Daniel Ahmad Profile picture
Dec 8 113 tweets 12 min read
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 31, 32
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 31

Saat masih sekolah dasar dulu, aku ikut pelantikan Pramuka. Kami di lepas pukul sembilan malam, berjalan kaki melewati jalan sepi di perbatasan desa, dengan kuburan sebagai garis finishnya.
Getir, ingin rasanya berbalik arah dan persetan dengan status keanggotaanku. Namun, bisa kupastikan malam ini jauh lebih menyeramkan, dan itu dirasakan oleh aku yang sudah sepuluh tahun lebih tua.
Kami menjauh dari jalan setapak. Mengikuti arus sungai. Menuju ke utara di mana Mbah Sopet meyakini Kang Gusafar sedang dalam bahaya, berdasarkan petunjuk seekor kera.
Tak mau ambil risiko, Mbah Sopet menyuruh Sugik menjaga motor kami, dan dengan cepatnya si tambun itu berseru setuju.
Aku yang membayangkan pencarian ini akan dilakukan beramai-ramai, akhirnya sedikit menciut saat menyadari hanya ada aku, Maulida, dan Mbah Sopet yang berjalan lebih jauh di depan.
“Menurutmu, bahaya macam apa yang Kang Gusafar temui di sana?” tanyaku.

“Apa Kak Tuan sudah cerita tentang tiga kelompok yang malam ini sedang beraksi?”

“Tiga kelompok?”
Maulida memelankan langkahnya, agar bisa berjalan sejajar denganku.

“Yang menginginkan anak itu, bukan hanya Kak Tuan dan kawan-kawannya saja, ada kelompok Pak Edi yang didukung kepala desa, dan satu lagi yang aku tidak bisa menyebutnya.”
“Sudah sejauh ini, kamu masih main rahasia-rahasiaan?” kataku, jengkel.

“Bukan, aku memang tidak tahu mereka ini siapa. Yang aku tahu, mereka ingin menemukan anak-anak itu untuk menutupi asal-usul mereka dari publik.”

“Hah?”
Tidak kusangka anak-anak Pak Jawi menyimpan asal-usul yang penting, sampai-sampai ada orang yang berusaha mencegahnya diketahui warga.
“Beda sama Pak Edi dan kawan-kawan, kelompok yang satu ini sangat berbahaya.”

“Jadi karena itu kakek sampai bawa senjata. Kakek sudah mempersiapkannya dengan matang.”

Maulida berhenti melangkah. Terpaksa aku pun ikut berhenti.
“Kamu tahu apa yang luput dari persiapan Kak Tuan?” katanya dengan suara yang terdengar gelisah.

“A-apa?”
“Kak Tuan menebar informasi palsu untuk menjauhkan Pak Edi dan orang-orang desa dari hutan ini, dia juga bergerak terpisah,--
-- bertindak sebagai umpan untuk menjauhkan kelompok orang berbahaya itu dari kita, tapi kalau benar yang ditemui Kang Gusafar adalah orang berbahaya itu, maka kita sedang dalam masalah besar.”
“Se-sebenarnya, orang-orang ini siapa?” tanyaku tergagap, cara Maulida menyampaikan dugaannya barusan terasa benar-benar mengancam.
Merasa cukup jauh tertinggal dari Mbah Sopet, Maulida mempercepat langkahnya, meninggalkanku yang justru sedang mempertimbangkan untuk mundur. Misi ini lebih rumit dari sekadar mencari anak hilang.
Sebagai orang yang sudah lama mengenyam pendidikan di pesantren, aku punya cukup bekal untuk menghadapi hantu dan sejenisnya, tapi menghadapi orang berbahaya yang bahkan kakek saja harus bawa senjata, aku bisa apa?
“Eh?”

Maulida sudah tak terlihat. Di tempat dengan pencahayaan normal saja gadis itu bisa muncul dan hilang tiba-tiba, aku tidak heran kalau di hutan yang gelap seperti ini, keunikannya itu berfungsi dua kali lipat lebih efektif.
“Lida?” panggilku seraya tetap berjalan ke depan.

Tujuanku lurus, sayangnya karena terlanjur cemas, pandanganku tolah-toleh tak keruan.
Rasanya semua suara yang muncul terdengar mencurigakan, terutama suara manusia yang muncul dari arah sungai. Suara itu tidak asing, bahkan cenderung bosan kudengar.
Sekarang aku gamang antara menyusul Maulida atau menjawab panggilan itu. Dua langkah aku maju, dua langkah lagi mundur.
Kutampar muka, mencoba merangsang otak ini dengan rasa sakit, berharap gamang hilang dan tekad pun datang. Maulida tak lagi terlihat, tapi suara itu makin jelas terdengar. Tanpa pikir panjang lagi, aku mendekat.
Pertimbanganku sederhana, tujuanku ke sini untuk mencari anak-anak itu, sedangkan Maulida dan Mbah Sopet sedang menangani sesuatu yang lain yang sebaiknya aku tidak ikut campur.
Aku keluar dari jalur pencarian, menepi, menyalakan senter kecil yang sejak tadi hanya terselip di pinggang, mendekati semak belukar yang lebat. Kusibak setiap tangkai dan daun yang menghalangi, hingga akhirnya tiba di tepi lereng sungai.
Air mengalir deras di bawah, seketika bunyinya mengalahkan dedaunan yang tertiup angin malam. Setelah sempat tolah-toleh sebentar karena suara tadi tidak lagi terdengar, aku melihat sesuatu di pinggir sungai, tepat di dasar lereng tempatku berdiri.
“Si mencong?”

Gadis kecil itu berdiri di sana, telanjang kaki menapaki tanah basah penuh kerikil. Wajahnya gelap entah karena tertutup rambut atau kurangnya pencahayaan, tapi yang pasti ia sedang menatapku dari sana.
Aku menuruni lereng dengan sangat hati-hati. Berharap lumut dan permukaannya yang basah tidak membuatku terpeleset lalu terjerembab dengan posisi konyol. Sampai di dasar, aku mendongak ke atas, berniat memanggil Maulida, Mbah Sopet, atau siapa pun yang bisa mendengar.
“Sebaiknya aku pastikan dulu,” gumamku memutuskan.

Si mencong tak lagi terlihat, tidak pula kudengar suara langkahnya beranjak. Ia benar-benar hilang, sosoknya bagai melebur bersama udara. Walau demikian, kuanggap pesannya sudah tersampaikan, dan menurutku mereka ingin ditemukan
Aku maju dengan langkah campuran antara cepat dan melambat. Terburu-buru sampai, tapi takut dengan apa yang akan aku temukan. Sudah berhari-hari mereka menghilang.
Aku harus bersiap bila di ujung sana justru menemukan mayat. Entah takut atau kasihan, semua tergantung kondisi mayatnya.
Pada dinding lereng sungai terdapat sebuah ceruk yang menjorok lumayan dalam. Cukup untuk melindungi dari hujan. Instingku langsung berkata ke sanalah aku harus memeriksa.
Aliran sungai yang deras menyamarkan suara langkahku, pun tak bisa kudengar apa pun dari dalam ceruk itu kendati jarakku sudah tinggal sepuluh langkah. Kusorot mulut lereng dengan senter, tapi tak kudapatkan reaksi yang seharusnya.
“Ada orang di sana?”

Sekilas bisa kulihat adanya pergerakan. Seingatku di hutan ini sudah tida ada lagi hewan buas, tak perlu aku takut akan terjangan macan ataupun babi hutan.
Tibalah aku di samping ceruk. Kutarik napas panjang, kutahan di dada, lalu perlahan melongok ke dalam. Permukaan dindingnya cukup kering, walau tetap saja aromanya tercium lembab dan sedikit bau pesing.
Cahaya bulan masih menjamah sekitar mulut ceruk, selebihnya gelap menyeluruh, hitam pekat, benar-benar menyembunyikan apa yang ada di ujung.
Samar di dasar ceruk, di permukaan tanah berbatu, kulihat sepasang telapak kaki kecil nan pucat. Mataku membelalak. Tanpa sadar tangan ini bergetar hebat. Kuberanikan diri mengangkat senter, lalu menyalakannya, mengarahkan pada ujung ceruk yang gelap.
Seketika sorot lampu senter mengusir kegelapan, menampakkan tiga anak kecil sedang duduk bersandar di dinding ceruk. Melihat dari reaksi matanya pada cahaya, aku bersyukur mereka bertiga masih hidup.
“Si-siapa yang ngikat kalian di sini?” tanyaku panik, saat menyadari ternyata tubuh mereka diikat dengan tali.
Tiga anak itu adalah si buntung, si pincang, dan si juling. Tidak kutemukan anak-anak lainnya. Selain kondisi mereka yang lemah, keterbatasan mereka dalam berbicara juga membuatku kesulitan mencari informasi.
Kuletakkan senter di tanah, lalu berusaha melepas belenggu di tubuh dan kaki mereka. Sembari aku memeriksa kondisi wajah, tangan, leher dan kaki, tidak kutemukan ada cedera yang berarti.
Walau demikian, ketiga anak ini butuh pertolongan segera. Mereka lemas dan tampak pucat. Bila mereka sudah terikat seperti ini selama berhari-hari, kemungkinan besar mereka juga tidak makan dan minum.
“Sialan, susah banget bukanya,” keluhku yang kesulitan melepas tali di tubuh mereka.

“Minggir!”
Aku tersentak karena tiba-tiba saja Maulida sudah ada di belakangku. Ia memintaku minggir seraya mengeluarkan sebuah pisau kecil. Maulida dengan mudah memotong setiap tali yang mungkin telah mengikat anak-anak itu berhari-hari.
“Kok, kamu bisa tahu aku di sini?” tanyaku.

“Aku lihat kamu belok ke arah sungai, kukira mau pipis, tapi karena lama akhirnya aku susul.”

“Mbah Sopet?”
“Entahlah, aku juga kehilangan jejak dia. Sekarang yang terpenting, gimana caranya bawa anak-anak ini?”

Kami memperhatikan kondisi si buntung, si pincang, dan si juling. Kecuali si pincang, keduanya mungkin masih bisa melarikan diri dari sini.
Setahuku, si pincang sangat bergantung pada si jangkung. Dia selalu menggendongnya di punggung, tapi ke mana si jangkung dan anak-anak lainnya? Dan bukankah barusan aku melihat si mencong juga?
“Kalian bisa jalan?” tanya Maulida.

Si buntung dan si Juling mengangguk, lalu kemudian menoleh pada si pincang dengan tatapan iba.

“Tenang saja, kakak ini akan menggendongnya,” ucap Maulida seraya menunjukku.
CHAPTER 32

Samar di kejauhan kudengar ribut manusia. Maulida mencermati kondisi di luar ceruk, memastikan tak ada pengganggu. Harus kuakui, sikapnya sangat tenang untuk ukuran gadis yang sedang dalam situasi genting.
Ia benar-benar menunjukkan kualitasnya sebagai murid kakek. Tentu saja aku tak boleh tertinggal. Harus kutunjukkan bahwa kontribusiku dalam misi ini juga layak diperhitungkan.
“Sepertinya itu suara Kang Gusafar sama Mbah Sopet,” ucap Maulida, memandang jauh ke arah Mbah Sopet pergi.

“Emang kamu bisa lihat?" ledekku.
“Insting,” jawabnya, “Cuma orang tertentu yang punya," lanjut Maulida dengan nada congkak yang benar-benar menusukku.
Sebelum meninggalkan ceruk, kupastikan lagi kondisi anak-anak ini siap untuk berjalan. Mereka mengangguk lemah saat kujabarkan sedikit tentang situasi kami saat ini. Jika sesuatu yang buruk terjadi, mereka harus siap berlari.

“Di luar Aman, kita pergi sekarang,” gagas Maulida.
Jalan menaiki lereng sungai jadi dua kali lipat melelahkan karena aku harus menggendong si pincang. Beruntung dua anak lainnya masih kuat berjalan, meski kami harus menyesuaikan kecepatan karena kondisi anak-anak yang lemah.
“Kenapa?” tanya Maulida, kala melihatku komat-kamit dengan alis mengerut.

“Nggak ada,” jawabku.
Yang sebenarnya terjadi, aku sedang berpikir, kalau anak-anak ini masih hidup, lantas yang kemarin gentayangan di rumah itu apa?
Mereka tidak mungkin meninggalkan hutan dalam kondisi terikat, dan kalau pun mampu, kenapa harus balik ke hutan lagi? Lalu ke mana perginya tiga anak lainnya, termasuk si mencong yang jelas-jelas menuntunku untuk menemukan ceruk itu.
Sesampainya di atas, kami mulai berdebat tentang ke mana harus membawa anak-anak ini pergi. Maulida bersikukuh menyusul Mbah Sopet, sementara aku memilih bertemu dengan Sugik dan meninggalkan anak-anak di sana.
“Jadi kamu punya insting tapi nggak punya otak? Kalau benar sekarang Mbah Sopet sama Kang Gusafar lagi berurusan sama orang-orang itu, bukannya malah bahaya membawa anak-anak ini ke sana?” cerocosku.
“Menitipkan ketiga anak ini sama temanmu yang nggak guna itu justru lebih bahaya. Lagian aku yakin dia sudah pulang. Pengecut seperti dia nggak mungkin berani nunggu di hutan, malam-malam, sendirian.”
“Oh ya? Sugik memang pengecut, kasar, sedikit bodoh, dan nggak bisa diandalkan, tapi ….”

Sial, aku terlanjur menyebut semua cela yang Sugik punya, sampai lupa kelebihan apa yang dia miliki.

“Bagus kalau kamu sadar, sekarang ikut aku!"
Ketiga anak Pak Jawi tampak bingung dan takut karena pertengkaran kami. Kulihat keraguan di wajah mereka, seolah mereka berpikir kalau telah salah memilih pahlawan.
“Oke, kalian!” tegasku pada si juling, si pincang, dan si buntung. “Kalian mau ikut aku, atau kakak bertopeng itu?"
Tanpa pikir panjang, si juling dan si buntung bergerak dua langkah mendekati maulida sambil menatapku dengan dahi mengerut.

“Bocah sia--oke, jadi cuma kamu yang mau ikut aku?” tanyaku pada si pincang yang kugendong.
Si pincang dengan cepat menggeleng dan menunjuk pada Maulida. Andai dia bisa berjalan, mungkin dia juga sudah menyusul kedua saudaranya. Ini benar-benar menyebalkan. Rasanya seperti orangtua yang bercerai, dan ketiga anaknya memilih ikut ibu mereka.
“Sepertinya anak-anak ini lebih pintar dari seseorang,” ledek Maulida seraya berlalu.

“Sial!” desisku, kesal.

Tak punya pilihan lain, terpaksa aku mengikuti Maulida.

***
Sampailah kami di tujuan. Kulihat Mbah Sopet dan Kang Gusafar tengah selonjoran di tanah, bersandar pada batang pohon, dan tampak sangat kelelahan.
Belum lagi pakaian hitam mereka berantakan dan penuh noda lumpur. Selain keduanya, tak kulihat ada orang lain. Kusimpulkan bahwa kondisi sudah aman. Semoga.
“Sa-sampean nggak apa-apa?” tanyaku.

Mbah Sopet dan Kang Gusafar tampak heran dengan siapa yang aku dan Maulida bawa.

“Ketemu di mana?” Mbah Sopet balik bertanya.
Maulida memeriksa kondisi Kang Gusafar. Melepaskan serban merah yang melilit kepalanya. Kakek itu memberi isyarat bahwa ia tidak apa-apa, meski jelas sekali ia bernapas sampai dadanya naik turun.
Jika benar dua kakek ini baru saja berkelahi, maka aku menaruh rasa kagumku sangat tinggi. Aku tidak tahu seperti apa lawannya, tapi melihat kondisi Kang Gusafar dan Mbah Sopet yang nyaris tidak terluka, membuatku mempertanyakan sejauh mana pengaruh usia.
Keduanya mungkin sudah setua kakek, tapi dalam perkelahian, lawannya bahkan tak mampu menggores luka. Kecuali stamina yang tidak mampu dibohongi, kedua kakek ini mungkin masih bisa mengamuk di medan perang.
Setelah menurunkan si pincang, kami pun duduk dan saling berbagi informasi tentang apa yang sudah kami temui di hutan.

***
“Jadi benar, anak-anak ini tidak sedang bermain petak umpet. Seseorang menyembunyikan mereka. Tidak heran kalau kami kesulitan mencari," tutur Mbah Sopet.

“Mereka siapa?” tanyaku.
Mbah sopet menepuk-nepuk lengannya, membersihkan debu yang menempel, lalu bersila. Ia menarik napas, memasuki sikap santai, seolah siap memberi penjelasan panjang.
“Sudah sejauh ini, jadi tidak ada salahnya untuk cerita,” ucapnya.
Kang Gusafar mengangguk. Kalau mengingat sifatnya yang pendiam, serta cara bicaranya yang rumit, sepertinya Kang Gusafar tidak akan banyak berkontribusi dalam penjelasan panjang ini. Ia hanya memangku sambil mengelus-elus kepala monyetnya.
“Sudah lama kami curiga dengan asal-usul anak-anak ini, dan pertemuan kami dengan orang-orang barusan telah mempertegas dugaan bahwa anak-anak ini berasal dari tempat itu.”
“Te-tempat itu?” tanyaku.
-LAWANG JERIT-
Mungkin kalian pernah mendengar tentang sebuah jurang besar di tengah hutan Tambalur. Namanya sering jadi perbincangan dalam beberapa tahun terakhir. Jurang yang sering muncul dalam diskusi tentang sejarah, atau sekadar obrolan ringan di warung kopi.
Sudah jarang orang yang membicarakan tentang indahnya jurang itu dari atas tebing tinggi, karena yang mereka ingat adalah bagaimana kelam dan mengerikannya di dasar.
Lawang Jerit selalu lapar. Ibarat mulut bumi yang menganga lebar dan tak pernah kenyang menelan mangsa. Entah manusia jahat atau dermawan, mereka rutin memberi jurang itu makan.
Melemparkan mangsanya dengan kejam dari ketinggian, hingga mendarat dalam kondisi terburai, atau diturunkan dengan sopan tapi mengancam.
Menjelaskan tentang Lawang Jerit tidak bisa tanpa membahas bagaimana hukum bekerja di masa itu. Ketika penjara tidak mampu mengurung yang benar-benar bersalah,--
--dan palu keadilan cenderung tak bersuara, masyarakat memilih membuat penjara sendiri dan merasa puas dengan keadilan semu yang tak mereka dapatkan dari orang-orang berseragam.
Lawang Jerit menjadi tempat pembuangan sampah hidup terbesar, sekaligus kuburan paling luas yang ada di Tapal Kuda.
Perampok, pelacur, preman, praktisi ilmu hitam, orang berpenyakit menular, atau orang kaya yang jadi korban kedengkian si miskin, dan si miskin yang jadi korban penindasan si kaya.
Kebiasaan ini berlangsung menahun, tanpa seorang pun yang berinisiatif menghentikan. Kenapa? Kalian tanya.
Tentu karena orang-orang merasa puas atas jumlah tindak kriminal yang berkurang drastis. Lawang Jerit menjadi ancaman bagi orang-orang jahat, sekaligus liang dosa besar bagi mereka yang pura-pura diam.
Hanya saja, tidak semua orang yang memanfaatkan Lawang Jerit punya kepentingan besar, atau berangkat dari rasa keadilan. Banyak dari mereka yang menggunakan jurang itu sebagai tempat membuang sial, dan kesialan bagi setiap orang punya rupa yang berbeda-beda.
Anak yang lahir dari hubungan gelap, pelacur yang ingin menghilangkan jejak tuannya, orang tersohor yang malu karena memiliki bayi cacat,
Lawang Jerit menjadi saksi bagaimana jiwa-jiwa polos itu ditelantarkan di dasar, meraung kelaparan, kedinginan, memanggil-manggil ibunya namun percuma, tangisan mungil mereka tidak akan pernah terdengar sampai ke atas.

***
Mbah Sopet menatap ketiga anak itu dengan iba. Ia kemudian beranjak, lalu menghampiri mereka.
“Tidak semua yang dibuang ke Lawang Jerit mati, sebagian dari mereka masih bertahan hidup. Mereka dijaga dengan ketat agar tidak kembali ke permukaan. Mereka yang berusaha memanjat akan dihabisi. “
Mbah Sopet merunduk sejajar dengan si juling.

“Kalian mungkin tidak akan ingat, tapi Ki Ahsan sudah menyelamatkan kalian dari jurang itu. Anak-anak yang malang.”
Aku tercengang, ya, hanya aku. Maulida tampak tidak terkejut.

“Jadi, anak-anak ini dulunya dibuang oleh orangtua kandung mereka karena ... maaf, cacat, lalu Pak Jawi memungut mereka satu persatu dan merawatnya seperti anak sendiri?”
“Selamat, kamu berhasil menyimpulkan dua jam cerita sopet dalam satu kalimat,” celetuk Kang Gusafar.

“Tapi yang nggak aku ngerti, kenapa ada orang yang berusaha mencelakai mereka?”
“Orang yang memendam bangkai, tidak ingin bau busuknya terdengar oleh tetangga bukan? Baiklah, pembahasan tentang Lawang Jerit kita cukupkan sampai di sini, sekarang, kita harus bawa anak-anak ini ke tempat yang aman, sekaligus mencari sisanya.”
Maulida menghampiri si juling.

“Ke mana saudaramu yang lain?” tanya Maulida.

“O-orang ja-hat.”
Aku terbelalak. Sempat menyangsikan mata dan pendengaranku sendiri. Siapa sangka ternyata si juling bisa bicara.

“Orang jahat?”
Dengan terbata-bata, si juling menjelaskan bahwa saudara-saudaranya dibawa kabur seseorang. Ia tidak menyebutkan nama, tapi baik aku dan yang lain punya tebakan jitu.
“Apa salah satu dari orang itu adalah yang pernah datang ke rumah kalian membawa si gendut?” tanyaku.

Si juling mengangguk.
“Muhadi,” geram Mbah Sopet.

“Dan kalau dia terlibat, artinya orang itu juga terlibat,” sambung Maulida. “Sepertinya Kak Tuan sudah memprediksi hal ini.”
“Apa ada yang tahu ke mana kakek pergi?”

“Kamu tahu ke mana mereka pergi?” tanya Maulida pada si juling.
“Ku-buran,” jawab bocah itu.

“Kuburan?”
“Saleh bergerak terpisah karena dia tahu apa yang orang itu inginkan."

“Anak-anak Pak Jawi?” tebakku.
“Bukan, bukan anak-anaknya yang ia butuhkan, melainkan ….”
PENINGGALAN DARI ALMARHUM PAK JAWI
Bersambung minggu depan.
Note : Kalau teman-teman sudah membaca Timur Trilogi, nama Lawang Jerit pasti sudah tidak asing lagi. Karena semua kejadian buruk di serial ini bersumber dari jurang itu. Saya hanya memberi penjelasan singkat di kisah ini, tapi kalau teman-teman ingin tahu lebih lanjut--
--Silakan baca Pesta Bunuh Diri, Barisan Keranda Merah, dan Eksekusi Tapal Kuda. Dua judul itu masih bisa dibaca di wattpad.

Gratis.
Terima kasih sudah membaca. Selamat bermalam jumat.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Dec 15
Teman-teman yang baru bergabung, silakan lewat pintu masuk dulu.

CHAPTER 33

Usai mendengar cerita dari Mbah Sopet, kami memutuskan untuk segera menyusul kakek. Di luar dugaan, Sugik masih setia menunggu.
Read 62 tweets
Dec 1
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 29, 30
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 29

Sepulang bekerja Erik mampir ke rumah. Masih dengan penampilannya yang berantakan serta bau keringat yang menggaruk penciuman.
Read 81 tweets
Nov 17
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 27, 28
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 27

“Mereka bilang sesuatu sama kamu?” tanya kakek.

Sejujurnya aku tidak ingin membahas ini di meja makan, bisa-bisa sarapanku akan terasa mentah sampai jam makan siang.
Read 70 tweets
Nov 3
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 24, 25, 26
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
Buat teman-teman yang belum baca, atau sudah baca tapi lupa ceritanya gara-gara saya lama nggak nongol, silakan cek pinned.

CHAPTER 24

Sesuai dugaanku, rumah Pak Jawi pasti masih ramai. Hanya saja, bukan keramaian seperti ini yang aku bayangkan. Banyak anak kecil berlarian di halaman, ada yang asyik bermain ayunan dan memanjat pohon mangga,--
Read 139 tweets
Sep 8
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 22, 23
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
CHAPTER 22

Tengah malam tidak pernah seramai ini. Aku terpaksa memelankan laju motor, karena kerumunan orang di setiap rumah yang kulewati hampir menutupi separuh jalan.
Di pemukiman yang padat, dan punya jalan sempit seperti ini, harusnya aku turun dari motor, kudorong sambil menyapa setiap orang, terus begitu sampai ke jalan beraspal.
Read 103 tweets
Sep 1
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 21
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
Jeritan anak kecil kini jadi paduan suara di malam hari. Dari beragam tingkat nyaringnya suara, aku asumsikan kejadian ini telah menyeluruh di kompleks perbatasan utara. Derap kaki kalang-kabut terdengar di luar, disertai ributnya warga yang tengah gamang.
Read 29 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(