Daniel Ahmad Profile picture
Nov 17, 2022 70 tweets 9 min read Read on X
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 27, 28
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 27

“Mereka bilang sesuatu sama kamu?” tanya kakek.

Sejujurnya aku tidak ingin membahas ini di meja makan, bisa-bisa sarapanku akan terasa mentah sampai jam makan siang.
Namun, karena kakek mendiamkan nasi bungkusnya demi menunggu jawaban, terpaksa aku ladeni percakapan ini meski sambil menggerutu.

“Cuma minta tolong,” jawabku singkat.
“Terus?”

“Mereka hilang.”

“Lah, kenapa tidak sekalian kamu tanya mereka ada di mana?”

“Kek, mereka hilang. Hi-lang,” ulangku dengan penakanan, karena sepertinya kakek tidak menangkap maksud ucapanku.

“Terus?”
“Setelah kebakaran di rumah Pak Jawi, keenam anak itu udah nggak seperti anak-anak biasa. Sebelumnya kalau mereka ke sini, paling lewat pintu itu, atau ngintip di jendela, tapi sekarang mereka bisa muncul dan hilang gitu aja.--
--Wujud mereka juga—maaf—pucat, penuh luka, seperti mayat. Aku nggak yakin mereka masih hidup.”

“Kamu mau bilang kalau mereka itu....”

“Ya,” jawabku.
“Pesulap?”

“HANTU!” seruku, jengkel.
Kakek terbahak-bahak, batuk-batuk, lalu tertawa lagi sambil menempelkan telunjuk miring di keningnya, mengejekku seolah aku sudah gila. Sekarang aku tidak akan heran lagi kenapa bapak sering marah sama kakek.

“Hari ini ada acara?” tanya kakek.
“Gak. Napa?”

“Ikut kakek.”

“Ke mana, Kek?”

“Ke hutan.”

***
Sudah lama aku tidak ke hutan Sumbergede. Terakhir kali kulewati jalan setapak yang diapit dua ladang jagung ini, adalah ketika liburan ramadan tahun lalu.
Kukira kakek mau mengajakku ke rumahnya, tapi saat ladang jagung berakhir dan menjelma menjadi pepohonan, kakek justru memintaku belok ke kanan, melewati jalan sempit menuju ke jantung hutan.
“Sebenarnya kita mau ke mana, Kek?” tanyaku, sambil tetap berkonsentrasi mengendari motor karena jalan becek dan bergelombang.

“Terus saja!” kata kakek.
Aku menurut, meski sekarang aku mulai merasa kalau sebenarnya kakek tidak berniat mengajakku. Tidak butuh aku kecuali sebagai supir.
Dalam perjalanan, tiga kali kami berpapasan dengan warga yang pulang mencari rumput. Terpaksa kami harus berhenti, menepi, karena rumput yang mereka bawa di jok belakang sudah cukup menyita jalan.
“Pangapora, Kang,” ucap mereka, ramah.

“Engghi, nyara,” sahut kakek.

Selanjutnya, aku berharap tidak bertemu pencari rumput lagi, karena perjalanan kami di medan yang sulit ini jadi makin rumit dan melelahkan.
Sampailah kami di jembatan lori. Jembatan yang membentang di atas sungai Sumbergede itu masih kokoh meski pagar pengamannya sudah mulai berkarat. Jembatan itu dulunya hanya dilalui oleh kereta lori pengangkut tebu.
Relnya terhubung dengan jalur lori di kota Asembalur. Sekarang, karena jalur ini tidak lagi terpakai, dan kereta lori tidak lagi masuk hutan, jembatan itu pun digunakan warga untuk menyeberang.
Ada dua orang yang sudah menunggu kami di jembatan. Setelah memarkir motor di pinggir jalan, dekat dengan sungai, aku dan kakek menemui mereka yang ternyata adalah Mbah Sopet dan Kang Gusafar. Mereka melambaikan tangan dari tengah jembatan, menyapa kedatangan kami.
“Ngapain mereka di sini?” gumamku.
Seumur hidup, hanya dua kali aku pergi ke jembatan lori. Pertama saat latihan pramuka semasa SD dulu, kedua saat bermain bersama Sugik dan teman-teman sepulang madrasah.
Setelah bertahun-tahun tidak ke sini, jembatan Lori ternyata tidak banyak berubah. Kain merah yang melilit salah satu terali pagarnya pun masih ada, dan di sanalah Kang Gusafar serta Mbah Sopet berdiri melihat ke bawah sungai yang sedang deras.
“Maulida sudah bilang sama Kakeh? (Kakeh = Kamu)” tanya Mbah Sopet.

“Ya, tadi pagi dia ke rumah. Katanya Gusafar nemu sesuatu di hutan.”

“Itu,” Kang Gusafar menunjuk ke bawah, ke pinggir sungai.
Jarak antara permukaan air sungai ke jembatan adalah sekitar empat meter. Melihat dengan saksama dari ketinggian, aku langsung bisa menerka apa yang sedang berceceran di samping batu sungai.
“Bangkai sapi, lagi?” gumam kakek. “Tapi punya siapa? Saya tidak dengar ada kabar warga Sumbergede kemalingan sapi.”

“Di Sumbergede tidak, tapi di Taman Anyar ada. Aku baru saja dari sana.”
Taman Anyar adalah dusun kecil di Kecamatan Banyusirih. Sekitar satu kilometer menyusuri rel kereta lori ke barat jembatan. Aku belum pernah ke sana, tapi salah satu teman madrasahku berasal dari Taman Anyar.
Menurutnya, sejak jalur lori ke Sumbergede ditutup, dan Taman Anyar menjadi pemberhentian terakhir kereta pengangkut tebu, akses jalan ke Taman Anyar jadi lebih bagus. Listrik dan air bersih pun sudah tidak lagi jadi masalah.
“Ada warga sana yang kehilangan sapi?” tanyaku.

“Ya, sepertinya sapi mereka dicuri saat malam, tapi mereka baru sadar saat subuh,” tutur Mbah Sopet.

“Mau gimana lagi. Taman Anyar diapit antara ladang tebu milik pabrik gula dan hutan ini. Maling jadi gampang kabur.”
“Kamu sudah lihat ke bawah?” tanya kakek.

Kang Gusafar menunjuk sandal jepitnya yang putus, serta kedua kakinya yang basah dan berlumpur.

“Aku sama Gusafar sudah periksa tadi, dan ternyata benar, kondisi sapinya mirip sama sapi milik Mursid.”
“Tercabik, terburai, terbantai,” sambung Kang Gusafar.

Mendengar penjelasan Mbah Sopet, aku berasumsi pencurinya adalah orang yang sama. Hanya saja, tiga orang tua ini tampak tidak menyimpulkan demikian, mereka seperti menemukan petunjuk lain dari pencurian sapi kali ini.
“Berarti benar, anak-anak itu sembunyi di hutan ini,” gumam kakek.

“Sembunyi, atau disembunyikan,” ucap Kang Gusafar.
“Enam anak? Maksudnya anak-anak Pak Jawi ada di hutan ini?”

Aku yang berniat diam saja mendengarkan, tak bisa menahan diri untuk terlibat dalam percakapan. Mbah Sopet pun mengangguk, membenarkan.
“Terus apa hubungannya sama pencurian sapi?” tanyaku lagi.

Kakek menepuk pundakku. Bersamaan dengan itu, cara Mbah Sopet dan Kang Gusafar melihatku juga seolah aku sudah tahu jawaban sebenarnya, dan menyuruhku menerima semua fakta.
“Ma-maksudnya, pencuri ternak di desa selama ini adalah ....”

“Ya, keenam anak itu.”

“Mustahil!” tepisku. “Anak kecil mencuri sapi yang ukurannya dua kali lebih besar dari mereka, gimana caranya?”
“Kalau kami tahu caranya, pencurian ini sudah berhenti di kasus pertama,” sahut Mbah Sopet.

Sulit membayangkan keenam anak itu adalah dalang di balik pencurian sapi. Bahkan dengan jumlah mereka yang berenam sekalipun.
Dugaan Kakek, Mbah Sopet, dan Kang Gusafar secara tidak langsung membenarkan tuduhan Pak Muhadi waktu itu.
Keenam anak itu memang sudah menyebabkan banyak masalah, terlebih pasca meninggalnya Pak Jawi, tapi mencuri ternak, tidakkah itu bertentangan dengan cerita kakek yang menyebutkan kalau anak-anak itu tidak pernah mencuri dari warga?
“Belum ada warga yang tahu tentang ini?” tanya kakek.

“Sekarang belum, tapi waktu kami turun buat memeriksa tadi, ada tiga orang pencari rumput dari Sumbergede yang ikut. Tidak lama lagi pasti kabar ini tersebar,” tutur Mbah Sopet.
“Sebelum tempat ini ramai, sebaiknya kita kasih tahu orang di Taman Anyar dulu,” gagas Kang Gusafar.

“Dan sebelum warga curiga anak-anak itu ada di hutan ini, sebaiknya kita segera temukan mereka,” pungkas kakek.
CHAPTER 28

Upaya kakek agar warga Sumbergede tidak mencurigai bahwa keenam anak Pak Jawi masih hidup, dan saat ini sedang bersembunyi di hutan, rupanya gagal.
Saat aku dan kakek mengunjungi kantor desa, di sana sudah berkumpul Pak Edi dan kelompoknya yang sedang merencanakan pencarian keenam anak itu bersama dengan aparat desa. Tampak Pak Rido, sang kepala desa pun ikut dalam diskusi tersebut.
“Setidaknya mereka belum tahu tentang sapi itu,” gumam kakek.

“Terus kita ngapain ke sini?” tanyaku.

Tanpa sungkan, kakek langsung bergabung dalam diskusi yang dilaksanakan di pendopo balai desa.
Lesehan di lantai beralas karpet, mengelilingi tumpukan air mineral kemasan dan kue kering. Lingkaran manusia itu jadi lengkap setelah kehadiran kakek, meski dari raut wajah orang-orang yang hadir, bisa kutebak kalau sebenarnya kakek tidak diundang.
“Sebaiknya aku di motor saja, biar nggak malu,” batinku.

“Dani, sini! katanya haus?” sapa kakek dari pendopo.
Pak Rido, Kang Yudis, dan semua yang hadir di sana langsung melambai kepadaku, menawarkan makan dan minum layaknya aku seorang anak kecil yang diajak bapaknya membantu memasang tenda hajatan.
Sambil menahan malu, aku pun mendekat, bergabung, duduk di belakang kakek yang langsung mengambil satu stoples kue kering, dan dua gelas air mineral. Benar-benar memalukan.
“Kebetulan Sampean datang, Kang. Kami memang ada rencana mengundang sampean dan Kang Sopet,” ucap Pak Rido.

“Tidak diundang juga saya pasti datang, ada yang ingin saya sampaikan sama Sampean,” sahut kakek.
Baru juga bergabung, rapat ini sudah menjadi milik kakek. Semua mendengarkan. Bahkan kepala desa pun diam dan kikuk.
Orang-orang ini mendadak seperti murid-murid sekolah dasar yang sedang dinasihati gurunya. Aku yang setiap hari hanya melihat tingkah konyol kakek, kini jadi bertanya-tanya, sebesar apakah pengaruh kakek di desa ini?
Kendati demikian, ada beberapa orang yang sepertinya tidak suka dengan kehadiran kakek. Mereka ikut menyimak, tapi dengan mimik muak yang kentara.

“Ada apa, Kang?” tanya Pak Rido.

“Saya sudah tahu di mana keenam anak itu sembunyi,” jawab kakek.
Aku menundukkan wajah seraya menyibukkan mulut dengan sedotan air mineral. Ini caraku untuk menyembunyikan wajah kaget serta nyaris tersedak karena pengakuan kakek.
Bagaimana tidak? Yang kakek sampaikan benar-benar berlawanan dengan kesepakatan. Bukannya Mbah Sopet bilang kalau orang-orang desa tidak boleh tahu.

“Di-di mana?” tanya Pak Edi.
Wajah terkejutnya benar-benar asli. Hanya saja, tidak ada raut kelegaan di sana. Kelegaan yang harusnya ditunjukkan oleh orang yang sedang mencari sesuatu, dan akhirnya ketemu. Pak Edi malah terlihat tidak senang. Kerutan di dahinya seolah bertanya-tanya, kenapa kakek bisa tahu.
“Mereka sembunyi di Desa Leduk.”

Pak Rido, Kang Yudis, dan semua yang ada di sana melongo. Bedanya, sebagian melongo karena takjub dengan cepatnya kakek mendapat informasi, sisanya melongo karena mungkin informasi dari kakek berbeda dengan yang mereka dapat.
“Mustahil, Desa Leduk itu jauh, kalaupun mereka ke sana, pasti ada orang yang melihat,” ujar Pak Edi.

“Tidak kalau mereka lewat jalur dalam, tidak lewat pinggir jalan.”
“Tetap saja, mereka anak kecil, Kang. Pergi sejauh itu sambil jalan kaki rasanya tidak mungkin,” kali ini salah satu pendukung Pak Edi membari tanggapan.

“Mungkin saja kalau mereka dibawa oleh seseorang,” jawab kakek.

“Dibawa?”
“Ya, ada orang dewasa yang mendampingi mereka, tapi itu cuma spelakukasi—”

“—Spekulasi!” koreksiku, sebal.

“—ya, itu, jadi jangan tanya saya siapa yang mendampingi mereka.”
Pernyataan kakek terdengar terlalu berani. Tidak hanya kakek mengasumsikan arah pergi anak-anak Pak Jawi, tapi juga menduga—atau lebih seperti menuduh—bahwa keenam anak itu sengaja disembunyikan seseorang. Aku bingung.
Hal ini tidak pernah kakek bahas sebelumnya dengan mbah Sopet, jadi aku hanya diam, ikut permainan, berharap kakek tahu apa yang sedang dia perbuat.
“Kalau memang begitu, kalau memang ada yang sengaja bawa mereka kabur, daripada menebak-nebak siapa, saya lebih penasaran kenapa?” ujar Kang Yudis.
“Malam ini rencananya kami mau cari mereka ke hutan, soalnya menurut Pak Edi dan yang lain, kemungkinan besar mereka sembunyi di hutan,--
--tapi kalau informasi dari Pak Saleh ini benar, sepertinya kita juga harus mencari ke desa Leduk. Yud, apa ada laporan dari orang Leduk soal anak-anak itu?”
“Tidak ada, Pak,” jawab Kang Yudis.

“Karena memang anak-anak itu tidak ada di sana,” timpal Pak Edi. Kali ini terdengar kesal.

“Kok kamu yakin sekali?”
Pertanyaan kakek langsung ia lemparkan ke muka Pak Edi, membuatnya kikuk.

“Cu-cuma firasat saja,” kata Pak Edi.
Setelah perdebatan singkat itu, akhirnya Pak Rido memutuskan untuk mencari keenam anak Pak Jawi ke Desa Leduk. Ia mengutus sepuluh orang, dua di antaranya adalah Pak Edi dan Kang Yudis. Mulanya Pak Rido meminta bantuan kakek, tapi kakek menolak.
Sebelum meninggalkan kantor desa, kakek menghampiri Pak Rido, mengajaknya bicara empat mata. Enam mata bila aku yang ada di belakang kakek dihitung juga. Dapat kudengar jelas apa yang kakek bicarakan, dan tidak hanya itu, aku juga bisa melihat dengan jelas wajah panik Pak Rido.
“Ma-maksud Kang Saleh apa?” tanya Pak Rido.

“Saya cuma mau memastikan kalau upaya pencarian anak-anak ini murni didasari kepedulian sampean sebagai kepala desa, dan bukan semata-mata perintah dari seseorang,” tutur kakek.

“Seseorang?”

“Sampean tahu siapa yang saya maksud.”
Kakek menepuk pundak Pak Rido, bersama dengan itu, ia juga menyunggingkan senyum kecut sebagai tanda pamit. Kami berdua pergi dari kantor desa, diiringi tatapan aneh orang-orang yang entah apa maksudnya. Seperti panik, gugup, dan ... marah.
Bersambung minggu depan, ya.

Oh, ya, kisah ini akan berakhir di Chapter 35. Sedikit lagi. Terima kasih buat teman-teman yang sudah baca sampai sejauh ini, maaf kalau updatenya kadang telat. 🥲
Oh, ya. Di Karyakarsa sudah sampai chapter 31. Silakan teman-teman mampir.

karyakarsa.com/ahmaddanielo/m…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Feb 2, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 38, 39

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 38

Lembu hitam besar menghadang di tengah jalan. Tergeming memperhatikan kami lewat matanya yang merah menyala, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak semata ingin melintas, tapi ia punya tujuan, dan tujuan itu adalah menjemput apa yang ia rasa adalah miliknya.
Read 81 tweets
Jan 26, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN SATU.

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN 1

Keseharian Hayati saat pagi hari tak jauh dari tungku dan sumur. Menjaga agar tungku tetap menyala, serta memastikan peralatan masak bersih dari noda.
Read 111 tweets
Jan 5, 2023
Kakek dan Mbah Sopet harus pulang dengan berjalan kaki. Setelah semua aksi mereka yang membuatku kagum, aku baru sadar kalau keduanya tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Read 23 tweets
Dec 22, 2022
CHAPTER 35

Butuh waktu untuk memproses perkataan Pak Edi agar terdengar masuk akal. Ada sebagian kalimat yang tidak jelas kutangkap, tapi sesuatu tentang menghidupkan anak yang sudah mati,--
Read 97 tweets
Dec 15, 2022
Teman-teman yang baru bergabung, silakan lewat pintu masuk dulu.

CHAPTER 33

Usai mendengar cerita dari Mbah Sopet, kami memutuskan untuk segera menyusul kakek. Di luar dugaan, Sugik masih setia menunggu.
Read 62 tweets
Dec 8, 2022
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 31, 32
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 31

Saat masih sekolah dasar dulu, aku ikut pelantikan Pramuka. Kami di lepas pukul sembilan malam, berjalan kaki melewati jalan sepi di perbatasan desa, dengan kuburan sebagai garis finishnya.
Read 113 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(