Daniel Ahmad Profile picture
Jan 26 111 tweets 13 min read
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN SATU.

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN 1

Keseharian Hayati saat pagi hari tak jauh dari tungku dan sumur. Menjaga agar tungku tetap menyala, serta memastikan peralatan masak bersih dari noda.
Ia telah terampil membagi lima jam harinya antara memilih apa yang dimasak dan apa yang harus dibersihkan. Rutinitas itu sama sekali tidak melelahkan sebab Hayati punya pendamping kecil yang selalu cakap dan siaga.
Yuda baru beranjak tujuh tahun, tapi mentalnya telah cukup matang untuk mengerti tentang tanggung jawab dan rasa peduli.
Tak pernah ia biarkan ibunya bekerja sendiri, tidak pula Yuda rela ibunya kelelahan dan jatuh sakit. Ia selalu tanggap dan sigap saat Hayati memanggilnya, bahkan tak ragu menawarkan jasa meski sedang tak diminta.
Hayati tak pernah melarang Yuda bermain. Ada saat-saat tertentu ia harus memaksa anak semata wayangnya itu berbaur dengan anak-anak tetangga, sebab Hayati tak ingin merenggut masa kecil Yuda yang harusnya dihabiskan dengan canda tawa, bukan di dapur ataupun di tempat cuci piring.
Tak jarang pula Hayati sendiri yang mengantar Yuda bermain, lalu meninggalkannya dengan syarat Yuda harus kembali sebelum petang.
Yuda anak yang baik dan cerdas, seringkali tetangga membicarakan serta mengelu-elukan Yuda di depan Hayati, dan setiap itu terjadi, nama suami Hayati selalu muncul sebagai tolok ukur betapa miripnya Yuda.
Dalam sifat dan kecerdasan, Hayati mungkin tidak menyumbangkan gen yang dominan, tapi semua orang setuju kalau kulit bersih, mata lebar, dan hidung mancung Yuda sangat mirip dengannya.
Suatu pagi yang tenang, saat semua kesibukan Hayati telah selesai, dan ia telah bersih, wangi, serta segar, Hayati duduk santai sembari memainkan rambut basahnya.
Semringah pada sesuatu yang hanya ada di dalam kepalanya. Sengaja ia biarkan Yuda bermain dari pagi untuk momentum ini, hingga tibalah pintu rumah diketuk, dan tanpa ragu Hayati melompat dari kursi lalu dengan antusiasnya membuka pintu.
“U-uda?”

Mata Hayati melebar, mulutnya menganga. Sosok di balik pintu adalah orang yang paling ia rindu serta dambakan kehadirannya.
Dua tahun cukup untuk mengembalikan kecanggungan Hayati seperti saat ia pertama bertemu, kendati Hayati dan sosok itu telah sepuluh tahun menikah.
“Tidak senang suami balik kampung?” goda Ahsan.
Pelukan erat dari Hayati sudah cukup menjawab. Ia tak mau melepas sampai semua tubuhnya kembali mengingat rasa hangat serta kokohnya tubuh sang suami.
Tidak hanya dua tahun terakhir, Ahsan kerap kali meninggalkan Hayati dan Yuda untuk pergi ke kota paling sedikitnya enam bulan.
Tak banyak yang Hayati tahu tentang tugas suaminya itu, tapi asalkan kepergian Ahsan untuk mencari rezeki, serta pulang dalam kondisi sehat, Hayati merasa tidak pantas untuk mengeluh.
“Ini saya taruh di mana, Dok?”

Hayati melihat ke halaman rumah, baru ia sadari di sana ada pedati. Pemiliknya sedang menunggu perintah untuk menurunkan muatan yang lumayan banyak, semua dibungkus karung dan kelihatan sangat berat.
“” Ahsan menunjuk teras rumahnya, kemudian ia mengajak Hayati masuk.

“Uda tidak mau bantu nurunin barang dulu?” tanya Hayati.

“Sudah kubayar mereka mahal.”

“Mereka?”
“Ya, kusir dan kudanya. Meski kudanya mungkin cuma dikasih rumput, semua uang diambil si kusir," kelakar Ahsan.

Hayati terkekeh, itu adalah humor pertama Ahsan sejak dua tahun pergi.
Selanjutnya, rumah itu akan penuh canda dan tawa. Hayati pun tak sabar mendengar banyak cerita suaminya selama di kota.
“Mana Yuda?”

“lagi main di luar. Uda tunggu di sini, biar aku jemput."

Hayati bergegas pergi. Tak sabar memberi tahu Yuda siapa yang sekarang sedang ada di rumah.

***
Ahsan dengan segala kesibukannya selalu berusaha menjaga kualitas hubungan antara ayah dan anak. Tidak ingin menjadikan jarak yang jauh serta waktu yang sedikit sebagai dinding tebal yang mengurangi keharmonisan.
Ia pernah berjanji pada diri sendiri, bahwa kepergiannya kali ini adalah yang terakhir. Setelah urusannya dengan rumah sakit di kota selesai, Ahsan akan menetap di kampung di mana tenaganya jauh lebih dibutuhkan.
Kemiskinan, wabah, dan puing-puing peperangan pulih dengan lambat di daerah-daerah tertinggal. Bahkan seringkali seolah waktu tidak menyembuhkan apapun. Luka masih berdarah, tangis kehilangan masih terdengar.
Ahsan tidak bisa mengganti apa yang hilang, ia hanya berharap dengan pengetahuan medisnya, warga kampung merasa terlindungi dari segala yang membuat mereka sakit baik fisik, maupun mental.
Dielu-elukan sebagai Pahlawan, dan disanjung karena jasanya tak lantas membuat Ahsan merasa jadi ayah yang lengkap. Ia tidak ingin Yuda hanya mendengar sisi hebat sang ayah dari orang lain. Ia ingin Yuda mengalami dan menilainya sendiri.
“Bapak tidak pergi lagi, kan?” tanya Yuda, manja di pangkuan Ahsan.

“Tidak. Tugas bapak di kota sudah selesai. Orang-orang kota sibuk membangun, mereka lebih butuh uang daripada obat. Orang seperti bapak tidak punya uang, jadi bapak tinggal di sini saja, sama kamu dan juga ibu."
Yuda nyengir, gigi depannya yang baru saja tanggal membuat wajahnya terlihat lucu bagi Ahsan. Putranya itu mungkin tidak sepenuhnya mengerti apa yang Ahsan katakan, tapi kalimat terakhir barusan sepertinya sudah cukup membuat Yuda senang.
Malam ini mereka makan enak. Daging dan susu mungkin bukanlah menu yang akan mereka santap setiap hari, mungkin esok meja makan mereka hanya akan dihiasi sayuran dan ubi.
Namun, bukan jenis lauk mewah yang membuat makan malam mereka terasa lezat, tapi kehadiran Ahsan yang telah menjadi pelengkap. Usai mengakhiri santapan dengan gurauan, seseorang datang mengetuk pintu rumah sembari mengucap salam.
“Biar aku yang buka,” ucap Ahsan.

Ahsan tidak berharap tamu di hari pertamanya datang. Itu sebabnya ia merahasiakan kehadirannya di kampung. Bukan berniat sombong, hanya saja Ahsan ingin ramah tamahnya di hari pertama ia habiskan untuk keluarga.
“Ahsan?” ucap seseorang di balik pintu.

“Oh, Didit, masuk-masuk!” sambut Ahsan ramah.

Pria bernama Didit tertegun sejenak. Ia berdiri di pintu seolah tak percaya melihat sosok Ahsan sekarang. Kebekuan sesaat itu runtuh menjadi tawa dan pelukan
“Lama tidak bertemu. Kangen juga aku ini,” ucap Didit.

“Tahu dari mana aku datang?”

“Tadi siang dikasih tahu Wak Imin. Katanya dia lihat kamu naik pedati.”
Ahsan mempersilakan tamunya duduk, sekaligus menyuruh Yuda mencium tangan meski tanpa disuruh pun Yuda sudah berinisiatif menghampiri.

“Gagah sekali kamu sekarang,” goda Didit. “Sudah berapa banyak gadis kota yang kamu patahkan hatinya?”
“Tidak sebanyak gadis desa yang sudah mematahkan hatimu,” balas Ahsan.
Mereka berdua terkekeh. Didit adalah satu dari sedikit sahabat lama Ahsan yang tersisa. Sebagian pergi merantau, sebagian lagi terseleksi oleh alam dan juga perang.
Tiga puluh menit obrolan mereka diisi dengan nostalgia, lalu berakhir memasuki sesi berbagi informasi tentang apa yang terjadi di kota, dan apa yang terjadi di desa.
Mulanya Ahsan tidak terlalu antusias mendengar banyaknya peristiwa di kampung mereka, sampai akhirnya Didit menyebut tentang wabah cacar yang menyerang kampung sebelah.
Dari situ, perbincangan mereka berlanjut dengan wajah serius. Hayati sampai harus mengingatkan keduanya agar segera meminum kopi yang sudah lama didiamkan.
“Rumah sakit sampai kewalahan?” tanya Ahsan.

“Sebagian besar tenaga medis di rumah sakit sudah pergi. Rumah sakit cuma tinggal bangunan kosong,” ujar Didit.
“Ya, itulah yang aku selesaikan di kota. Pasca Proklamasi, banyak rumah sakit yang tidak lagi mendapat dana dari luar. Sebagian bertahan karena rakyat yang harus membayar, sebagian lagi terabaikan.--
--Beberapa dokter pribumi yang bertugas di pelayanan kesehatan desa dipindahtugaskan untuk mengisi kekosongan itu.”
“Dan kamu menolak?”

“Aku memilih tempat yang tepat,” sahut Ahsan.

“Hah, kamu memang tidak pernah berubah,” ucap Didit bangga. “Sayangnya, tidak semua desa punya seorang Ahsan. Kampung sebelah yang aku bilang barusan, mereka mengandalkan para dukun untuk mengatasi wabah cacar.”
Ahsan tersenyum. Ia tidak bermaksud menyepelekan profesi tabib, dukun, atau segala macam profesi pengobatan alternatif, tapi tawa kecilnya barusan tak bisa ia tahan.

“Mungkin besok atau lusa aku sempatkan ke sana.”

Didit nyaris menyemburkan kopinya.
“Mau apa?” tanyanya.

“Cuma lihat-lihat, siapa tahu ada yang bisa aku lakukan. Lagipula kalau kita bisa mengatasi wabah di sana, itu akan mencegah penularan ke kampung kita."
“Sebaiknya jangan! Ada alasan kenapa dokter di kampung itu pergi semua, dan kalau kamu tanya mereka, aku yakin kamu pun tidak akan mau ke sana,” tutur Didit.

“Oh, ya? Baiklah kalau gitu,” sahut Ahsan.
Didit mengusap bibirnya yang ternoda ampas kopi. Keningnya mengerut melihat raut wajah Ahsan saat ini.

“Oh, jangan. Tidak!” serunya, panik.

“Ya!” timpal Ahsan.
“Tidak aku tahu betul wajah itu. Kamu cuma nyengir lebar seperti itu kalau lagi tertarik sama sesuatu.”

“Masa?" tanya Ahsan dengan seringai yang makin lebar.
“Aku tahu kamu sedikit gila, tapi aku pastikan untuk yang satu ini, kamu tidak akan mau terlibat. Dengar, dukun-dukun di kampung itu tidak akan menerimamu. Mereka benci dokter."
“Tujuan kami sama, sama-sama berharap warga kampung terbebas dari wabah, kan?” Ahsan ngeyel.

“Ya, tapi cara kalian beda. Mereka menyembur wajah pasiennya dengan air, sementara kamu memberikan resep-- Hayati, nasihati suamimu!”
Hayati hanya mengangkat kedua bahunya sebagai pertanda ia pun tak bisa berbuat apa-apa.

“Tenanglah, Dit. Aku bukan orang bodoh. Aku tahu batas antara membantu dan terlalu ikut campur," ucap Ahsan.

***
Satu pekan berlalu. Keterlibatan Ahsan dalam menyembuhkan wabah yang dimaksud rupanya berdampak sangat baik. Tidak hanya mengobati yang terjangkit, bersama warga, Ahsan juga mengupayakan ketersediaan air bersih serta pembangunan rumah pelayananan kesehatan.
Rencana besarnya mungkin tidak akan terealisasi dalam waktu dekat, Ahsan sadar itu. Setidaknya ia telah mengedukasi warga kampung untuk hidup lebih sehat, serta memupuk mental mereka agar lebih membuka mata pada perawatan medis yang disediakan pemerintah.
Satu hal yang tidak Ahsan sadari adalah, usahanya itu telah menyemai bibit-bibit kebencian di hati sebagian orang.
Suatu malam, sepulangnya Ahsan dari kampung sebelah. Ia tengah mengajari Yuda membaca. Rutinitas baru itu telah Ahsan terapkan semenjak ia kembali dari kota.
Ia ingin agar anaknya disiplin dalam belajar dan pandai mengatur waktu bermain. Yuda pun tak mengeluh, ia belajar dengan antusias bahkan berkali-kali menolak saran ibunya untuk tidur.
“Di luar ramai sekali, ada apa, ya?” tanya Ahsan yang merasa terganggu.

“Mungkin orang berangkat meronda. Ingat kata Didit, kampung ini agak rusuh, sering kemalingan,” ujar Hayati.
Gaduh itu makin menganggu higga Ahsan tidak bisa lagi mengabaikannya. Ia akhiri kegiatannya bersama Yuda, lalu memutuskan untuk pergi memeriksa keadaan di luar.
Mulanya Ahsan mengintip lewat jendela. Ia dapati dua orang asing sedang berdebat sambil memapah seorang wanita menuju ke arah rumah Ahsan. Begitu ketiganya berada dekat dengan teras, dan terjamah oleh lampu, Ahsan bisa melihat darah bercucuran dari perut si wanita.
Naluri Ahsan sebagai seorang dokter pun bergejolak. Ia segera membuka pintu yang tak sempat ketiga tamunya ketuk.

“Tolong kami. Kami habis dirampok,” ujar pria kurus berkemeja lusuh dengan dada telanjang.

“Perempuan itu kenapa?” tanya Ahsan.
Pria berkumis tebal menatap iba pada wanita yang ia papah, lalu tatapan itu berubah menjadi penuh harap pada Ahsan.

“Ibu kami, dia ditusuk. Barang-barang kami dirampas,” isak pria berkumis.
Tangan lemah wanita itu meremas luka di perutnya, berusaha sebaik mungkin untuk menyumbat luka, meski derasnya darah masih mengucur melalui sela jemari.
Kalau tidak cepat ditolong, wanita ini akan mati kehabisan darah, pikir Ahsan.

“Saya dokter, saya bisa bantu. Masuk!”
Tanpa ragu, dua pria itu membawa ibunya yang sekarat masuk. Mereka papah dengan hati-hati sembari mengikuti petunjuk Ahsan, terutama saat hendak membaringkannya di atas ranjang.

“Uda?”
“Mereka korban perampok. Ibunya sekarat, harus cepat ditolong. Bisa ambilkan aku kotak di atas lemari itu!”

Hayati yang semula bimbang dan takut, segera memasuki sikap siaga dan berusaha sebaik mungkin membantu suaminya.
Ia mungkin telah menikah dengan ahsan selama sepuluh tahun, tapi mendampingi suami dalam merawat pasien adalah benar-benar hal yang baru. Terlebih saat ini usaha mereka sedang menjadi penentu antara hidup dan mati.
“Astaga!” pekik Hayati, melihat pasiennya lunglai dengan mata terpejam.

“Dia cuma pingsan. Pindahkan tanganmu!”
Hayati mengangkat kedua tangannya yang sejak tadi menekan luka pasien. Baru ia sadari rembesan darah di kain putih yang ia gunakan untuk menyumbat luka, telah menodai kedua telapak tangannya. Hayati bergetar ngeri.
“Ini bukan kali pertama kamu melihat darah, kan?” ledek Ahsan jenaka.

“Ini tidak sama seperti darah setiap bulan,” ketus Hayati.
“Sekarang, kalau tanganmu masih bisa dipakai, aku butuh penerangan di sini!”

Tangan Ahsan telah siap menjahit luka pasien. Hayati pun tergopoh-gopoh meraih senter kecil di meja.
Kedua pria tadi hanya bisa tercengang menyaksikan betapa canggung namun kompaknya pasangan suami istri tersebut.
“Dengar, yang saya lakukan ini cuma pertolongan pertama, kalian harus cepat bawa ibu kalian ke rumah sakit.” Ahsan memberi saran, “Dan sebaiknya kalian tidak melihat ke sini!” Ahsan memberi peringatan.
Segera kedua pria itu membuang muka, bahkan sedikit menjauh dan membelakangi ranjang pasien. Mereka bukan lagi anak kecil yang tidak tahan melihat darah, tapi wibawa Ahsan sebagai dokter telah membuat mereka jadi penurut.
Saat hendak menjahit luka, pasien Ahsan yang semula tak sadarkan diri tiba-tiba saja mencengkeram pergelangan tangan Ahsan lalu menariknya, membuat Hayati terhenyak hingga sorot senternya kacau.
Jika bukan karena telunjuk kiri pasien yang teracung di depan bibirnya, mengisyarakatkan agar Ahsan dan Hayati diam, mungkin suami-istri itu sudah teriak karena kaget.
Dengan wajahnya yang masih pucat menahan sakit, mulut pasien itu komat-kamit seolah ingin menyampaikan sesuatu. Ahsan pun mendekatkan wajahnya.

“La-ri! Se-lamat-kan di-ri ka-lian!” bisik wanita itu.

“A-apa maksud ibu?” tanya Ahsan.
“Me-mereka... mereka yang me-rampok, sa-saya.”
"HEI!"
Ahsan dan Hayati terhenyak. Pria berkumis memanggil mereka. Setelah mendengar pengakuan si pasien, keduanya tidak bisa lagi bersikap seperti biasa.
Seseorang yang nyawanya sedang di ujung tanduk sangat tidak mungkin berbohong. Dua pria asing yang saat ini ada di rumah mereka bisa jadi benar-benar orang jahat.

“Ya?” sahut Ahsan.
“Boleh saya pakai kamar kecil?” pinta pria berkumis.

Keringat dingin mengalir di kening Ahsan. Ia dan Hayati saling pandang, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengizinkan si kumis ke kamar kecil.

“Saya antar,” ucap Ahsan.
Selagi suaminya pergi bersama si kumis, diam-diam Hayati memungut pisau di kotak milik suaminya, lalu ia sembunyikan di balik punggung.
Ia harus mewaspadai pria berkemeja yang saat ini sedang memainkan perannya sebagai tamu, melontarkan senyum simpul pada Hayati sembari mengusap keringat di keningnya.
Kamar mandi di rumah Ahsan berada satu ruangan dengan dapur, dan satu-satunya ruangan yang masih berlantai semen.
Mereka berencana memasang keramik dalam minggu ini, serta membeli perkakas dapur baru untuk Hayati. Ahsan merasa iba karena Hayati masih memasak dengan tungku serta menghaluskan bumbu dengan penumbuk besi.
“Silakan,” ucap Ahsan ramah seraya membukakan pintu kamar mandi.

Pria berkumis mengangguk sebagai isyarat terima kasih. Tepat ketika hendak melangkah masuk, tiba-tiba saja ia berhenti.

“Apa kamu berencana mengunciku di kamar mandi?” tanya pria berkumis.

“Ma-maksudmu?”
“Tidak diragukan lagi, kamu seorang dokter, tapi kamu pasrahkan pasien yang sedang sekarat pada istrimu yang jelas-jelas tidak tahu apa-apa. Entah kamu dokter yang teledor, atau ....”
KAMU SUDAH TAHU SIAPA KAMI SEBENARNYA?
Tanpa basa-basi, pria berkumis mengeluarkan golok yang sejak tadi ia sembunyikan di balik bajunya. Dapat Ahsan saksikan bagian tajamnya masih berlumur darah, seketika ia menduga senjata tajam itulah yang digunakan si kumis untuk melukai pasiennya.
Golok itu diayunkan cepat dengan niatan menebas leher Ahsan. Namun, Ahsan merasa gerakan pria berkumis terlalu kikuk untuk seorang perampok.
Mudah bagi Ahsan untuk menghindar satu dan dua tebasan, nahas ia tak cukup cepat menghindari yang ketiga. Golok si kumis menyayat dadanya, meski tak terlalu dalam, tapi cukup bagi Ahsan merasa nyeri.
Kemeja kesayangannya jadi robek, dan itu membuat Ahsan sangat marah. Diraihnya penumbuk bumbu yang terbuat dari besi, lalu setelah mendapat celah di antara serangan si kumis yang beruntun, Ahsan membalik keadaan dengan menghantam keras perut si kumis.
Sebagaimana dokter tertakdir menyelamatkan nyawa, sebisa mungkin Ahsan mencoba tidak mencenderai lawannya terlalu parah. Ia hanya perlu melumpuhkan beberapa sendi dan memastikan si kumis tidak bisa lagi bergerak.
Serangan menyilang setinggi mata, nyaris saja golok si kumis membuat Ahsan buta. Refleks Ahsan masih cukup baik, ia merunduk tepat waktu dan hanya perlu merelekan beberapa helai rambut yang terpotong.
Ahsan berencana memisahkan si kumis dari senjatanya. Ia yakin tanpa golok itu, lawannya hanyalah pria biasa dengan kumis tebal yang berantakan. Hanya saja, rencana itu terlalu membuang waktu. Saat ini mungkin saja rekan si kumis sedang mengancam Hayati.
Ahsan melempar piring, gelas, panci, apa pun barang yang ada di meja dapur. Si kumis menepis semuanya dengan golok, termasuk sekantong tepung terigu yang langsung pecah dan membedaki wajah legamnya.

“Kubunuh, Kau!” sergah si kumis.
Ia maju, mengangkat goloknya tinggi-tinggi sambil berteriak sebagai tanda amarahnya sudah diubun-ubun, dan segenap tenaganya ia kerahkan untuk serangan itu.
Ahsan bersiap menangkis golok si kumis dengan penumbuk besinya. Ia sangat yakin senjata miliknya tak akan terbelah. Kepercayaan diri itu rupanya telah mengkhianati Ahsan.
Alih-alih mengayunkan goloknya yang sudah diantisipasi oleh Ahsan, si kumis justru menerjang sang dokter dengan kakinya yang besar dan panjang hingga Ahsan terpental ke dinding.
Ahsan mengaduh singkat, belum cukup mengekspresikan betapa nyeri pungunggnya, ia sudah harus menghindari golok si kumis yang melayang cepat ke arah wajah.
Dengan gesitnya Ahsan merosot hingga ia terduduk di lantai. Golok si kumis menancap di dinding, sejengkal di atas kepala Ahsan, dan beruntungnya, pisau dapur tergeletak di lantai tepat di samping ia duduk.
“ARGH!”
Si kumis mengerang kala Ahsan menusuk pahanya, dan dengan bengisnya menarik pisau itu ke bawah, mengukir garis lurus dari paha hingga lutut yang dengan sekejap menyemburkan darah segar.
Saat lawannya sibuk berlutut sembari bercumbu dengan rasa sakit, Ahsan menutup perkelahian itu dengan sentuhan terakhir dari penumbuk besi andalannya.
Hunjaman keras, beringas, dan tepat mengenai kepala. Si kumis pun ambruk. Sebelum suara debum tubuh lawannya terdengar membentur lantai, sekilas ahsan mendengar suara tengkorak yang retak.
Ahsan memenangkan pertarungan antara hidup dan mati. Di hadapannya tergeletak tubuh pria berkumis yang lemas di atas genangan darah.
Namun, ada sebuah prestasi yang tak ingin Ahsan akui yakni, dia telah membunuh. Seorang dokter yang bersumpah setia menyelematkan nyawa, malam ini telah menghilangkan sebuah nyawa.
Bersambung....
Di Karyakarsa sudah sampai Chapter 40 loh. Konflik sudah berakhir. Kisah ini akan memasuki tahap ending dan epilog.

Terima kasih buat teman-teman yang sudah membaca sampai sejauh ini.
karyakarsa.com/ahmaddanielo/m…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Jan 5
Kakek dan Mbah Sopet harus pulang dengan berjalan kaki. Setelah semua aksi mereka yang membuatku kagum, aku baru sadar kalau keduanya tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Read 23 tweets
Dec 22, 2022
CHAPTER 35

Butuh waktu untuk memproses perkataan Pak Edi agar terdengar masuk akal. Ada sebagian kalimat yang tidak jelas kutangkap, tapi sesuatu tentang menghidupkan anak yang sudah mati,--
Read 97 tweets
Dec 15, 2022
Teman-teman yang baru bergabung, silakan lewat pintu masuk dulu.

CHAPTER 33

Usai mendengar cerita dari Mbah Sopet, kami memutuskan untuk segera menyusul kakek. Di luar dugaan, Sugik masih setia menunggu.
Read 62 tweets
Dec 8, 2022
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 31, 32
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 31

Saat masih sekolah dasar dulu, aku ikut pelantikan Pramuka. Kami di lepas pukul sembilan malam, berjalan kaki melewati jalan sepi di perbatasan desa, dengan kuburan sebagai garis finishnya.
Read 113 tweets
Dec 1, 2022
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 29, 30
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 29

Sepulang bekerja Erik mampir ke rumah. Masih dengan penampilannya yang berantakan serta bau keringat yang menggaruk penciuman.
Read 81 tweets
Nov 17, 2022
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 27, 28
@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 27

“Mereka bilang sesuatu sama kamu?” tanya kakek.

Sejujurnya aku tidak ingin membahas ini di meja makan, bisa-bisa sarapanku akan terasa mentah sampai jam makan siang.
Read 70 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(