"Jika orang-orang dari Nyai Esa memiliki kelebihan dalam melakukan ngipri, maka, orang-orang dari artonegoro memiliki senjata mematikan yang bernama Jengges!"
15 Tahun setelah kejadian tragedi Ngipri Kethek, aku bersama dengan keluarga menempati sebuah tempat yang jarak dan lokasinya tidak terlalu jauh dengan rumah dari Keluarga Ningrat.
Semenjak kejadian tersebut, bapak dan juga Ibu sangat menjagaku dan juga Mas Rahardian. Katanya, semua memang akan berakhir. Akan tetapi, bekas dan dendam masih saja tersulut di dalam dada orang-orang yang membenci keluargaku.
Dan tepat saat itulah, hal yang tidak pernah kusangka-sangka terjadi begitu cepat. Saat dimana usiaku sudah merambah ke masa remaja, aku diminta oleh kedua orang tuaku untuk menjalankan sebuah ritual khusus.
Ritual ini dipergunakan untuk berjaga-jaga jika ada dan tiadanya kejadian yang sama itu akan terjadi.
Bagian I
‘’PESAN TERSIRAT’’
Bulan Suro …
Langit tidak seperti biasanya menampakkan wajah muramnya di pagi hari. Aku bergegas untuk berangkat sekolah karena memang sudah waktunya untuk menuju ke sekolah.
Usiaku sekarang adalah 15 tahun dan jaraku dengan Mas Rahardian tidak terlalu jauh. Kami berdua memang sangat akrab. Hampir setiap waktu kami bersama untuk mengerjakan masing-masing permasalahan kita secara musyawarah.
Bapak dan Ibu mengajarkan kami berdua untuk saling tolong menolong. Karena memang pekerjaan Bapak juga sebagai seorang tabib di desa, tidak heran, bapak selalu memberikan perhatian lebih kepada kami berdua untuk menjunjung tinggi rasa tolong menolong antar sesama.
Kegiatanku tidak terlalu banyak. Selain aku harus sekolah, aku juga dituntut untuk mengaji di salah satu Kyai yang ada di desa ini. Dia bernama Kyai Sukri. Dikenal sebagai guru ngaji yang sangat sabar dan telaten di desa ini.
Walaupun begitu, kedekatan antara Bapak dan juga Kyai Sukri benar-benar sangat erat. Jika memang ada seorang pasien yang mendatangi rumah Bapak dengan memiliki penyakit ghaib, maka, bapak dan kyai sukri yang akan menanganinya.
Perawakan Kyai Sukri sama seperti Kang Waris. Bapak menceritakan, jika Kyai Sukri sangat mirip dengan saudaranya yang telah meninggal dunia. Dia adalah Kang Waris.
Karena itulah, bapak dan juga Kyai Sukri saling menjaga satu sama lain untuk melindungi desa. Keduanya dikenal sebagai sesepuh desa karena telah menolong banyak orang yang mengalami penyakit aneh seperti santet, kesurupan, guna-guna dan lain sebagainya.
Sore itu, aku pergi ke rumah Kyai Sukri untuk mengaji. Biasanya, aku mengaji ke tempat Kyai Sukri bersamaan dengan Mas Rahardian.
Namun karena Mas Rahardian sedang sibuk dengan tugas sekolahnya, aku pun berangkat seorang diri dengan menggunakan sepeda yang bagian depannya terdapat sebuah ranjang kecil sebagai tempat penyimpanan tas.
Jarak antara rumahku dengan Kyai Sukri tidak terlalu jauh. Hanya saja, aku sering menggunakan sepeda untuk mendatangi rumahnya.
Sore itu, rumah Kyai Sukri tampak sepi. Tidak seperti biasanya, rumah Kyai Sukri benar-benar sangat sunyi dan tidak banyak anak-anak desa yang datang.
Jeda dulu bentar.
Dengerin podcast dari youtubenya bang @djomuhammad
Lingkar Tumbal Keluarga Guntoro
Saat tiba di rumah Kyai Sukri, aku langsung meletakkan sepeda di dekat pohon yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan tempatku mengaji. Setelah itu, aku ambil tas yang berisi Al-qur’an dan beberapa alat tulis yang biasanya aku gunakan tatkala ada pengajian tambahan dari Kyai Sukri
Dari luaran, aku mendengar suara merdu bacaan Al-qur’an Kyai Sukri saat menguruk ngaji beberapa anak desa yang belum selesai. Aku segera masuk ke dalam dengan cara menundukkan sedikit badan sebagai bentuk penghormatanku terhadap guru.
‘’Assalamu’alaikum.’’ Ucapku dengan merendahkan nada suara agar tidak mengganggu Kyai Sukri.
‘’Wa’alaikum salam. Aisyah … kemari nak.’’
Aku langsung menuju ke Kyai Sukri dan segera duduk di hadapannya sembari membuka tas yang di dalamnya terdapat sebuah Al-qur’an.
Setelah aku mengambil Al-qur’an, kyai sukri pun meminta kepadaku untuk membuka surat Al-jin.
‘’Buka surat Al-jin, nak.’’
‘’Al-jin, kyai?’’
‘’Iya. Surat Al-jin.’’
‘’Tapi kyai, saya masih di juz 16. Sedangkan Al-jin itu kan juz ke-29.’’
‘’Buka saja, nak.’’
Aku pun langsung membuka surat Al-jin yang berada di juz ke-29. Entah mengapa, tidak seperti baisanya Kyai Sukri memintaku untuk membacakan sebuah surat Al-qur’an yang belum aku gapai ini.
Setelah menemukan surat Al-jin, aku pun menatap wajah Kyai Sukri. Dia kemudian memintaku untuk membaca surat tersebut. Akan tetapi, aku merasa ada yang tidak beres. Mengapa di belakangku sudah tidak ada orang sama sekali? Kemana semua anak-anak warga yang tadi bersamaku.
‘’K—yai? Tadi mereka … ‘’
‘’Mereka santri-santri ghaibku. Baca saja sekarang, nak.’’
Jantungku mulai berdegup kencang. Keringat dingin mulai keluar secara perlahan-lahan. Jari jemariku ikut bergetar tatkala Kyai Sukri baru mengungkapkan bahwa hari ini tidak ada pengajian khusus kecuali aku dan para santri-santri ghaibnya.
Aku baru ingat jika ini adalah bulan suro. Bulan dimana para jin bertebaran di seluruh penjuru desa. Entah karena memang ini adalah hari raya bagi mereka semua, namun, aku sendiri percaya bahwa Kyai Sukri memiliki maksud tertentu agar aku bisa hadir di rumahnya.
Aku pun memberanikan diri untuk membacakan surat Al-jin ayat pertama,
(Katakanlah (Nabi Muhammad), “Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur’an yang kubaca).” Lalu, mereka berkata, “Kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan,)
Entah mengapa, aku merasa, leherku terasa berat. Batinku terasa tidak nyaman tatkala membacakan surat ini di hadapan Kyai Sukri. Tanganku juga tidak berhenti untuk bergetar.
Aku seperti di kelilingi oleh orang-orang yang tak kasat mata. Namun, aku tetap untuk menyelesaikan bacaan tersebut dengan membacanya dari ayat per-ayat.
‘’Yahdī ilar-rusydi fa'āmannā bih(ī), wa lan nusyrika birabbinā aḥadā(n).’’
(yang memberi petunjuk kepada kebenaran, sehingga kami pun beriman padanya dan tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kami.)
Mataku masih tertuju kepada mushaf Al-qur’an yang diletakkan di atas meja, akan tetapi, ada yang merasa aneh saat itu. Aku mendengar tarikan nafas berat dari Kyai Sukri. Beliau seperti merasakan beban yang berat di tubuhnya.
‘’Wa annahū ta‘ālā jaddu rabbinā mattakhaża ṣāḥibataw wa lā waladā(n).’’
(Sesungguhnya Maha tinggi keagungan Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.)
Tatkala aku membacakan ayat ke-3 dari surat ini, tiba-tiba, angin dari luaran berhembus dengan kencang hingga memberikan getaran hebat terhadap jendela rumah Kyai Sukri. Aku mencoba menghentikan bacaan tersebut karena merasa sedikit takut.
Belum lagi dengan batinku yang merasa bahwa ruangan ini begitu sempit. Rasanya, aku benar-benar mulai merasakan banyaknya keberadaan orang-orang yang tidak terlihat yang sudah duduk di sekitaranku.
Kyai Sukri mengetuk meja dengan menggunakan jari telunjuknya seperti memberikan tanda untuk diteruskannya bacaan Al-qur’an tersebut.
Aku kembali menundukkan wajahku dan memfokuskan diri untuk menyelesaikan ayat demi ayat dari surat ini.
Entah apa tujuan dan maksud dari Kyai Sukri untuk memintaku membacakan surat ini, akan tetapi, surat ini benar-benar bukan surat biasa yang aku baca tatkala dalam keadaan seperti ini.
‘’Wa annahū kāna yaqūlu safīhunā ‘alallāhi syaṭaṭā(n).’’
(Sesungguhnya orang yang bodoh di antara kami selalu mengucapkan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.)
Sudah 4 ayat yang kubaca dari surat ini. Punggungku merasa sangat pegal. Leherku terasa berat. Seperti ada yang meletakkan tangan dan menekannya di leherku dengan kencang.
Kyai Sukri masih memandangiku. Ia terus memintaku untuk membacakan ayat selanjutnya. Mungkin, beberapa ayat lagi Kyai Sukri akan menyuruhku untuk membacakannya. Gelagat dari jari-jemari Kyai Sukri kembali memberikan tanda dengan cara mengetukkan jari telunjuknya di atas meja.
‘’Lanjutkan, nak.’’
Aku menghela nafas sejenak. Di luaran, langit tampak gelap. Malam ini bisa jadi akan turun hujan deras. Seperti biasa, setiap bulan suro, desaku selalu mendapati hawa mendung yang datang secara tiba-tiba.
Cuaca seperti menyatu dengan adat yang telah dibiasakan di desa ini. Bulan yang di anggap sangat sacral pasti memberikan sebuah pertanda dan pembeda dari bulan-bulan lainnya.
‘’Wa annā ẓanannā allan taqūlal-insu wal-jinnu ‘alallāhi każibā(n).’’
(Sesungguhnya kami mengira bahwa manusia dan jin itu tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah.)
Sukri memintaku untuk kembali melanjutkan bacaannya. Akan tetapi, tubuhku keburu merasa seperti kepanasan. Bayangkan saja kita duduk seperti di kelilingi oleh orang-orang yang tak kasat mata, lalu, kita punggung dan leher kita seperti menahan beban yang sangat besar.
Entah mengapa Kyai Sukri memintaku untuk membacakan surat ini, akan tetapi, surat ini sangat berefek besar denganku.
(Sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari (kalangan) manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin sehingga mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat.)
Dan ketika ayat ke-6 aku bacakan, tiba-tiba, kyai sukri terbangun dari duduknya. Ia kemudian mengucapkan sebuah kalimat yang begitu membuatku merinding karenanya,
‘’Assalamu’alaikum, para danyang.’’
Aku pun perlahan menengok ke arah belakang. Hawa merindingnya begitu kuat. Baru kali ini, aku merasakan hawa merinding yang begitu jelas. Seluruh tubuhku tampak bergetar tatkala mendapati sebuah bayangan hitam yang berada di dekat pintu masuk rumah Kyai Sukri.
‘’K—yai? I—itu siapa?’’Kyai Sukri hanya terdiam. Ia tak menjawab pertanyaanku. Aku pun segera bangkit dari tempat dudukku dan berlindung tepat di belakang tubuh Kyai Sukri.
Di situ, terjadilah sebuah obrolan bathin antara Kyai Sukri dengan sosok bayangan hitam yang tidak terlihat bentukan wajah dan tubuhnya. Hanya terlihat bayangan hitam yang memanjang dan mengeluarkan hawa merinding yang menakutkan.
‘’Siapa yang mengirimmu ke sini?’’ Tanya Kyai Sukri kepada sosok bayangan hitam tersebut
Aku tidak bisa melakukan apa-apa kecuali berlindung di balik tubuh Kyai Sukri. Terlihat dari beberapa gerakan tangan Kyai Sukri yang meminta kepada makhluk tersebut untuk segera meninggalkan tempatnya.
Dan benar saja, tidak lama kemudian, bayangan hitam itu menghilang tepat di saat langit kembali menampakkan kecerahannya. Mendung yang tiba-tiba menyelimuti desa ini langsung menghilang bersamaan dengan kaburnya sosok hitam kiriman tersebut.
‘’Aisyah … ‘’
‘’Iya, kyai.’’
‘’Beritahu Bapakmu. Beberapa hari ke depan ada salah seorang warga yang terserang penyakit kiriman ghaib.’’
‘’Baik, kyai. Saya akan sampaikan ini kepada Bapak saya.’’
Kyai Sukri mengangguk paham. Ia kemudian mempersilahkan kepadaku untuk pulang.
Padahal, aku sendiri ingin menanyakan terkait apa tujuan dirinya memintaku untuk membacakan surat Al-jin hanya dengan ayat ke-6 saja?
Mungkinkah ayat yang aku bacakan seperti memberikan pertanda bahwa akan ada sebuah serangan di desa ini?
Kyai Sukri memang dikenal sangat penutup oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Kecuali kepada Bapakku. Dia sangat terbuka akan hal-hal yang selama ini ia sembunyikan di hadapan para warga.
Karena menurut Bapak, hanya dirinya lah yang mampu mengerti maksud dan tujuan dari Kyai Sukri serta hal-hal yang ia ketahui terkait dengan dunia tak kasat mata, bapak mampu menyeimbangkan obrolannya.
Bagian II
‘’MAS KRISHNA DAN
RADEN SUROPTO’’
Malam harinya, aku sampaikan pesan ini kepada Bapak. Kebetulan, saat itu Ibu dan Bapak sedang membicarakan sesuatu terkait dengan kedatangan Mas Krishna dan Raden Suropto yang nantinya akan berkunjung ke rumahnya.
Saat dimana Bapak dan juga Ibu sedang membicarakan terkait dengan kejadian masa lalunya, aku pun berencana untuk bergabung dan ikut dalam obrolan tersebut. Akan tetapi, bapak yang memang sudah mengetahui maksud dan tujuanku,
dia pun segera menanyakan pesan yang disampaikan oleh Kyai Sukri kepadanya,
‘’Ada pesan dari Kyai Sukri?” Tanya Bapak
Aku mengangguk sebagai tanda membenarkan pertanyaan yang diarahkan kepada Bapak kepadaku.
Bapak pun menyuruhku untuk masuk dan duduk tepat di sampingnya sembari memintaku untuk menceritakan pesan yang diberikan oleh Kyai Sukri untuk Bapaknya,
‘’Kata Kyai Sukri, Beberapa hari ke depan ada salah seorang warga yang terserang penyakit kiriman ghaib. Tadi, aku baru saja mendapatkan kejadian aneh di rumah Kyai Sukri.’’
‘’Kejadian aneh?’’
‘’Aku disuruh oleh Kyai Sukri untuk membacakan surat Al-jin hanya sampai ayat ke-6. Pikirku, kyai sukri ingin memintaku untuk segera mengkhatamkannya. Akan tetapi, ternyata, ada sesuatu yang membuatku takut.’’
Bapak dan Ibu mencoba untuk menyimak semua pembicaraanku dengan baik. Tampaknya, pesan yang disampaikan oleh Kyai Sukri benar-benar tidak main-main.
Bisa saja, pesan ini adalah sebuah peringatan untuk Kyai Sukri dan Bapak terkait orang-orang yang tidak menyukainya untuk menjaga desa ini.
‘’Apa itu?’’
‘’Saat aku menyelesaikan ayat ke-6, tiba-tiba, kyai sukri langsung terbangun dari duduknya dan mengucapkan salah kepada sesuatu. Padahal, di situ hanya ada aku dan juga Kyai Sukri.
Dan memang benar, saat aku membalikkan badan, aku melihat ada sosok bayangan hitam yang berada di hadapan pintu.’’
Bersamaan dengan aku menceritakan hal tersebut, tiba-tiba, mas rahardian langsung masuk ke kamar. Dia langsung berteriak,
‘’Pak, bu! Kambingnya mati!’’
Ibu langsung menatap ke arah Bapak. Sepertinya, mereka berdua mengetahui hal janggal yang baru saja terjadi kepada keluarganya saat ini.
Bapak dan Ibu segera keluar dari kamar. Disusul olehku dan juga Mas Rahardian, kami berdua pun langsung melihat hal aneh yang baru saja menimpa kepada kambing kami dimana di bagian perutnya sudah terburai hingga organ bagian dalamnya terlihat.
Bapak pun menyuruh kepada Ibu untuk mengambil garam dapur. Yang ditakutkan Bapak, kambing miliknya mati karena terkena hewan buas atau ular atau sejenis hewan lainnya yang mampu merobekkan perut kambing dengan cara yang mengenaskan.
Setelah menyerahkan garam kepada Bapak, bapak pun segera menaburkan garam tersebut ke sekitaran kandang sembari membaca sesuatu dari mulutnya. Lalu, dia kembali ke tempat kami sembari mengucapkan sesuatu,
‘’Kyai Sukri benar. Orang yang menyerang salah satu warga desa ini bukan orang sembarangan.’’ Jelas Bapak
‘’Apakah dia dari Keluarga Brotoseno?’’
‘’Bukan. Dia berasal dari Timur.’’
‘’Jengges?’’
Bapak mengangguk membenarkan jawaban yang dilontarkan oleh Ibu kepadanya. Tidak seperti biasanya, aku dan juga Mas Rahardian hanya termenung dan bertanya-tanya terkait apa yang sedang mereka bahas saat itu.
Bahkan untuk seusia Mas Rahardian pun, dia masih belum mengetahui apa yang dipikirkan oleh Bapak dan juga ibu.
Alhasil, bapak pun menyuruh kepada kami semua untuk segera masuk ke dalam. Entah karena ada sesuatu yang disembunyikan olehnya atau memang karena ada ketakutan dalam dirinya sendiri.
Tepat di pagi hari, bapak dan ibu segera membereskan rumah. Tidak seperti biasanya mereka berdua benar-benar membereskan hampir se-isi rumah. Katanya, akan ada saudara lama yang akan datang untuk memberitahu terkait peninggalan ‘’trah’’ yang selama ini disembunyikan.
Mereka pun menunggu sembari menyiapkan segalanya. Aku dan Mas Rahardian diminta untuk menyiapkan wedang dan juga makanan.
Kebetulan hari itu adalah hari minggu, jadi, aku dan juga Mas Rahardian membantu Bapak dan juga Ibu untuk menyambut saudara lama yang selama hampir 15 tahun lebih tidak pernah bertemu.
Aku sendiri penasaran, siapa mereka ini? Mengapa mereka berdua sangat penting sekali sampai-sampai Bapak dan juga Ibu menyiapkan dan merapihkan rumah hanya untuk menyamput saudara-saudaranya?
Tidak berselang lama, datanglah dua orang pria dengan pakaian yang sangat rapih. Keduanya seperti berasal dari kerajaan terdahulu dengan desain pakaian yang klasik dan terlihat mahal.
‘’Assalamu’alaikum, arto, esa … ‘’ Ucap salah satu dari kedua orang pria tersebut
‘’Wa’alaikum salam, mas krishna, kang mas suropto.’’ Jawab Bapak
Keduanya ternyata bernama Mas Krishna dan juga Raden Suropto. Waktu kecil, aku dan juga Mas Rahardian sering diceritakan terkait dua orang ini.
Mereka berdua adalah orang-orang yang selamat dan berhasil melakukan pati obor atau memutuskan ikatan saudara dengan keluarganya masing-masing yaitu Keluarga Ningrat dan juga Keluarga Brotoseno.
Diketahui, mas Krishna melarikan diri di sebuah tempat yang lokasinya berada di bagian barat.
Sedangkan Raden Suropto, dia melarikan diri ke sebuah tempat yang disebut sebagai ‘’Siti Pangaliran’’ atau sebuah tempat yang tidak bisa dijangkau oleh orang-orang yang memiliki niat jahat.
Kata Ibu, siti pangaliran itu adalah lautan bagi mereka yang memiliki niat jahat untuk memasukinya. Karena itulah, raden suropto aman pasca serangan dari ngipri kethek di 15 tahun sebelumnya yang dipimpin langsung oleh Raden Angkoro.
Kedatangan dua orang saudara dari Ibu ini benar-benar sangat membuat Bapak dan juga Ibu merasa takjub sekaligus bahagia. Keduanya benar-benar sangat tidak menyangka akan bertemu kembali setelah tragedi mengerikan yang menimpa beberapa orang-orangnya.
Memori yang menyakitkan itu masih tersimpan rapih dalam benak Bapak dan juga Ibu. Keduanya masih belum bisa melupakan mimpi buruk yang terjadi dalam kehidupannya hanya demi mendapatkan seorang bayi yang disinyalir sebagai kunci utama untuk menyelesaikan Ngipri Kethek tersebut.
‘’Jadi, ini yang namanya Aisyah?” Tanya Mas Krishna kepadaku.
Aku hanya mengangguk sembari melontarkan senyumanku kepadanya. Mas Krishna berbalik memberikan senyuman hangatnya kepadaku. Lalu, tidak berselang lama, dia memelukku sembari meneteskan air matanya.
‘’Syukurlah kau selamat, nak.’’
Aku terperanjat saat Mas Krishna memelukku. Ia seperti baru pertama kali menemui saudaranya dan melepaskan dahaga rindunya dengan orang yang begitu dinanti-nantikannya.
‘’15 tahun sudah ngipri kethek berlalu. Hanya kami bertiga yang selamat. Sisanya … ‘’ Ucap Bapak sembari mengingat-ingat kejadian di masa lalu yang membuatnya sedikit terharu.
Mas Krishna pun melepaskan pelukannya. Kali ini, ia memeluk Mas Rahardian. Dia seperti rindu dengan seorang pria yang mungkin saja akan menjadi penerus dari ‘’trah’’ yang telah ditentukan.
‘’Kamu harus menjaga keluargamu, den bagus. Hanya kalian berdua yang masih tersisa. Sisanya, belum bisa ditemukan semenjak terjadinya Babad Peteng (Tragedi Pati Obor pada zaman penjajahan Belanda dulu).’’
Mas Krishna juga segera memeluk Ibuku dengan erat. Wajar saja, keduanya adalah saudara kandung yang sudah lama tidak bertemu. Dari banyaknya saudara dari Mas Krishna dan juga Ibu, hanya mereka berdua yang masih hidup saat ini. Sisanya, sudah gugur.
Setelah melepaskan dahaga rindu, mas Krishna dan juga Raden Suropto pun meminta kepada Bapak untuk menceritakan kejadian-kejadian yang selama ini belum diketahuinya.
Alhasil, bapak dan Ibu pun menceritakan secara detail. Hari itu, aku menjadi tahu, mengapa aku dan juga Mas Rahardian sangat istimewa di mata mereka. Ternyata, hal ini disebabkan oleh garis trah yang kita miliki.
Setelah menceritakan panjang lebar terkait perjalanan Bapak dan juga Ibu untuk bisa selamat dari kejaran Raden Angkoro, mas krishna pun menyerahkan sebuah manuskrip yang mana berisi tentang keturunan-keturunan yang masih utuh dan asli sebelum terjadinya Pati Obor.
Ternyata, dari keturunan tersebut, tertulis juga garis keturunan yang lain dan mengarahkan langsung kepada garis keturunan Bapak.
Ibu sempat terperanjat saat mengetahui jika Garis keturunan Bapak masih terhubung dengan garis keturunan Ibu dari Wareng (Garis ke-5), dimana Wareng dari Ibu masih memiliki saudara dekat dengan Bapak.
Di situ juga tertera garis keturunan yang berasal dari Bapak seperti Raden Kuncoro dan juga mengarahkan nantinya kepada Nyi Ratih.
Manuskrip Trah yang dibawa oleh Mas Krishna juga sedikit membongkar terkait Keluarga Brotoseno.
Dalam manuskrip tersebut, terdapat beberapa keturunan dari Keluarga Brotoseno yang tidak dianggap karena berasal dari selir.
Wajar saja, jika Raden Jogopati masih bersaudaraan dengan Raden Angkoro walaupun yang membedakan adalah mereka berdua bukan saudara dari satu garis keturunan yang seimbang.
Mas Krishna menjelaskan, jika Raden Suropto adalah satu-satunya dari Keluarga Brotoseno yang asli setelah Raden Angkoro. Sisanya, mereka semua berasal dari jalur lain.
Dia juga menceritakan jika semua keturunan dari Ibu berlarian ke arah barat saat tragedi Pati Obor itu berlangsung.
Sedangkan untuk garis keturunan Bapak, mas Krishna menyebutkan, jika semua garis keturunan Bapak berasal dari daerah Utara.
Namun ternyata, ada satu sisi dimana Bapak sendiri tidak mengetahui akan tragedi masa lalu yang sama menimpa kepada garis keturunan Ibu.
‘’Garis keturunan Mbak Esa memang sangat mengerikan. Akan tetapi, garis keturunanmu lebih mengerikan, mas arto.’’ Ucap Mas Krishna
‘’Garis trahku?’’
‘’Garis trahmu hampir sama seperti Mbak Esa. Yang membedakan hanyalah satu. Tatkala seluruh garis keturunan Mbak Esa memisahkan diri karena tekanan Belanda,
namun, garis keturunanmu memiliki banyak pembelot (pemberontak) yang akhirnya menjadikan permusuhan antara satu garis keturunan yang satu dengan keturunan yang lain.’’
Bapak baru mengetahui cerita semacam ini. Mungkin, mas Krishna adalah salah seorang yang mengetahui banyak terkait cerita semacam ini.
Buktinya, ia mengetahui sedikit latar belakang trah yang dimiliki oleh Bapak. Trah ini disebut sebagai garis kekturunan yang menyangkut kepada hal-hal yang tidak diinginkan.
Mas Krishna terdiam sejenak. Ia sepertinya ingin menjelaskan sebuah fakta yang belum diketahui oleh keluargaku.
'’Jika Mbak Esa memiliki keturunan yang memiliki pembelot dengan berambisi melakukan ngipri kethek, akan tetapi, garis keturunanmu tidak semuanya berada di utara. Sebagian, mereka berkembang di timur.’’
Bapak dan Ibu terdiam. Ia kembali menyimak kalimat yang akan dibicarakan oleh Mas Krishna terkait trah yang berasal dari timur.
‘’Apa maksudnya, mas? Mengapa ada sebagian yang mengarah ke timur?’’
‘’Mereka yang berada di timur, berkeinginan untuk menumpaskan orang-orang yang terlahir di utara. Kau berada di utara, mas. Dan mereka, terkenal dengan sesuatu yang mematikan dan lebih mengerikan dari kami yang berada di barat.’’
Aku sendiri baru mengetahui hal semacam ini. Mengapa orang-orang terdahulu memiliki sebuah garis keturunan yang sangat mengerikan? Kukira, hanya ibu saja yang memiliki sebuah garis keturunan yang mampu membuat tragedi Ngipri Kethek, ternyata aku salah ….
‘’Mereka dikenal sebagai pengatur danyang. Penggerak roda pemerintahan. Dan kekuatan yang mereka gunakan adalah JENGGES!’’
Part-2 akan dilanjutkan pada tanggal 16 Januari 2022
Bagi yang mau baca duluan, langsung aja ke karyakarsa. di situ udah ada dua part selanjutnya. nanti akan membahas sedikit tentang Raden Argoyo.
Siapa itu Raden Argoyo? jika teman-teman baca di part-1 atau 2 Ngipri Kethek, di situ ada penjelasan mengenai Raden Argoyo yang merupakan suami dari Nyi Endang. Namun, kematiannya disebut-sebut sebagai kematian yang sangat misterius.
‘’Sajennya pegawai. Tiap kliwonnya, ada saja pekerja yang meninggal dunia biar produksinya lancar.’’
#ceritaserem @bacahorror
Simbah Ayung namanya. Dia biasa duduk di depan rumah, menyapa para warga dan punya ramah tamah yang disukai banyak orang. Dia bercerita tentang memori kelamnya saat bekerja di sebuah pabrik yang menelan banyak sekali korban.
'’Pemiliknya itu londo (Belanda)’’ Begitu kira-kira ucapnya
‘’Dibangun ing nduwure lemah wingit.’’ Tambahnya
Beliau adalah satu-satunya saksi hidup di saat teman-temannya menjadi korban dari sesuatu hal yang tidak diketahuinya di sebuah pabrik yang konon katanya dibangun di atas tanah wingit atau angker.
“Sungai ini meminta wadal (tumbal). Mereka yang tenggelam dan hanyut terbawa arus hingga tak bisa ditemukan adalah bagian dari misteri serta kengerian yang terjadi jika air sudah mulai hangat.”
@bacahorror #ceritaserem
Sungai Banyukala/Banyukolo
Sore itu, banyak para warga yang datang berduyun-duyun untuk mandi di sungai Banyukala. Tak hanya mandi dan Kumkum di sana, Sebagian dari mereka juga ada yang gemar memancing ikan atau mencari pasir di sungai ini untuk nantinya dijual. tebusan
Dikenal sebagai BANYUKALA karena dulunya sungai ini menjadi pusat bagi tempat bersemayamnya para ‘’KOLO/KALA’’ atau Siluman Para Siluman di sana benar-benar memberikan tebusan dosa akan kesalahan yang manusia perbuat.
“Kakinya digerogoti sampai memunculkan bau tak sedap.”
Sore itu, sepulang dari bekerja, Mamat diajak oleh Om-nya yang sudah setahun belakangan ini isterinya terkena penyakit aneh. Mas Sultan namanya. Isteri Mas Sultan bernama Mbak Dea. Dia sudah setahun ini sakit dan belum sembuh walaupun sudah berikhtiar mencari pengobatan di mana pun.
Mbak Dea tidak bisa berjalan. Dia hanya bisa terbaring di atas kasur. Penyakitnya ini disebut-sebut telah menguras banyak harta milik Mas Sultan. Karenanya, dia mencari banyak informasi terkait penyembuhan yang bisa dia dapatkan untuk menyembuhkan sang isteri.
YA'JUJ DAN MA'JUJ SALAH SATU PERTANDA AKAN TERJADINYA KIAMAT KUBRO.
Rasulullah SAW juga bersabda: ‘”Hari ini, dinding Ya’juj dan Ma’juj telah dibuka seperti ini.” Lalu ia melingkarkan ibu jari dengan jari telunjuk.’ Kemudian dengan terbukanya dinding tersebut akan selalu bertambah, hingga akhirnya lenyap dan hancur pada hari kiamat nanti.
Yajuj majuj adalah sebutan untuk kaum keturunan Nabi Adam AS yang kemudian menjadi salah satu pertanda datangnya hari kiamat.
Pada umumnya, mereka digambarkan sebagai kaum yang gemar membuat kerusakan di muka bumi. Tak ada yang dapat menghalangi kedatangannya, kecuali hanya Allah SWT.
Disebutkan dalam suatu riwayat bahwa yajuj majuj ialah keturunan Yafits putra Nuh, mereka kemudian tidak tinggal di alam ghaib seperti pada malaikat dan jin. Sosok yajuj majuj tak digambarkan secara gamblang di dalam Al-Quran.
Sebagian ahli tafsir kemudian menggambarkan yajuj majuj sebagai simbol dari perangai-perangai manusia yang buruk. Meski demikian, kedatangan yajuj majuj adalah sesuatu yang pasti karena sosoknya sudah dijelaskan dalam Al-Quran.
Akan tetapi, tak ada jawaban dari Sherly. Sekilas, Ina melihat kembali tangan yang ia pegang.
Betapa terkejutnya Ina saat melihat tangan yang ia pegang ternyata bukan tangan milik Sherly!
Melainkan….. Tangan yang Ina pegang adalah tangan milik ….
@bacahorror #ceritaserem #malamjumat
Sore itu tepat di malam jum'at Kliwon, Wahyu bersama dengan ketiga orang temannya Aep, Sherly dan Ina melakukan pendakian ke Gunung Slamet via Bambangan.
Saat itu kondisi cuaca sangat bagus. Sangat memungkinkan mereka mendapatkan view yang bagus di puncak.
wahyu memimpin do'a untuk mengawali pendakian. Ia juga tidak lupa untuk mengingatkan kepada teman-temannya agar tetap waspada di saat pendakian dimulai.
Wahyu sengaja mengatakan hal seperti itu karena Gunung Slamet sendiri memiliki atmosfer mistis yang berbeda dari gunung-gunung lainnya.
Merinding!
Itu perasaan yang dirasakan Ustaz Jenal sewaktu dirinya mendapati satu kasus yang cukup langka di desanya. Sebuah penyakit hati yang mampu membuat orang yang dibencinya menjadi korban dari keganasan penyakit ‘Ain.