NuugroAgung Profile picture
Feb 16, 2023 139 tweets 17 min read Read on X
“Tari, bangun Tar, ini ada darah, darah siapa Tar, Tari, bangun!!!” ucapnya buru-buru terus menggerakan tubuh Tari yang kaku tak bergarak.
Tari bangun, bukan lebih tepatnya, perlahan Resti melihat tubuh temannya melayang, ia mundur melihat kejadian aneh itu, matanya masih terbelalak melihat tubuh temannya melayang, masih dengan posisi yang sama saat ia tertidur.
“Koe sopo Nduuk? Arep opo neng panggonku?” (“Kamu siapa nak? Mau apa ditempatku?”) terdengar suara dari arah Tari yang masih melayang, perlahan Resti melihat tubuh Tari berubah posisi, dari tertidur menjadi berdiri.
Ketakutan begitu menyelimuti Resti, ini kali pertama ia melihat keganjilan tepat di hadapannya, membuat seluruh tubuhnya bergetar, Resti berusaha mengucap apapun, ingin berteriak meminta pertolongan,
berharap akan ada yang mendengarnya dan segera menolongnya, namun usahanya sia-sia, ia sama sekali tak bisa menggerakan bibirnya.
“Jane koe ki sopo Nduk? Ameh ngopo awakmu rene?” (“Sebenarnya kami ini siapa Nduk? Mau apa kamu ke sini?”) suara itu terdengar lagi, tepat berasal dari arah Tari. Kini Resti melihat Tari melayang dengan posisi badan setengah berdiri,
setelahnya ia melihat tubuh Tari layaknya dijatuhkan dari atas. “BUUUUGGG” suara itu terdengar jelas, Resti memundurkan tubuhnya kembali, di belakangnya tepat ada lemari yang tiba-tiba pintunya terbuka, “BRAAAAKKKK!!!” suaranya keras,
membuat Resti tersentak, ia menoleh ke belakang, hanya tumpukan baju yang masih tersusun rapi di lemari tua, yang berdiri kokoh di sudut ruangan. Pandangannya ia balikan lagi melihat temannya, yang kini terbujur tak berdaya di atas tempat tidur.
“Amit Mbah, kulo mboten bade ganggu...” ucap Resti dengan bibir bergetar, tiba-tiba suasana menjadi hening kembali, lalu tepat dari belakang tubuhnya, ia merasakan ada sesuatu yang bergerak mendekat.
Ujung matanya kini bisa melihat, sepasang tangan dengan kuku yang hitam, tepat mendarat di kedua bahunya, memegang erat tubuhnya. Resti hanya bisa terus mengatur nafasnya yang sesak, ia menangis, sekuat tenaga ia berteriak
“TOOO....” belum juga Resti berucap, tangan itu kini menutup mulutnya rapat, mati-matian Resti melepaskannya, seluruh tubuhnya ia gerakan, kakinya terus mengejang.
Kini matanya menangkap sesuatu dari arah depan, Tari terbangun, tiba-tiba ia seperti bersenandung, entah apa yang ia nyanyikan, terdengar seperti tembang jawa kuno yang bahasanya sulit dimengerti oleh Resti,
kini Tari terdiam setelah mengucapkan satu kalimat terakhir yang didengar oleh Resti “ Among ing Pati...” tiba-tiba Tari meloncat ke arah Resti, memegangi pundaknya,
“KOE MEH OPO NENG KENE NDUK??!!” (“KAMU MAU APA DI SINI NDUK??!!”) teriak Tari keras, tangan yang sedari tadi menutup mulut Resti hilang, Resti berteriak sekuat tenaga
“TARI JANGAN TAR, TOLONG, TOLONG, TOLONG!!!” teriak Resti sekuat tenaga, sebelum lehernya di cengkram oleh temannya yang kini entah dikendalikan oleh siapa, rambut Tari memutih, giginya menghitam, matanya terus tertutup,
ia berteriak-teriak. Tangan resti memukul-mukul lemari di belakangnya, menimbulkan suara gaduh di malam itu, membuat semua penghuni kost-nya keluar,
“DAAAKK, DAAAK,DAKKK!!!” bunyi keras terdengar dari arah pintu kamar Tari, lalu kemudian pintu itu terbuka didobrak paksa oleh pemilik kos.
“YA ALLAH TARI, TAR ISTIGHFAR TAR, TARI, TARI!!!” teriak Mita yang langsung masuk, bebarengan dengan itu, Pak Tanto mencoba memisahkan Tari yang terus menyerang Resti, yang kini tersudut di depan lemari.
Dengan semampunya, kini Pak Tanto seperti sedang membacakan sesuatu, kening Tari terus ia pegang, dengan tangan kirinya, Tangan kanannya ia angkat ke atas, lalu dengan cepat Pak Tanto usapkan ke wajah Tari,
kini Tari ambruk tak sadarkan diri, menyisakan pertanyaan pada anak kost yang berkumpul di depan kamarnya.
“Mbak, kenapa Mbak, kok sampai kayak gini?” ucap Mita langsung menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Resti.
“Mbuh Mbak, Tari kesurupan, aku gak tau kok bisa gini Mbak...” ucap Resti yang masih sesak mengatur nafasnya, sesekali ia terbatuk, di leher Resti nampak jelas bekas cekikan yang memerah, tanda Tari mencekik Resti sekuat tenaga. Pak Tanto masih membacakan sesuatu.
“LUNGO,LUNGO, SING WES MATI ORA GANGGU SING URIP!!!” (PERGI, PERGI, YANG SUDAH MATI TIDAK MENGGANGGU YANG MASIH HIDUP!!!) ucap Pak Tanto dengan nada keras, seperti sedang menangkal kekuatan jahat yang ada di dalam tubuh Tari.
“Mbak Mita, minta tolong ambilkan air di baskom, petik beberapa daun kelor yang ada di dekat sumur, minta tolong Mbak Mita...cepat!!!” ucap Pak Tanto.
Mita yang mendengar itu segera berlari ke arah sumur, tak peduli lagi dengan hujan yang turun, ia secepat mungkin mengambil daun kelor yang ada. Tiba-tiba telinganya menangkap sesuatu yang asing,
“Tulung Nduk, tulung aku...Nduk, tulongono aku...” (“tolong Nduk, tolong aku.. Nduk, tolong aku...”) suara itu terdengar persis dari arah dalam sumur.
Tak ingin menanggapi hal itu, Mita segera bergegas ke arah dapur, mengambil baskom dan mengisinya dengan air, lalu membawanya ke kamar Tari.
Suasana di kamar Tari begitu mencekam, Tari masih belum sadarkan diri, sedangkan Resti masih menangis yang terus ditenangkan oleh Sinta dan Dian, yang lainnya masih terus melihat kejadian aneh yang baru saja terjadi.
Mita langsung meletakkan baskom yang sudah diisi air, Pak Tanto memerintahkan Mita untuk segera memasukan daun kelor ke dalamnya, daun kelor dipercaya orang zaman dulu mampu mengusir sihir dan menangkal kiriman santet atau ilmu hitam.
Tidak hanya menangkal ilmu hitam, banyak juga yang percaya kalau daun kelor bisa melunturkan kesaktian orang jahat. Percikan air daun kelor konon juga bisa mengusir makhluk halus. Pak Tanto kemudian mengambil sapu tangan di tangannya, lalu m memasukkannya ke dalam baskom,
kemudian menyeka wajah, tangan, dan kaki Tari, mulutnya terus bergumam sesuatu yang tidak dimengerti oleh semuanya, sesaat kemudian Tari membuka kedua matanya.
“Nduk, sudah gak ada apa-apa Nduk, Ibu sepertinya sudah pergi...” ucap Pak Tanto membantu Tari bangkit dari tidurnya, dan terduduk melihat semuanya terkumpul.

“Wonten nopo niki pak?” (“Ada apa ini Pak?”) ucap Tari yang kebingungan.
“Apa yang kamu rasakan tadi? Badanmu sakit tidak?” Pak Tanto balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Tari.
“Pak, tadi saya mimpi Pak, saya lihat perempuan tua datang pada saya, ngajak saya masuk pintu, yang di dalamnya gelap, gelap banget, pintunya, mirip dengan pintu kamar ini...” Jawab Tari, Pak Tanto mengangguk, seakan mengerti dengan apa yang dikatakan Tari.
“Lalu apa yang kamu lihat lagi?” lanjut Pak Tanto bertanya.

“Ada perempuan, duduk di tengah ruangan itu, sepertinya seusia dengan saya...” Jawab Tari, sekali lagi, Pak Tanto mengangguk mendengar jawaban dari Tari.
“Ternyata njenengan masih di sini Bu, belum puas juga dengan apa yang dulu pernah njenengan lakukan pada kami...” Ucap Pak Tanto lirih, yang masih bisa bisa terdengar oleh orang yang berada di dekatnya.
Tari memuntahkan sesuatu, cairan kental berwarna hitam keluar dari mulutnya, kaki kirinya berubah warna, tak ada bercak lagi, tapi kini dari mata kaki sampai lutut kulitnya berubah hitam.
“Pak Tari kenapa Pak?” teriak Mita yang terus memandang Tari, sesaat tak ada jawaban keluar dari mulut Pak Tanto, ia juga ikut terpaku melihat kondisi Tari saat ini.
“Mba Tari, saya gak bisa menceritakannya sekarang, tapi sebelum terlambat, luka Mbak Tari harus segera diobati...” ucap Pak Tanto dengan nada bergetar.

“Ya sudah Pak, obati Tari sekarang, tolong teman saya Pak...” ucap Resti setengah teriak.
“Gak bisa di sini, ini bukan sakit biasa, Mbak Tari harus ikut saya, menemui seseorang, yang berada di ujung bagian selatan Pulau Jawa...” jawab Pak Tanto datar.

“Kenapa Pak? apa gak bisa dibawa ke dokter?” tanya Mita
“Gak bisa Mbak, ini bukan sakit biasa dan sekali lagi, saya tdk bisa menceritakannya sekarang, Mbak Tari, malam ini jg harus segera dibawa ke rumah beliau..” Jawab Pak Tanto, berdiri sembari menunggu jawaban dari Tari, yg masih lemas setelah mengeluarkan darah kental dr mulutnya.
“Bawa saya Pak, tolong sembuhkan saya, tolong Pak...” ucap Tari memohon. Malam itu juga, Tari dibawa oleh Pak Tanto, untuk menemani dalam perjalanan, Mita dan Resti ikut mengantar Tari.
Malam itu, di tengah hujan yang masih turun, Pak Tanto, Tari, Mita dan Resti berangkat, menggunakan mobil. Kilat petir sesekali keluar, seperti menyambut mereka semua, jalanan yang harus dilewati saat itu berbeda dengan saat ini, yang bisa ditempuh dengan jalan TOL.
Jalanan saat itu, melewati beberapa hutan, berkelok, dan berbukit, jalanan yang licin karena hujan, seakan sempurna menambah kengerian perjalanan malam itu.
“Pak ceritakan pada kami, sebenarnya ada apa? apa yang bapak rencanakan, saya sudah menghubungi orang tua Tari Pak, kalau Bapak macam-macam, Bapak gak akan selamat...” ucap Resti mengancam Pak Tanto, yang terus melihat jalan, yang berada di depannya.
“Saya gak ada maksud apa-apa, saya gak ada maksud untuk mencelakai Mbak Tari, gak ada niat itu sama sekali...” ucapnya pelan

“Lalu kenapa teman saya jadi seperti ini Pak, sekarat, sakit gak jelas seperti ini...?” ucap Resti lagi.
“Mbak saya konsentrasi nyetir dulu, Mbak percaya saya, saya gak akan mencelakai kalian bertiga, tolong percaya saya, demi kesembuhan Mbak Resti, ini harus cepat ditangani, kalau terlambat....” Pak Tanto menghentikan ucapannya, wajahnya terlihat memikirkan sesuatu.
“Kenapa Pak? kenapa kalau terlambat?” tanya Resti memburu.

“Nyawa Mbak Tari, gak akan ketolong Mbak...” jawab Pak Tanto, membuat hening semuanya yang berada di mobil.
Mendengar jawaban itu, Resti dan Mita hanya bisa menelan ludahnya, tak disangka nyawa temannya saat ini benar-benar dalam bahaya, Resti mencoba percaya dengan Pak Tanto, namun ia tetap waspada, karena ini kali pertama Resti pergi ke tempat asing, bersama orang asing.
Tari masih terbaring di kursi belakang, kepalanya masih dipegangi oleh Resti, Mita di depan dengan Pak Tanto, mereka semua terjaga satu sama lain, namun tatapan Tari tampak kosong, sedari tadi ia hanya terdiam, tak bersuara. Entah karena lemas, atau karena sesuatu yang lain.
Tanpa terasa setengah perjalanan sudah mereka tempuh. Gapura selamat datang menyambut mereka, tanda perjalanan sudah sampai di kota lain. Hujan rintik masih terus turun, Pak Tanto membawa mobilnya dengan sangat hati-hati, karena kondisi jalan yang masih naik turun dan licin.
“Saya gak mau, saya gak mau, tolong lepaskan saya....” ucap Tari mengigau, keringatnya keluar deras, suhu badannya meninggi. Resti masih terus mengusap wajah, tangan, dan kaki Tari, dengan air yang dicampur daun kelor.
“Sebentar lagi sampai, ditahan ya Mbak, saya usahakan secepatnya...” Jawab Pak Tanto, dari raut wajah Pak Tanto tampak rasa khawatir akan keadaan Tari, semua itu terlihat jelas di mata Mita, yang sedari tadi mengajak bicara Pak Tanto, agar dia tidak mengantuk saat perjalanan.
Tiba-tiba saja, jalanan menjadi terang, padahal sedari tadi gelap gulita, hanya lampu mobil yang menyorot jalan, satu-satunya cahaya yang menuntun mereka.
“Ini mobil di belakang pakai lampu jauh ya, terang banget bikin silau..” ucap Resti

“Iya Pak, agak minggir Pak, kayaknya dia mau lewat...” tambah Mita
“Enggak Mbak, yang mau lewat bukan mobil...” jawab Pak Tanto, membuat Mita dan Resti saling pandang, merasa ada yang aneh dari jawaban Pak Tanto.
“Jangan kaget sama yang mau lewat Mbak, di daerah ini, di sepanjang jalan lurus di tengah hutan jati ini, memang sering muncul kalau malam...” tambah Pak Tanto, seketika cahaya yang terang itu bergerak maju, perlahan mendahului mobil mereka.
Mita dan Resti terbelalak, melihat hal ganjil di hadapan mereka saat ini. Sebuah bola api, melaju mendahului mereka, cahaya merah, menerangi sekitaran, bola api itu terus terbang di depan mobil yang mereka kendarai, berjalan ke arah yang sama.
Halo semua, maafkan krn cerita ini tertunda beberapa hari. Ada hal yang harus saya selesaikan di luar sana, mari kita lanjut lagi ceritanya, siapkan apa yg perlu disiapkan, terima kasih untuk yg sudah membaca.

Ruang Tabu - Dilanjutkan

@IDN_Horor @bacahorror_id #ceritahoror
“Mbak, jangan panik , kalau panik dia bakal nyerang kita, sing tenang ya mbak, di tahan...” ucap Pak Tanto memperingatkan.

“Itu apa Pak?”tanya Mita dengan wajah penuh ketakutan
“Fokus, terus berdoa Mbak, nanti saya jawab...” Pak Tanto terus mengendarai mobil, kecepatannya perlahan ia kurangi, seperti mempersilahkan bola api itu berjalan dahulu.
Lambat laun, sosok itu menjauh, lalu melesat cepat ke depan, perlahan cahayanya menghilang, ditelan gelap malam yang pekat, kabut tebal tiba-tiba saja turun, mengganggu pandangan sesaat, kini mereka berjalan sendiri lagi, di tengah hutan jati yang sepi.
“Pak, wau niku nopo Pak?” (“Pak, tadi itu apa Pak?”) tanya Resti lirih

“Banaspati, salah satu sosok hantu penunggu hutan ini, bentuknya bola api, kalau kita teriak, takut, panik dia akan berbalik mengejar dan menyerang kita...” ucap Pak Tanto, menjawab pertanyaan Mita.
“Gusti, sebenarnya kita mau dibawa ke mana sih Pak? kok lewat tempat wingit kayak gini...?” ucap Resti, wajahnya tampak khawatir kali ini.
“Ke rumah paman saya, beliau yang bisa mengobati Mbak Tari, saya belum mampu kalau harus berurusan dengan hal ini...” jawab Pak Tanto tenang.
“Mbak percaya sama saya, saya gak akan mencelakai kalian, ini bentuk tanggung jawab saya pada penghuni kost, salah saya, yang membuka kamar itu dan menyewakannya...” ucapnya lagi.
Mobil terus melaju tenang, jalanan yang masih basah membuat lajunya lambat melewati sebuah jembatan yang berdiri kokoh, Pak Tanto beberapa kali membunyikan klakson sebelum melewatinya.
Malam semakin larut saja, dari balik pepohonan yang berjajar terasa seperti ada yang mengawasi kedatangan mereka. Resti menatap ke arah keluar, dari balik bayangan pepohonan yang berjajar rapi,
ia merasakan sesuatu, beberapa kali ia seperti melihat dua titik merah dari kejauhan, membuat ia bergidik ngeri. Mobil tiba-tiba melambat, sampai akhirnya berhenti,
“Pak,kenapa ini pak? kok berhenti? Mogok tah Pak?” tanya Mita, Pak Tanto hanya terdiam, pandangannya terus melihat ke arah depan, seperti ada sesuatu yang ia perhatikan.

“Pak, mogok tah mobilnya, duh gusti, Pak kok diam aja?” tanya Resti panik
“Diam mbak, kita berhenti sebentar...” ucap Pak Tanto setengah berbisik

“Kenapa to Pak? ayok jalan, biar semua cepat selesai...” timpal Mita
“Mbak, sebentar, ada yang mau lewat...” ucap Pak Tanto sambil mengarahkan pandangannya ke depan, yang diikuti oleh Mita dan Resti.
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar sesuatu, seperti benda keras yang saling diadu, kabut putih tiba-tiba turun dari posisi hutan sebalah kanan, perlahan menuju jalan.
“Teeekkk, kreeteeeek, kreeteeekk, teeekk, teeekkk...” suara itu terdengar jelas, walaupun mereka semua masih berada di dalam mobil. Tak lama, sosok itu muncul dari dalam hutan, menyeberang secara bergerombol, melintas dari sisi kanan ke sisi kiri.
Mata mereka semua tertuju ke arah depan, melihat kejadian aneh yang terjadi di jalan, entah jumlahnya berapa, mereka semua bisa melihat dengan jelas, gerombolan tengkorang manusia berjalan beriringan, benar-benar berjalan berkelompok, bunyi tulang yang beradu terdengar jelas,
Mita tak kuat lagi melihat kejadian itu, ia segera menutup matanya sedangkan Resti dan Pak Tanto masih tak bergeming, hingga akhinya gerombolan tengkorak itu selesai menyeberang jalan.
“Niku nopo Pak? apa itu” tanya Resti sambil menoleh ke arah Pak Tanto. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Pak Tanto, ia segera memasukan persneling, gas dan kopling ia injak, mobil segera berjalan, menembus kabut putih yang hampir memudar.
“Pak, apa tadi pak?” tanya Resti kembali

“Ada yang bilang, mereka adalah korban, yang di cor hidup-hidup saat pembangunan jembatan, dijadikan tiang panjang sebagai syarat jembatan itu akan tetap kokoh berdiri...” jawab Pak Tanto.
“Pak ini kita ke tempat yang bener kan Pak? udah ngeri banget Pak, saya ga kuat...” keluh Mita.

“Iya, Paman saya memang tinggal di dekat hutan, ia melakukan lelaku, menghindar dari hiruk pikuk duniawi, setelah sebelumnya ia hampir celaka...” Pak Tanto terdiam tak melanjutkannya
“Celaka karena apa Pak?” tanya Mita penasaran

“Saya gak bisa menceritaknnya, kita fokus saja mbak, sebentar lagi sampai...” ucap Pak Tanto sambil terus fokus melihat ke depan. Mita dan Resti hanya bisa saling pandang, mereka mengangguk terpaksa untuk setuju.
Mobil kini membelok ke sebuah jalan kecil yang di depannya berdiri sebuah gapura batas desa. Jalannya masih berupa batu yang ditata rapi, mobil berjalan lambat. Selanjutnya mobil masuk ke pekarangan luas, di depannya ada sebuah rumah kayu berwarna coklat,
dengan sinar lampu kuning yang menyinarinya. Rumah itu tampak kesepian di tengah rimbun pohon jati di kiri dan kanannya. Pak Tanto turun dari mobil, berjalan ke arah pintu rumah tersebut,
Mita dan Resti bisa melihat, tak lama Pak Tanto mengetuk pintu, muncul sosok orang tua menggunakan baju surjan dengan motif lurik, rambutnya panjang, berwarna putih, dengan jenggot panjang yang warnanya tak jauh beda dengan rambutnya.
Dari kejauhan Resti dan Mita melihat mereka berdua saling berbicara, tak lama setelahnya, buru-buru Pak Tanto membalik badannya, berlari kecil ke arah mobil, setelahnya ia mengabarkan kepada Resti dan Mita, untuk keluar, membawa Tari juga.
“Endi bocahe To? Kok iso nganti kecolongan maneh?” (“Mana anaknya To? Kok bisa sampai kecolongan lagi?”) ucap Paman dari Pak Tanto, di ruang tamu sederhananya, yang dikenal dengan nama Pak De Roji.
“Niki Pak De, kaki kirinya sudah menghitam, apa masih bisa disembuhkan?” ucap Pak Tanto sambil menunjuk Tari yang masih terduduk lemas, dengan keringat yang terus mengucur di seluruh tubuhnya.

“Kapan kejadiannya?” tanya Pak De Roji
“Tengah malam tadi Pak De...” Jawab Pak Tanto, ia lalu mengangguk seperti paham dengan situasi yang akan dihadapinya. Pak De Roji kemudian bergegas menuju belakang, mengambil beberapa barang yang memang dbutuhkannya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian keluar menemui Pak Tanto dan ketiga anak perempuan itu.
Hujan kembali turun dengan deras, malam kian larut, beberapa jam lagi pagi akan tiba, Tari kemudian di baringkan di sebuah amben, papan yang terbuat dari kayu, Pak De Roji sudah menyiapkan segalanya,
di dekat amben terlihat ada baskom yang berisi air yang sudah dicampur kembang setaman, di baskom satunya ada air yang sudah dicampur dengan daun kelor.
Pak De Roji kemudian mengikat tangan dan kaki Tari yang dikaitkan ke empat sudut amben tersebut. Tari kini meronta kesakitan, berusaha melawan, namun Pak Tanto dan Pak De Roji kini selesai mengikatnya.
“Pak, Tari mau diapain? Kok sampai kaya gini?” tanya Mita dengan tatapan penuh ngeri.

“Loh Pak ini namanya kekerasan, saya bisa laporin Bapak kalau caranya kaya gini...” ucap Resti yang begitu panik.
“Mbak Resti, Mbak Mita, maaf hanya cara ini yang bisa dilakukan, sebelum pagi tiba Mbak Tari harus disembuhkan, kalau tidak, nyawanya tidak tertolong lagi, sekali lagi saya mohon berikan saya waktu untuk menyembuhkan Mbak Tari, -
- saya janji setelah ini akan saya jelaskan semuanya...” ucap Pak Tanto, Mita dan Resti hanya terdiam, mereka berdua tak tahu lagi harus melakukan apa.
Pak De Roji mengeluarkan sebuah belati yang di bagian ujung gagangnya terlihat seperti ada patung kecil yang sedang berjongkok. Kemudian Pak Tanto menutup seluruh tubuh Tari dengan jarik, menyisakan kepalanya saja.
Bagian kaki yang terluka ia buka, memperlihatkan kaki kiri Tari sdh menghitam jika dibandingkan pertama kali dilihat Mita. Kemudian Pak De Roji mengangkat baskom berisi air yg dicampur dgn daun kelor, ia mencipratkan di sekitaran tubuh Tari, kini Tari meronta terlihat kesakitan.
“Perih Pak, perih...!” ucap Tari yang tak bisa apa-apa karena kedua tangan dan kakinya diikat mulutnya bergerak seperti sedang membacakan sesuatu, setelahnya ia ambil air itu di tangannya, diusapkan sebanyak tiga kali ke bagian wajah Tari.
Tari yang sedari tadi meronta, kini terdiam dengan mata tertutup, ia terlihat tenang. Pak De Roji kemudian mengambil baskom yang berisi air yang dicampur dengan bunga setaman, hal yang sama ia lakukan lagi, mencipratkan air itu ke seluruh badan Tari,
lalu mengusap wajahnya kembali sebanyak lima kali. Tiba-tiba saja, angin bertiup begitu kencang dari arah luar, membuat pintu rumah Pak De Roji terbanting keras mengagetkan semua yang ada di sana.
Tiba-tiba saja mata Tari terbuka, melotot menatap langit-langit rumah, senyum menyeringai nampak jelas di wajah Tari, ia meronta sekuat tenaga, sampai sesekali membuat amben sedikit terangkat ke atas, hingga akhirnya ia kembali terdiam.
“Tanto....Tanto... ini Ibu Le, kamu harus lepaskan Ibu...Tanto...” ucap Tari yang terus memanggil nama Pak Tanto, suaranya terdengar asing, seperti bukan suara Tari yang Mita dan Resti kenal.

“Tanto....”
“Bu, ini sudah bukan dunia Ibu, ini sudah bukan ranah Ibu, Ibu harus membayar karma yang sudah Ibu lakukan...” ucap Pak Tanto terus memandangi Tari.
“Bocah iki kudu melu aku To....aku butuh konco maneh!!!” (“Anak ini harus ikut aku To... aku butuh teman lagi!!!)” ucap Tari yang meracau tak jelas, membuat ngeri seisi rumah.
Kini Mita dan Resti tau, yang dilihat adalah Tari, tapi yang ada di dalamnya mereka tak tahu, hanya saling bertanya, kenapa Pak Tanto memanggilnya Ibu.
“Ampun, Ibu sampun mbekta kathah malapetaka, sampun kedahipun ibu nanggung karma...(“Jangan, Ibu sudah membawa banyak malapetaka, sudah seharusnya Ibu menanggung karma...”) ucap Pak Tanto sembari mengisyaratkan kpd Pak De Roji untuk segera menjalankan apa yg seharusnya dilakukan.
Pak De Roji memegang kaki kiri Tari, ia menempelkan pisau yang kini tengah ia genggam, tanpa menunggu lama ia langsung merobek bagian belakang kaki Tari yang membuatnya meronta kesakitan, memberontak.
Tari berteriak sekuat tenaga, sampai membuat amben yang ia tempati bergetar hebat. Darah kental berwarna hitam keluar dari kaki yang kini menganga akibat sobekan pisau Pak De Roji, darah itu jatuh tepat di sebuah wadah yang sudah dipersiapkan sebelumnya, mengucur deras ke bawah.
Perlahan warna kulit kaki Tari yang menghitam berubah, ia masih terus meronta sampai akhirnya suara teriakan dari Tari menghilang, seiring dengan darah hitam yang berganti merah, saat itu juga Pak De Roji menempelkan pisau belatinya di luka yang terus mengeluarkan darah.
“Tanto gak sayang Ibu ta?” ucap Tari pelan.

“Maaf Ibu, hanya ini yang bisa saya lakukan, saya tidak ingin ada lagi nyawa yang melayang...” ucap Pak Tanto sambil terus mengusap wajah Tari, ia kini tak sadarkan diri.
Pak De Roji menutup kaki dan wajah Tari dengan jarik, setelahnya ia mencipratkan sisa air bunga setaman dan juga air daun kelor ke seluruh tubuh Tari, mulai dari atas kepala hingga ujung kaki sampai habis.
“Pak Tari kenapa? Kenapa ditutup kain seperti rang mati Pak?” tanya Resti yang panik.

“Gak apa-apa, temanmu sudah selamat...” ucap Pak De Roji tenang.
Tak lama kemudian tubuh Tari tersentak hebat, hingga membuka sebagian kain jarik yang tadi menutupinya, nafasnya kembali, ia merasakan sesak yang begitu berat di dadanya.
Ia seperti orang yang terbangun dari tidurnya, setelah mimpi buruk yang menyerang. Tari kini duduk, melihat sekitar, ia seperti linglung, bingung dengan keadaannya saat ini.
“Res, Mbak Mita... kita ada dimana? Pak... Pak Tanto?” ucap Tari lemas.

“Alhamdulillah Mbak, kamu sudah kembali....” sambut Pak Tanto dengan senyum tipis di wajahnya.
“Tari ya Allah Tar, kamu kenapa kok sampai kaya gini...?” ucap Resti

“Yang penting sekarang Tari sudah sadar Res...” ucap Mita
“Sebenarnya ini kenapa to Pak? kami bingung dengan keadaan ini...” timpal Resti, mendengar pertanyaan Resti, Pak Tanto hanya terdiam, sembari ia berjalan menuju kursi kayu dekat jendela, ia nampak bingung untuk memulai ceritanya.
Kokok ayam terdengar jelas, suasana hening, semua menunggu Pak Tanto membuka mulutnya, menepati janjinya untuk menjelaskan semuanya.
“Ceritakan saja To, ceritakan saja tentang Ibumu, tentang adikku yang sudah salah jalan...” ucap Pak De Roji. Semua orang masih memandangi Pak Tanto yang terus memainkan jari-jemarinya, keraguan itu terlihat jelas.
Angin pagi berhembus, kedatangannya membawa bau tanah yang tersiram air hujan malam tadi, membuat suasana semakin sunyi, setelah kejadian janggal yang terjadi.
Pak De Roji membuka kain jarik yang menutupi Tari, luka di kakinya yang tadi terbuka, kini hilang tanpa bekas, semua yang melihatnya heran, Tari yang sedari tadi tidak sadarkan diri, tidak tahu kalau kakinya disayat dan mengeluarkan darah yang begitu banyak.
“Loh Pak Kok lukanya hilang?” tanya Mita dengan wajah bingungnya.

“Tadi bukan kulit Nak Tari yang saya iris, kulit yang sudah berwarna hitam itu, adalah kulit sosok yang masuk perlahan ke tubuh Nak Tari...” ucap Pak De Roji
Resti lalu mengajak Tari untk mengganti pakaian yg basah, stlh selesai, mereka berdua kemudian kembali lagi, duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu, mrk tampak penasaran dgn apa yg akn diceritakan oleh Pak Tanto. Setelah terdiam skp lama, Pak Tanto akhirnya membuka mulutnya.
“Kamar Mbak Tari, dulunya digunakan oleh Ibu sebagai tempat pemujaan, dulu kami adalah keluarga yang kaya dan terpandang, segalanya ada, segalanya didapat. -
-Ibu menukar jiwa dengan harta yang tak ada habisnya, hingga akhirnya Ibu pergi Mbak, mati dengan keadaan yang menjijikan di dalam kamar pemujaannya....” ucap Pak Tanto tenang.
“Maksudnya kamar itu bekas ritual pesugihan?” tanya Resti heran, Pak Tanto hanya bisa mengangguk, sebagai jawaban atas pertanyaan Resti.

“Di kamar itu adalah tempat pemujaan, sedangkan di sumur itu adalah tempat mereka yang sudah mati dibuang....” lanjur Pak Tanto
“Siapa yang ditumbalkan?” tanya Mita

“Orang-orang jalanan yang diangkat sebagai pembantu, jika waktunya tiba, Ibu akan menumbalkan mereka, tak ada yang mencurigai, -
- karena Ibu selalu bilang, pembantunya kabur entah kemana pada tetangga yang bertanya...” Pak Tanto menyalakan rokoknya, ia menyebulkan asapnya ke atas.
“Pak Tanto, apa ibu adalah perempuan muda yang ayu? Yang duduk di tengah ruangan gelap itu? Tanya Tari.
“Maksudmu apa tar? Perempuan ayu?” tanya Mita
“Iya, aku melihat dua perempuan, yang satu dengan rambut putih dan berwajah menyeramkan, sedangkan satunya duduk diam, masih muda...” ucap Tari
“Itu adik saya Mbak, dia juga akhirnya dikorbankan Ibu disaat beliau tidak bisa memberikan tumbal sesembahan untuk yang beliau sembah, keluarga saya penuh dosa Mbak...” tutup Pak Tanto dengan air mata yang kemudian keluar membasahi pipinya.
Suasana menjadi sunyi, kicau burung pagi itu terdengar jelas, perlahan cahaya sang mentari masuk mulai menyinari.
“Pak, saya sempat ajak adik Pak Tanto berbicara, saya ajak untuk keluar dari ruangan gelap itu saat pintu terbuka...” ucap Tari sambil meminum segelas teh hangat yang diambil oleh Pak De Roji.

“Lalu apa katanya mbak?”
“Dia menolak, dia bilang.... aku di sini saja, menemani Ibu yang kesepian...” Jawab Tari pelan, menutup kejadian gila yang berlangsung semalam suntuk. Pengalaman ini, membuat mereka bertiga tahu alasan knp kamar yang Tari tinggali tak pernah ada yang pernah sanggup untuk tinggal.
Pak Tanto juga menceritakan, sebelumnya kamar itu sudah “dibersihkan” oleh orang yang dianggap mampu, tujuannya agar bisa ditinggali, tapi ternyata hasilnya nihil. Tari bercerita, Pak Tanto tidak ada niat sedikitpun untuk mencelakai orang-orang yang tinggal di kost-nya,
ia hanya ingin memulai semuanya dari awal, harta yang ditinggalkan Ibunya sudah menghilang, seperti habis secara tak masuk akal, uang yang didapat dari hasil jual tanah warisan juga habis tak tersisa, seperti angin yang berlalu begitu cepat.
Rumah itu adalah yang tersisa, ia ingin menggunakannya sebagai mata pencaharian.
Kejadian ini membuat Tari dan yang lainnya tidak serta merta membenci Pak Tanto, ia kemudian pindah, Mita masih berada di kost itu saat Tari pergi.
Kamar yang dulunya dipakai Tari diratakan dengan tanah, sumur tua itu juga dihancurkan, membuat halaman kost tersebut menjadi lebih luas. Tak ada gangguan yang berarti di kost Pak Tanto sampai saat ini.
Hanya saja kadang ada yang pernah bercerita, melihat perempuan yang duduk sendiri di bangku taman bekas kamar Tari yang dihancurkan itu.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with NuugroAgung

NuugroAgung Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @nuugroagung

Feb 18
Pertama kali aku melihatnya duduk diatas sumur tua yang di dalamnya sdh ditimbun tanah. Entah apa, tapi perlahan dia seperti mulai mengikutiku. Mereka menyebutnya
MERAH PENUNGGU ASRAMA
tak kuat menanggung aib, dia mengakhiri hidupnya di sumur itu.
A Thread
#bacahorror @IDN_Horor
Image
Image
Panggil saja ia Rumi, teman yg kemudian membagikan ceritanya saat mondok di salah satu pesantren dulu. Dia mengalami hal ganjil saat kali pertama masuk.
Hai aku Rumi, panggil saya seperti itu. Aku adalah salah satu santriwati yang baru masuk asrama pesantren yang ada di suatu tempat. Aku tak bisa menyebutkannya karena takut ceritaku ini menyinggung banyak pihak.
Read 87 tweets
Jan 1
Ngerinya pelet, bikin korbannya tunduk. Sudah jadi boneka yang dimainkan oleh pelakunya. Orang-orang seperti ini memang fakir kepercayaan diri, inginnya memang serba instan, menghalalkan segala cara.

Jimat Rambut Pemikat
A Thread

#bacahorror #rambutpembawamaut
@IDN_Horor Image
Ini adalah cerita yang dialami oleh Wulan, bukan nama sebenarnya. Pikirannya dirasuki laki-laki yang tak diinginkannya. Hatinya menolak keras, tapi entah bagaimana caranya melawan laki-laki ini. Dia selalu hadir di setiap detik hidupnya, pikirannya, bahkan leluasa dalam mimpinya.
Halo, aku Wulan, panggil saja begitu. Aku akan menceritakan hidupku yang hampir dihancurkan oleh seorang laki-laki biadab yang tak bertanggung jawab. Dia membuatku jadi setengah gila, bahkan hampir saja aku menghabisi ibu yang telah melahirkanku. Image
Read 72 tweets
Dec 3, 2023
"Ada yg bilang, sumpah dari orang yang sakit hati, akan terus berjalan hingga mati..."

“RANDAPATI” lanjutnya. Aku terdiam, menatap bapak, yang akhirnya mau bercerita, sambil menunjukan ini.

-A Thread-
#bacahorror Image
Bapak membuka obrolan malam itu, setelah aku bertanya kembali, bagaimana kita semua akhirnya bisa diterima untuk tinggal dirumah itu. Rahasia yang selama ini disimpan,  akhirnya berani beliau ceritakan, terkait seorang perempuan.
Sebelumnya aku pernah membawakan cerita, saat menempati sebuah rumah, disewa dengan harga murah, diambil karena terpaksa. Ditambah ada kabar dari para tetangga yang menceritakan.
Read 116 tweets
Sep 12, 2023
Desa geger tengah malam, beberapa warga berjalan kencang, bunyi kentongan ditabuh, hampir semua warga desa keluar rumah, membawa obor, senter apapun alat yg bisa untk petunjuk gelap. Ada yg bilang, kepala Ki Rangan hilang.

PENGANUT ILMU SESAT
-a thread-
#terorpocong #bacahorror Image
Para warga yang sedari tadi berkumpul, mulai meninggalkan makam satu persatu. Esok harinya berita ini menjadi perbincangan banyak orang di pasar.
Kebetulan hari itu adalah Jumat Kliwon, dimana Pasar Kliwon akan ramai orang yang berbelanja dari berbagai desa. Ki Rangan memang sudah tiada, tapi ancamannya seperti masih membekas di ingatan para warga desa.
Read 100 tweets
Mar 30, 2023
Sosok Ketiga kini hadir ditengah-tengah rumah mereka, entah bermaksud apa, entah ingin menyampaikan apa. Namun kedatangannya hanya membawa kemalangan, memberikan ketakutan pada penghuninya.

-A Thread-

KUBUR RAGA
Sosok ketiga penghuni taman belakang

@bacahorror_id
#bacahorror Image
“Ini aib mas, berat sebenarnya untuk saya ceritakan, tapi jika tidak saya ceritakan, nantinya akan ada orang-orang yang mungkin mengalami nasib seperti keluarga saya” ucap Surya, seseorang yang saya temui beberapa bulan lalu.
Beliau menceritakan pada saya tentang kisahnya, yang menyeret salah satu anggota keluarganya ke dalam jurang kematian. Tepatnya 10 tahun yang lalu, peristiwa itu terjadi. Dendam itu membuat segala kebusukan menyeruak ke permukaan, membuka semua rahasia.
Read 203 tweets
Mar 26, 2023
Motor bebek melaju kencang, menembus gelap malam, melewati lampu jalan yg jarang. Nardi, perasaannya tak karuan saat perjalanan pulang kali ini. Rasanya seperti ada yg sedang mengikuti tpt di belakang.

-A Thread-

ALAM LAIN PABRIK KAIN

@IDN_Horor @bacahorror_id
#bacahorror Image
Hai, apa kabar semua? Semoga selalu rahayu ya? lancar melaksanakan ibadah puasanya bagi yang menjalankan. Lama juga saya tidak bercerita di sini, maaf kegiatan lagi banyak-banyaknya. Tapi saya mencoba untuk bisa meluangkan waktu, bercerita di rumah ini.
Beberapa waktu lalau dapat cerita dari seseorang, yang menceritakan pengalamannya saat mengalami kecelakaan, ada sesuatu yang ganjil dirasakan saat kejadian itu terjadi. hal tersebut nampak nyata. jika saja ia tak lolos sasat itu,
Read 127 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(