Rama Atmaja Profile picture
Jan 21, 2023 343 tweets >60 min read Read on X
DEDADEN (Jadi-jadian) 3

Final Chapter: Antara Hidup Dan Mati

"Ini adalah saatnya untuk membayar dendammu, Sri!", teriak Endang dengan suara yang melengking menakutkan.

@HororNyata @P_C_HORROR @IDN_Horor @threadhororr @ceritaht #horor #horrortwt #bacahorror #ceritaseram Image
Prolog:

Di udara yang dingin dan gelap, dua sosok makhluk halus berjenis kuntilanak terbang dengan kecepatan tinggi. Mereka adalah perwujudan dari Sri dan Endang, -
dua kuntilanak yang memiliki dendam besar satu sama lain. Mereka akan mempertaruhkan nyawa keduanya di pertarungan akhir antara hidup dan mati.
Sri terbang di atas pepohonan yang rindang, sementara Endang terbang di atas genteng rumah para warga. Aroma darah yang menyengat menyebar di sekitar mereka, menambah ketegangan dalam suasana yang menakutkan.
"Ini adalah saatnya untuk membayar dendammu, Sri!", teriak Endang dengan suara yang melengking menakutkan.

"Aku tidak takut padamu, Endang!", teriak Sri dengan nada yang sama menakutkan.
Mereka saling melemparkan pukulan dan tendangan di udara, membuat suara dentuman yang keras dan menyebar ke seluruh area sekitar. Warga yang sedang tidur terbangun kaget dan mencari tempat untuk berlindung.
"Tolong, tolong, ada kuntilanak yang berkelahi di udara!", teriak seorang warga panik.

Darah yang mengalir dari luka yang diderita kedua kuntilanak menambah suasana yang mengerikan.
Tawa yang melengking menakutkan terdengar dari kedua kuntilanak, menambah ketakutan para warga yang menyaksikan perkelahian ini.

Comingsoon (Februari 2023)
Baca chapter sebelumnya melalui link yang ada di bawah ini:
Yang penasaran sama akhir kisah pesugihan pocongnya pak Budi, yang diceritain di DEDADEN 1, bisa baca di @karyakarsa_id
Link e-booknya ada di thread ini ⬇️
Sambil menunggu pergantian bulan, jadwal updatenya cerita ini ke thread. Teman-teman bisa baca duluan di @karyakarsa_id
Tinggal klik icon atau link yang ada di bawah ini ⬇️
karyakarsa.com/RamaAtmajaHCR/…
___

Beberapa tahun berlalu ....

Sri merasa sangat bahagia dan bangga saat melihat bisnis bakso yang ia jalani kini sudah sangat sukses.
Ia tidak pernah menyangka bahwa bakso jualannya akan menjadi nomor satu di pasar itu dan bahkan membuat pelanggan dari luar kota rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk makan bakso di tempatnya.
"Wow, ini sangat luar biasa!" ucap Sri saat melihat antrian panjang pelanggan yang menunggu giliran untuk membeli bakso. "Aku tidak pernah menyangka bahwa bisnis ini akan sebesar ini."
Ia juga merasa beruntung karena memiliki banyak karyawan yang loyal dan bekerja keras. Beberapa dari mereka adalah karyawan dari BAKSO KUDU BALIK PAK BUDI yang sekarang sudah gulung tikar dan keluarga yang dulunya mengelola usaha tersebut sudah tidak ada lagi.
(Untuk tahu apa yang terjadi, silahkan baca cerita NGINTIL 2)

"Terima kasih banyak kalian sudah bekerja keras selama ini, aku sangat berterima kasih," kata Sri kepada para karyawannya.
Pak Idi, yang sebelumnya hanya sebagai pemasok bahan bakso, kini menjadi mitra bisnis Sri. Ia dibantu oleh sang istri dan beberapa kerabatnya untuk menyuplai semua yang dibutuhkan Sri di tempat dagangannya.
Anak sulungnya yang bernama Aris, bersama menantunya, kini yang menangani penjualan di tempat Sri.

"Bu, ini adalah bahan bakso yang Anda minta," kata Pak Idi saat menyerahkan bahan bakso kepada Sri. "Semoga bisnis Anda selalu sukses."
Suasana di tempat jualan bakso Sri sangat ramai dan penuh dengan aroma bakso yang menyegarkan. Pelanggan yang datang sangat antusias dan terlihat senang saat membeli bakso.
Namun, di balik kebahagiaan ini, Sri juga merasa sedikit pilu ketika mengingat masa lalu yang penuh dengan persaingan ketat dengan BAKSO KUDU BALIK PAK BUDI. Ia berharap bahwa ia dapat menjalankan bisnisnya dengan fair -
dan tidak harus mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh keluarga BAKSO KUDU BALIK PAK BUDI, yang tewas mengenaskan, -
terpanggang hidup-hidup di kediamannya, karena mempertahankan calon tumbal untuk pesugihan pocong yang mereka jalankan.
Karena mereka sudah pernah gagal sekali.
Baca NGINTIL bagian pertama, yang waktu itu ingin menjadikan Rini sebagai tumbal, tapi gagal, dan sebagai gantinya, ia harus kehilangan anak gadisnya yang kedua kalinya, karena awalnya kedua pasangan ini mempunyai dua anak yang masih gadis, -
dan saat itu, tinggal Ayu, anak kedua atau terakhir yang sudah beranjak remaja. Sedangkan anak pertamanya yang bernama Anggi, waktu itu juga meninggal diusia yang sama dengan si adik, mereka berdua mengorbankan Anggi untuk mengawali pesugihan pocong tersebut.

***
Disisi lain, Endang merasa sangat terbebani dengan kondisi Mega yang tidak kunjung membaik. Ia tidak dapat berhenti meratapi kesalahan yang telah ia lakukan, -
yang dipercayainya telah menyebabkan semua ini terjadi. Ia merasa sangat sedih dan merindukan saat-saat ketika keluarganya masih bahagia dan sejahtera.
Endang merasa sangat sengsara ketika Mega tertabrak mobil saat pulang sekolah. Ia berusaha sebaik mungkin untuk mengobati anaknya, tapi kliniknya sendiri tidak dapat menanggung perawatan dan Mega harus dilarikan ke rumah sakit.
Namun, meskipun berbulan-bulan berlalu, kondisi Mega tidak kunjung membaik dan ia masih dalam koma di atas ranjang. Endang merasa sangat sedih dan merasa bersalah karena tidak dapat melakukan lebih banyak untuk menyelamatkan anaknya.
Endang juga merasa bersalah karena kehilangan harta yang cukup besar karena harus mengeluarkan biaya perawatan Mega yang sangat tinggi. Apalagi aset kepemilikan rumah, dan klinik, semua sudah disita oleh Bank, karena ia tidak bisa melunasi hutang-hutangnya.
Ia juga merasa bersalah karena kecerobohan yang menyebabkan ia kehilangan Kuntili, sebuah makhluk mistis yang dahulu pernah ia pelihara. Ia mengirim Kuntili untuk mengganggu Santo, -
tetapi karena kesalahan waktu yang dilakukannya, Santo justru berada di kediaman ustadz Anwar saat Kuntili dikirim dan Kuntili berhasil ditangkap oleh ustadz Anwar dan dikembalikan ke tempat asalnya.
Endang merasa sangat pilu dan takut ketika mengingat kejadian yang menimpa Mega. Ia merasa bahwa ini semua adalah akibat dari kecerobohan dan kesalahannya sendiri.
Ia juga merasa takut akan keberadaan Kuntili yang dahulu pernah ia pelihara, karena ia merasa bahwa makhluk itu mungkin telah memberikan dampak buruk pada kehidupannya.
"Apa yang terjadi padaku? Kenapa anakku harus mengalami kecelakaan seperti ini? Apa salahku sehingga semua ini terjadi?" rintih Endang dalam hati.
Endang juga merasa sangat kesepian, karena tidak ada yang dapat ia ceritakan tentang perasaannya. Ia merasa bahwa tidak ada yang dapat memahami apa yang ia rasakan saat ini. Ia merasa bahwa ia sendiri yang harus menanggung beban ini sendirian.
"Aku merasa sangat sepi. Aku merasa bahwa tidak ada yang dapat memahami apa yang kurasakan. Aku merasa bahwa aku harus menanggung beban ini sendirian," ucap Endang dalam hati.
"Aku takut akan keberadaan Kuntili. Aku merasa bahwa makhluk itu telah memberikan dampak buruk pada kehidupanku. Namun, aku juga merasa bahwa aku membutuhkan Kuntili untuk menghibur diriku dari kesedihanku," ucap Endang dalam hati.
Sri merasa sangat terpukul ketika mengetahui kondisi Mega yang tidak kunjung membaik. Walaupun didalam relung hati yang dalam ia dan Endang tidak akur, -
tapi ia merasa bahwa ia harus ikut membantu sahabatnya itu. Ia menyumbangkan sebagian dari keuntungan usahanya untuk membantu Endang mengeluarkan biaya kesehatan Mega.
"Endang, dulu kau ada disaat aku membutuhkan seseorang untuk mendampingiku, kau selalu ada untukku, dan sekarang giliranku membantumu. -
Aku akan menyumbangkan sebagian dari keuntungan usahaku untuk membantumu mengeluarkan biaya kesehatan Mega," ucap Sri sambil tersenyum kepada Endang, namun di dalam hati, ia tertawa kegirangan.
Endang terkejut mendengar ucapan Sri. Ia merasa sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Sri. "Terima kasih banyak, Sri. Aku sangat berterima kasih atas bantuanmu," ucap Endang sambil tersenyum, -
meskipun di dalam hati ia merasa cemas karena masih ada perasaan benci yang ia pendam untuk Sri, ia takut ada udang dibalik batu.

Walaupun keduanya tidak akur, tapi saat bertemu, Sri dan Endang selalu saling memberikan senyum dan pertolongan.
Mereka seperti mengisi satu sama lain, memberikan dukungan dan semangat, meskipun di dalam hati masing-masing tetap ada rasa benci yang dipendam.
Namun, karena kondisi Mega yang kritis, keduanya memutuskan untuk mengabaikan perasaan benci mereka dan fokus pada hal yang lebih penting, yaitu menyelamatkan Mega.
Suasana di rumah sakit sangat suram dan menyedihkan. Aroma obat-obatan dan darah menyelimuti seluruh ruangan. Gerakan para perawat dan dokter terlihat cepat dan sibuk, serta keadaan sekitar sangat suram dan menyedihkan.
Sri dan Endang duduk disamping ranjang Mega, menunggu kabar baik dari dokter. Mereka saling memberikan senyum kepalsuan, tapi di dalam hati masing-masing, -
mereka merasa sangat sedih dan pilu melihat kondisi Mega yang kritis. Ya, bagaimana pun juga Mega hanya anak kecil tak berdosa, tidak sewajarnya Sri membenci Mega, seperti ia membenci Endang.
"Bagaimana kondisi Mega sekarang, dokter?" tanya Endang cemas kepada dokter yang baru saja datang.
Dokter menggelengkan kepalanya. "Kondisinya masih sangat kritis, bu Endang. Kami berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan nyawanya, tapi kami tidak bisa menjamin apapun. Kami hanya bisa berdoa semoga Mega segera pulih," jawab dokter dengan wajah serius.
Endang merasa sangat pilu dan sedih. Ia merasa bahwa ia telah gagal sebagai seorang ibu dan tidak dapat melakukan apa-apa untuk menyelamatkan anaknya. Sri yang duduk di sampingnya, ia merasakan suasana yang sama, ia merasa sangat sedih dan pilu melihat kondisi Mega yang kritis.
"Aku akan selalu berdoa untuk Mega, Endang. Kita harus berharap dan berdoa agar dia segera pulih," ucap Sri sambil memberikan dukungan kepada Endang.
Endang mengangguk dan mencoba untuk tersenyum. Ia merasa sangat berterima kasih atas dukungan Sri dan berharap semoga Mega segera pulih, lalu melanjutkan aksi balas dendamnya.
Namun, kini ada harapan dan doa yang terus dikirimkan oleh Sri dan Endang, untuk kesehatan Mega. Mereka berharap agar anak kecil yang imut itu, -
segera pulih dan kembali seperti semula.
Suasana yang suram dan menyedihkan, digantikan dengan harapan dan doa yang tulus dari kedua sahabat ini.
Sri dan Endang terus berada di samping ranjang Mega, menunggu kabar baik dari dokter. Mereka berharap dan berdoa agar Mega segera pulih.
Setiap hari Sri datang ke rumah sakit untuk menjenguk Mega dan memberikan dukungan satu sama lain, sedangkan Mega tetap berada di rumah sakit, karena ia tak punya tempat tujuan untuk pulang.
"Endang, kau tidak perlu khawatir, aku akan selalu ada di sampingmu. Kita akan berdoa bersama-sama agar Mega segera pulih," ucap Sri sambil memberikan dukungan kepada Endang.
"Terima kasih, Sri. Aku sangat berterima kasih atas dukunganmu," jawab Endang sambil tersenyum. Ia merasa sangat berterima kasih atas dukungan Sri yang selalu ada di sampingnya, "Awal saja, setelah ini kamu yang akan bernasib sama, Sri!" lanjutnya di dalam batin.
Tiba-tiba ponsel di dalam saku celananya berbunyi, dan pastinya ponsel tersebut adalah ponsel jadul, kalau dari sudut pandang anak milenial sekarang, karena cerita ini bertema di tahun 1990-an, yang mendekati ke tahun 2000-an.
Sri langsung mengangkat telepon tersebut, dan mendengar suara Manto yang cemas. "Sri, aku akan ke rumah dinas. Segera pulang dan bersiap-siap untuk pergi ke desa pedalaman, tempat aku ditugaskan," ucap Manto dengan suara cemas.
Sri merasa khawatir, ia tahu desa pedalaman itu adalah tempat yang dulu pernah Manto, Somad dan beberapa anggota polisi lain, menangkap para perampok yang sekaligus pemerkosa dan pembunuh nyai Andini. "Baik, aku akan segera pulang dan bersiap-siap," jawab Sri dengan suara tegas.
"Aku akan menjemput kamu di rumah, kita akan pergi bersama-sama," ucap Manto.

"Baik, aku akan menunggumu di rumah," jawab Sri.
Sri segera berpamitan kepada Endang dan berjanji akan kembali untuk menjenguk Mega. Endang mengerti dan mengucapkan terima kasih atas dukungan Sri. Sri segera pergi dan bersiap-siap untuk pergi bersama Manto ke desa pedalaman.
Ia merasa khawatir dan tidak sabar untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di desa tersebut. Dia berharap semua akan baik-baik saja, tetapi ia juga siap untuk menghadapi segala situasi yang mungkin terjadi.
Sri berpamitan, kemudian Endang melihat Sri dari balik jendela lantai 2 rumah sakit, tempat Mega di rawat. Ia sangat kaget saat Sri masuk ke dalam mobil. "Itu mobilnya! Itu yang menabrak Mega!" teriak Endang dalam hati.
Ia ingat kejadian saat Mega berlari untuk menemuinya yang berdiri disebelah mobil, seberang jalan sekolah. Kejadian yang sangat cepat sekali, ada mobil dengan laju kencang menabrak anaknya.
Endang berlari dan teriak memanggil nama sang anak. Saat ia sudah berada di samping Mega dan memeluknya, matanya melirik ke arah mobil yang menabrak tubuh putrinya itu, dan dengan sangat jelas melihat plat nomor kendaraan mobil tersebut.
Bukannya bertanggung jawab, tapi mobil tersebut malah tancap gas, takut dihajar masa yang waktu itu langsung ramai, karena melihat ada anak kecil yang tertabrak.
Endang tidak bisa menahan amarahnya, ia langsung berlari keluar dari rumah sakit dan mengejar mobil Sri. "Jangan kabur! Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan!" teriak Endang saat mengejar mobil Sri.
Namun, sayangnya mobil tersebut sudah menghilang dari pandangan Endang. Dia hanya bisa berdiri terpaku di tempat itu, merasa kecewa dan kehilangan.
Sri tidak tahu kalau Endang turun untuk mengejarnya, ia hanya merasa terburu-buru untuk pulang dan bersiap-siap. Namun, dalam hati Sri merasa sedikit bersalah, karena ia tidak tahu bahwa mobil yang ia beli seken itu pernah menabrak Mega.
Endang yang awalnya mulai simpati pada Sri, malah semakin geram dan dendamnya semakin membara. Ia pun langsung masuk ke dalam mobilnya, dan mengejar Sri.
Setelah terkejar dan kedua mobil itu sudah sejajar, "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tak bertanggung jawab atas tindakanmu?" teriak Endang dalam hati saat mengejar mobil Sri.
Namun, sayangnya ia tidak tahu bahwa mobil tersebut bukan milik Sri saat menabrak Mega, karena Sri membeli mobil tersebut bukan baru tapi seken.
Sri yang merasa bersalah, akhirnya berhenti dan menunggu Endang yang terus mengejarnya.
Endang berhenti dibelakang mobil Sri, lantas ia berjalan dengan marah menemui Sri yang sedang berdiri di samping mobilnya.
"Endang, aku tidak tahu kalau mobil ini pernah menabrak Mega. Aku membeli mobil ini dari seseorang yang menjualnya dengan harga murah tanpa mengetahui alasannya," jelas Sri dengan nada yang sedikit gugup.
"Sudahlah, aku tidak marah padamu. Namun aku tidak percaya kau tidak tahu kalau mobil ini pernah menabrak Mega," jawab Endang dengan nada yang keras. "Bagaimana bisa kau tidak tahu? Apakah kau pikir ini hanya kebetulan?"
Sri merasa tidak enak, "Aku tidak sengaja, aku tidak tahu kalau mobil ini pernah menabrak Mega. Aku hanya ingin membeli mobil yang murah saja," jelas Sri dengan nada yang gugup.
"Aku tidak peduli dengan alasanmu, yang penting anakku mengalami kesakitan itu semua karena kesalahanmu," omel Endang, tidak percaya dengan alasan Sri. Ia mengira kalau Sri hanya mengarang cerita, dan sebenarnya itu dilakukan dengan sengaja.
Sri merasa tidak bisa menjelaskan lebih jauh, karena ia merasa tidak enak dan juga buru-buru. Ia langsung masuk kel mobilnya dan pergi tanpa mengindahkan omelan Endang. Endang hanya bisa menatap kesal saat melihat mobil Sri menjauh.
Endang kesal dan marah saat Sri langsung meninggalkannya dan tancap gas. Ia menyimpan dendam yang membara dan bertekad untuk membalas dendam ini di kemudian hari. 
Endang bertekad untuk mengambil tindakan yang tepat untuk membalaskan dendam ini.
Namun yang terpenting untuk sekarang adalah kesembuhan Mega. Ia kembali masuk ke mobil hitam yang dikendarainya, yang merupakan harta terakhir yang dimilikinya dan hanya menunggu waktu untuk dijual, demi membayar pengobatan Mega.
Endang kembali ke rumah sakit untuk menjenguk Mega dan memastikan kondisinya stabil. Ia berharap anaknya segera sembuh dan tidak ada lagi beban yang harus ditanggung oleh Mega.
Namun, dalam hati Endang masih ada dendam yang harus dituntaskan. Dia bertekad untuk mengambil tindakan yang tepat untuk membalas dendamnya pada Sri.
"Sial, kenapa harus begini? Kenapa harus anakku yang terkena musibah?" gumam Endang dalam hati.
"Awas saja kau Sri! Suatu hari nanti, aku akan mengambil tindakan yang tepat untuk menagih dendam ini. Aku akan melakukan perjanjian pesugihan kuntilanak, dan akan mendatangimu untuk menagih apa yang telah kau lakukan!"
Endang duduk di samping Mega, membelai rambutnya, lantas dalam diam ia berkata, "Pertarungan antara kuntilanak jadi-jadian akan segera dimulai, Sri! Lihat saja, siapa diantara kita yang lebih kuat saat berubah wujud menjadi Kuntilanak, aku, atau kamu?!"
Setelah Sri sampai rumah dan selesai mengemas barang-barangnya, ia menunggu Manto di depan rumah. Tak lama kemudian, Manto datang menjemput Sri dengan mobil polisi. Mereka berdua segera pergi menuju desa pedalaman.
"Apa yang sebenarnya terjadi di desa pedalaman ini, Mas?" tanya Sri dengan nada khawatir.
"Sudah lama sejak aku tidak di sana, dan aku mendengar ada banyak masalah yang terjadi. Beberapa keluarga di desa itu mengalami kehilangan anggota keluarga, dan ada juga laporan tentang kejadian mengerikan yang terjadi di malam hari," jawab Manto dengan nada serius.
Sri merasa semakin khawatir dan tidak sabar untuk sampai di desa pedalaman dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di sana. Dia berharap dapat membantu Manto dalam mengatasi masalah yang terjadi di desa tersebut.
Mereka berdua tiba di desa pedalaman yang terlihat sepi dan suram. Suasana yang tidak seperti biasanya, seakan mencerminkan keadaan yang tidak stabil di desa tersebut. Mereka segera menuju ke rumah dinas dan bertemu dengan beberapa anggota polisi yang juga ditugaskan di sana.
"Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" tanya Manto kepada anggota polisi yang ada di sana.
"Kami belum tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi, tapi kami mendapat laporan tentang kehilangan anggota keluarga dan kejadian mengerikan yang terjadi di malam hari," jawab salah satu anggota polisi.
Somad dan Manto segera bekerja sama dengan anggota polisi yang ada di sana untuk menyelidiki masalah yang terjadi di desa pedalaman.
Mereka berharap dapat mengatasi masalah tersebut secepat mungkin dan menyelamatkan keluarga-keluarga di desa tersebut.
Sedangkan Sri, ditinggal di rumah dinas, bersama anggota lain untuk menjaganya sementara waktu.
Somad, dan Manto, dan beberapa anggota polisi lain mulai menyelidiki masalah yang terjadi di desa pedalaman. Mereka berbicara dengan beberapa warga desa yang mengalami kehilangan anggota keluarga, dan juga mendengar berbagai cerita mengerikan yang terjadi di malam hari.
Setelah melakukan penyelidikan, mereka menemukan bahwa masalah yang terjadi di desa tersebut disebabkan oleh keberadaan makhluk perewangan yang menyebar ketakutan dan kekacauan di desa tersebut.
Somad dan Manto segera bekerja sama dengan anggota polisi yang ada di sana untuk mengatasi masalah tersebut. Mereka berusaha untuk menangkap makhluk perewangan tersebut dan menyelamatkan warga desa dari ancaman yang dihadapi.
Mereka juga berkoordinasi dengan ustadz Saiful yang memiliki ilmu spiritual untuk membantu mengatasi masalah yang terjadi.
Setelah beberapa hari kerja keras dan kerja sama yang baik, akhirnya ustadz Saiful berhasil menangkap makhluk perewangan yang menyebar ketakutan dan kekacauan di desa tersebut. Warga desa pun merasa lega dan aman kembali setelah masalah tersebut teratasi.
Somad dan Manto juga berhasil menyelamatkan keluarga-keluarga yang mengalami kehilangan anggota keluarga. Mereka merasa sangat senang dan bangga dapat membantu mengatasi masalah yang terjadi di desa tersebut.
Karena masalah itu datangnya dari seorang dukun yang merupakan guru dari pemimpin rampok yang dikalahkan Manto tempo hari, dan para rampok ini berhasil digelandang ke kantor polisi.
Setelah masalah teratasi, Somad dan Manto beserta para anggota polisi yang lain segera menangkap dukun yang merupakan guru dari pemimpin rampok yang dikalahkan Manto tempo hari.
Mereka berharap dapat mengungkap seluruh jaringan rampok yang sebelumnya berhasil digelandang ke kantor polisi.
Dengan kerja keras dan kerja sama yang baik, akhirnya mereka berhasil menangkap dukun tersebut dan mengungkap seluruh jaringan rampok yang -
sebelumnya berhasil digelandang ke kantor polisi. Warga desa pun merasa aman dan nyaman setelah masalah teratasi dan jaringan rampok ditangkap.
Para anggota polisi yang lain langsung pamit, termasuk Somad. Sedangkan Manto ditugaskan untuk menetap di rumah Dinas, karena takut jika sesuatu yang buruk akan dialami lagi di desa tersebut.
Manto yang menjadi polisi baik dan jujur, tentu saja menerima tugas tersebut. Apalagi sekarang, ditemani sang istri.
"Baiklah, aku akan menerima tugas ini," kata Manto kepada atasannya, "Aku akan menetap di rumah dinas untuk memastikan kalau desa ini aman dan tidak ada masalah lagi," tambahnya.
"Aku juga akan menemani kamu di rumah dinas," ucap Sri yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut.

"Terima kasih, sayang. Aku senang kalau kamu akan menemaniku," jawab Manto dengan senyum.
Mereka berdua segera masuk ke rumah dinas yang ada di desa pedalaman. Sedangkan Somad, atasan, dan anggota polisi yang lain, kembali ke kantor polisi.
Manto menjalankan tugasnya sebagai polisi dengan baik dan jujur, sementara Sri membantunya mengurus keperluan layaknya seorang istri.
Sri merasa sangat senang ketika Manto mengajaknya untuk tinggal di rumah dinas di desa pedalaman. "Terima kasih, sayang. Aku senang kau mengajakku ke sini, dan menginzinkan aku tinggal bersamamu," kata Sri dengan senyum manis.
"Itu adalah janjiku padamu, aku akan selalu ada disampingmu," jawab Manto dengan tersenyum.

Keduanya segera memulai kehidupan baru di desa itu. Sri ikut membantu suaminya dalam menjaga keamanan di desa tersebut dan juga berinteraksi dengan warga desa yang baik.
Manto juga bekerja dengan baik dan jujur sebagai polisi yang ditugaskan di sana. Kehidupan keduanya pun menjadi lebih harmonis dan damai di desa itu. Mereka juga menjalani hidup sebagai pasangan yang saling menyayangi dan mencintai di desa tersebut.
Di rumah sakit, tempat Mega di rawat.
Santo berdiri di samping ranjang Mega yang terbaring dalam keadaan koma. Ia melihat Endang yang berdiri di depan pintu, dengan senyum sayu di wajahnya.
Santo tahu bahwa Endang masih merasa bersalah atas perceraian mereka, dan ia juga tahu bahwa Endang masih mengirim Kuntili untuk mengganggu dirinya waktu itu.
Namun, Santo tak ingin mempermasalahkan hal itu lagi. Ia hanya ingin fokus pada anak mereka, Mega, yang sedang dirawat di rumah sakit.

"Mas, aku titip Mega ya," ucap Endang sambil berjalan keluar dari kamar.

"Titip? Mau kemana?" tanya Santo. Namun, Endang tak menjawab.
Beberapa waktu terlewat, sejak Endang meninggalkan kamar tersebut.
Santo melihat jam di dinding, dan terkejut karena sudah hampir jam masuk kerja. Ia tahu bahwa ia harus segera balik ke tempat kerja, tapi ia juga merasa takut untuk meninggalkan Mega sendirian.
Lalu, Santo mengambil ponsel di saku celananya. Ia membuka kunci ponselnya dan mencari nama Arum di daftar kontak. Arum adalah istrinya yang tengah hamil besar. Santo menelepon Arum dan meminta tolong pada sang istri untuk menjaga Mega sementara ia balik ke tempat kerja.
"Arum, aku minta tolong ya. Aku harus segera balik ke tempat kerja, tapi aku takut meninggalkan Mega sendirian. Bisa kah kamu menjaganya sementara aku balik kerja?" ucap Santo dengan nada cemas.
"Tentu saja, Sayang. Jangan khawatir, aku akan menjaganya dengan baik," jawab Arum dengan suara lembut.
Santo merasa lega setelah mendengar jawaban Arum. Ia mengucapkan terima kasih pada Arum, lalu menutup teleponnya. Ia kembali menatap Mega yang terbaring di ranjang, lalu mengecup kening anaknya dengan perasaan yang penuh kasih sayang.
"Semoga kamu segera sembuh, Mega," bisik Santo sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
Ia lalu beranjak pergi dari kamar, menuju tempat kerja yang menunggu. Namun, dalam hatinya, Santo berjanji akan selalu menjenguk Mega dan menjaganya sampai anaknya itu sembuh sepenuhnya.
***

Ditempat lain, lima orang duduk di sekitar meja di rumah makan bakso, sambil menatap seorang ibu hamil yang duduk di tengah-tengah. Kelima orang itu adalah Tirta, Maya, Aden, Eca dan Rani. Mereka semua adalah teman-teman yang sudah lama saling kenal dan sering berkumpul.
Arum, ibu hamil tersebut yang ditatap mereka setelah menerima panggilan telepon dari sang suami, meminta bantuan kepada Rani dan Eca. "Mbak Rani dan mbak Eca, tolong temani aku untuk menggantikan mas Santo dalam menjaga anakku yang sedang dirawat di rumah sakit," pinta Arum.
Eca berkomentar dengan cepat, "Makanya punya suami yang masih perjaka." Rani tidak terima dengan ucapan Eca, "Masih mending duda daripada kamu sampai sekarang masih sendiri!" katanya dengan sindiran.
Tirta, yang merasa kesal dengan pertengkaran kecil yang terjadi, akhirnya berbicara, "Sudah ah, ma! Kalau bertengkar terus, kapan kita berangkat?"

Rani dan Tirta adalah pasangan muda yang diperkenalkan oleh Arum. Sedangkan Aden dan Maya, keduanya resmi bertunangan.
Namun, Maya menyimpan rasa kecewa di dalam hati karena Tirta sudah memiliki pasangan lain. Hanya Aden yang selalu ada untuknya, sehingga benih-benih cinta pun mulai tumbuh di antara keduanya.
Namun, baik Aden maupun Tirta tidak mengetahui perasaan Maya. Eca juga masih belum bertemu dengan pasangannya.

Mungkin bagi yang tidak membaca cerita NGINTIL bagian pertama terasa asing dengan nama Arum, Eca, dan Rani.
Tapi yang sudah membaca, pasti tahu perjuangan ketiga perempuan ini yang bertaruh nyawa agar bebas dari pesugihan pocong yang dilakukan oleh bos nya dulu, siapa lagi kalau bukan pak Budi dan bu Budi, pemilik tempat makan yang bernama, BAKSO KUDU BALIK PAK BUDI.
Untuk hubungan Arum dan Tirta, ternyata keduanya adalah sepupu jauh. Tapi disatu waktu, kedua keluarga itu bertemu, dan akhirnya mereka bisa saling mengenal.
Inilah alasan mengapa ustadz Anwar memiliki koneksi dengan ki Aji Cohyo Sukmo yang merupakan pendamping Arum.
Setelah pertengkaran singkat antara Rani dan Eca, keenam orang itu segera beranjak dari tempat itu. Mereka akan menuju rumah sakit untuk menjaga anak tirinya Arum yang sedang dirawat.
Mereka semua merasa kasihan pada Arum, yang harus menghadapi masalah yang cukup berat sendirian. Namun, dengan adanya mereka yang siap membantu, Arum merasa lebih baik.
Setelah berpamitan dengan Aris dan istrinya, yang merupakan anak dan menantu dari pak Idi, yang merupakan pengelola rumah makan bakso milik Sri, -
keenam orang itu berangkat menuju rumah sakit. Mereka berharap anak tirinya Arum segera sembuh dan keluarga Arum dapat melewati masa-masa sulit ini dengan lebih baik.
***

Di rumah sakit, setelah menelpon sang istri, Santo keluar dari kamar Mega dan berjalan menuju lift. Saat ia menekan tombol untuk turun ke lantai bawah, ia merasa sedih dan bersalah karena harus meninggalkan Mega sendirian.
Namun, ia tahu bahwa ia harus bekerja untuk membiayai perawatan anaknya, lagian, Arum dan yang lain akan menggantikannya menjaga Mega.

Santo tiba di tempat kerja dan langsung masuk ke ruangan desain grafis. Ia duduk di meja kerjanya dan menyalakan komputer.
Namun, saat ia ingin mulai bekerja, ia merasa kesulitan untuk fokus. Ia merasa cemas dan khawatir tentang kondisi Mega.
Santo mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, tapi ia tak bisa menghilangkan perasaan cemas yang ada di hatinya. Ia merasa bersalah karena harus meninggalkan Mega dengan Arum dan yang lain di rumah sakit.
Setelah beberapa jam, Santo merasa lelah dan ingin segera pulang untuk menjenguk Mega. Ia menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin dan segera pulang ke rumah sakit.
Santo tiba di rumah sakit dan langsung masuk ke kamar Mega. Ia melihat Arum yang sedang duduk di samping ranjang Mega, sambil memegang tangan anak tirinya. Santo merasa lega melihat Arum yang menjaga Mega dengan baik.
"Arum, terima kasih ya sudah menjaganya," ucap Santo sambil mengecup dahi Arum. "Tidak apa-apa, Sayang. Aku senang bisa membantumu," jawab Arum sambil tersenyum.
Santo kemudian bertanya tentang kondisi kesehatan Mega dan kondisi saat ini. Arum menjelaskan bahwa kondisi Mega sedang stabil dan dokter sudah memberikan prognosis yang baik. Namun, Santo masih merasa khawatir dan ingin tetap berada di sisi Mega sampai ia sembuh sepenuhnya.
Setelah mendengar pembicaraan Santo dan Arum, Santo kemudian bertanya tentang Endang, "Endang belum kemari," tanya Santo, pada Arum yang dijawab dengan gelengan kepala,
"Kemana perginya? Sampai jam segini belum kunjung kemari," lanjutnya bergumam sambil memijat dahi yang tiba-tiba merasa pusing.

Arum kemudian menjelaskan bahwa Endang meninggalkan pesan bahwa ia akan pergi untuk menuntaskan dendamnya pada Sri,
yang akan memakan waktu lama untuk kembali. Atau mungkin, tidak akan pernah kembali! Santo merasa kaget dan tidak mengerti mengapa Endang melakukan hal ini. Namun, ia tetap berusaha untuk menjaga kondisi Mega dan berharap agar Endang segera kembali.
"Dendam? Memangnya ada masalah apa antara Endang dan Sri? Bukannya mereka teman baik?" tanya Santo pada Arum.
Arum kemudian menjelaskan bahwa dia sendiri tidak tahu pasti mengenai masalah yang ada antara Endang dan Sri. Ia hanya tahu bahwa Endang pergi untuk menuntaskan dendamnya pada Sri.
Arum mengakui bahwa dia tidak kenal siapa itu Sri dan ia hanya bertemu Endang beberapa kali saja. Itu pun karena diajak oleh sang suami, Santo untuk menjenguk Mega. Jadi saat Arum dan Santo menjenguk Mega, keduanya tidak pernah bertemu atau ada di waktu yang sama.
"Maafkan aku, sayang. Aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti tentang masalah Endang dan Sri. Aku hanya mengetahui dari pesan yang ditinggalkan Endang saja" ucap Arum.
Santo mengangguk mengerti, dia juga merasa kesal karena tidak tahu pasti apa yang terjadi pada Endang. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari tahu dan menyelesaikan masalah ini secepat mungkin.
Arum mengerti perintah suaminya dan menyatakan bahwa dia akan fokus pada kehamilannya dan perawatan Mega. Namun, dia berharap agar masalah ini segera diselesaikan secepat mungkin dan agar Endang segera kembali ke samping mereka.
"Aku berharap mbak Endang bisa melupakan tentang dendam kesumat yang diturunkan dari kedua keluarga mereka berdua, dendam yang diturunkan dari mendiang kakek dan nenek mereka.
Ini hanya akan menyakiti banyak orang dan merusak hubungan antara dua keluarga," ucap Arum dengan tegas, tidak sadar kalau dia keceplosan.
Sebenarnya Arum mengetahui akan masalah yang ada antara Endang dan Sri. Hal ini disampaikan oleh ki Aji Cohyo Sukmo, pendampingnya, yang memberitahu masalah tersebut. Namun, ki Aji belum memberikan perintah untuk Arum untuk ikut campur dalam masalah tersebut -
karena masalah itu sangat berbahaya dan berisiko, dan karena itu ki Aji ingin Arum fokus dengan kehamilannya dan fokus menggantikan peran ibu kandung dari sang anak yang ditinggalkan, yaitu Mega yang sekarang masih terbaring sakit di atas ranjang.
Santo mengangguk setuju, dia juga berharap agar masalah ini segera diselesaikan dan agar Endang bisa melupakan dendam itu dan kembali ke keluarga. Santo berjanji akan mencari tahu dan menyelesaikan masalah ini secepat mungkin demi kebahagiaan keluarga mereka.
Arum kaget mendengar ucapan suaminya yang menyatakan bahwa dia sudah tahu akan masalah yang ada antara Endang dan Sri. Ia tidak menyangka bahwa sang suami sudah tahu tentang kejelekan mantan istri dan mantan anggota keluarga istrinya tersebut.
"Sudah tahu? Sejak kapan kau tahu, sayang?" tanya Arum dengan penasaran.

Santo kemudian menjelaskan bahwa dia sudah tahu sejak beberapa waktu yang lalu.
Namun, dia tidak ingin memberitahu Arum karena dia tidak ingin menambah beban perasaannya dan menimbulkan masalah untuk kehamilannya, "Aku tidak ingin membebani mu, sayang. Itulah alasan mengapa aku tidak pernah menceritakan kejelekan Endang dan keluarganya.
Namun, aku berjanji akan menyelesaikan masalah ini secepat mungkin demi kebahagiaan keluarga kita," jawab Santo dengan lembut.
Arum tersenyum mendengar penjelasan suaminya. Ia merasa senang karena sang suami peduli dengan perasaannya dan berusaha untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik. "Terima kasih, sayang. Aku percayakan masalah ini padamu." ucap Arum dengan senyum.
Lalu, Santo pun duduk di dekat Arum yang duduk di samping ranjang Mega, sambil menunggu anak mereka itu bangun dari komanya.
Santo merasa lega dan tenang karena ia tahu bahwa Mega sekarang sedang dalam perlindungan yang baik. Ia berjanji akan selalu menjenguk dan menjaganya sampai Mega sembuh sepenuhnya.
***

Beberapa waktu sebelumnya, Endang bergegas pergi dari rumah sakit setelah meninggalkan Santo, mantan suaminya, untuk menjenguk anaknya yang sedang koma.
Ia memutuskan untuk menemui Sri, temannya yang bekerja di perusahaan, untuk meminta bantuan dalam mengatasi masalah keuangan yang dihadapinya. Namun, saat sampai di rumah Sri, ia diberitahu bahwa Sri tidak ada di sana dan masih berada di rumah dinas bersama suaminya.
Endang menanyakan alamat rumah dinas tersebut pada tetangga Sri, tapi mereka tidak tahu. Dalam kebuntuan, Endang memutuskan untuk menemui orang tua Sri, karena ia tahu bahwa hubungan Sri dengan kedua orang tuanya sudah membaik.
Ia berharap bahwa orang tua Sri akan memberikan alamat rumah dinas yang ditinggali oleh Sri dan suaminya.

Setelah mendapatkan alamat, Endang langsung pergi dari kediaman orang tua Sri. Namun, ia tidak menuju ke rumah dinas tersebut.
Ia menuju ke rumah sakit terlebih dahulu, untuk melihat Mega yang terakhir kali. Di sana, ia bertemu dengan Arum yang sedang menjaga Mega.
Endang menitipkan Mega pada Arum dan memberikan penjelasan bahwa ia pergi untuk menuntaskan dendamnya pada Sri. "Jika terjadi sesuatu padaku, kau tahu siapa yang harus bertanggung jawab" ucap Endang dengan tegas pada Arum.
Endang kemudian pergi dari rumah sakit, menuju ke tempat yang ia ingat, tempat di mana ia mengantar Sri waktu itu, untuk bertemu dengan seorang dukun yang diharapkan dapat menyelesaikan masalahnya.
Ia merasa sangat terdesak dan ingin segera menyelesaikan masalahnya secepat mungkin. Arum hanya bisa menatap kaget pada Endang yang pergi tanpa penjelasan yang jelas,
dan berharap agar Endang dapat segera kembali dan menyelesaikan masalahnya dengan baik.
Lalu, tak lama setelah itu, Santo kembali ke rumah sakit untuk menemui Arum dan Mega.
Beberapa bulan telah berlalu ... .

Rapat di kantor kecamatan Ademayem sangat ramai. Ada beberapa anggota polisi dan pemuka agama yang hadir. Manto, yang dijuluki "The Unstoppable" oleh teman-temannya dan warga desa Medeni, juga hadir.
Ustadz Syaiful dan beberapa warga dari desa Medeni juga hadir. Rapat ini diadakan untuk membahas kejadian yang hampir mirip dengan desa yang saat ini dijaga oleh Manto.
"Jadi, bagaimana pak Manto," ucap pak Camat, sebut saja namanya pak Godong.

Manto menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "Bukannya hal ini seharusnya ditanyakan pada ustadz Saiful,"
Semua orang melirik ke arah ustadz Saiful, "Ehm, ehm. Maaf, tadikan aku baru saja selesai sholat dan langsung ke sini, jadi tidak tahu pangkal masalahnya," jawab ustadz Saiful yang memang tidak tahu.
"Oh, iya ya ...." ucap beberapa orang secara bersamaan.

"Monggo, nak Guntur ... diceritakan lagi," ucap pak camat.

"Jadi, harus mulai cerita dari awal lagi," tanya balik Guntur, mengernyitkan dahi.

"Ya harus, toh ...," sela pak Rt perwakilan dari desa Wedibae.
"Apa gak bapak saja yang cerita," Guntur melemparkannya pada pak Rt yang tiba-tiba menyela.

"Sudahlah, Gun! Mengalah pada yang tua, kasihan pak Rt. Buat ngomong saja gelapan gitu kalau banyak orang," sindir pak Rw dari desa yang sama.
"Asem!" pak Rt memasang wajah masam, dan hampir semua orang dalam rapat itu tertawa, tapi mereka tahan karena kondisinya tidak memungkinkan.

"Ya sudah, aku awali lagi ceritanya ...." ucap Guntur dan mulai bercerita.
Situasi di rapat ini sangat tegang dan tensi. Suasana rapat ini dipenuhi dengan aroma keringat dan ketegangan. Beberapa warga desa yang hadir merasa khawatir dengan kejadian yang sama akan terulang di desa mereka. Rasa takut dan pilu terasa di seluruh ruangan.
Manto sendiri merasa tidak nyaman dengan julukannya "The Unstoppable" yang diberikan kepadanya. Dia merasa tidak pantas menerima julukan tersebut.
Namun, dia harus berusaha untuk mencari solusi dan menjaga kedamaian di desa Medeni dan desa-desa lain yang ada di kecamatan tersebut. Seperti desa Njungkel, Dakom, Ndebug, dan desa-desa yang lainnya.
Manto merasa bertanggung jawab dan harus memberikan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah yang ada. Dia bergerak dengan cepat dan tersenyum lembut,
"Sebelum kita membahas solusi, ada baiknya kita mendengar cerita dari pak Rt dan pak Rw dari desa Wedibae tentang kejadian yang terjadi di sana," ucap Manto dengan suara lembut namun tegas.
Semua mengangguk setuju, dan pak Rt dan pak Rw mulai bercerita tentang kejadian yang terjadi di desa Wedibae, termasuk bagaimana mereka menyelesaikan masalah tersebut dan apa yang diharapkan agar kejadian yang sama tidak terjadi di desa Medeni dan desa-desa lain.
Manto mendengarkan dengan seksama dan mencatat beberapa poin penting dari cerita yang diberikan. Dia juga menanyakan beberapa hal yang belum jelas dan berdiskusi dengan anggota polisi dan pemuka agama yang hadir untuk mencari solusi yang terbaik.
Akhirnya, setelah beberapa jam diskusi dan berbagai solusi yang ditawarkan, Manto mengusulkan sebuah solusi yang dianggap paling tepat dan diterima oleh semua pihak.
Dia juga menjamin bahwa dia akan melakukan segala usaha untuk menjaga kedamaian di desa Medeni dan desa-desa lain yang ada di kecamatan tersebut.
Semua mengangguk setuju dan merasa lega dengan solusi yang ditawarkan oleh Manto. Mereka merasa yakin bahwa Manto akan mampu menjaga kedamaian di desa Medeni >
< dan desa-desa lain yang ada di kecamatan tersebut. Rasa takut dan pilu yang sempat terasa sebelumnya pun hilang, digantikan dengan perasaan aman dan optimis.
Walau kebanyakan dari mereka sudah mengetahui ceritanya secara keseluruhan, dan hanya rombongan dari ustadz Saiful dan beberapa orang yang awalnya mengerjakan sholat lebih dahulu yang tidak tahu soal ceritanya, tapi kesan semua orang hampir sama. Merinding, takut dan sebagainya.
"Sudah kudengar ceritanya sebelumnya, tapi tetap saja merinding mendengarnya lagi," ucap pak Rt perwakilan dari desa Medeni.

"Benar sekali, rasanya seperti ingin segera pulang dan menjaga keamanan di desa," timpal pak Rw dari desa yang sama.
Ustadz Saiful yang sekaligus merangkap sebagai kepala desa Medeni mengangguk setuju, "Sudah barang tentu, keamanan desa kita harus dijaga dengan baik. Aku akan segera menyampaikan cerita ini kepada warga desa dan mengajak mereka untuk bekerja sama dalam menjaga keamanan."
Manto tersenyum lembut, "Sudah kudengar kesan semua, tapi kita harus tetap tenang dan berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah ini. >
< Aku akan berkoordinasi dengan anggota polisi dan akan selalu berkoordinasi dengan semua pihak untuk menjaga kedamaian di desa Medeni dan desa-desa lain yang ada di kecamatan ini."
Semua mengangguk setuju dan merasa lega dengan komitmen Manto. Suasana rapat yang sebelumnya tegang dan tensi pun mereda dan digantikan dengan perasaan aman dan optimis.
Mereka yakin bahwa Manto akan mampu menjaga kedamaian di desa Medeni dan desa-desa lain yang ada di kecamatan tersebut.
___

Beberapa bulan sebelumnya ... .

Di Wedibae yang terletak di tengah hutan, hiduplah seorang wanita berusia 30 tahunan yang merupakan seorang pendatang bernama Dewi. Dewi adalah seorang wanita cantik dengan rambut panjang yang selalu ditata rapi.
Dia selalu tersenyum dan ramah kepada semua orang di desa Wedibae. Namun, Dewi memiliki satu rahasia yang dia sembunyikan dari orang lain. Dia adalah kuntilanak.
Suatu malam, ketika desa itu sedang sepi dan hanya terdengar suara burung-burung malam, Dewi keluar dari rumahnya dan berjalan menuju hutan. Dia berjalan dengan sangat cepat dan sesekali terdengar suara ketukan kaki Dewi yang menggegar tanah.
Di tengah jalan, Dewi berhenti dan memandang ke sekelilingnya. Udara di sekitar Dewi menjadi dingin, dan bau yang menyengat menyebar ke seluruh hutan. Dewi mulai mengeluarkan suara yang mengerikan,
seolah-olah ia sedang menangis.
Dewi kemudian berjalan menuju sebuah kuburan yang terletak di tengah hutan. Kuburan itu terlihat sangat tua dan rusak. Dewi berdiri di depan kuburan itu dan mulai menangis. Suara tangisnya semakin keras dan mengerikan.
Tiba-tiba, Dewi berubah menjadi kuntilanak yang mengerikan. Rambutnya yang dulunya rapi kini berkepang-kepang dan berwarna hitam. Matanya yang dulunya indah kini menjadi merah menyala.
Kuntilanak ini mengeluarkan suara yang sangat mengerikan, seolah-olah ia sedang marah. Dia bergerak dengan sangat cepat dan mengejar siapa saja yang berada di sekitarnya. Suasana menjadi sangat menyeramkan dan mistis.
Orang-orang di desa tersebut menjauhi kuntilanak dan takut pada keberadaannya. Mereka takut kuntilanak itu akan mengejar dan menyakiti mereka. Dewi atau kuntilanak tersebut dijauhi oleh masyarakat desa dan dianggap sebagai makhluk yang menakutkan dan mengerikan.
Tak lama setelah kuntilanak Dewi diketahui oleh masyarakat desa, banyak kejadian aneh yang terjadi di sekitar desa tersebut. Ada beberapa orang yang menghilang tanpa jejak, bahkan ada bayi yang mendadak meninggal, dan beberapa orang lain yang mengalami kecelakaan yang mengerikan.
Masyarakat desa mulai merasa tidak aman dan takut untuk keluar rumah di malam hari. Beberapa orang bahkan mulai pindah dari desa tersebut karena ketakutan akan kuntilanak Dewi.
Tapi ada seorang pemuda bernama Guntur, yang tidak takut dengan kuntilanak Dewi. Guntur adalah seorang pemuda yang berani dan tidak mudah takut. Ia bertekad untuk mengungkap rahasia Dewi dan menyelamatkan desa tersebut dari kekuasaan kuntilanak.
Guntur berkeliling desa dan mencari bukti-bukti tentang keberadaan kuntilanak yang ia yakini adalah pendatang baru, yang tak lain adalah Dewi. Ia menyelidiki tempat-tempat yang diduga dikunjungi oleh kuntilanak, termasuk kuburan yang dikunjungi Dewi.
Akhirnya, Guntur menemukan bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa Dewi adalah kuntilanak. Ia mengumpulkan semua bukti tersebut dan menunjukkannya kepada masyarakat desa.
Masyarakat desa yang semula takut kepada kuntilanak Dewi, kini bersatu dan bertekad untuk mengusir kuntilanak tersebut dari desa. Mereka bekerja sama dengan Guntur untuk mencari cara untuk mengusir kuntilanak Dewi.
Setelah beberapa hari berjuang, akhirnya kuntilanak Dewi dapat diusir dari desa. Keamanan kembali ke desa dan masyarakat dapat hidup dengan tenang lagi. Guntur menjadi pahlawan bagi desa tersebut karena berani menghadapi kuntilanak Dewi dan menyelamatkan desa dari kekuasaannya.
Setelah kuntilanak Dewi diusir dari desa, Guntur dan masyarakat desa merasa lega dan aman. Namun, mereka tidak mengetahui bahwa kuntilanak Dewi masih menyimpan dendam yang besar terhadap Guntur dan masyarakat desa.
Beberapa hari kemudian, saat Guntur sedang berjalan di tengah hutan, ia mendengar suara tangis yang sangat menyedihkan. Guntur berpikir itu mungkin hanya suara burung atau angin, tapi ia merasa sangat tidak nyaman.
Tiba-tiba, ia melihat sesosok wanita dengan rambut panjang berkepang-kepang muncul di depannya. Guntur merasa sangat ketakutan saat melihat wanita itu, karena ia tahu itu adalah kuntilanak Dewi yang diusir dari desa.
Kuntilanak Dewi mengeluarkan suara yang sangat mengerikan dan mengejar Guntur. Guntur berlari sekencang mungkin, tapi kuntilanak Dewi selalu mengejarnya. Guntur berusaha untuk mencari jalan keluar dari hutan, tapi ia merasa sangat tersesat.
Akhirnya, Guntur berhasil keluar dari hutan dan kembali ke desa. Namun, ia merasa sangat lelah dan sakit setelah mengalami pelarian dari kuntilanak Dewi. Guntur menceritakan pengalamannya kepada masyarakat desa dan mereka pun kaget dan takut.
Masyarakat desa pun bertekad untuk menyelamatkan Guntur dan mengusir kuntilanak Dewi sekali lagi. Mereka bekerja sama dengan Guntur dan mencari cara untuk mengusir kuntilanak Dewi selamanya.
Setelah beberapa hari berjuang, akhirnya kuntilanak Dewi dapat diusir dari desa untuk kedua kalinya, setelah menemukan Dewi yang diam-diam tinggal di gua tengah hutan. Keamanan kembali ke desa dan masyarakat dapat hidup dengan tenang lagi.
Namun, kisah kuntilanak Dewi memberikan pelajaran penting bagi masyarakat desa, bahwa selalu ada konsekuensi dari setiap tindakan yang kita ambil.
Mereka harus bertanggung jawab atas tindakan yang mereka ambil dan tidak boleh sembarangan dalam mengusir makhluk-makhluk yang dianggap mistis dan mengerikan.
Guntur pun menjadi pahlawan yang kedua kalinya bagi desa Wedeibae karena berani menghadapi kuntilanak Dewi dan menyelamatkan desa dari kekuasaannya. Namun, ia juga menyadari bahwa ia harus lebih berhati-hati dalam menghadapi makhluk-makhluk yang dianggap mistis dan mengerikan.
Kisah kuntilanak Dewi pun menjadi cerita yang dikenang sepanjang masa di desa tersebut, sebagai peringatan bagi generasi selanjutnya untuk selalu berhati-hati dan waspada terhadap makhluk-makhluk yang dianggap mistis dan mengerikan.

___
Balik lagi ke kecamatan, yang kini hampir semua orang sudah siap pulang.
Sri yang sebelumnya hanya menjadi pendengar, langsung minta izin pada suaminya, "Mas Manto, tunggu di sini sebentar ya, aku ada perlu sama Guntur, ada hal yang ingin aku tanyakan,"
"Baiklah, jangan lama-lama," jawab Manto, dan Sri pun langsung bergegas berjalan cepat mendekati Guntur.

Sri ingin memastikan dugaannya tentang siapa Dewi, sejak kapan ia ada di desa Wedibae, dan lain-lain.
Dia menyusuri ruangan rapat yang sudah hampir sepi dan menemukan Guntur yang sedang duduk di sudut ruangan.

"Hai Guntur, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Sri dengan nada penuh pertanyaan.
"Tentu saja, apa yang ingin ibu Sri tanyakan?" jawab Guntur dengan ramah.

"Aku ingin tahu tentang Dewi, siapa dia dan sejak kapan dia ada di desa Wedibae?" tanya Sri dengan penuh penasaran.
Guntur menghela nafas, "Dewi adalah sosok yang misterius, beberapa warga desa Wedibae mengatakan bahwa dia adalah seorang yang mendalami ilmu pesugihan dengan merubah wujudnya menjadi kuntilanak untuk mencari mangsa.
Dia muncul di desa Wedibae sekitar enam bulan yang lalu dan menyebabkan masalah yang cukup besar di sana. Tapi, kami berhasil menyelesaikan masalah tersebut dan Dewi pun menghilang tanpa jejak."
Sri mengangguk paham, "Terima kasih atas jawabannya Guntur. Aku hanya ingin tahu saja," ucap Sri dengan nada lega.

"Tidak masalah, kalau ada yang ingin ditanyakan lagi, jangan ragu untuk bertanya," jawab Guntur sambil tersenyum.
Sri bergegas kembali ke Manto, namun dia merasa bingung dengan apa yang baru saja dia dengar dari Guntur. Dia mencoba untuk mencerna informasi yang baru saja didapatnya.
"Enam bulan? Kok sama dengan kedatangan kita ke desa Medeni? Apa benar dia itu? Tapi apa mungkin?" pikirnya sambil terus berjalan.
Ia mencoba untuk tidak memberitahukan hal ini pada siapapun, termasuk Manto. Dia merasa perlu untuk merenungkan informasi ini dahulu sebelum mengambil keputusan apapun.

Manto menyambut Sri dengan senyum, "Apakah kau dapat menemukan jawaban yang kau cari?" tanyanya.
Sri tersenyum tipis, "Ya, aku dapat jawaban yang aku cari. Tapi, aku perlu untuk merenungkannya dahulu sebelum mengambil keputusan apapun," ucap Sri dengan nada yang masih ragu.
Manto mengangguk paham, "Sudah kudengar, kau harus mencerna informasi yang didapat dengan baik. Jangan khawatir, kita akan berkoordinasi dan mencari solusi yang terbaik," ucap Manto dengan suara yang meyakinkan.
Sri merasa lega dengan komitmen Manto, dan mereka pun pulang bersama-sama dengan perasaan yang aman dan optimis. Meskipun Sri masih merasa bingung dengan apa yang baru saja didapatnya, dia yakin bahwa dia dan Manto akan menemukan solusi yang terbaik untuk masalah ini.
Pada malam yang gelap dan dingin, dimana kebanyakan orang tengah terlelap, Sri membuka kedua matanya. Ia bangun dari tempatnya berbaring, yang ada di kamar belakang.
Ini adalah malam jumat, malam di mana Sri harus beraksi. Bukan untuk mencari tumbal, tapi mencari uang, atau pun benda berharga seperti perhiasan dan semacamnya.
Untuk tumbal sendiri, sebenarnya dalam setahun ia harus bisa menumbalkan bayi atau janin, hanya dua kali, jadi dalam jangka enam bulan hanya sekali.
Dengan merubah wujudnya menjadi kuntilanak, dengan mudah ia masuk dan keluar dari rumah. Baik rumah dinas yang sekarang ia tempati, maupun rumah warga yang menjadi sasaran.
Singkatnya, Sri pun melayang hendak pulang, tapi ia dihadang oleh sosok kuntilanak lain, yang pastinya kuntilanak jadi-jadian pula, karena terlihat jelas tubuh tersebut berwujud sempurna seperti dirinya.
Sangat berbeda dengan kuntilanak asli dari makhluk gaib, atau astral, wujudnya tidaklah sempurna dan terlihat agak transparan.
Keduanya bertemu di udara, dan tanpa tahu mengapa, kuntilanak yang menghadang Sri langsung meleset, menyerang Sri.
Cakar yang tajam hampir saja mengenai wajahnya, tapi Sri dengan cepat menghindar dan kuntilanak tersebut langsung menjaga jarak, dan berusaha kabur.
Kuntilanak Sri terbang dengan cepat dan mengejar Kuntilanak yang ia pikir adalah kuntilanak Dewi. Ia menggunakan kuku-kukunya yang panjang untuk mencakar Dewi, >
< tetapi Dewi dengan cepat menghindar dan mengejar balik Sri dengan kuku-kukunya sendiri. Mereka terbang dengan kecepatan tinggi di antara awan gelap yang menutupi rembulan.
"Sri, kau tidak akan pernah mengalahkan ku!" teriak Dewi dengan marah.

"Bagaimana kau tahu namaku?" jawab Sri, "Tapi tidaklah penting, karena aku akan mengalahkanmu, Dewi. Aku adalah kuntilanak yang lebih kuat!" jawab Sri dengan tegas.
Mereka terus berkelahi dengan keras, mencakar dan menerkam satu sama lain. Debu dan angin berkelebat di sekitar mereka, menambah kekacauan dalam pertarungan.
Namun, akhirnya Sri berhasil mengalahkan Dewi dengan mencakar dadanya. Dewi terjatuh ke tanah dengan keras dan tidak bergerak lagi.

"Aku menang," ucap Sri dengan senyum puas.
Sri lalai setelah menganggap Dewi sudah mati dan ia tidak menyadari bahwa Dewi masih memiliki kekuatan untuk membalas. Dewi dengan cepat terbang kembali dan mencakar kaki Sri, menyebabkan Sri terjatuh ke atap bangunan.
"Endang? Ternyata kuntilanak Dewi itu kamu? Ternyata benar apa dugaanku!" teriak Sri dengan terkejut, setelah wajah kuntilanak yang ia pikir adalah Dewi, kini tersorot cahaya, membuatnya melihat sosok tersebut dengan sangat jelas.
"Ihihihi, Sri Rahayu Wulandari! Kalau bukan aku? Lantas siapa? Aku sudah lama mencarimu dan membuat teror di desa Wedibae, tapi kamu tak kunjung datang! >
< Jadi terpaksa, aku mendatangimu ke desa Medeni, untuk mengambil nyawamu!" jawab Dewi yang ternyata adalah Endang Dewi Puspita Sari, dengan tawa mengerikan.
Kini keduanya terbang di atas atap sebuah bangunan, yang berdekatan dengan rumah dinas. Sri melirik ke arah rumah dinas, tampak seseorang menyorotkan senter ke arah udara, >
< yang sebelumnya menyoroti Dewi, kini hendak menyorotinya. Sri yang takut ketahuan langsung menunduk, dan menggerakan rambutnya ke depan, agar menutupi semua bagian wajah.
"Sri, jangan berharap kau bisa bersembunyi dariku. Aku tahu kau tinggal dimana. Tapi kau tidak akan mati hari ini, aku akan datang kembali dan mengambil nyawamu," ucap Endang dengan tawa mengerikan.
Kemudian terbang jauh, meninggalkan area pertempuran, meninggalkan Sri yang terluka dan terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Setelah Endang pergi, Sri segera melayang menuju bagian sebelah kanan dari rumah dinas. Ia masuk melalui dinding, tanpa menyadari bahwa ia meninggalkan sesuatu di luar dinding. Ia segera masuk ke dalam kamar, menutup dan mengunci pintu yang awalnya terbuka.
Ia segera membaca mantera untuk kembali ke wujud manusia. Ia mengucapkan kalimat-kalimat yang dia pelajari dari dukun waktu itu, dengan fokus dan konsentrasi yang tinggi.
Tiba-tiba, tubuhnya mulai berubah, rambutnya mengecil dan kuku panjangnya menghilang. Ia menjadi manusia lagi.
Sri merasa lega karena ia berhasil kembali ke wujud manusia. Sri merasa ingin beranjak, tapi langkahnya menjadi pincang karena sakit yang ia rasakan di kakinya.
Ia baru menyadari bahwa ia terkena cakaran di kaki saat pertarungan dengan Endang. Ia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa sakitnya, tapi sulit untuk menyembunyikan rasa sakit yang dirasakan saat berjalan.
Sementara itu, suara Manto yang terus memanggil-manggil namanya, membuat Sri buru-buru keluar dari kamar dengan langkah pincang.
Ia berusaha untuk menemui Manto, yang tidak lain adalah suaminya dan temannya yang menyorotkan senter ke udara, ke arahnya dan ke arah Endang saat masih dalam wujud kuntilanak.
"Sri, apa yang terjadi? Apa kau terluka? " Tanya Manto, saat Sri masuk ke ruangan.

"Aku baik-baik saja, mas. Hanya saja ... aku terjatuh dari atas ranjang," jawab Sri dengan wajah cemas, berbohong untuk menutupi identitasnya sebagai kuntilanak.
"Oh, baiklah. Aku akan membantumu untuk pergi ke dokter," kata Manto, yang tidak meragukan kisah Sri. Mereka berdua segera pergi ke dokter untuk mendapatkan perawatan yang diperlukan.
Selama perjalanan ke rumah sakit, Sri merasa cemas karena Endang masih bebas dan bisa saja datang mengejar dan mencarinya lagi.
***

Sementara itu, teman Manto yang bernama Ridho, yang tinggal di rumah dinas untuk menjaga rumah saat Manto dan Sri pergi, menyadari sesuatu yang aneh.
Saat dia menyorotkan senter ke udara, ia sangat jelas melihat wajah Sri sebagai kuntilanak, sebelum Sri menyadari bahwa Ridho menyorotkan senter ke arahnya.
Ridho adalah pemuda dari desa Medeni, ia bukanlah anggota polisi, hanya pemuda biasa yang menemani Manto begadang di depan rumah dinas. Keduanya menjadi akrab, karena mereka sering berjumpa dalam acara tertentu.
"Hm, benar! Tepat dugaanku! Apalagi tadi dicari tidak ada, tiba-tiba muncul di dalam kamar. Padahal tadi di kamar sudah di cek, tapi ibu Sri tidak ada dan alasannya jatuh dari ranjang," gumam Ridho dalam hati.
Walau Ridho sudah mengetahui identitas Sri, tapi dia tetap merahasiakan hal tersebut dan tidak ingin mengungkapkannya kepada siapapun.
Ridho memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa kepada Manto atau siapapun, karena dia tahu bahwa ini adalah rahasia besar yang harus dijaga dengan baik. Dia juga merasa bahwa Sri pasti memiliki alasan yang cukup kuat untuk merahasiakan identitasnya sebagai kuntilanak.
Ridho mengelilingi rumah dinas, dia mencari tahu darimana Sri masuk ke dalam rumah. Padahal dia ingat setelah masuk ke dalam rumah, Manto langsung mengunci pintu depan, >
< dan mereka mencari keberadaan Sri yang ternyata tidak ada, sampai semua sudut dalam rumah, namun batang hidung Sri tidak terlihat. Lalu ia mendengar suara kamar belakang yang tiba-tiba tertutup sendiri, dan beberapa saat kemudian Sri pun keluar.
Ridho berjalan sampai samping rumah, yang posisinya sejajar dengan kamar Sri. Dia melihat ada sekumpulan uang yang berserakan, yang pastinya tertinggal saat Sri menembus dinding.
Tanpa menunggu waktu lagi, Ridho memungut uang tersebut. "Ini pasti dari Sri, saat dia menembus dinding," gumam Ridho dalam hati.
Saat Ridho memungut uang, tiba-tiba ada Juling datang. Juling ingin memastikan apa yang ia dengarkan barusan didalam rumah, kalau ada suara berterbangan dan tawa kuntilanak, apa memang habis ada kuntilanak.
Namun, sebelum Juling bertanya pada Ridho, Ridho memanggilnya dan memberikan sebagian dari uang yang ia temukan pada Juling.
"Ini untukmu, Juling. Aku menemukannya di sini," kata Ridho sambil menunjuk pada uang yang ia berikan pada Juling.

"Untuk apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Tanya Juling dengan penasaran.
"Aku tidak tahu pasti, tapi aku mendengar suara berterbangan dan tawa kuntilanak dari dalam rumah. Mungkin ini adalah uang yang ditinggalkan oleh kuntilanak itu," jawab Ridho dengan jujur.
Juling mengangguk, dia tidak meragukan kata-kata Ridho, dan dia memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa tentang hal ini pada siapapun. Dia akan menjaga rahasia ini sebagai rahasia antara dia dan Ridho.
Tentunya, rahasia menemukan uang ini harus dijaga kerahasiaannya, karena Ridho tidak ingin memberitahu siapa pun tentang kuntilanak yang baru saja berkelahi di udara. Dia takut jika kuntilanak itu akan datang mencarinya dan membahayakan dirinya dan orang-orang yang dicintainya.
"Juling, aku mohon jaga kerahasiaan ini dengan baik. Saya tidak ingin orang lain tahu tentang kuntilanak yang baru saja berkelahi di udara," kata Ridho dengan serius.
"Tenang saja, Ridho. Aku akan menjaga kerahasiaan ini dengan baik. Tapi, kau harus berhati-hati. Kuntilanak itu mungkin akan datang mencari kau," jawab Juling dengan nada preoccupying.
Ridho mengangguk, dia tahu bahwa dia harus selalu waspada dan siap untuk melindungi diri dan orang-orang yang dicintainya dari ancaman kuntilanak itu.
Dia bertekad untuk belajar lebih banyak tentang kuntilanak dan cara untuk mengalahkannya, agar dapat melindungi diri dan orang-orang yang dicintainya dari ancaman kuntilanak, dan kalau itu terjadi, sangat mudah bagi Ridho untuk membongkar kalau kuntilanak itu adalah Sri.
Tapi tidak mungkin juga kalau yang akan melakukan kejahatan itu adalah Sri, karena ada satu kuntilanak lagi yang Ridho tak ketahui.

"Hey, kok tiba-tiba bengong, do?" tanya Juling.
"Yuk, ambil semua uang ini dan temani aku di depan. Kita ngopi-ngopi, soalnya Bu Sri dan Pak Manto sedang keluar," jawab Ridho pada Juling.
"Ayuk!" sahut Juling singkat, lalu keduanya kemudian berjalan menuju depan rumah, dengan membawa uang yang mereka temukan dan berbicara tentang hal-hal lain selain kuntilanak.
***

Endang, yang sekarang menjelma menjadi sosok kuntilanak, terbang dengan wajah pucat dan ekspresi yang menunjukkan betapa lelahnya ia setelah bertarung dan mengadu kesaktian dengan Sri.
Ia ingin segera pulang ke rumah kosong yang ada di Desa Merji, karena Endang sekarang tinggal di desa itu.

Tetapi, ketika ia sampai di Desa Wedibae, desa yang harus ia lewati sebelum sampai di desa Merji, ia dikepung oleh para warga yang siaga satu.
Mereka berkeliling desa untuk melakukan poskamling, dan setelah mereka mendapatkan informasi tentang sosok kuntilanak yang meresahkan warga, mereka berbondong-bondong mengepung Kuntilanak Endang yang langsung menjadi incaran para warga yang melihatnya terbang dengan tergesa-gesa.
"Aduh, itu sosok kuntilanak yang dari tadi meresahkan!" seru salah seorang warga saat melihat Endang terbang.
Para warga yang takut dan dengan hati berdebar-debar segera mengejar Endang. Mereka berteriak-teriak dan berusaha menangkap kuntilanak itu. Namun, Endang terbang dengan cepat dan mencoba untuk melepaskan diri dari kejaran para warga.
Teriakan dari para warga, membangunkan warga lain yang sedang tertidur, atau mereka yang sedang mengobrol di depan rumah langsung berlari dan ikut mengejar.
Bahkan beberapa dari warga membawa benda tumpul dan batu.
"Jangan dekati aku! Aku tidak bermaksud menyakiti kalian!" teriak Endang dengan suara yang memekakkan telinga.

Namun, para warga tak terima dengan teriakan Endang dan semakin bersemangat mengejar kuntilanak itu. Mereka berteriak dan mengepung Endang dari semua arah.
Endang terus dikejar oleh para warga yang sudah sangat geram dan tidak bisa melepaskan diri dari kejaran mereka. Ia berusaha untuk membela diri dan menjelaskan situasinya, tetapi para warga tidak mau mendengarkan dan memutuskan untuk menghakiminya sendiri.
Ia yang kelelahan dan terkena lemparan batu yang sebelum melemparkannya ke Endang disertai bacaan doa yang diajarkan oleh sang ustadz, membuat Endang tak berdaya dan rasa sakit dari batu-batu lemparan warga membuatnya tak mampu lagi terbang, hingga terjatuh ditengah kerumunan.
"Tangkap dia! Jangan biarkan dia kabur!" teriak warga lain.

Endang terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia memohon pada para warga untuk tidak membunuhnya dan berusaha menjelaskan situasinya.
"Tolong, jangan bunuh aku. Aku bukan kuntilanak jahat. Aku hanya ingin pulang ke rumahku di Desa Merji," ucap Endang dengan nada memohon.
Namun, para warga tidak mau mendengarkan dan semakin bersemangat untuk menangkap Endang. Mereka berteriak dan memegang tongkat kayu dan obor dengan tegang.

"Jangan berbicara! Tangkap dia sekarang!" teriak salah satu warga.
Ia berusaha untuk memberikan pembelaan dan menjelaskan bahwa ia bukanlah ancaman bagi mereka. Namun, para warga tidak bisa memaafkan tindakannya yang sudah menimbulkan onar dan ketakutan di desa Wedibae.
Seketika Endang ditangkap dan dibawa ke depan para warga, mereka tidak bisa memaafkan tindakannya yang sudah menimbulkan onar dan ketakutan di desa Wedibae. Para warga memutuskan untuk memberikan hukuman yang sangat berat kepada Endang.
Endang memegang bagian dada dari kain yang membungkus tubuhnya yang disertai bacaan mantera, dan secara tiba-tiba kain yang membungkus tubuhnya terlepas,
lalu sosoknya kembali seperti semula, seperti manusia seutuhnya, namun dengan keadaan yang tak utuh, karena darah hampir membanjiri sekujur tubuhnya.
"Lihat! Aku manusia! Aku sama seperti kalian!" ucapnya memelas, sambil memegang kain putih bak kafan, yang ia gunakan untuk berubah wujud menjadi sosok kuntilanak.
"Kamu bukan manusia! Tapi iblis!" teriak salah satu warga yang geram, karena telah kehilangan anak bayinya yang baru dilahirkan.
Seketika, ia melemparkan obor yang menyala dan berisi minyak tanah ke arah Endang. Obor itu membuat Endang terbakar dan menjerit kesakitan. Ia berusaha untuk memadamkan api yang menyala di tubuhnya, tetapi usahanya sia-sia.
Para warga hanya bisa memandang perlakuan lelaki itu, namun dari mereka tak ada yang mencegahnya, apalagi memadamkan api yang membakar tubuh perempuan yang ada di depan mereka.
Mereka merasa bahwa Endang sudah menerima balasan yang setimpal atas tindakannya yang sudah menimbulkan onar dan ketakutan di desa Wedibae.
"Sekarang, wajahmu akan terbakar seperti api kemarahan kami!" teriak salah seorang warga, ikut melempar obor yang menyala dan berisi minyak tanah ke arah Endang.
Endang berteriak dan berusaha melarikan diri, tetapi warga sudah membentuk cincin dan memblokir jalannya. "Tolong, jangan! Aku tidak berniat melakukan hal yang buruk!" Endang berteriak memohon.
Tetapi, suara memohon Endang terabaikan oleh warga yang semakin geram. Mereka terus melempar obor yang membuat Endang terbakar dan tidak bisa membela diri.
Bukan itu saja, warga yang geram langsung memukul-mukulkan tongkat, maupun kayu ke tubuh Endang yang masih terbakar.
Ada juga yang mengambil batu besar, dan menghantamkan batu tersebut ke tubuh Endang yang terbakar dan mengerang kesakitan.
"Ini hukuman dari kami untukmu, kuntilanak jahat!" teriak warga lain.

Namun tidak semua warga, karena ada beberapa warga yang hanya berdiri sambil menyaksikan kejadian tersebut.
Mereka merasa ngeri dan merasakan pilu akan tindakan dari beberapa orang yang berdiri di depan mereka yang melakukan tindakan main hakim sendiri tanpa adanya belas kasih.
Jeritan dan tangisan Endang terdengar memekakkan telinga, membuat warga yang ada di sekitarnya merasa sangat tidak nyaman. Namun, mereka tetap bersikeras memberikan hukuman kepada Endang atas tindakannya yang menimbulkan keresahan di desa mereka.
Di sisi lain, Manto yang mengendarai mobil dinas, yang membawa istrinya untuk berobat, melewati jalanan itu. Ia kaget saat melihat banyak masa yang berkerumun, dan ada sosok terbakar, yang ia pikir adalah seorang pencuri.
Manto segera berhenti dan turun dari mobil, memegang pistolnya dan berjalan menghampiri kerumunan tersebut. "Apa yang terjadi di sini?" tanya Manto dengan suara tegas.
Warga yang berkerumun dan tidak ikut melakukan tindakan itu pun menjelaskan bahwa ada sosok perempuan berpakaian putih usang yang kini terbakar dan dikejar-kejar oleh mereka.
Manto tidak merespons dan memperhatikan situasi, lalu menembakkan pistolnya ke udara, membuat beberapa warga kaget dan merinding. "Berhentilah! Padamkan apinya, dan jangan menghakiminya lagi!" perintah Manto pada beberapa warga.
"Sekarang, beberapa dari kalian, tolong padamkan api yang menyala pada perempuan itu!" perintah Manto pada beberapa warga yang masih berdiri di sekitar. Mereka dengan cepat membawa air dan membuat api padam.
Setelah api padam, dan asap putih tidak lagi mengepul ke udara, Manto terkejut kala melihat bahwa sosok perempuan tersebut adalah Endang, orang yang ia kenal dan merupakan teman dari istrinya, yang kini dari separuh tubuh Endang sudah gosong dan terbakar.
"Endang! Bagaimana mungkin? Dan kenapa bisa ada di sini? Lalu-lalu, aaahhhhh …." teriak Manto saat ia berlari ke arah sosok tersebut. Namun, Sri justru memperlihatkan senyuman jahat saat melihat Endang yang separuh anggota tubuhnya gosong dan terbakar.
Manto langsung mendekat dan meminta bantuan beberapa orang, sementara Sri hanya bisa berdiri diam dan memperhatikan situasi. Beberapa warga lainnya merasa bersalah atas tindakan anarkis yang dilakukan oleh beberapa warga yang lain.
Endang masih hidup, tapi ia tak bisa berbicara dan hanya bisa meminta maaf dengan isyarat. Namun, takdir berkata lain. Endang menghembuskan nafas terakhir, dan tubuhnya diam di tanah.
Manto menitikkan air mata dan segera bangkit, membawa beberapa warga untuk diintrogasi. Sementara Sri dan beberapa warga lainnya membantu mengurus tubuh Endang yang tak bernyawa.
"Astaghfirullah! Inilah alasan awalnya aku tidak mau memberikan ijazah pada kalian dengan bacaan yang bisa melumpuhkan makhluk jadi-jadian, karena akibatnya akan seperti ini!" keluh seseorang yang tiba-tiba datang dengan baju kokoh berwarna putih dan peci hitam di atas kepalanya.
"Bukannya kalian sudah berjanji, kalau nanti tertangkap, kalian akan mengadilinya dengan adil, buka main hakim sendiri?" lanjut pria itu.
"Maaf ustadz, kami sebenarnya menjalankan apa yang ustadz perintahkan, tapi warga lain lah yang melakukan hal itu," jawab salah seorang pria dengan kepala menunduk.
"Benar, ustadz." sambung pria lainnya, sambil melirik ke beberapa orang yang sekarang tengah diintrogasi oleh Manto.
Sang ustadz ikut melirik ke arah tersebut, sambil menghela nafas panjang, meremas janggut panjangnya yang hitam kekuningan, "hmmm ..., mungkin ini sudah takdirnya."
TAMAT
Sri dan beberapa warga membawa pulang jenazah Endang untuk di makam kan, lalu ia tidak ikut kembali ke desa tersebut dan memilih tinggal di rumah.

Sri trauma melihat apa yang menimpa Endang dan ia takut kalau hal itu jug menimpa dirinya.
Sri berniat tidak melanjutkan pesugihan kuntilanak, ia menerima konsekuensi akan hal tersebut dan menuliskan semuanya dalam buku catatan >
< yang kelak jika suatu hari ia dijadikan tumbal akan pesugihan yang telah dilakukan nya, buku itulah yang akan menjadi saksi bagi Manto atas apa yang ia perbuat selama ini.
Untuk nasib Mega, ia sembuh, namun mengalami cacat di kedua kakinya, membuat gadis kecil itu memakai kursi roda untuk bisa berjalan, dan kini ia tinggal bersama ayah dan ibu tirinya.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Rama Atmaja

Rama Atmaja Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @RamaAtmaja_HCR

Nov 24, 2023
MAPAG

"Tumbal anak, tumbal diri, pesugihan merajut kisah kelam yang memakan korban."

@FaktaSejarah @bacahorror @IDN_Horor @threadhororr @P_C_HORROR @autojerit
#ceritaserem Image
Aku akan menceritakan sebuah kisah. Di malam yang berembun di tahun 90-an, seorang anak laki-laki bernama Boy pulang seorang diri setelah menonton layar tancap. Saat melewati gang sepi, keanehan mulai terkuak.
Boy melihat sebuah keranda mayat terbang membelakangi, dan seperti tak terkendali, ia mengikuti keranda itu yang melintasi gang demi gang. Hingga pada akhirnya, keranda berhenti di sebuah rumah, terungkap bahwa empat makhluk hitam pekat seperti asap yang memikulnya.
Read 75 tweets
Jun 3, 2023
GEMBUNG KUNTILANAK

- 3 hari dalam wujud Kuntilanak -

Narasumber : Dodi

@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR @threadhororr

Untuk menonton atau dengar, bisa kunjungi link yang di atas versi video audio singkat dari cerita ini.
Versi thread agak berbeda dengan menambahkan narasi agar sedikit panjang dari versi di youtubenya. Tapi dari inti ceritanya sama dan cerita ini terinspirasi dari kejadian nyata. Image
Di sebuah Desa yang terletak di kawasan Pantura, malam menyelimuti segala sesuatu dengan kegelapan yang pekat. Angin berhembus dengan ganas, seakan membawa cerita-cerita mengerikan dari masa lalu, menggerakkan daun-daun kering pohon-pohon tua yang berderit menakutkan.
Read 21 tweets
Mar 14, 2023
Image
Nurmi, nama gadis kelas 2 SMU yang kini terduduk lesu dibalik pintu. Bagaimana tidak? Sepulang sekolah ia mendapati rumahnya telah ramai orang, dan saat ditanya tak ada jawaban dari mereka, hingga ia masuk dan mendapati orang tercintanya terbujur kaku di atas ranjang.
Mak Selasih, atau yang lebih dikenal dengan mak Slambit (Peniti), karena ia selalu saja menempelkan peniti pada pakaian yang dikenakan, entah untuk apa itu, karena pakainya juga tidaklah rusak ataupun berlubang.
Read 14 tweets
Feb 27, 2023
"Demi kelangsungan hidup dan kebahagiaan, aku rela menumbalkan janin yang ku kandung untuk mertua perempuanku yang melakukan pesugihan tumbal janin. Apakah aku bisa dibilang sama dengannya? Yang menjadi budak Iblis?"

@IDN_Horor @bacahorror_id @ceritaht @threadhororr
Berawal dari pesan masuk di Facebook, ia (narasumber) menceritakan pengalaman hidupnya. Namun untuk menuliskan ceritanya tidak semudah yang dibayangkan.
Akan ada kontroversi dari segi tempat yang bisa dibilang tidak bisa disinggung oleh khalayak umum.
Hanya ada satu cara untuk menyampaikan ceritanya, dengan merubah jalan cerita agar tidak terlalu sama, seting waktu dan tempat, serta penambahan bumbu untuk memperindah ceritanya.
Read 91 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(