak membiarkanya, ia menarik tubuh dukun itu kembali.
Ia menjambaknya dan menghantamkanya ke dinding.
Pak Juwono dan beberapa anak buah dukun itu mencoba menahan Menur, namun semua percuma.
Dukun itu berusaha mengambil kesempatan itu untuk berlari tertatih ke luar rumah. Menur menolak dan menjatuhkan semua orang yang memeganginya. Dengan sekali gerakan, rantai yang mengikat Menur terlepas dari dinding. Iapun meninggalkan ayahnya dan mengejar dukun itu.
Tiko dan Badrun tidak punya nyali untuk menahan Menur, yang bisa mereka lakukan adalah segera berlari untuk membantu Pak Juwono.
“Menur? Tolong hentikan Menur!” perintah Pak Juwono.
“Iya Lek Ju, ayo kita susul” Tiko dan Badrun membantu Pak Juwono untuk ke depan, sementara dua anak buah dukun itu mengejar Menur.
Saat mereka sampai di luar, langit sudah mulai memerah. Suasana di tempat itu benar-benar membuat siapa saja yang menyaksikanya merasa merinding.
“Ampun! Ampun!!!” teriak dukun yang benar-benar menjadi ketakutan dengan sosok yang merasuki tubuh menur itu.
Menur tidak menghentikan apapun itu yang ia ingin lakukan. Ia hanya menatap dukun itu dan dukun itu terus kesakitan memuntahkan darah dari mulutnya.
Kedua anak buah dukun itu berhasil menangkap Menur namun Menur terus menatap dukun itu sambil menyeringai tanpa beranjak dari tempatnya.
“Dukun goblok, bisa kalah dari setan coro begini..”
Kali ini tiba-tiba muncul seorang kakek dengan pakaian jawa lusuh mendekat kearah Menur dan mengikatnya dengan tali yang telah ia bacakan mantra.
“Cuh!”
Tanpa rasa terusik, Menur malah meludahi kakek itu dan membuat kakek itu semakin marah. Mantranya membuat tali yang mengikat Menur terbakar secara ajaib. Tapi tetap saja Menur tidak takut. Sebaliknya wajah kakek tua yang terkena ludah Menur terasa begitu gatal.
“Gatal! Wajahku gatal!! Apa ini??!” teriaknya panik yang tak mampu menahan rasa gatal yang amat sangat itu.
Ia menggaruknya namun rasa gatalnya malah semakin menjadi. Bahkan wajahnya mulai berdarah dengan kuku-kukunya sendiri.
Para orang-orang sakti yang sedari tadi menunggu diluarpun terusik melihat kejadian itu. Mereka merasakan hal yang mengerikan merasuki Menur dan memutuskan untuk mengepungnya setidaknya itu mengurangi resiko yang akan mereka tanggung.
“Jangan… jangan sakiti anak saya!” Pinta Pak Juwono.
“Mundur pak, anak bapak sudah dirasuki iblis..” balas salah satu dari mereka.
Ia mengeluarkan cemeti yang panjang yang diserahkan oleh anak buahnya dan memukulkanya beberapa kali ke tanah.
“Mbah! Tidak harus seperti itu mbah!” Badrun berteriak mencoba menahan orang itu, namun sepertinya ia tidak berniat mendengarkan Badrun.
Seseorang lagi menggenggam benda seperti boneka kecil hitam dengan berbagai pusaka dari bagian tubuh hewan yang menggantung di kalungnya.
“Jenglot.. itu jenglot kan?” Tanya Tiko.
Tiko dan Badrun tidak menyangka di pelataran depan rumah Pak Juwono itu mereka melihat orang-orang,benda, dan sosok–sosok yang selama ini hanya ia dengarkan dari cerita mulut ke mulut.
Serangan cemeti orang sakti itu mengenai tubuh Menur dan membuatnya berteriak kesakitan. Pak Juwono berlari ke arah Menur untuk melindunginya, tapi anak buah orang-orang itu menahan Pak Juwono.
Menur yang semakin mengamuk mengejar orang itu dan menangkap cemetinya. Di sisi lain, dukun yang menggenggam jenglot itu membawa taring hewan buas dan menusukkanya di leher Menur.
Menur menggeram kesakitan, ia semakin marah.
“Khikhkhi… aku kesal.. mati saja kalian!” Ucap Menur yang sepertinya benar-benar merasakan kesakitan oleh serangan orang-orang sakti itu. Kali ini suara Menur berubah lagi, sepertinya memang ada beberapa sosok yang merasuki tubuh Menur.
Langitpun menjemput malamnya, bersamaan dengan itu mata Menur memutih. Mulutnya memuntahkan cairan hitam namun ia terus tertawa.
Seketika semua orang yang menyerangnya terjatuh. Mereka kesakitan dan meronta-ronta.
Mata mereka menghitam dengan cairan yang keluar dari setiap lubang di tubuhnya.
Bukan tanpa perlawanan, beberapa sosok bayangan muncul dari jenglot yang dukun itu pegang bersiap melawan, namun dalam sekejap sosok itu menghilang seolah takut dengan keberadaan Menur.
“Sudah Menur! Hentikan! Jangan bunuh siapapun!” pinta Pak Juwono.
Wajah Menur sudah penuh dengan emosi. Entah makhluk apa yang merasukinya. tapi di tengah-tengah kejadian itu, tiba-tiba ada keris yang melayang dan menusuk bahu Menur.
Ia kesakitan, tapi sepertinya tusukan itu juga tidak terlalu dalam.
Mereka semua menoleh ke arah dimana keris itu berasal. Beberapa orang terlihat mendekat dengan ciri pakaian yang Tiko dan Badrun pernah ketahui sebelumnya.
Mereka adalah orang-orang sakti yang melihat pengumuman itu sebelum mereka.
“Kalau tidak bisa diusir, bunuh saja!” perintah salah satu pimpinan mereka.
Pak Juwono semakin ketakutan, ia memeluk menahan Menur dari belakang namun ia malah terpental jauh hingga terjatuh ke tanah.
Orang sakti itu terus menyerang Menur dengan kerisnya, beberapa dari mereka terpental namun tak jarang serangan itu sampai ke tubuh Menur dan membuat darah segar mengucur dari tubuhnya.
Sosok di dalam tubuh Menur tidak terima, ia semakin mengamuk hingga bebatuan di sekitar tempat itu melayang menghantam kepala orang-orang itu. Pertarungan sengitpun terjadi, dukun itu sepertinya juga bukan dukun yang bisa dianggap remeh.
Keris yang ia miliki berhasil melukai Menur hingga kewalahan. Tapi entah mengapa aku merasakan bau busuk yang kukenal tercium saat keris itu terayun.
“Ka—kalau Menur mati gimana Drun?” tanya Tiko.
“Lha! Mbuh Tik.. aku nggak pernah menghadapi kejadian seperti ini” balasnya.
Ada beberapa warga yang menyaksikan kejadian ini, tapi sebagian memilih pulang dan bersembunyi untuk melindungi diri.
Hasil adu ilmu mereka tidak dapat diduga, saat satu persatu anak buah dukun itu tumbang alur pertarunganpun berubah.
Menurpun kembali tertawa…
“Khekhekeh… rupanya keris ini kau dapat dari sendang itu,” ucap sosok dalam tubuh Menur.

“Ti—tidak! Tidak mungkin! Kukorbankan anak buahku untuk mendapatkan kekuatan ini” ucap dukun yang mulai terpojok dengan sesuatu yang menahan gerakanya.
Menur menyeringai dengan mengerikan, ia merebut keris yang sempat menusuk pundaknya tadi dan menjilati darahnya.
“Khekheke.. anak buah yang kau korbangkan ingin kamu mati!” ucap Menur yang segera mencekik dukun itu. Iapun bersiap menghujamkan keris itu tanpa ampun.
Tiko dan Badrun menutup mata tak mampu melihat kejadian itu. ia membayangkan akan ada darah yang bermuncratan lagi dari seorang dukun kehilangan nyawanya.
Tapi… dugaan mereka salah.
Ada seseorang yang menahan tangan Menur dari belakang. Seorang pemuda..
“Drun… kuwi sopo? Kok ora asing?” (Drun, itu siapa? Kok nggak asing?) tanya Tiko.
Badrun mencoba mengingat, dan benar ucapan Tiko. Penampilan orang itu tidak asing. Seorang pemuda dengan sandal jepit dan mengalungkan sarung di bahunya.
“Kuwi uwong sing mau ndelok papan pengumuman Tik”
(Itu orang yang melihat papan pengumuman Tik) Balas Badrun yang berhasil mengingat pemuda itu.
“Pak.. Pak Juwono nggak papa? biar diobati sama temen-temen dulu ya” tiba-tiba seseorang dengan wajah yang cukup bijak menghampiri kami bersama warga lain.
“Pak Karyo, kenapa bisa ada di sini? Orang itu siapa?” Tanya Pak Juwono.
“Itu teman saya, sudah Pak Juwono tenang dulu. Ayo ke pindah ke tempat yang aman..” ajak Pak Karyo.
Dari gelagat dan perbincangan warga, sepertinya Pak Karyo adalah salah satu orang penting di desa ini.
Setelah menyerahkan Pak Juwono pada Pak Karyo, Tiko dan Badrun kembali memalingkan perhatianya kepada Menur.
Orang itu memegang lengan Menur dan menahanya dengan mudah. Menur terus berusaha menyerang dukun itu untuk menghabisinya, namun tanganya tetap saja tertahan.
Tidak seperti dukun lainya, orang ini hanya berpakaian seperti warga desa biasa. Ia bahkan hanya mengenakan celana pendek dan nyaman dengan sarung yang terkalungkan di bahunya.
“Sudah, biar saya yang melindungi anak ini,” ucap pemuda itu.
Mendengar kalimat itu Menurpun terdiam. Ia menoleh ke arah pemuda itu dan berbalik waspada.
“Sopo kowe?” (Siapa kamu) tanya Menur.
“Uwong apik” (Orang baik) balas pemuda itu singkat.
Menur tetap tidak peduli, ia masih saja menatapnya dengan matanya yang memutih dan mengutuk pemuda itu. Namun lantunan ayat suci pemuda itu seolah mengacaukan kutukan itu dan membuatnya seolah tidak berpengaruh.
Mendengar hal itu Menur gentar, ia mengambil jarak dari pemuda itu dan berteriak melengking dan menggema ke seluruh desa. Semua orang di tempat itu menutup telinga, namun bukan suara itu yang membuat mereka semua merasa was-was.
Asap hitam dan sosok makhluk yang besar muncul dari tubuh Menur.
Sontak seluruh orang pintar, warga desa dan seluruh orang yang ada ditempat itupun merinding dan tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Jadi itu yang merasuki Menur?” Tanya Badrun.
“Gila, setelah di desa semalam. Ini kedua kalinya aku melihat setan mas,” ucap Tiko heran.
Namun tidak dengan pemuda bersarung itu..
Saat sosok besar itu muncul dengan mata merah menyala tiba-tiba terdengar suara raungan keras entah dari mana.
Yang mereka tahu suara itu tidak jauh dari posisi pemuda bersarung itu berada.
Menur mundur mendengar suara itu, entah mengapa ia merasa waspada dengan pemuda yang sebenarnya terlihat sangat sederhana itu.
“Tinggalkan anak itu, biar aku yang menjaganya” ucap pemuda itu sekali lagi.
“Kalian tidak bisa dipercaya” ucap sosok yang berada dalam tubuh Menur dengan wajah yang penuh emosi.
Pemuda itu mengibaskan sarungnya dan melemparakan beberapa benda yang terjatuh tepat di hadapan Menur.
Gulungan kertas, jerami yang diikat dengan mantra, tanah kuburan yang terbungkus kertas, serta beberapa jimat dengan bentuk yang mengerikan terjatuh di tanah.
“A—apa itu?” Pak Juwono kebingungan menyaksikan dari jauh benda yang dikeluarkan oleh pemuda itu.
Tiko dan Badrunpun langsung bisa menebak bahwa benda-benda itu membawa hal buruk untuk seseorang.
Jika mengikuti maksud perkataan pemuda itu, mungkin saja orang yang diincar itu adalah Menur.
Kali ini tatapan Menur berubah, ia menatap pemuda itu tidak lagi dengan amarah. Hawa dingin dan perasaan ancaman seketika menghilang dari sekitar mereka.
“Bila kau gagal melindungi anak ini, aku akan kembali lagi..” ucap sosok yang berada di dalam tubuh Menur.
Saat itu juga Menur terjatuh lemas di tanah. Pemuda itu mengangkat tubuh Menur dan membawanya masuk ke dalam rumah.
“Pak tolong rantai di kaki anak ini dilepas saja ya,” ucap pemuda itu pada Pak Juwono.
“Ta—tapi?”
“Sudah pak, tenang.. dia sudah tidak apa-apa” balas pemuda itu.
“Namanya Menur Cahyo, ini Pak Juwono ayahnya” jelas Pak Karyo yang menemaninya masuk ke dalam rumah.
Setelah kejadian itu, dukun dan orang pintar yang telah kalah dari sosok Menurpun kembali ke tempat asalnya. Pak Karyo juga yang mengkomunikasikan akhir masalah ini pada mereka.
Walau begitu, sepertinya masih ada yang tinggal seolah mengharapkan kekalahan orang yang bernama Cahyo itu.
“Mas Badrun kok bisa sampai di sini?” Tanya Pak Karyo.
“Niatnya mau jenguk Menur pak, sambil ada keperluan sedikit. Tapi lebih baik dibahas nanti,” jawab Badrun
“Bapak gimana kabarnya? Masih narik?” Tanya Pak Karyo.
“Masih pak, sudah saya kirim uang tiap bulan dan saya minta istirahat tapi bapak masih bersikeras ingin tetap narik angkot,” jelas Badrun.
Mendengar cerita itu Tiko menoleh ke arah Badrun. Ia baru tahu kalau ayah Badrun seorang supir angkutan umum. Tiko jadi sedikit salut denganya, walau hanya berprofesi sebagai tukang ojek, ia tidak pernah melupakan kewajiban kepada orang tuanya.
“Nggak papa Drun, kalau nggak narik, bapakmu mau disuruh apa? Kasian kalau bengong aja di rumah,” jawab Pak Karyo.
“Iya juga, tapi saksenenge bapak wae wis. Sing penting Pak Karyo bantu sering-sering ngobrol sama bapak, nek ono opo-opo kasi tahu saya,”
(Iya sesenengnya bapak saja, yang penting Pak Karyo tolong bantu sering ngobrol sama bapak, kalau ada apa-apa kasih tahu saya)
ucap Badrun.
“Ya Jelas donk, pak Mardi kan temen saya. Makanya kamu tenang saja.
Buat Pak Mardi, yang penting kamu makan kenyang dan hidup bahagia walau milih untuk tinggal cukup jauh,” balas Pak Karyo.
Badrun sedikit menghela nafas sambil tersenyum mendengar ucapan Pak Karyo itu.
Ia sadar ayahnya sangat sayang padanya, tapi mendengar itu dari bibir orang lain membuat Badrun merasa sedikit berbeda.
Sembari sedikit mengobrol, mereka mulai mendengar ayat-ayat suci terlantun di kamar Menur.
Tidak hanya Cahyo, terdengar juga Pak Juwono melantunkan ayat yang sama walau masih terbata-bata. Sepertinya mas Cahyo mengajari pak Menur ayat-ayat itu yang mungkin bisa berguna untuk menjaga Menur.
“Mas Cahyo itu dukun dari mana Pak Karyo?” Tanya Tiko penasaran dengan orang yang mengalahkan Menur tadi.

“Heh, ngawur kamu! Mas Cahyo bukan dukun!” ucap Pak Karyo.
“Lah terus berarti dia apa? Kok bisa dukun-dukun yang terlihat sakti mandraguna itu gagal menolong Menur, sedangkan mas Cahyo bisa?” tanya Badrun.

Sebelum Pak Karyo menjawab terdengar langkah kaki dari kamar Menur.
“Saya tidak bisa, kuasa Tuhanlah yang menolong Menur. Kesalahan dukun-dukun tadi, mereka hanya mengandalkan kesaktian dan dirinya sehingga tidak memahami masalah sebenarnya yang dialami Menur,”

Mas Cahyo muncul sembari menepuk pundak Badrun untuk menjelaskan itu semua.
“Berarti mas Cahyo bukan dukun?” Tanyaku Tiko langsung di hadapanya.

“Bukan, dukun itu kan kalau sudah jadi profesi. Kalau saya membantu sebisanya saja,” jelas Cahyo.
Pak Juwono selesai mengobati luka-luka Menur dan segera keluar menemui kami. Ia dengan begitu hormatnya menyambut Pak Karyo dan Cahyo.
Beberapa suguhan hangat dikeluarkan oleh Mbok Tumi. Dengan sigap Cahyo mengambil singkong goreng dan segelas teh hangat yang disajikan dihadapan mereka.
“Ngapunten yo Pak Juwono, selak keluwen” (Mohon maaf ya Pak Juwono, keburu laper) Ijin Cahyo dengan santai.
“Iya mas… iya, makan yang banyak. Mbok Tumi juga sedang memasak sayur, makan malam di sini ya,” ajak Pak Juwono.
Di momen itulah mereka saling memperkenalkan diri. Pak Juwono benar-benar penasaran dengan kehadiran Cahyo.
Bagaimana bisa dukun-dukun sakti tidak bisa mengalahkan makhluk yang merasuki tubuh Menur, tapi Mas Cahyo bisa?

“Saya tidak mengalahkan makhluk itu pak, wong makhluk itu mencoba menjaga Menur,” balas mas Cahyo.
“Menjaga Menur? Maksud masnya apa? Makhluk itu sudah merasuki Menur bertahun-tahun lho,” Pak Juwono tidak percaya.

Cahyo mengambil sekali lagi singkong goreng dihadapanya dan menghabiskanya sebelum kembali siap bercerita.
“Menur itu anak baik, dia juga punya teman yang tak kalah baik sejak kecil. namun sayangnya temanya itu tak kasat mata,” jelas Cahyo.

Pak Juwono tidak mengerti, tapi ia masih berharap mendengar penjelasan dari Cahyo.
“Sebelumnya, saya memeriksa keadaan rumah ini dan apapun yang berhubungan dengan Menur. Sangat ada hal mencurigakan, salah satunya tujuh benda aneh yang ada disekitar rumah ini. benda itu sengaja diletakkan seseorang untuk menyakiti Menur,”
“Maksudnya benda yang mas Cahyo jatuhkan di luar tadi?” tanya Tiko.
“Benar.. kalau kalian melihat benda seperti itu lebih baik segera bacakan doa dan dibakar,” jawab Cahyo.
Cahyo menjelaskan, ada beberapa sosok yang merasuki Menur. Salah satunya sosok jahat kiriman seseorang dan salah satunya sosok yang mencoba menjaga Menur.
Pak Juwono masih terlihat khawatir. Kalau ucapan Cahyo benar, berarti ada orang yang berniat mencelakai Menur.
“Tunggu mas Cahyo, berarti ada yang berniat jahat terhadap Menur? Walaupun Menur sudah pulih ada kemungkinan lagi Menur akan celaka?” Tanya Pak Juwono.
“Betul Pak Juwono, maka itu saya masih di sini. Masih ada yang harus saya lakukan,” ucap Cahyo.
“Apa? Apa itu mas?” tanya Pak Juwono.
“Ngentekno singkong goreng Mbok Tumi Pak! Ueenak tenan iki,”
(Ngehabisin singkong goreng Mbok Tumi pak, enak banget ini) Ucap Cahyo dengan wajah polos sembari mencomot kembali singkong goreng hangat yang ada di hadapanya.
Sontak wajah Pak Juwono terlihat bingung. Berbeda dengan Pak Karyo yang mulai tertawa.
“Cahyo.. Cahyo, nggak beda jauh sama pakleknya. Pak Bimo juga seneng banget sama singkong goreng di desa sini lho,” ucap Pak Karyo.
Cahyo berganti bercerita bahwa sebenarnya Pak Karyo sudah menghubungi kawanya Bimo sejak beberapa bulan lalu, namun beliau tidak ada kabar selama beberapa bulan termasuk dengan Cahyo. Baru saat ini Cahyo bisa ke tempat ini.
“Nah.. untung paklek nggak ikut, bisa jadi adu sandal di sini cuma gara-gara rebutan singkong goreng,” balas Cahyo.
“Rebutan opo? masih banyak kok di dapur. Kalau kurang Mbok masakin lagi,” tiba-tiba Mbok Tumi dan beberapa pembantu Pak Juwono datang lagi dengan membawa lauk yang sudah siap untuk dinikmati oleh mereka.
“Sudah, Pak Juwono tidak usah khawatir. Mungkin maksud Cahyo biar kita tenang dulu. Nikmati makanan yang ada supaya fisik kita juga pulih” ucap Pak Karyo.
Pak Juwonopun mengangguk, sepertinya ia mulai mengerti maksud Cahyo.
Setidaknya selama Cahyo berada di rumah ini, ia tidak perlu khawatir.
Mengetahui kondisi Menur sudah mulai tenang, Mbok Tumi meminta ijin Pak Juwono untuk membersihkan tubuh Menur dan mengganti bajunya.
Selama menikmati masakan Mbok Tumi, perbincangan-perbincangan santai terjadi diantara mereka. Mulai dari nasib dukun dukun tadi, hingga keadaan desa di sekitar tempat ini.
“Pak…”
Terlihat seorang perempuan berdiri di depan pintu dengan pakaian daster yang anggun.
“Me—Menur?” Pak Juwono tidak bisa mempercayai apa yang ia lihat. Semenjak kerasukan, ia tidak ingat kembali kapan terakhir Menur memanggil dirinya.
“Menur kamu sudah sehat?” Tanya Pak Juwono.
Menur menggeleng, Pak Juwonopun khawatir.
“Menur laper..”
Mendengar ucapan itu tersenyumlah mereka yang ada di ruangan itu. Cahyo segera bergeser dari tempatnya dan mengambilkan piring untuk diserahkan ke Pak Juwono.
“Sini Menur! Sambelnya Mbok Tumi Juwara! Kamu pasti kangen to?” Ucap Cahyo.
Menur segera mengambil piring yang diberikan ayahnya dan mengambil nasi dari ceting yang berada dihadapan mereka.
Semua orang takjub melihat perubahan Menur. Ia memakan dengan lahap dan mencoba hampir semua lauk yang ada di meja itu.
Hampir semua orang di tempat itu terdiam melihat kelakuan Menur. Tinggal Cahyo dan Menurlah yang terlihat menikmati makanan dengan lahap di sana.

“Mas, iki Menur tenanan wis mari opo makin kesurupan to? kok mangane koyo kesetanan?”
(Mas ini Menur beneran sudah sembuh atah semakin kesurupan sih? Kok makanya kayak kesetanan?) tanya Badrun yang heran dengan tingkah Menur. Bahkan piring di tangan Badrunpun tidak lagi tersentuh saking penasaranya dengan tingkah Menur.
“Hus, ora lucu Drun.. heran yo, tapi seneng aku ngeliatnya” (Hus, nggak lucu Drun.. heran ya, tapi aku seneng ngeliatnya) Balas Tiko.
Pak Karyo menggeleng melihat tingkah Menur dan Cahyo. Tapi ada satu hal yang membuatnya tersenyum.
Pak Juwono dan Mbok Tumi hampir tak berkedip menatap Menur dengan mata yang berkaca-kaca.
“Enak to?” Tanya Cahyo pada Menur.
“Jelas mas, masakan Mbok Tumi tuh legendaris! terbaik di desa,” balas Menur.
“Kamu musti mampir ke Klaten tempat mas, masakan bulek juga nggak kalah dari Mbok Tumi,”

“Tenan yo mas, bapak pernah janji mau ngajak Menur ke prambanan. Nanti Menur mampir..”

“Tak tungguin nur.. ajak Mbok Tumi sekalian biar adu ilmu antara bulek sama Mbok Tumi,”
“Ealah mas, juru dapur disamain sama dukun piye to?”

Perbincangan kedua orang itu berhasil membuat suasana di rumah itu berubah. Masakan Mbok Tumipun habis tak bersisa. Tiko melihat pemandangan yang tidak pernah ia sangka saat membantu membereskan peralatan makan di dapur.
Mbok Tumi menitikkan air mata menahan rasa harunya melihat kepulihan Menur. Mungkin bagi Mbok Tumi yang sudah bekerja puluhan tahun di tempat Pak Juwono, Menur sudah seperti anaknya sendiri.
“Matur nuwun ya mbok, masakanya enak,” ucapku sembari meletakkan piring-piring kotor itu di dapur dan segera meninggalkan tempat itu tanpa niat mengganggun waktunya.

“Lantas apa Menur akan kumat lagi mas Cahyo?” tanya Pak Juwono yang masih menyimpan kekhawatiran.
“Sulit untuk mencari siapa yang mengirim teluh dan ilmu hitam itu kepada Menur. Cara paling mudah adalah memancingnya?” ucap Cahyo.

Cahyo menceritakan bahwa ia sudah mengirim balik sosok makhluk yang mencoba menyakiti Menur ke pengirimnya.
Ketika gagal mendapatkan Menur, makhluk itu akan meminta nyawa pengirimnya sebagai gantinya.
Kalau rencana Cahyo berhasil, orang itu akan datang ke tempat ini sebelum tengah malam.
“Masalah besarnya baru dimulai malam ini, bisa saja orang itu mengerahkan semua ilmunya karena saat ini nyawanya terancam oleh peliharaanya sendiri,” jelas Cahyo.
Penjelasan itu membuat seluruh orang yang mendengar menjadi was-was, namun raut wajah Cahyo yang terlihat tenang seolah membuat mereka merasa tidak ada yang perlu di khawatirkan.
“Pak Juwono, Mas Cahyo.. saya ijin mengikuti masalah ini sampai selesai ya. Sebenarnya tujuan saya di sini juga untuk mencari cara menyelamatkan desa saya,” Tiko akhirnya mengutarakan tujuanya kepada Pak Juwono dan Mas Cahyo.
Sepertinya ia juga sudah percaya dengan kemampuan mas Cahyo.
“Masalah? Apa itu serupa dengan masalah Menur?” Tanya Pak Juwono.
Tiko mengangguk,
“Saya akan ceritakan nanti pak, saat ini kita fokus ke masalah Menur dulu saja. Entah mengapa saya merasa masalah ini juga berhubungan. Terutama semenjak roh di tubuh Menur mengetahui soal keris yang didapat dari sebuah sendang..” ucap Tiko.
Mendengar cerita itu Cahyopun menoleh. Sepertinya ia mulai menyadari masalah yang dialami Tiko bukan masalah sembarangan. Tapi ia setuju bahwa yang terpenting adalah masalah Menur yang ada di hadapan mereka saat ini.
….
Ucapan Cahyo menjadi kenyataan, menjelang tengah malam tiba-tiba mereka merasakan sesuatu yang mengusik mereka. Badrun dan Tiko yang hampir tertidur tiba-tiba terjaga dengan perasaan yang mengganggu mereka.
Cahyo ,Pak Juwono, dan yang lainya memutuskan untuk keluar memastikan apa yang menantinya di depan rumahnya.
Benar saja, seorang kakek tua sudah berdiri tak jauh dari rumah Pak Juwono. Kakek itu menanti mereka dengan wajah penuh amarah.
Tubuh kakek itu terlihat aneh. sebagian kulit wajah, tangan dan, kakinya menghitam secara tidak wajar. Itu seperti yang terjadi pada tubuh Menur sebelum ia pulih.
“Bocah tengik! Dadi kowe sing melu campur urusanku?!”
(Bocak tengik! Jadi kamu yang ikut campur urusanku?!) Teriak kakek tu.
Menur yang mendengar teriakan itu segera keluar memastikan siapa yang selama ini mencoba mencelakainya.
Saat melihat kakek itu, tiba-tiba Menur menutup mulutnya seolah tidak percaya.
“Kenapa Menur? Kamu kenal kakek itu?” Tanya Cahyo.
Menur menggeleng, namun ia sepertinya ingat akan sesuatu.
“Menur ingat, Menur hanya bertemu sekali dengan mbah itu sewaktu nyekar kuburan ibu. tapi Menur sama sekali tidak tahu siapa dia,” jelasnya.
Pak Juwono mengernyitkan dahi mendengar cerita Menur.

“Apa maumu dari Menur!” teriak Pak Juwono.
Kakek itu tersenyum dan semakin tertawa.

“Khekhekeh… Menur kuwi mirip cucuku, aku kangen. Aku mung pingin Menur iso dadi cucuku”
(Menur itu seperti cucuku, aku kangen. Aku hanya ingin Menur menjadi cucuku) Balas kakek itu.
“Ngapusi!” (Bohong!) Cahyo membantahnya. Iapun keluar dari rumah dan menghampiri kakek itu.
“Tatapanmu bukan tatapan seorang kakek yang sayang dengan cucunya, itu tatapan nafsu!” bantah Cahyo.
Kakek itu tertawa, sepertinya ia juga tidak membantah ucapan Cahyo. Pak Juwono dan Menur kaget mengetahui kenyataan itu.
“Biadab kau! Dia masih anak kecil!” teriak Pak Juwono.
“Tidak hanya Menur kan? Di sini banyak roh anak perempuan yang menanti agar kau menerima hukumanmu,” ucap Cahyo.
Kakek itu melirik ke arah sekelilingnya. Memang sedari tadi Cahyo sudah sadar akan keberadaan roh anak perempuan,
namun mereka hanya memandang dari jauh tanpa mendekat ke arah kakek itu.
“Ojo sombong kowe!! Demit sing mbok balekno wis tak pateni. Saiki Menur musti tak gowo”
(Jangan sombong kamu! Setan yang kamu kembalikan sudah saya habisi. Saat ini Menur pasti aku bawa) ucapnya.
Tidak asal bicara. Tiba-tiba Menur berteriak memegangi kepalanya, sesuatu kembali mencoba merasukinya.
“Menur!” Pak Juwono mulai kembali panik.
“Pak, masih ingat ayat-ayat suci yang saya ajari tadi?” Tanya Cahyo.
Pak Juwono mengangguk.
“Bacakan terus selama saya menghadapi dukun cabul itu, Menur tidak akan celaka selama mendengar ayat-ayat itu,” ucap Cahyo.
Pak Juwonopun mengerti. Ia membawa Menur masuk sembari membacakan ayat-ayat suci dan doa yang diajarkan Cahyo.
Mbok Tumi, dan Pak Karyopun mengikuti bacaan Pak Juwono dan Menurpun berangsur-angsur kembali tenang.
Dukun itu membacakan mantra hingga muncul bola api di atas tubuhnya.
“Butuh satu nyawa untuk memanggil banaspati sebesar itu, kau sudah gila?” ucap Cahyo.
“Bukan urusanmu,”
Kakek itupun melontarkan api itu untuk menyerang Cahyo, tapi Cahyo tidak gentar.
Dengan segenggam gumpalan tanah ia membacakan doa dan melemparkanya ke sisi yang jauh.
Banaspati itupun mengikuti arah tanah itu dan menyerangnya hingga menciptakan sebuah ledakan.
Cahyo semakin mendekat, namun dukun itupun juga sudah menyiapkan hal yang lain. Ada bayangan hitam di belakang dukun itu. makhluk besar bermata merah dengan bulu yang basah.
“Khekehke… saiki kowe mesti tak pateni” (Khekehkeh.. sekarang kamu pasti mati) ucapnya.
Kali ini langkah Cahyo terhenti. Tiba-tiba tubuhnya terangkat seolah tercekik bayangan hitam yang ingin membanting tubuhnya.

“Wana… sura”
Suara raungan hewan buas terdengar meraung dihadapan dukun itu. sontak sosok bayangan yang mencekik Cahyopun gentar. Ia segera membanting Cahyo namun Cahyo bisa mendarat dengan selamat berkat kekuatan wanasura yang merasukinya.
Cahyo tidak berniat mengurusi setan yang dipanggil dukun itu. ia lebih memilih menendang Kakek itu sekuat tenaga hingga terpental.
“Brengsek!”
“Kali ini apa? Setan rawa?” Tanya Cahyo.
Dukun itu terlihat kesal ketika mengetahui seseuatu yang ia bawa tidak dapat menyaingi Cahyo.
“Habisi bocah ini! Tumbal itu kuserahkan agar kau bisa membunuh bocah itu!” teriak dukun itu memerintahkan setan itu.

“Tumbal lagi?”

Serangan makhluk itu kembali mencoba menangkap Cahyo. Namun kali ini Cahyo terlihat kesal.
“Wanasura! Pulangkan setan ini ke tempatnya!” Perintah Cahyo.

Seketika kedua lengan Cahyo terlihat berbeda seolah semakin kekar dengan roh wanasura yang merasukinya. ia menghantam setan itu bertubi-tubi. Dukun itu tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Tidak! Tidak mungkin! Istriku sudah kutukarkan agar mendapatkan kekuatan setan itu!” tangis dukun itu.

Cahyo yang mendengarkanya semakin kesal, hingga ia membacakan mantra untuk melepaskan ikatan setan itu dari sang dukun.
Ada sebuah benda yang ia ambil dari tubuh setan itu sebelum akhirnya setan itu menghilang dari hadapan mereka.

“Edan, demit semengerikan itu bisa kalah begitu saja,” ucap Badrun kagum.
Badrun dan Tiko tidak menyangka hal-hal mengerikan yang dibawa oleh dukun itu bisa selesai tanpa membutuhkan waktu lama oleh Cahyo.

Akhirnya dukun itupun putus asa, ia tidak berniat melakukan perlawanan apapun lagi. Sepertinya ia tidak punya cara lagi untuk melawan Cahyo.
Cahyo menghampirinya dan menyerahkan benda yang ia ambil dari tubuh setan itu.
Sebuah tengkorak manusia..

“Ini istrimu? Kamu tega menumbalkan orang yang mendampingimu hingga tua hanya demi memenuhi nafsumu?”
Cahyo menari baju dukun itu dan terlihat ingin menghajarnya. Sebelum itu terjadi, tangis dukun itu meledak seolah memberi tahu Cahyo akan rasa penyesalanya.
“Ada cara lain untuk mendapatkan apa yang kau inginkan tanpa memberikan tumbal,” ucap Cahyo sebelum meninggalkan dukun itu.

“Apa itu?” tanya dukun itu.

“Do’a ..”
Cahyo segera menjatuhkan dukun itu dan berpaling meninggalkannya yang masih menangisi tengkorak istrinya. Pengaruh setan dan nafsu telah menutup hati dukun itu dan membuatnya tidak menyadari bahwa ada seseorang yang seharusnya ia jaga dan menyayanginya semasa hidupnya.
ia justru menjadikanya sebagai tumbal untuk mengejar nafsunya.

“Sendang Banyu Getih..”

Tiba-tiba dukun itu mengucapkan sesuatu.
Cahyopun berhenti dan menoleh ke arah dukun tua itu.
“Ada sesuatu yang jahat dari sendang itu yang mempengaruhi saya. Kau bisa mendapatkan apapun sesuai dengan apa yang kau persembahkan,” dukun itu berkata dengan penuh penyesalan.

“Jangan sampai ada orang lain yang bernasib seperti saya…”
Sebelum Dukun itu melanjutkan pembicaraanya tiba-tiba terlihat sebuah keris melayang menghujam jantungnya. Sebuah cepeti melilit lehernya dan taring hewan buas melayang menusuk bagian tubuh dukun itu.
Dengan sebuah tarikan, cemeti itu memisahkan kepala dukun itu dari tubuhnya.
Cahyo kaget dengan kejadian itu. ia yang tidak sempat bertindak untuk menolong dukun itupun merasa geram.

“Keluar !” Teriak Cahyo.
Ada beberapa bayangan dari arah serangan itu. Cahyo tahu dengan jelas bahwa ini adalah ulah dukun-dukun yang sebelumnya gagal mengalah kan sosok di dalam tubuh Menur.
“kami tidak ada urusan denganmu, itu hanyalah hukuman atas perbuatan dedemit suruhanya pada kami tadi” ucap salah satu dari mereka yang segera meninggalkan tempat ini.
Cahyo tidak sempat mengejar mereka. Ia hanya bisa mendoakan jasad dukun tadi dan menguburkanya dengan layak.
***
(Bersambung Part 3 - Sendang Banyujiwo)
Sendang Banyu Getih
Part 3 - Sendang BanyuJiwo

Cahyo terjatuh kedalam sendang dengan air berwarna hitam pekat, ia tidak menyangka di dasarnya terdapat sisa-sisa tubuh manusia yang telah membusuk...

@IDN_Horor
@bagihorror
#bacahorror Image
Part 3 -Sendang Banyujiwo

(Sudut pandang Cahyo)
“Mas Tiko yakin anak-anak perempuan itu bukan manusia?” tanyaku yang baru saja mendengar penjelasan tentang permasalahan di desa Banyujiwo.
“Saya yakin mas, saya lihat sendiri tubuh anak-anak itu seperti jasad yang sudah membiru dan bengkak.

Bahkan setelah dihantam kapak yang meremukan kepalanya, mereka masih bisa bangkit dan mencoba menyerang warga,” jelas Tiko.
Aku masih tidak percaya dengan ucapan Tiko. Mayat hidup? Anak-anak? Terlebih lagi mayat itu kembali utuh dan menyerang desa setiap hitungan hari tertentu.

“Apa warga desa ada yang mengenali jasad anak-anak itu?” Tanya Cahyo.
Tiko menggeleng, “Tidak ada Mas Cahyo, warga desa sendiri bingung dengan penyebab musibah itu.”

Pak Juwono keluar dari kamarnya setelah memastikan Menur sudah tertidur dengan nyaman di kamarnya.

“Gimana Menur pak?” Tanya Pak Karyo.
“Sudah istirahat Pak Karyo, saya tidak menyangka akhirnya akan ada hari seperti ini. Hari dimana Menur bisa pulih,” balas Pak Juwono.

“Alhamdulillah ya pak..” balas Badrun.

Beberapa gelas kopi panas dihantarkan lagi oleh Mbok Tumi untuk menemani perbincangan malam kami.
“Saya mendengar cerita Mas Tiko dari dalam kamar tadi. Apa itu benar mas?” tanya Pak Juwono.

“Benar pak, saya baru saja bisa pulang kampung setelah lima tahun merantau. Saya sendiri hampir tidak percaya,” Jawab Tiko.

Pak Juwono menghela nafas dan menyeruput kopinya.
“Sebelum kejadian Menur, saya termasuk orang yang cuek dengan hal ghaib. Sekarang saya baru tersadar betapa dekatnya hal-hal seperti itu di kehidupan kita,” Pak Juwono seolah merenungkan sesuatu di pikiranya.
“Hal ghaib, jin, iblis, Roh jahat, sihir, itu memang ada Pak Juwono bahkan hampir di semua kitab agama apapun menceritakan akan hal itu.

Tidak untuk ditakuti, tapi juga tidak untuk diremehkan.
Selama kita dekat dengan tuntunan Yang Maha Pencipta kita pasti akan dijauhkan dari masalah yang berhubungan dengan itu semua,” Ucapku berusaha menenangkan Pak Juwono.

Pak Juwono kembali menghela nafas, terlihat wajah khawatir masih terpampang di wajah Pak Juwono.
“Oh iya Mas Cahyo, ini sertifikat sawah seperti janji saya. Nanti biar Pak Karyo yang membantu masalah balik nama dan administrasinya,” ucap Pak Juwono.

“Opo iki Pak Karyo?” (Apa ini Pak Karyo?) Tanyaku bingung.
Pak Karyo tertawa, iapun menjelaskan mengenai sayembara yang diadakan oleh Pak Juwono. Aku memang sudah membaca pengumuman yang dibuat oleh Pak Juwono, tapi aku tidak menyangka beliau sampai benar-benar menyerahkan hartanya itu kepadaku.
“Nggak.. nggak mau, Pak! Saya nggak bisa garap sawah,” balasku menggeser kembali sertifikat tanah itu.

“Eh, ma—maksud Mas Cahyo? Bukanya Mas Cahyo ngebantu kami karna tawaran hadiah ini?” tanya Pak Juwono.
Akupun menggeleng dan menoleh pada Pak Karyo.
“Nggak, Pak Karyo cuma bilang ada saudaranya yang minta tolong. Awalnya saya ga mau, biar Danan saja yang ke sini.
Tapi Pak Karyo bilang katanya sekalian mau ada hajatan yang potong kambing, tumpengan, banyak makanan enak katanya,” Balasku.
Memang… semenjak terbebas dari jagad segoro demit aku hampir tidak bisa menolak godaan makanan-makanan yang selama ini tidak bisa kami makan selama di alam itu.

“Lah? Ini gimana Pak Karyo?” tanya Pak Juwono.
“Hahaha… saya sengaja Pak Juwono, orang-orang ini mungkin malah akan mundur kalau ditawari hadiah atau bayaran besar. Saya sendiri nggak ngerti pemikiran mereka,” ucap Pak Karyo.

Akupun mencoba meluruskan agar mereka tidak salah sangka.
“Nggak gitu Pak.. Paklek selalu bilang, kalau kita butuh duit atau harta ya harus kerja. Kalau menolong ya tujuanya supaya menyelesaikan masalah, bukan tujuan yang lain. Doanya beda,” Jelasku.

“Te—terus? Sawah ini gimana? Saya sudah janji lho,” balas Pak Juwono.
“Sawah sebesar itu pasti mempekerjakan banyak warga desa kan? Biar terus seperti itu saja pak, jadi bisa jadi rejeki buat yang lain juga,” balasku.

Pak Juwono sepertinya mulai mengerti maksudku, sementara itu Pak Karyo malah tertawa kecil dengan jawabanku.
“Tinggal janji Pak Karyo aja, hajatanya di mana? Tumpenganya?” tanyaku sembari melirik sinis ke Pak Karyo.

Ia masih tertawa seolah tidak kehabisan akal.
“Tenang, saya juga nggak bohong. Setelah Menur sembuh Pak Juwono pasti akan ngadain hajatan. Iya kan pak?” ucap Pak Karyo.
“Iya Mas, saya memang sudah nyiapin lima kambing untuk selametan.. Mas Cahyo jangan buru-buru pulang ya” ucap Pak Juwono juga penuh harap.

Akupun menatap wajah Tiko dan Badrun.
“Nggak kok Pak, sepertinya saya akan lama di sekitar sini. Masalah yang dihadapi kampung Tiko sepertinya tidak akan bisa selesai dalam waktu cepat,” balasku.

Saat itu Tiko dan Badrun tersenyum dan saling berpandangan. Sepertinya jawabanku barusan membuat mereka cukup lega.
Walau sebenarnya aku masih ragu apa aku bisa menghadapi masalah yang ada di desa Tiko.

“Oh iya, satu lagi Pak Karyo. Mungkin kita butuh tempat menginap lagi untuk satu orang,” pintaku kepada Pak Karyo.
“Memangnya buat siapa mas?”
“Danan.. dia lebih mengerti tentang masalah Tiko. Semoga saja dia bisa datang dalam waktu cepat.”

***
Aku lupa sampai jam berapa tadi malam kami berdiam di rumah Pak Juwono. Akhirnya kembali ke rumah Pak Karyo tidak jauh dari jam subuh. Saat terbangun, akupun keluar untuk menikmati udara pagi… bukan, udara siang.. yang Menurutku masih cukup segar.
Bukan salahku hingga bangun kesiangan, perbincangan semalam berhasil membuat kami kehilangan banyak waktu tidur. Bahkan Pak Karyo sendiripun masih tertidur di kamarnya.
Sebuah angkot berhenti tak jauh di dekat rumah Pak Karyo. Entah mengapa aku mengingat kejadian yang mengesalkan disaat aku dan danan hampir mati melawan sosok Ludruk topeng ireng di tempat ini, sementara paklek dengan santai turun dari angkutan umum di tempat itu.
“Eh Mas Cahyo, sudah bangun?” ucap Pak Karyo yang turun dari angkutan umum itu sembari membawa belanjaan.
“Lah pak? Saya kira masih tidur?” Balasku.
“Haha.. nggak dong Mas Cahyo, pagi-pagi saya harus cek pekerjaan di balai desa dulu dan nitipin kerjaan ke teman-teman kalau mau ijin.” Balas Pak Karyo yang memang kembali dengan mengenakan seragam.
Akupun membantu Pak Karyo membawa belanjaan yang ia bawa ke dalam rumah. Tapi rupanya ada dua orang lagi yang turun dari angkutan umum itu. Tiko dan Badrun.

“Ati-ati yo le, nanti habis narik bapak mampir ke sini lagi,” ucap bapak supir angkutan umum itu.
Badrun mencium tangan bapak itu dan menyusul kami.
“Owalah, Mas Badrun itu anaknya Pak Mardi?” tanyaku.
“Iya Mas, harusnya Paklek juga kenal sama dia kok,” balas Pak Karyo.
Akupun memberi salam pada Tiko dan Badrun dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Niatku yang sebelumnya menikmati udara pagi.. maksudku udara siang kini dengan terpaksa harus kuubah.
Dengan kedatangan Tiko dan Badrun itu, artinya aku harus merubah niatku dari penikmat pagi menjadi mandi.
Beruntung air di desa Banyumulyo cukup segar sehingga aku bisa menikmati segarnya air ini sebagai pengganti udara pagi yang kulewati.
Apalagi mulai tercium aroma masakan Bu Karyo dari arah dapur. Aku sudah bisa membayangkan menu sarapan pagi yang akan tersaji nanti.
“Mohon maaf ya Pak Karyo, saya nggak bilang langsung kalau mau minta tolong tentang masalah desa saya,” terdengar ucapan Tiko membuka pembicaraan mereka.
“Halah nggak papa kok Mas Tiko, kalau Mas Cahyo nggak keberatan saya juga pasti akan bantu sebisanya. Jangan sampai kita nggak mau saling bantu cuma gara-gara berasal dari desa yang berbeda,” balas Pak Karyo.
Akupun ikut nimbrung kedalam perbincangan mereka sambil menyelimuti tubuhku dengan sarung untuk mengurangi rasa dingin setelah mandi.
“Tenang aja Mas Tiko, sudah benar kok Mas Tiko minta bantuan ke sini. Kalau sampai tidak ditangani, mungkin masalah itu bisa merembet ke desa-desa lain,” balasku.
“Yang bener Mas Cahyo? Bisa merembet ke desa lain?” tanya Badrun bingung.
“Tidak menutup kemungkinan mas, banyak kejadian ketika desa yang diincar sudah tidak bisa menghasilkan tumbal lagi, mereka pindah ke desa lain.” Balasku sembari mengingat kejadian-kejadian yang pernah kutemui sebelum-sebelumnya.
Sepertinya ucapanku barusan malah membuat mereka bertiga semakin khawatir. Akupun memutuskan untuk menutup mulutku sembari menikmati teh hangat yang sudah disediakan untuk kami.
“Ta—tapi Mas Cahyo mau kan mampir ke desa banyujiwo membantu desa saya?” Tanya Tiko memastikan.
Aku mengangguk dan meletakkan cangkir tehku.
“Iya mas, hari ini saya mampir dulu ke rumah Pak Juwono memastikan keadaan Menur dulu, besok pagi kita ke desa Mas Tiko ya,” balasku.
“Matur nuwun Mas Cahyo, semoga dengan kedatangan Mas Cahyo masalah di desa saya bisa segera selesai,” ucap Tiko.
“Amin mas,” balasku singkat.
Walau berkata begitu, sepertinya aku mendapat firasat bahwa permasalah di desa Tiko bukan perkara mudah.
Ada sesuatu yang disembunyikan di sana, entah oleh warga desa atau orang yang memang memulai permasalahan itu. Yang pasti, aku merasa bahwa itu adalah hal yang tidak baik.
“Mas Cahyo!” teriak Menur dari dalam rumah.
Ia bergegas menjemput kami berempat yang bahkan belum masuk ke halaman pelataran rumahnya.

“Ealah Menur, nungguin to?” Tanyaku.
“Jelas, Mas! Mbok Tumi udah masakin yang spesial hari ini buat Mas Cahyo,” ucap Menur dengan semangat.
“Ayam bakar, sayur lodeh.. bener ga?” ucapku sembari menajamkan penciumanku.
Menur terlihat heran dengan tebakanku.
“Kok Mas Cahyo tahu? Berarti Mas Cahyo bener sakti ya?” tanya Menur.
“Jelas.. ilmu dasar dari kanuragan adalah mengetahui jenis masakan dari jarak jauh,” balasku iseng.

Pak Karyo dan yang lain hanya tertawa mendengar jawabanku.

“Bisa aja Mas Cahyo,” balas Pak Karyo singkat.
Kamipun berkumpul kembali di rumah Pak Juwono. Aku memeriksa keadaan Menur yang berangsur-angsur pulih. Walau masih terlihat kurus tapi kulit Menur sudah kembali normal dan tidak pucat seperti sebelumnya.
“Kalau Menur makan yang banyak, mungkin seminggu sudah bisa benar-benar pulih,” ucapku.

“Tuh Menur, kalau disiapin masakan sama Mbok Tumi dihabisin ya,” ucap Pak Juwono.

“Hihi.. iya Pak,” balas Menur.
Sudah tidak banyak perbincangan lagi saat itu. Hampir semua sudah dibicarakan semalam. Aku hanya mengajak Pak Juwono keliling rumahnya sembari memeriksa apakah ada benda pembawa teluh yang masih tertinggal di sana.
Saat itu aku sekaligus mengajarkan doa-doa dan ayat-ayat yang seharusnya bisa memantu memulihkan dan menjaga Menur dari hal-hal serupa.
“Lantunkan doa-doa itu sebelum Menur tidur ya pak, kalau bisa mengajarkan Menur menghafal, itu lebih baik,” ucapku.
“Baik Mas Cahyo, terima kasih. Tapi.. saya mau tanya sekali lagi mas?”
“Tanya apa Pak Juwono?”
“Benar Mas Cahyo tidak mau menerima pemberian saya?” ucap Pak Juwono.

Aku menghela nafas, tawaran Pak Juwono memang menggiurkan untuk orang lain.
Tapi untukku yang senang hidup bebas dan tidak ingin terikat akan harta rasanya pemberianya benar-benar tanggung jawab yang besar.
“Tidak, Pak.. kalau Tuhan berkehendak memberikan saya melalui Pak Juwono mungkin akan ada waktunya. Tapi saya yakin bukan barang seperti sawah ini,” balasku.
Kali ini Pak Juwono mulai terlihat menyerah. Semoga saja ucapanku bisa membuatnya paham. Kamipun kembali dan mulai menikmati hasil masakan Mbok Tumi yang sedari tadi sudah menggoda penciumanku.
“Pokoknya kalau mas Cahyo butuh bantuan dari saya, segera kabari saya ya,” pinta Pak juwono sebelum bergabung dengan yang lainya.
Setelah selesai dengan urusan Pak Juwono, akupun mengirim pesan singkat pada Danan dan paklek mengenai permasalahan yang dihadapi oleh desa Tiko.
Mereka pun merasa ada ini adalah hal yang serius, namun aku harus memastikan dengan mata kepalaku sendiri sebelum meminta mereka meninggalkan urusanya di tempat masing-masing. Yang aku tahu permasalahan yang sedang diurus oleh Paklek dan Danan juga tidak kalah penting.

***
Desa Banyujiwo…
Persis seperti cerita Tiko, Desa Banyujiwo terletak cukup terpencil dengan melewati jalur-jalur hutan. Namun setidaknya, motor masih bisa masuk ke desa melalui jalan setapak yang memang dibuat oleh warga.
“Mas Cahyo, serius mau nerobos hutan naik… motor antik itu,” ucap Badrun berusaha menghaluskan ucapanya.

“Lha.. jangan remehin Si Mbah, dia udah ikut berpetualang ngurusin demit-demit antarkota lho,” balasku membanggkakan motor vespa tuaku.
“Ya sudah, kita pelan-pelan saja kalau gitu,” ucap Badrun lagi.
Kupikir Desa Banyujiwo hanya desa yang berdiri sendiri di sana, tapi ternyata tidak.
Desa itu berdampingan dengan beberapa desa lainya dengan aliran sungai yang berbatasan dengan hutan-hutan yang terlihat masih liar.
Ternyata ucapan Badrun benar, walau sudah berbentuk jalan setapak, tapi jalur menuju desa masih cukup berat untuk dilewati motor tuaku.
“Mas Cahyo, Si Mbahnya masih ngambek nggak nih?” teriak Badun dan Tiko yang terlihat kehabisan nafas mendorong motorku di belakang.
“Hehe… makasi ya, bener omonganmu, Simbah udah tua nggak cocok sama jalur hutan,” balasku yang dengan sengaja menukar simbah dengan motor Badrun agar dapat sampai ke desa lebih dulu.
Akupun gantian mendorong simbah, sementara mereka mengatur nafas setelah cukup panjang membantu motorku yang sempat mogok tak jauh sebelum sampai ke desa.

Tiko mengajak kami untuk istirahat di rumahnya. Sebuah rumah yang cukup tua namun masih sangat terawat.
Aku merasakan ada sesuatu yang melindungi rumah ini, mungkin saja ini yang pernah diceritakan oleh Tiko.

“Rumahmu adem Mas Tiko,” ucapku.

“Iyo mas, padahal lama nggak ditinggalin ya?” Tambah Badrun.
Tiko mengambil dari dapur seteko air dan beberapa gelas untuk melepas dahaga kami setelah dikerjai oleh Simbah tadi.

“Selama ditinggal oleh keluarga, rumah ini dijagain sama Mbah Sagimin. dia baik banget sama keluarga saya,” jelas Tiko.
Aku mengisi gelasku dengan air dari teko dan meneguk hingga habis.

Tak selang beberapa lama, dari luar terdengar suara seseorang mendekat dan masuk ke dalam rumah.

“Kulo nuwun..” ucap seorang bapak yang sudah cukup berumur dengan membawa sebuah rantang.
“Owalah Mbah Sagimin, nggak usah repot-repot. Saya bisa masak atau cari makan sendiri kok,” ucap Tiko.

“Ndak repot kok Mas Tiko, tapi ya gini.. Cuma sedanya,” ucap Mbah Sagimin.

Akupun membantu Mbah Sagimin mengambil rantangnya dan membawanya ke dapur.
“Mbah Sagimin ikut makan disini ya, temenin kita,” ajakku.

“Boleh mas, pasti banyak yang mau diobrolin juga kan?” balasnya.

Kamipun menggelar rantang yang dibawa Mbah Sagimin di tikar, dan menikmati masakan istrinya itu bersama.
“Ini Mas Cahyo Mbah, kami kenal di desa Bonomulyo,” Mas Tiko mengenalkanku pada Mbah Sagimin.

“Kalo yang ini Badrun…”
“Kalau yang ini nggak usah dikenalin Mas Tiko, mana mungkin saya lupa sama tukang ojek yang sempet bikin saya encok tiga hari…” ucap Mbah Sagimin sambil bercanda.

“Hehe.. ngapunten, maaf ya mbah. Dulu saya khilaf.”
Candaan ringan itu membuka perbincangan kami yang mulai mengarah kepada permasalahan di desa ini.

Tiko menceritakan kekagetanya saat malam pertama ia kembali ke desa.
Mulai dari teror anak perempuan yang mendatangi rumahnya hingga warga desa yang harus menghabisi sosok mengerikan itu dan membuangnya di sebuah sendang di dalam hutan.

“Sendang?” tanyaku penasaran.
“Itu sebuah sendang yang sudah lama sekali tidak digunakan warga Mas Cahyo,” jelas Mbah Sagimin.

"Karena jauh dari desa?” Tanyaku.
Mbah Sagimin menggeleng. “Dulu dalam kurun waktu yang cukup lama, Air dari sendang itu tiba-tiba mengeluarkan bau bangkai, tak lama setelahnya airnya menghitam dengan cepat.”

“Berarti sebelumnya warga desa pernah menggunakan air dari sendang itu mbah?” Tanya Tiko.
“Kalau Mas Tiko sadar, nama desa ini sebenarnya diambil dari mana sendang itu. Sebelumnya sendang itu disebut dengan nama ‘Sendang Banyujiwo’, tapi setelah berubah seperti itu leluhur saya mengganti nama sendang itu dengan nama ‘Sendang Banyu Getih’.
Hal itu semata-mata karena bau sendang menyerupai aroma bangkai dan hitam seolah tercampur darah yang pekat,” cerita Mbah Sagimin.

Tiko mengangguk-angguk mendengarkan cerita Mbah Sagimin, sepertinya ia juga baru tahu mengenai sejarah tentang nama desa ini.
“Lantas, apa hubunganya kejadian yang melanda desa ini dengan sendang itu mbah?” Tanya Badrun.

Kali ini Mbah Sagimin menghela nafas sambil menggeleng. Ia meneguk segelas air di hadapanya seolah cukup lelah dengan apa yang akan ia ceritakan.
“Mbah tidak tahu Drun, warga lainpun juga tidak tahu. Awalnya kami mengira semua kejadian ini tidak ada hubunganya dengan sendang itu.
Sampai suatu ketika, ada seseorang yang mengerti menyarankan kami untuk membuang jasad anak-anak itu ke dalam sendang agar tidak bangkit lagi,” ucap Mbah Sagimin.

“Maksudnya bila tidak dibuang ke sendang, jasad itu bisa kembali utuh dan menyerang desa lagi?”
ucapku mencoba mengulang apa yang diceritakan Tiko sebelum ke desa ini.

“Benar mas, mungkin memang sulit dipercaya. Tapi itu yang sebenarnya terjadi,” ucap Mbah Sagimin.
Aku bergidik ngeri mendengar kisah itu, terlebih yang menjadi perantara untuk menyerang desa adalah sosok jasad anak-anak kecil yang mungkin semasa hidupnya tidak berdosa.
“Tapi walau dibuang ke sendang itu, jasad itu akan tetap kembali ke desa ini juga kan?” tanyaku.
Mbah Sagimin mengangguk.

“Orang pintar itu mengatakan, ada waktu-waktu dimana sendang banyu getih kehilangan pesonanya.
Disaat itulah seluruh jasad yang kami buang ke sendang itu akan kembali lagi ke desa seperti kemarin,”

Aku menjadi penasaran, berarti sebenarnya warga desa sudah tahu bahwa sendang itu memiliki ‘sesuatu’ yang tersembunyi.
“Berarti, sebenarnya sendang banyu getih itu juga menyembunyikan sesuatu yang besar ya mbah?” tanyaku.

“Itu juga masih menjadi misteri, tapi leluhur desa ini memerintahkan kami untuk menjauhi sendang itu.
Menurutnya sendang itu sudah dikutuk dan bila masih digunakan, akan membawa bencana untuk warga desa,” ucapnya.

Aku mencoba mengerti jawaban Mbah Sagimin. Mungkin iapun tidak mengetahui permasalahan yang pernah dihadapi oleh desa ini sebelum ia lahir.
Aku menghela nafas dan menghabiskan air putih di gelasku.

“Ya sudah, saat ini pilihanya hanya dua mas,” ucapku pada Tiko.

“Menunggu tragedi itu terjadi lagi, atau mencari petunjuk dengan mendatangi sendang,”
Badrun mengangguk menyetujui jawabanku.
“Menurut hitungan saya, kemungkinan serangan itu terjadi dua minggu lagi,” balas Mbah Sagimin.
Mendengar ucapa Mbah Sagimin Mas Tikopun tidak banyak berpikir lagi.

“Kita ke sendang saja, nanti biar saya minta tolong Fajri buat nemenin,” ucap tiko.
“Hati-hati ya Mas Tiko, jangan berbuat yang aneh-aneh di sana. Walaupun sendang itu dikutuk, tempat itu tetaplah tempat keramat,” peringat Mbah Sagimin.

“Iya Mbah Saya mengerti..” jawab Tiko.
Mumpung hari masih siang, akupun mengajak mereka untuk menunjukkan jalan menuju sendang yang mereka ceritakan tadi.

Tikopun mengenalkan kami dengan teman masa kecilnya yang bernama Fajri.
“Saya sudah beberapa kali ikut menangani ‘serangan’ itu mas. Walaupun begitu, saya tetap tak bisa terbiasa dengan jasad-jasad itu,” ucap Fajri.

“Siapa yang bisa terbiasa sama hal gituan mas, tukang gali kubur juga mungkin nggak pernah terbiasa dengan jenazah kok,” Ucap Badrun.
Fajri mengantar kami sembari bercerita mengenai kejadian yang menyerang desanya pertama kali. Dia tidak bisa melupakan bagaimana histerisnya warga desa yang ketakutan, tangisan pak sukoco saat kematian anaknya dan warga lain yang kehilangan anggota keluarganya.
Mendengar kisah itu aku sedikit merasa bersalah tidak bisa mengetahui kejadian di desa ini lebih awal, tapi setidaknya setelah ini semoga aku bisa menyelesaikan kutukan ini agar warga desa banyujiwo bisa hidup dengan tenang.
Butuh sekitar setengah jam berjalan kaki melalui hutan yang cukup lebat untuk sampai ke sendang yang mereka ceritakan. walau begitu, ada jalur yang tidak sengaja terbentuk oleh gerobak yang dibawa oleh warga desa untuk mengangkut jasad ke sendang itu.
Benar ucapan warga desa, sendang ini sepertinya sama sekali tidak pantas disebut ‘sendang’ lagi. Pohon-pohon disekitarnya terlihat kering dengan sisa daun yang yang layu sementara bau menyengat tercium saat kami mulai mendekati tempat itu.
Aku mengambil sedikit air dari permukaan sendang itu dan menciumnya. Entah mengapa saat itu aku merasakan ada yang memperhatikanku dari arah sendang. Jelas, ini bukan sendang biasa.

“Gimana Mas Cahyo?” tanya Mas Tiko.
Aku mencoba meletakan tanganku ke permukaan sendang dan membacakan doa mencoba untuk menyalurkan energi baik ke dalam sendang, anehnya saat itu aku merasakan ada sesuatu di dalam sendang yang memberikan perlawanan.
“Benar, ada begitu banyak hal mengerikan di dasar sendang ini..” ucapku.
“Terus gimana Mas Cahyo? Kita harus bagaimana?” Tanya Fajri.
Aku menggeleng dan meninggalkan sendang.
“Belum, kita belum bisa melakukan apa-apa. Walau ada sesuatu di dasar sendang ini, tapi aku tidak bisa memastikan jika kutukan desa banyujiwo berasal dari sendang ini,” jelasku.
Setelah memeriksa beberapa tempat sekitar sendang akupun segera mengajak mereka kembali sebelum langit mulai gelap.
Wajah mereka, Tiko dan yang lain terlihat sedikit kecewa dengan jawabanku, tapi sepertinya mereka juga mengerti bahwa masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan mudah

***
Sinar rembulan memancar malu-malu diantara awan yang memenuhi langit malam. Purnama telah melewatkan pesonanya beberapa malam yang lalu, namun cahayanya saat ini masih bisa menunjukkan warna dari dedaunan hutan tumbuh dengan lebat.
Aku melangkah seorang diri berusaha mengingat arah menuju sendang yang kami datangi tadi pagi. Bukan tanpa alasan, sesuatu dibalik sendang itu bisa saja membahayakan Tiko dan yang lain seandainya saja aku salah bersikap.
Sebaiknya aku menyelidiki tentang sendang ini seorang diri.
Berbeda dengan keadaan di siang hari tadi, ada sesuatu yang memperhatikanku sepanjang perjalanan menuju sendang.
Sesekali aku menoleh ke beberapa sisi hutan, hawa merinding seolah menyelumutiku dengan keberadaan sosok yang mencoba menyakitiku.

Tepat saat melewati hutan langkahkupun terhenti. Ada sosok yang menghadangku tak jauh dari sisi sendang.
Manusia? Hewan? Setan? Tidak aku sama sekali tidak bisa memastikanya.
Yang terlihat di mataku saat ini, makhluk itu tengah meringkuk menikmati bagian lengan manusia yang masih basah, sepertinya ia mendapatkan bagian tubuh itu dari sendang yang berada dibelakangnya.
Sesekali ia menatapku dengan matanya yang memerah buas.

Aku tidak bisa memastikan makhluk itu mengenakan pakaian atau tidak, namun hampir seluruh bagian tubuhnya tertutup oleh rambutnya yang begitu panjang.

“Kau penunggu sendang ini?” tanyaku mencoba membuka pembicaraan.
Walaupun sosoknya mengerikan, aku tidak mau mengambil kesimpulan dulu mengenai makhluk itu.

“Ki Boyo Gandru… aku sing nduwe kuwoso ning sendang iki,” (Ki Boyo Gandru.. aku yang punya kuasa di sendang ini) ucap makhluk itu setelah selesai menikmati santapanya.
Jadi itu nama makhluk ini? Sang penjaga sendang banyu getih, Ki Boyo Gandru…

Aku mendekat ke arahnya, namun ia menatap dengan mengancam.

“Opo sing mbok gowo?” (Apa yang kau bawa?) Tanya Ki Boyo Gandru.
Aku tidak mengerti apa yang ia maskud. Jelas aku tidak membawa apapun yang mungkin bisa mengancam dia. Selain.. Wanasura.

“Aku ra nggowo opo-opo Ki..” (Aku tidak membawa apa-apa ki..) balasku singkat.

Ki Boyo Gandru menatapku dan berpaling meninggalkanku.
“Tu—tunggu!” Teriakku.

Ki Boyo Gandru tidak bergeming ia terus setengah merangkak ke arah sendang dan meninggalkanku. Aku mencoba mengejarnya, namun ia mengoleh dengan penuh amarah.
“Ora ono bayaran, ora ono sing iso tak kei,” (tidak ada bayaran, tidak ada yang bisa saya berikan) ucapnya yang ingin segera kembali ke dalam sendang.

Urusanku denganya belum selesai, dengan spontan aku mengejarnya dan menarik lenganya untuk menjaganya kembali ke dalam sendang.
“Saya tidak mencari apapun Ki!” balasku.
Sepertinya perbuatanku membuatnya marah. Ia menatapku dengan tatapan yang mengerikan sembari mengeluarkan suara yang tertahan. Entah apa yang ia perbuat, tapi setelahnya tiba-tiba muncul berbagai sosok dari dalam sendang.
Anak perempuan…
Persis seperti cerita Tiko dan warga desa, banyak anak-anak dari berbagai umur merayap keluar dari dalam sendang dan mulai mengerumuni kami.

Mengerikan, wujud mereka benar-benar mengerikan. Mereka benar-benar jenazah yang sudah membusuk dan membengkak di dalam air.
Baunya begitu menyengat. Namun masih ada perasaan tidak tega saat aku melihat wujud mereka yang masih anak-anak.

“Opo kowe sing dadi bayarane” (apa kamu sendiri yang menjadi bayaranya?) Ucap Ki Boyo Gandru sembari menyeringai dari balik rambutnya yang menutup wajah.
Merasakan ada bahaya akupun melepas genggamanku. Tapi kali ini berbalik Ki Boyo Gandrulah yang menarik tanganku.
Akupun berusaha melepasnya secepat mungkin, tapi ada sosok jasad anak-anak yang mendorongku dari belakang dan membuatku terjatuh ke dalam sendang itu bersama dengan Ki Boyo Gandru.
Seharusnya pinggir sendang ini dangkal, namun entah mengapa saat aku terjatuh sendang ini terasa begitu dalam. aku mencoba berenang ke permukaan, namun ki boyo gandru masih mencoba menarikku ke dasar sendang.
Aku menoleh ke arah Ki Boyo Gandru berusaha melepaskan diri, tapi hal yang mengagetkan terjadi lagi di hadapan mataku.
Ki Boyo Gandru sudah berubah menjadi seekor buaya yang tubuhnya ditumbuhi bulu. Ekornya mengikat tubuhku dan menyeretku ke dasar sendang.
Aku mencoba mengatur nafas untuk menyelamatkan diri, tapi kekuatan ki boyo gandru tidak main-main. Ketika aku merasa bisa melawan, ia semakin cepat menyeretku hingga ke dasar sendang hitam itu.
Gila! Aku mencoba membuka mata melihat apa yang berada di sana. Walau warna hitamnya semakin pekat, samar-samar aku masih melihat benda-benda yang mengambang-ngambang di sekitarku.
Saat aku menggapai sesuatu, yang kudapatkan adalah tangan manusia yang sudah membusuk, saat aku menoleh sudah ada kepala manusia yang sudah terpisah dengan sebagian dagingnya sudah tidak menutupi tengkoraknya.
Aku merasa mual, jangan sampai aku membuka mulutku di dasar sendang ini. Dasar sendang ini dipenuhi oleh jasad-jasad manusia dan benda-benda pusaka yang sudah berkarat.
Tak tahan dengan semua hal yang menjijikkan di dasar sendang ini, akupun berusaha memanggil wanasura untuk merasuki tubuhku. Sayangnya di dasar sendang aku tidak bisa memanggilnya dengan suara.
Beruntung Wanasura tersadar dengan kondisiku saat ini. iapun merasuk ke kedua lengan dan kakiku dan memberikanku kemampuan untuk mementalkan Ki Boyo Gandru menjauh dari tubuhku.
Dengan sisa nafas yang sedikit, aku menendang dasar sendang dengan kekuatan wanasura dan melesat ke permukaan sendang. Secepat mungkin aku menjauh dari sendang dan memuntahkan semua rasa mual yang kudapatkan dari dasar sendang.
Aku mulai mencoba waspada dengan Ki Boyo Gandru dan sosok jasad hidup yang keluar dari sendang, tapi… saat ini mereka sudah tidak ada di sekitar sendang.

Akupun mengatur nafas dan sedikit memeras baju dan sarungku.
Walau tidak begitu kering, tapi setidaknya air dari sendang itu tidak terlalu membebani tubuhku.

Ada perasaan janggal di dalam pikiranku saat ini. sepertinya ada kegelisahan yang tidak dapat terjelaskan.
Aku ingin duduk sebentar untuk bermeditasi menenangkan perasaan ini, namun entah mengapa tiba-tiba wanasura menggeram seolah memberi tanda ada sesuatu yang berbahaya.

“Krssasak”
Aku mendengar suara dari dalam hutan.
Aku menoleh dan ternyata arahnya menjauh dari tempatku saat ini. saat itulah aku mulai panik.
Ternyata suara itu berasal dari salah jasad anak yang melangkah menuju desa.

Dengan sekuat tenaga akupun berlari melewati sosok itu dan beberapa sosok yang masih tertinggal di hutan.
Namun samar-samar dari jauh aku mendengar teriakan warga desa yang tengah panik.

“Brakk!!” terlihat Fajri meletakkan jasad anak kecil ke dalam gerobak.

“Ini lebih banyak dari sebelumnya!” teriak seorang warga yang memegang linggis.
“Seharusnya tidak ada serangan di malam ini, bagaimana bisa?” Mbah Sagimin berteriak bingung.

“Tolong! Kulit istri saya membiru,” teriak warga lain.
“Bawa ke balai desa! Semua yang terluka bawa ke balai desa!”
Suasana desa saat itu begitu mencekam.
Seingatku aku hanya tenggelam selama beberapa menit di sendang itu, tapi mengapa kejadian ini seolah sudah terjadi berjam-jam. Akupun menoleh ke arah bulan, dan benar saja bulan sudah bergeser cukup jauh dari saat terakhir kulihat.
“Dari mana Mas Cahyo?” Tanya Mas Tiko yang menghampiriku dengan panik. Ada sebuah benda tumpul di genggamanya.

Aku belum berani untuk menjawab. Pemandangan di hadapanku saat ini begitu mengerikan. Jasad anak perempuan dibantai dengan begitu kejam oleh warga desa.
Aku tahu mereka sedang membela diri, tapi tetap saja ini terlihat mengerikan.

“Saya mencoba mencari petunjuk dari sendang, Mas Tiko! saya gak menyangka akan ada serangan di malam ini,” ucapku.

“Kata Mbah Sagimin seharusnya tidak..” balas Mas Tiko.
“Mas Cahyo nggak ngapa-ngapain kan di sendang?” tanya Mas Fajri yang menghampiri kami.

Aku berpikir sejenak, apa mungkin kedatanganku tadi yang membuat makhluk ini menyerang desa? Jika benar berarti aku sudah ceroboh…
Dengan segera aku menghampiri Mbah Sagimin dan warga desa. Di hadapanku Mbah Sagimin mengayunkan kapaknya dan memecahkan kepala jasad seorang anak. Awalnya aku ingin menghentikanya untuk menyerangnya lagi, tapi jasad anak itu malah menyeringai dan kembali tertawa.
“Mbah apa tidak ada cara lain?” Tanyaku.
“Tidak ada, kita harus memisahkan bagian tubuhnya agar tidak kembali berdiri,” jelas Mbah Sagimin dengan tatapan yang dingin.
Aku mencoba mencari petunjuk mengenai kejadian ini, sebelum memutuskan membantu warga desa.
Mendadak aku teringat cerita Badrun tentang keberadaan desa lain di sekitar desa banyujiwo, aku perlu tahu apa makhlu-makhluk ini hanya menyerang desa ini, atau juga desa lain.
Saat itu aku menarik Badrun untuk mengikutiku.

“Benar ada desa lain selain desa Banyu Jiwo?” Tanyaku.

“I—iya, kenapa mas?”

“Kita kesana sekarang!” perintahku dengan paksa.

“Terus warga desa gimana?”
“Kita Cuma sebentar, ada yang harus kupastikan,”
Badrun yang tidak mendapat pilihan akhirnya memutuskan untuk mengantarkanku ke desa terdekat.

“Memangnya ada apa to mas? Desa lagi darurat kan?” Tanya Badrun.

“Kapan Mas Badrun terakhir kali mengantar ke desa-desa itu?” Tanyaku.
Badrun sepertinya memilih untuk mengikuti kemauanku dulu.

“Untuk desa di hutan utara, saya masih sering mengantar. Ada tiga desa di sana. Tapi yang diselatan bersisihan hutan dari banyujiwo, saya lupa terakhir saya ke sana..” ucapnya.

“Kita ke desa selatan!” perintahku.
Badrunpun melaju motornya dengan cepat dan membutuhkan waktu tidak sampai setengah jam untuk membawaku ke sebuah gapura.

Desa Sambigiri…
Tepat saat sampai di desa ini, perasaanku menjadi tidak karuan.
Aku berharap tebakanku salah, tapi padamnya lampu di semua rumah di desa ini membuat harapanku semakin pudar.

“Kok gelap ya?” ucap Badrun.

“Ssst… hati-hati, usahakan jangan berisik mas,” ucapku.
Kami berjalan perlahan memasuki desa tersebut.
Desa yang sangat tidak terawat, sekitar rumah ditumbuhi rumput liar dan beberapa rumah sudah mulai ambruk.

“Desa ini sudah mati…” ucapku.

Badrun menatapku tidak percaya.
“Tidak mungkin mas, harusnya penduduk desa ini lebih banyak dari Banyujiwo,” balas Badrun
“Kamu lihat sendiri,” balasku.
Badrun mengecek jendela-jendela rumah dan tidak menemukan siapapun ada di desa ini. ia cukup kaget, namun pencarianku tidak hanya berhenti sampai di situ.
Ada pergerakan di belakang desa yang lebih padat dengan rumah-rumah yang sudah bobrok. Kami mengintip dari salah satu gang, dan apa yang terlihat di sana sudah benar-benar tidak bisa kumaafkan.
Seluruh jasad warga desa tertumpuk di sebuah lapangan dengan jasad busuk anak-anak persis seperti yang menyerang desa banyujiwo mengerubutinya dan memakan daging busuk dari jasad-jasad itu.
“Mas… itu semua warga desa?” Tanya Badrun.
Aku tidak mampu menjawab, tapi seketika kaki Badrun menjadi lemas dan hampir terjatuh.

Dengan seluruh emosi yang membakar pikiranku, akupun membacakan sebuah doa untuk melindungiku dari makhluk-makhluk itu.
“Tunggu di motor,” perintahku.

“Mas mau ngapain?”

“Nggak usah banyak tanya…”

Badrunpun tidak bertanya lagi dan berlari dengan tertatih menuju ke arah tempat ia memarkirkan motornya.
Aku menutup hidungku dengan sarung dan menerjang sosok jasad hidup itu.
Pukulan demi pukulan kulancarkan untuk menarik perhatian mereka. Saat mereka merasakan bahaya, akupun menorehkan kukuku pada lenganku dan meneteskan darah yang seharusnya mampu menarik perhatian mereka.

Seketika wajah makhluk itu terlihat semakin buas dan haus darah.
Mereka berlari kesetanan kearah darahku berada.
Akupun berlari dan menyusul Badrun secepat mungkin.

“Berangkat! Kita kembali ke desa!” perintahku.
Badrun menyalakan motornya dengan berhati-hati,
namun ketika ia melihat puluhan sosok yang mengejarku di belakang ia secepat mungkin mengambil posisi dan membawaku pergi.

“Mas Cahyo ngapain??!!!” Tanya Badrun selama di motor.

“Jangan terlalu cepat..” perintahku.

“Tapi nanti bisa terkejar..” balasnya.
Aku terus meneteskan darahku di jalan untuk memasktikan makhluk itu mengikutiku. Sementara itu Badrun hanya menggeleng tanpa bisa menebak rencana gilaku.
Tepat saat mencapai gerbang desa banyujiwo, akupun memerintahkan Fajri dan Badrun untuk menyiapkan kuburan yang pernah mereka gunakan untuk memakamkan jasad ini.

“Kalian dari mana?” Tanya Mbah Sagimin.
Badrun berusaha mengatur nafasnya dan menceritakan apa yang ia lihat pada Mbah Sagimin. Sementara aku memastikan sosok yang masih jauh mengikuti kami dari belakang.

“Desa Sambigiri sudah mati, semua jasad warga menjadi santapan setan-setan itu,” ujarnya.

“Sejak kapan?”
Badrun menggeleng, “Nggak tahu, tapi dari kondisi bangunan yang sudah rusak, mungkin sudah lebih dari setengah setahun”

Mbah Sagimin terlihat kaget mendengar ucapan Badrun.

“Terus kita harus apa?” Tanya Mbah Sagimin.
Aku berbalik dan meminta Mbah Sagimin menjelaskan ke beberapa warga.

“Jangan buang jasad itu di sendang lagi! Kita kuburkan di pemakaman” ucapku.
“Tapi besok malam mereka akan kembali lagi..” ucap Mbah Sagimin.
“Pokoknya jangan dibuang ke sendang pak! Lakukan dulu,” perintahku.
Mbah Sagimin berpikir sejenak, ia terlihat masih ragu. Tapi aku tidak mau menunggu lama.
Kali ini aku memanggil wanasura merasuk ke kedua lenganku. Dengan segera aku menghampiri satu-persatu makhluk itu dan menghantamnya hingga terpental.
Warga desa terlihat kaget dengan apa yang aku lakukan, tapi aku tidak peduli. Ada sesuatu yang berbahaya di sendang itu. Bila jasad ini kembali ke sana, itu tidak akan menyelesaikan masalah.
Dengan cepat seluruh mayat anak-anak yang menyerang desa terkapar di satu tempat dengan seranganku.

“Ikat! Dan bawa ke pemakaman!” Perintahku pada Badrun.

Kali ini Mbah Sagimin ikut membantu Badrun, sepertinya tindakanku barusan membuatnya sedikit percaya terhadapku.
“Benar mau dimakamkan lagi mbah?” Tanya salah seorang warga.

“Untuk kali ini, kita percayakan dulu pada bocah itu,” ucap Mbah Sagimin.
Saat mereka sudah mulai lega dengan mayat-mayat yang mulai habis, tiba-tiba muncul dari satu sisi hutan makhluk serupa yang mengikutiku dari desa Sambigiri.
“Akhirnya datang…” jawabku.
“I—itu apalagi?” Tanya Mbah Sagimin.
“Mereka yang menghabisi warga desa sambigiri..” jelasku.
“Terus kenapa dibawa ke sini mas?” Tikopun mendekat dan kaget dengan itu semua.
Beberapa warga desa juga tidak terima dengan apa yang kulakukan.

“Jangan sampai ada jasad yang tertinggal, semua harus dimakamkan di satu tempat,” perintahku tanpa mengindahkan keresahan mereka.
Dengan cepat aku kembali menghadapi mayat anak-anak yang mulai memasuki desa. Walaupun tidak setuju denganku, warga desapun akhirnya ikut membantu menghabisi mereka satu persatu dengan bengisnya.
Sebenarnya aku sedikit khawatir dengan cara warga desa ini, tapi sepertinya mereka tidak memiliki pilihan lain.

Butuh waktu cukup lama untuk membuat mereka terkapar hingga tidak berdaya.
Beberapa bagian tubuh merekapun terpisah oleh serangan warga tak tahu harus melawanya seperti apa lagi.

Saat aku melihat bagian tubuh jasad itu, aku kembali teringat bagian tubuh mayat yang mengambang-ngambang di sendang banyu getih tadi.
Cukup ada perdepatan panjang diantara warga desa, namun Mbah Wagimin dengan bantuan Tiko dan beberapa warga berhasil meyakinkan warga lainya untuk tidak membuang jasad itu ke sendang banyu getih.
Kamipun membawa jasad itu ke tanah pemakaman yang cukup luas. Hanya ada beberapa lubang yang tersedia di sana. Tapi Fajri dan beberapa warga sedan berusaha menambah lubang lagi untuk jasad-jasad yang kami bawa.
Tidak banyak pertanyaan dari warga desa saat kami semua menyediakan lubang untuk jasad-jasad itu. Walaupun sebenarnya aku yakin, mereka masih khawatir dengan keputusan ini.

Menjelang subuh, kamipun berhasil menyiapkan liang kuburan untuk jasad-jasad itu dan menguburkanya.
“Mas… malam besok, jasad-jasad ini akan kembali lagi mencari bagian tubuhnya dan kembali menyerang desa,” tanya Tiko padaku.

Sepertinya warga desa yang memintanya mengatakan hal itu kepadaku.
“Mungkin jasad-jasad ini akan bangkit lagi seperti cerita kalian, tapi tenang saja aku pastikan mereka tidak akan menyerang desa,” ucapku mencoba menenangkan tiko.
"Bagaimana Mas Cahyo yakin mereka tidak akan menyerang desa?” tanya Fajri yang masih menggenggam cangkul di tanganya.

“Saya akan tinggal di sini, tidak akan saya biarkan jasad-jasad ini meninggalkan pemakaman ini,” balasku.
Fajri dan Tiko saling berpandangan.
“Maksudnya, Mas Cahyo mau bermalam di sini? Sampai kapan mas? Tiap malam jasad ini pasti akan bangkit!” ucap Tiko khawatir.
“Tenang saja, tidak akan lama.. aku hanya berjaga di pemakaman ini sampai dia datang,” balasku.
“Dia? Dia siapa?” tanya Tiko.
“Teman terbaikku yang lebih mengerti tentang masalah seperti ini.. Dananjaya Sambara…”

***
(Bersambung Part 4 -Para Penunggu Sendang)
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga selesai.
Mohon maaf bila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Buat temen2 yang mau baca duluan part berikutnya atau sekedar support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya :

karyakarsa.com/diosetta69/sen…
Sendang Banyu Getih
Part 4 - Para Penunggu Sendang

Danan kembali ke desa di mana pertama ia berjuma dengan Nyi Sendang Rangu. Ada kejadian yang diluar nalar di sana..
Seperti sosok makhluk mengerikan yang melintasi desa tiap tengah malam..

#bacahorror Image
Part 4 - Para Penunggu Sendang

Suara gemericik air terdengar bersandingan dengan suara serangga hutan. Sesekali hembusan angin beradu dengan air dan menciptakan riak yang menggoda ketenangan sendang.

“Bu.. kok isuk-isuk ngene wis ono sing kumkum yo? Opo ra kademen?”
(Bu.. kok pagi-pagi begini sudah ada yang berendam ya? Apa tidak kedinginan?)
Tanya seorang anak yang menemani ibunya mencari rempah dan tanaman di hutan.

“Hus… lagi semedi kuwi, ojo diganggu,” (Hus lagi semedi itu, jangan diganggu) balas ibu itu.
Mendengar perbincangan mereka akupun mendapatkan kembali kesadaranku dan mendapati matahari sudah mulai terbit di sela-sela pegunungan.
Akupun bergegas mengenakan pakaianku dan meninggalkan sendang sebelum tempat ini kembali didatangi warga desa yang juga ingin menyegarkan diri dengan airnya.

“Nyi, saya tinggal dulu ya…” pamitku pada sosok tak kasat mata yang terus mengawasiku sejak aku tiba di tempat ini.
“Mbok Yem, sini tak bantu,” ucapku sembari mengantongi beberapa jajanan pasar yang sudah dipilih oleh pelanggan Mbok Yem.

“Ealah dateng-dateng langsung repot, sana istirahat dulu” balas Mbok Yem.
“Nggak papa Mbok, biar pagi saya lebih berfaedah sedikit,” balasku sembari terus membantu Mbok Yem.

Pagi itu kami sedikit disibukkan oleh penggemar jajangan Mbok Yem. Walau sudah sangat berumur, rupanya Mbok Yem punya sangat banyak pelanggan yang setia melarisi daganganya.
Tidak hanya khawatir dengan keadaan Mbok Yem yang semakin berumur, ternyata warga desa juga khawatir bila tidak ada lagi yang bisa menjajakan jajanan pasar seenak buatanya.

Padahal Mbok Yem juga tidak ragu mengajarkan warga resep yang ia miliki,
namun menurut warga setempat rasanya tetap tidak seenak buatan tangan Mbok Yem.

“Mbok masak soto, Nak Danan, sarapan di sini ya.. biar mbok angetin dulu,” ajak Mbok Yem.

Aku tidak menolak dan segera membantu Mbok Yem mengambil kayu bakar untuk kompor tungkunya.
Rumah ini memang tidak berubah dari terakhir kali aku mampir ke sini. Warga sudah banyak yang menawarkan untuk merenovasi, tapi Mbok Yem selalu menolak. Alasanya, ia sudah nyaman selama rumah tidak bocor.
Sudah hampir seminggu aku berada di desa ini.
Ternyata setelah desa ini terlepas dari perseturuan kedua trah Brotowongso dan Darmowiloyo, masih ada beberapa masalah yang menghantui desa ini.
Kejadian bermula saat ada warga yang melihat sosok aneh berjalan di tengah desa saat lewat tengah malam.
Wujudnya seperti manusia setinggi dua meter yang berambut panjang dan menutupi wajahnya. Tubuhnya selalu basah dan selalu meninggalkan jejak air di jalan yang ia lewati.
Awalnya keberadaan makhluk itu hanya menjadi kabar burung semata, sampai akhirnya satu-persatu warga melihat sosok itu melintas di malam hari.
Pernah warga melakukan ronda untuk mencari sosok yang membuat cemas warga desa itu,
tapi saat mereka menemukanya mereka tidak berani mendekat. Sebelum sampai pada makhluk itu, mereka mencium bau amis yang pekat sehingga tidak sanggup menahanya.

“Kamu tidur di sendang lagi?” tanya Mbok Yem.

“Iya mbok,” jawabku sembari menikmati soto buatan Mbok Yem.
“Ndak masuk angin? Tidur di sini juga nggak papa lho.. walau rumahnya jelek, tapi lebih aman daripada tidur di sana. Apalagi sebelah sendang kan ada kuburan,” ucap Mbok Yem yang juga menyeruput kuah sotonya.
“Tenang Mbok, kalau nanti sudah selesai saya pasti numpang istirahat di sini,” balasku.
“Benar malam ini ya puncaknya?” tanya Mbok Yem.
Aku mengangguk dan mengalihkan pembicaraan agar Mbok Yem tidak khawatir mengenai cerita yang sebelumnya kuceritakan padanya.
Siang ini aku kembali ke salah satu rumah warga yang memang memintaku untuk kembali ke desa ini, Rumah Pak Wijoyo.

Ialah yang bersikeras mengatakan bahwa desa ini memiliki kutukan yang terus memakan korban. Salah satunya adalah anak perempuanya yang mati gantung diri di kamar.
Saat inipun kamar itu masih sama seperti saat ditinggalkan, dengan tali tambang yang masih menggantung di langit-langit kamarnya. Hanya saja, jasad anak Pak Wijoyo sudah dimakamkan dengan layak.

Beberapa warga mengatakan kematian anak pak wijoyo adalah masalah personal,
padahal menurutnya ada korban-korban lain. Tapi karna waktu dan cara kematian yang tidak terlalu mencolok, warga menganggap itu sebagai hal yang alamiah.

“Saya sengaja tidak ingin merubah kamar ini sampai masalah ini terungkap mas,” ucap Pak Wijoyo.
“Iya pak, mohon doanya saja.. semoga malam ini semua masalah bisa terungkap,” balasku.

“Saya sudah mengikhlaskan kepergian anak saya, tapi biarlah kepergianya menjadi yang terakhir di desa ini,” tambahnya.
“Amin pak, Apa kira-kira Pak Wijoyo punya petunjuk lain tentang kejadian ini?” tanyaku.
Pak Wijoyo terlihat setengah berpikir, seolah-olah memastikan apakah perlu menyampaikanya padaku atau tidak.
“Masyarakat di desa ini masih banyak penganut kepercayaan leluhur mas,” ucap Pak Wijoyo.
“Maksud Pak Wijoyo?” tanyaku memperjelas.

“Bukan kepercayaan seperti Kejawen dan sejenisnya, tapi memang ada kepercayaan yang berasal dari leluhur desa ini,” ucapnya.
Menurut pak Wijoyo, beberapa warga di desa itu masih melakukan ritual-ritual yang sebenarnya sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat jaman sekarang.
“Kurban kepala kerbau, ritual di tengah hutan, hingga pemanggilan arwah leluhur hal itu masih dilakukan oleh beberapa warga di desa ini mas..”

Aku tidak begitu kaget mendengar penjelasan Pak Wijoyo.
Saat pertama kali kami kesinipun kami melihat arak-arakan warga desa yang membawa kepala manusia. Walaupun itu adalah kepala orang jahat di desa, tapi tetap saja itu tidak bisa dibenarkan.
Dengan cerita dari Pak Wijoyo itu, hal seperti arak-arakan itu menjadi tidak mengherankan.
Aku mencoba menarik maksud dari Pak Wijoyo. Mungkin menurutnya, kematian beberapa warga desa yang tidak wajar itu ada hubunganya dengan warga yang menganut kepercayaan ini.
Akupun tidak berlama-lama di rumah Pak Wijoyo.
Dengan berbekal sedikit informasi darinya aku mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di desa ini.
Cukup membingungkan, aku tidak menemukan sama sekali hubungan antara sosok yang melintasi desa di tengah malam dan kematian warga desa yang tidak wajar.
Sempat aku berpikir mungkin saja memang kematian mereka memang tidak berhubungan dengan sosok itu.
Tapi masalah terbesar ada di malam ini…
Entah berhubungan atau tidak, tapi ini apa yang akan terjadi malam ini juga bisa mempengaruhi desa ini dan desa sekitarnya.
Tepat saat matahari mulai terbenam akupun kembali ke Sendang. Bukan tanpa alasan, saat pertama aku menghampiri tempat dimana aku bertemu dengan Nyi Sendang Rangu ini, aku menemukan sesaji dan sejenisnya di sendang itu.
Dengan alasan itu akhirnya aku memutuskan untuk bermalam di sendang untuk mencegahnya.

“Danan, jangan lengah sedetikpun..”
Terdengar suara dari sekitar sendang tepat saat aku sampai. Akupun mengambil posisi duduk diatas batu sambil menunggu apa yang akan terjadi malam ini.
Benar saja, saat malam semakin larut, dari arah salah satu sisi hutan terdengar suara langkag kaki sekumpulan orang yang mendekat ke arah sendang. Akupun meningkatkan kewaspadaanku dan menyambut kedatangan mereka.
“Rupanya kamu masih disini,” ucap seorang bapak yang memimpin gerombolan itu.
“Sudah kukatakan, takkan kubiarkan kalian melakukan ritual terkutuk di sendang ini. Tidak ada yang pantas disembah selain Sang Pencipta!” Balasku.
Orang-orang itu tidak gentar dengan ucapanku, sebaliknya mereka malah tersenyum meremehkan ucapanku.
“Dia bisa memberikan apa yang kami butuhkan, tidak seperti penunggu sendang sebelumnya yang tidak berguna.” Ucapnya lagi.
Aku juga baru tahu, ternyata selama kepergian Nyi Sendang Rangu ada sosok yang menempati Sendang ini dan mengaku sebagai penunggu sendang. Ia menyesatkan warga desa dengan mengabulkan permintaan warga.
“Kalian! Singkirkan orang itu!” Perintah bapak itu pada orang-orang yang mengikutinya.
Saat itu juga lebih dari lima orang warga pengikutnya mengepungku. Akupun tidak tinggal diam dan berusaha mengalahkan mereka, tapi ilmu beladiriku tidak mampu untuk mengalahkan mereka.
“Jangan sok jagoan, tidak mungkin kau mengalahkan kami seorang diri..” ucap mereka.
Aku sadar kalau ilmu bela diriku tidak mampu mengalahkan mereka, terlebih aku tidak mau menggunakan ilmu batinku untuk menghadapi sesama manusia.
Beberapa pukulan berhasil menghantam tubuhku, aku mencoba membalas namun mereka beramai-ramai menahan tubuhku dan mengikatku.
“Hentikan, jangan sampai kau menyesal atas perbuatanmu!”
Teriakku yang masih berusaha menghalangi bapak itu melakukan Ritualnya, tapi sepertinya ia tidak peduli.
Ia dan beberapa orang pengikutnya mempersiapkan beberapa benda untuk melakukan ritual.
Satu nampan berisi kembang sesajen, kemenyan yang di bakar, dupa, hingga beberapa jenis rempah hutan.Tapi, yang paling mencurigakan adalah beberapa benda yang masih ia tutupi dengan kain.
Saat selesai dengan persiapanya, iapun membuka bungkusan kain itu.
Darah masih menetes dari benda yang ia keluarkan, namun aku sedikit lega karena itu adalah kepala kambing berwarna hitam bukan kepala manusia seperti yang pernah mereka lakukan saat arak2an dulu.
Ada mantra dengan bahasa yang tak kumengerti dibacakan di depan sesaji itu.
Ia tidak sendirian, ada beberapa warga yang menyusul duduk di sampingnya dan membacakan mantra yang sama.
“Kalian tahu kan? Yang kalian lakukan itu dikutuk oleh Sang Pencipta!” peringatku.
“Kau masih bodoh, kelak kau akan seperti kami bila sudah mengalami neraka dunia ini.
Doa itu hanya bualan, kita sendiri yang harus merubah takdir busuk yang diberikan Tuhanmu itu!” ucap salah seseorang yang memegangiku.
Aku terheran-heran mendengar balasan mereka. Apa yang telah terjadi hingga mereka memutuskan untuk melakukan hal ini.
Ritual mereka diakhiri dengan menyembelih ayam cemani dan menumpahkan darahnya diantara sesaji yang ada di tempat ini.
Bersamaan dengan itu angin di sekitar sendang ini berhenti berhembus. Suara dedaunan yang berdesik dan serangga hutan mendadak hening.
Seketika orang-orang itu merasa gelisah. mereka merasakan hawa yang tidak wajar menyelimuti mereka. Aku tahu ada sesuatu yang menjawab panggilan mereka.
Riak air terlihat dari dalam sendang, ada sesuatu yang bergerak menuju daratan tempat sesaji mereka dipersembahkan.
Itu adalah seekor ular…
Ular yang besar dengan badan sebesar paha manusia dewasa dengan panjang yang tidak dapat kupastikan. Ia melahap sesaji yang orang-orang itu berikan dan mengitari orang-orang itu.
“Pak! Pi—piye iki, ulone munggah nang guluku..” (Pak! Gimana ini.. Ularnya naik ke leherku) ucap salah seorang dari mereka yang merasa ngeri ketika ular itu melilit menaiki tubuhnya.
“Sing tenang, Nyai arep ngerungokno panjalukanmu,”
(Yang tenang, Nyai mau mendengarkan permintaanmu) ucap Bapak itu.
Mendengar ucapan itu, iapun berusaha menenangkan diri dengan wajah ular yang sudah bersebelahan dengan kepalanya. Iapun akhirnya memberanikan diri mengatakan permintaanya.
“Kulo pengin sugih Nyai, Kulo wis kesel urip mlarat,wis kesel diremehake..”
(Saya ingin kaya Nyai, saya sudah lelah hidup miskin, sudah lelah diremehkan) ucap orang itu.
Sebuah senyuman muncul di bibir Bapak yang memimpin ritual itu.
Dan benar saja, ular itu segera pergi setelah mendengarkan permintaan orang itu.
Sosok ular itupun bergantian berpindah ke pengikutnya yang lain.
“Ku—kulo pengin….”
Belum sempat mengucapkan keinginanya, tiba-tiba muncul sesuatu dari dalam hutan.
Orang-orang di tempat itu terlihat panik dengan sosok makhluk hitam setinggi dua meter yang berjalan dari hutan menuju sendang.
“I—itu apa pak?”
Wajah seluruh orang di sana terlihat panik. Akupun tidak menyangka akan melihat sosok itu di tempat ini.
“Sa—sakit,” ucap makhluk itu yang terus menyeret langkahnya menuju ke sendang.
Mengetahui makhluk itu mendekat ke arah mereka, orang-orang itupun membubarkan diri namun tidak dengan bapak yang memimpin ritual itu. Wajahnya terlihat gelisah.
Padahal hampir semua orang di tempat itu menjaga jarak karena tidak tahan dengan bau dari tubuh makhluk itu.
Gelagat aneh itu terjawab ketika makhluk itu semakin mendekat dan menyadari keadaan Bapak itu.
“Pak… Bapak, sakit pak…” ucapnya seolah mengenali Bapak itu.
Bapak itu terlihat panik saat makhluk itu mendekat ke arahnya.
“Pe—pergi!!” pergi dari sini!” ucap bapak itu.
“Ta—tapi, sakit pak.. kapan Rojak sembuh pak..” Balas makhluk itu.
Tu—tunggu! Aku mencoba mencerna semua ini, jangan-jangan makhluk itu..
“Ja—jangan kau katakan kalau makhluk itu anakmu!” teriakku yang mulai merasa geram.
Bapak itu terlihat kebingungan, sepertinya ia tidak ingin pengikutnya mengetahui kenyataan itu.
“A—apa itu benar pak?” tanya mereka.
Hembusan angin bertiup dari sisi lain hutan di belakangku. Ada suatu bayangan muncul dari sana. Seketika orang-orang yang menahankupun ketakutan dan bergabung dengan kelompoknya di dekat sendang.
Aku menoleh ke belakang, dan sosok bayangan dengan selendangnya berdiri terdiam mengawasiku dari sana. Tanpa orang-orang yang menahanku, aku bisa dengan mudah melepaskan ikatan tali yang mengikatku.
“Nyi, apa anak bernama Rojak itu korban pesugihan ayahnya?” tanyaku.
Sosok itu mengangguk, kini mulai terlihat benang merah antara permasalahan di desa ini.
“Sa—sakit! Panas…” Sosok menyeramkan itupun memilih untuk tidak menghiraukan ayahnya dan berjalan merendam dirinya di sendang.
Tiba-tiab Rojak tak lagi merintih kesakitan, air sendang itu seperti menahan rasa sakitnya. Namun aku menduga itu hanya sementara.
Di tengah rasa gelisah orang-orang itu, tiba-tiba ular besar itu menatap ke arahku.
Perlahan wujudnya berubah menjadi perempuan dengan baju kebaya lusuh berwajah pucat. Ia menatap dengan kesal seolah mengancamku. Tapi ternyata aku salah, ia ternyata menatap ke sosok di belakangku.

“Nyi Sendang Rangu, ada batasan yang tidak boleh kau langgar..” ucapnya.
Aku tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh makhluk itu, namun Nyi Sendang Rangu tetap diam seolah memahami ucapanya.

“Kedatangan Rojak pasti ulah Nyi Sendang Rangu kan?” tanyaku pada Nyi Sendang Rangu yang kini muncul di sebelahku.
“Hanya itu yang bisa kuperbuat, ada batasan yang tak bisa kulewati. Lagipula mereka melakukan ritual itu atas kehendaknya sendiri,” Jelas Nyi Sendang Rangu.

Aku sedikit tersenyum melihat Nyi Sendang Rangu.

“Kenapa senyum-senyum?” Tanya Nyi Sendang Rangu curiga.
“Ndak Nyi, sepertinya Nyi juga sedikit berubah. Kalau dulu seorang Nyi Sendang Rangu hanya layaknya cermin yang memantulkan karma seseorang. Tapi kali ini Nyi sampai ingin berperan untuk menyadarkan mereka,” ucapku.
Nyi Sendang Rangu kembali memalingkan pandanganya ke orang-orang itu yang masih gelisah dengan keputusanya.

“Sepertinya keseringan main dengan kalian bukan hal yang buruk,” jawabnya.
Aku mulai mengerti, sebagai sesama Makhluk penunggu, Nyi Sendang Rangu tidak boleh menghalangi atau merebut manusia yang ingin menjadi pengikut makhluk sejenisnya. Terlebih bila itu semua karena keinginan manusia itu sendiri.
“Pak.. apa anak dan orang terdekat kita akan menjadi seperti Rojak bila melakukan hal ini?” tanya salah satu dari mereka.

“I—iya pak, saya nggak mau anak saya jadi seperti Rojak!”

Bapak yang memimpin ritual itu terlihat geram.
“Tidak bisa! Kalian sudah memutuskan menjalani ritual ini. Semua harus diselesaikan!” Ucap Ayah Rojak itu.

“Bayangkan apa yang akan kalian dapat setelah ini! Harta dan kehormatan seperti yang saya miliki!”
Sosok jelmaan ular itu mendekat ke arah Ayah Rojak yang masih memaksa mereka untuk menjadi bagian darinya.

“Ambillah, kalian tidak akan hidup sengsara lagi,” ucap makhluk itu sembari menjatuhkan setumpuk emas dan berlian yang terlihat berharga.
Orang-orang itu terhenti, mereka menjadi ragu dengan keputusan mereka setelah melihat semua tawaran yang menggiurkan itu.

“Ki—kita bisa pindah ke kota dengan semua harta itu..”

“I—iya, dan apapun yang terjadi nanti, kita bisa mengurusnya dengan semua kekayaan itu,”
Kali ini aku tidak ingin tinggal diam, akupun meninggalkan tempatku dan berjalan ke arah sendang. Karena menghargai Nyi Sendang Rangu, akupun tidak mengganggu mereka dan memilih untuk menghampiri Rojak yang masih berusaha menahan rasa sakitnya dengan air sendang itu.
“Tidak ada gunanya kalian menolak tawaran itu, bila alasanya karena takut hal buruk terjadi kepada orang terdekat kalian.” Ucapku.

“Kalau itu alasanya, suatu saat kalian pasti akan tergiur bila ditawarkan pesugihan lain lagi”
Entah ucapanku akan membuat mereka mengerti atau tidak. Yang pasti, bila mereka tidak meninggalkan ritual ini karena takut akan Tuhan semua akan percuma.
Suasana menjadi hening sesaat sembari aku membacakan beberapa ayat-ayat suci untuk Rojak.
Setidaknya aku mencoba melantunkan doa kepada Tuhan agar ia bersedia memberikan keadilan untuk anak yang menjadi korban keserakahan ayahnya ini.
“Be—benar, semua perbuatan pasti ada bayaranya.. sa—saya pergi!” ucap salah satu dari orang-orang itu.
Akupun tersenyum melihatnya. Namun saat salah satu dari mereka mencoba pergi lagi, Ayah Rojak menarik tanganya dan menahanya.
“Tidak bisa! Kalian sudah memulai! Kalian harus ikut merasakan apa yang kurasakan!” teriaknya.
Mendengar kalimat itu para pengikut Ayah Rojak jadi mengetahui maksud yang sebenarnya. Mereka segera berusaha pergi meninggalkan tempat itu, namun Ayah Rojak menahan mereka dan sekumpulan ular sudah menanti di pohon-pohon di sekitar mereka.
“Nyai Sendang Lowo, ingat batasanmu. Mereka harus mengikutimu atas kehendak sendiri,” ucap Nyi Sendang Rangu yang kembali memperingatkan sosok itu.
Mendengar perkataan itu, Makhluk bernama Nyai Sendang Lowopun itu mundur dan menarik anak buahnya.
Namun tidak dengan ayah Rojak, ia seperti tidak rela menerima karmanya seorang diri.
“Lepaskan mereka Pak, mereka masih bisa bertobat..” ucapku.
“Berisik! Mereka juga harus merasakan semua yang kurasakan!
Mereka harus merasakan orang terdekatnya menjadi menjijikkan seperti Rojak!
Mereka harus merasakan penderitaan merawat makhluk menjijikkan seperti itu!
Mereka juga harus menemaniku merasakan siksaan di akhir Jaman nanti!” Ucapnya dengan meluapkan segala emosinya.
“Nggak! Kami nggak sudi! Kau telah menipu kami!” ucap mereka.
Aku tidak ingin ikut campur dalam perseturuan mereka, namun aku terus mencoba meruwat tubuh Rojak dan berusaha memulihkan dirinya dari kutukan yang ia terima dari perbuatanya.
Sayangnya, kutukan itu tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Kutukan itu akan terus ada selama perjanjian yang mereka sepakati. Tapi setidaknya, kali ini bukan Rojaklah yang harus menanggungnya.
“Sa—sakit!!”
Tiba-tiba Ayah Rojak merasakan rasa panas di tubuhnya. Kulitnya melepuh dan gatal.
“A—apa ini? kenapa bisa seperti ini?” Ayah Rojak terlihat panik sementara para pengikutnya hanya bisa memandanginya.
“Itu yang selama ini dirasakan oleh anakmu Rojak! Bukan dia yang harus menerima bayaran atas perjanjianmu dengan makhluk itu!” ucapku sambil menuntun tubuh Rojak keluar dari sendang.
Akupun mengambilkan baju gantiku dari tas dan mengenakanya kepada Rojak yang tubuhnya mulai pulih. Rasa sakitnya telah menghilang, dan bekas lukanya mulai mengering. Semoga saja bentuk tubuhnya juga bisa kembali seperti semula setelah ini.
“Nyai! Bagaimana ini Nyai! Mengapa bisa seperti ini?” Ayah Rojak mempertanyakan kejadian ini kepada Nyai Sendang Lowo.
Tapi.. Nyai Sendang Lowo malah mundur meninggalkanya.
“Bocah itu yang memindahkan kutukan itu ke tubuhmu,” balasnya.
“Lepaskan nyi! Lepaskan kutukan ini!”
Nyi Sendang Lowo tersenyum kecut.
“Tidak bisa, kamu sudah menerima semua yang kau pinta. Harus ada yang menanggung bayaranya, ketika sudah tidak ada darah dagingmu yang menerima, berarti giliranmu,” Jelas Nyi Sendang Lowo.
Mendengar ucapan itu Ayah Rojak semakin panik dan menggaruk semua bagian tubuhnya hingga bernanah. Rojak terlihat khawatir, namun aku menahanya untuk mendekat.
“Ini semua ulah bocah itu Nyi, habisi dia nyai!” ucap Ayah Rojak kesal.
Nyai Sendang Lowo menggeleng…
“Bocah itu tidak ikut campur dengan urusanku, apa yang ia lakukan adalah urusan sesama manusia. Itu urusanmu,”
Itu adalah ucapan terakhir Nyi Sendang Lowo sebelum akhirnya menghilang. Kini ia tidak kembali ke dalam sendang.
Mungkin ia tahu setelah kejadian ini menyebar ia tidak akan mendapatkan pengikut sampai warga desa melupakan kejadian ini.
Walau begitu aku merasa bahwa Nyai Sendang Lowo memang tidak memulai perseturuan karena adanya Nyi Sendang Rangu di sini.
“To—tolong! Saya akan bayar berapapun! Tolong singkirkan rasa sakit ini!” ucap Ayah Rojak.
Aku menggeleng menolaknya.
“Tidak bisa, harus ada yang menanggung bayaran atas perjanjianmu..” balasku.
“Ta—tapi, ini sakit!!” teriaknya.
Rojak yang tidak tahan melihat ayahnya merasa kesakitan berteriak kepadanya, “Masuk ke dalam sendang,Pak!”
Benar juga, Rojak sebelumnya juga meredakan rasa sakitnya dengan menceburkan dirinya ke dalam sendang.
Ternyata dialah yang dilihat oleh warga desa melintas di tengah malam. Ia hanya ingin sedikit menghilangkan rasa sakitnya dengan air dari sendang ini.
“Saat keberadaan Rojak mulai ketahuan warga desa, Ayahnya mengurungnya di bangunan di tengah hutan.
Makanya kamu tidak pernah bertemu denganya saat berada di sini setiap malam,” Jelas Nyi Sendang Rangu.
Aku mengangguk, kini semua mulai masuk akal.

Setelah kejadian ini masih ada sesuatu yang harus aku selesaikan di desa ini,
Yaitu mengenai kematian tidak wajar anak Pak Wijoyo dan beberapa warga desa. Aku masih belum menemukan petunjuk atas hal itu.
Sebelum kembali, aku memerintahkan anak buah Ayah Rojak untuk membawanya pergi dan merawatnya.
Sementara aku harus memastikan Rojak berada di tangan yang aman.

Pemandangan menarik terjadi setelah itu. Sendang dihadapan kami yang semula penuh dengan air mendadak surut dengan cepat seolah meresap ke dalam tanah.
Tapi, tak lama kemudian muncul air yang deras dari beberapa bagian tanah dan mengisinya kembali secara perlahan.
Aku melihat Nyi Sendang Rangu berjalan ke tengah sendang itu dan menghilang di tengah gelapnya malam.

***
“Ealah Le… kok rambutmu iso gondrong koyo ngene?”
(Ealah Le.. kok rambutmu bisa sepanjang ini)

Tanya Mbok Yem yang bersusah payah berusaha memotong rambut Rojak sambil menaiki dingklik atau kursi kayu kecil.
“Ngapunten Mbok, saya sendiri lupa kapan terakhir potong rambut,” balas Rojak yang mulai bisa berkomunikasi dengan baik.
“Tapi Mbok Yem hebat, ngerti cara potong rambut juga” ucapku.
“Ya, kalau motong seadanya aja bisa. Lagian Rojak ini aslinya emang udah ganteng lho” puji Mbok Yem.
Rojak menoleh sebentar ke arah Mbok Yem. Aku mengerti, mungkin sudah sekian lama sejak ada seseorang yang memanggilnya ganteng.
Baru saja hendak menikmati secangkir kopi, tiba-tiba aku terhenti dengan suara telepon yang berdering.
“Piye Njul? Tumben nelpon,” Tanyaku pada Cahyo yang tiba-tiba menelpon.
“Piye masalahmu ning kono Nan?” (Gimana masalah kamu di sana Nan?)
“Baru aja selesai Jul, tapi masih ada yang harus aku cari tahu lagi.. ada apa to?” Tanyaku.
Cahyo bercerita bahwa ia tengah berada di desa Bonomulyo dan membantu Pak Karyo menangani permasalahan salah satu anak warga di desanya yang sudah kesurupan selama bertahun-tahun.
Tapi.. tiba-tiba ia didatangi dua orang dari dari desa Banyujiwo yang mengalami masalah yang lebih besar.
“Katanya, tiap malam tertentu akan ada jasad anak-anak kecil yang menyerang desa.
warga terpaksa harus menghabisi jasad anak-anak itu dengan mengerikan agar tidak hidup lagi,” Cerita Cahyo.
Aku bergidik ngeri mendengar cerita itu, namun rupanya cerita Cahyo belum selesai.
“Bila jasad anak-anak itu dikuburkan, besoknya mereka hidup lagi, menyatukan tubuhnya, dan kembali menyerang warga. Untuk saat ini, yang bisa warga lakukan adalah membuang jasad itu di sebuah sendang.
Walau begitu, pada malam tertentu jasad itu tetap masih akan bangkit dan menyerang desa,”
Sendang? Seharusnya sendang adalah mata air murni yang menjadi sumber untuk air yang bisa menghidupi warga sekitar. Tapi bila digunakan untuk membuang jasad…
“Sendang itu sudah mati Nan, airnya berwarna hitam pekat.. warga menyebutnya dengan nama Sendang Banyu Getih…”
“Kamu sudah ke tempat itu?”
“Belum, besok aku ke sana dan perasaanku benar-benar tidak enak. Apalagi di sana tidak ada sinyal, makanya begitu selesai urusanmu segera nyusul ke sini ya”
Aku mengiyakan ucapan Cahyo. Sepertinya urusan di sana jauh lebih berbahaya.
Aku merenung sesaat, mungkin malam ini aku akan berbicara dengan Nyi Sendang Rangu mengenai cerita Cahyo. Sebagai penguasa sendang, seharusnya ia mengetahui sesuatu yang mungkin bisa jadi petunjuk.

“Temenmu?” Tanya Mbok Yem.
“Iya, Si Cahyo.. yang dulu dateng ke sini sama saya Mbok,” ucapku.
“Owalah, yang kemana-mana bawa sarung itu ya?”
Aku mengangguk, namun tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan rasa cemasku.
“Kalau dia sudah menelpon seperti itu pasti dia benar-benar butuh bantuan, samperin aja” ucap Mbok Yem.
“Iya Mbok, tenang aja.. saya mau nemenin mbok dulu,” balasku sembari menyelesaikan ritual ngopiku.
“Halah, nggak usah begitu tenang aja. Lagian mbok kan nggak sendirian, Rojak mau nemenin Mbok nggak di sini?” Tanya Mbok Yem Spontan.
Wajah Rojak terlihat kaget, sepertinya dari tadi ia masih berpikir akan dikembalikan ke rumah ayahnya.
“Memang boleh mbok?” tanya Rojak ragu.
“Ya jelas boleh, nanti biar Mas Danan yang jelasin tentang masalahmu ke kepala desa. biar dibantu ngurus sekolahmu juga,” ucap Mbok Yem.
Aku sedikit tersenyum mendengar perbincangan mereka.
Mungkin beberapa warga masih ada yang memandang mereka sebelah mata, namun aku yakin hati mereka cukup besar untuk menanggapi itu semua dengan baik.
Yang jadi masalah berikutnya adalah merenovasi pintu rumah Mbok Yem. Setidaknya pintu rumahnya bisa dilewati Rojak dengan mudah.

***
Malam ini aku berniat mencari petunjuk mengenai cerita Cahyo tadi. Akupun kembali ke sendang dan melihat Ayah Rojak baru saja membasuh dirinya di sendang itu untuk mengurangi rasa sakitnya.
Beruntung air sendang ini mengalir dengan baik sehingga semua kotoran yang masuk ke sendang ini akan segera dihanyutkan dan berganti dengan air yang baru.
Aku mengambil posisi bermeditasi sembari menikmati suara tetesan air dan angin yang berhembus.
“Semua itu harus diselesaikan oleh mereka sendiri Danan…”
Terdengar suara Nyi Sendang Rangu seolah mengerti maksud kedatanganku malam ini.
“Tapi Nyi…”
“Sama seperti kejadian tadi, kutukan itu tidak bisa dihilangkan. Harus ada yang bertanggung jawab atas perjanjian itu..”
Balas Nyi Sendang Rangu sebelum aku sempat bertanya.
Aku mencoba membaca maksud dari Nyi Sendang Rangu. Namun sepertinya ada maksud yang lebih dalam dari itu.
Iapun menampakkan wujudnya dan mendekat ke arahku.
“Berarti jasad anak-anak yang menyerang desa itu memang berasal dari Sendang Banyu Getih?” tanyaku pada Nyi Sendang Rangu.
“Aku tidak tahu, tapi bila jasad itu bisa tenang dengan air dari sendang itu. Mungkin saja memang ada hubunganya,” Jawabnya.
“Apa Nyi Sendang Rangu benar-benar tidak tahu cara untuk menghentikan kutukan di desa itu?” tanyaku.
Nyi Sendang Rangu menggeleng, sepertinya aku memang harus mencari petunjuk yang lebih dalam dengan cara datang ketempat itu sendiri.
“Khikhikhi… kenapa tidak kau ceritakan saja Nyi, bukankah kau juga pernah mendiami sendang itu sebelum sendang ini ada?”
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang berbicara dengan suara aneh.
sebagian tubuhnya masih berwujud ular, namun sebagian sudah menyerupai manusia.
“Nyai Sendang Lowo? Kau masih di sini?”
Aku mundur dan lebih waspada. Tapi sepertinya ia tidak ada niat jahat terhadap kami.
“Kau tidak usah banyak bicara Nyai,” ucap Nyi Sendang Rangu.
Aku sedikit tidak mengerti, apa jawaban itu membenarkan bahwa Nyi Sendang Rangu pernah mendiami Sendang Banyu Getih sebelumnya?
“Apa itu benar Nyi?” Tanyaku.
“Percuma saja bila kujelaskan saat ini, saat kamu menemukan petunjuk yang lebih dalam mungkin kamu baru bisa mengerti , Nan” balas Nyi Sendang Rangu.
Ada yang misterius dari jawaban Nyi Sendang Rangu.
Aku pikir makhluk-makhluk penunggu sendang memang hanya mengabdikan diri di satu sendang.
“Tidak usah khawatir bocah, tidak ada yang salah dari ucapan Nyi Sendang Rangu. Semua yang terjadi di sana terjadi karena sebuah perjanjian.
Mungkin kalian bisa menghabisi penunggu sendang itu saat ini, atau apapun yang muncul dari sana. Tapi kutukan itu akan terus ada selama perjanjian ghaib itu masih berlangsung” ucap Nyai Sendang Lowo.
“Apa itu benar Nyai?” tanyaku.
Nyi Sendang Rangu mengangguk.
“Sendang itu harusnya sudah mati, yang artinya seharusnya tidak ada yang menunggu sendang itu lagi. Kalaupun ada yang menghidupkanya, dia pasti bukan sosok biasa,” Nyi Sendang Rangu mencoba memperingatkanku.
Selain mengenai Sendang Banyu Getih, aku penasaran mengapa Nyai Sendang Lowo masih berada di sini. Terlebih mereka saling berbicara seolah tidak ada masalah diantara mereka.
“Khkhikhi.. tidak usah bingung bocah, kami ini makhluk yang hidup selama ratusan tahun.
Walau berbeda pandangan, kami sudah mengerti satu sama lain.” Ucap Nyai Sendang Lowo.
“Tidak bisa, selama kau ada di sini kau akan terus menyesatkan warga desa,” balasku.
“Tenang saja, aku tetap akan pergi. Tapi ingat, walaupun tanpa penunggu sendang.
Mereka yang sudah berniat pasti akan tetap mencari apapun untuk memenuhi nafsu mereka secara instan.. aku hanya salah satu dari ratusan makhluk yang ada di desa ini yang bisa mewujudkanya”
Tepat setelah mengatakan hal itu, iapun kembali ke wujud ularnya dan pergi meninggalkan kami.
“Hati-hati Danan, permasalah Sendang Banyu Getih bukanlah tentang adu kekuatan. Kebijaksanaanmu yang menentukan apa kamu bisa menyelesaikan masalah ini,”
Balas Nyi Sendang Rangu yang segera menghilang dari pandanganku.
Merasa sudah tidak bisa mendapat petunjuk lebih dari ini, akupun memutuskan untuk kembali ke rumah Mbok Yem dan menepati janjiku untuk tidur di sana.
Kali ini rumah tidak terasa sepi. Keberadaan Rojak benar-benar membuat rumah ini terlihat penuh. Namun sepertinya Mbok Yem sama sekali tidak keberatan. Padahal untuk tidur Rojak Sendiri, ia harus mengikhlaskan setengah bagian ruang tamunya.
Aku tidak mencoba membangunkan mereka. Melihat wajah mereka saat tidur membuatku merasa harus terus bersyukur. Semoga saja mereka berdua bisa memiliki hidup yang lebih baik setelah hal-hal buruk yang pernah mereka terima sebelum ini.

***
Seperti biasa, pagi ini aku membantu Mbok Yem untuk berjualan. Namun kali ini lebih ramai dengan bantuan Rojak.
Pak Kepala Desa juga sudah menerima penjelasan mengenai keadaan Rojak.
Kami sepakat merahasiakan kejadian bahwa makhluk yang berjalan melintasi desa di tengah malam itu adalah Rojak dan berharap ia bisa tumbuh dan bersosialisasi dengan warga desa pada umumnya.
Awalnya Pak Kepala Desa juga tidak percaya, tapi saat pagi ini ia melihat dengan mata kepalanya sendiri iapun tak bisa lagi membantah.
Banyak warga yang bertanya-tanya, namun Beruntung Pak Kepala Desa bisa menjelaskan dengan baik ke seluruh warganya.
Tak sedikit juga yang menawarkan bantuan untuk kebutuhan Rojak.
Akupun memutuskan untuk berpamitan dan menyusul ke desa Banyujiwo tempat Cahyo berada.
“Mas Danan, sering-sering mampir ke sini ya. Tenang aja Mbok Yem biar Rojak yang jagain,” ucap Rojak.
“Iya Rojak, titip Mbok Yem ya.. kalau ada yang jahat sama Mbok Yem, disentil aja” balasku.
Sebelum sempat berpamitan dengan Mbok Yem tiba-tiba terdengar suara orang yang berteriak-teriak.
“Pak! Pak Kades! Gawat pak!!”
Teriak salah satu warga yang segera menghampiri Pak Kepala Desa yang masih berada di sekitar kami.
“Yang tenang mas.. gawat apa to?” Jawab pak Kades.
Orang itu mengatur nafasnya, aku melihat di tanganya juga menggenggam sebuah kain.
“A—ada anak perempuan yang gantung diri lagi di rumahnya” ucap orang itu.
Sontak aku segera mendekat ke arah mereka. Bisa jadi ini ada hubunganya dengan kematian misterius dari anak Pak Wijoyo.
“Tenang dulu, jelasin apa yang terjadi di sana..”
“Nggak pak, nggak ada yang tahu. Bahkan orang tuanya juga tidak mengerti.” Ucapnya.
Orang itu menceritakan bahwa ada seorang anak perempuan bernama Nifah ditemukan tak bernyawa di kamarnya sendiri.
Tidak ada surat atau pesan-pesan darinya, bahkan orang tuanya juga tidak merasa ada masalah anak perempuanya itu.
“Cuma ada satu benda asing di kamar Nifah Pak, ini…”
Warga desa itu memberikan sebuah kain yang sedari tadi ia bawa.
Sebuah selendang…
Tu—tungggu, bentuk selendang itu terlihat tidak asing! Mengapa bentuknya persis dengan yang pernah kami gunakan untuk menemui Nyi Sendang Rangu dulu?

***
Bersambung Part 5 – Nyi Sendang Rangu
Terima kasih telah membaca part ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Untuk temen-temen yang mau baca duluan atau sekedar support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya

karyakarsa.com/diosetta69/sen…
Sendang Banyu Getih
Part 5 - Nyi Sendang Rangu

Seorang kakek bersaksi bahwa kematian misterius anak perempuan di desa disebabkan sosok bernama Nyi Sendang Rangu..
Sosok itu kerap kali meminta tumbal dengan selendang sebagai penanda yang terpilih

#bacahorror @bacahorror_id Image
(Sudut pandang Danan)

Desa kembali ricuh dengan kematian seorang perempuan yang mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Kejadian ini sama persis dengan yang terjadi dengan anak Pak Wijoyo.
Seketika aku merasakan dilema, Saat ini Cahyo sedang menunggu di Desa Banyujiwo dan harus menahan kutukan di Desa itu seorang diri. Tapi, ada nyawa seseorang melayang di sini, dan mungkin akan bertambah bila tidak ditemukan akar permasalahanya.
Apalagi, di tempat kejadian ditemukan selendang mungkin berhubungan dengan Nyi Sendang Rangu...
"Rojak, titip tasku...” ucapku sembari melemparkanya kepada Rojak.
"Mas Danan nggak jadi pergi?”
"Nggak, aku numpang lagi ya Mbok..”
ucapku sembari bergegas mengikuti Pak Kades menuju rumah salah seorang korban bernama Nifah itu.
Rumah Nifah terletak cukup jauh dari rumah Mbok Yem, letaknya hampir di batas desa yang cukup berjarak dengan rumah warga lainya.
Suasana duka masih terasa sejak kami mendekat ke arah rumah itu. Sudah ada beberapa warga dan mantri desa yang membantu mengurus jenazah Nifah untuk dimakamkan.
Pak Kades menemui kedua orang tua Nifah untuk mengetahui kronologi kejadian tentang kematian anaknya itu.
"Nifah nggak ada masalah apa-apa pak, kemarin dia masih sekolah kayak biasa..” ucap Ibu Nifah sembari menahan tangis.
"Saya juga bingung pak, bahkan kemarin Nifah masih sering cerita ke kami seolah tidak ada masalah apapun padanya,” tambah ayahnya.
Pak Kades tidak bisa mengambil kesimpulan apapun selain menyampaikan rasa dukanya. Kamipun meminta ijin untuk memeriksa kamar Nifah untuk sekedar mencari petunjuk seandainya ada hal lain yang menyebabkan kematian Nifah.
Memang benar seperti ucapan kedua orang tuanya, tidak ada tanda-tanda aneh dari kematianya. Kejadian ini persis seperti dengan apa yang terjadi dengan anak pak Wijoyo.
Tapi... keberadaan selendang Nyi Sendang Rangu di tempat ini seolah menandakan kejadian ini bukanlah hal yang biasa.
Aku tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi. Mungkin sebaiknya aku kembali ke sendang untuk menanyakan langsung kepada Nyi Sendang Rangu.
"Anak itu adalah tumbal untuk penunggu sendang..” ucap salah seorang kakek yang hadir di rumah Nifah tepat sebelum aku meninggalkan kamar Nifah.
"Sama seperti saudariku..”
Mendengar ucapanya beberapa warga mempertanyakan tentang ucapan kakek itu, namun kakek itu memilih untuk pergi setelah memastikan apa yang ingin ia lihat.
"Pak, saya ijin pergi sebentar..” pamitku pada Pak kades dan kedua orang tua Nifah.
Akupun segera keluar dan menyusul kakek itu. ia terlihat berjalan tertatih menahan tubuhnya yang bungkuk. Langkahnya yang perlahan membuatku mudah untuk menyusulnya.
“Maaf mbah...”
Aku memanggil kakek itu dengan hati-hati agar tidak mengagetkanya.
Saat melihatnya aku segera bisa menilai bahwa kakek itu sudah sangat berumur.
“Ngapunten, Mbah(Permisi, Mbah)
Melihat aku menghampirinya kakek itupun menghentikan langkahnya. la menoleh ke arahku seolah mencoba mengenaliku.
“Kulo Danan Mbah, kulo tinggal ten griyone Mbok Yem," (Saya Danan Mbah, saya tinggal di rumahnya Mbok Yem) ucapku memperkenalkan diri.

“Owalah, Mbok Yem sing dodolan tenongan kuwi?" (Owalah, Mbok Yem yang jual jajanan pasar itu?) ucap kakek itu membalas ucapanku.
“Nggih Mbah,” balasku singkat
“Ono opo le?" (Ada apa Le?)
Sembari berjalan perlahan aku menceritakan sedikit tentang maksud kedatanganku ke desa ini. Kakek itu memperkenalkan diri dengan nama Mbah Ponidi.
Dari caranya berjalan dan bentuk tubuhnya, kemungkinan Mbah Ponidi sudah berumur lebih dari delapan puluh tahun.
"Kuwi ono pendopo, lungguh ning kono wae” (Itu ada pendopo, duduk di sana saja) ucap Mbah Ponidi.
Ada sebuah pendopo bambu yang berdiri di pinggir kebun sebuah warga.
Kamipun mengambil posisi duduk yang nyaman. Sepertinya Mbah Ponidi bersiap berbicara panjang lebar menanggapi ceritaku.

"Penunggu sendang itu makhluk yang jahat, dia tidak pernah berhenti meminta tumbal dari manusia yang tinggal di sekitar sendangnya,”
ucap Mbah Ponidi dengan wajah geram.
Aku tidak langsung menerima cerita dari Mbah Ponidi, namun aku juga tidak langsung menentangnya.
‘‘Mbah tahu dari mana? Bukanya sebelumnya tidak ada kejadian seperti ini?” Tanyaku.
Mbah Ponidi menggeleng, ia mencoba mengingat-ingat apa yang pernah ia dengar semasa hidupnya.
"Dulu sosok penunggu sendang itu menjadi ingon salah satu trah, sosok itulah yang selalu menyediakan tumbal untuk penunggu sendang itu..” jelasnya.
"Tapi sebelum menjadi peliharaan trah itu, Makhluk itu selalu meminta tumbal dengan menggunakan selendang itu sebagai penandanya.”
Aku mencoba mengingat kembali kejadian dulu. Apa yang dimaksud Mbah Ponidi adalah Trah Darmowiloyo?
Aku masih menebak-nebak siapa sosok yang ia maksud. Nyai Sendang Lowo? Atau siapa?
Tapi, keberadaan selendang itu mengarahkanku kepada Nyi Sendang Rangu...
Tidak... itu tidak mungkin.
Semua yang diceritakan oleh Mbah Ponidi sangat berkebalikan dengan Nyi Sendang Rangu yang kukenal.
"Sepertinya saat ini Trah yang memelihara sosok itu sudah tidak terdengar lagi,
kemungkinan tidak ada lagi tumbal yang mereka berikan hingga makhluk itu mencari tumbal itu dari manusia di sekitarnya lagi...” Jelas Mbah Ponidi.
Akupun menghela nafas mencoba berpikir sejernih mungkin.
"Mbah yakin dengan cerita itu?” aku mencoba memastikan tentang itu.
Kali ini Mbah Ponidi menatap mataku, memang benar aku tidak melihat tatapan seseorang yang berniat berbohong.
"Saat adik perempuan Mbah meninggal, mbah mencari petunjuk mengenai hal aneh yang terjadi padanya. Hasilnya sama seperti korban saat ini,
tidak ada hal aneh” Mbah Ponidi melanjutkan ceritanya lagi.
Tapi beberapa tahun kemudian ia melihat seorang perempuan membawa sebuah selendang seperti yang sempat dibawa adiknya. la mencoba memperhatikan perempuan itu dari jauh selama beberapa hari,
dan benar saja wanita itu meninggal dengan bunuh diri menjatuhkan dirinya ke jurang.
Kejadian itu terjadi saat terdapat konflik di antara Trah yang memelihara makhluk itu.
Tidak ada dari mereka yang menyediakan tumbal untuk dewi penunggu sendang itu sehingga ia mencari sendiri seperti saat ini.
Tapi, adik dari perempuan yang terjun ke jurang itu juga seorang anak yang tidak biasa.
Ia mengaku sebelum kakaknya bunuh diri, ia melihat sesosok wanita cantik yang mengikuti kakaknya dan memandanginya dari jauh.
Anak itu beberapa kali menanyakan pada kakaknya tentang sosok itu,
tapi tidak ada jawaban yang pasti dari kakaknya sampai akhirnya ia menanyakan sendiri pada sosok itu.
"Namanya Nyi Sendang Rangu...” ucap Mbah Ponidi.
Danan mencoba menahan perasaan yang bergejolak di dalam dirinya,
sebagaian dari dalam dirinya ingin segera meninggalkan mbah ponidi dan menganggap cerita itu sebagai bualan saja. Tapi ia juga masih membutuhkan petunjuk lain.
"Anak itu bertanya apa maksudnya mengikuti kakaknya selama ini,
namun ia malah berbalik dan mengancam anak itu” lanjut Mbah Ponidi.
"Mengancam?” Tanyaku memastikan.
Mbah Ponidi mengangguk.
la ingat sekali kata-kata yang diucapkan bocah itu saat makhluk itu mendekatinya dengan wajahnya yang cantik...
“Jangan ikut campurya Nduk... kamu belum cukup matang untuk menjadi makananku,"
Mendengar ancaman itu anak perempuan itu hanya bisa pergi menjauh tanpa tahu bahwa esoknya makhluk biadab itu akan mengambil nyawa kakaknya.
Aku sedikit melamun mendengar cerita Mbah
Ponidi.
Merasa cukup dengan ceritanya, akupun
mengantarkan Mbah Ponidi ke rumahnya dan ingin
segera menanyakan kebenaran tentang cerita ini
pada Nyi Sendang Rangu.
...
Tepat saat matahari terbenam aku kembali ke sendang dengan membawa semua rasa penasaranku. Sendang kali ini terlihat begitu jernih dengan cahaya bulan purnama yang terpantul di permukaanya.
Di satu sisi aku mempertanyakan apakah setiap sendang memang memiliki sosok yang menjaganya? Dan apakah tujuan dari makhluk- makhluk penjaga sendang ini?
Seperti biasa aku menghabiskan waktuku untuk melakukantirakatdanbermeditasi
menenangkan pikiranku.
Biasanya Nyi Sendang Rangu akan muncul walau secara tak kasat mata untuk mengawasiku, tapi tidak malam ini.
Aku samasekalitidak merasakan
keberadaanya di sendang yang seharusnya ia diami ini.
“Nyi... ada yang perlu kubicarakan,”
Kali ini aku mencoba memancing keberadaanya.
Samar-samar aku merasakan ada sosok yang menghampiriku di sekitar sendang ini, tapi aku tidak bisa memastikan sosok apakah itu.
“Bocah, sebaiknya kau segera pergi dari tempat ini...”
Terdengar suara bisikan dari atas pohon.
Aku menoleh ke arah suara itu dan menemukan sosok ular yang terlihat tidak asing.
“Nyai Sendang Lowo, sebaiknya kau tidak mencampuri urusanku...” ucapku berusaha menghardiknya.
“Khekeheke.... Kalau begitu kau harus siap menemui temanmu”
Nyai Sendang Lowo mengucapkan kalimat itu sebelum akhirnya menghilang lagi. Entah apa yang ia rencanakan hingga tidak ingin meninggalkan tempat ini.
Tapi.. siapa yang dimaksud oleh Nyai Sendang Lowo? Apakah itu adalah Nyi Sendang Rangu?
Malam semakin larut, tidak ada tanda-tanda kemunculan Nyi Sendang Rangu di sini. Hal ini membuatku semakin cemas, namun aku sudah bertekad untuk menghabiskan malam ini di sendang ini.
Rasa cemas itu bukan hanya tentang kisah nyi sendang rangu, tapi juga tentang keberadaan Cahyo saat ini.
Mungkin, aku bisa sedikit memanfaatkan keheningan ini. Setidaknya kali ini aku bisa berkonsentrasi untuk mengirimkan sukmaku sejenak untuk mengetahui keberadaan Cahyo.

***
(Sudutpandang Cahyo...)

Aroma tanah yang masih basah tercium bersama rintikan hujan yang tak berhenti membasahi hutan ini seharian. Matahari terbenam, suara cuitan burung mulai menghilang dan berganti dengan serangga malam.

Ini adalah pertanda bahwa aku harus mulai waspada...
Malam semakin larut, firasat mengerikan mulai kurasakan di tempat ini.
Tanah-tanah kuburan disekitarku mulai bergetar. Satu persatu liang makam yang sudah tertutup itu mulai bergerak perlahan.
Apa ini yang dimaksud Fajri dan Mbah Sagimin?
Sosok jasad yang menyerang desa itu benar-benar akan bangkit kembali untuk menyerang desa.
Sebuah doa yang panjang kulantunkan untuk menenangkan arwah-arwah yang belum tenang di sekitar tempat ini,
namun sepertinya makhluk dibalik tanah ini tidak terpengaruh oleh doa yang kulantunkan.
"Apa mungkin sosok yang mengisi jasad ini bukan roh biasa?” Pikirku.
Bau amis tercium bersama dengan kemunculan tangan-tangan yang berusaha meraih keluar dari liang lahat itu.
Sebelum jasad itu berhasil meninggalkan lubangnya, aku menghambil posisi dan menghantam mereka hingga jasad-jasad itu tercerai berai.
Aku tidak habis pikir bagaimana tubuh-tubuh itu bisa menyatu kembali.
Beberapa bagian tubuh memang sengaja dikuburkan terpisah namun seolah sudah mengetahui keberadaanya, jari jemari, lengan, dan bagian yang bisa bergerak menyeret dirinya untuk menyatu semakin utuh.
Bukan lagi darah yang mengalir di jasad itu.
warnanya hitam pekat dengan bau yang menyengat. Ada bau yang sama antara cairan itu dan sesuatu di sendang banyu getih.
Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah pemakaman. Ada cahaya senter dan lampu minyak yang dibawa oleh orang-orang itu.
"Mas! Mas Cahyo...!
Teriak orang-orang itu mencoba mendekat.
"Jangan kesini! Makhluk-makhluk ini diluar kemampuan kalian!” ucapku menahan mereka untuk mendekat.
Mereka adalah Tiko, Fajri, dan Badrun. Selain membawa peralatan penerangan,
mereka juga membawa benda tumpul seperti cangkul dan linggis yang mereka gunakan untuk menghentikan makhluk-makhluk ini sebelumnya.

"Mas Cahyo tidak mungkin menghadapi mereka sendirian!” teriak Fajri.
Tepat setelah mengucapkan kalimat itu tiba- tiba sebuah tangan menggenggam kaki Fajri dan memanjat tubuhnya untuk keluar dari tanah.
"Aaa—Aarrgh! Setan brengsek!!” Teriaknya mencoba memukuli makhluk itu dengan linggis di tanganya, namun itu saja tidak cukup.
Aku mengambil batu sekepalan tanganku dan membacakan sebuah ajian untuk memperkuat lenganku. Kuarahkan batu itu ke kepala makhluk yang merayap di tubuh Fajri dan melemparnya dengan sekuat tenaga.
Dalam sekejap batu itu melesat tepat ke arah kepala makhluk itu dan membuatnya pecah hingga cairan hitam bermuncratan ke tubuh Fajri.
"Aku bisa menghadapi mereka atau tidak, itu urusan nanti.
Yang pasti jangan ada lagi yang terlibat pertarungan dengan makhluk-makhluk ini,” ucapku.
Aku tidak bercanda, memang itu tujuanku yang sebenarnya. Ada dua hal yang harus kuhindari saat ini.
Yang pertama adalah kembalinya jasad ini ke sendang, dan yang kedua adalah jangan sampai warga desa melakukan tindakan brutal seperti saat menghabisi jasad ini lagi.
"Tapi, tanpa menghabisi mereka seperti itu mereka tidak akan berhenti mas,” ucap Tiko.
Aku memastikan keadaan saat ini cukup aman dan mendekati mereka.
"Coba bayangkan bila kalian dan warga terbiasa membabi buta seperti itu? Seolah memenggal dan memutilasi adalah hal yang wajar saat ini,” ucapku.
"Tapi kami bisa membedakan mana manusia dan mana makhluk itu Mas Cahyo, jangan khawatir,” balas Fajri.
Kali ini aku berkata dengan wajah yang lebih serius kepada mereka.
"Bagaimana bila ada masalah antar warga yang membakar emosi? Saat gelap mata,
kondisi mereka saat ini akan tidak ragu untuk menghabisi nyawa seseorang,” aku mencoba menjelaskan apa yang ada dipikiranku.
Tiko dan Badrun sepertinya bisa menangkap maksudku. Namun tidak dengan Fajri,
mungkin karena ia merasakan sendiri bagaimana kengerian serangan dari makhluk itu berkali-kali.
"Saat aku ke desa Sambigiri, aku menyadari bahwa kematian warga desa di sana bukan semata- mata karena makhluk-makhluk ini...” ucapku.
"Maksud Mas Cahyo?” Tanya Tiko.
"Kematian warga desa sebagian besar karena senjata dan benda tumpul. Berbeda dengan cara makhluk ini membunuhm” jelasku lagi.
Mendengar ucapanku Badrun seperti tersadar akan apa yang ia lihat bersamaku di desa itu.
"I—itu bener,” jawab Badrun.
"Maksud Mas Cahyo? Mereka saling bunuh?” tanya Fajri.
Aku mengangguk, sepertinya Fajri mulai menangkap maksudku.
"Tapi bagaimana bisa?” Tiko terlihat bingung.
"Ada sosok lain dibalik semua ini.
Percayalah, ada banyak makhluk yang bisa menutup penglihatan kalian hingga kalian melihat hal yang tidak semestinya,” Balasku.
Kini sepertinya mereka mulai mengerti, namun rasa khawatir mereka terhadapku tetap tidak terhapus dari raut wajahnya.
"Sekarang kembali ke desa, kalianlah yang harus menjaga warga desa.” ucapku.
"Tapi mas Cahyo?”
“Tolong... percaya sama saya, tidak akan ada satupun makhluk dari tempat ini yang akan datang ke desa,” aku mencoba meyakinkan mereka.
Mengetahui keras kepalaku merekapun memutuskan untuk kembali ke desa. sepertinya mereka juga khawatir dengan keadaan desanya.
“Ya sudah kami kembali mas, ini ada termos air panas, kopi, dan sedikit gorengan buat ngisi perut. Mudah-mudahan bisa nemenin Mas Cahyo ya,” ucap Tiko.
“Nahhh! Kalau yang ini sih ngebantu banget.. ngomong donk dari tadi,” ucapku sembari merebut kedua tentengan itu dari mereka.
Merekapun menghela nafas melihat perubahan sikapku, walau begitu untungnya mereka tetap pada keputusanya dan kembali ke desa.
Tapi. sepertinya aku belum bisa menikmati kopi panas dan gorengan yang mereka bawakan untukku. Baru beberapa menit setelah kepergian mereka beberapa liang lahat bergetar secara bersamaan.
Tak hanya itu, dari satu sisi di hutan ini aku merasakan ada sosok mengerikan yang memperhatikanku dari tempat yang tidak bisa kujangkau.
“Mas... sakit mas,” terdengar suara anak perempuan dari dalam salah satu kuburan.
“Mas., gelap.. takut”
“Tanganku mana? Sakitt...”
“Jangan bunuh aku lagi....”
Suara-suara itu terdengar lirih dari dalam tanah. Walau mengetahui asal suara itu, aku tetap saja merinding dibuatnya.
Suara itu terdengar semakin riuh bersamaan dengan bangkitnya makhluk-makhluk itu dari dalam makam secara bersamaan.
“Wanasura, siap atau tidak kita harus hadapi mereka” ucapku pada sosok yang berdiam didalam tubuhku.
Kekuatan Wanasura mulai menyelimuti pergelangan tangan dan kakiku.
Dengan semua kekuatan yang kupunya aku menghancurkan jasad itu dan tidak membiarkan satupun dari mereka meninggalkan tempat ini.
Sebenarnya bukan perkara yang sulit. Mereka hanyalah tubuh manusia yang rapuh dengan bau dan wujud yang menjijikkan.
Sayangnya jumlahnya tidak terhitung dan terus berusaha untuk menyatukan tubuhnya lagi setelah dipisahkan.
Mungkin aku terlalu jumawa, beberapa kali gigitan, cakaran , dan serangan mereka melukai tubuhku. Namun bukan itu yang kukhawatirkan saat ini.
Sementara beberapa sosok mengeroyokku, beberapa dari mereka mencoba bersembunyi dari pandanganku untuk meninggalkan tempat ini.
Sekuat tenaga aku melepaskan diriku dari kerubungan makhluk-makhluk ini, tetapi sebelum aku sempat menyusul mereka yang kabur,
tiba-tiba cahaya putih melesat dan melubangi tubuh makhluk-makhluk itu.
Cahaya itu juga ikut menghabisi jasad-jasad anak kecil yang kembali mencoba bangkit di sisi lain tempatku berada.
Aku tersenyum melihat kemunculanya.
Yah , walaupun saat ini hanya sukmanya saja yang mencapai tempat ini.
"Ini semua apa, Jul?” Tanya Danan yang masih sibuk menghabisi makhluk-makhluk itu dengan keris Ragasukma di genggamanya.
"Mereka makhluk yang kuceritakan, kukumpulkan mereka di tempat ini agar tidak kembali ke desa.” Jelasku.
Tidak mungkin Danan mengerti dengan penjelasan singkat seperti itu. namun saat ini kami memilih untuk menahan makhluk-makhluk ini agar tidak pergi ke desa.
Dengan bantuan Danan, makhluk-makhluk ini dapat dilumpuhkan dengan begitu cepat. Ada sebuah ajian yang digunakan Danan untuk menahan makhluk ini mendapatkan kesadaranya kembali.
"Cukup Nan, ada sesuatu yang aku cemaskan. Mungkin kamu bisa membantu,” ucapku.
"Apa ada masalah lain?” tanya Danan.
"Aku ada firasat buruk di desa Banyujiwo, datanglah kesana dan pastikan warga desa aman,” pintaku.
Danan mengerti dengan kegelisahanku. Sisa makhluk yang masih tersisa disini adalah tanggung jawabku.
Setidaknya dengan bantuanya tadi, aku hanya tinggal menghabisi kurang dari setengah makhluk yang bangkit malam ini.

***
(Di desa Banyujiwo)
Rasa khawatir akan keadaan desa membuat Tiko memutuskan untuk berjaga di teras rumahnya bersama Fajri dan Badrun. Malam itu ia habiskan dengan mengobrol dengan ditemani kopi dan suguhan yang sama seperti yang mereka bawakan untuk Cahyo.
"Sebenarnya Mas Cahyo itu apa to? kok bisa ada manusia sesakti itu,” tanya Badrun yang masih terheran-heran dengan ilmu yang dimiliki Cahyo.

"Jangan melihat kesaktianya saja Drun, inget gak waktu pertama kali kita ngeliat dia.
Kita kira dia hanya warga desa penakut yang tidak berani melawan saat dihardik oleh dukun dan anak buahnya di desa Bonomulyo,” balas Tiko.

"Iya ya, nggak nyangka aja aku..” ucap Badrun.

"Beneran ada kejadian begitu Tik?” tanya Fajri yang tidak percaya.
Saat Cahyo datang ke desa, ia melihat dengan jelas bagaimana kemampuan Cahyo menangani permasalahan desanya.

"Benar Jri, dia bahkan nggak mau nerima hadiah dari Pak Juwono. Padahal Pak Juwono sudah menjanjikan sawah miliknya bila bisa menyembukan anaknya,” Ucap Tiko.
Fajri hanya menggeleng heran mengetahui cerita tentang Cahyo.

"Tapi ada satu lagi orang baik yang kukenal Tik..” ucap Fajri.

"Siapa itu? Sakti juga?”

"Nggak Sakti sih, tapi dia bisa menghidupi satu desa bahkan setelah dia tidak tinggal di desa ini.
katanya malah dia yang mati-matian membantu warga saat warga merasa desa ini tidak layak ditinggali...” jelas Fajri.
Tiko dan Badrun mengernyitkan dahinya. la mencoba menebak siapa sosok itu namun tetap saja tidak menemukan jawaban.

"Bapakmu Tik..” lanjut Fajri.
Tiko menoleh kaget mendengar jawaban itu. sedari kecil ia memang tahu bahwa ayahnya cukup dihormati, tapi ia tidak tahu bahwa peran ayahnya di desa ini ternyata cukup besar.

"Jujur, aku baru tahu Iho Jri..” balas Tiko.
"Bapakmu memang tidak suka di sanjung, makanya jarang terlihat. Tapi semua warga nggak akan lupa peran Bapakmu untuk desa ini,” Tambah Fajri.
Tiko sedikit tersenyum mendengar cerita dari Fajri, sepertinya kisah tentang ayahnya lebih memberikan kehangatan dibanding segelas kopi yang baru saja ia seduh.

Melewati larut malam, tiba-tiba kabut putih turun dari atas gunung dan menyelimuti seluruh desa.
Hal ini tidak seperti biasanya.
"Drun, bangun drun.. kabut” Tiko mencoba membangunkan Badrun yang ketiduran sesaat.

Dengan kesadaran yang belum utuh, Badrun mencoba menilai keadaan dan menyaksikan kabut sudah menutupi hampir seluruh desa.
"Apaan ini Mas Tiko? Memangnya desa ini sering seperti ini?” tanya Badrun.

"Nggak mas, jarang banget desa berkabut. Apalagi malam-malam gini,” Fajri menggantikan Tiko untuk menjawab pertanyaan Badrun.

"Kalau mau tidur masuk aja Mas,” Tawar Tiko kepada Badrun.
Bukanya mengiyakan tawaran itu, sebaliknya Badrun malah menggelengkan kepalanya dan memukul kedua pipinya.

"Kalau memang jarang terjadi, berarti ini sesuatu yang nggak wajar. Jangan tidur dulu,” ucap Badrun memperingatkan Tiko dan Fajri.
Tiko dan Fajri saling bertatapan, ia tidak menyangka kalau Badrun juga memikirkan desa ini sampai seperti itu.

Baru beberapa saat setelah kabut itu turun, tiba-tiba terdengar suara kentongan dari balai desa.
Sontak Tiko dan yang lainya panik, iapun segera mengambil baju hangatnya, membawa peralatan, dan menuju asal suara kentongan itu.

“Teko!! Mayite Teko!!!" (Datang! Mayatnya datang!!) teriak seseorang yang memukul kentongan dengan panik.
Terdengar suara pintu-pintu rumah warga yang keluar dan buru-buru menuju asal suara itu. Tiko dan yang lain tidak mau ketinggalan dan segera berlari tapi sebelum sampai ke asal suara itu mereka terhenti dengan sosok bayangan yang mendekat kearah mereka.
"Tu—tunggu!” Fajri mencoba menahan mereka untuk melangkah.

Bayangan itu semakin mendekat, sosok yang mereka takutkan itu akhirnya sampai ke desa mereka. Mayat anak-anak itu kembali bangkit dan menyerang desa Banyujiwo lagi.
Tiko, Badrun, dan Fajri sudah bersiap dengan linggis di tanganya dan siap melawan makhluk itu lagi.

"Sial, berarti Mas Cahyo gagal?” ucap Fajri.
Mendengar umpatan itu Tiko menyadari sesuatu.
"Nggak, Mas Cahyo sudah bilang kalau dia pasti akan menahan makhluk-makhluk ini,” ucap Tiko.
"Maksudmu apa mas? Itu mereka sudah ada di depan kita! Kalau tidak cepat bisa habis warga desa ditikam oleh mereka!” teriak Badrun.
Sekali lagi ucapan Badrun menyadarkan
Tiko.
"Buang! Buang senjata kalian!” Teriak Tiko.
"Gila kamu Tik, bisa mati kita!!” Bantah Fajri.
Mengetahui Fajri dan Badrun tidak akan mempercayainya begitu saja, Tikopun nekad menghadang seorang diri makhluk yang bersiap menyerangnya itu.
la menahan lengan makhluk itu dengan tanganya sebelum parang itu melukai tubuhnya.
"Ambil parang dari tanganya!” Teriak Tiko.
Badrun dan Fajri kali ini menuruti Tiko dan memaksa memisahkan senjata tajam itu dari mayat anak kecil yang membawanya.
Ada satu sosok lagi yang menyerangnya, namun Fajri sigap dan menahan serangan makhluk itu. jumlah mereka bertiga memberi keuntungan untuk menahan kedua makhluk yang menyerangnya.
"Bawa mereka masuk ke dalam rumah!” Perintah Tiko.
Fajri dan Badrun masih bingung, tapi kali ini mereka menuruti perintah Tiko.
Tepat saat masuk ke dalam rumah, tiba-tiba sosok makhluk itu berubah menjadi warga desa. kedua orang itu mengucek matanya dan kaget melihat ketiga pemuda itu.
"Mas Tiko?” tanya orang itu.
"Apa maksudnya ini Tik?” Tanya Fajri.
Kebingungan terpancar di wajah semua orang yang ada di rumah Tiko.
"Harusnya kita percaya dengan Mas Cahyo, tidak ada satupun setan itu yang akan masuk ke desa?” Ucap Tiko.
"Lantas?” Badrun tidak sabar menunggu alasan Tiko.
"Kita harus beri tahu semua warga, Tidak ada serangan dari mayat-mayat itu di desa ini. Semua kabut ini menipu mata kita. Ini persis seperti yang ditakutkan mas Cahyo” tambah Tiko.
"Ta—tapi, kalau ada mayat anak-anak itu yang benar-benar datang bagaimana mas Tiko?” Tanya warga itu.
"Tidak akan, Mas Cahyo sudah berjanji. Kami percaya dia akan berhasil menahan makhluk itu,” Jawab Tiko dengan yakin.
Fajri dan Badrun mengerti, kini tugas mereka adalah menyadarkan warga desa agar tidak tertipu oleh apa yang diperlihatkan oleh kabut itu.
Beberapa tubuh berwujud mayat anak-anak itu terlihat terkapar di tanah.
Tiko menyuruh Fajri untuk mengevakuasi tubuh itu dan membawanya ke rumah.
"Kata mbah sagimin, ada beberapa rumah yang dipasang pelindung. Bawa mereka ke rumah itu, seharusnya pelindung ghaib itu bisa menghapus penglihatan kabut ini,” perintah Tiko.
Badrun mengerti, warga yang selamat tadi segera membantu Badrun dan membawa warga sebanyak-banyaknya masuk ke dalam rumah.
Berbagai kericuhan mulai terjadi, suara kentongan yang semakin kencang membakar emosi warga untuk menghabisi Makhluk-makhluk yang memasuki desa.
"Sudah pak! Jangan pak!” Teriak Tiko berusaha menahan suara kentongan itu.
"Mas Tiko? Kenapa mas? Desa di serang
lagi!”
Rupanya Pak Sukoco yang memukul kentongan itu karna melihat sosok-sosok yang datang di balik bayangan kabut.
Tiko menunjuk ke arah Fajri dan beberapa warga yang sudah tersadar. Mereka mati-matian menghentikan warga yang saling mencoba untuk membunuh.
"Nggak mungkin mas, mereka semua mayat anak-anak yang menyerang desa,” Pak Sukoco masih belum tersadar sepenuhnya dari apa yang ia lihat.
Tikopun mengajak Pak Sukoco menahan salah satu dari mereka dan membawanya ke balai desa yang menurut Mbah Sagimin juga sudah dipasangi pelindung ghaib.
Pak Sukoco dan warga desa yang ia bawapun kaget dengan keadaan itu,
mereka segera berusah menghentikan warga desa lain. Sayangnya hal yang mengerikan sudah terjadi di jalan-jalan desa.
Darah-darah berceceran dari pertarungan yang dipicu oleh halusinasi kabut ini.
Tiko dan warga yang sudah sadar sekuat tenaga menahan tragedi itu walau beberapa kali pukulan dan serangan mendarat di tubuh mereka.
"Sudah hentikan! Apa mereka tidak bisa mendengar suara kita” Pak Sukoco berteriak sekuat tenaga sembari ketakutan.
la takut saat kabut ini hilang yang tersisa tinggal jasad-jasad warga desa yang ia kenali.
"Sudah pak, Saat ini yang bisa kita lakukan hanya menyelamatkan warga sebanyak-banyaknya.
Kita bukan makhluk yang sempurna, setelah semua usah kita, kita hanya bisa berserah,” Ucap Tiko berusaha menguatkan Pak Sukoco.
Sebelum mereka sempat melangkah lagi, sebuah hembusan angin melewati mereka bersama cahaya putih.
“Pemikiran yang bagus, Hanya Sang Penciptalah yang dapat memutuskan takdir manusia,”
Suara seorang pria terdengar diantara mereka. Cahaya kilatan putih menyerang satu persatu lengan warga hingga menjatuhkan senjata yang digenggamnya.
“Cahyo pasti menahan semua mayat anak- anak itu di pemakaman, tidak ada satupun yang akan lolos. Yang kalian hadapi sudah pasti bukan mereka,” suara pria itu terdengar lagi, Itu adalah suara Danan tapi wujudnya masih tidak terlihat oleh mereka.
“Siapa? Kau siapa?” Teriak Tiko memastikan sosok yang melintasinya itu.
“Teman...”
Danan tidak mau menjelaskan lebih jauh, waktunya tidaklah banyak.
"Ka—kami harus bagaimana?” Tanya Tiko lagi.
Danan membisikan beberapa bait ayat-ayat suci di telinga Tiko.
Ia meminta Tiko mengulang ayat-ayat itu berkali-kali dan meminta semua warga desa mengikutinya.
Perlahan tapi pasti, namun satu persatu sosok yang terlihat seperti mayat anak-anak itu mengulang ayat-ayat suci yang dibacakan oleh Tiko.
Kabut tidak menghilang, penglihatan merekapun tidak berubah. Namun mereka saling mendengarkan ayat-ayat itu dan mengenali mereka sebagai manusia.
Saat itulah mereka mulai mengumpulkan warga di balai desa, rumah Tiko, dan beberapa rumah yang memang dipasang pelindung ghaib.
Dengan keadaan yang mulai bisa terkendali. Danan segera kembali ke tubuhnya dan meneruskan apa yang harus ia telusuri malam ini.

***
(Sudut pandan Danan)

Aku kembali kedalam tubuhku dengan disambut gemericik air yang sedan tadi tenang tanpa ada gerakan berarti.

Kepergian sukmaku ternyata cukup menghabiskan tenaga. Aku mengembalikan Keris Ragasukma kedalam sukmaku dan berusaha memulihkan diri.
Ada beberapa gelombang di sendang seolah menandakan ada sosok yang pergi meninggalkan sendang itu.

“Nyi... Nyi Sendang Rangu” Aku mencoba memanggil sosok yang kuharapkan untuk mucul. Sayangnya masih belum ada jawaban atau petunjuk mengenai keberadaanya.
Perasaanku seperti terganggu. Arah riak air itu membuatku menoleh ke arah kuburan yang tidak jauh dari sendang itu berada.
Ada bayangan...
Ada melihat bayangan aneh tidak jauh dari pintu masuk makam. Aku melihat dengan hati-hati posisi bayangan itu berada.
Itu adalah makam Nifah yang baru saja ditutup siang tadi.
Menyadari hal itu Akupun berlari meninggalkan posisi menuju makam itu. Benar saja, di sana terlihat jasad Nifah sudah keluar dari liang kuburnya.
Dada dan perut jasad itu sudah terbuka dengan darah yang mengalir ke tanah.
Yang lebih mengerikan, di atasnya ada sesosok makhluk yang menggigiti perutnya dan memakan organ-organ tubuh di dalamnya.
Mengerikan, wajah makhluk itu begitu mengerikan...
Kulitnya menghitam dan terkelupas, rambutnya terurai tak beraturan dengan mata yang kehilangan kelopaknya.
Tapi... Aku seolah mengenal bentuk tubuh dan pakaian yang ia pakai.
"Tidak.. tidak mungkin” ucapku mencoba menyangkal semua pradugaku.
Sayangnya, ingatanku saat pertarungan melawan Trah Darmowiloyo di desa ini juga mengingatkanku akan sosok itu.
Itu adalah sosok yang ditujukan pada orang- orang yang sudah kehilangan hatinya dan memiliki dosa yang tak terampuni.
"Nyi Sendang Rangu...” Panggilku.
Itu adalah wujud lain Nyi Sendang Rangu. la seperti cermin yang memantulkan dosa dan isi hati orang yang berurusan denganya.
Tapi aku sama- sekali tidak pernah melihatnya melakukan hal seperti ini.
Mengetahui keberadaanku yang memperhatikanya, Makhluk itu setengah merayap dengan cepat menuju ke arah Danan. la maju dengan wajah penuh amarah seolah tidak sudi memperlihatkan wujudnya yang seperti itu.
Merasa ada bahaya, Akupun Menghindar namun makhluk itu terus mengejar.

"Nyi. sadar Nyi!!” aku berteriak mencoba memastikan bahwa itu adalah Nyi sendang Rangu.

“Sadar opo to cah?” (Sadar apa sih bocah?)
Itu benar suara Nyi Sendang Rangu...
Aku benar-benar terpukul dengan apa yang kulihat saat ini. Sosok yang selama ini membantu kami hingga keluar dari Jagad Segoro demit ternyata berubah menjadi mengerikan seperti ini.

"Nyi apaan ini semua? Berarti benar Nyi Sendang Rangu selama ini meminta tumbal?” Teriakku.
Sosok itu malah tertawa cekikikan sembari menjilati sisa darah dari mayat Nifah di lenganya.
"Benar. aku ada karena tumbal-tumbal itu, untuk apa aku ada di alam ini bila tidak bisa mendapatkan apapun” jawabnya.
Pikiranku berkecamuk. Sementara itu Selendang Nyi Sendang Rangu sudah melilitku. la mencekik leherku dari jauh dengan kekuatan yang tidak bisa kutandingi.

"Nyi. jangan Nyi!” aku berusaha berteriak, namun suaraku tertahan.
Aku mencoba memanggil keris ragasukma dari dalam tubuhku, namun anehnya kerisku tertahan. Nyi Sendang Rangu tertawa seolah ia memang memiliki kemampuan untuk menahan keris ragasukma milikku.

Memang benar, saat ini dia adalah Roh terkuat yang ku ketahui saat ini.
Aku hampir menyerah, namun aku terus membacakan doa dan berharap Tuhan punya rencana lain terhadap nasibku saat ini.

Tepat saat aku mulai kehilangan kesadaran, tiba-tiba sebuah serangan merobek ikatan selendang di tubuhku.
Nyi Sendang Rangupun mencari sosok itu dan mundur dari posisinya.

Aku yang terselamatkan mencoba mencari asal serangan itu.

"Kamu belum bisa melawan dia Nan,” ucap suara yang juga kukenal terdengar dari belakangku.
Sesosok wanita anggun dengan selendang merah berjalan dari arah sendang. Wajahnya begitu cantik dengan pantulan rembulan yang menyinari kehadiranya.

"Nyi? Nyi Sendang Rangu?” Tanyaku bingung.
Sosok yang menolongku barusan adalah Nyi sendang Rangu. Lalu siapa sosok yang hampir membunuhku tadi?

"Nyi! Jelaskan ini semua? Jelaskan siapa makhluk mengerikan yang memakan mayat Nifah itu?” Tanyaku.
Nyi Sendang Rangu menatap makhluk itu dengan tatapan yang tajam. Anehnya memang tidak ada perbincangan yang terdengar diantara mereka.

"Makhluk itu... Aku”

***
(Bersambung Part 6 )
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau bagian yang menyinggung.

Buat temen-temen yang mau baca kelanjutanya duluan atau sekedar support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..

karyakarsa.com/diosetta69/sen…
Sendang Banyu Getih
Part 6 - Purnama di Permukaan Air

Tidak semua anak terlahir setara, bukan hanya tentang kasta dan harta saja. Terkadang semesta tidak berpihak pada mereka dan memberkahinya sebuah kutukan..

#bacahorror @bacahorror_id @IDN_Horor Image
Part 6 - Purnama di Permukaan Sendang

Suara tangis seorang bayi memecah keheningan malam. Bukan rasa senang yang dirasakan Mulyo saat menjadi seorang ayah saat itu. Rasa khawatir akan istrinya Ratih membuatnya melupakan rasa bahagia yang seharusnya ia rasakan.
“Ratih… bagaimana dengan Ratih?” Tanya Mulyo menerobos gerombolan ibu yang baru keluar dari gubuk persalinan.

Semenjak hamil besar, mulai ada keanehan pada tubuh Ratih. Perlahan tubuhnya semakin lemah, wajahnya selalu pucat, dan berbagai penyakit mulai menjangkit tubuhnya.
Pernah sesekali Mulyo berniat memeriksakan Ratih dengan membawanya ke desa yang lebih besar di kerajaan. Namun jawaban mengejutkan yang ia terima.

Menurut dukun kerajaan, bayi yang dikandung oleh Ratih membawa kutukan.
Ratih akan semakin lemah, dan bahkan mungkin saat bayi itu terlahir, itu juga akan menjadi akhir hayat Ratih.

Walau begitu, Ratih bersikeras tidak ingin menggugurkan bayi di dalam kandunganya.
Ia sudah mencintai bayi itu sejak pertama ia melihat senyuman Mulyo, ketika Mulyo mengetahui kehamilanya.

Sayangnya ucapan dukun itu kerap terjadi. Kesehatan Ratih semakin menurun, bahkan saat akan melahirkan tubuh Ratih semakin kurus hingga hampir tidak dapat dikenali.
Mulyopun menyaksikan keadaan Ratih yang tak sadarkan diri setelah melahirkan bayi itu. Matanya tak mampu menahan tangis dan segera memeriksa tubuh Ratih.
“Ratih semakin lemah mas, kita harus bersiap dengan apapun yang terjadi,” ucap seorang dukun beranak yang menangani persalinan Ratih.
Malam itu Mulyo sama sekali tidak meninggalkan Ratih, ia memperhatikan setiap nafas Ratih dan merawatnya sepanjang malam.
“Namanya… Rahayu, dia harus hidup bahagia..”
Bisik Ratih tepat saat dirinya tersadar. Tak peduli dengan apa yang ia alami, Ratih sangat menyayangi bayi perempuanya itu.
Mulyo bersyukur Ratih akhirnya tersadar, tapi ternyata semesta tidak sepenuhnya berpihak padanya.
Walau bertahan hidup, Ratih kehilangan penglihatanya. Semua yang ia lihat menjadi buram. tubuhnya lemah dan tak jarang ia selalu terjatuh setiap mencoba berjalan jauh.
Sedikit di dalam hati Mulyo menyalahkan Rahayu atas penderitaan yang diterima Ratih.
Tapi karena Ratih sangat menyayangi anaknya itu, Mulyo tetap merawatnya untuk menyenangkan istrinya.
Rahayu tumbuh dengan sehat, namun sebaliknya, kesehatan Ratih semakin menurun. Setiap melihat penyakit Ratih, Mulyo selalu melampiaskan kekesalanya pada Rahayu.
Mulyo mencari berbagai cara untuk menyembuhkan Ratih, sayangnya hampir semuanya sia-sia.
Hampir setiap hari Rahayu menghabiskan waktunya bersama ibunya. Walau dalam kondisi yang lemah, Ratih selalu mengajarkan tentang kehidupan pada Rahayu.
“Ibu nyesel nggak ngelahirin Rahayu?”
Sesekali Rahayu bertanya pada ibunya, pertanyaan itu ia tanyakan karena ia merasakan perlakuan buruk dan berbagai umpatan yang dilontarkan ayahnya setiap ayahnya kesal.
“Melahirkan kamu adalah keputusan terbaik di hidup ibu ,nduk” jawab Ratih.

“Tapi kata bapak, Ibu jadi seperti ini karena melahirkan Rahayu,” Balas Rahayu lagi.

“Penyakit ibu ini juga pemberian Tuhan, Nduk... Ibu menerima dengan ikhlas,”
Rahayu tahu ucapan ibunya itu bukan bualan semata. Hampir tidak ada keluhan yang keluar dari bibir ibunya atas penyakitnya.
“Jangan marah sama bapak ya, Nduk. walau galak, dia sebenernya sayang sama kamu,” ucap Ratih.
“Nggak buk, Bapak benci sama Rahayu. Bapak sendiri yang bilang,” balas Rahayu sembari merunduk takut.
“Yang bapak benci bukan kamu, tapi penyakit ibu. Suatu saat pasti kamu pasti tahu nduk”

“Yang bener bu?”

Ratih mengangguk sembari meraba kepala Rahayu dan mengelusnya.
“Jadi, jangan pernah benci bapak ya…”
Ucapan Ratih saat itu benar-benar diingat oleh Rahayu. Umpatan, cacian, dan tingkah tidak peduli ayahnya tidak pernah Rahayu pedulikan.
Perlahan ia menyadari, bahwa ucapan ibunya benar adanya.
Saat musim gagal panen, desa hampir kesulitan makanan. Rahayu sedih hanya ada dua potong singkong yang tersedia di meja makan saat itu. Padahal, terakhir kali mereka makan adalah kemarin siang. Itupun hanya sedikit.
Rahayu menyuapi ibunya sembari menangis, ia mengeluh pada ibunya tentang rasa laparnya. Tetapi… saat itu Ratih menanyakan satu hal yang membuat Rahayu tersadar..

“Nduk, bapak sudah makan?”
Rahayu seketika tersadar, ia membawa sisa kurang dari sepotong singkong yang belum ia habiskan sembari mencari ayahnya.
Ia menemukan ayahnya di pawon sembari meratapi tungku yang sudah lama tidak menyala. Rahayu mendekatinya dan bertanya dengan takut.
“Ba—bapak sudah makan?” Tanya Rahayu.
Wajah Mulyo kembali menajam saat melihat Rahayu.
“Habiskan makananmu, jangan merepotkan ibumu!” ucap Mulyo.
Mulyo meminum segelas air yang ia gunakan untuk menahan rasa laparnya dan meninggalkan Rahayu sendiri di dapur.
Rahayu sadar, sedikit makanan yang ia keluhkan saat itu adalah pengorbanan ayahnya. Iapun menghabiskan sisa potongan singkong itu di pawon sembari menitikkan air mata. Ia menyukuri sepotong singkong itu melebihi apa yang pernah ia terima saat ini.
Menurutnya di dalam sepotong singkong itu terdapat rasa sayang ayahnya yang hampir saja ia dustakan.
Kemiskinan yang melanda sebagian wilayah kerajaan juga berdampak terhadap desa-desa di sekitarnya. Setiap orang mencari cara bagaimana agar mereka bisa bertahan hidup dan memberi makan anggota keluarganya.
Saat itu tersebarlah tentang sebuah kabar mengenai sebuah pesugihan yang dilakukan di sendang yang tak jauh dari desa mereka.
Sendang Banyujiwo…
Sendang itu sebelumnya adalah sumber air untuk orang-orang yang membangun kehidupan di sekitarnya.
Ketika mereka sudah dapat membuat sumur air tanah, sendang itupun mulai ditinggalkan.
Mulyo mendengar cerita yang menyebar di kalangan teman-teman desanya.
Beberapa tahun yang lalu, ada seorang prajurit yang mengembara menemukan Sendang Banyujiwo yang sudah lama tidak dikunjungi warga. Ia menghabiskan beberapa malam untuk beristirahat di sana. Saat bulan purnama, prajurit itu menyaksikan hal yang aneh.
Pantulan purnama di permukaan sendang perlahan berubah menjadi sosok bayangan yang melayang-layang di atas sendang. Seolah membaca maksud sang prajurit, sosok itu menawarkan sebuah pertukaran.
Prajurit itu mengembara atas perintah sang raja. Ia diperintahkan untuk mencari ilmu yang dapat menerjemahkan sandi yang ditinggalkan oleh leluhur kerajaan.
Hebatnya sosok yang muncul itu menyanggupi untuk memberinya ilmu itu, namun ia menanyakan bayaran yang bisa diberikan prajurit itu.
Sang prajurit menawarkan pusaka keluarganya yang diwariskan turun-temurun pada dirinya. Sebuah gelang emas dengan batu permata merah.
Saat pusaka itu ia tenggelamkan di sendang, perlahan wujud itu berubah. Samar-samar ia berwujud seperti seorang wanita.

Benar saja, perlahan ilmu yang ia cari seolah merasuki pikiranya. Prajurit itu mendapatkan apa yang ia cari dan kembali ke kerajaan.
Kisah itu menyebar diantara beberapa orang yang berhubungan denganya.
Warga desa beberapa kali melihat pengembara melintasi desanya dan menuju ke Sendang Banyujiwo. Warga desa yang curigapun akhirnya mengetahui tentang ritual yang mereka lakukan di sendang.
Lambat laun, ada beberapa warga desa yang nasibnya berubah seratus delapan puluh derajat. Ada yang menjadi kaya dengan materi yang tidak dapat dijelaskan sumbernya, ada yang menikahi bangsawan, hingga ilmu-ilmu yang tidak masuk akal.
Sayangnya, ternyata ada hal mengerikan dibalik semua pemberian itu. warga yang sudah terbiasa dengan kenikmatan duniawi yang mereka dapat, tidak bisa berhenti melakukan pertukaran.
Lambat laun diketahui bahwa tidak sedikit yang mengorbankan nyawa manusia sebagai tumbal untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Akhirnya tiba waktunya dimana Sendang itu tidak mengalirkan airnya lagi.
Semua tumbal dan benda-benda yang tenggelam di tempat itu membuat air di sendang itu semakin menghitam. Bau busuk dari jasad-jasad di dasar sendang mulai menguap dan mengundang sosok-sosok mengerikan di sekitar sendang.
Suatu saat, prajurit yang menemukan kesaktian sendang itupun kembali. Ia bermaksud untuk melarung sesaji untuk mendoakan pusaka yang ia tenggelamkan di sana, namun ia mendapati sesuatu yang mengerikan.
Sosok penunggu yang menyerupai seorang perempuan itu kini lebih terlihat mengerikan. Wanita itu berwajah pucat dengan rambut yang tak berbentuk. Tubuhnya dipenuhi borok dan sisik aneh dengan baju kebaya yang telah terkoyak.

“Apa yang terjadi?” tanya prajurit itu.
Makhluk itu tertawa dengan mengerikan.
“Aku adalah apa yang kalian benamkan di sendang ini,” ucap makhluk itu.
Prajurit itupun merasakan ada hal yang buruk dan sebagian penyebabnya adalah dirinya.
Iapun melompat ke dalam sendang yang mengerikan itu dan menemukan sisa-sisa jasad manusia dan berbagai hal yang mengerikan.
Mengetahui kenyataan itu, sang prajurit melarang siapapun mendekat ke sendang itu lagi.
Iapun menurunkan beberapa prajurit untuk berjaga hingga jalur menuju sendang itu tertutup oleh pepohonan dan ritual itu mulai dilupakan oleh masyarakat..
“Beberapa bulan lalu ada warga desa sebelah yang menemukan sendang itu dan melihat sosok seperti yang diceritakan oleh legenda itu Mas Mulyo,” ucap seorang warga.
“Lantas?”
“Dia kembali ke sana dan menyembelih seekor kambing kendit sebagai tumbal penunggu sendang, dan konon kekayaan yang ia miliki saat ini adalah hasil persembahan itu,” jelasnya.
Beberapa warga terdengar antusias dengan cerita itu, ada yang ingin mencoba dan ada yang menolak mentah-mentah.
“Segala sesuatu yang didapatkan dengan jalan yang salah tidak akan berakhir baik,” ucap Mulyo.
“Iya sih mas, tapi apa mas Mulyo tidak mau mencoba. Siapa tau dia bisa memberikan kesembuhan untuk Ratih. Lagipula itu bukan permintaan yang jahat kan?”

Ucapan warga itu seketika tertancap di pikiran Mulyo. Hati kecilnya menolak, namun kesembuhan Ratih melebihi segalanya.
Suatu ketika, penyakit Ratih kambuh. Ia kesakitan hingga akhirnya tidak sadarkan diri. Mulyo bingung menghadapi situasi ini, Rahayu hanya bisa menangis tanpa tahu apa yang harus ia perbuat.
Malamnya Mulyo teringat akan keberadaan sendang keramat itu. Ia yang sudah mulai putus asa memutuskan membawa satu-satunya harta yang ia miliki. Seekor kambing untuk ia kurbankan pada penunggu sendang itu.
Dengan bermodalkan sebatang obor, Mulyo menembus gelapnya hutan dan mencari keberadaan Sendang itu. ia menuntun Kambing yang akan menjadi kurbanya itu sembari menyibakkan semak yang menutupi jalanya.
Tidak ada satupun petunjuk yang menunjukkan kemana arah sendang, tapi intuisinya mengatakan bahwa ia akan menemukan tempat itu.
Tepat saat melewati tengah malam, kambing yang Mulyo bawa mengembik dengan keras.
Ia seperti gelisah akan sesuatu yang ada di dekatnya. Mulyopun mendekati arah yang membuat kambingnya gelisah hingga akhirnya ia menemukan apa yang ia cari.
Sebuah sendang yang berbau amis dan berair hitam…
Tidak ada apapun di sana selain sebuah sendang yang seolah enggan memantulkan cahaya rembulan di air pekatnya itu.
Mulyo mendekat dan hanya menemukan air yang beriak oleh angin malam di hutan itu.

Mulyo mulai ragu, apakah buah bibir yang di dengar olehnya benar nyata? Atau itu hanya kabar burung yang tercipta hanya untuk meramaikan perbincangan pagi?
Saat ini tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain mencobanya..
Cahaya api obor menjadi saksi sebuah ritual persembahan. Bukan kepada Yang Maha Pencipta, melainkan kepada sosok yang bahkan tidak Ia ketahui keberadaanya benar ada atau hanya kisah semata.
Tapi.. tepat saat tubuh kambing yang telah disembelih itu ia benamkan ke dalam sendang, sesuatu dari dalam air mulai muncul.
Keanehan itu membuat Mulyo takut dan mengambil jarak dari sendang itu.
Ia tidak pernah merasakan ini sebelumnya, sosok yang muncul dari sendang itu membuatnya hampir tidak bisa berkata-kata dan takut untuk bergerak.
“Khikhikhi… tidak banyak yang dapat kuberikan dari bayaranmu, bawalah yang paling berharga dan kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan,” ucap makhluk itu.
“A—apa? Apa yang kau inginkan untuk kesembuhan Ratih?” Mulyo memastikan.
Makhluk itu menunjukkan setengah tubuhnya dari dalam sendang. Sosok wanita pucat dengan wujud mengerikan. Ia menatap Mulyo yang membuat berbagai penglihatan muncul di dalam pikiran Mulyo.
“Ti—tidak!” teriak Mulyo saat mengetahui apa yang diinginkan penunggu sendang itu.
“Bukankah kau membencinya? Maka sudah sepantasnya ia menjadi bayaranya,” ucap makhluk itu.
“Tidak! Takkan kubiarkan kau menyentuh anakku!” balas Mulyo yang mulai kesal dengan niat dari penungggu sendang itu.
Iapun mencabut obornya dari tanah dan segera pergi meninggalkan sendang itu. sementara, sang penunggu sendang masih menatapnya sembari tersenyum.

“Tidak banyak bukan berarti aku tidak memberikan apa-apa, nikmatilah balasan atas bayaran yang kau berikan,” ucap makhluk itu.
Mulyo hanya berhenti sejenak mendengar perkataan itu. Ia sudah tidak sudi menoleh ke belakang dan melanjutkan niatnya untuk meninggalkan sendang.
Dalam hati ia merasa menyesal telah mendatangi tempat itu.
Ia tidak pernah menyangka bahwa sang penunggu sendang meminta Rahayu sebagai bayaranya.
Dengan perasaan berkecamuk dan rasa lelahnya. Mulyopun tertidur di teras rumah. Iamenghabiskan sisa malamnya dengan menahan hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya.
“Pak bangun pak, jangan tidur di luar..”
Terdengar suara seseorang membangunkan Mulyo. Ia tahu itu bukan suara Rahayu anaknya melainkan suara Ratih istrinya. Tapi suara itu tidak biasa, suara Ratih terasa dekat di hadapan wajahnya.
Mulyo membuka mata dan menyaksikan Ratih sedang berada di hadapanya dan menatapnya dengan wajah yang cantik. Matanya melihat dirinya dengan jelas dan kulitnya sehat seolah tidak terjadi apapun denganya sebelumnya.

“Bu? Ibu sudah sembuh? Bagaimana bisa?” ucap Mulyo.
“Ibu juga tidak tahu pak, tadi pagi tiba-tiba ibu kebangun dan bisa melihat dengan jelas. Suara ngorok bapak kedengeran dari luar, jadi ibu buru-buru sisiran dan nyamperin bapak,” balas Ratih sembari menahan harunya.
Pagi itu menjadi pagi terindah yang pernah ada di kehidupan Mulyo. Ia tak henti-henti memeluk tubuh kurus istrinya dan menitikkan air mata.
“I—ibu?”
Seorang anak perempuan terlihat mendekati rumah dengan membawa tempayan berisi air.
Ia baru saja kembali dari sumur mengambil air untuk keperluan dapur.
Ratih menoleh ke arah suara yang sangat ia kenali itu.
“Rahayu?” ucap Ratih sembari memperhatikan benar-benar wajah anaknya itu.
Kali ini Air matanya benar-benar menetes. Seorang anak kecil bangun lebih pagi dari orang tuanya untuk membantu mengurus kebutuhan rumah. Ini pertama kalinya Ratih bisa melihat anaknya dengan jelas.
“Cantik pak… anak kita cantik” ucapnya tak henti-hentinya menatap Rahayu.
Pagi yang penuh haru itu benar-benar menjadi anugrah untuk keluarga Mulyo. Tapi di balik itu Mulyo memikirkan apa yang terjadi setelah ini? apa yang akan menimpanya atas perbuatan yang telah ia lakukan

***
Kadang mereka yang tidak pernah memiliki, tidak pernah tahu rasanya kehilangan. Sesuatu yang dianggap tidak akan pernah menyakiti mereka akan tercipta disaat mereka memiliki sesuatu yang berharga.
Hidup Mulyo tidak pernah sebahagia ini. Ini hanyalah mimpinya yang sederhana dimana istrinya Ratih bisa beraktivitas layaknya seorang ibu yang normal dan Rahayu mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu seutuhnya.
Rahayupun belum pernah melihat ayahnya menyambut dirinya di ladang yang tengah membawakan bekal masakan ibunya. Baru kali ini Rahayu merasakan ada seorang ibu yang mengajarkanya mengikat rambut dan berdandan.
Sebuah kebahagiaan sederhana.
Mulyo tidak meminta untuk menjadi kaya, tersohor, atau sakti mandraguna seperti impian kawan-kawanya. Ia sudah sangat bersyukur apabila ini berlangsung seumur hidupnya.
“Ratih sudah sembuh Mas Mulyo? Diobatin sama siapa?” tanya beberapa warga desa yang mengetahui kabar kesembuhan Ratih.
Tidak mungkin Mulyo menjawab bahwa ia mendatangi sendang yang sedang ramai dibicarakan itu.
“Nggak mas, saya nemu rempah-rempah di hutan yang ditunjukin sama mantri di kota. Ternyata manjur,” jawab Mulyo menjaga rahasianya.
Iapun tidak banyak membicarakan Ratih dihadapan teman-temanya dan selalu memilih untuk lebih lama dirumah.
Hanya beberapa minggu…
Kebahagiaan yang Mulyo alami hanya berlangsung selama beberapa minggu. Sangat cepat layaknya bunga tidur yang singgah sesaat sebelum kembali tersadar.
Malam itu Mulyo merasakan bau amis seperti yang ia temui di sendang.
Samar-samar ia menyadari kedatangan sang penunggu sendang di mimpinya. Perasaan takut menyelimuti dirinya. Bukan atas sosok yang mendatanginya, melainkan ia khawatir penunggu sendang itu akan mengambil kembali apa yang telah ia berikan.
Mulyopun memaksa dirinya untuk bangun dari mimpi itu. Ia segera menoleh ke arah Ratih yang tidur di sebelahnya.
Dan benar saja, Ratih sekarat…
Mulyo histeris melihat keadaan Ratih saat itu. Rahayu mendengar teriakan ayahnya segera menghampirinya.
Ia menangis meratapi kondisi ibunya yang berubah drastis. Tubuhnya kembali kurus, tubuhnya demam tinggi, bahkan untuk bernafas saja terlihat sulit.
Tak tahu harus berbuat apa, Mulyo keluar dan ingin menghampiri sendang itu sekali lagi.
Rahayu sebelumnya terus menjaga ibunya dan tak henti mengganti kompres yang ia harap dapat meredakan demam ibunya.
“Panggil bapak nduk, jangan biarkan bapak pergi..” Ratih berusaha sekuat tenaga untuk meminta Rahayu.
“Tapi, ibu sakit…”
“Panggil nduk, sebelum terlambat..”
Melihat ibunya bersikeras, Rahayupun meninggalkan rumah menyusul ayahnya. namun ternyata, ayahnya belum jauh. ia mendapati ayahnya berdiri diantara pepohonan hutan dan berkomunikasi dengan sosok yang tidak bisa ia lihat dengan jelas.
“Kembalikan Ratih! Kumohon…” pinta Mulyo pada sosok itu.
Rahayu bergidik ngeri melihat sosok yang berkomunikasi dengan ayahnya itu. Ia ingin segera pergi, namun di satu sisi ia juga mengkhawatirkan ayahnya.
“Kau sudah tahu yang harus kau lakukan untuk permintaanmu…” ucap makhluk itu.
“Tidak! Aku tidak mungkin mengurbankan anakku…” Tolak Mulyo.
Mendengar ucapan itu Rahayu seketika menjadi lemas. Ia tidak menyangka bahwa dirinyalah yang diminta untuk menggantikan kesembuhan ibunya.
"Sembuhkan Ratih.. aku berikan apapun selain nyawa anakku, bahkan bila aku yang harus menanggungnya," ucap Mulyo.

Rahayu tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak menyangka ayahnya menjaga dirinya hingga seperti itu.
“Kau tahu aku bukanlah makhluk suci, kita melakukan sebuah pertukaran.. kalau memang itu kehendakmu, kutunggu jasadmu terbenam di sendang,”
Makhluk penunggu sendang itupun menghilang di dalam gelap.
Tidak ada suara lain di hutan itu selain suara isak tangis Mulyo yang meratapi nasibnya.
Rahayupun terus menangis mengetahui kejadian itu. Ia sadar, bahwa kelahiranyalah yang membawa petaka pada ibunya, dan saat ini dirinya yang diminta untuk menjadi bayaran kesembuhan ibunya.
Namun ada satu hal yang menusuk hatinya. Rasa sayang ibunya tidak pernah habis walau ialah yang menyebapkan ibunya seperti ini. dan ayahnya, bahkan rela menukarkan nyawanya alih-alih mengorbankan dirinya.
Mulyo pulang dengan putus asa. Ia tidak lagi bisa melihat Ratih tersiksa lagi seperti dulu. Malam itu Mulyo tak henti-hentinya mengelus rambut Ratih yang telah tertidur dan mengecup keningnya. Air matanya menetes membayangkan rasa sakit Ratih.
Ratihpun terbangun saat tetesan air mata itu jatuh di wajahnya. Ia menggenggam erat tangan Mulyo dan kembali mengingatkan, bahwa ia ihklas menerima keadaanya.
“Jangan biarkan Rahayu sedih ya pak…” ucap Ratih mengingatkan suaminya itu.
Mulyo mengangguk menyanggupinya, namun saat itu ia sadar bahwa ia tidak melihat Rahayu di rumahnya.
Mulyopun mencari keberadaan anaknya itu ke seluruh penjuru rumah, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Rahayu.
Ia semakin khawatir dan mencarinya hingga keluar rumah dan masuk ke hutan.
Saat mengetahui ayahnya meninggalkan rumah. Rahayu menyelinap masuk ke dalam rumah. Ia menatap wajah ibunya yang lemah tak berdaya dari jauh, nyawanya seperti sudah diujung tanduk.
Ia tidak tahu berapa malam lagi ibunya akan bertahan.
Hanya isak tangis yang keluar dari mulut Rahayu. Ia tidak masuk menemui ibunya dan kembali keluar dengan mengambil beberapa benda di rumahnya.
Mulyo putus asa mencari keberadaan Rahayu malam itu.
Perasaanya semakin berkecamuk, ia harus memilih mencari keberadaan Rahayu atau menemani Istrinya yang umurnya tidak lagi lama.
Tapi tepat saat matahari mulai terbit, ia menemukan sesosok tubuh terbaring di mulut hutan.
Wajahnya pucat dengan darah sudah menggenang di sekitar tubuhnya. Mulyo yang melihat tubuh itu segera mengenalinya.
“Rahayu!!!”
Mulyo berlari sekuat tenaga dan menemukan anaknya dalam keadaan pucat dengan darah yang mengalir dari goresan pisau di urat nadinya.
“Nak!! Kenapa kamu begini nak??” ucap Mulyo.
Rahayu tersenyum mengetahui seseorang yang menemani di akhir hayatnya adalah ayahnya. Ia menguatkan dirinya untuk mengucapkan pesan terakhirnya.
“Rahayu bahagia pak… Rahayu disayangi sama bapak dan ibu. Hari-hari terakhir saat kita bersama sudah seperti surga untuk Rahayu.
Sekarang gantian bapak dan ibu yang bahagia ya… Rahayu ikhlas…”
Mulyo tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Rahayu dan mengapa Rahayu melakukan hal seperti ini.
“Bawa tubuh Rahayu ke sendang pak, Rahayu ingin memastikan bapak dan ibu bahagia,”
Itu adalah ucapan terakhir Rahayu sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya. Tangis Mulyo tak terbendung, ia menangis dengan memeluk erat tubuh Rahayu.
“Seharusnya bapak nduk, seharusnya bapak… bukan kamu” ucapnya.

***
Mulyo berjalan memasuki rimbunya hutan yang hampir jarang sekali di jamah oleh manusia.
Wajah dan pakaianya begitu lusuh. Terlihat ruam di matanya bersama bekas luka dan darah yang menjadi riasan di sekitar pipinya.
Suara langkah kakinya berdampingan dengan sesuatu yang ia seret sambil tertatih. Isak tangis terdengar dari setiap langkah yang ia lalui namun seperti lembaran yang sudah mengerak, sudah tidak ada lagi air mata yang bisa menetes di pipinya.
Mulyo terhenti di sebuah sendang di tengah hutan. Entah dari mana sendang itu mendapatkan airnya, namun hitamnya warna permukaan sendang itu seharusnya membuat setiap manusia menjauhinya.
“Ini bayaran atas permintaanku,” ucap Mulyo itu seolah berbicara dengan sesuatu yang ada di sendang.
Tak ada jawaban apapun selain riak air yang tercipta dari pertemuan antara angin dan permukaan air hitam itu. Walau begitu, ia percaya ada yang mendengarkan ucapanya..
Ikatan tali dilepas. Bungkusan kain yang sebelumnya dibawa dengan diseret itu akhirnya bisa terbuka. Mulyo menangis sejadi-jadinya tanpa air mata namun sayangnya ia tidak bisa mundur lagi.
Jasad seorang anak kecil perempuan terbaring di bungkusan kain itu.
tubuhnya pucat, kulitnya membiru dan mulai membengkak, bercak darah masih terlihat di beberapa bagian kulit dan bajunya.
Dengan sisa tenaganya Mulyo menggendong jasad anak perempuan itu dan membawanya tepat di depan sendang. Ia melihat sekelilingnya, namun semua terlalu hening.
Bahkan suara seranggapun tidak terdengar malam itu.
Mulyo tak henti-hentinya menangis sembari mencelupkan seluruh tubuh anak itu hingga perlahan-lahan tenggelam ke dasar sendang.
Awalnya semua hening seperti sebelumnya.
Mulyo berpikir, mungkin Ia akan menyesali apa yang ia perbuat. Namun tiba-tiba jasad anak itu tertarik masuk ke dasar yang lebih dalam dan mulai menghilang dari pandangan Pria itu.
Saat itu hawa semakin dingin, riak air sendang semakin deras seolah menandakan munculnya sesuatu dari dalam sendang.
Dan benar saja, terlihat sosok kepala-kepala manusia memenuhi sendang itu dan mengintip ke permukaan sendang.
Ia tidak pernah meliihat makhluk-makhluk ini saat terakhir ke tempat ini.
Mereka hanya menampakan wajahnya dari ujung kepala hingga sebagian hidungnya seolah menyambutnya. Matanya menyala merah dengan terus menatap ke pria itu.
Rasa takut menjalar ke tubuh Mulyo. sosok-sosok yang mengambang-ngambang di permukaan sendang itu berhasil membuat ia merinding dan terjatuh di pinggir sendang yang dangkal.
Kengerian itu tak berhenti sampai di situ.
Sekali lagi dari dalam air muncul sesuatu yang mengambang. Perlahan tubuhnya terus naik seolah ia berjalan di permukaan air yang dangkal.
Sosok pernah ia temui sebelumnya. Wanita berwajah pucat dengan rambut yang tak berbentuk.
Tubuhnya dipenuhi borok dan sisik aneh dengan baju kebaya yang telah terkoyak.
“Khikhkhi… Seberapa berharga tumbal yang kamu hanyutkan?”
Penunggu sendang itu mendekat ke arah Mulhyo hingga jarak antara wajah mereka hanya beberapa jengkal.
Mulyo ketakutan melihat sosok itu, namun kehadiranya menandakan apa yang ia lakukan sesuai dengan tujuanya.
Walau begitu Mulyo malah menangis seolah meledakkan penyesalan di dalam dirinya.
Ia mengacak acak rambutnya dan beberapa kali memukul tanah dan air di sekitarnya untuk membuat pikiranya lega. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
Jasad itu dipastikan akan bersemayam bersama makhluk-makhluk mengerikan itu.
“Sekali lagi kutanya… seberapa berharga tumbal yang kau hanyutkan?”
Mulyo menatap sang penunggu sendangu tanpa bisa menghentikan tangisnya.
“Di—dia anakku..” Jawab Mulyo.
Seketika suara tawa makhluk itu pecah hingga terdengar ke penjuru hutan.
Makhluk-makhluk yang mengintip dari permukaan sendangpun ikut menyeringai dan membuat sendang itu terlihat seperti neraka yang mengerikan.
Tetapi, keputusan telah dibuat. Di tengah tawa makhluk-makhluk itu hanya Mulyo yang menangisi perbuatanya.
Pertukaran sudah terjadi dan tidak bisa dibatalkan.

Mulyo kembali ke rumahnya dengan tubuh dan jiwa yang berantakan. Ia tidak tahu apa yang dilakukanya benar atau salah. Namun keberadaan Ratih yang menyambutnya di depan rumah membuatnya sedikit tenang,
hanya saja ia harus mencari cara untuk menjelaskan tentang Rahayu pada istrinya itu.
Seperti dugaanya, Ratih tak berhenti bersedih saat mengetahui kepergian Rahayu. Mulyo terus mencari cara untuk menghibur Ratih, tapi ternyata Mulyo salah.
Dia sendirilah yang paling merasakan kehilangan akan kepergian Rahayu.
Ternyata rasa sayangnya terhadap anaknya melebihi apapun yang ada di dunia ini. Setiap malam ia selalu menangisi Rahayu, memukul-mukul dadanya untuk membunuh rasa sakit itu.
Sayangnya ia selalu terbayang apa yang terjadi pada jasad anaknya itu di dasar sendang.
“Sudah pak, sudah… Rahayu melakukan ini untuk kita,” hibur Ratih.
“Tidak bisa bu, sendang itu dihuni makhluk-makhluk mengerikan.
Aku juga tidak tahu apakah rohnya tenang, ataukah ia tersiksa bersama penunggu sendang itu,” Tangis Mulyo.
Ratih tidak dapat berkata apa-apa, ia hanya bisa memeluk Mulyo dan menghiburnya. Apalagi semua yang dirasakan oleh suaminya itu juga dirasakan olehnya.
“Tidak bisa bu, saya tidak bisa membiarkan Rahayu tersiksa di dasar sendang seperti itu, seandainya ia sudah tiada aku lebih tidak rela bila rohnya harus bersama makhluk-makhluk itu…”
Penyesalan di dalam diri Mulyo membawanya untuk meninggalkan rumah dan berlari menuju Sendang. Ratih yang mengetahuinya segera mengikutinya dan berharap bisa menghalangi Mulyo untuk melakukan hal yang nekat.
Sayangnya rasa penyesalan Mulyo semakin besar. Walau sudah tiada, rasa sayangnya terhadap Rahayu tetap tidak bisa hilang.
Mulyo berlari ke arah sendang dan terjun ke dalamnya tanpa berpikir panjang.
Ia menyelami air yang berbau busuk itu dan mencari tubuh anaknya yang mungkin sudah tidak berbentuk. Entah berapa kali ia menggapai permukaan untuk menarik nafas dan kembali ke dasar.
Ratih yang menyusulnyapun gagal untuk menahanya.
Sebaliknya ia malah menyaksikan kemunculan sosok penunggu sendang yang mempertanyakan kedatangan Mulyo.
Usaha Mulyo tidak sia-sia, ia menemukan sebuah jasad yang sudah membengkak dengan luka di pergelangan tanganya.
Ia segera mengangkat jasad yang sudah membusuk itu dan mengeluarkanya dari sendang.
“Apa yang kau lakukan..” Tanya sosok penunggu sendang itu.
“Aku tidak sudi membiarkan anakku berada di sendang terkutuk ini walau hanya jasadnya,” ucap Mulyo.
“Kau ingin menukarkan Istrimu untuk jasad yang sudah mati ini?” ucap makhluk itu.
Mulyo menggeleng, ia mencoba mengatur nafasnya yang terengah-engah.
“Aku menukarnya dengan jasadku…”
Mulyopun menenggelamkan tubuhnya ke dalam sendang.
Tidak ada tanda-tanda kemunculan tubuh Mulyo setelahnya. Suara tawa makhluk penunggu sendang terdengar begitu keras seolah menikmati kejadian ini.
Ratih yang melihat hal itu segera menyusul Mulyo. Namun ia dihadang oleh sang penunggu sendang.
“Pertukaran sudah terjadi, jasad ini telah terbebas dari ikatanku…” ucap penunggu sendang.
Ratih menangis melihat jasad Rahayu yang begitu mengerikan setelah tenggelam berhari-hari.
“Kau bisa menyelamatkanku dari kematian, seharusnya kau bisa memulihkan jasad dan roh anakku,”
Tantang Ratih.
“Khikhiki… Dia mati sebagai pengorbanan untukku, aku bisa mengembalikanya. Bila bayaranya setimpal..."
Ratih menatap makhluk itu dengan penuh amarah. Ia tahu maksud dari makhluk itu. Ratih sudah bulat dengat tekadnya.
Ia melewati makhluk itu dan melangkah menuju sendang.
Tanpa menunggu lama, ia melangkah mengenggelalmkan dirinya ke dalam sendang menyusul suaminya. Saat air itu sudah menenggelamkan lehernya ia menoleh ke arah makhluk penunggu sendang itu.
“Sebaiknya kau tepati ucapanmu..” ucap Ratih.
“Aku tidak pernah berdusta…” balas makhluk itu singkat.
Ratihpun mengakhiri hidupnya di sendang itu berpelukan dengan jasad Mulyo yang ia temui masih mengambang di sendang.
Sekali lagi tawa wanita pucat penunggu sendang itu menggema ke seluruh hutan seolah puas dengan apa yang terjadi.

***
Rahayu melihat semua yang terjadi terhadap kedua orang tuanya saat rohnya masih disandra oleh penunggu sendang itu. Kini pengorbanan kedua orang tuanya membuat ia kembali menghadapi kehidupan yang sebelumnya telah ia ikhlaskan.
Sayangnya, kehidupanya tidak lagi sama. Rohnya telah ternoda oleh sendang terkutuk itu. Ada sosok di dalam dirinya yang ingin mengamuk ingin membalaskan semua penderitaanya pada kehidupan ini.
namun ia selalu ingat, ia adalah makhluk yang lahir karena cinta, dan kembali hidup karena rasa sayang kedua orangtuanya. Itu membuatnya mampu untuk terus hidup dengan baik.
Mengetahui kedua tubuh orang tuanya bersemayam di sendang. Rahayu memilih hidup di dekat sendang itu untuk menemani kedua orang tuanya. Terlebih keberadaanya disana bisa menghalangi orang-orang yang mencoba memanfaatkan kutukan dari sendang itu lagi.
Suatu saat, prajurit yang menemukan sendang itu kembali. Namun ia tidak lagi terlihat seperti seorang prajurit, ia datang dengan membawa beberapa pasukan seolah ia memimpin pasukan itu.
Rahayu yang sudah mulai dewasapun menghadangnya. Ia tidak membiarkanya untuk mendekat ke sendang. Namun saat prajurit itu menjelaskan tentang maksudnya, Rahayupun menyambutnya.
“Aku sudah menutup sendang ini, bagaimana sendang ini bisa kembali ditemukan?” tanya prajurit itu.
“Selama sifat tamak manusia masih ada, akan selalu ada yang menemukan sendang ini..” balas Rahayu.
Prajurit itu memang sudah khawatir akan hal ini. ia membawa beberapa orang sakti yang ia harap bisa menghapus kutukan dari sendang ini.
Rahayu menyaksikan berbagai ritual dan pertarungan tak kasat mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ritual ruwatan itu terjadi selama dua puluh tiga hari hingga sosok penunggu sendang itu dapat diusir dan berjanji tidak akan kembali.
Setelah memastikan sendang itu tidak menyimpan kekuatan lagi, prajurit itupun bersiap untuk pergi. Iapun mengajak Rahayu untuk mengikutinya dan tinggal di tempat yang lebih layak. Namun Rahayu bersikeras untuk tetap tinggal di tempat tinggalnya saat ini.
Selain karena jasad kedua orang tuanya berada di sana, ia sudah terlanjur mencintai alam dan suasana di hutan itu.
Prajurit itupun tidak keberatan, sebaliknya ia memberikan sebuah selendang merah penginggalan ibunya sebagai ucapan terima kasih karena telah menjaga sendang
dari orang yang berniat buruk selama ini.
Rahayupun menghabiskan seumur hidupnya di sana. Orang-orang yang mengetahui keberadaanya mengenalnya sebagai Nyi Sendang Rangu. Pelindung sendang berselendang merah yang melarang siapapun menjangkau sendangnya.
Sayangnya, kematian bukanlah akhir dari perjalanan Rahayu.
Rohnya masih berada di alam ini dengan maksud dan tujuan yang tidak ia ketahui.
Ia menjaga sendang itu dari masa ke masa sampai suatu saat ada seorang sakti yang menemukan sendang itu kembali.
Nyi Sendang Rangu sadar ia bukan orang yang berniat jahat. Sebaliknya, dengan bantuanya Roh kedua orang tua Rahayu yang terjebak di sendang itu bisa tenang berkat doa-doa darinya.
Tidak ada lagi yang dijaga oleh Nyi Sendang Rangu di sendang itu hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi mengembara. Itu adalah saran dari orang sakti itu. Mungkin saja Nyi Sendang Rangu bisa menemukan tujuanya dengan perjalananya itu.
Beratus-ratu tahun Nyi Sendang Rangu menyaksikan alur kehidupan manusia. Terkadang ia ikut merasakan kebahagiaan manusia di sekitarnya, dan terkadang ia juga merasakan kesedihan dari mereka. Namun kehidupan di dunia tidak sesederhana itu.
Memasuki masa peperangan Nyi Sendang Rangu menyaksikan ketamakan manusia melebihi yang ia bayangkan. Tidak hanya mengenai harta dan takhta, mereka juga mengejar kesaktian dan kedigdayaan yang seharusnya tidak mereka sentuh.
Peperangan antar kerajaan tidak hanya melibatkan manusia. Ilmu ghaib, mantra, pusaka mulai menjadi penentu kemenangan dalam peperangan.
Berbagai sosok ghaib dilibatkan untuk membantu mereka memenangkan peperangan yang terus memakan banyak korban.
Tak terkecuali Nyi Sendang Rangu.
Berbagai orang sakti berhasil menemukan Nyi Sendang Rangu, mereka menawarkan berbagai cara agar sosok roh yang telah berada ratusan tahun di alam ini mau membantu mereka.
Namun Nyi Sendang Rangu yang membenci peperangan menolak mentah-mentah. Hingga datanglah seseorang dari ujung timur pulau jawa yang menemui Nyi Sendang Rangu.
Dengan ilmu yang ia miliki, ia menarik sisi gelap Nyi Sendang Rangu yang ia dapat dari Sendang Banyu Getih.
Aroma bangkai jasad manusia benar-benar membuatnya tergiur dan mengambil alih kepribadian Nyi Sendang Rangu.
Sosok itu akhirnya bertuan pada orang tersebut hingga membuatnya memenangkan berbagai peperangan.
Keberadaan Nyi Sendang Rangu membuat orang itu memiliki tempat penting di kerajaan sebagai patih hingga memiliki wilayah kekuasaanya sendiri.
Nyi Sendang Rangu berdiam di sendang di wilayah itu.
Patih itu memerintahkan warganya untuk terus menyediakan tumbal perempuan untuk sendang itu. Selama Nyi Sendang Rangu mencium bau bangkai manusia, ia akan terus dikuasi oleh sisi gelap itu.
Hal itu terus berlanjut hingga peperangan berakhir dan kerajaan itu hancur.
Kesadaran Nyi Sendang Rangu kembali ketika tak ada lagi tumbal yang di persembahkan untuknya. Iapun menyesali apa yang terjadi dan meninggalkan tempat itu untuk mencari sendang yang dapat memurnikan rohnya.
Ada sebuah sendang di hutan belantara yang belum pernah ditemukan oleh manusia. Sebuah tempat yang sepi dan jauh dari peradaban. Nyi Sendang Rangu memutuskan untuk menyucikan diri di sana entah sampai kapan.
Bertahun-tahun Nyi Sendang Rangu mendiami tempat itu tanpa berhubungan dengan manusia. Ia meleburkan semua emosinya di tempat itu dan berharap sosok gelap dirinya tidak lagi muncul.
Suatu saat ia mendengar suara seseorang yang memasuki hutan tersebut. Seorang manusia..
Nyi Sendang Rangu memperhatikan gerak gerik manusia yang memilih untuk tinggal di hutan itu. Ia memulai kehidupanya seorang diri di sana dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan apa yang ada di hutan itu.
Namun ada yang aneh dengan Pria itu. di waktu-waktu tertentu ia mengamuk seperti kesetanan dan merusak semua hal yang ada di hutan. Nyi Sendang Rangupun sadar, bahwa pria itu sengaja mengasingkan dirinya agar tidak menyakiti orang lain dengan kutukan di dirinya itu.
Nasib yang sama membuat Nyi Sendang Rangu tertarik denganya, iapun mengikuti gerak-gerik manusia itu dari hari ke hari. Ni Sendang Rangu juga tahu, sesekali pria itu meninggalkan hutan hanya untuk menemui anak dan istrinya, tapi setelahnya ia pasti akan kembali ke dalam hutan.
Suatu ketika, Pria itu mengamuk tanpa henti. Ia kesetanan lebih dari tiga malam. Seluruh hewan dan makhluk hutan mulai terusik dengan hal itu sehingga Nyi Sendang Rangu memutuskan untuk menunjukkan dirinya dan menenangkan Pria itu dengan air dari sendangnya.
Pria yang menyadari keberadaan Nyi Sendang Rangupun berterima kasih dan memperkenalkan dirinya dengan nama , Widarpa Dayu Sambara..
Nyi Sendang Rangu belajar banyak hal dari Widarpa,
sementara Widarpa mendapat lawan bicara yang bisa mempertahankan kesadaranya sebagai manusia di hutan itu.
Rasa sayang Widarpa pada keluarganya mengingatkan dirinya akan keberadaan keluarganya dulu.
Bahkan walau sedang mengasingkan diri, Widarpa terus mencari cara untuk melindungi keluarga dan keturunanya. Ia menciptakan sebuah mantra yang dapat menghubungkan dirinya dengan keturunanya melalui perantara Keris Ragasukma yang dimiliki oleh anaknya.
Nyi Sendang Rangu menyaksikan semua proses itu dan terus mendampingi Widarpa. Ada perasaan yang timbul di hati Nyi Sendang Rangu terhadap Widarpa, namun ia sadar bahwa ia tidak dapat menggantikan posisi Nyai Suratmi di hati Widarpa.
Iapun memutuskan untuk meninggalkan hutan itu untuk memendam perasaanya dan mendekat kepada manusia lagi. Sedangkan Widarpa meneruskan perjalananya untuk mencari keberadaan makam rajanya hingga akhir hayatnya.
Walau begitu Nyi Sendang Rangu sadar bahwa dirinya tidak sepenuhnya bersih. Sosok gelapnya selalu muncul setiap bertatapan dengan manusia-manusia yang memelihara dosa dan berniat jahat. Ia akan kembali ke wujud cantiknya setiap menemui manusia yang berhati baik.

***
Danan mendengarkan cerita yang begitu panjang tentang asal-usul Nyi Sendang Rangu. Ia terus mencoba menahan air matanya saat mendengar kisah Nyi Sendang Rangu semasa hidupnya.
Kini ia mengetahui siapa sosok di hadapanya yang meminta tumbal dari warga desa. Ia tidak menyangka sosok itu adalah sisi gelap Nyi Sendang Rangu. Sosok yang selama ini ia saksikan setiap Nyi sendang Rangu berhadapan dengan manusia-manusia berhati buruk.
“Aku tidak menyangka Nyi, sosok tanpa ampun yang menghukum orang-orang jahat ternyata dia..” tanya Danan.
Dengan keberadaan Nyi Sendang Rangu, sosok itu hanya menatap dan mengitari Danan. Ia seperti tidak berniat menyakiti siapa-siapa selain tumbal yang ia minta.
“Bukan dia.. makhluk itu adalah aku, kami tidak terpisahkan.” Balas Nyi Sendang Rangu.
“Lantas bagaimana saat ini ia bisa melakukan perbuatan ini dan mencari tumbalnya sendiri?” Tanya Danan.
Wajah Nyi Sendang Rangu terlihat khawatir, sepertinya ada yang sangat mengganggu pikiranya.
“Ada seseorang yang menariknya dariku, aku sudah curiga saat berada di Jagad Segoro Demit.
Walau berhadapan dengan makhluk jahat, aku tidak pernah berubah menjadi sosok itu..” balas Nyi Sendang Rangu.
Danan akhirnya mengetahui akar permasalahanya.
“Bila kita bisa mengalahkan sisi gelap Nyi Sendang Rangu, maka permasalahan akan selesai kan nyi?” Tanya Danan.
Nyi Sendang Rangu menggeleng.
“Tidak nan, rohku dan dia dalah satu.. ia baru akan musnah ketika aku musnah,” ucap Nyi Sendang Rangu.
Danan kaget mendengar penjelasan Nyi Sendang Rangu. Ia tidak mungkin memusnah Nyi Sendang Rangu yang sudah menyelamatkan nyawanya berkali-kali.
“Apa tidak ada cara lain Nyi?” Tanya Danan Gelisah.
“Aku sedang mencari cara untuk mengembalikan sosok itu kepadaku, sudah seharusnya ia menjadi bagian dariku sampai akhirnya aku diijinkan untuk menghadap yang maha kuasa,” Jelas Nyi Sendang Rangu.
Tapi kisah mengenai Nyi Sendang Rangu memberi petunjuk akan apa yang harus Danan perbuat.
“Sisi gelap Nyi Sendang Rangu di dapat dari Sendang Banyu Getih, sementara itu Sendang Banyu Getih juga mulai mendapatkan kutukanya lagi..
Aku merasa kunci permasalahan ini ada di sendang itu Nyi..” ucap Danan.
Nyi Sendang Rangu mengangguk setuju namun ia juga menyampaikan sesuatu.
“Yang terpenting, ada seseorang dibalik semua ini, Nan. Kalau dia bisa mengembalikan kutukan Sendang Banyu Getih dan bisa menarik sisi gelapku, sudah pasti ia pasti bukan manusia biasa,” tambah Nyi Sendang Rangu.
Danan mengerti, saat ini ia tidak bisa melakukan apapun terhadap sosok Nyi Sendang Rangu yang mencari tumbal dari desa. Ia harus secepatnya menemui Cahyo dan menghentikan kutukan dari Sendang itu.
Tapi Danan tahu, mereka harus bersiap menghadapi sosok apa yang menciptakan semua tragedi yang berhubungan dengan Sendang Banyu Getih ini. Dengan sudah mengorbankan banyak nyawa, sesakti apa sosok yang harus mereka hadapi itu?

***
(Bersambung Part Akhir )
Part akhir akan diupload malam jumat minggu depan tgl 8 ya. Buat temen-temen yang mau baca duluan atau sekedar support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..

karyakarsa.com/diosetta69/tam…
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga selesai, mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau bagian cerita yang menyinggung.
Jangan lupa tinggalin komen sama bantu retweet ya..

Terima kasih.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Jul 10
SABDA PANGIWA 3
Part Akhir - Tamat

Tabu itu tak berarti di hadapan mereka. Ritual yang melanggar norma mereka percayai untuk menuju kesempurnaan.

#bacahorror @bacahorror Image
Cerita Sebelumnya

Sabda Pangiwa - Keranda Tulah 1 - x.com/diosetta/statu…
2 - x.com/diosetta/statu…

Sabda Pangiwa - Warisan Jenazah 1- x.com/diosetta/statu…
2-x.com/diosetta/statu…
Tegar mengamati tanpa ekspresi. Perlahan ia berkata, “Sekte Pangiwa.”
“Pangiwa?” ulang Ujang, belum paham.

“Aliran kiri. Mereka mencari ‘kesempurnaan’ dengan membakar tubuh dan jiwa lewat hawa nafsu. Makin mabuk, makin hilang kendali, makin jauh dari dunia—mereka percaya, itu mendekatkan mereka pada kekuatan leluhur.”

Ujang menelan ludah. “Jadi ini ‘ibadah’ yang mereka omongin tadi…”

Tegar hanya mengangguk. Sementara itu, suara gamelan makin keras. Nada-nadanya tak wajar—seperti dimainkan tangan yang bukan manusia.
Mereka berdua berpindah posisi diam-diam, mengamati kerumunan itu dari balik gelap. Tiba-tiba, Ujang menunjuk ke panggung.

“Gar… itu Pak Baskoro, kan?”

Tegar menyipitkan mata. Di tengah keramaian, terlihat seorang pria tua dengan jubah gelap, berdiri tegak memantau dari belakang altar. Wajahnya tenang, bahkan tersenyum. Tapi matanya kosong, seperti tak ada jiwa di dalamnya.

“Baskoro… tuan tanah itu?”

Ujang mengangguk. “Dia calon kepala desa. Anak buahnya sering ngirim hasil panen ke pasar. Tapi… aku nggak pernah tahu dia ikut-ikut ginian.”

Tegar tak menjawab. Perhatiannya tertarik pada sosok lain.

Di tengah panggung, berdiri seseorang dengan pakaian lengkap kesenian: rompi tua, celana pendek batik, dan… sebuah topeng kayu. Topeng itu tampak sangat tua, hitam, penuh retakan, dan bermata kosong. Meski wajahnya tertutup, entah kenapa aura sosok itu membuat udara di sekitar terasa lebih dingin.

“Pementasan pembawa petaka itu… pakai topeng, kan?” tanya Tegar.

Ujang mengangguk. “Iya. Dan topengnya… Apa mungkin itu topengnya?”

“Yang pasti topeng yang dikenakan itu bukan benda biasa.” gumam Tegar.

“Mereka pelakunya?”
Read 22 tweets
Jul 3
SABDA PENGIWA III - Topeng Patih

Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap & menggoda, yg konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yg hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”

#bacahorror Image
“Bercintalah hingga tubuhmu lelah meraba gairah yang hampa, mabuklah sampai setiap tegukan menjadi sia-sia, bersenang-senanglah sampai tawa tak lagi meninggalkan gema. Lalui semuanya… hingga yang fana kehilangan maknanya, dan jiwamu terlepas dari jerat dunia. Itulah saat ketika kesempurnaan menampakkan wajahnya yang sunyi.

Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap dan menggoda, yang konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yang justru hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”
Cerita Sebelumnya
Sabda Pangiwa - Keranda Tulah
1 - x.com/diosetta/statu…
2 - x.com/diosetta/statu…

Sabda Pangiwa - Warisan Jenazah
1- x.com/diosetta/statu…
2- x.com/diosetta/statu…
Read 18 tweets
Jun 26
PUSAKAYANA
Part 7 - Sabda Pangiwa

Sosok pria misterius muncul dengan membawa sebuah keranda. Dengan tubuh yang penuh goresan mantra dan topeng bujang ganong menutupi wajahnya, ia menantang wahah terakhir Triyamuka Kala..

@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor Image
Beberapa saat sebelumnya…

Seorang pemuda berambut gondrong berjalan perlahan dengan ransel tergantung di satu pundak. Matanya menyapu sekeliling, mengamati jalanan tanah yang lengang dan rumah-rumah panggung yang tampak asing.

Di kejauhan, debur ombak terdengar samar, desa ini berada di pesisir timur, namun Tegar sama sekali tidak tahu namanya.

Seorang pria paruh baya dengan kulit legam baru saja menurunkan jaring dari sepeda motornya. Ia mengernyit saat melihat Tegar.

“Lho… jarang-jarang desa kami kedatangan orang baru,” sapa pria itu ramah.

Tegar menggaruk kepalanya, kebingungan. “Saya juga nggak niat ke sini, Pak. Tadinya numpang truk barang ke Surabaya… tapi ketiduran. Tahu-tahu diturunin di jalan besar sana.”

Pria itu tertawa pendek. “Bisa-bisanya nyasar sampai sini. Nama sampean siapa?”

“Tegar, Pak. Asal saya dari selatan Jawa Timur.”
“Wah, jauh juga. Saya Pak Unggul. Ayo duduk dulu. Jalanan sepi kalau siang begini.”

Tegar duduk di kursi panjang dari bambu di depan rumah Pak Unggul. Angin laut bertiup pelan membawa aroma garam dan sesuatu yang lain—bau amis, atau mungkin asap dari tungku pembakaran.

“Kalau mau balik, besok aja, Mas Tegar,” lanjut Pak Unggul. “Kendaraan umum cuma lewat sampai jam dua belas siang. Setelah itu, sepi.”

“Lho, nggak bisa nyegat bus di jalan besar?”

Pak Unggul tersenyum, matanya menatap kosong ke arah hutan. “Coba aja kalau mau nekad. Tapi masnya pasti lihat sendiri tadi, kan? Jalanan sepi, hutan kiri kanan. Malam... gelap total.”

Tegar terdiam. Ia tidak ingin bermalam di tempat asing, tapi kenyataan memaksanya.

“Sudahlah. Nginep aja di sini. Nggak usah sungkan,” ujar Pak Unggul sambil berdiri.
Siang itu, Tegar memutuskan berjalan keliling desa. Ia melihat kehidupan sederhana para nelayan—menjemur ikan, memperbaiki jaring, memanggul ember-ember besar ke perahu. Tapi ada satu pemandangan yang membuatnya berhenti.

Sebuah perahu kecil merapat ke dermaga, membawa dua ekor ikan tuna raksasa.

Tegar mengernyit. Alat tangkap mereka tampak sangat sederhana. Jangankan alat berat, jala pun tampak rapuh.

Ia mendekat. Di sudut kapal, ia melihat kembang tujuh rupa, kemenyan, dan sebuah tungku tanah kecil. Aromanya menusuk.

“Pak, ikan segede itu ditangkap pakai apa? Nggak mungkin jala, kan?” tanya Tegar, heran.

Seorang nelayan tertawa pendek. “Mas baru pertama kali ke sini, ya?”

“Iya, baru nyasar tadi.”
“Ikan ini nggak bisa dijala atau dipancing, Mas.”
“Lha terus... gimana nangkapnya?”

“Disantet.” jawab nelayan itu tenang sambil menurunkan ikan bersama rekannya.

“Disantet?” Tegar mengulang pelan, tak yakin ia mendengar benar.

“Iya. Disantet dulu, baru ngambang. Habis itu tinggal dinaikkan ke kapal,” jawab nelayan lain dengan nada biasa, seperti menjelaskan cara menanak nasi.

Tegar menyingkir. Tubuhnya merinding. Tapi yang lebih aneh, warga desa tidak tampak takut atau tabu saat menyebut kata ‘santet’. Seolah itu bagian dari rutinitas harian.

Menjelang malam, Tegar kembali ke rumah Pak Unggul. Tapi langkahnya terhenti saat melihat keramaian menuju pantai. Obor-obor menyala, wajah-wajah warga tegang. Tegar mengikuti mereka.

Sesampainya di tepi laut, Tegar melihat beberapa kapal nelayan terdampar di pasir. Suasana sunyi, hanya suara ombak dan isak tangis yang terdengar.

“Mati... mereka semua mati...” gumam seorang ibu dengan suara gemetar.

“Siapa?” tanya Tegar pelan pada orang di sebelahnya.
“Nelayan yang pergi tiga hari lalu. Baru balik... tapi begini.”

Tegar mendekat. Di depan matanya, jasad-jasad nelayan terbujur kaku. Tubuh mereka utuh, tidak ada luka. Namun... mata mereka, hilang. Hanya rongga kosong yang tersisa.

“Tidak ada tanda pukulan, tidak ada luka. Tapi matanya... dicungkil, entah oleh apa…” bisik salah satu warga.
Read 20 tweets
Jun 19
PUSAKAYANA
Part 6 - Penjara Waktu

Paklek tiba di desa Ki Satmo. Kemunculan pusaka kadewatan disana membawa petaka yang mengerikan, namun hanya tempat itu yang bisa menghubungkan paklek dengan Pusakayana...

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Cahaya putih menyilaukan mata. Dalam sekejap, lambang mandala yang menyatu di telapak tangan Danan dan Cahyo lenyap begitu saja—dan bersama cahaya itu, tubuh mereka terpental kembali ke zaman di mana ratusan nyawa dipertaruhkan hanya dalam satu kedipan mata.

Langit berwarna kelabu. Udara mencekam.
Di hadapan mereka, samar-samar tergambar satu pertarungan yang bergerak begitu lambat yang berat sebelah.

Bli Waja, berdiri tegak meski tubuhnya mulai koyak, ia berusaha menahan satu wajah dari makhluk terkutuk itu, Sang Triyamuka Kala yang berusaha lepas dari penjara waktu Bli Waja.

Danan mendongak, menatap salah satu wajah yang sebelumnya berhadapan dengannya. Kini ia tahu, wajah itu tak lain adalah perwujudan jahat Sang Hyang Talapraja.

Waktu terhenti saat akar-akar dari wajah itu berhenti tepat saat akan menembus roh Nyi Sendang Rangu.

“Danan… kau berhasil?” Sebuah suara akrab menyela keheningan.

Cahyo. Ia muncul dari sisi lain, tubuhnya terluka tapi matanya bersinar.

“Semoga saja… pusaka ini yang dimaksud,” jawab Danan sambil menggenggam erat belati tulang putih di tangannya.
Read 29 tweets
Jun 13
PUSAKAYANA
Part 5 - Pusaka Para Raja

"Lambang mandala itu terhubung dengan hatimu, Cahyo. Bukan kepada tempat. Bukan kepada waktu. Tapi pada tujuan terdalam dalam dirimu..."

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Link Part Sebelumnya :
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Part 4 :
x.com/diosetta/statu…
Kembang Getih… Itulah yang semula Cahyo kira sebagai satu-satunya masalah di desa ini.
Sebuah bunga merah darah yang tumbuh diam-diam dari tanah bekas kematian, dan dengan cara yang mengerikan, menghidupkan kembali roh-roh warga yang mati mengenaskan.

Namun kini, Cahyo mulai sadar, ini bukan sekadar kutukan. Ini adalah luka dari masa lalu yang dibiarkan membusuk terlalu lama.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Cahyo bertanya, suaranya pelan namun tegas, mencoba memecah kebisuan yang menggantung berat di udara pagi.

Kerta berdiri mematung menatap arah desa, sementara Mbah Wongso duduk bersila di tanah, berusaha mengatur napas yang sejak tadi memburu. Ada duka dalam matanya, namun juga tekad yang mulai menyala kembali.

“Kita nggak mungkin kembali ke desa, kan?” Kerta akhirnya bersuara. “Berarti tujuan kita cuma satu.” Ia menoleh ke arah hutan, tempat dimana Kembang getih mekar.

“Jadi… saat ini kita tetap akan cari cara untuk menghentikan kutukan Kembang Getih itu?” tanya Mbah Wongso pelan.

Cahyo menggeleng pelan. Ada sesuatu yang menahannya untuk ikut menyepakati itu.

“Yakin, Mbah? Walaupun kutukannya dihentikan… aku nggak yakin mereka, para warga itu, akan benar-benar berhenti menyembah iblis Raden Reksomayit itu.”

Ucapannya bukan sinis—melainkan getir. Ia tahu betul bahwa dosa manusia lebih dalam dari sekadar bunga terkutuk. Dosa yang lahir dari rasa takut… atau haus akan pemuas nafsunya.

Mbah Wongso terdiam. Lama. Lalu mengangguk, pasrah tapi mantap.

“Lambang mandala Mbah... muncul demi menghentikan kutukan itu. Kalau itu jalannya, maka itu yang akan Mbah tempuh.”
Read 31 tweets
Jun 6
PUSAKAYANA
Part 4 - Kembang Getih

Kembang yang tumbuh di desa memanggil satu-persatu manusia di sana untuk mati. Ada yang disembunyikan oleh desa misterius itu..

#bacahorror @bacahorror Image
Link Part Sebelumnya :
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Cahyo tepat saat ia tersadar. Dadanya sesak, seakan ditindih batu. Napasnya terengah, dan dunia di sekelilingnya berputar perlahan. Dalam kepalanya, gema suara Bli Waja masih terngiang..

“Kau harus mencari cara mengalahkan satu wajah Triyamuka Kala. Waktu di tempat Wanasura akan berhenti—tapi hanya untuk sementara.”

Mata Cahyo menatap ke telapak tangan kanannya. Simbol mandala yang samar-samar berpendar di sana seperti hidup, denyutnya seirama dengan jantung Cahyo. Ia menggertakkan gigi dan berbisik..

“Wanasura... Aku pasti akan kembali sebelum waktu kembali berjalan...”

Cahyo berdiri perlahan. Sekelilingnya gelap dan sunyi. Di balik bayang-bayang pepohonan, rerumputan tinggi bergoyang ditiup angin malam yang dingin menggigit. Jauh di kejauhan, kilauan api samar menyala.

“Desa?”gumamnya, penuh ragu.

Semakin ia mendekat, nyala itu bertambah jelas—bukan cahaya lampu listrik, melainkan obor dan lampu minyak. Cahyo melangkah ke dalam sebuah desa tua yang tersembunyi di antara pepohonan, rumah-rumahnya berjauhan, terhubung hanya oleh jalan tanah setapak yang dipenuhi lumut.

Tak ada kabel. Tak ada suara mesin. Hanya desir angin dan bunyi dedaunan. Cahyo menyadari bahwa ia berada di zaman yang jauh di belakang.

Atmosfer terasa ganjil. Udara seperti lebih berat. Setiap langkah menimbulkan rasa tidak nyaman. Saat itulah ia mulai melihatnya—satu per satu...

Orang-Orangan Sawah.
Read 25 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(