Rama Atmaja Profile picture
Dec 20, 2022 552 tweets >60 min read Read on X
Kala itu krisis moneter melanda, Manto hanya bisa menunduk penuh pasrah dengan ocehan Sri-istrinya.
Manto memang merupakan salah satu anggota kepolisian, tapi gaji yang didapat tak cukup memenuhi kebutuhan sang istri yang sangat suka menghambur-hamburkan uang, apalagi dengan ekonomi yang sekarang semakin sulit.
"Ma, aku pergi dulu, ada tugas," ucapnya berbohong seraya pergi meninggalkan sang istri yang terus mengomel.
"Cari duit yang banyak! Nilang orang kek, atau korupsi juga tidak apa-apa, yang penting duit!" celoteh Sri, melihat punggung suaminya yang pergi menuju pintu depan, sedangkan Manto tak menjawab, dia memilih diam dan terus berjalan.
Hari demi hari dilalui oleh Manto dengan sabar, sedangkan Sri sudah tak sabar dengan apa yang diberikan sang suami, yang menurutnya selalu kurang.
Hingga malam itu, kala petir dan hujan mulai membasahi tanah disekitaran rumah mereka, Sri memikirkan hal yang kurang sehat.
Malam itu di dalam kamar, keduanya tiduran dengan posisi saling memberikan punggung, Sri berpikir kalau setiap hari seperti itu apa yang diinginkan olehnya tidak akan terkabul.
Sri selalu ingin tampil bak orang kaya dengan perhiasan yang mewah, yang bisa ia pamerkan ke setiap tetangga dan bisa membeli apa yang tetangganya beli. Bisa dibilang, Sri mempunyai sifat panas kalau tetangganya beli sesuatu.
Suara panci yang tertetes dari lubang plafon kala hujan memecahkan keheningan malam itu, dan Sri tidak bisa tidur. Entah mengapa pikirannya tertuju untuk melakukan pesugihan.
Ya, dari para temannya ada salah satu yang bisa terbilang kaya raya dan rumor pesugihan yang dilakukan temannya itu sudah menyebar ke masyarakat di desa tersebut.
Tapi apalah daya, para warga tak punya bukti akan hal itu, walau ada beberapa orang yang bilang demikian, karena melihat langsung atau dari mereka yang bisa melihat yang tak kasat mata.
Sri yang selalu ingin tampil mewah, karena ia dulu merupakan anak orang kaya dan selalu dimanja, tak ingin tampil miskin dan bertekad kalau inilah jalan satu-satunya.
Sri berbalik melihat punggung sang suami sambil memiringkan bibirnya dengan sinis, "suami tak berguna! Lihat aku nanti!" dalam batinnya menggerutu, lalu kembali membalikkan badan dan lekas tidur.
Pagi harinya Manto terbangun, dia menguap dan membalikkan badan, melihat ke arah sang istri yang sudah tidak ada.
Walau Sri seperti itu, tapi ia tak melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri, Sri selalu menyiapkan sarapan dan kopi kala pagi.
Ranjang reot itu berbunyi, kala Manto mulai beranjak bangun. Dia pun mengedarkan pandangannya ke arah plafon kamar yang bocor, lalu melihat panci tempat menampung air hampir penuh.
Tanpa pikir panjang dia mengambil panci itu, dan membuang airnya di kamar mandi.
Pikirnya aneh, biasanya Sri sudah membuang air dalam panci, tapi mengapa pagi itu dibiarkan begitu saja?!
Rumah tua dengan cat mengelupas yang mereka tinggali itu merupakan saksi bisu, yang kelak akan ditinggal kala rencana Sri sudah terlaksana.
Selesai mandi Manto segera memakai seragam, lalu mencari yang istri yang dikiranya mungkin ada di teras rumah sambil menikmati pagi dengan kopi.
Manto pun keluar, rasa lapar dan haus di tenggorokannya menuntun Manto menuju teras untuk minum kopi dan membaca koran sebelum berangkat kerja. Tapi apa yang didapat saat Manto sudah ada di bibir pintu, dia tak mendapati sang istri, maupun sarapan dan kopi yang menunggu.
Dua kursi dari anyam bambu dan meja bulat diantara kursi itu kosong, dan dia pun mengedarkan pandangan ke halaman rumah yang nampak dedaunan masih berserakan.

"Sri-Sri ...!" serunya namun tak ada jawaban.

"Kemana dia?" tanya Manto dalam batinnya.
Manto segera menyisir seluruh area rumahnya, namun tak didapati sang istri. Dia pun berpikir kalau Sri kabur dari rumah, membuatnya bergegas masuk kamar dan melihat isi dalam lemari.
Ternyata apa yang dipikirkan Manto salah, karena pakaian sang istri masih utuh ditempatnya.
"Mungkin, Sri pergi berbelanja?!" gumamnya sambil menghela nafas lega, lalu berpikir untuk segera berangkat dan cari sarapan sambil jalan menuju tempat kerjanya.
Di sisi lain, Sri tengah menangis dan memohon kemurahan hati Endang, ia menangis sambil memeluk kedua kaki temannya itu, "tolonglah Ndang, tolong,"

"Kamu tuh pagi-pagi sudah buat orang marah! Aku tidak melakukan pesugihan!" Endang menatap geram ke arah bawah.
Janda kaya itu sebenarnya kasihan pada temannya, tapi ia pun bingung kalau ketahuan jika benar dirinya melakukan pesugihan kuntilanak.
Sri yang terus menangis dan memohon membuatnya merasa iba, lalu mengangkat tubuh Sri untuk berdiri, "yasudah, tapi jangan beritahu siapapun!"
Raut wajah Sri seketika merona, ia pun menyeka air matanya. Sri mengangguk tanda setuju, dan nampak tersenyum bahagia sambil memeluk tubuh temannya itu.
Manto yang tak tahu kalau sang istri hendak melakukan pesugihan, pikirannya menjadi tak karuan. Pria kurus dengan jenggot tipis nan tampan itu, melamun di atas motor dua tak nya yang membuat polusi udara.
Dia tidak fokus di jalanan, dan benar saja, kalau telat sedikit hampir saja menabrak penjual sayur keliling yang saat itu menyebrang jalan.
Manto mendadak menarik rem, membuat motornya oleng sedikit. Untung saja dia cepat menyeimbangkan badannya. Kalau tidak, mungkin motor dan dirinya akan mencium aspal jalanan.
Bapak penjual sayur yang kaget dan nampak geram, hampir membuka mulutnya. Namun dia terdiam kala melihat seragam polisi yang sedikit terlihat dari celah jaket hitam yang Manto kenakan.
Penjual sayur itu hanya bisa menatap sinis tanpa berkata, dan Manto pun meminta maaf karena kejadian tersebut, "maaf pak." ucapnya tersenyum sambil sedikit menundukkan kepala, namun tak dijawab oleh sang penjual sayur yang menatap lekat penuh amarah.
"Apes banget dah, kenapa ya?" gerutunya sambil kembali menyalakan motor dan kembali melaju.
Ditempat lain kedua wanita cantik saling duduk memandang, bercerita penuh ekspresi merona.
Yang satu berbadan kurus putih langsat, dengan rambut agak mengembang, yang tak lain ia adalah Sri, -
dan satunya lagi sang pemilik rumah yang tak kalah cantiknya dengan perhiasan mewah memenuhi pergelangan tangannya, yang tak lain adalah Endang, ia menceritakan apa yang ia alami, -
sedangkan Sri menjawab tipis-tipis apa yang Endang bicarakan dengan bibir mengembang dan khayalan kalau dirinya bisa kaya tanpa bantuan orang tuanya.
Sri menikah dengan Manto karena pilihannya, pikirnya kelak Manto bisa menjadi orang sukses dan naik jabatan. Ia mengabaikan kedua orang tuanya yang menjodohkan dirinya dengan pengusaha kaya, dan memilih Manto untuk jadi seorang pendamping.
Salahnya karena apa yang dipikirkan tidak sama dengan kenyataan, Sri pun malu jika terus membebani kedua orang tuanya.
"Sudah ibu katakan, status gak jadi jaminan orang tersebut bakal sukses! Sekarang bagaimana, menyesal menikah dengan Manto? Tinggal ceraikan saja dan menikahlah dengan Ardi."
Kata-kata ibunya terus terngiang dalam benak Sri, itulah yang menyebabkan ia enggan untuk meminta bantuan kedua orang tuanya, dan memilih tinggal dengan Manto di rumah bobrok warisan dari kedua orang tua suaminya itu.
Uang memang nomor satu dalam pikirannya, tapi Sri juga mencintai Manto setulus hatinya. Inilah alasan Sri bertahan, walau dengan hasil yang mengecewakan.
"Jadi kapan kita ke sana," tanya Sri yang sudah tidak sabar.

"Nanti jeng masih pagi! Sambil sekalian jalan nganterin Mega sekolah." jawab Endang yang dijawab anggukan oleh Sri.
Tak lama, datanglah seorang gadis kecil mengenakan seragam putih-merah, gadis itu kelas tiga sekolah dasar dan ia menemui sang ibu yang duduk di Sofa dengan seorang tamu.
"Eh, ada tante Sri," sapa gadis kecil itu, dan langsung mendekati Sri untuk meminta telapak tangan kanannya yang seketika langsung dicium.

"Ih, lucunya." ucap Sri tersenyum kala melihat kelakuan lucu gadis itu, yang tak lain adalah Mega, anak Endang satu-satunya.
"Ma, berangkat yuk," ajak Mega menarik tangan ibunya, dan mengayun-ayunkan tangan sang ibu.

"Iya-iya bentar! Mama ambil kunci dulu! Sekalian tante Sri juga ikut, mama ada keperluan sama tante," jawab Endang.
"Kalau pesugihan nya minta tumbal, siapa yang akan ku tumbalkan? Aku kan belum punya anak dan kerabatku tidak punya anak kecil, apa dia saja? Kayaknya cocok!" pikir Sri tak sehat, seakan-akan setan telah menutupi hatinya.
Sri menatap tajam ke arah Mega dengan bibir mengembang.
Singkatnya mereka sudah berada di dalam mobil, Endang menyetir, sedangkan Sri duduk di samping nya, dan Mega duduk di jok paling belakang.
Mega anak yang aktif, ia menceritakan keseharian nya di sekolah pada sang ibu. Sang ibu pun menanggapi cerita anaknya.
Berbeda dengan Sri yang nampak melamun, menyenderkan kepalanya di jendela sambil membayangkan masa-masa indah saat pertama kali bertemu dengan Manto.
Siang itu di taman, Sri dan Endang sedang duduk di kursi taman menikmati pemandangan. Dari kejauhan tampak seorang lelaki melihat ke arah mereka berdua, atau lebih tepatnya melihat ke arah Sri.
Lelaki itu sepertinya tertarik dengan Sri dan tanpa menunggu waktu lama, dia pun mendatangi mereka berdua.

"Maaf nona-nona ini sedang menunggu siapa ya? Boleh minta waktunya sebentar," tanya lelaki dengan jaket kulit hitam.
"Boleh bang, ada apa ya," Endang balik bertanya, sedangkan Sri menatap sinis pada lelaki itu.

Sri bisa dibilang gadis yang angkuh dan sombong karena kekayaan orang tua dan paras cantik yang dimilikinya.
Tak semua lelaki bisa berkenalan dengannya, namun tidak kali ini. Entah mengapa lelaki itu mengenalkan diri dan meminta berjabat tangan dengan nya dan langsung ia tanggapi.
Lelaki sopan dengan senyum menawan memperkenalkan diri dengan nama Darmanto, atau yang biasa dipanggil Manto itu dengan tatapan matanya mampu meluluhkan hati Sri.
Dari sinilah mereka berkenalan, hingga lambat laun menjalin hubungan.
Awalnya Sri tak tahu kalau Manto adalah polisi, namun seiring waktu berjalan, ia pun tahu dan merasa bangga kalau pacarnya merupakan salah satu anggota kepolisian.
Kedua orang tua Sri tak tahu, kalau anaknya sudah menjalin hubungan dengan seorang lelaki, dan mereka pun berpikir kalau anaknya tidak segera dicarikan jodoh, -
maka anaknya bisa-bisa menjadi perawan tua, karena mereka tahu akan sifat anak semata wayangnya itu, yang keras kepala, dan arogan.
Untuk Manto sendiri tak tahu kalau Sri seperti itu, yang dia tahu kalau Sri adalah gadis yang baik, manja, dan murah senyum.
Manto tahu, kala umur pernikahannya mulai memasuki beberapa bulan, dan Sri tak kunjung hamil. Perangai buruk sang istri mulai nampak, ia tak ragu lagi menunjukkan sosok aslinya pada sang suami.
Sri tersadar dari lamunan akan masa lalu, saat mobil yang dikendarai temannya berhenti diseberang sekolahan.
Mega segera menggendong tas nya sambil membuka pintu mobil, begitu pun Endang yang mulai membuka sabuk pengaman dan kemudian keluar dari mobil, membantu anaknya menyebrang jalan.
Sepeninggal Endang dan anaknya, Sri yang masih di dalam mobil mulai menyapu pelan bagian belakang lehernya, seakan merasa kalau ia tak sendiri di dalam mobil itu.
Sri seakan punya mata dibagian belakang kepalanya, ia merasa kalau di jok belakang ada seorang wanita bergaun putih tengah duduk menunduk, dengan rambut yang menutupi semua bagian wajahnya.
Ia melihat pelan ke arah cermin yang tergantung mengarah ke arah belakang, untuk melihat apakah benar apa yang ia rasakan. Namun perlahan ia melihat, tak nampak ada seorang pun di sana, sedangkan Sri merasa kalau benar-benar ada sesuatu dibelakang.
Perlahan ia pun memberanikan diri melihat belakang, namun kepalanya belum sampai ke belakang, Endang membuka pintu dan masuk seraya menutup pintu itu dengan keras, membuat Sri kaget.
"Endang! Ngagetin saja," keluh Sri.

"Makanya jangan ngelamun! Emang ngelamunin apa si," Endang balik bertanya, namun Sri tak menjawab dan lanjut menoleh ke arah belakang.
Aneh, tak didapati apapun dibelakang mobil tersebut, semuanya tampak normal. Sedangkan ia sangat yakin, kalau merasa ada seseorang di sana.

"Eh, ada apa si," Endang lanjut bertanya, sambil menepuk pundak Sri dan melihat ke arah yang Sri lihat.
"Gak ada pa-pa, gak ada pa-pa." jawab Sri mengulang sambil menggelengkan kepala, seraya kembali berbalik melihat ke arah depan.

"Aneh!" ketus Endang, padahal dalam batinnya ingin tertawa karena Sri ketakutan dengan makhluk yang ikut bersama mereka.
Setelah menempuh waktu beberapa jam, mobil yang Endang kendarai berhenti, tepat di depan halaman luas rumah gubuk yang tampak sangat tua.
Di halaman rumah itu ada seorang nenek-nenek yang tengah membungkuk sambil menyapu halaman yang kotor karena daun kering yang berserakan.
"Yuk turun," ajak Endang.

"Gak salah nih Ndang? Kok serem gini," Sri balik bertanya sambil matanya menyapu sekitar.

"Sudah, ayo turun!" perintah Endang dan Sri pun mengiyakan.
Setelah turun dari mobil, Endang mendekati nenek bungkuk yang sedang menyapu, Sri mengekor penuh ragu, dan matanya masih terus menyapu sekitar yang begitu sepi, karena tempat tersebut sangat pelosok, yang tepatnya berada diujung desa yang barusan mereka lewati.
"Ni! Aki ada?" tanya Endang pada nenek tersebut, yang dijawab dengan tujukan jari tanpa kata, menunjuk ke arah rumah tersebut.
"Terima kasih, ni! Mari," ucap Endang tersenyum sambil melangkah, menarik tangan Sri yang masih menyapu sekitar.

"Mari ...." ucap Sri seketika, namun nenek itu tak menjawab, dan hanya menatap dingin ke arah keduanya.
Mereka berjalan menyepak daun kering yang belum sempat dibersihkan, menuju rumah gubuk yang berkisar beberapa meter saja dari langkah kakinya sekarang.
Tiba-tiba Endang berhenti, melihat temannya yang masih merasa aneh dengan sekeliling tempat itu, Endang tersenyum sambil berucap, "mana keberanian Sri? Berantem sama cowok aja berani, masa sama yang beginian takut,"
Sri berhenti melihat sekeliling dan menabrak punggung Endang. Ia pun langsung melihat ke arah Endang dengan bola mata yang hampir keluar, "siapa yang takut? Ayo!"
Endang tak menjawab, ia hanya tersenyum, dan keduanya kembali melangkah mendekati pintu usang itu.
Endang mengetuk pintu, dan seperti tahu kalau akan kedatangan tamu, suara tua dari dalam menyambut mereka, "mlebet mawon." (silahkan masuk.) menyuruh keduanya masuk ke dalam rumah.
Keduanya pun masuk, dan tampaklah seorang kakek tengah duduk bersila.
Tubuhnya kurus kering dengan pakaian serba hitam, dan bagian dada yang sengaja terbuka.
Sri dan Endang mengangguk dengan senyuman, kala sang kakek itu menyuruh keduanya duduk dengan isyarat tangan disertai sebuah ucapan yang tak dimengerti oleh Sri, "linggih!" (duduk!)
"Ki, kula lan rencang dhateng mriki--" (Ki, aku dan teman datang ke sini-) ucap Endang terpotong, karena Sri tiba-tiba mencubit pinggangnya.
"Bahasa Indonesia saja! Aku gak ngerti!" ucap Sri pelan dengan nada sedikit geram, tapi di dengar oleh kedua orang tersebut, yang membuat mereka tertawa.
"Sebelumnya aku mau tanya sama kamu," ucap lelaki tua itu melirik ke arah Endang.

"Iya ki," jawab Endang dengan tatap penuh tanya.

"Apa ada masalah setelah kamu menerima warisan itu," kakek itu kembali bertanya.
"Tidak ada ki. Malah sekarang usahaku semakin maju, dan makhluk itu juga bisa menjaga kami," jawab Endang membuat Sri bingung dengan apa yang keduanya bicarakan.

"Bagus kalau begitu." balas kakek itu memegang janggut putihnya sambil mengangguk pelan.
"Warisan? Makhluk?" tanya Sri dalam batinnya.

"Warisan apa," Sri bertanya ke Endang karena penasaran.
"Endang meneruskan apa yang orang tuanya dulu lakukan," kakek tua itu yang menjawab, membuat Sri semakin penasaran.

"Apaan si," Sri kembali bertanya pada Endang sambil kembali mencubit pinggang temannya itu.
"Ih, cubit-cubit melulu," geram Endang, "keluargaku memelihara kuntilanak, dan sekarang giliran ku! Itulah mengapa aku tidak mau kalau dibilang melakukan pesugihan, karena memang tidak melakukannya!" lanjutnya dengan menggerakkan gigi karena sedikit geram akibat mendapat cubitan.
Endang menatap dalam ke arah temannya, ia merasa kalau inilah satu-satunya jalan membantu temannya itu, lantaran dulu dirinya pernah menghianati Sri.
Bagaimana pun juga, Sri seorang perempuan, walau dulu memiliki sifat layaknya lelaki, atau yang kita kenal dengan sebutan tomboy.
Sri juga pernah jatuh hati pada seorang lelaki, dan Endang pun tahu akan hal itu. Tapi karena Sri tak menunjukkan rasa cintanya terhadap lelaki tersebut, dan kebetulan sang lelaki pada saat itu menyukai Endang, ia pun lebih memilih cinta dan menghianati teman masa kecilnya.
Alasan keduanya waktu itu ada di taman, karena Endang mengutarakan kebenarannya, dan memberitahu kalau ia akan menikah dengan Santo, lelaki pujaan hati mereka berdua.
Di saat yang sama, Manto pun datang dan meminta berkenalan. Tentu saja Sri menanggapi bukan karena ia suka pada awalnya, hanya sebagai pelarian rasa sakit hatinya, -
dan ia juga harus menerima kenyataan itu, karena Endang lah teman yang selalu ada untuknya kemanapun mereka pergi, bisa dibilang seperti sahabat.
Namun sakit hati itu selalu Sri pendam di dalam hati, dengan senyuman palsu, seakan hatinya sekeras batu.
Kebencian itu sedikit memudar kala ia mendapatkan kebahagiaan dengan Manto dan hatinya pun sudah memilih Manto seutuhnya.
Tapi tetap saja benci akan penghianatan itu tak lekang oleh waktu. Sri pun berencana membalas sakit hatinya kelak saat ia sudah mampu, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakannya.
Ada rasa bersyukur juga ia tak menjalani hubungan dengan Santo, karena lelaki itu mendekati Endang dan mau menikahinya, karena ingin hartanya saja.
Setelah Endang jatuh dalam keterpurukan, Santo meninggalkan Endang dan Mega anaknya, dia pergi dengan perempuan lain yang lebih kaya.
Kini Sri tahu mengapa Endang bisa bangkit setelah kepergian kedua orang tuanya, karena Endang meneruskan apa yang orang tuanya dulu lakukan, yakni ... memelihara kuntilanak untuk kekayaan.
'Madep rai mungkur ning ati,' (berhadapan wajah tapi hati saling bertolak belakang,) inilah yang Sri alami selama ini. Pura-pura melupakan sakit hatinya karena dihianati, tapi malah terus menimbunnya sampai suatu saat meluap dan harus dikeluarkan.
"Jadi bagaimana ki," tanya Sri.

"Kalau mau memelihara, wajib punya keturunan," jawab kakek tua itu menutup kedua matanya sambil menyisir jenggot dengan jemarinya.
"Aku tidak mau memelihara, langsung saja ki," Sri berucap dengan nada agak sedikit keras.

"Baiklah, berarti kamu berniat melakukan pesugihan, dan sudah menerima akan konsekuensinya," tanya kakek itu membuka matanya, melotot.
"Benar!" jawab Sri semakin mantap dengan pendiriannya, membuat Endang tercengang dengan apa yang temannya ucapkan.

"Kamu yakin?" tanya Endang dengan nada yang amat lirih, yang dijawab dengan anggukan.
"Baiklah, akan ku berikan mantra untukmu, agar bisa jadi kuntilanak. Ingat, kamu hanya bisa melakukan hal ini seminggu sekali, pilih hari apa yang kau inginkan," ucap lelaki tua itu.
"Malam jumat!" jawab Sri tanpa ragu, "tapi aku melakukan ini bukan demi usaha, tapi demi uang. Apa bisa kalau setiap melakukannya, uang datang dengan sendirinya," lanjutnya.

"Bisa (...)" jawab kakek itu seraya menjelaskan semua persyaratan dan konsekuensinya.
Singkatnya, setelah melakukan semua ritual yang dibutuhkan, mereka pun pamit.
Kakek tua itu mengantar mereka sampai depan pintu, dan anehnya nenek-nenek tua yang pagi hari menyapu itu sudah tak ada, ia tak terlihat entah masuk rumah atau pergi pamit.
Sri ingin bertanya akan hal itu, tapi Endang seakan merasa kalau tak ada sesuatu yang aneh, jadi ia pun mengurungkan niatnya dan mereka pun melangkah pergi dari rumah gubuk itu.
Sebelum meninggalkan tempat itu, dan sebelum melakukan ritual yang memakan waktu, Endang pergi meninggalkan Sri, karena teringat akan anaknya.
Namun jarak yang lumayan jauh, tak mungkin dirinya pulang begitu saja, Endang pun mencari telepon penduduk yang berada di jalan raya, tepat setelah keluar dari desa.
Ia menghubungi rumah untuk memberitahukan supir dan pembantunya agar menjemput Mega dari sekolah, dan bilang, mungkin pulang agak malam, dan benar saja saat keduanya sudah keluar dari rumah itu, rembulan malam lah yang menyambut kepergian mereka.
Disisi lain Manto nampak khawatir karena sang istri pergi entah kemana?! Sedangkan jam sudah menunjukkan pukul 22.
Manto menunggu kepulangan sang istri di teras rumahnya, duduk di kursi depan, di bawah lampu 5 watt yang remang-remang.
Tak lama, ada sebuah mobil yang mendadak berhenti didepan rumahnya, mobil yang tak asing baginya, dan keluarlah dua wanita dari dalam mobil itu, yang tak lain adalah Sri dan Endang.
Bukannya marah karena sang istri pergi tanpa permisi, dan kembali di malam hari, justru Manto sangat khawatir kalau terjadi sesuatu pada sang istri.
Dia pun bergegas menyambut dua perempuan itu, dan segera mengambil kedua telapak tangan Sri dengan mata berkaca-kaca, "kamu kemana saja? Kamu gak apa-apa kan?"
Melihat hal itu, Endang nampak iri. Andai saja ia mendapatkan suami yang pengertian dan peduli seperti Manto.
Kalau ini yang terjadi pada dirinya, mungkin pertengkaran dan tamparan keras mendarat di pipinya.
"Maaf mas Manto, aku yang mengajak Sri. Sri tidak kenapa-napa kok mas." Endang menjawab dengan senyum penuh harap. Ya, kejadian dulu terulang lagi.
Lagi-lagi Endang menyukai seseorang yang seharusnya tak ia sukai.
"Lepas mas! Aku capek, mau masuk!" bentak Sri melepaskan pegangan tangan suaminya, dan pergi meninggalkan kedua orang tersebut.

"Mas Manto yang sabar ya," ucap Endang dengan nada lembut, namun di dalam hati ia pun berkata, "tinggalin aja mas, mending sama aku saja!"
"Terima kasih ya, Ndang sudah menjaga Sri," ucap Manto, "Yuk, mampir," lanjutnya.

"Kapan-kapan saja mas, sudah malam. Endang pamit ya," jawab Endang dengan nada menggoda, namun Manto menanggapi biasa saja, karena pikirannya masih tertuju pada sang istri.
Endang pun pamit dan segera masuk ke dalam mobil, lalu melambai, menancap gas dan pergi meninggalkan Manto yang masih berdiri seorang diri.
Manto pun bergegas masuk ke dalam rumahnya, dan segera menuju ke kamar. Tapi saat tangannya menyentuh daun pintu, didapatinya sudah terkunci, "Dek, kamu marah? Buka pintunya dek,"

"Ah, berisik! Kalau ngantuk tidur saja di kamar belakang!" teriak Sri dari dalam kamar.
Bukan tanpa alasan Sri melakukan itu, karena malam ini adalah malam jumat. Itulah mengapa Sri langsung bilang kalau ingin melakukan ritualnya di setiap malam jumat, karena ia sudah tak sabar melihat kamarnya pagi nanti penuh dengan uang.
Manto hanya menghela nafas panjang, dia pun segera menurunkan tangannya dari pintu kamar, dan berlalu menuju kamar belakang untuk segera tidur.
Berbeda dengan Sri, ia mulai repot mengeluarkan barang-barang dari dalam kantong plastik yang di bawa, sambil menunggu waktu pergantian malam, dan mulai melakukan ritual malam pertamanya menjadi kuntilanak 'jadi-jadian' (dedaden).
Disisi lain, Endang yang masih menyetir mobilnya masih memikirkan ketampanan dan kelembutan hati Manto, ia berpikir untuk mengulangi kesalahan yang sama yang dulu pernah dilakukan, dan berpikir kalau Sri tak suka dengan Manto. Jadi tak masalah jika ia merebut Manto dari Sri.
Sebenarnya dari dulu Endang tak suka dengan Sri, dan bisa dibilang mau berteman dengannya karena rasa takut jika ia terus diganggu orang lain. Adanya Sri membuatnya punya tameng, karena Sri akan membelanya dan tak segan menghajar orang lain, entah itu perempuan maupun lelaki.
Endang, hanya memanfaatkan Sri saja.
Ia melalukan itu sebelum mengetahui jika keluarganya memelihara Kuntilanak, dan saat sudah tahu, sebelum mewariskan hal itu, Endang meminta bantuan kuntilanak tersebut untuk memikat Santo.
Tahun pun berjalan, dan saat itu pula Santo tahu kalau dirinya suka dengan Endang karena di pelet.
Santo meminta bantuan seorang kiai untuk melepaskan pelet tersebut dan setelahnya menceraikan Endang.
Namun Endang memalsukan kejadian tersebut, dan mengabarkan kalau Santo pergi dengan perempuan lain yang lebih cantik dan kaya raya.
Sebenarnya Santo ingin mengambil hak asuh Mega, tapi karena rumor jelek tentangnya, Santo memilih mengalah dan membiarkan anak satu-satunya itu hidup dengan sang ibu.
Endang terpuruk, ia stress yang membuatnya bangkrut.
Disaat itu pula, orang tuanya mewariskan kuntilanak tersebut pada Endang, dan tentu saja tidak asal diberikan dan harus diberi tumbal.
Disaat yang bersamaan, Sri sedang hamil besar. Ia merasa kehidupannya begitu sempurna, pasangan suami istri tersebut sangat bahagia.
Endang yang tahu kalau Sri sedang hamil memanfaatkan hal tersebut, dan ia pun menargetkan anak Sri yang masih dalam kandungan untuk dijadikan tumbal pertamanya.
Tentu saja Sri dan Manto tak tahu akan hal itu, yang mereka tahu kalau janin mereka meninggal dalam kandungan.
Sri pun terpukul dan perangai nya kembali memburuk.
Awalnya berubah tuk jadi lebih baik, dan karena hal inilah ia menjadi seperti dulu lagi ... dengan sifat emosi, arogan, dan keras kepala.
"Kayaknya gak usah pakai pelet segala. Aku yakin Sri gak bakalan bisa memenuhi persyaratan itu, dan ujung-ujungnya dia sendiri yang akan jadi tumbal! Hahaha ...," ucap Endang terkekeh.
"Hm, Santo, Manto. Nama yang pakai kata Anto memang ganteng-ganteng. Setelah Sri mati, mas Manto akan jadi milikku! hahahaaa ...." lanjutnya dengan tawa, yang dibarengi dengan tawa kuntilanak peliharaan yang duduk di jok belakang.
___

Malam ini Manto merasa hawa di dalam kamar belakang yang sekarang ditempati begitu panas, gerah, dan rasanya begitu mencekam. Pikirnya karena kamar tersebut sudah lama tak di tempati, jadi wajar kalau hawanya seperti ini!
Beberapa kali memejamkan keduanya matanya, namun instingnya merasakan takut yang menyelimuti dada. Ya ... walau Manto bukanlah penakut dan bisa dibilang terkadang sering melihat makhluk dari alam sebelah, tapi kini dia merasa tekanan hawa tersebut begitu berat.
Manto mengucek kedua matanya, terpejam jua tak membuatnya tidur. Kini dia melihat ke arah jam dinding yang terpajang menunjukkan angka 00 lewat beberapa menit. Detak jarum jam begitu lantang terdengar, seakan telinganya didekatkan untuk mendengarkan detak itu.
Sungguh malam yang berat baginya.
Manto juga sesekali mendongkrak ke belakang, tepat ke arah kamar depan. Ingin dia memanggil nama sang istri dan meminta dibukakan pintu kamar, tapi niat itu diurungkan.
Lagi dan lagi Manto berpikir kalau sikap Sri yang mendadak berubah karena ulah dirinya, dia tak bisa menjaga sang istri tercinta, hingga kehilangan anak yang belum sempat melihat indahnya dunia di tahun 90-an itu.
Lampu 5 watt di atas kepalanya tiba-tiba berkedip pelan, seakan gesekan energi yang membuat lampu itu nyala mati.
Manto coba menenangkan diri, dan anehnya, kini dirinya mendengar sebuah lantunan bacaan yang belum pernah didengar dengan bahasa jawa yang asing di telinganya.
"Sri? Apakah itu kamu?" pikirnya seraya bangkit dari rebahnya, merangkak pelan menuju dinding antara kamar dan menempelkan telinganya.
Degup jantungnya memompa begitu cepat, keringat mulai mengalir dari kening.
Dia mencoba mendengarkan apa benar suara itu datangnya dari Sri, lantaran suara lantunan itu datang dari kamar depan, yang dilantunkan oleh seorang perempuan.
Anehnya dia mematung dan coba mendengarkan lebih dalam, namun suara itu tak lagi terdengar.
Manto menghela nafas panjang, dia mundur dengan merangkak dan kembali membalikkan badan seraya kedua tangannya menarik selimut.
Saat tubuhnya mulai dibalikin, dia mulai menarik selimut sampai dada dan dalam keadaan mata terpejam.
Tiba-tiba lampu kamarnya mendadak mati, membuatnya membuka mata dan ... -
terlihat sosok perempuan dengan gaun putih melayang di atas tempat tidurnya. Manto mematung kaget dan ketakutan, gigi bagian atas dan bawah saling bertabrakan, bibirnya mulai bergoyang seakan membaca doa yang tak tahu apa yang dibaca. Manto ... ketakutan!
Baru kali ini dia merasa takut yang teramat, lantaran penampakan itu begitu jelas.
Apalagi sosok tersebut berada tepat di atasnya, melayang menghadap, dengan seringai menakutkan dan tawa melengking khas kuntilanak.

"Hihihihihiii ...."
Sosok itu semakin turun dengan menggelengkan kepalanya secara perlahan ke kanan dan ke kiri.
Kini terbangnya hanya sejengkal dari atas tubuh Manto.
Manto tak bisa terpejam, lidahnya pun keluh, dan anggota tubuh terasa kaku.
Wajah mengerikan dengan darah yang membasahi, itu perlahan menjulurkan lidahnya, seakan ingin menikmati mangsa buruan.
Tapi sebelum lidah itu sampai ke wajah Manto, tampak sekelebat bayangan putih menghantamkan dan mendorong makhluk tersebut, hingga bayangan putih dan kuntilanak itu menembus dinding yang mengarah keluar rumah.
Lampu kembali menyala, Manto tertegun penuh tanya dengan kejadian yang barusan dialaminya.
Beberapa detik kemudian dia tersadar dan mengucapkan istighfar. Entah kapan terakhir kali dia menyebut kalimat itu?!
Dengan segera dia bangkit dan teringat Sri, takut istrinya terjadi apa-apa. Manto segera bangkit dari ranjang dan keluar dari kamar belakang, menuju ke kamar depan dimana Sri berada.
"Sri! Sri ...! Kamu gak apa-apa kan?" teriaknya sambil mengetuk pintu kamar depan.

Tak ada jawaban, namun sedetik kemudian pintu tersebut terbuka sedikit, dan Sri mengeluarkan kepalanya,
"ada apa si mas malam-malam begini teriak? Aku tuh ngantuk! Capek!" jawab Sri dengan wajah lelah dan mata yang masih terpejam.
"Ta-tadi ada kuntilanak Sri, ada kuntilanak," jelas Manto tergagap.

"Kamu mimpi kali ...!" jawab Sri lagi sambil membanting pintu kamarnya, membuat Manto terdiam sejenak.
Manto memutar badannya meninggalkan depan kamar, dan memilih mendatangi ruang tamu, lalu duduk di sofa sambil menyalakan rokoknya, "apa benar itu mimpi? Kalau benar mimpi ... tapi kok seperti nyata?" tanyanya dalam batin.
Sri yang sehabis membanting pintu kamarnya segera berjalan ke arah ranjang. Ia duduk sesaat di atas ranjang tersebut sambil memikirkan apa yang baru saja terjadi.
"Sepertinya aku pernah melihat sosok itu, dan bukan sekali! Tadi siang, aku merasakannya. Hm, sepertinya sebelum ini juga pernah. Di kamar mandi, bahkan di kamar ini, dan rumah sakit juga." sesat Sri mencoba mengingat-ngingatnya.
"Saat aku hamil sosok itu sering menampakkan dirinya! Sosok itu sering mengikuti kemanapun aku pergi pada saat itu. Apa itu adalah makhluk yang sama seperti yang aku lihat dalam mimpi juga, saat sebelum janinku mati?" Sri memandang bagian perut sambil mengelus nya.
"Tunggu dulu! Itu bukan mimpi! Itu benar, makhluk itulah yang mengambil janin di perutku, dan kalau benar berarti--" pikirnya terpotong, seraya mengingat kejadian hari ini, yang dimana temannya itu memelihara kuntilanak.
Ya, kuntilanak yang sama yang dulu mengambil janinnya, kuntilanak yang sama yang ada di jok belakang, dan kuntilanak yang malam ini menyerang suaminya.
Sri menintih kan air matanya, ia mengingat rentetan kejadian yang dialaminya waktu itu.
Bahkan saat dirinya hamil, Endang selalu ada untuknya disaat sang suami pergi bertugas. Kata-kata Endang kini teringat jelas di ingatannya,
"Memang seperti itu! Saat aku hamil Mega juga seperti kamu! Makhluk halus itu suka ibu hamil, aroma ibu hamil baginya itu wangi. Kamu percaya saja, pasti dapat melewati saat-saat ini."
Endang pula yang menenangkan nya saat dirinya frustasi kala janin dalam perutnya tiba-tiba tiada. Lalu beberapa waktu setelahnya, Endang bangkit dari keterpurukan dan menjadi seorang yang kaya raya.
"Endang! Rupanya selama ini itu kamu?! Aku baru sadar, arrrggghhh ...." Sri mengumpat pelan, apalagi hari pertama mencari mangsa sudah diganggu dengan makhluk yang sama.
"Rupanya kau ingin aku mati karena tidak bisa memberikan tumbal di hari ini? Lihat saja, aku akan membalikkan semua keadaan!"
Sri yang merasa datangnya pagi masih lama, tentu saja tak mau menyia-yiakan hal ini. Ia tak mau ambil pusing atas kejadian barusan dan kembali menghafalkan mantra.
Lalu secara perlahan tubuhnya berupah menjadi sosok kuntilanak.
Ia pun langsung terbang menembus dinding, dan mencari mangsa buruan.
___

Didalam ruangan yang tampak begitu gelap, hanya cahaya lilin yang menjadi penerangan.
Semerbak bau wangi kemenyan menyelimuti ruangan itu.
Terlihat ada seorang perempuan tengah duduk bersila menutup keduanya matanya, dan dihadapan perempuan itu ada dupa kemenyan beserta beberapa sesaji yang tertata di atas meja kecil.
Tak lama perempuan itu membuka matanya lebar-lebar, ia melihat sosok kuntilanak peliharaan kini tengah berdiri di depannya.
"Sial! Aku gagal memelet mas Manto! Padahal aku mau kau menderita dan frustasi, lalu mati dan jadi tumbal akan pesugihan mu sendiri!" geram perempuan itu yang tak lain adalah Endang. Ia tampak lelah apalagi karena kegagalannya.
___

"Mas-mas, bangun mas! Sarapan, kopi, dan koran sudah aku sediakan di meja luar."
Pagi menjelang, Manto dikagetkan sang istri yang tiba-tiba membangunkannya dengan wajah berseri-seri.
Bukan itu saja, nampak kain tipis berwarna kuning menutupi bagian kepala, sedangkan bagian ujung disampirkan ke belakang.
Sri pun nampak memegang sesuatu yang diletakkan di samping kanan pinggulnya.
Manto yang merasa masih ngantuk berat segera mengucek keduanya matanya, diiringi dengan sesekali menguap.
Pria tampan itu memandang aneh ke arah sang istri.
"Kamu mau kemana? Dan apa-apaan pakaian itu, hehee," ejeknya menatap aneh sambil menunjuk ke arah pakaian yang Sri kenakan.

"Ih, mas! Aku tuh mau melayat," jawab Sri.

"Melayat," tanya sang suami kaget sambil membenarkan posisi duduknya.
"Iya ...," jawab Sri singkat.

"Siapa yang meninggal," tanya Manto penasaran.

"Anak bu Jumenah yang baru berumur 3 hari, semalam meninggal," jelas Sri.
"Jumenah," Manto menatap penuh tanya.

"Is, bu Jumenah dari Rw sebelah itu loh, yang baru melahirkan. Masa orang sini gak tahu," Sri balik bertanya seraya berjalan pergi meninggalkan istrinya yang terburu-buru.
Manto tampak kaget, bagaimana mungkin Sri mengenal seorang ibu-ibu dari Rw sebelah. Sedangkan Manto yang asli pribumi pun tak mengenalnya. Namun Manto tak mempermasalahkan akan hal itu, dia malah senang karena istrinya pandai bergaul dan bersosialisasi.
Singkatnya setelah sampai ditempat kerja dengan keadaan mengantuk, Manto menjadi bahan obrolan teman-temannya yang melihat dirinya dalam keadaan seperti itu.

"Kayaknya semalam ada yang main tembak-tembakan sampai pagi nih," celetuk Marwan.
"Iyalah, mana penjahatnya cantik pula, siapa yang gak mau," sindir Darto.

"Sudah cantik, baik, sopan. Sempurna banget hidupmu!" ucap Sino sambil menepuk pundak Manto.

"He hee ... iyalah, kejar target biar cepat punya anak." jawab Manto dengan senyuman kering.
Walau bagaimana pun, Manto tak ingin masalah rumah tangganya diketahui oleh orang lain, apalagi curhat perihal semalam yang jelas-jelas istrinya seakan minta pisah ranjang.
Belum lagi kejadian mengerikan semalam yang masih membekas dalam ingatannya, membuat Manto tak fokus kalau dirinya menjadi pusat perhatian.
____

Beberapa jam berlalu, sepulang melayat. Sri yang berjalan menuju rumahnya melihat bagian tetangga sebelah kanannya sudah ramai ibu-ibu berkumpul. Kumpulnya mereka tidak lain dan tidak bukan untuk menggosip.
"Teh Narmi, kok bisa ya beli TV gede, berwarna pula, padahal kita sedang dilanda moneter gini," ucap ibu-ibu kurus dengan daster berwarna pink motif bunga-bunga yang duduk menghadap ibu-ibu gempal.
"Iyalah Jeng, duit banyak kebutuhan tidak ada ...," jawabnya tanpa ekspresi namun dengan gerakan kedua tangan ke depan, seolah merasakan lelah, padahal ingin menunjukkan gelang yang baru ia beli dan pakai.
"Ih teteh Narmi, gelangnya baru lagi!" seru ibu satunya yang duduk bersebelahan dengan ibu berdaster.
"Alah bukan apa-apa ini mah," jawabnya seraya melirik ke arah Sri yang baru sampai dihalaman rumah, "ya makanya kalau ngaku kaya ya buat apa si duitnya gak di pake," sindirnya dengan lirikan mata yang tajam.
Sri mendengus kesal, namun tak menggubris akan hal itu.
Ia yang sudah biasa memakan omongan para tetangganya seakan sudah jadi makanan kesehariannya, hingga membuatnya seakan tak mendengar nyinyiran tersebut.
"Pengen selalu tampil cantik, tapi ribut dulu sama suaminya. Hm, kalau aku sih minta cerai, mending pulang saja!" sindir ibu-ibu lebih gembrot yang duduk disebelah ibu-ibu gempal.
Awalnya ia tak menggubris akan hal ini, namun saat tangannya yang sudah memegang handle pintu yang ingin segera dibuka, merasakan tusukan tajam dengan kata-kata itu, yang membuatnya tak bisa lagi membendung amarah.
"Eh, babi panggang! Punya mulut tuh dijaga," bentak Sri yang langsung melirik ke arah mereka, menghentikan niatnya yang hendak masuk ke dalam rumah.
"Ih, siapa yang ngomongin situ? Ge'er banget! Kita kan ngomongin--" ketus ibu-ibu gempal dengan bibir monyongnya namun terpotong sambil memikirkan siapa yang hendak jadi pengalihan, padahal apa yang mereka omongin adalah Sri.
"Ibu Edah," sontak ibu-ibu disebelah ibu daster berkata.

"Iya ... ibu Edah!" ucap serempak mereka bertiga, mengikuti nama yang ibu itu ucapkan sambil melirik ke arah Sri tanpa ada rasa salah.
Sri menatap tajam penuh amarah, ia tahu bahwa apa yang dimaksud itu dirinya. Mereka sengaja karena dari dulu Sri diam saja.
Sri tak lagi menghiraukan, padahal tangannya sudah meremas keras handle pintu yang dipegang. Andai dulu sudah bertemu dengan ibu-ibu itu sebelumnya, pasti mereka sudah dijadikan babi panggang olehnya.
Sri melangkah masuk dan membanting pintu, ia segera masuk ke dalam kamar, serta berniat mengganti pakaian dan hendak pergi ke pasar guna membeli barang-barang elektronik yang selama ini tak ada di rumahnya.
"Kok jadi gitu ya? Padahal biasanya diem aja," bisik ibu gembrot ke ibu gempal yang tentu saja masih bisa didengar yang lain.
"Mungkin semalam gak dapet jatah kali bu," dijawab ibu-ibu yang mengenakan daster, dan diiyakan yang lain dengan anggukan, serta tawa geli yang membuat pikiran mereka melayang, memikirkan pasangan mudah itu semalam.
___

Seorang lelaki berjalan lunglai sambil membawa amplop besar berisi surat lamaran.
Dia seakan mengutuk dirinya sendiri yang begitu susah mendapatkan pekerjaan.
Lelaki itu pun berjalan menuju taman, dan duduk di bangku seorang diri sambil menatap sekitar.
Dia mengingat hari-hari itu, hari dimana dirinya tergila-gila dengan seorang perempuan, dan sifatnya yang mendapat berubah menjadi begitu emosional.
Lelaki itu hanya bisa menunduk dan menggeleng pelan.
Hari yang awalnya membuat dia bahagia, tapi dijauhi teman, keluarga, bahkan dipecat dari tempat kerja.
Ya, hari dimana dia menginginkan Endang menjadi pendamping hidupnya, sampai-sampai termakan buaian dan melakukan hal yang tak semestinya.
Pikirnya itu adalah jalan yang benar agar mereka bisa bersama, tapi setelah tahu bahwa ada sesuatu yang mendorong kehendaknya, lelaki itu pun marah.
Dia berteriak sambil membanting amplop besar digenggaman nya, yang sontak membuat orang-orang yang ada disekitaran taman kaget, dan mendadak takut melihat lelaki itu. Lelaki yang tak lain adalah Santo, mantan suaminya Endang.
"Maaf-maaf!" ucapnya tersadar sambil melihat sekeliling seraya meminta maaf ke orang-orang yang menatap dirinya penuh tanya.
Santo segera mengambil amplop lamaran itu, bergegas kembali duduk dan menunduk.
Tak terasa bulir-bulir air mata pun keluar, dan apa yang dibayangkan memang benar, -
kalau dia mengingat Endang seakan memanggil sesuatu milik mantan istrinya itu untuk datang, yang secara otomatis membuatnya merasakan berat di pundak pada bagian belakang.
"Sudahlah Ndang, salahku apa? Masih saja kau menggangguku dengan kuntilanak peliharaan mu!" rengek nya pelan, namun didengar orang-orang sekitar, hanya saja apa yang Santo gumam kan tak begitu jelas ditelinga mereka.
___

Disisi lain, Sri kini sudah berada dalam angkutan umum menuju pasar besar yang ada di kota tempat tinggalnya, ia berencana membeli barang-barang elektronik dan beberapa perabotan. Tapi sebelum sampai ditempat yang dituju, beberapa ratus meter dari toko itu, -
Sri melihat ada ruko besar dengan tulisan 'disewakan,' ia yang belum ada rencana sebelumnya untuk menyewa ruko tersebut, tiba-tiba membuka mulutnya, "kiri!" sontak sang supir langsung menghentikan lanjut angkotnya.
Sri turun dan memberikan ongkos angkot kepada sang supir, "aduh mbak uangnya besar amat? Gak ada kembaliannya,"

Tanpa mikir panjang, Sri menjawab, "buat bapak aja!"
Jawaban Sri membuat sang supir kaget, "terima kasih mbak." ucap sang supir, namun Sri sudah mulai melangkah, menyebrangi jalan.
Sri melangkah mendekati ruko berukuran besar, bahkan lebih besar dari ruko yang ada disekitarnya. Ia melihat nomor yang tertera di sana.
Lalu matanya melihat sekitar, mencari keberadaan telepon umum yang ternyata tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang, yang hanya berjarak 50 meteran.
Sri langsung melangkahkan kakinya menuju telepon umum, tapi ia sadar kalau tidak memegang uang koin.
Belum sempat memegang gagang telepon, matanya kembali melihat sekitar. Ia tertuju pada gerobak bakso yang tak ada pengunjung, hanya ada pemilik gerobak yang tampak termenung.
Sri berpikir mau makan bakso disitu, sekalian memecah uang miliknya agar dapat uang koin untuk menggunakan telepon umum. Ia pun melangkah mendekati gerobak bakso yang tak jauh dari tempatnya berdiri, yang hanya sekitar 75 meteran, yang terparkir di bahu jalan.
"Bakso pak," ucap Sri membuat bapak tukang bakso itu kaget dari lamunannya.

"Berapa mbak? Dibungkus atau makan di sini," tanya bapak penjual bakso dengan wajah sumringah, karena mendapatkan pembeli pertamanya.
"Satu saja pak, dan makan disini saja." jawab Sri yang langsung duduk di kursi plastik, lalu pembicaraan penjual dan pembeli pun berlanjut.
Setelah siap, penjual bakso langsung memberikan mangkuk berisi bakso pada Sri, lalu kembali duduk di depan gerobak baksonya, melamun sambil melihat kendaraan berseliweran.
Mata Sri semakin membulat, kala bakso itu pecah di gigitannya. Lidahnya bergoyang menikmati setiap tekstur kekenyangan maupun daging yang ada didalam bakso yang berada di mulut.

"Hm, baksonya enak, tapi kok sepi ya pak," tanya Sri pada tukang bakso itu.
Bapak penjual bakso langsung memutar duduknya, yang awalnya membelakangi Sri, kini menghadap ke arah Sri, dia pun tersenyum, "iya mbak, semenjak ada ruko bakso di sebrang sana," tunjuk tukang bakso ke arah seberang, yang jaraknya sekitar 500 meter dari tempatnya sekarang.
Walau jauh, Sri dan bapak tukang bakso masih dapat melihat jelas, bagaimana ramainya ruko bakso tersebut.
Namun apa yang Sri lihat berbeda dengan apa yang bapak tukang bakso lihat, karena Sri melihat ada sesuatu yang lain, -
yang entah dari kapan berada di dalam ruko itu, sesuatu yang terbungkus kain bak lemper, menghadap ke arah orang yang menyiapkan bakso.

"Pocong? Apa aku tidak salah lihat?" tanyanya dalam batin.
___

Di dalam ruangan, ada seorang pria berbadan gempal yang bagian perutnya buncit sampai membuat pakaian batik yang dikenakan memaksa kancing bajunya agar tetap bertahan.
Pria gempal berusia 40 tahunan itu tersenyum senang, dia menghitung uang berjumlah besar yang ada di depannya.
Bagaimana tidak senang? Saat krisis moneter melanda, -
dia masih bisa jadi seorang yang begitu kaya hanya berjualan bakso di ruko tempatnya menyewa, yang besarnya saja sama dengan ruko-ruko yang ada disekitarnya.
Pria itu adalah pak Budi, pria pemilik ruko bakso yang sekarang sedang ditatap oleh Sri dari kejauhan.
Pria itu masih mengingat jelas kepergian salah satu karyawannya yang bernama Santi, yang menjadi pekerja 2 bulan lebih.
Santi adalah gadis kampung berusia 16 tahun, yang sekolah dasar saja tidak tamat.
Kala itu Santi melihat selebaran koran pembungkus gorengan yang telah ia makan, melihat ada lowongan kerja tak bersyarat dengan gaji standar.
Padahal biasanya harus menyertakan ijazah kelulusan dan semacamnya, namun lowongan itu hanya terbuka untuk gadis 17 tahun ke bawah yang belum menikah.
Santi yang melihat ekonomi keluarganya begitu lemah, berinisiatif membantu sang ayah yang beberapa bulan terakhir di PHK dari tempat kerjanya, sedangkan sang ibu sampai rela berjualan gorengan keliling, untuk menafkahi keluarga mereka.
Ya, sebelum ibunya berangkat Santi meminta gorengan dari sang ibu yang ia bungkus dengan kertas koran untuk sarapan paginya. Kertas koran itulah yang kini ia baca.
Santi memantapkan hatinya untuk mencoba, ia pun langsung beranjak dari duduknya, berjalan ke teras rumah dimana bapaknya sedang sibuk dengan burung peliharaannya.

"Pak, bapak," panggil Santi membuat bapaknya melihat ke arah belakang, di mana Santi berada.
Sang bapak yang tadinya bersiul sambil menatap burung dalam sangkar yang digantung segera menoleh ke belakang, dia menatap heran ke arah sang anak yang memenangkan koran bekas bungkus gorengan.

"Ada apa?" tanya sang bapak, sebut saja pak Sarip.
Santi berjalan mendekat sambil menjelaskan kalau dirinya hendak mencoba peruntungan dengan pergi ke kota untuk melamar. Tentu saja sang bapak menolak, apalagi Santi yang jelas-jelas sekolah dasar pun tak tamat.
Itu karena gaji yang didapatnya dulu hanya bisa untuk makan saja, membuat Santi berhenti dari sekolahnya, dan kini malah ingin melamar kerja, untuk membantu ekonomi keluarganya.
Santi terus menjelaskan dan menyakinkan sang bapak agar rela menerima kepergiannya ke kota yang hanya memakan waktu kurang dari dua jam saja. Sang bapak yang awalnya enggan tak mampu bicara, namun matanya berubah menjadi merah dan ada genangan air di sana.
Bermodalkan pasrah tuk cari keberuntungan, Santi pun berangkat tanpa membawa tas. Ia hanya membawa ongkos pulang pergi, dan berharap kalau sampai di sana apa yang diimpikannya terwujud.
Saat Santi hendak meninggalkan rumah, sang bapak berasa enggan melepaskan kepergiannya. Walau terbilang tak jauh jarak yang ditempuh anaknya itu, tapi wajar saja sebagai orang tua yang takut kalau anaknya kenapa-napa, apalagi Santi adalah anak semata wayang mereka.
Tanpa menunggu sang ibu pulang, Santi pun berlenggok enggan meninggalkan rumahnya, tapi niat untuk bekerja tuk membantu ekonomi orang tuanya begitu kuat, Santi pun segera meninggalkan rumah setelah mencium punggung tangan kanan sang bapak.
Santi berjalan menyusuri jalan setapak, di mana sisi kiri dan kanannya rumah para warga yang bagian halamannya masih asri -
karena banyak pepohonan besar nan rindang ditanam para warga didepan rumahnya.
Santi terus berjalan sampai ke tepi jalan raya, lalu menghentikan laju mobil elf dan masuk ke dalamnya.
Setelah sampai di kota, Santi menghentikan elf dan lanjut berjalan beberapa meter ke tempat angkot menunggu penumpang, dan segera masuk ke dalamnya.
Untung saja angkot tersebut sudah ada beberapa orang, dan tak menunggu waktu lama lagi, angkot yang ditumpangi Santi pun mulai berjalan.
Beberapa menit berlalu, Santi sampai di pasar kota. Tapi bukan pasar utama! Walau bukan pasar utama dari kota, namun lumayan ramai.
Hingga tak terasa, saking asiknya melihat ramai dan terpanah nya melihat beberapa ruko berjejer yang sebagian besar menjajah kan pakaian bagus, Santi melewati ruko bakso tempat ia akan melamar kerja.
"Eh kelewat! Kiri mang, kiri!" serunya diiringi ketukan di jendela angkot.
Angkot pun langsung menepi dan Santi turun. Membayar ongkos, lalu berbalik dan berjalan ke arah yang telah dilewati beberapa meter.
Sampai ditempat yang dituju, Santi berhenti tepat didepan gerobak bakso yang ada di dalam ruko yang ada disebelah kanan. Ia tak langsung masuk atau bertanya.
Matanya terbelalak kala melihat meja dan kursi pengunjung begitu penuh dipadati pengunjung. Belum lagi para pelayan yang masih gadis seusianya begitu sibuk mondar-mandir.
"Eh ternyata ada cowoknya juga? Aku kira cuma cewek saja? Atau memang yang dibutuhkan cewek karena kekurangan pramusaji?" gumamnya dalam batin.
"Mbak mau pesan bakso," tanya pria paruh baya yang berdiri di depan gerobak bakso itu, sedangkan disebelahnya ada seorang pemuda yang membantu lelaki paruh baya tersebut, yang sedang menyiapkan pesanan.
Setelah ada beberapa mangkuk terisi, seorang gadis langsung mengambil nampan dan mengambil beberapa mangkuk untuk segera diberikan pada pelayan.
Santi belum menjawab, ia masih tercengang melihat sibuknya semua pegawai di ruko bakso tersebut.
"Mbak mau pesan," kini giliran pemuda itu yang menimpali pertanyaan pria paruh baya yang kini sedang sibuk meracik bumbu di mangkuk, dan pria paruh baya menarik mangkuk yang sudah diisi bumbu untuk diisi bakso, kuah, dan lain sebagainya.
Santi terperanjat kaget, "Oh, tidak mas. Aku mau melamar kerja, apa di sini masih membutuhkan tenaga kerja," Santi balik bertanya, dan pemuda itu langsung tersenyum.
Bagaimana tidak? Kalau Santi sampai kerja disitu, dia bakalan kenal dengan gadis Ayu yang kini berdiri tak jauh darinya.
"Coba mbak langsung tanya saja ke pak Budi! Beliau ada di ruangannya." jelas pemuda itu dengan senyum penuh harap, sambil menunjuk ke arah ruangan yang berada paling belakang, yang berada disebelah kamar mandi.
"Terima kasih mas," ucap Santi mengangguk dengan senyuman indah, disertai lesung pipi yang begitu menawan bagi para lelaki.
Perbincangan kecil itu tentu saja menjadi sedikit perhatian, baik dari para gadis yang sibuk lalu lalang, yang sesekali melirik, maupun lelaki yang bagian gudang, yang masuk ke luar dibagian ujung ruangan yang berada disebelah kiri, disebelah ruangan pak Budi.
"Jo! Kayaknya mau melamar kerja tuh cewek," bisik seorang pemuda bernama Imung.

"Moga aja diterima Mung." harap Jojo yang sedang mengangkat kardus berisi kecap, yang hendak diberikan pada lelaki paruh baya yang ada didepan.
"Woy, itu jatahku!" teriak Imung yang kini berjalan memasuki gudang. Jojo tak membalas, dia hanya tersenyum sambil melirik penuh perhatian pada Santi yang sesaat kemudian berpapasan dengannya.
"Eh mbak mau ketemu pak Budi ya," tanya Kunco, bagian pencatatan gudang yang berdiri disebelah Santi, yang awalnya berlari meninggalkan depan gudang untuk menemui gadis cantik itu.
Melihat tingkah Kunco, Jojo mendengus kesal. Namun dia terus berjalan membawa kardus itu ke depan.
Santi pun langsung berhenti, melihat pemuda cengengesan yang kini berdiri disebelahnya.
Pemuda dengan gigi maju ke depan, kulit coklat, rambut keribo dengan bola mata yang besar, sedangkan ucapannya yang kalau bicara liurnya muncrat ke mana-mana.
"Iya, mas." jawab Santi pelan, sambil tersenyum ramah ke arah pemuda itu.

"Ayo mbak, aku antar!" tegasnya sambil mempersilahkan Santi dan berjalan beriringan ke tempat dimana pak Budi berada.
Dari kejauhan ada sorot mata tajam dari salah satu pelayanan yang melihat punggung Santi berjalan.
Karena menatap lekat ke arah Santi, hampir saja ia menumpahkan gelas berisi es teh manis yang diturunkan dari nampan, setelah menurunkan mangkuk bakso di meja pelanggan.
"Hati-hati dong mbak," keluh pelanggan yang masih muda itu, yang hendak mengelak karena gelas yang Santi pegang agak miring.

"Maaf mas." jawab gadis itu kemudian, sambil menegakkan gelas dan menaruhnya di atas meja.
Sampai di depan ruangannya pak Budi, Kunco segera mengetuk pintu, dan memberitahukan kalau ada seseorang yang hendak menemuinya.
Pak Budi jawab setengah teriak, mempersilahkan orang yang hendak bertemu dengannya agar segera masuk.
Kunco segera membukakan pintu itu, mempersilahkan Santi masuk dengan cengengesan, bak lelaki bodoh yang memandang harap pada tuan putri yang kini hendak melangkah masuk.
Santi melangkah masuk, ada rasa enggan di benaknya. Disamping takut tak diterima, ini pun pertama kali bagi dirinya melamar kerja.
Kunco yang memegang handle pintu masih cengengesan melihat pundak Santi, namun langsung ditegur oleh pak Budi, "Co! Ngapain masih di situ,"
"Hehe, ini pak! Gagang pintunya gak mau lepas." jawab Kunco sekenanya, lalu segera menutup pintu.

"Duduk," seru pak Budi.
Santi mengangguk, melangkah perlahan ke depan, di mana ada kursi dan meja di depannya.
Santi segera duduk di kursi yang menghadap meja, sedangkan pak Budi duduk di kursi bagian depannya, yang membuat mereka saling berhadapan.
"Aku ke sini mau melamar kerja pak," ucap Santi agak sedikit canggung.

"Ya sudah bantu temen-temen yang lain! Kamu bisa tanyakan pada Asep," jawab pak Budi seraya menunjuk ke jendela kaca transparan, ke arah pemuda yang sedang membantu lelaki paruh baya didepan.
"Eh, maksudnya apa ya," Santi bingung, mengernyitkan dahinya.

"Kamu diterima dan bisa langsung kerja." jawab pak Budi.
Santi yang agak bingung karena begitu mudahnya diterima kerja ditempat tersebut, segera berdiri. Sedangkan masih banyak tanya dalam benaknya. Namun Santi segera mengucap terima kasih, dan bergegas pergi menemui pemuda yang ada di depan.
"Eh Cong! Kamu tahu aja yang seger." gumamnya dalam batin, sambil melihat Santi dari jendela yang kini melangkah mendekati Asep, yang diikuti sosok terbungkus kain, yang sepertinya suka dengan aroma Santi.
Sedari awal pak Budi memang berdiri menatap jendela kaca dari ruangannya, dan tentu saja orang dari luar tidak bisa melihat ke arah dalam, -
hanya melihat kaca bak cermin yang memantulkan bayangan siapa saja yang melihat. Namun kalau dari dalam ruangan begitu jelas melihat ke arah luar.
Pak Budi kaget, kala pocong yang berdiri disebelah lelaki paruh baya, sebut saja pak Jamal, langsung melihat ke arah gadis yang tiba-tiba datang. Pocong itu langsung mendekat, dan mencium aroma gadis yang baru datang tersebut, yang tak lain adalah Santi.
Pak Budi terus memperhatikan, dan kemanapun Santi melangkah, pocong itu mengikutinya.
Hingga Santi berada didepan ruangannya, barulah pak Budi segera duduk di kursinya, -
sambil melihat dan menulis sebuah catatan yang ada di mejanya, berpura-pura kalau dari awal dia tak tahu bahwa ada gadis yang hendak menemuinya.
Singkatnya, setelah Santi diberikan penjelasan oleh Asep dan diberikan seragam pegawai yang hanya bagian atasnya saja, ia pun mulai bekerja sebagai pelayanan seperti gadis yang lain.
Santi yang canggung akan pertemanan memilih diam kala ada waktu bagi mereka berdiri sambil melihat dan mengobrol sebelum mengantarkan pesanan, atau membawa mangkuk maupun gelas kotor ke dapur.
Namun beda dengan yang lain, apalagi ada teman baru. Secara otomatis mereka mengajak ngobrol Santi seraya memperkenalkan diri.
Hampir semua pekerja di hari pertama menegur sapa dengannya, namun masih ada satu gadis yang tak kalah cantiknya, -
yang hanya saja gadis itu terlihat angkuh, dan menatap Santi dengan tatap kebencian, seakan sebelumnya pernah berbuat salah pada gadis itu, padahal Santi sendiri yakin, kalau baru melihatnya ditempat kerja barunya sekarang.
Kadang Santi coba tersenyum sebagai sapaan, tapi gadis itu malah membuang wajahnya dengan tatap kesal.
Entah apa yang salah dengan dirinya, Santi pun memilih diam dan tetap melakukan hal yang sama, walau tak dianggap ada oleh gadis tersebut.
***

Di ruko bakso bagian dapur ada disebelah kanan, setelah melewati dua kamar mandi, atau bisa dibilang mirip WC umum yang biasa dipakai oleh pegawai maupun pelanggan.
Di dalam dapur, bisa dibilang tak seperti dapur restoran karena tidak ada aktivitas memasak, karena dapur ini diperuntukkan pada pegawai yang hendak makan secara bergantian jika waktunya tiba.
Di sini pula ada 3 gadis bagian mencuci mangkuk dan gelas kotor, dan ada satu lelaki bagian yang mengumpulkan, maupun mengantar mangkuk dan gelas bersih ke depan.
Walau bagian dapur bisa dibilang bersih, namun hawanya agak suram. Padahal ada cahaya masuk melalui ventilasi udara dan lampu dinyalakan selama 24 jam.
Nah, dibagian dapur ada pintu sebuah ruangan, namun pintu itu selalu terkunci dan hanya digunakan oleh pak Budi dengan alasan meracik bumbu rahasianya di ruangan tersebut agar tidak ada yang tahu, -
karena jika pak Budi masuk, selalu membawa serta beberapa bahan yang akan digiling maupun ditumbuk menjadi bumbu, dan selang beberapa jam lamanya, bumbu itu diberikan pada bagian pembuat bakso untuk dicampurkan menjadi satu.
Yang unik pada bagian kuahnya, karena air yang dipakai didatangkan langsung dari rumah yang langsung diantar oleh bu Budi. Bukan air sembarangan seperti air yang biasa digunakan untuk minum.
Entah air apa itu, yang jelas mereka tahunya air tersebut sudah diberikan bumbu penyedap, yang diracik oleh istri dari pak Budi.
Padahal kalau dilihat, air tersebut sama dengan air pada umumnya, bahkan ada pemuda yang pernah mencicipi air tersebut dan tak ada rasa sama sekali. Namun setelahnya, karyawan itu selalu ketagihan dengan hidangan bakso ditempat kerjanya, -
bahkan sampai merogoh kocek, dan kadang rela potong gaji demi bisa memakan bakso ditempat kerjanya itu, padahal sudah ada jatah tersendiri, jika karyawan tersebut ingin memakan bakso.
Terkadang pak Budi dan bu Budi begitu baik dengan salah satu pekerja, dan pastinya seorang perempuan. Tak enggan bu Budi meminta gadis itu menemaninya belanja dan lain sebagainya, namun tetap masuk jam kerja dan mendapatkan gajih seutuhnya.
Kala pulang ke tempat kerja, gadis itu terkadang dibelikan pakaian dan sebagainya, namun hanya kurun waktu kurang lebih dari satu bulan, karyawati yang di anak emas-kan diberi cuti, dan setelahnya tak ada kabar sama sekali.
Nah untuk waktu sekarang ini, yang jadi anak emas adalah Dewi. Gadis cantik yang menatap sinis ke Santi dari awal ia datang. Namun berbeda dengan gadis sebelumnya, karena entah mengapa kebaikan pak Budi dan bu Budi hanya berkisar beberapa hari saja.
Alasan pak Budi dan bu Budi tak lagi di anak emaskan Dewi, karena setelah menjadi target tumbal selanjutnya dan hanya menunggu beberapa minggu saja, -
namun pocong yang memilih tumbalnya sendiri itu menghindari Dewi, seolah mencium aroma lain dari tubuhnya, aroma seorang perempuan yang tak lagi bermahkota, alias sudah tak perawan!
***

Di dalam mobil yang kini terparkir di depan sebuah ruko bertuliskan 'BAKSO KUDU BALIK PAK BUDI,' ada sedikit perbincangan yang membuat tiga remaja itu tak kunjung keluar dari dalam mobilnya, sebut saja Aden, Tirta, dan Maya.
Aden yang menyetir sekalian pemilik mobil tersebut. Bukan pemilik juga, karena yang punya ayahnya. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke arah kedua temannya sambil berujar, "Yuk turun! Kita makan di sini,"
"Ayo, aku juga tak sabar nyicipin bakso di tempat ini yang katanya sangat enak," sahut Maya yang duduk di sebelahnya.
"Yakin mau makan di sini?!" timpal Tirta yang duduk di belakang, membuat kedua teman yang duduk di depan menoleh ke arahnya, menatap heran temannya yang mengedarkan pandangan keluar dengan tatapan aneh terbias di benak Tirta.
Beberapa waktu mereka diam, namun Aden segera bangun dari tempat duduknya, seraya membuka pintu mobil, "Yuk ah, mau makan gak?"
Maya tak menjawab, ia juga beranjak dari duduk sambil keluar dari mobil, mengikuti Aden. Ia berjalan mengitari depan mobil, -
berdiri disebelah Aden sambil melihat Tirta menatap ke arah rumah toko yang sudah beberapa bulan terakhir itu di sewa seseorang, dan disulap menjadi rumah makan bakso istimewa.
Bagaimana tidak istimewa? Dari kabar yang beredar, tak enggan seseorang yang sudah membeli dan membeli lagi, malah pernah ada yang seharian penuh, atau bisa dibilang bolak-balik beli bakso disitu untuk makan sehari-harinya, seakan tak merasakan bosan sedikit pun.
Bukan itu saja, BAKSO KUDU BALIK PAK BUDI' juga buka 24 jam, dan tentunya ada jam shift antar karyawan. Shift pagi dari jam 08.00 sampai jam 20.00, -
sedangkan Shift malam dari jam 20.00, sampai jam 08.00. Jam malam biasanya sering dikunjungi oleh pemudik yang lewat, atau para anak muda yang mencari makan dikala malam tiba.
Dengan terpaksa dan sedikit enggan, Tirta membuka pintu mobil lantas keluar. Dia menutup pintu dengan posisi tubuh membelakangi rumah makan itu, yang secara langsung melihat ke arah seberang jalan, dan di saat kepalanya agak sedikit ke kanan, -
Tirta kembali diam sambil memandang lekat ke arah seorang perempuan tengah makan bakso dipinggir jalan, dan perempuan itu juga sesekali melihat ke arah tempatnya berdiri.
Mungkin bisa dibilang bukan melihat ke arah Tirta, tapi melihat ke arah rumah makan bakso yang hendak di masuki mereka.
Perempuan itu tampak begitu akrab dengan pak Idi, yang merupakan langganan baksonya dari dulu!
Ya, yang kedua temannya tahu, kalau Tirta sering makan di situ daripada makan ditempat yang ingin mereka datangi sekarang.
Itulah alasan Aden tidak memberitahunya sedari awal karena Tirta pasti menolak!
Entah apa yang membuat temannya ini enggan untuk makan ditempat ini, yang jelas lebih berkelas daripada makan di trotoar pinggir jalan?!
"Oh pantes, ada ceweknya," sindir Aden yang kini sudah ada di samping kanan Tirta, menatap ke arah yang dituju temannya.
"Mana, mana? Cantik gak? Cantik kan mana sama aku?" tiba-tiba Maya mendekati kedua temannya yang terdiam menatap satu arah, membuat keduanya segera melirik ke arah gadis cantik dengan pipi chubby tersebut, -
yang sekarang sudah menempelkan dadanya dibelakang punggung Tirta dan Aden, sambil melihat arah yang baru saja dilihat temannya.
"Astagfirullah ... bukan muhrim." gerutu Tirta dengan nada pelan, membuat Maya langsung melihat ke bawah, ke dada nya yang tanpa sengaja menyentuh punggung kedua temannya itu.
Tirta yang keponakan seorang ustadz itu, langsung menggelengkan kepalanya, membuat Maya merasa malu dan langsung mundur beberapa langkah. Namun berbeda dengan Aden, yang tampak malu-malu mau, sambil menatap ke arah Maya.
'PLAK' suara tamparan mendarat di pipi kanan Aden, membuat seorang lelaki yang berdiri di depan tempat makan itu melongo.
Lelaki yang tak lain adalah pak Budi, dan perempuan yang dilihat mereka dari kejauhan tak lain adalah Sri, sedangkan pak Idi adalah bapak tukang bakso yang sedang mengobrol dengan si Sri.
"Eh, maaf Den! Reflek," ucap Maya pelan sambil terkekeh, menunjukkan gigi-giginya yang putih nan rapih.
"Reflek si reflek, kok aku doang? Lagian yang salah siapa? Malah aku yang ditampar?" keluh Aden sambil menggosok pelan pipinya yang panas. Sontak, Tirta pun tertawa.
***

Di sebrang jalan, di mana Sri sedang menyantap bakso pak Idi dengan lahapnya, "Memang sudah berada bulan pak, tempat itu berdiri,"

"Baru sekitar 9 bulanan, mbak," jawab pak Idi.

"Baru ya pak," tanya Sri lagi.
"Ya ... baru di sini mbak, tapi Budi sudah lama jualan, kira-kira 10 tahunan, sedangkan saya ... sudah 30 tahunan mbak jual bakso di sini, namun Budi sering pindah-pindah. Padahal ramai terus, tapi lebih memilih nyewa tempat daripada beli tempat," jelas pak Idi.
"Oh, gitu ya pak? Kok bapak banyak tahu soal orang itu," Sri mengernyitkan dahi, menahan sendok yang hendak masuk ke dalam mulutnya, sambil menatap ke arah pak Idi dalam-dalam.
"Iyalah mbak, karena dulu Budi yang bantu-bantu di sini, nemenin saya waktu dia masih muda. Tapi setelah menikah, Budi pergi merantau, lalu pulang dan meminta resep sekaligus cara bikin bakso.
Disamping masih satu kampung, karena Budi juga udah 2 tahunan bantu-bantu saya di sini, jadi ya ... saya kasihlah mbak," ada raut wajah penuh sesal dibenaknya setelah menyelesaikan kalimat itu.
Sri tak lanjut bertanya, ia memilih diam dan merasa kalau ucapan terakhir pak Idi sebagai tanda, kalau dirinya seakan menyesali itu semua, lantaran sekarang pak Budi malah menjadi saingannya, yang membuat jualannya jadi sepi.
Sri yang dari awal sesekali melihat ke arah rumah makan bakso itu, sesekali pula ia melihat ke arah lelaki yang menurutnya seakan melirik ke arah dirinya, tapi sekarang lelaki dan dua temannya itu sudah berjalan mendekati pak Budi yang masih berdiri diam, -
yang juga sesekali melihat ke arah dirinya, atau lebih tepatnya ke arah pak Idi yang menjadi saingannya itu, lantas masuk mengekor ketiga orang yang baru masuk, yang tak lain adalah Aden, Tirta, dan Maya.
Setelah selesai makan dan membayar, Sri memberikan uang besar, yang membuat pak Idi sedikit bingung karena tak mempunyai kembalian. Bukan itu saja, karena memang tak ada kembaliannya, pak Idi malah mengembalikan uang Sri, dan malah memberinya gratis.
Sri tersenyum dengan kebaikan pak Idi, "Sudah pak ambil saja kembaliannya." ucap Sri lanjut memberikan, tapi pak Idi menolak dan ada adegan dorong-dorongan telapak tangan karena Sri yang mengikhlaskan, pak Idi pun mengikhlaskan agar Sri tak usah memberikan uangnya tersebut.
Sri tertegun sejenak, senyum jahat mulai menyeringai. Gigi-gigi putih nan rapihnya terlihat dengan bagian samping kanan ada deretan gigi yang hampir mirip taring, namun kecil.
Sri segera melihat ke belakang, di mana tempat yang akan ia sewa tersebut. Mendadak ada pikiran ingin menjatuhkan pak Budi dengan cara menyaingi jualannya, yang tentu saja harus merekrut pak Idi agar mau bekerjasama.
"Bapak terima saja, dan berhubung aku mau sewa tempat di belakang itu! Aku juga pengen jualan bakso, dan mengajak pak Idi bekerja sama, bagaimana," -
Sri menatap pak Idi dengan seringainya, sambil memainkan alisnya naik turun, dan sesekali melihat ke arah seberang, di mana tempat bakso pak Budi berada.
Pak Idi yang menatap heran ke arah Sri, ikut melihat apa yang di lirik perempuan itu sebentar, lantas kembali menatap perempuan yang baru dikenalnya itu, dan mengerti apa maksud dari perempuan tersebut.
"Aku sih, siap saja mbak. Tapi apa bisa menyainginya," pak Idi bertanya agak ragu.

"Kita coba saja, pak! Lagian kalau sepi pun, bapak tetap dapat gaji, kok!" jelas Sri membuat pak Idi tersenyum cerah.
Bagaimana tidak? Dengan tawaran tersebut, pak Idi tak pusing lagi memikirkan pemasukan kesehariannya, dan yang lebih menguntungkan, jika sepi pun akan tetap dibayar.
***

Di dalam tempat pak Budi, ketiga remaja itu pun duduk di meja yang baru saja dibersihkan salah seorang pelayan, yang sepertinya masih sedikit canggung dengan apa yang dikerjakannya, yang tak lain adalah Santi.
Santi yang melihat ketiga remaja seumuran merasa canggung, apalagi tatapan salah satu lelaki begitu lekat mengarah padanya, yang tak lain adalah Aden. Sedangkan dua lainnya tak lain adalah Tirta dan Maya.
Setelah dirasa bersih, Santi langsung meninggalkan meja itu dengan berlari kecil agak malu, karena lelaki tampan yang baru saja duduk, terus memperhatikannya.
Maya yang menatap Aden, langsung mencubit bagian perut kanannya secara pelan.
"Aduh! Apa-apaan si May?" dengus Aden sambil mengelus perut yang habis dicubit Maya.

"Apa aku gak kalah cantik sama pelayan itu," Maya menatap Aden dengan senyum cerah, tatapan mata lebar dengan binar-binar keindahan.
"Kamu sih bukan cantik, tapi ganteng," jawab Aden seraya menatap ke arah Maya, sambil sesekali menurunkan bagian hitam kelopak matanya ke arah dada maya yang tampak hampir rata, karena saking kecilnya.
Tahu dengan tatapan Aden dan alasan apa yang diberikannya, Maya mendengus kesal, "Ini tuh karena aku masih di tahap pertumbuhan,"
"Masa sih, May? Kok itu beda!" tunjuk Aden dengan lirikan matanya ke arah Santi yang baru saja meninggalkan meja mereka, yang jelas Maya semakin kesal dibuatnya.

"Eh, ngomongin apa si," tanya Tirta yang tak paham dengan obrolan kedua temannya.
"Apa? Mau ikut-ikutan? Seharusnya bersyukur tadi udah merasakan, tapi gak kena tampol! Mau sekalian di tampol?" ketus Maya.

Tirta yang mulai paham dengan apa yang dimaksud, pura-pura tak mengerti dan mengalihkan pembicaraan, "Eh, kalian mau pesan apa?"
Mendengar ucapan pengalih perhatian yang ngasal, membuat kedua temannya saling pandang dan ketawa. Bagaimana tidak? Sudah jelas hanya menyediakan bakso ditempat mereka sekarang, malah menanyakan akan hal itu?
Tahu dengan tatapan penuh tawa kedua temannya, Tirta langsung menunduk senyum, malu dengan ucapannya barusan.

"Eh-eh, mbak mau ke mana? Kita belum pesan, kok udah lari," teriak Aden dengan nada ramah, menghentikan langkah Santi yang menjauh.
'Oh iya. Kenapa juga aku lari? Aku kan belum tanya pesanan mereka.' dalam batin berkata, seraya berbalik dan kembali ke meja ketiga orang tersebut.
"Mas, mbak nya pesan bakso komplit? Baksonya saja pakai kuah? Bakso besar, bakso kecil, apa bakso campur mie ayam?" tanya Santi yang sudah kembali.
"Kalau aku komplit ya mbak, yang pedas ...," ucap Maya, lalu melihat kedua temannya mengangah lebar diakhir kata, membuat kedua temannya memundurkan badan sedikit, seolah mulut temannya bau, padahal tidak dan sudah biasa bagi mereka.
"Aku campur mie ayam deh, kalau kamu-" jawab Aden terpotong, lalu menatap ke arah Tirta.

"Aku gak, masih kenyang." jawab Tirta meringis, sambil melihat ke arah belakang Santi, lalu menundukkan kepalanya, seakan dibelakang Santi ada sesuatu yang menakutkan bagi dirinya.
Mendengar jawaban aneh dari Tirta, kedua temannya bingung. Tapi Maya merasa bersalah, mungkin karena terlalu galak pada Tirta, sampai Tirta tidak nafsu makan.
Itulah yang ia pikirkan. Padahal didalam hati, Maya menyimpan rasa suka ke Tirta, namun malu jika harus menyatakan isi hatinya.
Tentu saja alasan Tirta bukan itu, karena dia bisa melihat yang tak kasat mata, melihat sosok pocong kecil yang mengikuti pelayan itu (Santi,) -
dan yang membuatnya merasa mau muntah, saat melihat pocong lain yang agak besar berada di bagian tengah depan, tempat pak Budi barusan berdiri, yang wajahnya hancur penuh belatung, dengan darah kental berbau anyir yang mengalir.
Melirik lagi ke arah depan bagian sebelah kanan, tampak makhluk yang sama pula. Namun duduk dengan kaki selonjoran, sedangkan kepalanya menunduk.
Lagi, Tirta melihat sekeliling. Tepat sebelum arah ke toilet, makhluk itu juga ada. Terus mengedarkan pandang, makhluk yang sama juga terlihat berdiri membelakangi, menyandar di dinding gudang.
Sangat aneh baginya, tapi tak berpikiran kalau pemilik tempat tersebut melakukan pesugihan. Pikirannya positif, yang mengarah kalau ruko tersebutlah yang angker.
Wajar saja dia berpikir begitu, karena memang ruko ini sebelumnya tak ada yang menyewa, hampir 2 tahun kosong tak terpakai.
Melihat Tirta mengarahkan pandangannya, Aden pun ikut-ikutan. Tapi apa yang Aden lihat berbeda, "Wih, cantik! Yang ini juga cantik! Wah, cewek di sini kok cantik-cantik?! Tahu gitu, dari dulu aja makan di sini! Pantas saja pada betah."
Maya tak kalah, melihat kedua temannya bertingkah aneh, ia pun mengikuti, "Yang ini agak besar, yang ini lumayan. Lah kok, bisa ya pada gitu? Kok punyaku kalah sama cewek-cewek ini?"
Akhir dari pandangannya, Maya melihat ke arah dadanya sendiri, "apa gara-gara ini, Tirta gak jatuh hati padaku? Padahal, aku ini lebih cantik daripada yang lain!"
Berbeda dengan dua orang yang sedang makan, mereka mendadak berhenti dan menatap aneh ketiga orang yang baru saja datang. Bagaimana tidak? Ketiga orang yang duduk di meja depan seberang mereka itu, yang tak lain merupakan Aden, Tirta, dan Maya, -
melirik ke arah yang sama, yang diawali oleh Tirta, Aden, dan Maya. Seolah ketiga orang ini seperti pencuri atau merupakan sindikat tertentu, yang melihat sekitarnya, menunggu lengah, lalu memangsa korbannya.
"To! Kamu melihat gelagat mencurigakan dari mereka," bisik Somad pada Manto, yang menghentikan makannya.
"Ya, aku juga melihat, dan sepertinya lelaki itu pimpinannya (Tirta). Sedangkan yang tengah (Aden), sepertinya menemukan sasaran. -
Lihat aja raut wajahnya yang tampak senang! Kalau yang cewek (Maya)? Eh, cewek apa cowok si?" bisik balik Manto, yang tak lain adalah suami Sri dengan pakaian biasa, keduanya sedang makan siang sambil menyamar.
Bagaimana tidak dianggap cowok? Dari gaya berpakaiannya saja bak lelaki, dengan kopi di atas kepala, mengenakan celana jeans berlubang dikedua lututnya.
Sepatu kulit hitam, dan bagian lengan kedua kemejanya yang malah diikat di bagian pinggang, sedangkan kaos yang dikenakan bergambar tengkorak menaiki motor harley davidson.
"Kayaknya cowok deh? Lihat aja tuh, rata!" balik bisik Somad, menyimpulkan, "tapi kok cantik ya," lanjutnya.
"Mungkin itu cowok emang nyamar buat melemahkan hati orang yang jadi korban, dengan begitu ... akan lebih mudah melumpuhkan korbannya," terang Manto.

"Oh iya, bisa jadi!" balas Somad, saling tatap dan mengangguk.
Maya yang awalnya menunduk sedih dengan keadaan, mengangkat kepalanya, dan tanpa sengaja melihat dua pria macho berusia kurang dari 30 tahunan, dengan jaket kulit menatap dirinya sambil berbisik.
Sontak wajahnya langsung memerah, "ada dua cowok ganteng yang matanya bener, bisa liat cewek cantik sepertiku." gumamnya menatap balik dengan senyum manis.
Manto dan Somad yang tiba-tiba ditatap balik oleh orang yang mereka anggap entah itu cewek atau cowok, membuat keduanya salah tingkah.
Somad gugup dan malah menyendok es teh manis, bukannya bakso yang di sendok, yang sontak saja kaget, karena bakso yang di masuk mulutnya jadi keras dan dingin, yang tak lain adalah es batu.
Manto membuka mulutnya lebar-lebar, terkejut dengan tingkah gugup temannya yang berlebihan, "kamu suka makan es batu,"

"I-iya, sudah biasa. Enak To! Coba deh!" jawab Somad ngasal, sambil mulutnya terus mengunyah es batu.
___

Ditempat berbeda, seorang yang menjepit map besar berwarna coklat sesekali memegangi pundaknya yang berasa berat, sesekali dia memutar-mutar sedikit kepalanya untuk mengurangi rasa nyeri di pundaknya.
Lelaki yang tak lain adanya Santo, mantan suaminya Endang yang kini sedang berjalan ke arah pemukiman para warga.
Sesampainya di rumah yang bersebelahan dengan mushola, Santo mendekati rumah tersebut.
Saat sampai di depan gerbang rumah dengan teralis besi itu, Santo melihat halaman depan rumah tersebut. Terlihat ada seorang pria paruh baya sedang mengambil buah jambu yang ada di halaman rumahnya.
Pria paruh baya itu mengenakan kaos putih polos yang dimasukkan ke dalam celana hitam yang dikenakan.
Sedangkan bagian kaki memakai sandal jepit, -
dan di bagian rambut hitamnya sudah ada beberapa yang berwarna putih.
Pria paruh baya berjenggot tipis dengan tubuh kurus itu, dikenal dengan sebutan ustadz Anwar.

"Assalamu'alaikum, pak ustadz," sapa Santo dengan senyuman sambil tangan satunya memegang gerbang.
"Walaikumsalam," eh mas Santo? Masuk mas!" suruh pak ustadz yang telah melihat ke arah Santo, tersenyum, tapi kemudian menatap tajam ke arahnya, -
atau lebih tepatnya ke arah punggung Santo yang sedang menggendong makhluk halus berjenis kelamin perempuan, berpakaian putih, yang tak lain adalah Kuntilanak peliharaan mantan istrinya, Endang.
Namun untuk dapat memastikan dugaannya apa benar atau salah? Ustadz Anwar melihat dengan seksama dan semakin jelas saat Santo sudah berada di depan matanya, -
atau lebih tepatnya setelah Santo menunduk dalam posisi mencium punggung tangan kanannya, dan ternyata kuntilanak tersebut bukanlah kuntilanak yang dulu.
Dalam kurun waktu yang singkat itu, ustadz Anwar melakukan komunikasi semata, tanpa diketahui oleh Santo, yang di mana setelah komunikasi nya dengan sosok tersebut, yang ternyata makhluk penunggu pohon besar yang ada di taman, -
yang melihat Santo dalam keadaan memprihatinkan, dan oleh karena itu, alasan makhluk tersebut menempel, karena merasa kasihan pada Santo yang waktu itu sedang termenung meratapi nasib buruknya.
Walau bagaimana pun juga alasannya, ustadz Anwar tetap menyuruh makhluk itu pergi, dan tak mempercayai apa yang dikatakan makhluk dengan energinya yang negatif tersebut.
Awalnya makhluk itu enggan pergi, tapi setelah diberi sedikit ancaman, makhluk itu pun langsung hilang dari pandangan, dan kembali ke tempatnya semula.
Santo yang awalnya ingin meminta tolong, tapi melihat ekspresi biasa saja dari ustadz Anwar setelah dia melihat wajah sang ustadz yang berseri-seri, langsung mengurungkan niatnya, dan berpikir ... mungkin lelah dipunggung memang hanya lelah semata, tak ada yang lain.
"Ayo duduk! Bagaimana? Sudah dapat kerja," tanya ustadz Anwar sambil memegang pinggang kanan Santo, mengarahkannya ke kursi yang ada di depan teras rumahnya.

"Belum wak, ck," ada decakan lidah diakhir kalimatnya, sambil duduk dan menggelengkan kepala.
Santo dan ustadz Anwar bukanlah kerabat atau saudara, tapi dia memanggil Uwak karena sudah menganggap ustadz Anwar sebagai bagian dari keluarganya sendiri. Apalagi ditengah keterpurukan, bahkan orang-orang terdekatnya pun seakan tak lagi mengenal.
Bukan itu saja, karena jasa ustadz Anwar jugalah Santo tahu kalau dibalik senyum manis bak bidadari dari guratan wajah si Endang, ada iblis yang tertanam di jiwa maupun raga dari sang mantan istrinya itu, yang dimana sang istri telah bersekutu dengan setan hanya demi kekayaan.
Entah apapun sebutannya?! Hanya memelihara semata? Atau memang masuk dalam kategori pesugihan juga tak apa bedanya? Karena sama-sama mencari tumbal hanya demi kesenangan dunia semata, yang dimana seakan akhirat itu tak ada dan terus larut akan buaian indah harta dan tahta!
Sangat mudah bagi Endang untuk mencari nyawa bayi yang baru lahir atau belum lahir sebagai tumbal. Karena bukan saja mewarisi kuntilanak peliharaan orang tuanya, -
tapi juga melanjutkan klinik yang di mana terkadang ada saja ibu hamil yang periksa kandungan, bahkan ada pula yang melahirkan di klinik tersebut.
Setiap orang yang periksa, pasti menyertakan nama, dan alamat tempatnya. Sehingga mempermudah Endang untuk mencarinya.
Adapula yang kadang memanggilnya untuk datang ke rumah.
Tapi tidak semuanya dijadikan tumbal pula, karena tak mungkin melakukan itu, yang ada orang tak lagi percaya dan menganggap Endang tak bisa membantu ibu hamil dan selalu menyebabkan bayi itu meninggal.
Lagian, takkan tahu kalau janinnya mati dalam kandungan karena dijadikan tumbal, dan takkan percaya jika bayi yang telah dilahirkan menjadi persembahan.
Itulah yang membuat keluarga tersebut kaya tanpa ada rasa khawatir di dada! Hanya menunggu waktu dan target, maka yang direncanakan pun berjalan dengan sendirinya.
Apalagi jika mendapati anak muda yang hamil diluar nikah, itu menjadi makanan lezat, bak anak kecil yang hanya duduk di meja makan, lalu sang ibu datang membawa makanan untuk menyuapinya.
Setelah Santo tahu akan semuanya, ingin sekali dirinya melemparkan bom molotov ke klinik sang mantan istri, membakar klinik tersebut tanpa sisa!
Tapi apalah daya? Tak ada kekuatan dan tak mungkin melakukan hal yang demikian?! Hanya bisa diam, karena dia pun tahu, nanti juga ada waktunya untuk Endang mendapatkan apa yang dilakukan selama ini.
"Kamu jangan banyak melamun! Terus berdoa dan bersusah," ucap ustadz Anwar menepuk pundak Santo, tersenyum hangat menatap ke arahnya, yang sekarang ini sudah duduk di kursi sebelah kanan, sedangkan Santo duduk di kursi sebelah kiri.
"Terima kasih wak, atas nasihatnya. Aku malu sama uwak, selalu merepotkan," Santo menunduk, ada buliran halus mengalir di kedua kelopak matanya.
"Jangan sungkan! Lagian, kau sudah ku anggap seperti keponakan ku sendiri," ucap ustadz Anwar melihat ke depan, "tuh, keponakan yang satunya juga datang!" lanjutnya.
Terlihat anak muda turun dari mobil yang dikendarai temannya, dia melambai setelahnya mobil itu pun kembali berjalan.
Pemuda yang dibilang keponakannya itu langsung mengucap salam dan dibalas salam pula oleh ustadz Anwar dan Santo, sambil berjalan mendekat dengan senyuman.
Namun aneh, setelah selesai bersalaman dengan dirinya dan Santo, raut wajah pemuda itu tampak berubah. Yang awalnya begitu enak dipandang, tapi sekarang menjadi wajah kusut tak karuan.
Seakan-akan angin yang berhembus dari dedaunan yang ada di depan rumah itu tak menerpa wajahnya, yang ada hanya kengerian seperti habis dikejar anjing tetangga karena ketahuan mencuri buah mangga.
Ustadz Anwar menatap aneh sang keponakan, tapi lirikan matanya langsung mengarah ke satu arah, enggan bertanya tentang apa yang terjadi. Namun beliau tahu, mengapa tingkah keponakannya seperti itu.
Lagi dan lagi, hanya kurun waktu yang tak lama antara Santo dan keponakannya ini, yang tak lain adalah Tirta. Ustadz Anwar mengusir makhluk yang mirip bungkusan permen jahe, -
berwarna putih kumal, yang seperti sudah puluhan tahun tidak pernah dibawa ke laundry, yang kini sedang berdiri di depan gerbang rumahnya.
Ustadz Ilham hanya menggelengkan kepala setelahnya, karena baru sebentar saja beliau sudah mengusir dua makhluk berbeda yang datang ke rumahnya, yang mengikuti seseorang, yang entah apa sebabnya itu pun, beliau tak tahu.
"Sudah, duduk! Ada apa," dengan tarikan nafas panjang, ustadz Anwar bertanya seraya duduk di kursi.

Tirta langsung melirik ke arah belakang, tempat dimana sosok pocong berdiri setelah mengikutinya, -
namun tidak berani masuk ke dalam halaman rumah sang paman, lantas duduk di kursi yang menghadap sang paman dengan ekspresi penuh terima kasih.
Kursi yang ketiganya duduki, posisinya membuat segitiga, yang di mana meja bundar ada ditengah, di antara mereka.
Jadi bisa dikatakan, kalau Tirta duduk bisa menghadap ke arah sang paman dan Santo, lelaki yang belum begitu di kenalnya.
Tirta sendiri tinggal bersama kedua orang tuanya, dan sesekali menjenguk sang paman atau berkunjung karena sekalian lewat, seperti sekarang ini. Tapi kali ini dia berkunjung karena ada yang mengikuti, padahal dirinya tidak ikut makan bersama Aden dan Maya.
Namun entah mengapa dirinya yang hanya bisa melihat makhluk tak kasat mata itu, seolah menjadi ancaman bagi pak Budi, yang tahu kalau kalau pemuda yang hanya mampir di tempatnya tidak memesan makanan, dan takut kalau pesugihan nya dibongkar.
Pak Budi yang awalnya melihat gelagat aneh dari ketiga remaja itu, yang sempat berpapasan dengannya sewaktu masih berdiri di depan jualannya, langsung masuk dan memperhatikan gelagat aneh dari Tirta.
Dia pun langsung menyimpulkan dan menyuruh salah satu pocong peliharaannya untuk mengikuti Tirta, dan jikalau memang si Tirta membeberkan kebenaran akan hal itu, tak segan-segan pak Budi menyuruh pocong tersebut untuk mengambil nyawa.
Entah apa yang terpikirkan oleh para pelaku pesugihan? Mereka tak peduli akan nyawa seseorang, yang penting perut sendiri bisa kenyang.
Bahkan jika ada ritual yang aneh-aneh pun, mereka tak enggan untuk melakukannya, asalkan bisa cepat kaya.
Mereka pun tak memikirkan dampak bagi orang lain, bahkan bagi diri mereka sendiri dikemudian hari, yang pastinya akan menanggung semua resikonya, bahkan harus menjadi budak di alam sana untuk membayar apa yang mereka dapatkan di dunia.
___

Ditempat lain, Endang keluar dari dalam mobilnya yang terparkir di depan klinik.
Klinik yang tak lain adalah miliknya, tapi bukan berarti Endang seorang dokter ataupun perawat.
Justru Endang tak mengerti akan ilmu kedokteran, dan memperkerjakan seseorang untuk menjadi dokter di klinik miliknya.
Seperti biasa, kedatangannya untuk melihat daftar orang-orang yang pernah berobat ataupun periksa ditempat ini.
Ia melihat urutan nama, alamat dan sebagainya.
Apalagi baru saja ada ibu hamil besar yang berpapasan dengannya di pintu masuk.
"Ibu tadi namanya siapa ya? Perasaan kenal," Endang berbohong untuk mengetahui nama dan alamat lengkap ibu hamil tersebut.
"Oh, itu bu Mustika kalau gak salah," jawab seorang perempuan bagian administrasi, yang sekarang sedang berdiri dibelakang sebelah kanan Endang, karena tempat duduknya dipakai oleh sang bos, alias Endang.
"Mustika-mustika? Oh iya, Mustika yang rumahnya di jalan ini. Aduh hampir lupa, sudah lama tidak ke rumahnya." Endang ngomong sendiri, karena perempuan yang dibelakangnya hanya diam, tidak menanggapi gumaman pelan sang bos, yang sengaja bicara agak sedikit keras agar didengar.
"Hm, Kuntili ...! Pas banget nih, udah waktunya kamu mencicipi janin yang lezat." batin Endang sambil melihat ke arah kiri belakang, -
yang di mana sosok Kuntili, alias kuntilanak peliharaan nya yang kini sedang berdiri sambil menyeringai, menunjukkan deretan gigi-giginya yang seakan sudah tak sabar lagi untuk menyantap makanan.
___

Beberapa tahun silam, Endang yang masih gadis menangis dipangkuan sang ibu. Bagaimana hatinya tak hancur, kala tahu Santo, orang yang sangat dicintainya malah memilih Sri.
Sering pula Santo menanyakan Sri padanya, dan curhat akan rasa cintanya pada Endang, seseorang yang dianggap sahabat oleh Sri, di mata Santo.
Endang benar-benar hancur, merasa hidupnya tak lagi berguna. Bahkan sudah ada niatan untuk mengakhiri nyawanya, daripada menahan sakitnya hati yang terus berlarut-larut seiring berjalannya waktu.
Bu Haity menghela nafas panjang, sambil mengelus rambut belakang sang anak. Ia melirik ke arah sang suami yang hanya diam menatap sedih akan keadaan putrinya saat ini.
Pak Suparno menatap tajam dalam diam, dia menarik-narik pelan janggutnya yang sudah ada sedikit warna putihnya.
"Mungkin, sudah saatnya ia tahu, bu," pak Suparno memejamkan kedua matanya yang masih asik mengelus jenggot panjangnya, namun kini pandangannya mengarah ke depan, tidak lagi melirik ke arah kiri, di mana Endang sedang menangis dipangkuan sang ibu.
Endang yang kaget akan perkataan sang bapak, langsung menghentikan tangisnya. Pikiran yang tidak-tidak pun berkecamuk. Bagaimana tidak? Ada hal yang disembunyikan kedua orang tuanya, membuat Endang berpikir kalau dirinya bukanlah anak pak Suparno dan bu Haity.
"Apa aku bukan anak bapak dan ibu," tanya Endang menatap keduanya secara bergantian.
"Bukan itu nak! Kamu adalah darah daging ibu dan anak bapak! Walau kelahiran mu agak terlambat, tapi kamu lahir dari rahim ibu," bu Haity menjelaskan dengan mata berkaca-kaca, masih mengelus rambut sang anak.
"Lalu, apa yang ingin diberitahu? Apa yang kalian sembunyikan dariku," Endang bertanya setengah teriak, membuat kedua orang tuanya saling pandang.
Pak Suparno menghela nafas panjang, lalu menceritakan semuanya, dan asal-usul akan kekayaan mereka.
Tentu saja Endang merasa syok berat, ia hanya bisa diam setelah tahu kejadian yang sebenarnya.
Bukan itu saja, karena setelah sang ibu menghela nafas panjang, ia pun turut menceritakan kalau dulu keluarga mereka memanglah keturunan dari keluarga kaya, tapi kakek dari temannya, -
yang tentu saja kakeknya dari Sri, mengendus usaha gelap yang dilakukan kakeknya Endang, dan berbuntut kerugian besar, hingga bangkrut kemudian.
Itulah alasan kedua orang tuanya tidak ingin punya anak untuk sementara waktu, sampai waktunya tiba.
Keduanya merantau, bahkan coba buka usaha, tapi tetap gagal.
Hingga tanpa sengaja mereka kenal dengan seorang dukun, dan memberi mereka kuntilanak sebagai peliharaan, dan akan terus berlanjut ke keturunannya kelak.
Belasan tahun menikah, mereka pun mempunyai anak yang sekarang diberi nama Endang Puspita Kemala, yang suatu hari nanti akan melanjutkan garis keturunannya, -
yang memelihara kuntilanak dan klinik yang entah mengapa bisa dibangun dan dijadikan klinik swasta oleh kedua orang tuanya.
Ada uang, apa pun bisa dilakukan.
"Bapak tidak pernah menyimpan dendam pada pak Purnomo (kakeknya Sri). Tapi, mereka selalu ikut campur dan membuat kita seperti ini! Jadi--" pak Suparno ragu untuk melanjutkan kata-katanya.

"Jadi apa, pak," Endang penasaran.
"Heh ...," pak Suparno menghela nafas panjang, lalu bangkit dari Sofa dan berjalan ke kiri menuju arah kamar, meninggalkan keduanya, "Mulai besok, Santo akan tergila-gila padamu!" lanjutnya tanpa memalingkan badan, saat baru beberapa langkah.
Guratan di kelopak mata, dan senyuman kini tampak di wajah Endang.
Ya, ia tahu apa yang akan dilakukan sang bapak, setelah awalnya sudah menjelaskan semuanya.
Ia pun sudah bertekad untuk menerima warisan itu. Tapi awal dari semua ini, ada petaka untuk kedua orang tuanya di hari suatu hari nanti.
***

Diawal pergantian hari, waktu menunjukkan pukul 00 dinihari.
Malam itu cahaya bulan bersinar terang, cahayanya sampai masuk melewati angin-angin di dalam kamar yang gelap gulita.
Keheningan yang amat nyaman, membuat seorang pemuda bertubuh kekar dengan wajah tampan, tidur dengan pulas. Padahal, suara binatang malam begitu lantang terdengar. Bukan itu saja, detak jam pun berasa nyaring terdengar, seakan berada didekat telinga.
Embun mulai membasahi dedaunan, angin dingin pun bertiup begitu perlahan, membuat nyaman, walau tidur didalam kegelapan dan tak menyalakan AC di dalam kamar.
Tapi di detik kemudian, semuanya berubah ...!
Angin kencang mulai menyambar, menyibakkan gorden yang menutupi jendela, yang keluar dari cela-cela nya.
Seberkas asap putih mulai memasuki kamar gelap itu, dan entah mengapa, hawa panas nan pengap langsung menyelimuti tubuh pemuda tersebut, yang tak lain adalah Santo.
Kini keringat mulai bercucuran, tidurnya mulai tak nyaman. Masih di dalam mimpi, namun seakan sadar dengan apa yang terjadi.
Mata terpejam, tidur terlentang, tapi seakan ditarik dari dalam mimpi indahnya itu, untuk melihat sesuatu yang mulai datang.
Sesuatu itu bak kain putih terbang di atasnya, namun ada siluet wajah, tubuh, dan sebagainya, mengisyaratkan kalau itu bukanlah kain semata, namun seperti seseorang yang tengah melayang di udara.
Tapi merupakan sosok perempuan berwajah buruk, yang di sekitaran wajahnya dipenuhi dengan darah merah yang mengental.
Sosok itu perlahan turun dari ketinggian, lidahnya menjulur begitu panjang, kemudian menjilati wajah Santo secara perlahan.
Santo yang hanya bisa diam tanpa menggerakkan anggota badan, hanya bisa menatap dan pasrah dengan apa yang memasuki visinya.
Di detik itu, rasanya seperti berjam-jam.
Lama dan sangat lama, "Apa ini mimpi? Bangun Santo! Bangun ...!" Hanya itu yang bisa dia gumam kan di dalam hatinya.
Lendir yang lengket mulai keluar dari sosok itu, lalu membasahi wajahnya.
Lendir bercampur darah dengan bau amis, mulai menjalar membasuh muka.
Jantungnya memompa begitu kencang, kasur pun tak luput dari keringat dingin yang keluar dari sela pori-pori.
Tak sampai satu menit, namun berasa berjam-jam, kini dia mulai membuka mata sambil menyeka keringat di keningnya, "Mimpi apa aku barusan? Kok seperti nyata?"
Saat kedua matanya terbuka lebar, Santo hanya melihat langit-langit kamarnya, dan tak ada apapun di atas tempatnya berbaring.
Melihat kanan dan kiri, tetap tak menemukan apapun!
Santo menghela nafas panjang, kembali melihat langit-langit kamarnya, dan dalam lamunan sejenak, dia memikirkan gadis yang sangat disukai, siapa lagi kalau bukan Sri!
Namun ada yang aneh kali ini, karena ada gadis lain, yang ikut masuk ke dalam lamunannya. Gadis yang merupakan teman sekaligus sahabat dari Sri, yang tentu saja ia adalah Endang!
Di detik berikutnya, Santo membayangkan kekurangan Sri dengan sifatnya selama ini. Perlahan, api benci mulai membara di dalam dada.
Padahal biasanya ... dia takkan mempermasalahkan hal itu, karena mengira kalau Sri adalah gadis tangguh, yang pantas untuk menjadi pendamping hidupnya.
Tapi kini semua berbalik! Bahkan Santo mulai berpikir, apa gunanya kalau kedepannya menjalani hubungan dengan Sri? Dengan seorang gadis yang perilakunya tak seperti gadis kebanyakan? Sangat berbeda dengan Endang yang sangat feminim dan begitu sedap dipandang.
Awalnya Santo tak pernah memikirkan Endang, tapi entah mengapa kini dia terus memikirkannya? Sampai bayangan Sri mulai tenggelam kedalam kekosongan!
Santo, mulai menaruh hati pada Endang, dan ada hasrat untuk langsung memiliki nya. Seakan lupa dengan hati sanubari nya, yang mencintai Sri apa adanya.
***

Hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Seperti yang kita tahu kalau Santo dan Endang resmi menikah. Bahkan sampai mempunyai seorang anak perempuan yang cantik jelita.
Akan tetapi, kebahagiaan tidak bertahan lama.
Terbukti, saat Santo mulai heran dengan kondisi badannya yang semakin tahun semakin menurun.
Tubuh yang dulu macho, malah sekarang memperlihatkan setiap tulang baik dipunggung, atau dibagian perut.
Pipinya pun nampak peyot, dan kantung mata yang makin hari semakin menghitam saja, seolah dirinya tak pernah tidur sama sekali.
Entah apa yang menggerototi tubuhnya, Santo sendiri kurang tahu! Apalagi ... setiap kali di periksa, tak didapati penyakit apapun itu!
Tubuh Santo kurus kering bak mayat hidup, seolah jiwanya diserap oleh keberadaan yang selalu menghantui di setiap malam, disaat terjaga maupun disaat tertidur.
Santo juga pernah mengalami kelumpuhan di kedua kakinya, tapi hanya hitungan menit saja. Entah apa yang mengawali semua itu, yang dia tahu kalau malamnya, kedua betisnya berasa di cengkraman oleh keberadaan yang tak kasat mata.
Santo merasa aneh akan perubahan pada dirinya, yang semakin hari malah tambah buruk saja!
Pernah merasa tubuhnya kembali segar, tapi tak lama. Intinya Santo yang sekarang, menjadi orang yang mudah sakit-sakit-an!
Tapi semua rasa yang ada, tergantikan oleh raut wajah sang istri tercinta, yang sangat menyanyangi, dan memperhatikannya. Apalagi kalau melihat senyum manis si kecil, seolah dia lupa kalau dirinya menanggung beban lara yang merayap perlahan, mengikis ketahan tubuhnya.
Kini senja telah datang, kantuk mulai menyerang.
Santo perlahan menuju kasur, merebahkan tubuhnya untuk tidur, mengikuti sang mentari yang seakan tidur pula, karena waktu siang bentar lagi usai, diselingi oleh pergantian malam yang setiap malamnya berasa amat mencekam.
Pikirnya kala itu, lumayan tidur sore supaya malamnya bisa begadang. Entah sambil nonton bola, atau lihat berita, yang penting tidak bertemu dengan sosok menyeramkan yang selalu hadir didalam mimpinya.
Tapi apa disangka? Sore itu dia terlelap sampai sang langit menampakkan fajar.
Tentu saja mimpi seram yang amat buruk pun datang, sebelum fajar mampu membangunkannya dari tidur.
Di dalam mimpi yang setiap malam hampir sama, melihat sosok itu mendekat, lalu sedikit kemudian berubah menjadi rupa sang istri, lalu melakukan hubungan itu dengan makhluk tersebut.
Anehnya Santo sadar kalau sosok itu bukanlah istrinya. Apalagi kala keduanya dalam posisi saling memeluk, sangat terasa kuku-kuku panjang dari makhluk tersebut mulai menggores anggota tubuhnya.
Setiap bangun, merasa seperti orang yang bodoh! Yang tahu kalau di dalam mimpi bukan sang istri, -
tapi tak pernah sekali pun bisa menolak ajakan makhluk yang rupa aslinya begitu mengerikan, yang terkadang dia lihat juga didalam kegelapan, kala malam datang, dan lebih memilih untuk bergadang.
•••

Terima kasih buat sobat yang masih setia menyimak cerita ini.
Sebelum lanjut, buat sobat yang mau mendukung Rama bisa membagikan sedikit rejekinya ke Dana/Shoppepay : 085770314322

Tetep semangat, jaga kesehatan dan jangan lupa komen/like/retweet.
Terima kasih 🤗

•••
***

Siang itu, Santo mengendarai mobil seorang diri. Dia pergi tanpa tujuan, hanya berniat untuk cari udara segar.
Entah sampai di perkampungan apa, -
Santo berhenti kala mendengar suara adzan dhuhur berkumandang.
Sangat jelas diingatan, kapan terakhir kali dirinya mendekatkan diri pada Tuhan.
Masih merenung, memperhatikan orang menuju musholah yang ada diseberang jalan. Batinnya merasakan sebuah dorongan untuk segera menginjak kaki ditempat tersebut, seraya bertobat, teringat akan dosa-dosanya karena telah melalaikan sholat.
Menarik nafas panjang, kemudian memutar kunci diantara setir, untuk mematikan mesin mobil.
Santo segera melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu mobilnya, setelah menaruh kunci mobil di dalam saku celana.
Setelah menutup dan mengunci pintu, segera menyebrangi jalan, menuju musholah yang tampak terlihat didepan gerbangnya ada kotak amal.
Terus berjalan hingga terlihat beberapa bagian dari musholah yang sedang direnovasi. Tepatnya dibagian tempat wudhu dan bagian sebuah ruangan yang mungkin adalah ruang DKM-Dewan Kemakmuran Musholah.
Sampai di pelataran depan musholah, dia segera duduk untuk menanggalkan sepatu yang dikenakan. Namun ada yang aneh, -
ekor matanya mendapati seseorang tengah berdiri memandang ke arahnya dari tempat wudhu. Mungkin melihat orang baru, jadi wajar ada yang memperhatikannya, pikir Santo kala itu.
Segera berpaling sambil berdiri, melihat orang dengan mengenakan surban yang masih menatap lekat ke arahnya.
Santo pun berjalan mendekati tempat wudhu sambil tersenyum ke arah orang itu, dan orang tersebut pun balik tersenyum, lantas segera ambil wudhu.
Melihat kotak amal lagi di depan tempat wudhu, batin Santo langsung tergugah, apalagi melihat sekitar yang pastinya butuh dana untuk pembangunan.
Dengan segera dia mengambil dompet dari saku celana bagian belakang, mengambil uang seratus ribuan, lalu dimasukkan ke dalam kotak amal.
Jelas orang tersebut tahu, karena sesekali masih mencuri pandang ke arah Santo.
Namun orang itu masih tetap diam dan melanjutkan wudhu nya.
Setelahnya, Santo bergegas mengambil wudhu di samping orang tersebut, lalu di susul orang lain yang juga hendak ambil wudhu.
Ternyata orang yang terus memperhatikannya adalah seorang ustadz, Santo tahu setelah orang yang hendak ambil wudhu menyapa beliau.
Namun Santo masih cuek, sampai dia lupa setelah membasuh tangan, lantas membasuh bagian yang mana?
"Kening, mas ....." ucap ustadz mengingatkan, karena terlihat dari wajah Santo yang kebingungan dan berhenti setelah membasuh kedua tangan.
Santo melirik, tersenyum dan dijawab senyum pula oleh sang ustadz, lalu melanjutkan wudhu nya.
"Kira-kira besok bisa dilanjutkan tidak, ustadz," tanya orang itu setelah selesai ambil wudhu.

"Kayaknya belum, kita masih kekurangan dana." jawab sang ustadz sambil berjalan, diiringi oleh orang tersebut. Sedangkan Santo mengekor keduanya, tapi ada jarak diantara mereka.
Singkatnya, sholat dzuhur selesai dilaksanakan.
Ternyata ustadz yang sempat tegur sapa lewat senyum dengannya merupakan imam di mushola tersebut, dan selepas sholat juga, Santo tidak langsung kembali ke mobil, tapi duduk di teras menunggu sang ustadz.
Setelah mendengarkan perbincangan setelah wudhu, Santo berniat untuk jadi donatur di mushola tersebut. Inilah alasan dirinya menunggu sang ustadz keluar.
Tapi lumayan lama ustadz dengan orang yang sempat berbincang dengan beliau belum kunjung keluar dari dalam mushola, padahal, para jamaah lelaki maupun perempuan sudah keluar sedari Santo keluar dari dalam musholah.
Menunggu sekitar 10 menitan setelah musholah tampak sepi, ustadz dan orang tersebut akhirnya keluar juga, dan Santo segera berdiri menyambut dua orang tersebut yang kini berdiri di hadapannya, "Ustadz, bolehkan aku jadi donatur dalam pembangunan musholah ini,"
"Alhamdulillah ...," jawab keduanya lantas saling pandang.

"Kebetulan ada pak DKM di sini, bisa langsung bicarakan dengan beliau," ucap sang ustadz, "Oh iya, habis ini kalau ada waktu, mas nya bisa mampir ke rumah, ada hal penting ...," lanjut sang ustadz menunjukkan rumahnya.
"Hal penting?" Santo bertanya, tapi sang ustadz tidak menjawab, hanya tersenyum sambil meninggalkan keduanya.

"Boleh tahu nama mas siapa? Dan--" DKM langsung bertanya, seraya menggandeng bahu Santo untuk masuk ke dalam musholah, guna membicarakan hal tersebut.
Santo mengikuti ajakan beliau, dia tidak tahu sang DKM bicara apa saja, karena kepalanya sesekali melihat arah belakang, ke arah sang ustadz yang berjalan meninggalkan musholah, -
dengan sebuah pertanyaan dalam benaknya.
Bingung, baru pertama kalinya ke tempat ini, tapi sang ustadz mau membicarakan hal penting dengannya.
"Ah, mungkin mau membicarakan tentang donatur. Lagian gak ada kesibukan pula, tak ada salahnya habis ini mampir ke rumahnya ...." pikirnya setelah membalikkan kepala ke depan.
Singkatnya, setelah proses pendataan dan memberikan uang pada ketua DKM, Santo dan sang DKM berjalan menuju rumah sang ustadz.
Tapi ketua DKM tidak ikut, beliau lanjut berjalan pulang, sedangkan Santo langsung disuruh masuk oleh sang ustadz yang sedang menunggunya didepan teras dengan lambaian tangan.
Santo mengucap salam, dan dijawab salam pula oleh sang ustadz. Dia melangkah kaki, mengedarkan pandangan ke arah taman yang ada di depan teras rumah tersebut, -
dan lanjut berjalan menemui sang ustadz yang duduk di salah satu kursi, diantara tiga kursi yang saling berhadapan dengan meja bundar ditengahnya.

"Silahkan di minum, mas," ucap sang ustadz setelah Santo duduk di hadapannya.
Bukan menyuguhkan kopi, tapi air putih.
Santo melirik ke arah gelas kaca tersebut, lalu melirik ke arah sang ustadz yang menatapnya dengan senyum.
Merasa tak enak hati, Santo segera meraih gelas kaca tersebut dan meminum airnya sedikit.
"Bagaimana mas? Panas," tanya ustadz itu sambil tersenyum.

"Airnya gak panas pak ustadz, tapi badanku yang panas, he he ...," jawab Santo meraih kerah baju sambil mengibas-kibaskan kerah bajunya, "mungkin panas dalam," lanjut Santo.
"Bukannya dari awal mendekati musholah badannya sudah panas," tanya sang ustadz lagi sambil tersenyum.

Santo terdiam, merasa aneh karena apa yang dia rasakan, ustadz di depannya seolah tahu.
Bahkan dari awal kedatangannya ustadz tersebut tak segan untuk memandang wajahnya, wajah orang asing yang baru menginjakkan kaki di musholah tempatnya menjadi imam.
"Mas nya orang baik, tapi ada sesuatu yang tidak baik, yang kino berdiam diri ditubuh mas--" lanjut sang ustadz terpotong.

"Santo, pak ustadz," jawab Santo mengernyit bingung dengan apa yang disampaikan.
"Oh iya mas Santo, maaf belum sempat berkenalan. Namaku Anwar, mas,"

"Oh iya pak ustadz Anwar, maksud pak ustadz di dalam tubuh apa maksudnya," Santo bingung, melipat keningnya.
"Kuntilanak, mas! Atau lebih tepatnya, mas Santo terkena pelet dari parewangan berwujud kuntilanak!" tegas ustadz Anwar dengan mata terbelalak, seolah tatapan itu ditunjukkan untuk Santo.
•••

Baca juga seri filler dari cerita DEDADEN, dengan judul NGINTIL (Tumbal Perawan).
Ebooknya tersedia di @karyakarsa_id
Untuk melihat update part nya, silahkan cek memalui thread ini :

•••
Santo terkejut dengan apa yang didengar, apalagi ekspresi ustadz Anwar yang mendadak berubah.
Bukan tanpa alasan ustadz Anwar langsung bicara ke intinya, -
karena sebelumnya beliau sudah berkomunikasi dengan Santo yang satunya, atau bisa dikatakan khodam yang menyerupai Santo dan mendampingi Santo dari lahir.
Bukan Santo saja yang mempunyai khodam. Semuanya sama, punya khodam dari semenjak lahir dan akan mengikuti kemana pun pemilik tubuhnya pergi.
Makanya setiap khodam yang ditinggal mati tubuh, dapat tahu akan masa lalu dari sang pemilik tubuh sebelum meninggal.
Mungkin kebanyakan tahu akan istilah 'sedulur papat limo pancer' yang merupakan khodam, pendamping atau apapun yang berkaitan dengan keberadaan makhluk astral.
'sedulur papat limo pancer' juga bisa diartikan menjadi 5 bagian, yakni ... Kakang Kawah, Adi Ari-Ari, Getih, Puser, dan Pancer.
Nah, seperti halnya para dukun yang tahu masalah dari pasiennya sebelum bertanya. Karena sang pasien yang hendak bertandang ke rumah dukun, -
khodam pendampingnya sudah memberitahu maksud kedatangannya pada sang dukun, atau melalui parewangan dari sang dukun tersebut, sebelum orang tersebut menginjakkan kaki di rumah sang dukun.
Hal inilah yang tidak bisa kita tutupi jika mengenal anak indigo, ataupun orang yang mempunyai keahlian spiritual. Apa yang kita ucapkan dan sampaikan, -
mungkin takkan sama dengan apa yang disampaikan sang khodam pendamping yang jelas akan memberikan kejujuran jika mendapatkan pertanyaan.
Santo menunduk, memegang dagu sambil berpikir.
Tapi dengan tenang dia menerima kenyataan itu, entah bagaimana dia meyakini akan hal tersebut.
Apalagi kejadian aneh mulai menimpa saat mendadak jatuh hati pada Endang, yang sebelumnya ditampakkan dulu sosok perempuan yang sangat mengerikan, yang terus mengganggunya hingga sekarang!
Andai kalimat itu keluar dari mulut lain, pastinya Santo akan menyangkal! Bahkan, bisa saja marah dan mengajak berantem orang tersebut.
Tapi andai juga ustadz Anwar tidak menetralisir energi negatif dalam tubuh Santo sebelum mengatakan itu, beliau pun pasti kena marah pada saat ini.
Entah mengapa setelah bertemu dengan ustadz Anwar, pikiran Santo jadi agak jernih, mampu menimbang baik dan buruknya penyampaian dari sang ustadz.
Dengan segera dia membulatkan tekad, mempercayai apa yang ustadz Anwar ucapkan.
"Pantas saja, selama ini aku merasa ada yang aneh! Tapi keanehan itu tak dapat aku rasakan! Tentang bagaimana dan mengapa jadi seperti ini," jawab Santo kemudian, sambil mengangkat kepalanya, melihat ke arah ustadz Anwar yang kini kembali tersenyum.
"Maaf mas Santo, bukannya mau ikut campur! Tapi melihat kondisi mas Santo yang sekarang, kalau dibiarkan akan tambah buruk, -
dan takutnya suatu hari nanti, mas Santo bisa gila, atau lebih buruknya bisa kehilangan nyawa!" tampak air menggenang di mata ustadz Anwar saat menjelaskan kalimat itu.
"He he, gak habis pikir, mengapa ia melakukan ini padaku? Lalu, apa yang harus aku lakukan pak ustadz," Santo tersenyum kecut melihat kondisinya yang ternyata akibat dari pelet yang bersarang di tubuh.
Ustadz Anwar tidak langsung menjawab, beliau menatap ke arah luar gerbang dengan tajam. Di mana sosok yang bersarang di tubuh Santo sudah keluar, tapi masih menunggu inangnya untuk kembali dimasuki.
Makhluk itu tampak marah, terlihat dari raut wajahnya yang tak sedap. Tapi apalah daya, lepas dari Inangnya, kuntilanak itu tak mampu menginjakkan kaki lebih jauh.

"Sebaiknya mas Santo pulang saja dulu! Ngomong baik-baik sama istri dan kedua orang tuanya."
Lagi ... Santo mengernyitkan dahi, tidak percaya dengan apa yang terjadi! Bagaimana tidak? Kalau bukan hanya istri saja yang disebut, tapi kedua orang tuanya juga! Yang jelas kemungkinannya kalau hal itu dilandasi oleh dukungan dari kedua mertuanya.
Santo mendecakkan lidah, sambil menggelengkan kepalanya secara perlahan.
Lantas, dia melihat ke arah luar gerbang, sebagaimana ustadz Anwar lihat sebelum kembali menatap ke arahnya.
Dia takut jika pulang, lalu timbul benci terhadap sang ustadz karena nanti berubah pikiran dan mengatakan kalau ustadz Anwar hanya memfitnah istri dan kedua orang mertuanya.
"Jangan ragu, mas! Mungkin hari ini kita dipertemukan untuk mengatasi masalah ini! Aku sendiri takkan berani mengatakan ini ... -
atau menolong mas Santo, kalau ki Aji Cohyo Sukmo tak menyuruhku! Sangat aneh kan mas, kita saja baru saling mengenal," akhir kata ustadz Anwar dibarengi dengan senyuman.

"Ki Aji Cohyo Sukmo," Santo bertanya, dan semakin banyak pula tanda tanya didalam kepalanya.
Tiba-tiba pager(dibaca pejer)nya berbunyi.
Santo segera berdiri untuk mengambil pager di saku celananya, melihat pesan yang masuk dari Endang, -
yang memberitahukan kalau anaknya mendadak demam, dan menyuruhnya segera pulang!
Dengan sigap, Santo langsung pamit. Dia pun buru-buru untuk menuju mobilnya yang terparkir di seberang jalan.
Lantas, apa yang akan Santo lakukan setelah berada di rumah? Apakah dia akan mempertanyakan masalah pelet? Atau melupakan dulu hal tersebut, karena Mega mendadak terkena demam?
Nantikan kelanjutan di DEDADEN bab 2 : Madep Rai Mungkur Ati
Baca cerita lainnya, list judul beserta link sudah tertera di situs linktree: linktr.ee/RamaAtmaja_HCR

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Rama Atmaja

Rama Atmaja Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @RamaAtmaja_HCR

Dec 11, 2023
"Hati-hati, Ras, jalannya becek," teriak Bu Tati saat Laras sudah melangkah pergi.

"Iya, bu," jawab Laras singkat, meninggalkan ibunya yang duduk cemas di teras rumah.
Sambil menahan cemas, Bu Tati duduk di teras rumah, memandangi langit yang mulai memudar warnanya menuju senja. Setiap detik terasa seperti jam bagi hatinya yang gelisah.
Sementara itu, Laras berjalan dengan hati-hati di jalanan yang becek, memegangi tangannya erat-erat agar tidak tergelincir. Dia tiba di rumah Bu Ambar dan langsung mengetuk pintu dengan penuh harap.
Read 48 tweets
Nov 24, 2023
MAPAG

"Tumbal anak, tumbal diri, pesugihan merajut kisah kelam yang memakan korban."

@FaktaSejarah @bacahorror @IDN_Horor @threadhororr @P_C_HORROR @autojerit
#ceritaserem Image
Aku akan menceritakan sebuah kisah. Di malam yang berembun di tahun 90-an, seorang anak laki-laki bernama Boy pulang seorang diri setelah menonton layar tancap. Saat melewati gang sepi, keanehan mulai terkuak.
Boy melihat sebuah keranda mayat terbang membelakangi, dan seperti tak terkendali, ia mengikuti keranda itu yang melintasi gang demi gang. Hingga pada akhirnya, keranda berhenti di sebuah rumah, terungkap bahwa empat makhluk hitam pekat seperti asap yang memikulnya.
Read 118 tweets
Jun 3, 2023
GEMBUNG KUNTILANAK

- 3 hari dalam wujud Kuntilanak -

Narasumber : Dodi

@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR @threadhororr

Untuk menonton atau dengar, bisa kunjungi link yang di atas versi video audio singkat dari cerita ini.
Versi thread agak berbeda dengan menambahkan narasi agar sedikit panjang dari versi di youtubenya. Tapi dari inti ceritanya sama dan cerita ini terinspirasi dari kejadian nyata. Image
Di sebuah Desa yang terletak di kawasan Pantura, malam menyelimuti segala sesuatu dengan kegelapan yang pekat. Angin berhembus dengan ganas, seakan membawa cerita-cerita mengerikan dari masa lalu, menggerakkan daun-daun kering pohon-pohon tua yang berderit menakutkan.
Read 21 tweets
Mar 14, 2023
Image
Nurmi, nama gadis kelas 2 SMU yang kini terduduk lesu dibalik pintu. Bagaimana tidak? Sepulang sekolah ia mendapati rumahnya telah ramai orang, dan saat ditanya tak ada jawaban dari mereka, hingga ia masuk dan mendapati orang tercintanya terbujur kaku di atas ranjang.
Mak Selasih, atau yang lebih dikenal dengan mak Slambit (Peniti), karena ia selalu saja menempelkan peniti pada pakaian yang dikenakan, entah untuk apa itu, karena pakainya juga tidaklah rusak ataupun berlubang.
Read 14 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(