Daniel Ahmad Profile picture
Feb 2, 2023 81 tweets 9 min read Read on X
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 38, 39

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 38

Lembu hitam besar menghadang di tengah jalan. Tergeming memperhatikan kami lewat matanya yang merah menyala, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak semata ingin melintas, tapi ia punya tujuan, dan tujuan itu adalah menjemput apa yang ia rasa adalah miliknya.
Embus napas dari moncong hitamnya menyentak-nyentak, dan lenguhan rendahnya benar-benar memberi kesan mengancam.
“Dani,” bisik Erik.

“Ya, aku tahu.”

“Kita pergi dari sini,” gagas Erik.

“Kita terobos sapi gila itu!” sanggahku.

“Terobos? Sepertinya yang gila itu kamu, bukan sapinya.”
Aku dan Maulida sudah bersiap di atas motor. Selaras dalam rencana yang Erik sebut gila. Bagiku, mundur sekarang adalah sebuah kekalahan, bagaimana mungkin aku memilih kalah jika akhir dari semua ini ada di depan mata.
Aku hanya perlu melewati seekor mamalia gaib, dan terus memacu motor sampai ke tujuan.
“Kamu yakin kita nggak apa-apa?” tanya Maulida.

“Nggak, tapi aku yakin kalau kita diam di sini, kita pasti celaka.”
Tanpa basa-basi kutarik penuh gas motor menuju kecepatan di mana seekor sapi tidak bisa mengejar. Erik dengan segala takut dan ragunya mengekor di belakang.
Tugasnya mungkin lebih berat karena harus membonceng si mencong serta memastikan tubuhnya yang kecil dan ringan tidak terlempar dari motor.
Kuperhatikan sejak kemunculan lembu itu, si mencong tidak berhenti menutup wajah karena ketakutan. Begitu kami berdua berhasil melewatinya, firasatku justru tidak nyaman karena lembu itu sama sekali tidak menghadang. Ia hanya diam saat kami melewatinya.
“Dia ngejar?” tanyaku.

“Aku malah berharap dia ngejar kita daripada tiba-tiba hilang," sahut Maulida.

“Hilang?”
Aku menoleh sekadar ingin memastikan apa yang Maulida bilang, dan ternyata benar, lembu hitam itu tidak lagi di tempatnya.
Sempat aku termenung, sampai kulihat Erik melotot sambil menunjuk ke depan, menyuruhku untuk berpaling ke arah di mana pengemudi motor yang baik seharusnya melihat.
“Hadap depan, Gendeng!”

Lembu Hitam yang semula lenyap di belakang kami, secara mengejutkan melintas di depan.
Beruntung ada sedikit jarak untukku bereaksi, hingga benturan dengan makhluk gaib itu bisa dihindari. Satu yang tidak bisa kuhindari adalah pukulan bertubi-tubi dari maulida yang terasa nyeri di punggung.
“Kamu goblok apa gila, sih?”

Kali ini kuabaikan caci maki dari Maulida. Ia mencerocos seperti ibu-ibu yang pancinya dirusak oleh suami. Situasi ini benar-benar membuatnya keluar dari karakter.
Erik menyusul, mensejajarkan kecepatan denganku. Ia mengambil risiko berkendara di jalan sempit sambil berdempetan karena merasa ada hal penting yang harus disampaikan.
“Dani!” Serunya. “Anak ini kenapa?” tanyanya.

Kulihat si Mencong masih menutup wajah dengan kedua tangan. Kali ini sembari menangis memanggil bapaknya. Tak ada waktu menenangkan anak kecil yang sedang menangis, saat kami yang dewasa juga ingin teriak karena takut.
Di pinggir jalan, di tiap jarak antara pepohonan, kulihat sesuatu berkelebat mengikuti kami. Sepertinya lembu hitam tadi menyerah untuk menghadang, dan memilih mengejar. Aku harus mengantisipasi kejutan apa lagi yang makhluk ini akan berikan.
Lonceng sapi yang terikat di pinggangku bergetar cepat. Mulanya kupikir karena jalan yang kami lalui tidak rata, dan lonceng ini terdampak oleh guncangan, tapi ternyata bukan. Lonceng sapi ini benar-benar bergetar mengeluarkan bunyi berisik yang tak keruan.
Kabar baiknya, aku tidak lagi merasakan ada pergerakan di samping. Mahkluk itu sepertinya berhenti mengejar kami, dan aku berharap tetap demikian sampai kami berhasil keluar dari jalan sempit ini.

“Rik, kamu tahu jalan pintas?” tanyaku.
“Ini sudah jalan pintas, kecuali kamu mau nerobos kebun pepaya Lora Marzuk di depan,” jawab Erik sembari teriak agar suaranya tak kalah dengan suara mesin motor.

“Itu sama saja bunuh diri,” timpal Maulida. “Yang punya kebun galak.”
“Kamu sama sekali nggak mempertimbangkan kita bakal nabrak pohon pepaya, hah? Malah mikirin pemiliknya galak!” sahutku kesal.
Saat hendak memerintah Erik untuk menambah kecepatan, kulihat gelagat si mencong yang mulai aneh. Ia tidak lagi menutup wajah. Kedua tangannya terjuntai, sama sekali tidak berpegangan.
Jika bukan karena tangan kiri Erik memeganginya, mungkin ia sudah terpental dari motor. Wajahnya menengadah ke atas, rambut panjang berkibar ditiup angin, lalu ia pun mulai menjerit.
Suaranya melengking, bahkan dengan paduan berisik dua mesin motor pun, telingaku masih merasa ngilu.
“Dan, jangan-jangan anak ini--”

Si mencong meraih tangan kiri Erik yang terjulur ke belakang demi memeganginya, lalu digigitnya tangan itu layaknya hewan kelaparan.
“Gob—”

Umpatan Erik yang terpotong terpaksa ia selesaikan sembari berguling di tanah. Motornya hilang keseimbangan karena kejutan dari si Mencong, lalu berakhir menabrak pohon setelah melontarkan Erik dari jok dalam kecepatan tinggi.
“Erik!”

Terpaksa aku berhenti lalu bergegas menghampiri Erik yang mengerang kesakitan. Dari semua cedera yang mungkin timbul akibat jatuh dari motor, Erik masih memegangi tangan kirinya yang berdarah akibat gigitan si mencong.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku.

“Apa-apaan bocah itu!” geram Erik.
Maulida yang sejak awal acuh dan cenderung sebal pada Erik untuk sebuah alasan yang aku tidak tahu, kini secara sigap meraih tangan Erik lalu membalutnya dengan kain. Ia melakukannya dengan sangat cekatan, membuat persona payahnya saat membuat kopi di dapur jadi luntur.
Pada semak-semak di mana motor Erik tergeletak dengan mesin masih menyala, seseorang menggeliat lalu bangkit.
Lampu motor menyorot debu-debu yang masih berterbangan, dan saat debu mulai menipis, sosok si Mencong sudah berdiri sempoyongan, berjalan gontai ke arah kami sembari menceracau.
Jatuh dari motor dalam kecepatan seperti tadi tentu berakibat fatal bagi anak kecil. Niatku menghampiri dan memeriksa si mencong, tapi melihat gerak-geriknya sekarang, seperti ada yang tidak beres dengan anak itu.
Makin ia dekat, makin kudengar deru napasnya yang memburu. Rambut lepek yang selalu menutup sebagian wajahnya kini tersibak. Dapat kulihat dengan jelas bagaimana matanya melotot, mulutnya yang tidak normal menyeringai dengan gigi-gigi berjarak yang terkatup rapat karena geram.
“Hati-hati!” Erik memperingatkan.

Si Mencong yang semula berjalan pelan, tiba-tiba saja berlari ke arahku sambil berteriak. Kami berpencar.
Maulida dan Erik berlari ke arah motor, sementara aku berlari ke sembarang arah karena si mencong hanya mengejarku. Sepertinya dia mengincar lonceng milik Pak Jawi.
Kupikir, dengan kemampuan bela diriku yang payah, melawan anak kecil tetap akan terasa mudah. Aku salah. Gerakan si mencong tidak normal. Ia mencoba mencakar dan menggigit seperti binatang.
Si mencong melompat, menerjang dadaku hingga aku hilang keseimbangan lalu terjerembab di tanah. Ngilu akibat serangan barusan jadi dua kali lipat karena dadaku membentur bebatuan. Begitu aku membalik badan, si mencong menindih perutku.
Matanya menatap tajam pada lonceng di pinggang. Bibirnya mengatup rapat, dan napasnya memburu. Tangan kecilnya menggapai-gapai mencoba meraih lonceng, tenaga yang sangat kuat untuk ukuran anak kecil, bahkan aku kewalahan menahannya.
BERIKAN PADAKU!
Suaranya rendah dan serak. Sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Aku berusaha untuk tidak tergertak. Tetap kudorong tangan dan tubuh si Mencong menjauh dari lonceng.
Merasa usahanya dihalangi, tangan kiri si mencong mulai mencekik leherku hingga aku termegap-megap.
Tenagaku mulai hilang, tangan si Mencong makin dekat dengan tujuan, dapat kusaksikan wajahnya tersenyum dengan antusias, sebelum sesuatu menghantam wajah itu sekaligus mengantarkan tubuh kecilnya melayang, lepas dari perutku.
“Hah!”

Aku mengambil napas, terbatuk-batuk sembari memegangi leher yang perih.

“Masih bisa napas?” tanya Maulida.

“Ka-kamu, kamu baru saja nendang anak kecil?” protesku.

“Sama-sama,” sahut Maulida.
Aku mengerti si mencong saat ini adalah ancaman, dan aku yakin Maulida tahu sesuatu sedang merasuki anak kecil itu, tapi tetap saja yang ia sakiti adalah tubuh si mencong, bocah itu bahkan tidak tahu apa yang ia lakukan.
Setelah terpental karena tendangan Maulida, besar harapanku ia akan kembali sadar, tapi dari cara ia bangkit dari posisinya yang telungkup, berdiri tegap tanpa bertumpu pada tangan, aku tahu kegilaan ini belum selesai.
“Kamu tahu caranya ngadepin orang kesurupan?” tanya Maulida.

“Ya, tapi tidak yang segila ini."

“Bisa atau tidak?”

“Bisa! Aku bisa!” seruku, sebal. “Aku cuma perlu dia diam, dan tidak mencekikku saat membaca doa.”
“Berapa lama?”

“Empat--lima, lima menit cukup!”

“Baiklah.”
Maulida berlari ke arah si Mencong yang saat ini sudah berdiri siaga. Pandangannya masih terpaku pada lonceng di pinggangku.
Begitu Maulida berada dalam jangkauan tangan pendeknya, si mencong mulai melakukan cakaran membabi buta pada Maulida, dengan leher dan wajah yang masih menatap ke arahku.
Kuhela napas panjang. Bersiap melaksanakan bagianku. Sejujurnya ada setitik keraguan di benak ini, apakah metode yang kupelajari di pesantren berhasil, atau aku malah mempersulit Maulida dan membuat malu diri sendiri.

“Dani!”
Maulida memegangi tubuh si mencong dari belakang, belajar dari nahas yang menimpa Erik, Maulida juga membekap mulut si mencong dengan tangan. Bocah itu mengamuk, berontak, tangannya berusaha mencakar wajah Maulida.
“Bismillah”

Aku mendekat, kuletakkan telapak tanganku di dahi gadis malang itu. Suhu badannya sangat tinggi, kulit tanganku serasa menyentuh panci yang baru digunakan memasak air. Mulai kupejamkan mata dan berdoa.
CHAPTER 39

“Berhasil?” tanya Maulida.

Aku tak berani memastikan, sebab saat ini aku pun sedang menunggu reaksi dari si Mencong. Ia bersimpuh di tanah, muntah berkali-kali sampai akhirnya telungkup lemas.
Di pesantren, kesurupan adalah hal yang lumrah. Hampir setiap bulan terjadi, dan aku terlibat setidaknya separuh dari semua kejadian.
Beberapa dari kesurupan yang terjadi memang hanya akal-akalan santri untuk dapat izin tidak bersekolah, tapi bisa kupastikan sebagian besar adalah gangguan jin yang nyata.
Apa yang menimpa si Mencong memang jauh berbeda dengan pengalamanku selama di pesantren. Sulit untuk tetap menjaga kepala tetap dingin dan tidak gugup, ragu, ataupun takut. Ustaz selalu mengingatkan tentang perbedaan derajat manusia dan iblis.
Kami adalah makhluk yang lebih mulia, dan tidak sepantasnya takut pada mereka yang terkutuk. Namun, takut adalah perasaan yang mudah muncul bahkan saat manusia berada di puncak kebahagiaan.
Daripada berusaha sekuat tenaga untuk tidak takut, aku lebih memilih menerima ketakutan ini sebagai sumber kekuatan.
“Sa… kit…”

Si Mencong merintih. Lekas kuhampiri dia, kubantu duduk, lalu kuperiksa luka-lukanya, terutama bekas tendangan Maulida.

“Kamu ngapain?” tanyaku.
Maulida sudah memasang kuda-kuda bersiap menyerang si mencong.

“Jaga-jaga kalau bocah ini mengamuk lagi.”

“Dia sudah sadar, oke, berhenti bersikap seperti pendekar, dan lekas bantu aku!”
Setelah memeriksa secara saksama, tak kutemukan bekas luka atau sekadar ruam. Sulit diterima akal, tapi selain membuat si Mencong jadi buas dan cenderung lebih kuat, sepertinya kesurupan makhluk itu juga melindungi tubuh si Mencong dari benturan.
“Sepertinya sudah selesai,” ucapku lega.

“Ya, nggak benar-benar selesai sampai kita bawa lonceng itu ke Kiyai," sahut Maulida.

“La… par…” rintih si mencong.
Aku tersenyum sekaligus mengiba. Selama ini semua yang keluar dari mulut anak ini selalu membuatku ngeri. Kali ini untuk pertama kalinya aku mendengar sesuatu yang normal diucapkan anak kecil.

“Ehem! Jadi kita mau lanjut jalan, atau tidur di sini sampai pagi?" sindir Erik
Aku dan Maulida beranjak. Kugendong si Mencong. Ia sadar, tapi kondisinya belum memungkinkan untuk berjalan. Untuk dibonceng pun aku khawatir dia jatuh.

“Anak ini biar sama aku aja. Bisa kubonceng di tengah, biar Maulida pegangin," usulku.
“Bagus! Tangan kiriku jadi nggak perlu was-was," kata Erik. “Kalau gitu, sekarang aku pulang aja.”
Kami melanjutkan perjalanan dengan tetap waspada. Lembu hitam itu bisa saja masih mengikuti dan muncul kapan saja. Begitu keluar dari jalan sempit dan sampai ke jalan beraspal, aku dan Erik akhirnya berpisah.
“Jangan lupa obati tanganmu!”

“Gak bakal infeksi, kan? Ini hitungannya masih digigit manusia, kan?” Erik Panik.

“Heh, pulang sana!”
Erik melambaikan tangan sambil melaju ke arah berbeda. Kulihat lampu motor belakangnya mati, dan suara mesinnya berantakan akibat jatuh barusan.
Mengingat betapa sayang ia pada motor peninggalan bapaknya itu, aku bertaruh ia lebih dulu memperbaiki motornya daripada mengobati tangan.
“Sebelum ke pesantren, kita berhenti dulu di puskemas,” ucap Maulida.

“Puskesmas, malam-malam?”"

“Bu Dokter tinggal di sana. Anak ini demam, dia bisa dirawat dulu semalam. Tenang saja, di sana aman.”
Kurasakan suhu tubuh si Mencong menembus bajuku. Terasa panasnya ke punggung. Pesantren bisa menunggu si Mencong, tapi bagaimanapun lonceng Pak Jawi harus sampai di sana malam ini.
Sesuai rencana, kami menitipkan si Mencong ke rumah Dokter Eva yang waktu itu membantu merawat anak-anak keracunan.
Meski ini adalah ide Maulida, tapi dia malah tidak mau turun dari motor, dan memilih menunggu dari jauh. Dokter Eva menyambut dengan baik. Ia tidak banyak bertanya tentang apa yang terjadi, dan itu bagus, karena aku pun tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya.
Selesai urusan kami di Puskesmas, sampailah kami di gerbang pesantren. Kulepas lonceng milik Pak Jawi yang terikat di pinggang, kuperhatikan sejenak bagaimana benda usang ini punya pengaruh yang sangat besar.
“Ini.”

Kusodorkan lonceng Pak Jawi pada Maulida. Ia pun menerimanya tanpa ragu.

“Pastiin dikasih ke Kiyai Fatah, jangan yang lain!” titahku.

“Ya, tahu!” jawabnya ketus.
Maulida pergi. Sesuai dugaanku, saat hendak melewati gerbang, petugas keamanan pesantren mencegatnya. Aku berharap Maulida sudah memikirkan alasan yang bagus untuk lepas dari interogasi itu,--
--tapi yang ia butuhkan hanya melepas cadarnya, dan kedua petugas itu pun mempersilakannya masuk. Sayang sekali jarak yang cukup jauh, serta posisinya yang membelakangiku, membuatku tidak bisa melihat wajahnya. Tidak, tentu saja aku tidak penasaran.
Bersambung Minggu depan.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Jan 26, 2023
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN SATU.

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi
LEGENDA BATU LEMBU - BAGIAN 1

Keseharian Hayati saat pagi hari tak jauh dari tungku dan sumur. Menjaga agar tungku tetap menyala, serta memastikan peralatan masak bersih dari noda.
Read 111 tweets
Jan 5, 2023
Kakek dan Mbah Sopet harus pulang dengan berjalan kaki. Setelah semua aksi mereka yang membuatku kagum, aku baru sadar kalau keduanya tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Read 23 tweets
Dec 22, 2022
CHAPTER 35

Butuh waktu untuk memproses perkataan Pak Edi agar terdengar masuk akal. Ada sebagian kalimat yang tidak jelas kutangkap, tapi sesuatu tentang menghidupkan anak yang sudah mati,--
Read 97 tweets
Dec 15, 2022
Teman-teman yang baru bergabung, silakan lewat pintu masuk dulu.

CHAPTER 33

Usai mendengar cerita dari Mbah Sopet, kami memutuskan untuk segera menyusul kakek. Di luar dugaan, Sugik masih setia menunggu.
Read 62 tweets
Dec 8, 2022
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 31, 32
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 31

Saat masih sekolah dasar dulu, aku ikut pelantikan Pramuka. Kami di lepas pukul sembilan malam, berjalan kaki melewati jalan sepi di perbatasan desa, dengan kuburan sebagai garis finishnya.
Read 113 tweets
Dec 1, 2022
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 29, 30
@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
CHAPTER 29

Sepulang bekerja Erik mampir ke rumah. Masih dengan penampilannya yang berantakan serta bau keringat yang menggaruk penciuman.
Read 81 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(