Upacara demit manten
Desa Tejo Kromo
Lelayu dikumandangkan. Orang-orang di sekitaran desa Tejo Kromo saling membicarakan dengan pandangan yang kurang baik terkait dengan kematian dari Ibu Heni.
Mereka yang mengenali Ibu Heni sebagai sosok figure seorang Ibu yang tidak memiliki kegiatan yang aneh atau semacamnya, tiba-tiba mendapatkan sebuah musibah besar untuk dirinya sendiri.
Sementara itu, pak sumardi dan Ibu Sumi menuju ke rumah Ibu Heni. Langkah kaki mereka agak dipercepat karena posisi dari jenazah sendiri sudah tercium aroma yang tidak sedap dari tubuhnya.
Masyarakat masih membicarakan hal yang tidak terselesaikan. Semenjak kematian dari Kusumawati, ibu heni mendapati sebuah penyakit aneh hingga menyebabkan kedua kakinya tidak bisa digerakkan.
Pak Wikto yang biasanya mengurus dan menjaga ladang di dekat rumahnya, kini rela meninggalkan harta warisan dari orang tuanya hanya untuk menjalani sebuah pekerjaan baru yang tidak ada satu pun warga di Desa Tejo Kromo mengetahuinya.
Jeka memiliki beban yang sangat besar. Beban mentalnya perlahan terlatih. Ia bahkan tidak mengerti mengapa sebuah musibah selalu menancapk kencang di kehidupannya.
Seakan takdir yang selalu berpihak terhadap orang-orang tertentu, jeka bahkan masih belum menerima akan takdir yang amat menyakitkan ini.
Bendera kuning yang berdiri tegak di hadapan rumah membuat Pak Sumardi dan Ibu Sumi segera menuju ke rumah tersebut.
Kedatangan mereka berdua layaknya sebagai pertanda yang buruk. Tatapan mata dari para warga mulai semu saat Pak Sumardi dan Ibu Sumi melewati mereka.
Perlahan, mereka menundukkan kepalanya masing-masing saat kedua orang langka ini berjalan menuju ke dalam rumah Pak Wikto.
Saat Pak Sumardi dan Ibu Sumi menemui Pak Wikto, keduanya langsung tertuju kepada ekspresi wajah dari Pak Wikto yang tidak menggambarkan ekspresi kesedihan.
‘’Bisa langsung dimulai proses pemandiannya?’’ Tanya Pak Wikto
Ibu Sumi memegang baju Pak Wikto. Ia kemudian mendekatkan hidungnya ke baju milik Pak Wikto. Entah apa yang akan dilakukan oleh Ibu Sumi. Akan tetapi, dia memiliki firasat yang kurang baik akan kematian dari Ibu Heni.
‘’Sejak kapan parfummu berwangi melati, nak wikto?’’ Tanya Ibu Sumi
Pak Wikto mati langkah. Ia sangat gugup untuk menjawab pertanyaan krusial yang dilontarkan oleh Ibu Sumi secara spontan.
Ibu Sumi mencoba untuk mencari tahu akan sebuah kematian yang memang tidak sesuai dengan logika.
Salah satunya adalah kematian dari Ibu Heni. Siapa yang mengira Ibu Heni dapat berjalan ke arah kamar mandi sedangkan kedua kakinya tidak bisa digerakkan?
Siapa yang mengira Ibu Heni dengan mudahnya masuk ke kamar mandi dan menaiki bak tersebut dengan kondisi kaki yang lumpuh yang kemungkinan kecil sangat sulit untuk dilakukan olehnya?
Itulah Ibu Sumi. Dia mencoba mencari tahu terkait kematian dari jenazah yang akan dimandikannya.
Dia bukanlah orang yang bertugas untuk menanyakan langsung dari luar bidangnya ataupun yang lainnya.
Hanya saja, ada satu hal yang memang harus dia tanyakan terkait dengan kematian dari si jenazah tersebut.
Jika tidak, ada resiko yang harus diambil olehnya. Jika Ibu Sumi tidak memperhatikan terkait dengan hal remeh temeh tersebut, bisa saja Ibu Sumi mendapatkan TEROR yang mengganggunya seumur hidup!
Pak Wikto segera menjauhkan dirinya dari Ibu Sumi. Dia menjauh berkisar dua langkah dari tempat Ibu Sumi dan Pak Sumardi berdiri di tempat. Rasanya, ini pertama kalinya untuk Pak Wikto dengan mendapati sebuah ketidaknyamanan yang membuatnya sedikit tertekan.
Ibu Sumi hanya tersenyum. Ia tahu, ada yang tidak beres dengan gelagat aneh dari Pak Wikto yang tiba-tiba menjauhi dirinya tatkala hidungnya mencium baju yang memiliki parfum berbau melati.
‘’Dimana jenazahnya?’’ Tanya Pak Sumardi
‘’Dia sudah berada di kamar.’’ Ucap Pak Wikto
Sementara itu …
Di rumah Bunda Melati, dua orang wanita sudah berdiri sembari membawakan sebuah karangan bunga kecil yang sudah dibuatnya di rumah.
Tidak berselang lama, seorang wanita mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan kacamata mewahnya keluar dari rumah. Ia keluar bersamaan dengan Bagus yang mengenakan warna pakaian yang sama.
‘’Semua sudah siap?’’ Tanya Bunda Melati
‘’Sudah, bunda.’’ Jawab Bi Imah dan Cici sembari menundukkan kepalanya
‘’Aku penasaran dengan dua pemandi jenazah itu. Aku ingin menyambutnya tepat di saat jenazah telah dibungkus oleh kain kafan.’’
Langkahnya begitu anggun. Setiap langkahnya yang penuh hati-hati selalu menebarkan bebauan melati yang amat menyerbak. Bunda Melati dan yang lainnya bersiap untuk menuju ke tempat Pak Wikto.
Tempat pemandian jenazah …
Ibu Sumi telah siap untuk memandikan jenazah Ibu Heni. Seperti biasa, pak sumardi berjaga-jaga di luaran jika memang ada suatu kendala yang dia rasa kurang beres.
Dilihat dari jasadnya, ibu heni tenggelam di sebuah bak mandi yang membuatya tenggelam dan meninggal karenanya. Tubuhnya yang pucat dan beberapa bagian tertentu selalu mengeluarkan lender air yang mengeluarkan bau busuk.
Aneh rasanya. Seperti beberapa kasus yang sama. Kematian dari Ibu Heni seperti layaknya kematian dari anaknya sendiri yaitu Kusumawati.
Bedanya, tubuh dari Ibu Heni tidak menekuk dan dalam keadaan normal. Hanya saja, bau busuk yang dikeluarkan amat mengganggu proses pemandian dari jenazah Ibu Heni.
Beberapa kali Ibu Sumi mengulur waktu untuk memandikan jenazah Ibu Heni karena bau busuk yang dikeluarkan dari tubuh jenazah.
Ia tahu, tatkala jenazah meninggal dalam kondisi yang di luar logika, ibu sumi akan merasakan ada tekanan tertentu di saat memandikannya.
Kedua tangannya mulai memijati bagian perut si jenazah. Kemudian, ia membersihkan sela-sela dari beberapa bagian tubuh yang memang harus dibersihkan agar bersih. Setidaknya, ibu sumi bisa mengetahui secara pasti letak bau busuk yang dikeluarkan dari tubuh si jenazah tersebut.
Sempat ia memiliki pikiran yang di luar nalar saat tatapannya terarah ke bagian vital dari jenazah tersebut. Pasalnya, ia seperti meyakini jika letak pusat dari bau busuk itu berada ada pada di bagian alat vital si jenazah tersebut.
Dan benar saja. saat dirinya kembali mengecek bagian vital dari tubuh Ibu Heni, ia mendapati ada cairan yang terus mengalir berwarna kuning seperti nanah.
Ibu Sumi segera menutup hidungnya rapat-rapat. Kepalanya tiba-tiba pusing di saat bau busuk itu kembali menyerbak.
‘’Aneh. Mengapa jenazah yang sama terlahir kembali? Apakah ini bagian dari perbuatan si iblis itu?’’ Ucap Ibu Sumi
Namun ia tidak menyerah. Ia harus segera membersihkannya. Waktu terus berputar. Orang-orang di luaran sudah menunggu saat dimana proses pemandian itu akan selesai.
Ibu Sumi memberanikan diri untuk membersihkan bagian dari alat vital si jenazah. Ia tidak tega jika tubuh jenazah belum sepenuhnya dibersihkan dan membuat si jenazah dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
Proses terakhir dari pemandian jenazah pun dilakukan. Ibu Sumi berusaha dengan keras untuk membuat tubuh si jenazah tersebut dalam keadaan yang semestinya. Perlahan, ia bentukkan kedua tangannya seolah-olah sedang mendekap dada.
Lalu, rapihkan bagian rambut dari jenazah tersebut dengan penuh ketulusan agar si jenazah bisa menuju ke alam selanjutnya dengan keadaan tenang.
‘’Aku tidak mengenalimu dengan dekat, heni. Tapi, aku mengetahui kejanggalan yang dilakukan suamimu. Jika benar apa yang aku katakan, berikan aku sebuah pertanda.’’
Ibu Sumi memperhatikan sekitaran tempat pemandian jenazah. Lagi-lagi, ia mencari sebuah pertanda untuk membenarkan keraguannya dalam menganalisa kematian seseorang yang dirasa sangat aneh dan tidak wajar.
Dari balik layar, ibu sumi melihat ada seorang wanita dengan posisi tubuh seperti sedang terduduk menggoyang-goyangkan kain penutup tempat pemandian.
Ia tahu, sesuatu yang nantinya akan memberikan pertanda benar-benar telah tiba.
‘’Berarti, kematianmu benar-benar bukan kematian yang normal. Benar begitu, heni?’’
Saat dimana Ibu Sumi sedang memperhatikan sosok wanita yang sedang menggerak-gerakkan kain, tiba-tiba ia terkejut saat kedua tangan dari Ibu Heni sudah dalam keadaan yang berubah.
Kedua tangan dari Ibu Heni yang awalnya mendekap di bagian dada, kini berubah layaknya sedang dalam keadaan terlentang. Dan yang membuatnya sedikit ketakutan adalah kedua mata dari Ibu Heni yang awalnya terpejam, kini terbuka kembali.
Tatapannya terarah kepada bagian atas langit. Tatapannya benar-benar tajam seperti orang yang terbangun dari kematiannya.
Ibu Sumi kembali membereskan kedua tangan dari Almarhumah Ibu Heni yang sudah terlentang. Ia juga kembali menutup kedua matanya yang awalnya terpejam kini terbuka kembali.
Tatapannya terarah kepada bagian atas langit. Tatapannya benar-benar tajam seperti orang yang terbangun dari kematiannya.
Ibu Sumi kembali membereskan kedua tangan dari Almarhumah Ibu Heni yang sudah terlentang. Ia juga kembali menutup kedua matanya yang awalnya terpejam kini terbuka kembali.
Dari beberapa kejadian aneh ini, ibu sumi semakin yakin jika kematian dari Ibu Heni adalah kematian yang sama seperti mendiang Kusumawati.
Bisa dibilang, kematian keduanya masih terikat dan terlibat terhadap satu kepastian yang bisa saja ada perkara yang sengaja dibuat untuk kematian aneh keduanya.
‘’Wikto, kau telah membuat neraka sendiri atas kematian keluargamu.’’
Setelah proses pemandian selesai, ibu sumi segera meminta kepada suaminya untuk memanggil orang-orang yang bertugas untuk mengkafani jenazah.
Dalam keadaan seperti ini, pak sumardi membiarkan isterinya untuk terduduk diam sembari mengeluarkan sisa-sisa energi kurang baik yang terkadang terserap ke dalam tubuhnya sendiri.
Sembari menenangkan isterinya, pak sumardi menanyakan beberapa pertanyaan yang membuatnya ragu akan kematian dari isteri Pak Wikto ini.
‘’Aku merasa ada yang aneh dengan kematian dari Ibu Heni ini, bu.’’ Ucap Pak Sumardi
‘’Aku sudah tahu penyebab kematiannya.’’ Jelas Ibu Sumi sembari memainkan jari jemarinya.
‘’Ibu sudah tahu?’’
Ibu Sumi menganggukkan kepalanya. Ia kemudian menghela nafas sejenak untuk menjelaskan terkait dengan kematian Ibu Heni.
‘’Kematian ini tidak ada bedanya dengan kematian dari Kusumawati. Dari bau busuk yang dikeluarkan dan berpusat tepat kepada bagian alat vital si jenazah. Lalu, keduanya meninggal dengan situasi yang sama namun dengan kondisi yang berbeda.’’ Jelas Ibu Sumi
‘’Situasi yang sama namun dengan kondisi yang berbeda?’’ Tanya Pak Sumardi
‘’Keduanya sama-sama korban yang diceritakan oleh Mbah Sur. Situasi mereka hampir berdekatan dengan jarak bulan pernikahan.
Yang membedakan, kondisi keduanya meninggal dengan tubuh yang berbeda. Tubuh dari Kusumawati menekuk. Sedangkan, sang ibunya meninggal dalam keadaan yang tidak normal.’’
‘’Tidak normal?’’
‘’Benar. Siapa yang akan mengira jika kedua kaki Ibu Heni telah lumpuh namun dia bisa berjalan dengan tegapnya ke arah kamar mandi hingga menenggelami tubuhnya ke bak mandi? Bukankah itu kematian yang tidak normal?’’
Pak Sumardi terkejut dengan analisa yang dilakukan oleh Ibu Sumi terhadap jenazah Ibu Heni. Ia tidak percaya jika yang dilakukan oleh Ibu Sumi benar-benar tepat sasaran dengan apa yang sedang terjadi saat ini.
Selama bertahun-tahun mereka lamanya menjadi seorang tukang mandi jenazah, pak sumardi dan Ibu Sumi mempelajari banyak hal akan kejahatan orang-orang yang akhirnya terungkapkan dengan tanda-tanda kecil yang dilakukan jenazah saat dimandikan.
Lantunan pembacaan ayat suci Al-qur’an akhirnya digaungkan. Banyak para warga yang berduyun-duyun untuk memasuki rumah almarhumah.
Dikenal sebagai orang yang tertutup, para warga tidak menyangka jika Ibu Heni menyusul anaknya yaitu Kusumawati dengan jarak 1 tahun lamanya.
Jeka masih berada dekat di sisi Ibunya. Ia hanya menangis dan masih belum menerima dengan ikhlas akan kematian dari Ibunya yang sangat misterius itu.
Berbeda dengan Pak Wikto, dia tampak merasa gugup dan tidak tenang. Air matanya saja tidak menetes saat jasad sang isteri sedang dikerumuni oleh para warga yang sedang mengaji.
Ia seperti sedang menunggu seseorang untuk hadir ke rumahnya dengan perasaan yang kurang nyaman. Artinya, dari raut wajah Pak Wikto dan ekspresinya yang sangat pasif, pak sumardi dan Ibu Sumi merasa ada yang sedang ditutup-tutupi oleh Pak Wikto atas kematian Ibu Heni.
Sebelum jenazah diangkat menuju keranda, dari kejauhan terdengar suara mobil berjenis Toyota Corolla Cross.
Suara itu membuat beberapa warga langsung menepikan mobil mewah berwarna putih.
Dari mobil tersebut, keluarlah 4 orang dengan mengenakan pakain serba hitam. Tiga dari keempat orang tersebut langsung menyambut para warga sembari mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong celananya masing-masing.
‘’Krek!’’
Mereka berjalan dengan sombongnya sembari mengepus rokok kretek dengan bebauan yang sangat menusuk hidung.
Tidak berselang lama, pria yang ditungguinya keluar dari rumah. Seperti biasa, pria tersebut menyalami tangan wanita cantik dengan sanggul yang sangat apik.
‘’Mereka berdua ada di sini, bunda.’’ Ucap Pak Wikto sembari menunjukkan jari jempolnya ke arah Pak Sumardi dan Ibu Sumi
Bunda Melati langsung melihat ke arah yang dimaksud. Ia kemudian menurunkan kacamata hitamnya hingga kedua matanya yang telah bercelak hitam dapat melihat dengan jelas bentukan dari tubuh Ibu Sumi dan Pak Sumardi.
‘’Kedua manusia tua Bangka itu yang kau maksud?’’ Tanya Bunda Melati
‘’Be—benar, bunda.’’
‘’Tidak kusangka, mereka berdua telah menyiapkan kuburannya masing-masing untuk menuju ke alam lain.’’
Bunda Melati pun mengepuskan asap rokoknya tepat di hadapan wajah Pak Wikto. Para warga yang melihat kejadian ini hanya terdiam. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani untuk menindak bahkan mengentikan tindakan tidak terpuji itu.
Semua warga sudah tahu dengan jelas akan biografi perempuan itu. Mereka menyadari akan sesuatu yang mengerikan dari balik tubuh wanita tersebut.
Mereka berjalan layaknya iblis yang dengan damainya memutari perkumpulan manusia yang sedang berduka.
Kepulan asap rokoknya seperti menggambarkan ketidakperdulian akan suasana kematian yang sedang menyelimutinya.
Dari kejauhan, ibu sumi dan Pak Sumardi segera menatap wanita dengan langkah yang congkak tersebut. Kedua tangan dari Pak Sumardi tampak geram. Ingin rasanya ia mendaratkan bogeman mentah ke arah pipi wanita iblis itu.
Akan tetapi, dia menyadari posisinya untuk saat ini. Tanpa informasi yang dikumpulkan oleh isterinya, pak sumardi tidak memiliki senjata apapun.
Baginya, untuk mengalahkan musuh yang memiliki kekuatan di luar nalar, ia harus memiliki strategi dengan mengaitkan pikiran dan banyak informasi penting akan kelemahan dari si musuh.
Layaknya berjuang dengan cara bergerilya, pak sumardi telah menggambarkan dengan jelas ke otaknya akan empat manusia iblis yang sedang memamerkan kedigdayaannya.
‘’Dua orang dari mereka adalah perias pengantin. Aku yakin, salah satunya adalah orang yang bertugas merias pengantin di bulan pengantin nanti.’’ Ucap Ibu Sumi
‘’Mengapa mereka dengan frontalnya mendatangi lokasi ini?’’ Tanya Pak Sumardi
‘’Ini berkaitan dengan Kusumawati.’’
Pak Sumardi baru ingat jika kedatangan dari Bunda Melati dan yang lainnya oleh sebab Kusumawati. Dia yang dulunya pernah menjadi bagian dari keluarga Bunda Melati dan mantan isteri dari Bagus ini adalah alasan terpenting dari kedatangan Bunda Melati ke rumah Pak Wikto.
Dari cara mereka berjalan, pak sumardi dan Ibu Sumi sudah sangat geram. Mereka melihat dengan jelas betapa congkaknya manusia yang sedang menghadiri acara duka ini.
‘’Suatu saat, keempat manusia itu akan kumandikan seorang diri.'’ Ucap Pak Sumardi
Setelah melewati kerumunan warga, keempat orang tersebut segera memasuki rumah yang di dalamnya sudah tergeletak jenazah Ibu Heni.
Saat mereka tiba di bibir pintu, jeka segera bangkit dari duduknya. Rasa sedihnya kini berubah menjadi perasaan marah. Matanya tertuju pada seorang wanita bersanggul yang dengan santainya mengepuskan rokok kreteknya di ruangan tersebut.
‘’BAJINGAN! MAU APA KAU KEMARI?’’ Teriak Jeka dengan penuh amarah
Para warga segera menenangkan bentuk emosional dari Jeka. Akan tetapi, wanita bersanggul itu justru memanas-manasi Jeka lebih dalam.
‘’Apakah anakmu tidak tahu sopan santun, wikto? Sudah kuduga, ibu dan kakaknya pantas mati lebih cepat di banding hidup lebih lama dengan anak durhaka ini.’’ Ucap Bunda Melati
Jeka meringsek maju ke depan. Namun tubuhnya kembali ditahan oleh beberapa warga yang kebetulan tidak menginginkan pecahnya keributan dalam keadaan yang sedang berduka ini.
Pak Wikto sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Ia bahkan hanya memandangi anaknya dengan perasaan yang penuh bersalah.
Rasa canggungnya terlihat dengan jelas dari wajahnya yang selalu menundukkan ke arah bawah. Seolah-olah tidak ingin adanya hal yang membuat suasana menjadi tidak nyaman, pak wikto berusaha untuk berdiam diri tanpa mencampuri urusannya dengan urusan Bunda Melati dan juga anaknya.
‘’Ketahuilah anak tahu diuntung. Kedatangan kami kemari karena satu hal yang penting. Karena kakakmu pernah menjadi bagian dari keluarga kami, kami menghormati kematian ibumu.
Akan tetapi, dengan tingkahmu yang tidak terpuji, aku semakin tidak yakin jika ibumu bahagia di alam sana.’’
Kata-kata dari Bunda Melati itu membuat Jeka berteriak dengan kencang.
Emosinya kini meledak. Ia memaksakan tubuhnya untuk mendobrak para pagar manusia yang sengaja membendung Jeka agar tidak terpecahnya keributan.
Di luaran rumah, para warga segera berduyun-duyun untuk menenangkan keadaan yang kian parah. Untungnya, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Seorang ustadz dengan perawakan tidak terlalu tua dan tidak juga muda mendatangi rumah yang sudah penuh dengan warga di hadapannya.
Ustadz itu menenangkan keadaan yang sudah kacau balau karena ulah dari Bunda Melati yang sengaja mencoba untuk membuat keributan. Dia adalah Ustadz Somantri. Seperti biasa, ustadz somantri adalah orang yang memimpin jalannya ritual penguburan jenazah tersebut.
Di saat Ustadz Somantri memasuki rumah, orang-orang langsung terdiam dengan sendirinya. Tanpa banyak basa-basi, ustadz somantri segera menyuruh kepada beberapa warganya untuk mengangkat jenazah Ibu Heni ke dalam keranda.
Ia berprasangka bahwa, tidak baik jenazah untuk tidak segera dikuburkan dengan cepat. Dan dengan keributan yang baru-baru saja terjadi, ustadz somantri sendiri mengkhawatirkan akan orang-orang yang berada di sekeliling jenazah tersebut.
‘’Cepat kuburkan jenazah Ibu Heni.’’ Perintah Ustadz Somantri
Para warga segera mengangkat keranda yang di dalamnya sudah terdapat Ibu Heni. Para warga berduyun-duyun untuk mengikuti arah dari orang-orang yang mengangkat jenazah tersebut ke arah pemakaman.
Lantunan kalimat talqin seolah-olah membuat getar para hati orang-orang yang merasakan kesedihan. Terkecuali kepada yang memiliki sifat busuk di dalam hatinya. Suara talqin justru membuat telinga mereka menjadi tidak nyaman. Hatinya seperti panas.
Mereka tidak menyukai dengan tindakan hal semacam ini. Mereka sama sekali tidak memikirkan adat dari orang-orang yang terlihat kuno.
Pikiran mereka hanyalah satu.
Ketika manusia sudah meninggal, mereka setidaknya langsung melakukan penguburan tanpa adanya adat istiadat kuno yang sedang dilakukan oleh Ustadz Somantri beserta dengan para warga tejo kromo.
Di sisi lain, jeka berjalan sendirian tanpa dampingan dari Bapaknya. Sembari menahan rasa sedihnya, jeka berusaha kuat untuk memberikan ketenangan kepada Ibunya di alam selanjutnya.
Setibanya di pemakaman, jeka diminta untuk turun ke dalam liang lahat untuk membacakan adzan yang terakhir kalinya kepada sang ibu tercinta. Walaupun dalam keadaan yang hancur, jeka dengan mudahnya untuk menyelesaikan lantunan suara adzan tersebut.
Para warga yang melihat kondisi mental Jeka hanya bisa tertegun sembari menenangkan isakan tangis Jeka yang kembali pecah di saat tanah-tanah kuburan mulai menutupi liang lahat ibunya.
Tidak seperti biasanya, pak sumardi dan Ibu Sumi sangat jarang sekali untuk mengikuti proses penguburan jenazah sampai usai. Biasanya, setelah acara pemandian jenazah telah selesai, ibu sumi dan Pak Sumardi langsung kembali pulang.
Namun, berbeda untuk sekarang. Ia bahkan mengikuti kegiatan itu hingga berakhir. Keduanya yang sangat mengetahui keadaan Jeka seperti tidak tega untuk meninggalkannya di kuburan untuk mengenang memori terakhirnya bersama dengan Ibu Heni.
Sementara itu …
Pak Wikto dengan santainya mengatakan jika kematian isterinya tidaklah membuat nyalinya menjadi surut untuk mengikuti serangkaian rencana selanjutnya yang akan dilakukan oleh Bunda Melati bersama dengan para pengikutnya.
‘’Apakah kita akan menumpaskan Pak Sumardi dan Ibu Sumi dahulu?” Tanya Pak Wikto saat berada di kamar pribadinya bersama dengan Bunda Melati
Bunda Melati mendekati Pak Wikto.
Dengan bibir yang menggoda, ia mengecup bibir pria itu dengan penuh gairah. Tampaknya, ia belum puas dengan serangkaian rencana yang akan dibuatnya setelah kematian dari Ibu Heni.
‘’Tenang dan bersabarlah, sayang. Bukankah aku menugaskanmu untuk memperbaiki permainanmu di ranjang? Untuk rencana dan lainnya, serahkan kepadaku.’’
Pak Wikto tersenyum mendengar hal itu. Ia kemudian mengunci pintu rapat-rapat. Tidak berselang lama, pak wikto melepaskan semua busananya tanpa ada sehelai pun yang menempel pada tubuhnya.
‘’Mau kulihat permainan baruku di ranjang?”
Bunda Melati segera menuju ke kasur. Ia membentangkan tubuhnya. Secara perlahan, pak wikto mendekati wanita itu dan segera melucuti pakaiannya secara perlahan hingga menikmati percintaan haramnya.
Part-8 akan update pada tanggal 27 maret 2023. Yang mau baca duluan lgsg klik link di bawah ini ya
“Sungai ini meminta wadal (tumbal). Mereka yang tenggelam dan hanyut terbawa arus hingga tak bisa ditemukan adalah bagian dari misteri serta kengerian yang terjadi jika air sudah mulai hangat.”
@bacahorror #ceritaserem
Sungai Banyukala/Banyukolo
Sore itu, banyak para warga yang datang berduyun-duyun untuk mandi di sungai Banyukala. Tak hanya mandi dan Kumkum di sana, Sebagian dari mereka juga ada yang gemar memancing ikan atau mencari pasir di sungai ini untuk nantinya dijual. tebusan
Dikenal sebagai BANYUKALA karena dulunya sungai ini menjadi pusat bagi tempat bersemayamnya para ‘’KOLO/KALA’’ atau Siluman Para Siluman di sana benar-benar memberikan tebusan dosa akan kesalahan yang manusia perbuat.
“Kakinya digerogoti sampai memunculkan bau tak sedap.”
Sore itu, sepulang dari bekerja, Mamat diajak oleh Om-nya yang sudah setahun belakangan ini isterinya terkena penyakit aneh. Mas Sultan namanya. Isteri Mas Sultan bernama Mbak Dea. Dia sudah setahun ini sakit dan belum sembuh walaupun sudah berikhtiar mencari pengobatan di mana pun.
Mbak Dea tidak bisa berjalan. Dia hanya bisa terbaring di atas kasur. Penyakitnya ini disebut-sebut telah menguras banyak harta milik Mas Sultan. Karenanya, dia mencari banyak informasi terkait penyembuhan yang bisa dia dapatkan untuk menyembuhkan sang isteri.
YA'JUJ DAN MA'JUJ SALAH SATU PERTANDA AKAN TERJADINYA KIAMAT KUBRO.
Rasulullah SAW juga bersabda: ‘”Hari ini, dinding Ya’juj dan Ma’juj telah dibuka seperti ini.” Lalu ia melingkarkan ibu jari dengan jari telunjuk.’ Kemudian dengan terbukanya dinding tersebut akan selalu bertambah, hingga akhirnya lenyap dan hancur pada hari kiamat nanti.
Yajuj majuj adalah sebutan untuk kaum keturunan Nabi Adam AS yang kemudian menjadi salah satu pertanda datangnya hari kiamat.
Pada umumnya, mereka digambarkan sebagai kaum yang gemar membuat kerusakan di muka bumi. Tak ada yang dapat menghalangi kedatangannya, kecuali hanya Allah SWT.
Disebutkan dalam suatu riwayat bahwa yajuj majuj ialah keturunan Yafits putra Nuh, mereka kemudian tidak tinggal di alam ghaib seperti pada malaikat dan jin. Sosok yajuj majuj tak digambarkan secara gamblang di dalam Al-Quran.
Sebagian ahli tafsir kemudian menggambarkan yajuj majuj sebagai simbol dari perangai-perangai manusia yang buruk. Meski demikian, kedatangan yajuj majuj adalah sesuatu yang pasti karena sosoknya sudah dijelaskan dalam Al-Quran.
Akan tetapi, tak ada jawaban dari Sherly. Sekilas, Ina melihat kembali tangan yang ia pegang.
Betapa terkejutnya Ina saat melihat tangan yang ia pegang ternyata bukan tangan milik Sherly!
Melainkan….. Tangan yang Ina pegang adalah tangan milik ….
@bacahorror #ceritaserem #malamjumat
Sore itu tepat di malam jum'at Kliwon, Wahyu bersama dengan ketiga orang temannya Aep, Sherly dan Ina melakukan pendakian ke Gunung Slamet via Bambangan.
Saat itu kondisi cuaca sangat bagus. Sangat memungkinkan mereka mendapatkan view yang bagus di puncak.
wahyu memimpin do'a untuk mengawali pendakian. Ia juga tidak lupa untuk mengingatkan kepada teman-temannya agar tetap waspada di saat pendakian dimulai.
Wahyu sengaja mengatakan hal seperti itu karena Gunung Slamet sendiri memiliki atmosfer mistis yang berbeda dari gunung-gunung lainnya.
Merinding!
Itu perasaan yang dirasakan Ustaz Jenal sewaktu dirinya mendapati satu kasus yang cukup langka di desanya. Sebuah penyakit hati yang mampu membuat orang yang dibencinya menjadi korban dari keganasan penyakit ‘Ain.
"Ain itu benar-benar ada! Andaikan ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, sungguh 'ain itu yang bisa."
(HR. Muslim No. 2188).
@bacahorror #ceritaserem
Langkah seorang anak kecil berjalan ke arah panggung pementasan. Sekarang, gilirannya untuk menyampaikan pidato Islami yang di dengar oleh banyak orang.
Hadiahnya cukup lumayan. Juara 1 akan mendapatkan dua ekor kambing, uang pembinaan dan juga berkesempatan untuk melanjutkan perjuangannya di tingkat kabupaten. Bila menang, akan berlanjut ke tingkat propinsi, lalu nasional.