gil Profile picture
Nov 3, 2022 104 tweets 18 min read Read on X
MULIH - Bagian 4 (Tamat)

"Ceritaku masih berlanjut!! Dengan teror hantu mirip Bapak yang semakin berlarut-larut!!".

@bacahorror_id @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror #idnhorror #menghorror #ceritaht Image
Hari ke 20 sepeninggal Bapak,

Seiring kejanggalan yg semakin berlarut2, sosok Bapak yg menghampiriku setiap malam malah semakin membuatku ragu, ditambah lagi kini desas-desus para tetangga yg mengaku melihat Bapak berjalan mengelilingi desa, membuat orang takut keluar malam.
Pak Solikin yg pertama kali berkoar, saat meminta maaf kepada Naryo, akhirnya memang benar ia yg meracuni kolam ikan milik Naryo, ia berujar, terpaksa mengakui itu karena terus dihantui sosok Pak Parman (Bapak), mendatanginya 3 hari berturut-turut bahkan hampir mencekiknya.
Apakah itu benar-benar arwah Bapak? Atau jin penunggu keris itu yg “Mengejawantahkan” dirinya menyerupai bapak. Yg jelas semua akan terjawab seiring waktu yg berjalan.

Malam Selasa Kliwon,

Tepat 20 hari bapak meninggal, Aku, Pakde Karjo & Lik Minto usai mencuci keris itu,--
--memandikannya dengan air kembang, serta mengasapinya dgn kemenyan.

Setelah Pakde & Paman berpamitan pulang, aku mulai bicara kepada ibu tentang keraguan ini.

“Buk, opo iki ora dosa? Iki musyrik lho”.

(Buk apa ini tidak dosa? Ini Musyrik lho). Ucapku yg waktu itu--
--melihat ibu tampak gelisah.

“Saktenane ibuk ngerti kui, tapi piye maneh? Pakde karo Lik Mu wes ngotot kesenengen”.

(Sebenarnya ibuk tau itu, tapi bagaimana lagi? Pakde & Pamanmu sudah Ngotot kegirangan). Kata ibu.
Disini ibu juga berkata, bahwa ibu tahu betul dulu gelagat almarhum Bapak sebenarnya tak ingin aku meneruskan semua ini, bahkan dia sempat ingin “Melarungnya”. Hanya saja kata ibu, sebelum bapak sempat melakukan itu, beliau sudah terlebih dahulu sakit.
“Opo Larane Bapak ono hubungane karo iki?”.

(Apa sakitnya Bapak ada hubunganya dgn ini?). Tanyaku.

“Ora nang, ora ono hubungane, bapak ki kan larane reno2, yo ginjal, yo paru2”.

(Tdk Nak, tdk ada hubungannya, bapak tu kan sakitnya macam2, ya ginjal, ya paru2). Sanggah ibu.
Aku pun kembali membicarakan itu, tentang bagaimana jika sebaiknya aku tidak meneruskan semua ini, karena jujur dari dalam hati aku tidak begitu tulus melakukannya, walaupun sudah belakangan ini ku paksakan tapi tetap saja, aku rasa ini bukanlah hal yang bijak.
“Yowes, tunggu 40 dina sek, mengko tak rewangi omong alon-alon karo Pakde”.

(Yaudah, Tunggu 40 hari dulu, nanti ibu bantu ngomong pelan-pelan sama Pakde). Jawab ibu yang bersamaan dengan itu,

“Darrrrr!!!!”. Lampu penerangan diatas kita, meletus.
Di susul oleh listrik yg seketika padam, aku pun berdiri untuk melihat ke arah depan rumah, “Oh konslet!!”. Batinku yg melihat lampu tetangga depan rumah masih menyala.

Aku pun keluar rumah untuk menghidupkan meteran listrik yg anjlok itu. “ada apa ini, tiba2 kok--
--meledak”. Batinku tak enak.

Waktu menunjukkan sekira pukul 11 malam, tampak wajah ibu yg gelisah setelah ledakan itu. Buru2 ia menyuruhku untuk masuk ke kamar.

“wes, saiki turu wae, wes bengi”.

(Sudah, sekarang tidur saja, sudah malam). Kata ibu seraya bangkit dari--
--tempat duduknya & berjalan menuju kamarnya.

Begitu juga denganku yang mau tak mau harus masuk ke kamarku juga.

“Apa dia ndak terima ya, tadi aku omongin”. Batinku sambil naik ke atas ranjang dan merebahkan tubuhku.
“Asshh, mboh lah!!”. Ucapku, menarik selimut & memiringkan badanku. Firasatku mulai tak enak, firasat yg memang kerap kurasakan hari2 ini. Ya!!!! Firasat akan kehadiran sosok perupa Bapak itu.

Aku mencoba untuk tidak memperdulikan itu, & sambil memejamkan mata aku berdzikir.
“Allahuakbar...”.

“Allahuakbar...”.

“Allahuakbar...”.

Dzikirku berbisik, hingga tak terasa mataku mulai berat dan mengantuk, sekuat hati aku mencoba untuk tidak menghentikan dzikirku, membuat tempo kalimat yang kuucapkan menjadi semakin lambat.
“Allahuakbar...”.

“Allahuakbar...”.

“Allahuakbar...”.

Dan disinilah kejanggalan mulai terjadi, samar-samar aku seperti mendengar orang yang menirukan kalimat dzikirku!!

“Allahuakbar...”. (Allahuakbar).

“Allahuakbar...”. (Allahuakbar).
Suara itu mengisi disetiap jeda Dzikirku, aku yg pada awalnya belum yakin betul kini memilih diam, sambil mengrenyitkan dahi aku mencermati, apakah aku memang benar2 mendengar, atau hanya salah dengar saja.

Tapi suara itu hilang ketika aku terdiam, & muncul kembali setelah aku--
--mengucapkan kalimat dzikir lagi, begitu terus berulang2 sampai aku berhenti & berlanjut beberapa kali.

Hingga akhirnya, untuk kesekian kalinya aku kembali diam, suara itu kini tak hilang.

(“Allahuakbar...”.)

(“Allahuakbar...”.)

(“Allahuakbar...”.)

Tuturnya jelas--
--membisik dari belakang badanku, aku yg tadi merasakan kantuk, tentu kini mata ini menjadi terbuka lebar.

Memelototi tembok, sambil mendengar suara yg mau tak mau kini harus terdengar itu.

(Allahuakbaaaaar....!!”). Suara itu semakin lambat & panjang.

(Allahuakbaaaaaaaaaa--
--rr..!!!!!”). Semakin panjang lagi & kini seperti membisik ditelingaku.

Keringatku mulai bercucuran, tubuhku gemetar. Seiring dgn aroma minyak wangi bapak yg kini tercium di hidungku.

“Agstafirullaaaaah!!!!”. Ucapku gemetar & gelagapan. Ada dorongan yg cukup kuat--
--di dalam hatiku untuk memeriksanya, Namun sepertinya aku tak kuasa apa bila harus membalikkan tubuhku ini.

Aku pun memilih untuk membiarkan saja suara itu, namun semakin lama, suara itu semakin kuat, suara yg tadi membisik, kini tidak lagi. Dan sangat bisa ditebak suara--
--siapakah itu? Ya!! Benar, suara bapak!!.

(ALLAHUAKBAR!!!...ALLAHUAKBAR!!..ALLAHUAKBAR!!).

Aku hanya bisa menangis gemetar, dan setelah beberapa saat suara itu bertahan, kini aku harus mengambil resiko!!, aku harus membalikkan tubuhku!! Image
Dengan perlahan aku membalikkan badanku, beriringan dengan suara Bapak yang masih terdengar, dan setelah tubuhku sudah benar-benar membalik sepenuhnya, suara itu pun hilang, tak ada sosok yang kulihat.
Nafasku masih terengah, tubuhku juga masih gemetar, dengan lemas aku pun kembali membalikkan tubuhku, tapi apa yang kulihat setelah aku berbalik?. Seseorang berselimutkan kain sarung lusuh berada di sampingku dengan posisi membelakangiku!!.

Bersambung - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/… Image
Ya, itu Bapak!!, aku hafal betul aroma & motif pada kain sarungnya. Aku hanya bisa menutupi wajahku dgn kedua tanganku, & degn gemetar aku pun membalikkan tubuhku lagi.

Aku tak lagi merubah posisi, aku kini menangis tidur meringkuk membelakangi sosok yg menyerupai bapak itu!!.--
& waktu itu aku seperti berada di titik puncak ketakutanku.

Teriak pun aku tak bisa, apalagi berdoa, bahkan tasbih juga entah kenapa kini sudah tak lagi berada digenggamanku.

Ditambah lagi dgn suara nafas berat yg kuyakini keluar dari sosok yg menjelma menjadi bapak itu.
“Srettt...srettt...srettt”. Selimutku tersingkap dengan sendirinya, membuat tangisanku kini menjadi kencang.

Hingga selang beberapa saat kemudian, ibu yg sepertinya mendengar tangisanku dari kamarnya, pun mendatangiku. “ah!! Lega!!”. Batinku, ketika mendengar ibu membuka pintu- Image
--kamar & masuk.

“Kenopo le..kenopo le!!”.

(Kenapa nak!! Kenapa nak!!). Ucapnya sambil menggoyangkan tubuhku.

Disini seketika tangisanku pun pecah,

“Aku ora kuat buk...!! Ora kuat!!!”.

(Aku tidak kuat buk!! Tidak kuat!!). Ucapku setelah bangkit dan memeluknya.
Ibu yg sudah seperti memahami apa yg terjadi pun, mengajakku untuk tidur dikamarnya. dengan lemas & tertatih aku berjalan bersama ibu, menuju kekamarnya. Tubuhku benar2 terasa lemah, dengan pelan aku membaringkan tubuhku, & aku pun memejamkan mata, erat di samping ibu hingga--
--tanpa terasa aku terlelap setelah kekacauan ini.

Singkat cerita, aku terbangun keesokan harinya, dengan pening dan sedikit demam. Tak ada siapa-siapa disampingku, “oh mungkin ibu sudah bangun duluan”. Batinku seraya bangkit sambil memijat pundakku sendiri.
Setelah duduk sejenak, aku pun beranjak keluar, dengan langkah yang sedikit kuseret, aku memanggil-manggil ibu. “Bukk!!”. Ucapku. Bertemulah aku dengan ibu di ruangan dapur.

“Pie nang, awakmu?”.

(Bagaimana nak, badanmu?). Tanya ibu yang tengah menyalakan kompor minyaknya.
“Ra penak buk, koyone aku masuk angin”.

(Ndak enak buk, sepertinya aku masuk angin). Jawabku sambil menahan rasa pusing dikepalaku.

Aku pun beranjak meninggalkan ibu, dengan ingatan kejadian semalam yg masih saja terngiang di pikiranku.

“Ah!! Biarlah!!”. Kataku sambil--
--berjalan menuju kamarku sendiri.

Aku masuk ke kamar, membuka jendela beserta tirainya, ku pungut pula bantal dilantai yang mungkin terjatuh tadi malam. Ku tata ditempat yang seharusnya, Namun, lagi-lagi ada pemandangan tak lazim.
Terlihat bercak-bercak kecokelatan di sisi ujung kasur tidurku. Aku coba usap dengan tanganku untuk memeriksanya. Dan saya yakin, ini adalah ceceran tanah basah yang meresap. “apa-apaan ini?”. Kataku pelan.

Sampai akhirnya aku menyadari, bahwa ceceran tanah basah ini berada--
--ditempat yg sama, dimana semalam hantu yg menyerupai bapak itu terbaring membelakangiku.

Seketika tengkukku bergidik, “Asu!!!”. Gerutuku spontan. Aku pun buru2 keluar & memberitahukannya kepada ibu.
Kugeret saja ibu yang berada didapur itu kini masuk ke kamarku. Ibu juga tampak keheranan setelah melihat itu. Dan Ia yang sempat melentikkan jarinya untuk memeriksa tanah itu pun berkesimpulan bahwa ini adalah tanah kuburan.
“Lemah Setana iki!!”.

(Tanah kuburan ini!!). Ucapnya yang kini langsung menarik kain seprei itu dan menyuruh aku untuk segera membuangnya.

“Buang-buang!!”. Kata ibu yang entah mengapa kini terlihat sangat kesal.
Ku buang kain seprei itu dibelakang rumah, lalu aku bakar bersama dengan sampah2. Api sudah menyala, aku tunggu hingga kain itu benar2 terbakar habis.

“jadi Bapak bangkit dari kubur dan pulang semalam?”. Batinku didepan api yang sudah tampak membesar.
“Ah, tidak masuk akal!!!”. Kataku sambil mendorong kain itu dengan sebatang kayu agar lebih masuk kedalam sampah yang aku bakar. Sekira setengah jam kemudian kain itu sudah terbakar habis tak tersisa, aku pun kembali masuk ke dalam rumah.
Aku mencari ibu, yang ternyata tengah berada diruang tamu, tangannya tampak buru-buru mengusap wajahnya saat tahu aku datang menghampirinya. “ibu menangis!!”. Batinku yang langsung segera duduk disampingnya.
“wes sesuk tetep kudu dilarung, keris iku!!”.

(sudah, besok tetap harus dilarung keris itu). Kata ibu dengan marah.

“Iki wes ra bener, mosok bapak dadi arwah gentayangan!!”.

(ini sudah tidak benar, masa’ Bapak menjadi arwah gentayangan!!). Kata ibu lagi yg sepertinya--
--sudah kehabisan kata2 untuk mendeskripsikan hal ini.

Ini sesuai dgn pemikiranku saat ini, yg sudah cukup lelah menghadapi sosok yg menyerupai bapak itu datang setiap malam. Karena memang tidak semestinya, seseorang yg sudah meninggal, kembali pulang untuk ‘menghantui’--
--keluarga dekatnya.

Apa lagi dengan rumor didesa ini, sudah cukup banyak orang yang mengaku melihat bapak berkeliling desa, sampai-sampai tak ada orang yang mau keluar didesa ini saat malam.
“Mengko kan, Pakde Karto karo Lik Minto kan meh rene to buk?, pokokmen mengko Awak dewe langsung omong!!”.

(Nanti Pakde karto dan Paman Minto kan mau kesini to buk?, pokoknya nanti kita langsung bicara!!). Ucapku saat itu.
Setelah itu Kita pun kembali mengobrol untuk menenangkan suasana, walau badanku masih terasa sangat tidak enak, seperti ada sesuatu yg ku gendong di pundakku.

Dan setelah beberapa aku & ibu mengobrol, terdengar suara dari arah depan. “Assalamualaikum”. Seseorang membuka--
--pintu & langsung masuk, Naryo datang, dgn membawa rantang 3 tingkat penuh dgn makanan.

“Niki Budhe, enten bancakan saking Ma’e kulo”.

(ini budhe, ada ‘Bancakan’ dari ibu saya). Kata Naryo sembari meletakkan rantang itu diatas meja.
Ibu pun tentu menyambutnya dengan baik dan berterimakasih kepada Naryo, karena memang kebetulan aku dan ibu sedang tidak punya lauk yang istimewa.

Sementara ibu pergi ke dapur untuk menyalin wadah makanan ini, aku dan Naryo pun saling berbincang.
“Piye Mbel, pirang-pirang dino kok ratau ngetok? Sehat to?”.

(Gimana Mbel, berhari2 kok tidak kelihatan? Sehat to?). Kata Naryo.
“Gek rapenak awake mbel,”.

(lagi ndak enak badan Mbel!!). Jawabku sambil memegang pundakku yg terasa semakin berat saja.
“Oh gek Lara to awakmu ki, jane meh tak jak mancing, tapi yowislah sesuk wae kapan-kapan”.

(Oh kamu sedang sakit to, sebenarnya mau ku ajak mancing, tapi sudahlah besok saja, kapan2). Kata Naryo.

Bersambung - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bersamaan dengan itu, Ibu keluar, membawa Rantang milik Naryo yang sudah bersih dan dicuci.

“Iki ndul rantange, tersuwun yo, maturke ibukmu”.

(ini Ndul, rantangnya, terimakasih ya, bilang ke ibumu). Kata ibu sambil meletakkan rantang itu didepan Naryo.
Setelah berbasa-basi sejenak, Naryo pun pamit pulang. Ia menepuk bahuku, melempar senyum ke ibuku & menganggukkan kepalanya ke arah belakang ibuku.

Sontak ibu langsung menoleh ke arah belakangnya yg tak ada siapa2 itu. Sambil kembali menatap Naryo, yg sdh berjalan keluar rumah.
“Naryo ki, ngguyu karo sopo yo?”.

(Naryo tadi, senyum ke siapa ya?). Tanya ibu beberapa saat setelah Naryo berpamitan pulang.

“Wes lah buk, rausah dibahas”.

(sudahlah buk, tidak usah dibahas). Kataku yang merasa kepalaku semakin pusing.
Singkat cerita sore hari pun tiba, sesuai perkiraanku, Pakde Karjo dan Lik Minto datang kerumah. Ada yang aneh di gelagat mereka, wajahnya tampak suram dan lelah. Setelah meminta dibuatkan kopi oleh ibu, Pakde dan Paman pun duduk.
Aku keluar dari kamar, menyalami mereka berdua dan ikut duduk, dan selang beberapa saat kemudian ibu datang membawa 3 cangkir kopi panas.

“Iki koyone gangguane wes kebablasen, terus terang, aku karo Sukir wes rakuat”.
--
--(ini gangguannya sepertinya sudah keterlaluan, terus terang saja, aku dan Sukir sudah tak kuat). Kata ibu begitu saja untuk mengawali pembicaraan.

Sejenak Pakde dan Paman tampak saling pandang, dan Pamanku berkata,
“Ho.o, pancen, soyo suwe kok tansoyo aneh, aku yo wedi nek dewe ki mung digaweke karo ‘Kae’”.

(Iya, memang, semakin lama kok semakin aneh, aku juga takut kalau kita hanya dipermainkan oleh ‘dia’). Jawab Lik Minto kala itu dengan mimik wajah yang gelisah.
Pakde menghela nafasnya & menganggukkan kepalanya, & tanpa diduga ia membuka 3 kancing baju yg dipakainya untuk memperlihatkan sesuatu.

“iki mau bengi, bar mulih seko kene, pas aku lagi enak-enak turu”.

(Ini semalam, sepulang dari sini, ketika aku sedang enak2 tidur). Kata-
-
--Pakde sambil memperlihatkan luka cakaran aneh di dadanya.

Menurut penuturan Pakde, semlm setelah kita mencuci keris itu, saat pulang, Pakde & Paman sempat membuka obrolan dmn mereka mulai meragukan Mandat ini, mrk merasa berdosa karena sudah memaksaku untuk mewarisi keris itu.
Konon setelah pemikiran itu muncul, mahluk itu marah dan menyerang Pakde. Menurutnya ini bukanlah sifat Bapakku.

Lik Minto, Pamanku juga mengalami kejadian yang kurang lebih sama dengan Pakde, dimana ia semalam dicekik, oleh sosok yang menyerupai Bapak.
“Jelas kae dudu Mas Parman!!”.

(jelas itu bukanlah Mas Parman). Kata Lik Minto dengan lemas saat menceritakan itu.

Pembicaraan adil inilah yang aku inginkan selama ini, Aku dan ibu pun juga langsung bercerita tentang kejanggalan-kejanggalan yang belakangan ini terjadi.
Hingga setelah pembicaraan yang cukup panjang dan lebar, akhirnya kita semua berkesimpulan dan mengambil mindset, kalau sosok yang menyerupai Bapak itu bukanlah Bapak, melainkan Jin yang menjelma saja untuk mempertahankan eksistensinya.
“Nek dilarung, nopo mboten bahaya, kados sing nate Pakde kalih Paman, ceritakke?, sing jarene saget ngancem nyawa?”.

(Kalau dilarung, Apa tidak bahaya, seperti yg pernah Pakde dan paman ceritakan?, yang katanya bisa mengancam nyawa?). Kataku untuk menuntaskan pembicaraan ini.
Pakde & Paman hanya menganggukkan kepalanya, & berkata,

“Kui durung pasti, iku ming kira-kirane aku karo Minto, yo pancen kejadian, rikala aku pengen nolak, deknen langsung ngamuk!!”.

(itu belum pasti, hanya perkiraanku & Minto saja, yg pada akhirnya memang kejadian,--
--ketika aku ingin menghentikan semua ini, ‘Dia’ langsung mengamuk!!). Kata Pakde.

“Terus, niki saene Pripun?”.

(terus ini baiknya bagaimana?). Tanyaku.

“Yowis, Larung wae, tapi raiso saiki, tetep nunggu 40dino”.

(ya sudah dilarung saja, tapi tidak bisa sekarang, tetap--
--menunggu setelah 40 hari). Kali ini Lik Minto yg menjawabnya.

Akhirnya sore itu pun kita sepakat untuk menghentikan semua ini. Kita semua sama-sama menguatkan, karena pasti akan ada sesuatu yang terjadi setelah pembicaraan ini.
Pakde pun meminta keris itu untuk dibawa kehadapannya, dan sambil mengucapkan mantra yang aku sendiri tak tahu, pakde mulai mengikat keris itu dengan kain kafan menutup di seluruh bagiannya, dan menguncinya dengan tetesan kemenyan yang terbakar.
Tak terasa Magrib hampir menjelang, Pakde Karjo dan Lik Minto segera berpamitan serta berpesan kepadaku dan ibu, agar menggelar kasur saja dilantai,

“Pokoke ojo turu ning amben!!”.

(Pokoknya jangan tidur diatas ranjang). Kata Pakde sebelum keluar dari rumah.
Aku tak begitu mengerti apa alasannya, yg jelas aku & ibu memilih untuk menurutinya. Meski aku harus kedinginan diantara badanku yg masih agak demam ini.
----
Singkat cerita, tibalah malam, pikiranku tentu sudah macam-macam, “Akan ada apa lagi nih!! Malam ini!!”. Batinku was-was.
Aku & ibu sudah berada dikamarnya, kita tidur bersama dgn menggelar matras di lantai,

“Nek awake dewe turu ning jogan, jarene setan raiso nyilakani dewe, senajan mungkin iseh iso meruhi karo ngrungon-ngrungoni”.

(Kalau tubuh kita berada di lantai (dekat dengan tanah),--
--katanya lelembut tak bisa mencelakakan kita, walau mungkin masih bisa menampakkan diri, & mengganggu kita dgn suara). Kata ibu seraya menata seprei di matras itu.

Jam sudah menunjukkan sekira hampir pukul 22.00, kita semua bersiap untuk tidur, untung aku baru saja minum--
--obat, jadi mungkin malam ini aku bisa tidur lebih cepat.

Tampak rasa takut yg mencoba disembunyikan oleh ibu, aku sangat jelas melihatnya, dgn nada galaknya, berulang kali ibu menyuruhku untuk banyak2 berdoa.

“iyo buk..iyo!!”.

(iya buk,..iya!!). Jawabku seraya menarik--
--selimut menutupi ujung kaki hingga leherku.

Kami pun saling mencari posisi ternyaman, memejamkan mata sampai tak terasa kami pun terlelap.

Detik demi detik terus bergerak maju, seiring mlm yg semakin larut, beberapa kali aku sedikit terbangun dari tidurku, karena nyamuk--
--yg menggigit pipiku.

& entah pukul berapa waktu itu, aku kembali terbangun, tapi bukan karena nyamuk atau dinginnya udara yg menerpa kakiku. Namun karena suara langkah kaki yg sepertinya berasal dari ruangan lain di rumah ini.

“Tap!!.tap!!..tap!!”.
Suaranya seperti orang berjalan mengenakan sepatu.
Aku sedikit terbangkit untuk mencermati itu.

“Duh!!”. Aku bukan salah dengar, suara itu benar2 ada, berjalan dari ruangan satu ke ruangan lain dirumah ini. “Tap!!..tap!!!...tap!!!”.

Bersambung karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Aku segera membangunkan ibu dengan pelan, aku tentu tak mau ketakutan sendiri. Dan kita pun kini sama-sama mengamati suara itu dari dalam kamar.

“Tap!!!..tap!!..tap!!”.

“Kae buk, mireng ora?”.

(Itu buk, dengar tidak?). Tanyaku membisik.
Pada awalnya mungkin ibu masih merasa ini bukanlah sebuah kejanggalan, ia justru ingin bangkit & memeriksanya keluar, hingga aku pun mencegahnya.

“iki tetep kae buk! Aku wes apal!”.

(Ini tetap ‘dia’ buk! Aku sudah hafal!). Ucapku sembari meraih tubuh ibuku yg hendak bangkit.
“Terus dewe kudu piye?”.

(terus kita harus bagaimana?). Kata ibu.

“Wes teko nengke wae, dewe ojo metu”.

(Sudah, diamkan saja, kita jangan keluar). Ucapku.

“Tap!!!..tap!!..tap!!!”. Langkah kaki itu masih terdengar, ibu pun tampak semakin mencermati diantara rasa ragu &--
--takutnya yg mungkin bercampur menjadi satu.

& pada suatu momen tiba2 saja ibu memelukku ketakutan, sambil berkata.

“Iku mlakune Bapak, nang!!”.

(Itu jalannya Bapak, nak!!). Ucap ibu dgn nada bicara yg menahan tangis.

Aku hanya terdiam saja sembari memegang erat pundak-
--ibu, sebagai seorang istri, ibu tentu hafal betul semuanya tentang bapak, aku tidak meragukan itu.

Diantara suara langkah kaki itu, ibu berdoa dengan lantang namun masih dengan suara yg berbisik, suasana ini justru membuatku menjadi semakin takut.
Semakin ku cermati, suara langkah itu terasa semakin mendekat, dgn langkah yg kian cepat, seperti sedikit berlari. “Tap!!!...tap!!!tap!!!...tap!!”.

Dan langkah itu berhenti didepan pintu kamar!!!!.

Membuat pelukan kita semakin erat, ibu sudah terisak dgn tangisnya,--
--begitu juga dgn aku yg kini menatap kearah pintu, yg seperti menunggu, apa lagi yg akan mahluk itu lakukan.

& benar saja, karena tak selang beberapa lama langkah itu berhenti, kini pintu kamar mulai diketuk!!.

“Tok!!!...Tok!!!...Tok!!!”. 3 kali ketukan itu seingatku--
--terdengar, membuat aku & ibu sedikit tersentak karena kaget.

Ku palingkan pandanganku dari arah pintu, merunduk disela2 pelukan ibu.

& disinilah teror sedih yg sebenarnya!!.

“Bune.... Ibune!!!!, kir!!!...Sukir!!!”.
Jelas terdengar suara dari balik pintu, memanggil--
--aku & ibu. Ya!!! Lagi2 suara Bapak!!.

Mendengar itu, ibu tersentak & mendongakkan kepalanya, menatap kearah pintu dgn linangan air mata & keheranan.

“Uwis Mas!!!!!”.

(Sudah Mas!!!). Ucap ibu yang sepertinya mulai terbawa suasana. Dan suara itu muncul lagi.
“Bu!!!! Bune!! Iki Bapak bune!! Tulung bukak’i”.

(Bu, Ibu!!!! Ini Bapak Bu, tolong bukakan). Begitulah sekira suara yg kami dengar waktu itu.

Aku & ibu semakin tersentak & sedikit memundurkan posisi.

“Ora!!!! Kowe dudu Bapak!!!”.
(Tidak!!! Kamu bukanlah Bapak!!).--
--Ucapku tiba2 saja.

Setelah itu pintu kembali diketuk, lebih tepatnya digedor, sosok itu seperti memaksa masuk kedalam kamar.

Kini aku & ibu hanya bisa meringkuk & berdoa ketakutan. & suasana itu pun kembali berulang, sosok dgn suara Bapak itu, kembali memanggilku & ibu, --
--mencoba meyakinkan bahwa itu adalah benar2 Bapak namun dgn nada yg marah.

“IBUNE!!!! SUKIR!!!!! IKI BAPAK!!!! HAHAHAHAH!!!!”.

Aku semakin yakin, itu bukanlah Bapak, ia sudah meninggal & tenang disana, yg sekarang tengah bersuara ini adlh jin!! Yg mencoba memanipulasi kami.
Sampai akhirnya, entah setelah beberapa lama, yg jelas akhirnya suara itu pun hilang begitu saja, meninggalkan kami yg meringkuk, terengah ketakutan diatas matras tipis itu.

Malam itu kita benar-benar tak tidur, hingga azan subuh berkumandang, bagaimana kita bisa beristirahat--
--setelah kejadian itu?.

Singkat cerita keesokan harinya, setelah matahari benar2 terbit, barulah aku & ibu keluar dari kamar.

Pemandangan janggal lagi2 langsung terlihat. Ceceran2 tanah basah tersebar dilantai, aku & ibu berjalan merunutnya,--
--& ternyata ceceran tanah itu hampir ada di setiap ruangan rumah ini.

Tanpa berbicara ibu segera berjalan ke dapur & kembali lagi membawa sapu & pengki, ibu pun menyapu ceceran tanah itu dengan raut wajah yg tentu dipenuhi dgn kesedihan.

Nalarku terkoyak, aku benar2 tidak--
--habis pikir, ilmu macam apa ini yg diturunkan Mbah Kakung kepada Bapak & sekarang dipaksakan untuk diwariskan kepadaku.

“jelas ini adalah sebuah kesesatan!!”. Batinku memberontak.

Suasana pagi itu tentu menjadi sangat aneh, dan ternyata tanpa kuduga, kejadian ini terus--
--berulang selama kurang lebih 20 hari.

Berhari-hari itu, Sosok yg menyerupai bapak itu datang, mengetuk pintu kamar, memanggil-manggil aku & ibu & menyisakan ceceran tanah-tanah basah di setiap lantai ruangan rumah ini.

Setiap pagi pula, selama kurang lebih 20 hari lamanya--
--aku & ibu membersihkan ceceran tanah itu.

Apa kabar dgn Pakde Karjo & Lik Minto?, mereka juga mengalami hal yg kurang lebih sama, didatangi Bapak namun dgn mimik yg marah

Sampai tibalah sehari setelah 40 hari kematian Bapak, dimana inilah waktunya untuk mengakhiri semua ini.
Aku ingat, itu Pagi hari, sekira pukul 06.00 lebih sedikit, Pakde & Paman mengambil keris itu dirumah. Untuk melarungnya di sebuah Pantai di daerah Kendal, Jawa Tengah, daerah dimana Mbah kakung dulu dilahirkan. Konon memang dipantai itu dahulu Mbah Kakung mendapatkan keris itu.
Aku sempat ingin ikut melarung keris itu, namun dilarang oleh Pakde dan Paman.

“Wes tak urusane aku wae!!”.

(Sudah, biar aku saja yg mengurus!!). Kata Pakde waktu itu.

Mereka berangkat menggunakan mobil, aku ingat betul, aku & ibu mengantarkannya sampai depan rumah.
Tanpa ku tahu kala itu, adalah kala terakhir aku bertemu dengan Pakde & Paman dalam keadaan hidup.

Pakde Karjo & Lik Minto, mengalami kecelakaan dlm perjalanan menuju pantai itu, keduanya meninggal dunia dlm tragedi itu.

Aku & ibu yg mendapat kabar saat sore hari tentu--
--terkejut & sangat terpukul. Apa ini semua karena keris itu?.

Pada akhirnya Keris itu tak pernah dilarung, keris itu kembali lagi kerumah, diantar oleh seorang aparat teman baik Bapak beberapa hari setelah kecelakaan yg menimpa Pakde & Paman.
Kusebut saja sebagai keris sumber bencana, mengacaukan setiap tatanan dalam hidupku, membuatku sempat depresi karena menyalahkan diriku sendiri atas kematian Pakde Karjo & Lik Minto.

Ditambah lagi, Budhe (istri Pakde) & Bulik (istri paman), kini seakan membenciku, menyalahkanku-
--atas kematian suami2nya.

Tapi apakah aku patut untuk disalahkan? Ini semua bukanlah mauku.

Pada Akhirnya aku tentu tak sudi merawat keris itu, beruntung waktu itu ada seorang kyai dari pondok pesantren ternama di kota ini yg mau menolong & membawa keris itu--
--Setelah beberapa lama bertahan dirumah & mulai meneror dengan rupa yg menyerupai bapak lagi.

Dan demikianlah cerita ini berakhir, dengan kesepian antara aku dan ibu yang ditinggalkan oleh beberapa saudara terdekatnya. Tapi kehidupan tetap harus berjalan.
Dengan berat dan sepi aku berjuang bersama ibu, karena memang hanya dialah satu-satunya manusia yang tak pernah meninggalkanku.

Selang setahun setelah semua ini terjadi, Aku melanjutkan sekolahku, hingga menjadi sarjana pendidikan sekira 5 tahun setelahnya.
Aku pun mengikuti--
-- jejak Bapak, menjadi PNS, & mengajar disebuah SD negeri, di kota ini. 3 tahun kemudian aku menikah & mempunyai 2 orang anak.

Aku tetap hidup bersama ibu, bersama istri & kedua anakku, dirumah kenangan ini, hingga ibu menyusul bapak di alam surga pada tahun 2020 lalu, karena-
-sakit.

SUKIRMAN 2022.
TAMAT.

Sekian Cerita berjudul “MULIH” ini, saya tulis berdasarkan apa yg diceritakan oleh narasumber, dgn apa adanya, terimakasih sudah mengikutinya hingga akhir, semoga ada hal baik yg bisa kita petik dari kisah ini, sekian dari saya, kurang lebihnya-
--mohon maaf, Matursembah nuwun.. Sampai jumpa di cerita lain.

karyakarsa.com/AgilRSapoetra

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with gil

gil Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @AgilRSapoetra

Jun 25
[HORROR STORY]

PENGHUNI LAMA

~ Jiwa-jiwa yang tertinggal ~

[A THREAD]

#bacahorror #menghorror #IDN_Horror @bacahorror @menghorror @IDN_Horor Image
Temanggung, Jawa Tengah 2007,

Malam itu, Bau asap rokok menyelinap masuk ke kamar Tari, menusuk kuat hingga membangunkannya.

Tari pun melihat kearah jam di dinding kamarnya yg menunjukkan pukul 00.30.

"Oh Mas Doni sudah pulang". Batin Tari yg menyadari bahwa bau rokok ini ada-
-lah Mas Doni (Suaminya) yg sudah pulang dari bekerja & sekarang tengah merokok di ruang tamu.

Dengan kantuknya Tari pun beranjak keluar dari kamarnya, untuk membuatkan kopi bakal sang suamui

"Mas,sudah pulang?". Ucapnya-
Read 204 tweets
Jun 17
[HORROR STORY]

PASAR SETAN ~ Alas Randu

[A THREAD]

@bacahorror @IDN_Horor @menghorror #bacahorror #menghorror #IDNhoror Image
Hi.. Lama bgt gak bikin thread ya.. :)

Kali ini saya akan menceritakan sebuah pengalaman ganjil sekaligus ngeri dari seorang kerabat, yg bersaksi bahwa ia pernah tersesat di 'Pasar Setan', cerita ini terjadi sudah cukup lampau, yakni kisaran tahun 1994-95, tapi bagi nara-
-sumber, setiap detilnya masih membekas, bahkan menyisakan trauma yg cukup dalam.

*****

Jawa Tengah kisaran tahun 1994-95,

Pada suatu sore..

"Mbok dikirim besok pagi saja to Le". Kata seorang ibu kepada anaknya yg sedang menali 3 ekor kambing di atas mobil baknya. Image
Read 68 tweets
Apr 26
GUMBOLO PATI #13 (TAMAT)

Bedhong Mayit 2

"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror Image
Sebelumnya Part 12 :

Part 13 ( Akhir ) :

****

“GUMBOLO PATI #13”.

Pukul 05.30 pagi..

Sampai Pagi ini Darwis &Pak Dirja masih terjaga di dalam kamar, tampang-tampang lesu & kelopak mata yg agak menghitam, terlihat jelas di pa-
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
-gi ini, apa lagi penyebabnya kalau bukan kejadian semalam.

Matahari pun mulai muncul, mengembalikan kewarasan anak & cucu mendiang Mbah Gajul itu, untuk keluar dari kamar.

“Ayo ‘metu’ (keluar)”. Kata Pak Dirja lirih membisik untuk mengajak Darwis.
Read 94 tweets
Apr 8
GUMBOLO PATI #12

Bedhong Mayit 2

"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror Image
“GUMBOLO PATI #12”.

Perjalanan Pak Dirja dan Darwis menuju desa Turi..

“Alon-alon penting tekan nggih Pak..”.

(Pelan-pelan yang penting sampai tujuan ya Pak). Kata Darwis yang agaknya mulai mengerti kenapa ayahnya sejak berangkat tadi mengendarai mobilnya dengan cukup pelan.
Read 70 tweets
Mar 22
GUMBOLO PATI #11

Bedhong Mayit 2

"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror Image
Bagian sebelumnya di @X :

Selanjutnya di @karyakarsa_id :
11.

12.

13. (Tamat) - ongoing.

*****

GUMBOLO PATI #11

Tiga hari berlalu sudah, sejak ‘Bedhong Mayit’ itu di ambil kembali dari almarhum Pak-
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
-Broto. & sudah selama tiga hari ini pula Pak Dirja hampir dibuat putus asa, karena teror dari jin kafan yg semakin mengerikan saja.

Bagaimana tidak, semalam ada kejadian yg hampir saja mencelakai Darwis. Cucu mendiang Mbah Gajul atau anak Pak Dirja itu hampir menelungkupkan ke-
Read 71 tweets
Mar 15
GUMBOLO PATI #10

Bedhong Mayit 2

"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror Image
Part sebelumnya #9

On @karyakarsa_id

10.
11.
12.
13 -Tamat. (On going)

“GUMBOLO PATI” #10.

Sore ini, sekira pukul 16.00.
Tampak Pak Dirja & Darwis sudah berada di dekat mulut-
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
-terminal, di dalam mobil pinjaman dari kantornya, mereka menunggu Pak Sukoco untuk melayat ke tempat Pak Broto.

Sekira 5 menit menunggu, Pak Sukoco pun muncul, dengan pakaian rapinya, ia langsung masuk ke dalam mobil, dan mengajak untuk segera berangkat.

“Ayo berangkat”. Ka-
Read 74 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(