Assalamualaikum...
Happy weekend ya, met malming, meski sendiri semoga sehat dan bahagia selalu, Amiiin...
Ada seseorang mengatakan padaku, "kalau kau terus milih buat sendiri, kau itu kayak arwah gentayangan." Aku ngakak, menurut temen-temen gimana?
Jangan lupa like dan comment, rt, Qrt, supaya nggak ketinggalan bab selanjutnya. Mari kita mulai bab 04, Bismillah...
BAB-03 KESURUPAN
"Aku harus menemukan Mamam," bathinku. Meski setelah semua yang kualami, hati ini masih kekeh untuk menolong Indri, malah aku juga masih berniat mencari orang yang disebut oleh nenek di tepi hutan. Seseorang yang berada di timur-selatan.
"Le, kau harus realistis! lihat tingkah istrimu sekarang! sudah sangat keterlaluan. Sama sekali dia tidak memperdulikanmu.
Ibu dan ayah hanya diam, karena ibu dan ayah takut mereka akan semakin menyakitimu." Ucap ibu nyaris berbisik, sepertinya ibu takut ada yang mendengar ucapannya.
Aku terpaku beberapa saat, tidak tahu mesti menjawab apa, aku sedang mecari kata-kata yang tepat agar orang tuaku lebih tenang.
"Ibu, ayah, percayalah padaku, Dewa pasti selesaikan ini. Bagaimana pun Indri harus ditolong. Tidak akan ada yang menyakitiku lagi, aku janji.
Tentang Riyana, mohon maafkanlah sikapnya, Dewa janji akan mendidiknya. Bagaimana pun dia tanggung jawabku, aku imamnya, beri Dewa kesempatan untuk merubah sikap Riyana." Ayah dan ibu hampir bersamaan menghela nafas berat, menatap iba padaku.
"Baiklah, apa yang bisa kami lakukan untuk membantumu?" tanya ayah kemudian.
"Dewa harus menemukan orang seperti petunjuk nenek yang kutemui di tepi hutan, timur selatan. Apa itu artinya wilayah XX?"
"Coba kau bicara dengan kakakmu, Mia. Barangkali ia punya pejuntuk, kakakmu kan pernah tinggal di kota itu pas masih kuliah, kau lupa?"
"Iya ibu benar, Mia masih punya petunjuk," ucapku sambil ngeloyor mencari ponselku.
Singkat cerita aku menemukan orang yang kami cari sesuai dengan petunjuk nenek di tepi hutan, kali ini aku hanya bersama Ibu mertua dan Riyana, aku membawa Indri ke timur-selatan.
Aku yang menyetir, Riyana duduk di kursi penumpang di sampingku, sedang Indri duduk bersama ibu mertua di jok belakang.
Sepanjang perjalanan kami tidak banyak bicara. Hampir seharian kami menempuh perjalanan tanpa henti, tempat yang kami tuju ada di lereng gunung, kami harus menembus hutan belantara untuk mencapai desa yang kami tuju.
Untungnya akses jalan bisa dilalui kendaraan roda empat, meski berbatu, jalan yang kami lalui milik perhutani. Hanya dirapikan dengan bebatuan yang sudah di tindas dengan alat berat hingga structur jalan sudah dipadatkan.
Namun tidak dipasangi aspal, umumnya jalan perhutani memang seperti itu di daerah ini. Menurut yang kudengar ini untuk meminimalis pencurian kayu dan aset hutan.
Hari telah menjadi gelap saat kami sampai di tempat tujuan, sebuah rumah sederhana khas orang desa. Namun rumah ini cukup luas, seluruh ornamen terbuat dari kayu jati yang diplitur halus, meski terlihat kuno tapi rumah ini cukup gagah.
Halamannya cukup luas, ada mushalla di sudut kanan depan. Banyak orang yang baru saja keluar dari mushalla, sepertinya baru menunaikan ibadah shalat maghreeb. Kami keluar dari mobil, disambut oleh seseorang yang usianya kira-kira lima tahun di atasku.
"Ada tamu rupanya, monggo-monggo katuran pinarak," (Ada tamu rupanya, mari-mari silahkan masuk,) sambutnya ramah. Kami pun masuk rumah, setelah berbasa-basi sebentar, aku meminta ijin untuk ke mushalla.
Setelah menunaikan kewajibanku aku kembali masuk rumah, di meja ruang tamu sudah teresedia kopi dan singkong goreng, tampak mengundang selera. Kami pun menikmati hidangan yang disajikan.
Kopi dan singkong goreng yang disajikan benar-benar nikmat. Mungkin karena lapar dan habis menempuh perjalanan jauh yang melelahkan, jadi hidangan yang disajikan terasa lebih nikmat.
Setelah mengobrol beberapa lama, akhirnya aku mengutarakan niat kedangan kami. Beliau tampak tersenyum canggung lalu berujar,
"Lek pancen Pengeran ngersakne mbak ayumu waras, yo mesti nemu tombo," ucapnya datar.
(Kalau memang Tuhan menghendaki kakakmu sembuh, pasti menemukan penawar)
Setelah itu, beliau meminta waktu sebentar, lalu keluar dari ruang tamu masuk ke dalam ruang tengah. Aku tidak menyangka bahwa orang yang kami cari adalah orang yang masih sangat muda. Saat mendengar kisahnya dari Mia, kupikir beliau lebih tua dari ayah.
Lima belas menit kemudian beliau kembali, "apa saya bisa bicara empat mata denganmu?" ucapnya kepadaku. "Tentu," jawabku sambil berdiri. Lalu beliau mempersilahkanku masuk ke ruang tengah, membimbingku untuk duduk.
Dengan sangat hati-hati beliau bertanya, "apa benar anda yang kekeh untuk mencari solusi dari penyakit kakakmu?"
"Iya benar, pak kiyai," jawabku tanpa ragu.
"Apa kau tahu dengan resikonya?"
"Resiko?!"
“Maksudku, jika kakakmu bisa sembuh, bisa saja penyakitnya berpindah kepada orang lain. Itu bisa siapa saja, bisa kau, istrimu, atau anakmu kelak. Atau bahkan mungkin salah satu dari anggota keluarga yang lain.”
Aku tertegun beberapa saat, penjelasan Pak Kiyai, membuatku sedikit bimbang.
"Apa kau siap menanggungnya?"
"Iya saya siap, apa pun itu asal Indri bisa kembali seperti semula." Aku shock dengan kalimat yang mengalir begitu saja dari bibirku.
Aku bingung, sesungguhnya aku tidak ingin mengatakan semua kalimat itu, tapi nyatanya semua kalimat itu mengalir ringan tanpa beban.
"Kau yakin dengan hal ini?"
"Saya yakin," aku menutup mulutku, lagi-lagi aku terkejut dengan ucapkanku.
"Baiklah, kalau begitu." Sesaat setelah beliau menyelesaikan kalimatnya, beliau merengkuhku ke dalam pelukan, berbisik di telingaku,
"kabeh kui enek itungane dewe marang ngarsani Gusti, mugo-mugo Pangeran paring murah." (semua ada hitungannya sendiri di hadapan Tuhan, semoga Tuhan memberi pertolongan).
Ada kekuatan aneh yang terasa menjalar ke dalam sanubari, rasa bimbangku tiba-tiba menghilang. Apa yang beliau katakana ada benarnya, karma pasti berlaku,
jika aku berbuat baik, Tuhan akan membalasku dengan karma baik, jika aku berbuat sebaliknya, Tuhan juga akan membalas dengan karma yang sesuai dengan perbuatanku.
Kemudian Pak Yai membimbingku kembali ke ruang tamu, wajahnya terlihat lega dan lebih sumringah, sambil berjalan beliau berkata,
"tambane mbak ayumu ono ning ibune." (obat dari penyakit kakakmu ada sama ibunya) ucap beliau pelan, namun cukup jelas untuk didengar semua orang termasuk Riyana, Indri dan ibu mertua.
Kami semua seperti tercekat mendengar kalimat demi kalimat yang beliau katakan, belum lagi rasa keterpakuan kami hilang, Indri kejang-kejang secara tiba-tiba. Kami panik dan berusaha menolongnya, tapi Indri terus kejang-kejang.
Matanya melotot, jari telunjuknya menunjuk ke satu arah, dia berusaha mengatakan sesuatu tapi mulutnya tidak dapat berucap.
Indri terus kejang-kejang, kami berusaha menenangkannya tapi Indri jelas terlihat sangat ketakutan. Entah berapa lama Indri seperti itu, akhirnya Indri terkulai pingsan.
Pak kiyai berusaha menyadarkan Indri dengan memegang jempol kaki kirinya, ibu mertua dan Riyana mengolesi hidungnya dengan aroma therapy. Beberapa saat kemudian Indri sadar, matanya jelalatan memindai ke segala arah. Begitu matanya sampai padaku, Indri bangkit lalu menyerangku.
Tenaganya begitu kuat, aku kewalahan menghadapinya. Dia mencengkeram leherku dengan kedua tangan, mencekikku. Ibu mertua dan Riyana yang berusaha melerai terpental karena dihempas oleh Indri, begitu juga pak kiyai.
"BERANINYA KAU MENGAMBIL TUMBALKU, BERSIAPLAH MENJADI PENGGANTI!"
Indri berteriak keras di telingaku hingga telingaku sakit, untuk beberapa saat aku tidak bisa mendengar, "apa teriakannya telah memecahkan gendang telingaku?!" batinku bingung,
sementara aku mulai susah bernafas karena cengkramannya semakin kuat. Aku pukuli kedua lengannya, tapi tidak berpengaruh sama sekali.
Dengan gerakan yang sangat cepat, Pak Kiyai menyentuh beberapa bagian tubuh Indri. Indri terkulai, Pak Kiyai menangkap tubuh Indri lalu membaringkannya di tanah. Kemudian berjalan mendekati ibu mertua yang menggigil ketakutan.
BRUUKKKK!
Tubuhku nglimpruk ke tanah seperti gombal amoh begitu cengkraman Indri terlepas. Kakiku seolah tak bertulang.
Sesuatu yang dingin mulai terasa mengalir dari telinga kananku, gemetaran aku meraba telingaku. Mataku membulat sempuran saat aku menatap telapak tanganku.
Darah membekas di telapak tanganku, rupanya benar gendang telingaku pecah, bahkan darah mengalir dari lubang telingaku.
Pak Kiyai yang fokus dengan Indri, tidak memperdulikan keadaanku.
"Mari bu silahkan, sudah waktunya anda menolong Indri,” ucap pak kiyai, suara beliau begitu tenang.
Ketakutan ibu mertua mendekat. Ragu-ragu ibu mertua melangkahi tubuh Indri lalu mengitarinya, beliau melakukan putaran sebanyak tujuh kali, setiap putaran dibuang ke kiri.
"Kapan Pak Kiyai mengajari ibu mertua untuk mengobati Indri?! bathinku bingung, "Aku juga tidak melihat Pak Kiyai secara khusus berbicara dengan ibu," AKu makin bingung.
"Bagaimana ibu langsung mengitari tubuh Indri dan Pak Kiyai diam saja seolah memang itu yang seharusnya dilakukan?!" Aku masih belum bisa berdiri, seolah terpaku di tempat aku nglimpruk.
Sementara Ibu mertua masih melanjutkan ritualnya, sepanjang melakukan ritual, airmatanya terus mengalir deras. Tubuh ibu mertua gemetaran, terlihat jelas beliau berusaha menekan perasaan yang campur aduk.
Setelah putaran ke tujuh selesai beliau bersimpuh, diraihnya kepala Indri lalu direngkuh ke dalam pelukan. Perlahan beliau meletakkan kepala Indri di pangkuan, detik berikutnya wajah Indri 'diraupi' tapih. (diusap dengan kain yang dipakainya).
Airmata ibu mertua masih mengalir deras hingga bahunya terguncang, kami semua seperti terhipnotis dengan apa yang kami saksikan.
Aku terpaku di tempatku begitu juga Riyana, wajahnya juga sembab karena tangis, jelas Riyana sangat ketakutan. Sorot matanya menggambarkan kesedihan yang mendalam bercampur ngeri.
_______________
Sesuai janjiku, kita marathon, kita up bab selanjutnya. Jangan lupa like, comment, rt, qrt, agar tidak ketinggalan bab selanjutnya.
BAB-04 TERJEBAK DI DALAM HUTAN
Pak Kiyai berbisik di telinga ibu mertua, ibu mertua seperti terbangun dari kesedihan. Mulutnya mulai komat-kamit membaca sesuatu, aku memperhatikan dengan seksama gerak bibirnya.
Hi semua sesuai janjiku ya, kita marathon. Kita lanjut bab 03, jangan lupa like, comment, rt dan Qrt, agar nggak ketinggalan bab selanjutnya.
BAB-03 MISTERY KELUARGA RIYANA
Aku terbangun di rumah sakit, ibu dan ayah serta Riyana ada di sampingku, aku memindai seisi ruangan. Mereka menyambutku dengan senyum sumringah, "akhirnya kau bangun," ucap ibu.
BAB 02 BAB-01 TEKA-TEKI DIBALIK KECEKAAN YANG MENIMPAKU
Insident itu cukup membuatku sedikit tertekan, aku mulai mempertanyakan keputusanku. Tapi, aku bisa apa? undangan sudah disebar, persiapan pernikahan 95% sudah selesai.
Terlebih lagi, rasa cinta pada Riyana yang membuatku pantang mundur.
Bismilah...
Apa kabar semua, semoga penjenengan semua senantiasa dalam lindungan-Nya. Nay repost ya kisah ini, mau langsung update pas bab yang belum di update pastinya penjenengan semua sudah lupa kisah sebelumnya.
Nulis kisah ini banyak rintangannya, pas bab 12 tiba-tiba ada kejadian di kantor yang bikin aku benar-benar nggak bisa ngelanjutin. Dua bulan kemudian baru bisa lanjut, pas baru mulai lagi ada kejadian di rumah yang memaksaku untuk jeda lagi.
Cahaya hangat mentari mengiringi perjalanan pulang ketujuh remaja itu, perasaan lega terpancar pada wajah-wajah lelah mereka. Mereka seperti masih tidak percaya, akhirnya mereka bisa pulang dengan selamat.
Kuda Besi yang mereka kendarai, melaju perlahan meninggalkan Desa Neo. Breki menatap mereka dengan tatapan yang susah diartikan.
“Kau tidak perlu mengkhawatirkan nasib mereka,” ucap Nek Beti.
Hi semua, akhirnya ending juga ya.
Selamat membaca.
Pancaran energi yang sangat besar dari para makhluk Bunian, membuat tubuh semua yang ada disitu bergetar hebat. “Benar-benar pancaran energi yang luar biasa."
Para makhluk Bunian, tiba-tiba mengangkat tangan disertai kilatan cahaya besar yang membuat silau dan suara yang memekakan telinga, semua orang menutup mata serta telinga mereka dengan kedua tangan.