Nasura Profile picture
Mar 9 60 tweets 8 min read
Bismillah...

A tread horror base on true story

TUMBAL PENGGANTI

#bacahorror @bacahorror @ceritaht #ceritaht
@C_P_Mistis @P_C_HORROR @autojerit #02 Image
BAB 02 BAB-01 TEKA-TEKI DIBALIK KECEKAAN YANG MENIMPAKU

Insident itu cukup membuatku sedikit tertekan, aku mulai mempertanyakan keputusanku. Tapi, aku bisa apa? undangan sudah disebar, persiapan pernikahan 95% sudah selesai.
Terlebih lagi, rasa cinta pada Riyana yang membuatku pantang mundur.
Seminggu sebelum hari H, ada insiden lain, seluruh isi ATM-ku sudah terkuras habis untuk meng-cover semua persiapan pernikahan sesuai keinginan Riyana.
Ibu memberikan ATM-nya padaku, untuk suatu keperluan aku memberikan ATM ibu kepada Riyana, aku berpesan,”pakai seperlunya saja Ri.” Riyana Cuma melengos lalu pergi.
Namun rupanya, Riyana tidak perduli dengan pesanku, Dia menghabiskan seluruh isi ATM ibu. Sepatah kata pun ibu tidak berkomentar saat aku memohon maaf atas ulah Riyana, tapi dari raut muka ibu, jelas ibu kecewa.
Karena hal ini kesehatan ibu menurun, tensinya sering tiba-tiba naik, bahkan ibu sampai harus bed rest. Aku yakin ini bukan soal uangnya, but it is about trust.
Pas hari H, ibu mendampingiku akad nikah tapi kondisi kesehatan ibu benar-benar menurun, meski sudah di make up masih terlihat pucat. Ibu bahkan tidak bisa hadir di acara resepsi, tensinya tinggi.
Bersama menurunnya kesehatan ibu, kondisi Indri semakin membaik, tapi ada yang aneh, Indri yang dulunya ramah dan penyayang, berubah acuh-tak acuh dan sering murung. Dia yang dulunya periang, berubah menjadi pendiam.
Lebih suka menyendiri dari pada bercengkrama dengan kami. Sayangnya, keluarga tidak menyadari hal ini atau tepatnya tidak terlalu peduli. Sepertinya, hanya aku yang menyadari hal ini, saat aku membicarakannya dengan Riyana, aku malah kena semprot.
"Ngapain sih ngurusin Indri? kita sudah punya keluarga kecil sendiri, biar Indri diurus Komar!" ucap Riyana kesal. Sejak saat itu, aku tidak pernah membahas lagi, tapi makin lama kondisi Indri makin buruk, sampai mencapai satu titik yang fatal.
Keluarganya menyadari hal ini saat Indri telah layak disebut gila.
Dia sudah tidak lagi mengurus rumah dengan baik, rumahnya berantakan dan kotor. Dia juga abai terhadap anak, kadang anak nggak dikasih makan, jarang-jarang dimandikan, kalau ditanya jawabnya lupa. Dia juga mulai jarang membersihkan diri, jarang sekali berbicara.
Komar juga masih seperti biasa, acuh. Namun karena hal ini aku justru melihat sisi baik dari Komar, dia mengerjakan semua hal yang tidak dikerjakan Indri. Mulai dari membersihkan rumah hingga memasak dan mengurus putrinya. Dia juga tampak lebih sayang pada Indri dari sebelumnya.
Dengan telaten dia membujuk Indri untuk mandi dan berganti baju, lalu dia sendiri yang memasukkan baju kotor milik Indri ke mesin cuci kemudian menjemurnya.
Entahlah, segala perubahan ini tampak sedikit aneh di mataku, meski kadang hati kecilku bilang, “itu karena rasa sayang Komar yang tulus kepada Indri.”
Selain ke pisikiater, kami juga mengusahakan di luar medis untuk kesembuhan Indri. Namun entahlah, kedaan Indri makin memburuk. Dia tidak pernah mengamuk tapi sikapnya menjadi kasar, dia benar-benar sudah tidak pernah mengurus diri apalagi mengurus anak.
Banyak orang pintar kami kunjungi demi mengusahakan kesembuhannya, tapi belum membuahkan hasil.
Suatu saat kami pergi ke desa yang jauh di tepian hutan, hutan ini di sisi utara berbatasan dengan selat madura, sisi timurnya berbatasan dengan selat Bali, sedang sisi barat berbatasan dengan sungai Klarakan. Kami mendatangi sebuah gubuk dengan petunjuk seorang teman.
Ada yang aneh dengan tingkah Komar, saat kami sampai di tempat ini, dia tidak mau ikut masuk rumah dengan alasan ingin menjaga anak.
Kami pun membiarkan seperti apa maunya. Ternyata, bukan orang di dalam gubuk tersebut yang akan mengobati Indri, dia hanya penunjuk jalan. Orang yang akan mengobati Indri berada jauh di dalam hutan.
Kami tidak diizinkan membawa banyak orang, dengan alasan keamanan. Hanya aku dan Komar yang boleh ikut, tapi Komar malah menolak. Akhirnya ayah mertua yang pergi bersama kami. Kami pergi mengendarai motor butut milik tuan rumah, masuk ke dalam hutan melalui jalan setapak.
Maman---sang penunjuk jalan memboncengku, sedang ayah mertua membonceng Indri. Kami menembus wilayah pinggiran hutan dengan tidak ada halangan, kemudian mulai masuk ke dalam inti hutan, di sini pun tidak ada rintangan yang berarti.
Namun saat mulai masuk belantara, tiba-tiba motor yang ditumpangi ayah dan Indri mogok, kami terpaksa berhenti.
Ternyata bukan hanya ini masalah kami, saat kami sedang sibuk mengotak-atik motor dan mencari penyebab kenapa motor tersebut mogok, tiba-tiba Indri ketakutan kemudian lari tunggang-langgang.
Seolah sesuatu sedang mengejar dan berusaha menyakitinya. Kami pun panic, menghambur mengejar Indri.
Kami kehilangan jejaknya, tercerai berai. Hanya ayah mertua yang ada dibelakangku, Maman juga tidak kami lihat.
Sementara hari mulai gelap, ayah mertua tiba-tiba berhenti bergerak, "Le, mandeko!" ucap beliau memberi perintah, serta merta menarik tanganku untuk menepi di bawah pohon. "Tapi pak___,"
"Ora sah bantah! iki wektu surup, ojo kemendel!" (Tidak usah membantah! ini waktu peralihan, jangan sok jago!) ayah mertua memotong ucapanku. Nada bicaranya mengintimidasi.
Aku pun menuruti perintah ayah mertua, lalu duduk di sampingnya. Bersandar di pohon, "fatekhaeono awakmu dewe ping pitu, Le! maringono sholawate ojo pedot, njauk marang Gusti ben diparingi slamet!" lagi-lagi ayah mertua memberi perintah.
(baca fatekhah untuk diri sendiri tujuh kali, Le! kemudian baca sholawat jangan putus, minta pada Tuhan agar diberi keselamatan!) Aku hanya mengangguk kemudian membaca apa yang belaiu perintahkan.
“Bagiamana Indri bisa berlari secepat ini, lalu Maman juga tidak terlihat jejaknya?” aku berfikir keras.

“Kalau dipikir-pikir hutan ini memang bisa jadi tempat bersembunyi yang mudah,
tinggal duduk diam di antara semak belukar dan tidak bergerak pasti akan dengan mudah mengelabuhi kami yang sedang mencarinya. Namun bukankah Indri tadi terlihat benar-benar ketakutan? Atau jangan-jangan___,” reflek aku menutup mulutku,
meski aku sedang membatin. Kenapa aku bisa berfikiran jahat tentang Maman? Bukankah dia berperan untuk membantu kami? Namun itu maknanya, “dia sangat mengenal hutan ini, bisa saja dia memukul Indri hingga pingsan lalu menyembunyikannya?”
Hah! dari mana aku punya pikiran jahat seperti itu? Untuk apa dia melakukan itu semua? Bagaimana kalau ternyata Maman bekerjasama dengan Komar untuk mencelakai Indri?
“Aaaccckkk! Sinting!”
Aku terus memikirkan segala kemungkinan dari semua teka-teki tentang Indri, Komar dan Maman. Entahlah, firasatku begitu kuat bahwa sakitnya Indri, Komar penyebabnya.
“Untuk apa Komar melakukan semua ini? Untuk pesugihan atau jangan-jangan dia punya selingkuhan?” Komar membuat Indri menjadi seperti sekarang, supaya bisa bebas berbuat sesukanya.

“Aaaccckkk! Kayaknya hutan ini bikin aku makin sinting.”
Hari semakin gelap dan hawa semakin dingin, tanpa kusadari aku meraba tengkuk, "rasah sumelang! wong pancen ning alas gek wis surup mesti okeh koncone, sing penting atimu kudu kenceng madheb mantep marang Gusti, ojo sampek kosong!"
(enggak usah khawatir, namanya juga di hutan, sudah senja pasti banyak temennya, yang penting hatimu harus tegak lurus pada yang di atas, jangan sampai kosong!) ucap ayah mertua panjang lebar, seolah memahami kerisauanku. Aku cuma menatap ayah mertua dengan tatapan bimbang.
Ketika mega merah di ufuk barat telah benar-benar menghilang, hari benar-benar menjadi gelap, ayah mertua mengajakku bergerak.
Terus maju ke depan, beliau memintaku untuk mengikutinya. Kami terbantu oleh cahaya bintang dan bulan sabit yang malu-malu mengintip dari balik rimbun dedaunan. Dalam kegelapan hutan, cahaya sekecil apapun akan tampak lebih terang.
Suara burung hantu terdengar menggema di atasku, seperti sedang bertengger di atas rangting pepohonan yang kami lalui, lagi-lagi tanpa sadar aku meraba tengkuk.
"Le, nggak sah digape, jarne ae!" (Le, tidak usah digubris, biarkan saja!) ucap ayah mertua seolah mengerti bahwa fokusku teralihkan oleh suara burung hantu.
Kami, terus berjalan hingga kaki terasa ngilu, sambil terus bereteriak-teriak menyebut nama Indri dan Maman. Namun, mereka seolah hilang ditelan oleh kegelapan hutan.
Sementara hutan ini seolah tak berujung, kemana pun kami melangkah, hanya ada pepohonan, "pak, apa tidak sebaiknya kita kembali ke jalan setapak saja?" ucapku, entah dari mana ide itu tiba-tiba muncul.
Ayah mertua langsung menghentikan langkah lalu berbalik, aku bahkan hampir menabrak tubuhnya karena ayah mertua berbalik tiba-tiba.
Canggung beliau menjawab, "yo wis awakmu sing ning ngarep, Le." (ya sudah kau yang di depan, Le.) Lalu kedua tangan ayah mertua memegang bahu dan memutar tubuhku. Detik selanjutnya, beliau mendorongku sambil berbisik, "maju-o,be, jangan menoleh ke belakang!
Bisikannya terdengar ngeri di telingaku, entahlah, aku begitu yakin ada sesuatu yang mengerikan di belakang kami.
Segera aku bergerak cepat menuruti perintahnya, rasa penasaranku sesunguhnya tak terbendung bercampur dengan rasa takut yang menghimpit, cuma karena malu pada ayah mertua, jadi sekuat tenaga aku tahan.
Keringat dingin mulai membasahi tubuh, aku terus bergerak maju meski aku tidak yakin bahwa ini arah yang benar untuk kembali ke jalan setapak. Aku hanya meyakini satu hal, bahwa aku akan menjauh dari tempat ayah membalikkan tubuhku.
Aku tak dapat menghitung seberapa jauh kami sudah berjalan, tapi jalan setapak tak jua kami temukan.
“Apa kita berjalan ke arah yang salah, Pak?!“ tanyaku bingung. Alih-alih menjawab pertanyaanku, ayah mertua tiba-tiba malah menabrak punggungku. Reflek aku membalikkan tubuh, panic menopang tubuh ayah mertua yang ambruk.
Mataku melotot tak percaya, "Maman?!" ucapku bingung. Maman berdiri di hadapanku, kedua tangannya memegang erat batang kayu sebesar lengan orang dewasa, dengan posisi siap menyerang. Lalu mengayunkan tinggi-tingi batang kayu di tanganya, kemudian,
BUUUKKK!
BUUUKKK!
BUUUKKK!
Dia menghantamkan kayu itu bertubi-tubi ke tubuhku, aku tidak sempat menghindar. Kami berdua jatuh terkulai, mataku mulai berkunang-kunang, samar-samar aku masih melihat Maman terus mengayunkan batang kayu di tangannya,
memukuli kami. Dia terus menghantamkan kayu di genggamannya tanpa belas kasian. Tidak diperdulikannya erangan yang memohon agar dia berhenti memukuliku.
Sakit yang tak terhingga mendera tubuhku tiap kali batang kayu itu menghantam dengan keras. Aku mengerang kesakitan, terus memohon agar Maman berhenti memukuliku.
“Ampuuun…ampuuun, tolong berhenti.” Rintihku menghiba, sambil berusaha beringsut dari tempatku.
Namun, Maman benar-benar tidak memperdulikan rintihanku, dia seperti orang kesurupan terus mengayunkan kayu di tangan. Entah berapa lama, tubuhku dipukuli oleh Maman, rasanya remuk redam. Sekilas aku melihat senyum puas di bibir Maman sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
Bersambung
yang pingin baca duluan lanjutannya bisa ke sini ya, karyakarsa.com/Karenina/bab-0…
atau mau baca full episode, di sini ya, karyakarsa.com/Karenina/serie…

terimakasih sudah berkenan membaca karya-karya Nasura, see you

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Nasura

Nasura Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @nasura2101

Mar 9
Bismillah...

"Kau lancang mengambil tumbalku, bersiaplah untuk menjadi pengganti."

Tread horror base on true story

TUMBAL PENGGANTI

#bacahorror @bacahorror #ceritaht @ceritaht
@C_P_Mistis @P_C_HORROR @autojerit
Bismilah...
Apa kabar semua, semoga penjenengan semua senantiasa dalam lindungan-Nya. Nay repost ya kisah ini, mau langsung update pas bab yang belum di update pastinya penjenengan semua sudah lupa kisah sebelumnya.
Nulis kisah ini banyak rintangannya, pas bab 12 tiba-tiba ada kejadian di kantor yang bikin aku benar-benar nggak bisa ngelanjutin. Dua bulan kemudian baru bisa lanjut, pas baru mulai lagi ada kejadian di rumah yang memaksaku untuk jeda lagi.
Read 65 tweets
Nov 27, 2022
TERSESAT DI DESA BUNIAN
BAB 16 EXTRA PART (PULANG)
@ceritaht @C_P_Mistis @P_C_HORROR @autojerit @IMatsirat @ArifKakung
Cahaya hangat mentari mengiringi perjalanan pulang ketujuh remaja itu, perasaan lega terpancar pada wajah-wajah lelah mereka. Mereka seperti masih tidak percaya, akhirnya mereka bisa pulang dengan selamat.
Kuda Besi yang mereka kendarai, melaju perlahan meninggalkan Desa Neo. Breki menatap mereka dengan tatapan yang susah diartikan.

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan nasib mereka,” ucap Nek Beti.
Read 27 tweets
Nov 26, 2022
TERSESAT DI DESA BUNIAN
BAB -15 ENDING
@ceritaht
@IMatsirat
Hi semua, akhirnya ending juga ya.
Selamat membaca.

Pancaran energi yang sangat besar dari para makhluk Bunian, membuat tubuh semua yang ada disitu bergetar hebat. “Benar-benar pancaran energi yang luar biasa."
Para makhluk Bunian, tiba-tiba mengangkat tangan disertai kilatan cahaya besar yang membuat silau dan suara yang memekakan telinga, semua orang menutup mata serta telinga mereka dengan kedua tangan.
Read 50 tweets
Nov 12, 2022
TERSESAT DI DESA BUNIAN
BAB-14 MASUK DIMENSI LAIN
@ceritaht Image
Putri tersadar, merasakan seluruh tubunya pegal-pegal, kepalanya pusing. Putri berusaha memulihkan kesadaran, kepala masih berdenyut-denyut. Netranya memindai sekeliling, ia masih berada di dekat pohon raksasa.
Sejauh mata memandang hanya hutan yang setiap pohonnya memancarkan cahaya. Gadis itu merasa tempat itu adalah dimensi lain karena suasana begitu aneh.
Read 53 tweets
Nov 9, 2022
BAB-13 POHON RAKSASA PEMBUKA PORTAL GAIB
@ceritaht
“BERHENTI!” Breki menghentikan langkah Angel dan teman-temannya. Sementara Nek Beti dan Pak Bulo melangkah mendekat.
Dengan isyarat, Breki memberi perintah kepada Nek Beti dan Pak Bulo. Lalu, dengan gerakan yang sangat cepat Nek Beti dan Pak Bulo memukul tengkuk mereka satu-persatu. Tubuh mereka langsung terkulai.
Read 55 tweets
Nov 9, 2022
Solusinya? 1. Kalau dapat ide langsung tulis aja, bisa dimana aja, you sekarang alat sudah sangat canggih, hand phone juga kan selalu digenggaman. Save aja dulu di note atau dimanapun yang bikin kau nyaman.

2. Menulis memang butuh pation, mesti deket sama orang-orang yang bisa-
memberimu motifasi positive. Bikin schedule lalu patuhi. Kalau aku sih ngerasa nya punya utang kalau pas jadwal nulis dan nggak bisa nulis. Kayak ngerasa bersalah gitu.

3. Ini wajar ya, tapi dengan begitu kita akan termotivasi untuk belajar dan menulis lebih baik lagi.
Up karyamu di sosmet, disitu kau akan mengerti betapa menawannya tulisanmu di mata penikmat tulisanmu. Percayalah, setiap karya akan menemukan pembacanya sendiri. Like nya cuma sedikit kak? Ya wajar nama nya juga baru mulai. Masak ujuk-ujuk banyak, namanya sulapan dong.
Read 6 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(