Daniel Ahmad Profile picture
Dec 15 62 tweets 8 min read
Teman-teman yang baru bergabung, silakan lewat pintu masuk dulu.

CHAPTER 33

Usai mendengar cerita dari Mbah Sopet, kami memutuskan untuk segera menyusul kakek. Di luar dugaan, Sugik masih setia menunggu.
Ia tidak sepengecut yang Maulida kira. Ada jiwa kesetiaan yang masih melekat di sana, tertutup oleh sifat kasar yang mungkin saja warisan dari kakeknya. Sugik turun dari motornya kala melihat kami datang membawa teman baru.
“Ke-ketemu?” katanya, tergagap.

“Kenapa? takut?” olokku.

Sepertinya Sugik masih trauma. Bagaimanapun, anak-anak Pak Jawilah penyebab ia kecelakaan. Meski tentu ada penjelasan lain atas kronologi tersebut, tetap saja kehadiran si juling dan kawan-kawan membuat Sugik keder.
Ia menghampiriku, berbisik seraya melirik ke arah si juling yang sedang digendong Mbah Sopet.
“Cuma tiga yang masih hidup?”

“Cuma tiga yang ketemu,” jawabku, “Tapi bukan berarti yang lain sudah mati.”

“Terus ke mana?”

“Ini kita juga lagi mau nyari."

“Gus, bisa kami titip anak-anak ini sama Kakeh!” pinta Mbah Sopet.
“Tenanglah. Aku terbiasa mengurus banyak anak,” sahut Kang Gusafar, sembari merangkul ketiga anak Pak Jawi.

“Dia nggak sedang bicara tentang monyet-monyetnya, kan?” gumamku.
Kami bersiap pergi. Mbah Sopet bersama Sugik, aku dengan Maulida. Berdasarkan petunjuk dari si juling, Pak Muhadi mengambil sesuatu dari mereka, dan membawanya ke kuburan.
Informasi itu didapat si juling saat menguping percakapan Pak Muhadi dan teman-temannya. Mereka tidak tahu kalau si juling bisa bicara. Karena tidak disebutkan secara spesifik kuburan yang mana, sepertinya kami harus mencari satu persatu kuburan yang ada di desa.
Menurut si juling, saat itu tiba-tiba saja ikatan tangan si mencong, si gendut dan si jangkung terlepas.
Karena tidak bisa melepas ikatan saudaranya yang lain, dan merasa bahwa Pak Muhadi telah mencuri benda berharga peninggalan ayahnya, mereka bertiga pun nekat mengikuti Pak Muhadi.
“Ada dua pemakaman di Sumbergede, satu pemakaman umum, satu di area pesantren. Kita mau ke mana?" tanya Sugik seraya menghidupkan mesin motornya.
“Si juling nggak nyebutin Sumbergede, bisa jadi pemakaman di desa lain,” jawabku.

“Bagus, kita keliling kecamatan buat nyari kuburan,” ketus Sugik.
“Tidak perlu," kata Mbah Sopet. “Anak itu bilang, selain Muhadi ada satu orang lagi yang ia kenal, dan ciri-cirinya mengarah pada satu orang.”

“Pak Edi,” sahutku.

“Oke,” gumam Sugik, ragu. “Itu tetap nggak ngasih kita informasi pemakaman yang mana yang harus kita datangi."
Setelah memastikan Maulida tidak lagi bonceng sambil menghadap ke belakang, aku pun bersiap tancap gas.

“Itu cukup,” ucapku. “Kalau Pak Edi terlibat, artinya ada satu pemakaman yang pasti.”

***
Transisi antara jalan tanah berbatu dan aspal terasa sangat nyata. Aku tidak perlu lagi menghindari lubang serta tidak lagi naik motor sambil terguncang. Begitu memasuki jalan desa, dan kami bisa berjalan beriringan, kami mensejajarkan kecepatan agar bisa saling bercakap.
“Mbah, Sampean tahu anak Pak Edi dikuburkan di mana?” tanyaku.

“Antara desa Leduk dan Desa Lindung,” jawab Mbah Sopet.

“Desa Lindung,” sahut Sugik, dengan yakinnya mengeliminasi salah satu kemungkinan.

“Serius?” tanyaku.
“Anak Pak Edi yang perempuan, kan? Dia murid bapakku di SD dulu. Aku tahu soalnya bapakku ikut memakamkan juga waktu itu.”

“Kalau gitu, kita ke sana.”
Kami berbelok ke timur, menuju ke desa yang dimaksud. Perlahan menambah kecepatan dengan tidak mengurangi kehati-hatian.
Selain kemungkinan kami akan berhadapan dengan bahaya, ada satu hal yang mengangguku sejak kami meinggalkan hutan, yakni Maulida yang sejak tadi diam. Ia tampak gelisah dan tidak sekalipun terlibat dalam diskusi.
“Kamu sehat?” tanyaku, menoleh ke belakang.

“Ya, tapi bisa sekarat kalau kamu bawa motor nggak lihat ke depan,” jawab Maulida.

***
Pemakaman Desa Lindung punya cerita tersendiri. Tersohor di antara para bocah karena kerap kali jadi bahan ancaman orangtua mereka, yang berdalih anak nakal akan dikubur di sana.
Pemakaman ini dikenal angker dan banyak melahirkan kisah-kisah seram yang sebagian dipercaya, sebagian dianggap mitos.
Letaknya berada di perkebunan pisang, serta memiliki jalur sempit yang menghubungkan dua desa, membuat pemakaman Lindung ramai dilewati warga saat terang, tapi cenderung dihindari saat gelap, kecuali malam ini.
Kulihat enam orang sedang berjaga di pinggir jalan. Mereka langsung bereaksi kala menyadari dua motor datang menghampiri.
Lampu motor ku menyorot salah satu wajah yang langsung kukenali. Bagaimana aku bisa lupa wajah bopeng yang tampak makin hancur dengan hiasan luka di sana-sini. Dia adalah Iyo, anak buah Pak Muhadi.
Di sebelah motor mereka, ada si jangkung dan si gendut yang duduk dengan tangan terikat ke belakang. Pemandangan itu mengingatkanku pada malam di mana anak-anak Pak Jawi mengamuk.
Panas di kepalaku berhasil mengusir dinginnya tubuh akibat angin malam, dan rasanya aku ingin segera memberi orang-orang ini pelajaran.
Kami menepi, mematikan motor karena sepertinya enam orang itu tidak akan membiarkan kami lewat. Mbah Sopet menarik pundakku. Wajahnya siaga, kerutan usia menegang dan larut dalam raut yang terlampau serius.

“Bisa berkelahi?” tanyanya.

“Se-sedikit,” sahutku tergagap.
Sepertinya Mbah Sopet punya ukuran yang berbeda mengenai sedikit dan banyaknya kemampuan berkelahi yang dibutuhkan dalam situasi ini. Begitu ia melihat tanganku gemetar, ia lepaskan tangannya dari bahuku dan mulai menepuk punggung.

“Lari!” titahnya.
Mbah Sopet mengencangkan serban merah yang ia kenakan sebagai sabuk. Ujungnya terjuntai panjang di samping. Ia kemudian mengenakan dua cincin masing-masing di jari manisnya.

“Mau ke mana, Mbah?” tanya Iyo, basa-basi dengan wajah kecut.
“Ke neraka,” jawab Mbah Sopet, sekaligus menjadi pengantar tinjunya yang melayang cepat tepat ke wajah Iyo.

Dalam sekejap, lima orang lainnya bergabung di perkelahian. Kulihat Sugik sudah berhasil mengamankan si gendut dan si jangkung.
Ia tancap gas, membawa kedua anak Pak Jawi pergi. Saat perhatianku teralihkan oleh Sugik, tanpa diduga salah seorang anak buah Pak Muhadi berlari ke arahku. Tangannya sudah siap menonjok mukaku yang melongo karena tidak tahu harus bagaimana.
Beruntung serangan itu patah oleh tangan mungil yang dengan cakapnya menangkap, membalik, dan mengirim kembali serangan itu pada pemiliknya. Maulida telah berdiri gagah di depanku, melindungiku yang hanya bisa berdiri payah.
“Mending kamu susul Kak Tuan!” perintahnya.

“Terus kamu?”
“Mbah Sopet pasti lelah habis berkelahi di hutan. Sakti seperti apa pun, dia nggak bisa ngelawan mereka semua.”

Lawan Maulida kembali menyerang, kali ini lebih beringas. Pria mana yang harga dirinya tidak melebur kalau dihajar oleh seorang gadis kecil.
“Dan kamu pikir kamu bisa membantu?” sangsiku.

Maulida menghindari semua pukulan dengan sempurna. Cadar merahnya melambai-lambai dengan cantik, dan tendangan kaki pendeknya mendarat di dagu pria itu dengan brutal hingga pria itu pun terkapar.
Sekarang aku menyaksikan sendiri seberapa sakti gadis ini. Maulida yang tidak bisa membuat kopi dengan benar, justru membuat anak buah Pak Muhadi seperti mainan.
“Kamu bilang apa?” tanya Maulida.

Sebaiknya aku tidak menjawab. Kumanfaatkan peluang yang Maulida berikan untuk menyelinap, meninggalkan perkelahian enam pria melawan seorang kakek dan seorang gadis. Benar-benar tawuran yang aneh.

“Dani!" panggil Maulida.
“Ya?”

“Aku punya firasat buruk. Jaga Kak Tuan sampai kami menyusul,” ucap Maulida.

Entah firasat buruk apa yang dia maksud, tapi mungkin itulah yang membuat Maulida terdiam selama perjalanan menuju ke tempat ini.
CHAPTER 34

Pemakaman Lindung punya dua tempat keranda yang berjejer di sudut, di bawah pohon cempaka. Pada malam tertentu, jika beruntung, orang-orang bisa melihat keranda kosong itu terisi oleh mayat, atau sekadar bergetar membuat bunyi logam yang gaduh di kesunyian.
Satu lagi yang paling terkenal adalah, kuburan aneh yang terkesan menyendiri di tengah, dan merupakan sedikit dari kuburan yang kalau malam tidak terjamah cahaya lampu.
Dibilang aneh karena batu nisannya terbalik, dan sampai sekarang pun tidak ada yang memperbaiki. Di sana, seorang perempuan akan duduk bersila, bersanandung, dan melambai pada siapa saja yang lewat.
Aku ingat semua kisah tentang tempat ini. Namun, bukan tujuanku untuk bernostalgia. Kusaring semua benda berbentuk kuburan dari pandangan, dan fokus mencari kakek. Tanah kuburan yang lapang membuat pencarianku nyaris tanpa usaha.

“Kakek?” gumamku.
Kulihat di kejauhan kakek sedang duduk dengan tangan terikat pada tiang lampu. Sementara Pak Edi tertawa sembari memegang sesuatu. Aku mengendap, mendekat, menyusuri sisi gelap pemakaman, dan sebisa mungkin tidak membuat suara.
Setelah cukup dekat, dari balik pohon cempaka yang dasarnya ditumbuhi semak belukar, aku bisa melihat jelas benda yang Pak Edi pegang. Benda yang tidak asing. Lonceng milik Pak Jawi.
Sadar bahwa kakek sedang dalam bahaya, aku pun berniat membantu. Situasi ini tidak mengharuskanku untuk berkelahi. Cukup melepas ikatan kakek, selebihnya biarkan dia mengamuk.
Saat aku hendak beranjak, seseorang menarik tanganku hingga nyaris saja aku terpekik. Begitu menoleh, aku terkejut dengan siapa yang ada di hadapanku.
“Kamu?"

Si mencong masih tak mau melepas tanganku. Wajahnya menunduk tertutup rambut panjangnya. Kepalanya menggeleng, melarangku untuk ikut campur.

“Ngapain kamu di sini?” desisku.
Alih-alih menjawab, si mencong menunjuk ke arah kakek dan Pak Edi. Kuperhatikan sekali lagi dari balik pohon cempaka. Rupanya bukan hanya Pak Edi, di sana ada Pak Muhadi dan satu orang lagi yang sedang duduk di samping kakek, menodongnya dengan sebilah golok.
Orang itu mengenakan topeng kain hitam dan hanya bagian mata saja yang tampak. Barulah aku sadari kalau ternyata Pak Edi pun membawa senjata tajam.
Sejauh ini kulihat kakek baik-baik saja. Tidak terluka. Pak Edi juga tidak melakukan apapun selain berdiri di depan kuburuan yang kuasumsikan adalah kuburan putrinya.
Ia tidak bisa melihatku dari balik pohon ini, tapi aku bisa mendengar percakapan antara Pak Edi dan kakek dengan cukup jelas.
“Belum sadar juga. Tidak seorang pun bisa melawan takdir,” kakek menasihati.

“Tahu apa kamu soal takdir? Kematian Ratih sangat menyedihkan. Dosa apa yang Ratih perbuat sampai pantas mendapatkan takdir seperti itu?” sergah Pak Edi.
“Lonceng itu ... jangan bilang kamu ....”
“Ya, Saleh. Di daerahku ada pesugihan lembu hitam yang melegenda. Bukan harta atau jabatan, pesugihan lembu hitam menjanjikan kesembuhan dan umur yang panjang. Saat aku kecil dulu, aku pernah mendengar seorang dokter yang kehilangan putra semata wayangnya karena penyakit.--
--Merasa frustrasi karena sebagai dokter tak bisa menyembuhkan putranya sendiri, dokter itu membelok ke jalur gaib. Mengkhianati sumpah dan kode etiknya sebagai dokter. Dia bersekutu dengan siluman Lembu Hitam. Bukan kesembuhan dan umur panjang yang dia minta, tapi ....
KESEMPATAN AGAR ANAKNYA HIDUP KEMBALI
Bersambung minggu depan.
Terima kasih udah baca sampai sini. Ternyata empat outline terakhir kalau sudah dikembangkan malah membengkak jadi beberapa chapter lagi.

Nggak jadi tamat di chapter 35 😅

Tapi mohon bersabar. Lebih baik nambah chapter daripada tamat prematur.

Selamat menikmati akhir tahun.
Di Karyakarsa sudah update sampai Chapter 37. Silakan mampir.

karyakarsa.com/ahmaddanielo/m…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Dec 8
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 31, 32
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 31

Saat masih sekolah dasar dulu, aku ikut pelantikan Pramuka. Kami di lepas pukul sembilan malam, berjalan kaki melewati jalan sepi di perbatasan desa, dengan kuburan sebagai garis finishnya.
Read 113 tweets
Dec 1
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 29, 30
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 29

Sepulang bekerja Erik mampir ke rumah. Masih dengan penampilannya yang berantakan serta bau keringat yang menggaruk penciuman.
Read 81 tweets
Nov 17
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 27, 28
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 27

“Mereka bilang sesuatu sama kamu?” tanya kakek.

Sejujurnya aku tidak ingin membahas ini di meja makan, bisa-bisa sarapanku akan terasa mentah sampai jam makan siang.
Read 70 tweets
Nov 3
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 24, 25, 26
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
Buat teman-teman yang belum baca, atau sudah baca tapi lupa ceritanya gara-gara saya lama nggak nongol, silakan cek pinned.

CHAPTER 24

Sesuai dugaanku, rumah Pak Jawi pasti masih ramai. Hanya saja, bukan keramaian seperti ini yang aku bayangkan. Banyak anak kecil berlarian di halaman, ada yang asyik bermain ayunan dan memanjat pohon mangga,--
Read 139 tweets
Sep 8
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 22, 23
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
CHAPTER 22

Tengah malam tidak pernah seramai ini. Aku terpaksa memelankan laju motor, karena kerumunan orang di setiap rumah yang kulewati hampir menutupi separuh jalan.
Di pemukiman yang padat, dan punya jalan sempit seperti ini, harusnya aku turun dari motor, kudorong sambil menyapa setiap orang, terus begitu sampai ke jalan beraspal.
Read 103 tweets
Sep 1
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 21
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
Jeritan anak kecil kini jadi paduan suara di malam hari. Dari beragam tingkat nyaringnya suara, aku asumsikan kejadian ini telah menyeluruh di kompleks perbatasan utara. Derap kaki kalang-kabut terdengar di luar, disertai ributnya warga yang tengah gamang.
Read 29 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(