Rama Atmaja Profile picture
Feb 27, 2023 91 tweets 17 min read Read on X
"Demi kelangsungan hidup dan kebahagiaan, aku rela menumbalkan janin yang ku kandung untuk mertua perempuanku yang melakukan pesugihan tumbal janin. Apakah aku bisa dibilang sama dengannya? Yang menjadi budak Iblis?"

@IDN_Horor @bacahorror_id @ceritaht @threadhororr
Berawal dari pesan masuk di Facebook, ia (narasumber) menceritakan pengalaman hidupnya. Namun untuk menuliskan ceritanya tidak semudah yang dibayangkan.
Akan ada kontroversi dari segi tempat yang bisa dibilang tidak bisa disinggung oleh khalayak umum.
Hanya ada satu cara untuk menyampaikan ceritanya, dengan merubah jalan cerita agar tidak terlalu sama, seting waktu dan tempat, serta penambahan bumbu untuk memperindah ceritanya.
Namun Inti dari ceritanya tetap sama, dan nyata atau tidaknya cerita ini, yang terpenting akan diceritakan lewat tulisan.

Untuk ceritanya sendiri, akan Rama update duluan di @karyakarsa_id
Jadi mohon dukungannya buat teman-teman sekalian, agar Rama makin bersemangat.
Part 2 : Aneh

Sudah up di @karyakarsa_id
Jika berkenan, jangan lupa baca ya sob, like dan komennya juga.
Terima kasih 🤗

Link cerita : karyakarsa.com/RamaAtmajaHCR/…
Part 3 sudah up, gaskeun ke @karyakarsa_id

Link: karyakarsa.com/RamaAtmajaHCR/…
"Mas ampun, Mas!" (Mas maaf, Mas!)

Pekikan penuh permohonan itu tidak berhasil membuat seorang laki-laki yang kini dirundung amarah menghentikan aksinya.
Tangis dari perempuan di depannya itu bahkan membuatnya semakin ingin melakukan lebih dari hanya sekedar memberikan pukulan.
Kabut amarah terlihat jelas di netra laki-laki itu. Rahangnya yang mengeras dengan gigi yang bergelatuk, menandakan bahwa amarahnya tengah berada di puncaknya.
"Wanita ora ngerti diuntung!" (Wanita tidak tahu diuntung) Geraman itu membuat sang perempuan semakin bergetar ketakutan.

"Mati'o!" (Matilah!)
"Mas!" Napas perempuan itu memburu. Keringat dingin sudah membasahi tubuhnya yang mungil. Menyadari bahwa ia hanya bermimpi, membuatnya menghela napas panjang.

"Kenapa, Dek? Ngimpi mantan suamimu meneh?" (Kenapa, Dek? Mimpi mantan suamimu lagi?)
Dia menoleh, mendapati sang suami yang ikut terbangun karena ulahnya. Terlihat jelas raut wajah kekhawatiran di sana. Melihat itu, ia dengan segera mengulas senyum. Menggeleng pelan, mencoba menyakinkan suaminya bahwa dia baik-baik saja.
"Endak papa, Mas." (Tidak apa-apa, Mas).

Mas Huda namanya, laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu adalah suami kedua Fatiya.
Setelah kejadian memilukan beberapa tahun silam, Fatiya dipertemukan oleh Huda yang mencintainya sepenuh hati. Bahkan, Huda tidak peduli jika Fatiya dulunya adalah seorang janda.
Awalnya Fatiya sempat ragu untuk kembali membuka hatinya karena ulah mantan suaminya. Dia sedikit trauma jika harus membangun rumah tangga lagi. Tetapi, karena bujukan dan juga kalimat penenang Huda, Fatiya akhirnya mengiyakan ajakan Huda untuk menikah.
Hingga sampailah mereka di tahap ini. Menjadi sepasang suami-istri yang notabenenya masih baru. Keduanya baru saja menjalankan pernikahan satu minggu yang lalu. Keluarga Mas Huda juga tampak ramah dan menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka, membuat Fatiya merasa bersyukur.
"Yo wes, Dek. Mas mau siap-siap ke warung." (Yasudah, Dek. Mas mau siap-siap ke warung). Ucapan Mas Huda membuat Fatiya seketika tersadar bahwa saat ini sudah menunjuk pukul delapan pagi. Lagi-lagi Fatiya telat bangun karena mimpi yang sama.
Melihat Mas Huda yang sudah keluar kamar dengan membawa handuk di bahunya, Fatiya dengan segera bergegas membereskan kasur dan juga menyiapkan pakaian untuk suaminya.
Sebagai pengusaha muda di bidang kuliner, membuat Mas Huda harus selalu datang ke warung-warung miliknya untuk mengecek dan meng-handle.
Seharusnya Fatiya yang merupakan istri Mas Huda telah siap bersedia untuk melayani suaminya. Tetapi, mimpi-mimpi akan perlakuan kasar dari sang mantan suami membuatnya terbangun tidak menentu.
Mengingat itu membuat Fatiya tidak menyadari bahwa Mas Huda telah berdiri di sampingnya dengan rambut basahnya.

"Dek? Ngelamun ae, ngko kesambet kepiye?" (Dek? Melamun terus, nanti kerasukan gimana?) Suara Mas Huda membuat Fatiya terlonjak.
Reflek dia menepuk pelan lengan kekar sang suami, membuat Mas Huda terkekeh pelan mendapati ekspresi lucu terkejut milik istrinya.

"Astagfirullah, Mas. Ngagetin ae!" cetus Fatiya.
"Ngko bekal e dianter ya, Dek? Mas ora sempet sarapan. Buru-buru." (Nanti bekalnya dianter ya, Dek? Mas tidak sempat sarapan. Buru-buru.)
Mas Huda mengingatkan seperti biasa. Tentu saja langsung Fatiya angguki. Walau ia memiliki warung-warung terkenal, dia hanya ingin merasakan masakan istrinya. Membuat Fatiya terkadang dibuat tersipu karena ucapan dan juga tindakan romantis suaminya.
Setelah melepas kepergian sang suami, Fatiya mulai berkutat dengan tugas rumahnya. Dia tersenyum, ketika melihat sang ibu mertua yang baru saja keluar dari kamarnya. Sepertinya juga baru saja bangun dari tidur.

"Huda uwis mangkat, Fat?" (Huda sudah berangkat, Fat?)
"Sampun, Bu. Mangke Fati mau nyusul ke warung buat anter bekal buat Mas Huda," (Sudah, Bu. Nanti Fati mau menyusul ke warung untuk antar bekal buat Mas Huda), balas Fatiya sopan.
Setelah mendengar jawaban dari sang menantu, Bu Dian kembali memasuki kamarnya, menutupnya pelan. Fatiya tidak mau ambil pusing. Ibu mertuanya memang lebih sering berdiam diri di kamar. Fatiya pun tidak mengerti kenapa.
Bahkan, Fatiya dilarang keras untuk membersihkan kamar mertuanya itu. Katanya, Bu Dian bisa membersihkannya sendiri. Walau begitu, Fatiya tidak mau bertanya lebih.
Setelah siap dengan bekal yang akan dia bawa. Fatiya berjalan seraya menenteng rantang berisikan makanan untuk Mas Huda menuju ke pintu kamar sang ibu mertua. Diketuknya pelan pintu itu beberapa kali, sambil memanggil sang pemilik kamar.
"Ibu, Fati pamit mau ke warung," ucapnya meminta izin.

Tetapi, tidak ada jawaban dari dalam. Mengembuskan napas panjang, mungkin saja Ibu mertuanya kembali tertidur karena kelelahan.
Tidak mau mengganggu Ibu mertuanya, Fatiya memutuskan untuk segera pergi ke warung yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, warung besar yang selalu sesak akan pengunjung itu terlihat.
Senyum lebar Fatiya mengembang sempurna. Dia dibuat kagum akan kerja keras suaminya hingga berhasil membangun warung sesukses ini. Bahkan, jika Fatiya datang ke warung, dia tidak pernah mendapati warung suaminya dalam keadaan sepi.
Baru saja sampai di halaman depan warung, langkah Fatiya berhenti. Suara tangis anak perempuan membuatnya mengalihkan pandangannya. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat sepasang suami-istri yang tengah mencoba menenangkan putri mereka yang menangis histeris.
"Endak ada apa-apa, Nak." (Tidak ada apa-apa, Nak).

"Ndak mau, Bu! Akeh pocongnya!" (Tidak mau, Bu! Banyak pocongnya!)
Mendengar itu tubuh Fatiya menegang. Ditatapnya arah tunjuk dari anak kecil tersebut. Tetapi, yang dia lihat hanya ada pengunjung yang duduk tenang di meja mereka masing-masing sembari menikmati pesanan mereka.
Tatapan Fatiya kembali tertuju ke arah sang anak, yang masih menangis histeris di pelukan sang ayah.

Fatiya terdiam. Kata orang anak kecil lebih peka terhadap sesuatu yang tidak terlihat. Apakah anak tersebut melihat apa yang tidak bisa ia lihat sekarang?
"Ndi tho pocong'e? Ora ono apa-apa." (Mana pocongnya? Tidak ada apa-apa).

"Enten, Pa! Iku ejek maem bareng uwong-uwong." (Ada, Pa! Itu sedang makan sama orang-orang)
Makan? Bagaimana pocong-pocong yang dilihat anak kecil itu makan? Apakah mereka berdiri di samping para pengunjung? Atau pengunjung yang menduduki mereka?
Atau para pocong tersebut yang duduk di pangkuan para pengunjung warung? Membayangkannya saja membuat bulu kuduk Fatiya meremang.

"Hust, uwes ndak ono sing krungu. Mending pindah warung ae, Mas." (Hust, udah nanti ada yang dengar. Mending pindah warung saja, Mas).
Menggelengkan kepalanya, mencoba membuat semua prasangka buruk yang dia dengar. Melirik ke arah warung yang masih ramai, mencoba mengembuskan napas panjang.
Melupakan semua ucapan anak kecil yang dia dengar tadi. Setelah dirasa yakin dia melanjutkan langkahnya memasuki warung untuk menemui suaminya.
Walau di hatinya ada sesuatu yang terasa janggal. Entah mengapa setelah mendengar ucapan anak kecil tadi, suasana warung setelah dia masuki berubah drastis. Tidak seperti dahulu yang hangat, kini terasa dingin dan mencekam. Sebenarnya ada apa?
___

Di @karyakarsa_id masih berlanjut.
Tunjukkan eksistensi kalian sob dengan cara dukung cerita ini. Jika berkenan, like dan komennya juga.
Terima kasih ....
Klik link ini untuk menuju ke seri TANDA TUMBAL : karyakarsa.com/RamaAtmajaHCR/… Image
Pemberitahuan :
Up ke thread per-part nya jika persatu partnya mendapatkan minimal 5 pendukung di karyakarsa baru up ke thread, tapi kalau tidak mencapai target, cerita ini belum bisa lanjut ke thread dan hanya up ke karyakarsa saja.
Terima kasih ... .
Yuk baca duluan part 5 nya di @karyakarsa_id
Klik yang ada di bawah ini ⬇️
karyakarsa.com/RamaAtmajaHCR/…
Part 6 sudah update
Baca di @karyakarsa_id
Link ⬇️
karyakarsa.com/RamaAtmajaHCR/…
Pada seru, tapi kok sepi?
Yakin gak mau baca?
Nih link part 7 nya di @karyakarsa_id
karyakarsa.com/RamaAtmajaHCR/…
Part terakhir, tapi bukan akhir.
Mohon dukungannya, agar cerita ini bisa terus berlanjut.
Cek ceritanya di @karyakarsa_id
Link ceritanya ada di bawah ini ⬇️⬇️⬇️
karyakarsa.com/RamaAtmajaHCR/…
___

Update bagian 2 nya di sini ⬇️⬇️⬇️



___
___
Lanjut ke thread part 2-8
___
Fatiya mengulas senyum ketika mendengar pujian-pujian dari para pelanggan yang tengah menikmati hidangan yang mereka cicipi.
Perasaan janggal yang sejak tadi dia rasakan perlahan sirna. Terlebih ketika ia mendapati sosok sang suami yang tengah berbicara pada salah satu chef. Dengan langkah lebar Fatiya langsung menghampiri Mas Huda.

"Mas ...."
Panggilan dari Fatiya berhasil membuat obrolan kedua laki-laki di depannya yang terlihat sangat serius seketika terhenti. Fatiya mengernyitkan dahi ketika sempat menangkap ekspresi terkejut dari sang suami dan juga seorang chef tersebut.
Tetapi dengan cepat, Mas Huda langsung tersenyum cerah mendapati sang istri yang telah membawakan bekal makan untuknya.

"Uwis ket mau, Fat?" (Sudah sejak tadi, Fat?) tanya Mas Huda.
"Dereng, Mas. Fatiya ganggu yo, Mas?" (Belum, Mas. Fatiya mengganggu ya, Mas?) tanya Fatiya pelan. Dia merasa tidak enak dengan suaminya terlebih sepertinya obrolan yang sedang dibicarakan suaminya sangat penting hingga Mas Huda tidak menyadari kehadirannya.
"Ora kok, Dek. Mung soal menu anyar wae," (Tidak kok, Dek. Cuma soal menu baru saja) balas Mas Huda lembut.

Fatiya hanya mengangguk kecil. Dia masih setia berdiri di samping Mas Huda yang sedang menyuruh chef tersebut untuk kembali bekerja.
Setelahnya, Mas Huda menarik lembut lengan Fatiya. Mengajak istrinya untuk menuju ke salah satu bangku warung untuk keduanya duduki.

"Masak opo siki, Dek?" (Masak apa sekarang, Dek?) tanya Mas Huda seraya membuka bekal makan.
Dengan semangat tentu saja Fatiya menjelaskan, "Semur jengkol kesenangan e, Mas!" (Semur jengkol kesukaannya, Mas).
Mas Huda tertawa pelan, lalu mulai melahap makanan yang dibawakan Fatiya. Makanan istrinya itu memang tidak pernah gagal membuat lidahnya ingin terus mengecap hasil masakannya. Bahkan, hanya dengan semur jengkol saja rasanya begitu nikmat jika Fatiya yang memasaknya.
Sembari bertopang dagu, Fatiya memandangi wajah tampan suaminya. Sesekali, menatap ke sekeliling warung.
Dia dibuat kagum dengan keramaian warung suaminya ini. Jika ada pengunjung yang keluar karena telah selesai menuntaskan makan mereka, maka tidak lama kemudian akan ada pengunjung lain yang menggantikannya.
Asik memperhatikan sekitar, tatapan Fatiya tidak sengaja menangkap sosok aneh yang tengah duduk di pangkuan salah satu pengunjung.
Fatiya menyipitkan kedua matanya, sebab objek yang dia lihat sekarang terlihat begitu transparan dan tidak jelas. Tetapi, ketika objek itu bergerak, menoleh ke arahnya membuat Fatiya secara spontan mengucap istighfar.

"Astagfirullah ya, Gusti!"
Tidak keras, tetapi cukup membuat Mas Huda yang tengah duduk di sampingnya menatap Fatiya. Perempuan itu terlihat menunduk seraya memejamkan kedua matanya, >
< bibir mungilnya bergerak mengucap istighfar berulang kali, dengan tubuh yang sedikit bergetar. Seakan menahan ketakutan yang luar biasa.

"Dek, ono opo?" (Dek, ada apa?) tanya Mas Huda sedikit panik.
"Mas ... Mas ...." Fatiya menarik ujung baju yang dikenakan Mas Huda. Nada suaranya terdengar bergetar.
"Mas iku, Mas! Iku ono sik njagong nang pangkuan e pengunjung paling pojok!" (Mas itu, Mas! Itu ada yang duduk di pangkuan pengunjung paling pojok!) Lapornya tanpa menoleh menatap sang suami.
Mas Huda yang mendengar itu menoleh, mencoba melihat ke arah yang dimaksud sang istri. Tetapi, hanya ada sepasang kekasih yang terlihat romantis seraya bercanda tawa di sana.

"Ra ono opo-opo, Dek." (Tidak ada apa-apa, Dek).
Mendengar balasan sang suami membuat Fatiya ragu-ragu mengangkat wajahnya. Dia mengucek kedua matanya, ketika tidak melihat objek yang dia lihat tadi.
Hanya ada sepasang kekasih saja. Padahal, di pangkuan sang cowok dia melihat sosok berbungkus kain kafan yang tengah menjilati makanan dengan lidah panjangnya.
Hingga, sosok itu tiba-tiba menoleh ke arahnya, menunjukkan wajah gosong penuh belatung dengan mata hitam kemerahan, membuat Fatiya berhasil beristighfar seraya menyebut nama Tuhan. Begitu terkejutnya dia melihat sosok menyeramkan itu.
Tetapi anehnya, kini terlihat seperti biasa. Tidak ada sosok menyeramkan itu lagi. Apakah dia hanya berhalusinasi saja tadi?
"Yo wes, iki dek mas uwis rampung. Ati-ati nang ndalan yo, jogo umah mbek mamak. Nek ono opo-opo telpon mas ae. Mas isik ono gawean nang kini, paling bali jam limo sore."
(Ya sudah, ini dek mas usah selesai. Hati-hati di jalan ya, jaga rumah sama mama. Kalau ada apa-apa telpon mas saja. Mas masih ada pekerjaan di sini, mungkin pulang pukul lima sore.)
Mas Huda mengusap lembut pucuk kepala Fatiya. Sebelum akhirnya meninggalkan perempuan itu sendirian. Fatiya hanya mengangguk seraya tersenyum. Dia mengerti akan kesibukan suaminya itu.
Tatapan Fatiya kembali mengarah kepada sepasang kekasih yang duduk di pojok warung sekali lagi. Tidak ada yang aneh.
Mengembuskan napas panjang, Fatiya memilih untuk melupakan kejadian aneh saat itu dan segera beranjak dari sana. Dia teringat akan ibu mertuanya yang berada di rumah sendirian.
Tepat setelah Fatiya melangkah keluar dari pintu warung. Dari bayangan jendela warung, terpantul sosok bayangan yang dia lihat tadi. Tidak hanya satu, tetapi hampir di seluruh para pengunjung. Mereka menjilat dan meludahinya.

***
"Assalamu'alaikum, Bu. Fati bali," (Assalamu'alaikum, Bu. Fati pulang,) salam Fatiya setelah membuka pintu depan rumah yang rupanya tidak terkunci.
Tidak ada balasan dari dalam. Diletakkannya bekal makan kotor bekas sang suami ke tempat cuci piring. Dia akan mencucinya nanti, sekarang yang terpenting adalah memastikan kondisi sang mertua.
Fatiya takut terjadi sesuatu dengan ibu mertuanya, sebab dia cukup lama meninggalkan sang ibu mertua sendirian di rumah.
Langkah Fatiya berjalan menuju ke pintu kamar sang mertua yang masih tertutup rapat. Diketuknya pintu itu seraya memanggil sang pemilik kamar. Tetapi, ketiadaan jawaban yang dia dapatkan membuat Fatiya semakin cemas. Dengan lebih keras dia mengetuk pintu kamar.
"Bu," panggilnya lembut.

"Ibu lagi dhahar, Nak." (Ibu lagi makan, Nak.) Jawaban dari dalam membuat hati Fatiya tenang. Setidaknya sang ibu baik-baik saja di dalam kamar.

"Ibu kok dhahar teng kamar tho, Bu? Mboten ilok, Bu." (Ibu kok makan di kamar, Bu? Tidak baik, Bu.)
Fatiya mencoba mengingatkan sang mertua. Tetapi, karena tidak mendapat jawaban dari dalam, membuat Fatiya mengalah.
Perempuan itu memilih melangkah menuju ke halaman depan rumah dan mengambil sapu lidi. Mulai menyapu halaman rumah yang cukup kotor karena daun-daun kering yang berserakan.
"Lho, Bu kapan ibu metu? Kok Fati ndak weruh?" (Lho, Bu kapan ibu keluar? Kok Fati tidak lihat?)

Bu Dian yang sedang membawa keranjang sayuran yang telah terisi penuh dengan sayur-mayur menatap tidak mengerti menantunya.
"Hust, opo maksudmu, Fat? Ibu ket mau yo nang pasar. Iki agi ae bali," (Hust, apa maksudmu, Fat? Ibu dari tadi di pasar. Ini baru saja pulang,) ucap Bu Dian. Kentara sekali bahwa wanita paruh baya itu dibuat bingung dengan pertanyaan sang menantu.
"Lho, Bu bukan e ibu lagi dhahar teng kamar?" (Lah, Bu bukannya ibu lagi makan di kamar?) Bu Dian semakin dibuat bingung dengan ucapan menantunya.

"Ngomong opo koe tho, Nduk." (Bilang apa kamu ini, Nak.)

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Rama Atmaja

Rama Atmaja Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @RamaAtmaja_HCR

Nov 24, 2023
MAPAG

"Tumbal anak, tumbal diri, pesugihan merajut kisah kelam yang memakan korban."

@FaktaSejarah @bacahorror @IDN_Horor @threadhororr @P_C_HORROR @autojerit
#ceritaserem Image
Aku akan menceritakan sebuah kisah. Di malam yang berembun di tahun 90-an, seorang anak laki-laki bernama Boy pulang seorang diri setelah menonton layar tancap. Saat melewati gang sepi, keanehan mulai terkuak.
Boy melihat sebuah keranda mayat terbang membelakangi, dan seperti tak terkendali, ia mengikuti keranda itu yang melintasi gang demi gang. Hingga pada akhirnya, keranda berhenti di sebuah rumah, terungkap bahwa empat makhluk hitam pekat seperti asap yang memikulnya.
Read 118 tweets
Jun 3, 2023
GEMBUNG KUNTILANAK

- 3 hari dalam wujud Kuntilanak -

Narasumber : Dodi

@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR @threadhororr

Untuk menonton atau dengar, bisa kunjungi link yang di atas versi video audio singkat dari cerita ini.
Versi thread agak berbeda dengan menambahkan narasi agar sedikit panjang dari versi di youtubenya. Tapi dari inti ceritanya sama dan cerita ini terinspirasi dari kejadian nyata. Image
Di sebuah Desa yang terletak di kawasan Pantura, malam menyelimuti segala sesuatu dengan kegelapan yang pekat. Angin berhembus dengan ganas, seakan membawa cerita-cerita mengerikan dari masa lalu, menggerakkan daun-daun kering pohon-pohon tua yang berderit menakutkan.
Read 21 tweets
Mar 14, 2023
Image
Nurmi, nama gadis kelas 2 SMU yang kini terduduk lesu dibalik pintu. Bagaimana tidak? Sepulang sekolah ia mendapati rumahnya telah ramai orang, dan saat ditanya tak ada jawaban dari mereka, hingga ia masuk dan mendapati orang tercintanya terbujur kaku di atas ranjang.
Mak Selasih, atau yang lebih dikenal dengan mak Slambit (Peniti), karena ia selalu saja menempelkan peniti pada pakaian yang dikenakan, entah untuk apa itu, karena pakainya juga tidaklah rusak ataupun berlubang.
Read 14 tweets
Jan 21, 2023
DEDADEN (Jadi-jadian) 3

Final Chapter: Antara Hidup Dan Mati

"Ini adalah saatnya untuk membayar dendammu, Sri!", teriak Endang dengan suara yang melengking menakutkan.

@HororNyata @P_C_HORROR @IDN_Horor @threadhororr @ceritaht #horor #horrortwt #bacahorror #ceritaseram Image
Prolog:

Di udara yang dingin dan gelap, dua sosok makhluk halus berjenis kuntilanak terbang dengan kecepatan tinggi. Mereka adalah perwujudan dari Sri dan Endang, -
dua kuntilanak yang memiliki dendam besar satu sama lain. Mereka akan mempertaruhkan nyawa keduanya di pertarungan akhir antara hidup dan mati.
Read 343 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(