Hai, selamat malam jumat. Btw, untuk yang menunggu lanjutan thread "Hotel Noni" harap bersabar ya, sy masih menunggu narsum untuk melanjutkan cerita 🙏
Sekarang ini, ada sepenggal kisah dari rumah sakit lagi yang cukup membuat saya bergidik ngeri.
Silahkan Tandai, RT, atau bookmark judul thread di atas agar tidak hilang.
Mari kita mulai pelan-pelan.
---
Desc:
Utas ini menggunakan sudut pandang orang pertama (narasumber). Segala bentuk nama dan tempat telah di samarkan.
2013, dari meja jaga perawat ruang ICU samar terdengar suara bunker roda berjalan mendekat. Namun ada yang aneh, bunker roda itu diiringi suara serentak bak pengantar jenazah,
"LAILLAHAILLAH”
“LAILLAHAILLAH”
“LAILLAHAILLAH”
Dari kejauhan, suara itu kian dekat dan semakin jelas. Aku yang sedang terlenyap di bawah meja jaga tersentak bangun. Kepalaku pening, pandanganku berbayang, kuraih kacamataku yang tergeletak di atas meja
Tubuhku mematung seketika melihat satu bunker kosong didorong oleh empat perawat berwajah pucat pasi, bibir biru dan tanpa bola mata.
Mengalir darah dari tiap-tiap kepala perawat, lebih mengerikan lagi, mata putih milik satu perawat yang berdiri di baris paling depan seketika menggelinding ke lantai seperti habis di congkel.
Aku terkesiap ketakutan setengah mati, kuperhatikan sekeliling, tak ada tanda-tanda orang lain di sekitar selain aku.
Mereka terus berjalan mendekat menelusuri lorong temaram seolah tak memperdulikan rasa sakit dan darah yang merembas di kepala dan badan
Aku terpaku tak dapat menggerakan sendi-sendi tubuhku sendiri. Ingin berteriak sekeras-kerasnya namun leher seolah tercekat.
Aku hilang kendali diri, panik dan takut menguasaiku sepenuhnya—satu-satunya yang dapat kulakukan ialah menatap sosok-sosok mengerikan itu yang berada di garis lurus yang sama
mereka kian mendekat ke arahku seraya hendak menjemputku untuk naik ke bunker kosong yang mereka bawa.
Gilanya, mereka juga terus mengucap kalimat doa yang biasa dilafalkan para pengantar jenazah,
"LAILLAHAILLAH”
“LAILLAHAILLAH”
“LAILLAHAILLAH”
Bisa kalian bayangkan bagaimana posisi aku saat itu?…
satu-satunya yang kuingat hanya wajah ibuku di kampung halaman yang belum sempat kukunjungi.
Langkah mereka semakin cepat, menggaung suara tawa memekik dari berbagai arah, aku seperti berada di jalan buntu yang mana hanya bisa nangis.
Secepat kilat keempat perawat mengerikan dan bunker roda itu menabrakku keras.
Berikutnya, pandanganku gelap.
****
Aku tersadar membuka mata di ruang IGD. Bu Desi, salah seorang perawat senior menghampiri untuk memeriksa kondisiku.
Dia mengatakan semalam aku kejang-kejang di meja jaga dengan mata mendelik ke atas.
Untung saja, cepat ditemukan Pak Manto, satpam rumah sakit yang sedang keliling.
Aku masih ingat betul apa yang menimpaku tadi malam, rasanya begitu nyata. Sekujur tubuhku remuk, ada luka lebam membiru dibeberapa bagian badan seperti bekas benturan benda tumpul.
“Sebenarnya tadi malam kamu kenapa tih?” Tanya Bu Desi.
Aku gagap menjawab, tetapi Bu Desi melanjutkan kalimatnya,
“Kamu Indigo?
Sebelumnya ada perawat juga yang indigo, dia resign karena sakit, gak kuat katanya, tapi sebelumnya persis kayak kamu, kejang begitu pas lagi jaga rawat.”
Aku menggeleng pelan, menyangkal. Entah mengapa aku tidak suka dan merasa tidak pantas mendapat predikat sebagai ‘anak indigo’ meskipun aku memang peka dan kerap bersinggungan dengan mereka yang tak kasat mata.
Namun kenyataan itu, bagiku seperti hal memalukan yang harus kusembunyikan rapat-rapat. Lagi pula aku bukan seorang praktisi, mengontrol mataku sendiri saja aku tak bisa—ya, kadang ‘mereka’ terlihat jelas, kadang samar, bahkan kadang hanya suara saja yang kudengar.
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan begitu, namun yang pasti, sejak aku menstruasi pertama sampai saat ini usiaku menginjak 24 tahun, aku masih belum bisa terbiasa dengan keberadaan mereka disekitarku.
Rasanya seperti aku bisa saja mati jantungan sewaktu-waktu.
Aku memang terhitung baru menjadi perawat di Rumah Sakit ini, sebelumnya aku hanya berani bekerja menjadi perawat di sebuah klinik kecil tak jauh dari rumah.
Ya, kepekaanku terhadap ‘mereka’ menjadi alasanku memilih bekerja di klinik. Bagiku, kala itu rumah sakit seperti tempat penyiksaan mental.
Bagi kalian yang bekerja di rumah sakit, pasti setuju kalau shift malam selalu jadi tantangan tersendiri, meskipun sudah biasa tapi rasa getir, takut, merinding jadi tamu setia yang hinggap setiap malamnya.
Namun satu tahun ke belakang, aku merasa diriku sudah tak lagi sepeka dulu. Aku bahkan sudah jarang bersinggungan apalagi melihat mereka.
Paling parah, aku hanya melihat gumpalan asap membentuk sosok, siluet bayang hitam, dan suara-suara aneh yang masih bisa dihiraukan—
karena itu lah, aku memberanikan diri melamar untuk bekerja lagi di rumah sakit, selain sudah merasa aman, gaji yang kudapat juga lebih besar bekerja di Rumah Sakit dibanding di klinik.
“Kenapa bisa begitu bu, perawat itu kenapa?” tanyaku balik ke Bu Desi, penasaran.
“Mending kamu gak usah tau deh, lagi sering jaga malam kan? “ kekeh Bu Desi.
Sejak aku membuka mata. Aku merasa ada yang berbeda dari sekitarku—rasanya rumah sakit ini nampak lebih padat sesak dari biasanya, banyak lalu lalang melintas wajah-wajah perawat dan dokter yang tak kukenali.
Ada apa di rumah sakit ini?
*****
Tak terlalu kupikirkan mengenai peristiwa tempo hari—kadang kala, sakit juga bisa merenggut alam sadar dan membuat kita berhalusinasi, jadi kusimpulkan saat itu aku hanya sedang tidak sehat.
Sekarang, Aku mendapat gilir jaga IGD, baru saja seluruh pasien IGD ditransfer ke kamar rawat, jadi IGD malam ini tampak sepi, hanya tersisa satu pasien koma yang masih menunggu pihak keluarganya tiba.
Suara sirine ambulan berbunyi nyaring memeceh hening malam. Ramai sentakan langkah para perawat sigap menghampiri membawa bunker roda. Tari, rekan perawatku menyiapkan satu tempat tidur di IGD.
Aku ikut membantu,
“Ada pasien darurat apa tar? Kok tumben gak ada info dulu ke IGD kalau mau ada pasien dari ambulance kita?” ujarku.
Tari tak menjawab, namun raut wajahnya tampak begitu serius. Tak lama, suara bunker roda terdengar mendekat. Rombongan para perawat dan satu dokter membuatku tersisih menepi.
Kuperhatikan mereka, tak ada satupun yang kukenal kecuali Tari, yang lainnya tampak asing.
Pacemaker atau alat pacu jantung digunakan untuk memompa detak pasien yang tengah kritis.
Tubuh pasien itu bersimbah darah di bagian kepala dan badan.
Kutebak, dia pasien kecelakaan. Situasi ini tak lazim, selaku perawat jaga IGD aku harusnya mendapat informasi terkait pasien lebih awal dibanding para perawat lain.
Namun kali ini, terasa semua telah siap, bahkan Tari pun menjadi bagian dari mereka—aku satu-satunya perawat di antara mereka yang kebingungan sendiri.
Mesin Elektrokardiogram (EKG) berdecit panjang menandakan bahwa detak jantung pasien telah terhenti—Pasien dinyatakan meninggal dunia.
Terdapat perubahan raut wajah jelas di tiap-tiap dari mereka. Para perawat dan dokter itu tampak panik, mereka gelisah ketakutan hingga para perawat tiba-tiba berhamburan lari meninggalkan IGD seperti tengah terancam hal yang mengerikan.
Aku semakin bingung ketika Tari ikut lari meninggalkan ruang IGD dengan gemetar,
“Ini kenapa?”
“Dok, ini kenapa?”
“Ada apa?” Tanyaku pada dokter, satu-satunya orang yang tersisa di ruang IGD.
“De’e nuntut balas” ucapnya singkat.
Rahang dokter itu mengeras, tatapannya berubah tajam namun terasa kosong mengawang.
Doker itu berbalik badan, betapa terkejutnya aku kala melihat dokter itu berjalan dengan kepala bagian belakang pecah dan punggung yang bercucuran darah ke lantai.
Aku hendak mendekat untuk memberitahu, namun baru beberapa langkah berjalan, Dokter itu seketika menoleh pelan dan kulihat wajahnya hancur penuh luka basah seperti habis tersarut aspal.
Sontak, aku terkesiap, jantungku terasa menggelinding entah kemana, ingin berteriak namun tenggorokanku tercekat seketika, kaki-kakiku gemetar bukan main.
“SUS, TOLONG SUS.”
“SAKIT”
Terdengar suara memanggil dan merintih dari tempat pasien meninggal tadi. Aku ketakutan setengah mati sampai menangis, napasku tersengal-sengal.
“SUS TOLONG SUS!"
Dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya, aku berjalan pelan memeriksa sumber suara. Mataku menyisir tiap-tiap tirai tempat tidur kosong secara perlahan sembari mempersiapkan keberanian dalam diri,
hingga tiba di tirai pembatas tempat pasien itu berada, aku hanya berani menilik separuh dengan sedikit memiringkan kepala.
Kamu tahu? …
Pasien itu duduk bersandar di atas ranjang,
“SUS TOLONG SUS, KEPALA SAYA PUTUS.”
Dia mencengkram rambut dan entah bagaimana bisa menarik kepalanya sampai terangkat memisah dengan badan.
------------
Guys, magriban dulu ya gw. nanti habis itu lanjut, gw nulisnya makin merinding sendiri transkrip cerita dari narsumnya, kacau :(
bentar ya, kalian juga magriban dulu gih dah.
----LANJUT----
“AAAAAA!!!!”
Kaki-kakiku melemas, sudah tak sanggup lagi menopang tubuh hingga roboh ke lantai. Aku memejamkan mata dan kedua tanganku menutup telinga sembari berharap ada yang datang menolong.
“Tih, Ratih, kamu kenapa! Ratih!”
Suara Tari dan tepukan tangannya membuatku berani membuka mata.
“Tar, pasien itu tar—” Aku menunjuk ke tempat tidur pasien tadi.
“Pasien apa? Mana pasien?” ujar Tari.
“Gak ada Pasien lagi Ratih.” Jelasnya.
“hah? Itu tar yang tadi di—”
Kalimatku terhenti ketika melihat tempat tidur rawat tempat pasien tadi berada masih tertata rapih seperti semula. “Nggak mungkin, tadi kamu ikut Tindakan tar, sama dokter—”
“Ngaco, wong aku habis makan di depan.” Bantah Tari.
Belum hilang gemetar di badan dan kaki-kaki yang melemas. Rasanya peristiwa tadi benar-benar nyata, bukan halusinasi atau mimpi
Tapi, bagaimana bisa? …
****
hari-hari setelahnya, aku nyaris tak bisa membedakan mana manusia mana bukan, mereka semua berwajah pucat, Rumah sakit tampak pada sesak. Tak jarang, ada pula yang menampilkan rupa mengerikan--
Perawat mengerikan yang menusuk-nusuk lehernya sendiri dengan jarum suntik, perempuan yang menarik kaki dari kolong bunker rawat inap, hingga yang paling fenomenal, aku melihat sosok yang fenomenal di RS ini--
Pria yang mencari jasadnya sendiri!
Waktu itu, sudah lebih dari lima jam kuperhatikan bapak itu duduk di lorong ruang tunggu sampai tengah malam begini.
Entah apa yang ditunggu, dia hanya duduk terdiam sembari menatap lurus tanpa memperdulikan sekitar.
Merasa iba, aku menghampiri,
“Pak, dari tadi saya lihat bapak di sini aja? Lagi nunggu apa pak?”
Bapak yang kusapa tak menjawab, bahkan melirik pun tidak. Bulu romaku seketika meremang, senyap dan dinginku lorong seketika menusuk hingga ke tulang,
“Pak, mending pulang dulu, dokter juga gak ada yang visit jam segini, dan jam besuknya baru besok siang, mau sampai kapan bapak di sini?”
“SAMPAI KUTEMUKAN DIMANA JASADKU”
Darah seketika merembas dari leher, perut, dan kepala bagian belakang.
lagi-lagi, wajah pria itu hancur seperti tersarut aspal, persis dengan sosok kepala putus yang aku lihat di IGD itu.
aku gemetar, dan aku tak ingat apa-apa lagi setelahnya.
Rasanya waktu itu seperti ada sosok yang membekapku dari belakang hingga aku sesak napas dan pingsan.
Sementara cerita lain datang dari satpam pada hari yang berbeda.
Kala itu, Pukul 01.30 dini hari, lalu lalang rumah sakit memasuki waktu paling tenang. Lorong-lorong tampak sepi sunyi ditambah gemericik gerimis membuat hawa malam itu terasa dingin menusuk kulit.
Salah seorang satpam yang tengah berjaga di pos persimpangan antara lorong menuju kamar rawat dan lorong menuju laboratorium mendapati dari kejauhan ada seorang pria paruh baya berjalan pincang mendekat ke arahnya.
Kian dekat, kian jelas, pria itu tampak basah kuyup.
“kehujanan” pikir satpam itu.
Wajahnya pucat pasi, pandangannya kosong lurus kedepan melewati satpam tersebut begitu saja tanpa menoleh, padahal bapak satpam yang berjaga sudah melempar senyum sapa,
Merasa tak dihiraukan, satpam pun menegur pria tersebut,
“Mau kemana pak?”
Pria setengah beruban itu tak menanggapi barang sepatah kata. Dia terus berjalan pelan memasuki lorong yang menuju laboratorium, ruang tindakan dan kamar mayit.
“Pak?”
“Bapak mau kemana? Ada yang bisa saya bantu?”
Satpam itu pun menyusul Pria tersebut. Aneh, pria itu hanya mengangkat satu tangan lalu menunjuk ke arah lorong di depannya,
“Iya pak? Mau kemana ya?” tanya satpam sekali lagi, memperjelas.
Pria itu terus berjalan mengabaikan sang satpam,
“Pak, sudah malam, yang tidak berkepentingan dilarang masuk.” Tegasnya
“Bapak kemana?”
Sekitar tiga langkah di depannya, kepala pria paruh baya itu memutar 180 derajat menghadap ke satpam—separuh pipinya penuh luka basah tanpa kulit, kedua matanya bolong dan hidungnya tampak bengkok
seketika kedua lengan dan kaki-kakinya putus terpisah-pisah seperti habis dimutilasi.
“SAYA MAU CARI JASAD SAYA!”
potongan badan dan kepala berbalik itu menyentak dengan suara berat.
Terkejut, satpam berbadan tegap tersebut lari terbirit-birit, dan keesokan harinya dikabarkan beliau izin sakit beberapa hari di karenakan sakit demam tinggi yang tak kunjung turun.
cerita yang dialami satpam itu beredar cepat ke seluruh lapisan rumah sakit. Bahkan aku mendengar ragam cerita mengerikan yang ikut menguap ke permukaan terkait cerita kelam rumah sakit ini.
Aku merinding ketika mengetahui ciri-ciri makhluk pria paruh baya yang disebutkan satpam tersebut amat serupa dengan ciri-ciri pria korban kecelakaan yang aku lihat di IGD dan yang tempo hari aku lihat.
Hari-hari berikutnya, banyak teror mengerikan yang terjadi di rumah sakit ini, bukan hanya dialami oleh tenaga medis, tapi juga pasien yang mengaku melihat perawat dan dokter berwajah hancur mengantarkan obat ke kamar rawat inap mereka kala tengah malam.
Bahkan ada juga pasien yang mendaftarkan diri sebagai pasien dari nama dokter yang sudah lama meninggal—
pasien tersebut mengaku minggu lalu telah ditangani dokter tersebut hingga dia mendapat jadwal kontrol diminggu berikutnya, namun ketika dikonfirmasi Dokter atas nama yang dimaksud telah lama meninggal karena serangan jantung saat bertugas malam di rumah sakit tersebut.
Perihal pria paruh baya yang kutemui, beredar kisah bahwa beberapa tahun lalu memang ada korban kecelakaan yang dialami pria berciri-ciri serupa.
Pria itu meninggal ketika sedang dalam penanganan, namun pasien tersebut tidak memiliki identitas yang jelas dan sanak keluarga yang diketahui.
Konon, Mayit pria tersebut dijadikan malapraktik dan perdagangan organ-organ dalam. Hingga saat ini sosok astral dari pria paruh baya tersebut kerap gentayangan di rumah sakit tersebut mencari-cari dimana jasadnya.
----TAMAT---
Ada pengalaman horror di rumah sakit? cerita di reply ya.
See u next thread!
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Pelayan ghaib, Sosok Noni Belanda kepala buntung, dan puluhan makhluk mengerikan serupa 'Mayat Hidup' mengurung kami di Hotel terbengkalai yang semula tampak seperti hotel biasa.
"Dua teman saya mati di tempat, satu lagi meninggal mendadak tepat 3 bulan setelah kejadian. Mungkin, berikutnya, saya juga menyusul. Saya takut mas--"
Mendengar kalimat tersebut dari pak surya (narasumber) sejujurnya saya merinding, ada rasa was-was yang mengalir di antara kami
Habis Magrib ya kita mulai up, sy masih di jalan. Silahkan ditandai, RT, bookmark atau tinggalkan jejak terlebih dahulu agar thread ini tidak hilang/ketinggalan update-nya.
Buat kalian yg sering staycation, thread ini bisa menjadi rujukan untuk lebih waspada :)
"Sampai Kutemukan Jasadku" Bisa kamu baca exclusive di Karyakarsa dalam rangka penggalangan dana untuk Panti Asuhan Lentera Surakarta
JL. IR. SUTAMI Pucangsawit, Jebres, Surakarta City,
JAWA TENGAH - 57125
--Sebuah yayasan yang menampung anak-anak pengidap HIV Aids, dimana 90% dari mereka Yatim Piatu.
Sebagaian besar dari kita sudah tak asing lagi dengan santet, tapi, tau kah kamu kalau santet memiliki ragam jenis! Diantaranya, yang paling mengerikan ialah Santet Tali Ghaib—
Santet ini tak memerlukan media seperi bukhul ataupun semacamnya untuk menyerang korban, melainkan, setan-setan dikirim secara langsung untuk menyakiti tanpa ampun.
Sebuah kisah yang amat memilukan menambah catatan kisah kelam akibat santet.
Sungguh, nyatanya manusia lebih keji daripada setan itu sendiri.
Sebentar lagi kita up ya, sekarang masih di jalan.
Sila tandai, markah atau RT dulu judul tweet di atas agar thread tidak hilang atau terlewat update-nya
Menurut Manuskrip Kuno bertajuk Kitab Musarar.
Pada abad ke 14 Masehi Kesultanan Turki Usmani mengirim 4000 keluarga muslim ke tanah jawa yang kala itu dikenal angker dan wingit untuk melakukan penyebaran agama islam.
Namun, tak lama kemudian, tersiar kabar bahwa seluruh 4000 keluarga muslim tersebut mati secara misterius.