Sesuai janjiku, kita marathon, kita up bab selanjutnya. Jangan lupa like, comment, rt, qrt, agar tidak ketinggalan bab selanjutnya.
BAB-04 TERJEBAK DI DALAM HUTAN
Pak Kiyai berbisik di telinga ibu mertua, ibu mertua seperti terbangun dari kesedihan. Mulutnya mulai komat-kamit membaca sesuatu, aku memperhatikan dengan seksama gerak bibirnya.
Jika aku tidak salah beliau sedang membaca Surat alfatehah, sesekali beliau meniup ubun-ubun Indri. Suasana mulai terasa lebih ringan, tidak lagi tegang, angin sepoi-sepoi mulai berhembus menerpa wajah kami.
Wajah ibu mertua yang tadi tampak tegang dan penuh kesedihan mulai terlihat damai. Dua puluh menit telah berlalu, ibu mertua sepertinya sudah selesai membaca Surat alfatehah. Beliau menatapku lalu berucap, "kita langsung pulang saja, Le!"
Aku tercekat dengan ucapan beliau yang bernada perintah, "pulang, di jam segini?" bathinku. Namun aku tidak berani membantah.
Tanpa kusadari aku sudah bisa kembali mendengar, "Apa tidak sebaiknya anda semua menginap saja?" ucap pak kiyai, "medan di sepanjang hutan tidak ada penerangan di malam hari," imbuh beliau.
"Iya bu, sebaiknya kita pulang besok saja, Riyana takut," ucap Riyana, jelas ada kengerian di sorot matanya.
Apa yang kau takutkan Ri? ada suamimu dan ibu bersamamu, toh kita juga di dalam mobil." Rupanya ibu mertua kekeh dengan pendiriannya, aku hanya bisa menghela nafas berat.
Agak ngeri melintasi belantara di malam hari, apalagi jalanan juga tidak beraspal. Namun apa mau dikata, ibu mertua kekeh minta kembali malam itu juga. Kami pun berpamitan, "hati-hati di jalan, pelan-pelan saja nyetirnya," ucap pak kiyai.
"Inggih, Pak Kiyai," jawabku, berat. "Semoga selamat sampai tujuan,"
“Amiiin,” kami hampir bersamaan mengamini do'a beliau.
Kami, meninggalkan pelataran rumah pak kiyai beberapa saat kemudian, mobil kulajukan perlahan. Jujur, ada perasaanku was-was. Namun apa boleh buat, aku tidak ingin berdebat dengan ibu mertua.
Kulirik Riyana, dia juga terlihat tidak nyaman di tempat duduknya, tapi dia juga membisu. Hanya ibu mertua yang tampak tenang memeluk Indri.
Setelah meninggalkan desa, kami mulai memasuki hutan. Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, selain karena jalanan yang berbatu, sekuat apapun aku berusaha tenang, tetap saja aku was-was.
Ini pertama kalinya aku mengemudi di tengah hutan. Persis yang sudah disampaikan oleh pak kiyai, tidak ada penerangan di badan jalan. Penerangan hanya berasa dari lampu mobilku saja.
Mobil terguncang karena kondisi jalan yang tidak rata. Aku fokus pada jalan, tidak ada satu pun dari kami yang berbicara, seolah Riyana dan ibu mertua ikut fokus pada jalan.
Agak seram memang mengemudi di tengah hutan di jam segini. Dalam hati aku menyesal, “kenapa aku menuruti ibu mertua, kenapa aku tidak menginap saja. Toh jika aku menolak mereka juga nggak bisa nyetir sendiri.”
Suasana sangat sepi, hanya suara deru mesin mobil dan suara ban mobilku terdengar samar. Tiga puluh menit telah berlalu, semua berjalan lancar tanpa ada rintangan apa pun. Namun beberapa detik kemudian, samar-samar dari kejauhan aku mendengar suara gamelan.
Aku agak bingung, “jam segini ada suarasuara gamelan? apa mungkin berasal dari orang yang sedang punya hajatan? berarti ada desa tak jauh dari sini?” aku berbicara sendiri, membatin.
"DEWA HATI-HATI!" Riyana tiba-tiba berteriak, mengagetkanku. Reflek aku mengerem, mobilku sudah keluar dari badan jalan. Jantungku rasanya mau copot, dadaku bagai dipukuli palu, detaknya juga tak beraturan.
Hanya beberapa detik saja aku tidak fokus pada jalan karena memikirkan suara gamelan, aku hampir saja masuk parit. Di kiri-kanan jalan ada parit yang yang cukup dalam, sengaja dibuat untuk penampung air hujan.
"Kau ngantuk, Wa?" tanya Riyana.
"Sebaiknya istirahat dulu jika kau mengantuk," ucap ibu, menimpali.
"Istirahat? di tengah hutan sepertinya bukan ide yang baik dech," bathinku
"Dewa, kok malah bengong?" ucap Riyana, "ah___, eh___, enggak kok aku nggak ngantuk." jawabku tergagab. Dari sikap ibu mertua dan Riyana, sepertinya aku sendiri yang mendengar suara gamelan itu.
"Lah terus kalau nggak ngantuk, bagaimana kau bisa keluar dari badan jalan?" jawab Riyana kesal.
"Entahlah Ri, kau dengar itu nggak?"
"Dengar apa Wa?" Riyana tampak bingung. Nah iyakan, aku sendiri yang dengar suara gamelan.
"Aku tadi mendengar suar gamelan Ri," akhirnya terpaksa kujelaskan.
"Ah, kau ini ada-ada saja, di tengah hutan gini dari mana ada suara gamelan? kau pasti telah tertidur lalu bermimpi." Aku ingin membantah ucapan Riyana, tapi suara gamelan itu sudah tidak terdengar.
’’Apa ucapan Riyana tadi benar, aku telah tertidur? Atau aku terhipnotis oleh suara gamelan itu?’’ Segera aku mundurkan mobil, lalu tancap gas. Kali ini aku mengendarai mobil lebih cepat dari sebelumnya.
"Pelan-pelan Wa," ucap Riyana ketakutan, tangan kirinya berpegang pada pegangan di atas kepalanya.
"Pelan-pelan jatuhnya aku malah tertidur Ri," jawabku, "Iya, tapi aku ngeri dengan cara nyetirmu sekarang," jawab Riyana tegas.
Kulirik istriku, wajahnya tampak tegang. Dari kaca spion kulirik ibu mertua, beliau juga terlihat tegang, ada sorot kemarahan di bola matanya, tapi beliau tidak berucap sepatah kata pun.
‘’Apa jangan-jangan ibu mertua juga mendengar suara gamelan? Kenapa beliau diam dan tidak berkomentar apapun?’’ Aku sedikit mengurangi kecepatan, tapi tetap lebih cepat dari sebelum aku mendengar suara gamelan.
Dua puluh menit berlalu, dari kejauhan sorot lampu mobilku menangkap banyak orang sedang berjalan membelakangi kami. Semakin dekat makin terlihat jelas, bahwa benar ada banyak orang. Aku memelankan laju mobil, berbagi jalan dengan orang-orang yang berjalan memenuhi badan jalan,
kadang aku berhenti untuk memberi jarak antara mereka dengan mobilku. Aku juga tidak mau dituding arogan, mentang-mentang pakai mobil, mau menang sendiri
"Jam segini mereka mau kemana ya?" batinku, "bagaimana orang-orang ini berjalan di dalam gelap, tanpa penerangan apa pun? mungkin mereka sudah terbiasa, lagian mereka jalan juga rame-rame."
Di sebuah persimpangan jalan mereka berbelok, saat kuperhatikan dengan seksama, ternyata kaki mereka tidak menapak. Bulu kudukku bergidik ngeri, nyaliku langsung ciut.
Aku mengucek mataku untuk memastikan yang kulihat, tapi saat jariku beralih dari mata, mereka sudah tidak terlihat. Ketakutan, aku kembali melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
Kulirik Riyana, dia tertidur, begitu juga dengan ibu mertua dan Indri, mereka juga tertidur di jok belakang. Ingin sekali aku bangunkan Riyana, agar ada teman ngobrol, tapi kuurungkan.
Jujur ada rasa takut yang mulai mengusikku. Namun aku ini laki-laki, nggak mungkin dong aku tunjukin sama istri dan ibu mertua.
"Semoga setelah ini sudah tidak ada yang aneh-aneh lagi," aku berdo'a di dalam hati.
Belum juga lima menit aku selesai berdo'a, sorot lampu mobilku menangkap sesuatu yang terlihat melintasi jalan di kejauhan. Aku pelankan laju mobil sambil mempertajam pandangan, ingin memastikan apa yang sebenarnya sedang melintas.
Saat mobil sudah lebih dekat, mataku membulat sempurna, menatap tidak percaya. Dengan tatapan ngeri, kakiku reflek menginjak pedal rem. Mobillku berhenti sempurna dengan jarak kurang dari lima meter.
Beruntung rem mobilku tidak menimbulkan suara gaduh. Reflek lampu mobil langsung kumatikan, mobil kumundurkan pelan-pelan. Sebaik mungkin aku berusaha agar tidak menimbulkan kegaduhan. Ketika kurasa cukup jauh, aku berhenti, mesin mobil langsung kumatikan.
DUG!
DUG!
DUG!
Suara detak jantungku seolah ingin membelah dada, tanpa sadar aku membekap mulut Riyana, sambil menggoncang tubuhnya. Saat Riyana membuka mata, aku meletakkan jari telunjukku di depan bibir, memberinya isyarat agar tidak bersuara.
Lalu, aku putar kepalanya menghadap ke depan, ke arah benda yang sedang melintasi jalan. Benda itu sedang bergerak perlahan dengan irama khas.
Mata Riyana membulat sempurna saat sadar apa yang sedang disaksikan. Namun aku, tidak berani melepas bekapan tanganku, takut dia bersuara.
Beberapa detik kemudian, mata Riyana mulai berair, rasa takut yang mendera membuatnya menangis tanpa sadar. Sekali lagi aku memberi isyarat, mewanti-wanti agar Riyana tidak bersuara. Lalu kulepas bekapan tanganku pelan-pelan, kuraih kepalanya dan kubenamkan ke dalam pelukan.
Sementara mataku tidak berkedip menatap benda bulat panjang yang sedang bergerak perlahan melintasi jalan. Sisiknya berkilau terkena cahaya bulan yang samar-samar menerobos rimbum dedaunan, sisik itu sebesar telapak tangan bayi.
Kepalanya sudah tidak terlihat karena sudah masuk ke semak belukar, sementara ekornya juga belum terlihat. Suara detak jantung Riyana sangat keras, bagai suara bedug yang ditabuh saat menyambut idul fitri.
DUG!
DUG!
DUG!
Dengan irama yang lebih cepat dari biasanya, isakan halus tertahan, juga terdengar samar. Airmatanya membasahi dadaku. Aku hanya bisa membeku menunggu, rasa takut juga mengusaiku.
Mungkin karena aku merasa mesti melindungi Riyana, jadi aku sembunyikan rasa takutku serapi mungkin. Berusaha setenang mungkin, agar Riyana tidak panic.
Aku terus berdo’a semampuku, memohon diberi keselamatan. Berbagai pikiran buruk melintas, bagaimana jika hewan itu tiba-tiba menoleh dan melihat kami? Bagaimana jika tiba-tiba ada ranting yang jatuh lalu menimpa tubuhnya dan membuat makhluk itu berbelok ke arah kami?
Aku ingat almarhum kakek pernah mengajarkan bahwa ada do’a khusus saat kami bertemu dengan hewan di hadapan kami. Sekuat apapun aku berusaha mengingat do’a itu tetap tak mampu kuingat. Surat-surat pendek yang sudah kuhapal di luar kepala juga entah hilang kemana.
_______________
Assalamualaikum...
Happy weekend ya, met malming, meski sendiri semoga sehat dan bahagia selalu, Amiiin...
Ada seseorang mengatakan padaku, "kalau kau terus milih buat sendiri, kau itu kayak arwah gentayangan." Aku ngakak, menurut temen-temen gimana?
Jangan lupa like dan comment, rt, Qrt, supaya nggak ketinggalan bab selanjutnya. Mari kita mulai bab 04, Bismillah...
Hi semua sesuai janjiku ya, kita marathon. Kita lanjut bab 03, jangan lupa like, comment, rt dan Qrt, agar nggak ketinggalan bab selanjutnya.
BAB-03 MISTERY KELUARGA RIYANA
Aku terbangun di rumah sakit, ibu dan ayah serta Riyana ada di sampingku, aku memindai seisi ruangan. Mereka menyambutku dengan senyum sumringah, "akhirnya kau bangun," ucap ibu.
BAB 02 BAB-01 TEKA-TEKI DIBALIK KECEKAAN YANG MENIMPAKU
Insident itu cukup membuatku sedikit tertekan, aku mulai mempertanyakan keputusanku. Tapi, aku bisa apa? undangan sudah disebar, persiapan pernikahan 95% sudah selesai.
Terlebih lagi, rasa cinta pada Riyana yang membuatku pantang mundur.
Bismilah...
Apa kabar semua, semoga penjenengan semua senantiasa dalam lindungan-Nya. Nay repost ya kisah ini, mau langsung update pas bab yang belum di update pastinya penjenengan semua sudah lupa kisah sebelumnya.
Nulis kisah ini banyak rintangannya, pas bab 12 tiba-tiba ada kejadian di kantor yang bikin aku benar-benar nggak bisa ngelanjutin. Dua bulan kemudian baru bisa lanjut, pas baru mulai lagi ada kejadian di rumah yang memaksaku untuk jeda lagi.
Cahaya hangat mentari mengiringi perjalanan pulang ketujuh remaja itu, perasaan lega terpancar pada wajah-wajah lelah mereka. Mereka seperti masih tidak percaya, akhirnya mereka bisa pulang dengan selamat.
Kuda Besi yang mereka kendarai, melaju perlahan meninggalkan Desa Neo. Breki menatap mereka dengan tatapan yang susah diartikan.
“Kau tidak perlu mengkhawatirkan nasib mereka,” ucap Nek Beti.
Hi semua, akhirnya ending juga ya.
Selamat membaca.
Pancaran energi yang sangat besar dari para makhluk Bunian, membuat tubuh semua yang ada disitu bergetar hebat. “Benar-benar pancaran energi yang luar biasa."
Para makhluk Bunian, tiba-tiba mengangkat tangan disertai kilatan cahaya besar yang membuat silau dan suara yang memekakan telinga, semua orang menutup mata serta telinga mereka dengan kedua tangan.