Daniel Ahmad Profile picture
Dec 1, 2022 81 tweets 9 min read Read on X
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 29, 30
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 29

Sepulang bekerja Erik mampir ke rumah. Masih dengan penampilannya yang berantakan serta bau keringat yang menggaruk penciuman.
Berkali kudengar gemuruh di perutnya, seolah pria kurus ini berkata “Beri aku makan!”. Karena hari ini aku tidak sempat masak, jadilah kami berdua merebus mi instant dan makan bersama di ruang tamu.
Erik mengajak beradu serdawa siapa yang paling panjang. Tentu saja aku menolak. Tidak ada waktu untuk kompetisi bodoh semacam itu.
Perut kenyang, pikiran tenang, kami mengobrol dengan santai tapi serius. Aku lewati tahap basa-basi, dan langsung memasuki pembahasan inti.
Kuceritakan perkembangan kasus hilangnya anak-anak Pak Jawi pada Erik, termasuk tentang pertemuan di kantor kepala desa tadi. Meski tidak ikut hadir di sana, reaksi Erik tak jauh beda denganku. Ia merasa gelagat Pak Edi mulai mencurigakan.
“Pak Edi ini kayak punya rencana sendiri. Dia ngelarang kita cerita soal Pak Muhadi ke orang-orang, kan? Eh, tapi sekarang kok sepertinya dia yang paling ngotot buat nangkap anak itu,” keluh Erik.
Obrolan kami sudah cukup jauh, aku rasa sudah waktunya menceritakan pada Erik tentang anak perempuan Pak Edi yang meninggal beberapa tahun lalu, termasuk tentang adanya anak ketujuh.
Tidak seperti sebelumnya, di mana Erik cenderung menganggap ceritaku tentang anak Pak Jawi adalah bualan, dan semua kejadian yang aku alami hanya halusinasi,--
--kali ini Erik sangat serius mendengarkan, seolah semua rangkaian kejadian di luar nalar yang ia alami belakangan ini telah meruntuhkan dinding skeptisme di kepalanya.
“Kamu pernah dengar soal anak Pak Edi yang meninggal ini?” tanyaku.

“Nggak. Cuma karena kami satu desa, bukan berarti aku harus tahu siapa aja yang meninggal.”

“Iya juga, sih.”
“Tapi aku jadi ingat, dulu anak tetanggaku ada yang sakit parah. Namanya Tamim, dia demam tinggi sampai kejang-kejang.--
--Waktu itu ibu sama bapaknya kerja, terus gara-gara telat dikasih pertolongan, anaknya jadi nggak bisa komunikasi lagi. Tamim berhenti bicara, padahal sebelumnya dia anak yang periang, cerewet, sering bantu ibunya jualan kerupuk di warung.”
“Terus?”

“Orangtuanya Tamim nggak punya biaya buat berobat, jadi kondisi Tamim dibiarkan gitu aja sampai beberapa bulan, sampai akhirnya ada yang nyaranin buat dibawa ke Pak Ahsan.”

“Se-sembuh?” tanyaku, penasaran.
“Sekarang sudah kelas 6 SD, dan bicaranya kembali normal cuma dalam waktu satu minggu setelah diobati Pak Ahsan.”
Mendengar cerita Erik, aku jadi berpikir seandainya aku mengenal Pak Jawi dari cerita-cerita hebatnya dalam menyembuhkan pasien, mungkin kesan pertamaku tentang almarhum tidak akan segelap ini. Sekarang, rasanya sukar untuk menepis kesan misterius dan mengerikan dari beliau.
“Tapi yang mau aku ceritain bukan tentang Tamimnya,” lanjut Erik. “Nggak lama setelah sembuh, Pak Edi datang ke rumah Tamim.--
--Kebetulan waktu itu aku lagi nganterin Yanti ke sana, soalnya Yanti sama Tamim sering berangkat sekolah bareng. Aku ingat betul waktu itu Pak Edi ngotot nanya ke orangtua Tamim, tentang metode penyembuhan Pak Ahsan.”
“Ngapain?” aku terheran-heran.

“Mana aku tahu, tapi kalau dengar ceritamu tentang anak Pak Edi yang meninggal barusan, sepertinya Pak Edi sudah terobsesi dengan Pak Jawi dari sejak lama.”
“Sepertinya gitu. Dari cara Pak Edi cerita waktu itu, aku belum bisa menyimpulkan entah obsesinya itu karena dendam, atau ada hal lain yang dia inginkan dari Pak Jawi.”
“Ngeri juga, ya. Mungkin Pak Edi punya dendam sama Pak Jawi, atau anak ketujuh yang kamu maksud itu ada hubungannya sama penyakit anaknya Pak Edi, atau mungkin benar kata warga, Pak Jawi selama ini adalah dalang di balik teror—ASTAGHFIRULLAH!”
Erik nyaris melompat dari kursi karena mendapati seseorang sudah berdiri di pintu.

“Ni-ninja?” kata Erik, tergagap.

“Ucapin salam, kek!” tegurku, kesal.
Orang itu tidak lain adalah Maulida. Masih dengan perawakannya yang misterius—lebih tepatnya sok misterius—hemat bicara, dan tentu saja menyebalkan. Untuk sesaat Maulida memperhatikan Erik, kulihat angin kecil berembus di balik cadarnya, seolah keberadaan Erik membuatnya sebal.
“Aku mau nyampein sesuatu,” ucap Maulida, langsung lurus menatapku.

“Ya?” tanggapku dengan raut heran.
Dia bisa saja langsung bicara tanpa harus menggunakan kalimat pembuka, tapi melihat matanya melirik sinis pada Erik, sepertinya yang ingin dia sampaikan adalah rahasia.

“Ada apa?” tanyaku lagi.
“Siapa orang ini?” Maulida menunjuk Erik tanpa menoleh, membuat sahabatku itu melongo.

“Erik, temanku, orang dusun—ah, ada apa, sih?”

“A-aku keluar aja, ya?” kata Erik, merasa kehadirannya mengganggu.
“Bagus,” sahut Maulida.

“Duduk!” seruku pada Erik.
Erik mematung dalam posisi setengah berdiri dan setengah duduk. Kakinya enggan tegap, tapi pantatnya enggan menyentuh kursi.
“Apa ini ada hubungannya sama anak-anak Pak Jawi?” tanyaku. “Kalau gitu ngomong aja. Posisi Erik sama sepertiku, jadi dia berhak tahu,” tegasku.
Maulida mendesah hingga tampak jelas pundaknya jadi makin turun.

“Sebelumnya, kamu jangan besar kepala dulu. Ini permintaan Kak Tuan yang sebenarnya ingin aku tolak, tapi nggak bisa.”
Aku dan Erik mengerutkan kening. Karena ini pertama kalinya Erik berhadapan dengan Maulida yang aneh dan sok misterius, kerutan di kening Erik jauh lebih kusut dariku.
“Emang ada apa?” tanyaku.

“A-aku diberi tugas buat nyari anak-anak Pak Ahsan ke hutan, nanti malam.”

“Terus?”
“Ka-kak Tuan nyuruh buat nga-ngajak kamu,” tutur Maulida, canggung. “Tapi kalau kamu menolak, katanya nggak usah dipaksa.”

“OK!” sahutku mantap. “Kita berangkat nanti malam!”
Aku tidak percaya akan betapa percaya dirinya aku ini. Di satu sisi, kemunculan anak-anak Pak Jawi semalam membuatku berpikir bahwa mereka sudah mati.
Yang semalam itu bisa jadi hantunya. Aku harus bersiap kalau-kalau pencarian anak-anak hilang malam ini justru berakhir jadi penemuan mayat. Namun, di sisi yang lain, aku berharap mereka masih hidup.
“Nggak apa-apa kalau kamu takut, aku bisa pergi sendirian," kata Maulida.

“A-ku i-kut!” tegasku.

“Dan aku enggak!” timpal Erik, seraya angkat tangan.
CHAPTER 30

Malam yang direncanakan tiba. Tak banyak yang kupersiapkan selain menguatkan mental. Cukup lama berdiri di depan cermin, menatap wajah sendiri, mencari segaris rasa takut di sana, tapi yang kutemukan justru lingkaran keraguan.
Maulida sudah menunggu. Berdiri di teras membelakangi pintu. Ia tak menoleh saat kuajak masuk. Kukira itu sikap wajarnya sehari-hari, mengingat gadis itu unik dan misterius.
Namun, saat kuperhatikan tangannya yang tak henti mengepal dan terbuka, saat itu aku tahu dia pun sedang gelisah. Mungkin takut, atau mungkin ada hal lain yang tidak aku ketahui.
“Masih betah berdiri?” tanyaku.

Pelan Maulida berbalik. Menoleh. Sulit menebak ekspresi dengan wajahnya yang tertutup cadar merah itu. Hanya saja, sekilas matanya tampak sayu.
“Kalau kamu takut, kamu nggak perlu ik—”

“—Ya, ya, ya! Aku ikut, sekali lagi kubilang, aku ikut, dan nggak, aku nggak takut!”
Aku mulai kesal dengan pertanyaan itu. Kenapa dia selalu menganggapku takut, sementara di sini dialah yang paling gelisah. Jempol kakinya mengentak-entak lantai seperti bapak-bapak yang tidak sabar menunggu anaknya selesai buang air besar.
“Sudah siap?”

Kakek sudah berdiri di belakang kami. Melihat dari pakaian dan persiapannya malam ini, aku rasa ini akan jadi misi yang gawat.
Kakek membawa serta tongkat kayu bercabangnya, yang konon hanya ia bawa kalau sedang memburu perampok atau preman. Tak lupa serban merah melingkar di bahu, dan kopiah hitam menutupi rambut kusam kelabu.
“Siap, tapi ... ngapain sampai bawa-bawa senjata, Kek?” tanyaku.

Kakek melihat Maulida, ia memberi isyarat untuk berangkat.

“Ayo!” kata Maulida. Ia sudah berdiri di samping motor.
“Kamu nggak bawa sepeda sendiri?” tanyaku, bingung bagaimana caranya motor tua itu membawa aku, kakek dan Maulida sekaligus.

“Kalian pergi berdua saja!” titah kakek.
“Loh, terus kakek gimana? Jalan kaki?”

Maulida menepuk-nepuk jok motor. Seperti tidak sabar ingin dibonceng.

“Kak Tuan punya urusan sendiri, dia tidak ikut kita ke hutan.”

“Hah?”

***
Sekitar seratus meter sebelum tikungan menuju hutan. Sebelum jalan beraspal ini berubah jadi perpaduan tanah, pasir dan batu yang membuat laju motor melompat-lompat, aku harus mengatakan sesuatu pada Maulida.
“Aku ngerti kamu ngerasa canggung boncengan sama cowok, tapi ... KENAPA HARUS HADAP KE BELAKANG, HAH? Mana jarak duduknya jauh banget lagi, kalau jatuh gimana?”
Kami berhenti di persimpangan tiga, kupaksa mengubah posisi duduk Maulida meski harus berdebat hebat. Rasanya seperti sedang mengantarkan anak nakal pergi ke sekolah. Walau demikian, akhirnya gadis aneh ini menurut juga.
“Kalau bukan karena perintah Kak Tuan, aku nggak mau pergi sama kamu.”

“SAMA!” balasku, ketus.
Bekerjasama dengan Maulida bukan hal yang mudah. Bagaimana kerjasama bisa terjadi kalau komunikasi kami saja hancur seperti ini.
Hampir selama perjalanan kami hanya beradu argumen. Beberapa kali juga ia mengomentari caraku membawa motor, padahal Maulida sendiri hanya bisa mengendarai sepeda mini.
Setelah perjalanan penuh drama ini, akhirnya kami pun sampai di hutan, dan kami berdua sama-sama diam. Atmosfer membuat kami bungkam. Gelap menyadarkan kami betapa seriusnya situasi, dan suara angin menerpa pepohonan mengingatkanku betapa jauhnya aku dari rumah.
Melaju di jalan setapak menuju jembatan lori. Lampu motor jadi satu-satunya penerangan yang bisa diandalkan, karena cahaya bulan sedang redup dan terhalang rindangnya pohon besar.
Walau demikian, sepi ini membuatku bersyukur, karena itu artinya usaha kakek di rapat kantor desa tadi membuahkan hasil.
Aku tidak melihat Pak Rido dan anak buahnya di hutan, sepertinya mereka fokus mencari di desa Leduk. Entah benar anak-anak Pak Jawi terlihat di sana, atau itu semua hanya tipuan licik si kakek.
Sesampainya di jembatan lori, kudapati Mbah Sopet dan Sugik sudah menunggu. Melihat kondisi Sugik yang meski sudah bisa dibilang sehat,--
--tapi tangan dan sebagian mukanya berbalut perban, aku merasa lega, ternyata aku bukan satu-satunya cucu malang yang diseret kakeknya dalam tugas berbahaya.
“Aku kira demit,” ledekku pada Sugik.

Tidak seperti biasanya, di mana Sugik selalu membalas ledekanku, kali ini ia justru terheran-heran melihat siapa yang aku bonceng.
“Adikmu?” tanya Sugik.

Aku menyuruh Sugik diam. Pertanyaan barusan bisa jadi muncul karena melihat tinggi Maulida yang hanya sejajar bahuku, dan mengingat sifat gadis bercadar ini, sebaiknya aku tidak menjawab.
Kuparkir motor di pinggir jalan setapak, meski aku yakin jam segini tidak akan ada orang yang lewat. Maulida turun, lalu menghampiri Mbah Sopet.
“Kenapa harus nyari malam-malam, sih? Bukannya siang lebih cepat ketemu?” gerutu Sugik.

“Percuma protes sama aku. Sama sepertimu, aku ke sini cuma ikut patuh.”
“Saya dan Gusafar sudah mencari mereka dua hari ini, siang dan sore, tapi tidak ketemu,” sahut Mbah Sopet. “Karena malam ini orang-orang desa berniat mencari mereka, jadi kita harus menemukan mereka lebih dulu,” tutur Mbah Sopet.
“Terus ngapain ngajak Dani? Nanti dia nangis,” ledek Sugik.

“Setidaknya aku nggak babak belur gara-gara anak kecil,” balasku.

“Ada perkembangan soal lokasi persembunyian anak-anak itu? Atau kita harus berpencar seperti rencana awal?” tanya Maulida.
“Ini,” Sugik melemparkan sepasang sandal ukuran kecil ke tanah.

Sandal yang sudah tak layak pakai. Putus dan berlubang. Penuh lumpur bertabur rerumputan.

“Nemu di mana?” tanyaku.
“Seberang jembatan. Sekitar dua ratus meter.”

Maulida memeriksa sandal itu tanpa rasa jijik.

“Itu kan jalan ke Desa Taman Anyar,” gumamku.

“Tapi kakek bilang itu nggak bisa jadi petunjuk, Dan.”
“Kenapa?”

“Karena bisa jadi sandal itu punya orang lain yang jatuh, atau sengaja dibuang,” tutur Mbah Sopet. “Lagipula saya tidak yakin anak-anak itu pakai sandal. Tidak ada jejak kaki juga di sekitarnya. Satu-satunya petunjuk yang kami dapatkan barusan adalah, bau.”
“Bau?” tanya Maulida.

“Gusafar mencium bau bangkai dari arah sana.” Mbah Sopet menunjuk ke utara, mengikuti alur sungai. “Dia sedang memeriksanya.”
“Tapi aku nggak nyium apa-apa,” kataku, sambil berkali-kali mengendus.

“Jangan samakan hidungmu dengan hidung Gusafar. Kamu lahir di tempat di mana kamu bisa mencium aroma lezat bumbu dapur, dan wangi sabun.--
--Gusafar yang sejak kecil lahir dan tumbuh dewasa di hutan, punya insting dan penciuman lebih tajam.”
Mendengar penuturan Mbah Sopet, aku bingung harus kagum atau kasihan pada Kang Gusafar.

“Kita nyusul Kang Guasafar?” tanya Maulida.

“Ya, setelah ada aba-aba dari dia,” jawab Mbah Sopet.
Tak sampai lima menit kami menunggu. Kulihat ranting di pepohonan sekitar berayun cepat. Membuat gemerasak yang keras, hingga beberapa helai daun berjatuhan. Dari puncak pohon terdekat, sesuatu melompat, mendarat di atas motorku, membuatku terkejut dan nyaris teriak.
“Mo-monyet?”

Monyet dewasa itu memperlihatkan gigi-giginya, menyalak, sambil menoleh ke arah utara.

“Sepertinya Kang Gusafar menemukan tempatnya,” kata Maulida.
“Bukan,” sanggah Mbah Sopet.

Ia menghampiri monyet besar itu lalu mengusap-usap kepalanya. Tampak raut wajah Mbah Sopet berubah masam. Tatapan matanya menajam.
“Ini si Abul, Gusafar tidak melatihnya untuk mengintai, tapi untuk menyerang. Kalau Gusafar mengirimnya ke sini, itu artinya dia tidak menemukan persembunyian yang dimaksud, melainkan .…”
DIA DALAM BAHAYA
Bersambung minggu depan, yak.
Chapter 32, 33, dan 34 sudah up di karyakarsa. Teman-teman bisa mampir lewat link ini

karyakarsa.com/ahmaddanielo/m…
Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini. Sedikit lagi petualangan kita selesai.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Feb 2, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 38, 39

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 38

Lembu hitam besar menghadang di tengah jalan. Tergeming memperhatikan kami lewat matanya yang merah menyala, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak semata ingin melintas, tapi ia punya tujuan, dan tujuan itu adalah menjemput apa yang ia rasa adalah miliknya.
Read 81 tweets
Jan 26, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN SATU.

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN 1

Keseharian Hayati saat pagi hari tak jauh dari tungku dan sumur. Menjaga agar tungku tetap menyala, serta memastikan peralatan masak bersih dari noda.
Read 111 tweets
Jan 5, 2023
Kakek dan Mbah Sopet harus pulang dengan berjalan kaki. Setelah semua aksi mereka yang membuatku kagum, aku baru sadar kalau keduanya tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Read 23 tweets
Dec 22, 2022
CHAPTER 35

Butuh waktu untuk memproses perkataan Pak Edi agar terdengar masuk akal. Ada sebagian kalimat yang tidak jelas kutangkap, tapi sesuatu tentang menghidupkan anak yang sudah mati,--
Read 97 tweets
Dec 15, 2022
Teman-teman yang baru bergabung, silakan lewat pintu masuk dulu.

CHAPTER 33

Usai mendengar cerita dari Mbah Sopet, kami memutuskan untuk segera menyusul kakek. Di luar dugaan, Sugik masih setia menunggu.
Read 62 tweets
Dec 8, 2022
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 31, 32
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 31

Saat masih sekolah dasar dulu, aku ikut pelantikan Pramuka. Kami di lepas pukul sembilan malam, berjalan kaki melewati jalan sepi di perbatasan desa, dengan kuburan sebagai garis finishnya.
Read 113 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(