Diosetta Profile picture
Mar 23, 2023 1525 tweets >60 min read Read on X
Alas Sewu Lelembut
Part 1 - Linggar Sasena

Kelamnya hutan belantara selalu menyimpan misteri yang tak berujung.

Sang Penguasa mulai memanggil mereka yang mengabdi padanya untuk mulai mengumpulkan tumbal baginya...

@bacahorror_id @IDN_Horor @qwertyping
#bacahorror Image
Roh, arwah, khodam, pusaka, dan berbagai macam wujud lainya. Begitu banyak misteri di alam ini yang masih sangat sulit untuk dipahami oleh akal manusia.
Suara tanpa wujud, penyakit tanpa sebab akibat, penglihatan yang menjadi kenyataan, hingga kematian yang tidak wajar.
Semua itu terjadi di alam ini dengan diluar kuasa dan nalar seorang manusia pada umumnya.
Seorang manusia yang konon diciptakan yang paling mulia diantara makhluk lainya, sosok makhluk yang diciptakan menurut rupa Penciptanya.
Tapi mengapa makhluk yang tidak lebih mulia dari manusia bisa menciptakan musibah untuk manusia?
Ini aku.. Linggar Sasena,
Hanya seorang pegawai negeri sipil, yang bekerja sebagai staff tidak penting di kantor pemerintahan. Tapi, ini bukan keluhan.
Ini semua seperti harapanku untuk hidup dengan pekerjaan yang biasa, tujuan hidup yang biasa, dan menjauhi berbagai masalah. Bukan pemalas, aku percaya bahwa kebahagiaan juga terdapat pada kesederhanaan selama kita mensyukurinya.
Tapi… pada kenyataanya, takdir di dunia ini tidak sesederhana itu.
Di tengah gerimis aku pulang dengan membawa beberapa benda yang kubenci.
Kemenyan, beberapa jenis kembang, kopi hitam, hingga benda yang selama ini selalu aku jauhi.
Suara berdenyit pintu rumah terdengar bersama beberapa mata yang menyambutku. Kali ini ada tiga orang. Iya, ada tiga orang pria yang cukup berumur di hadapanku. Mereka adalah pakdeku.
Mereka mengenakan baju surjan lengkap dengan blangkonya.
Mereka mengelilingi seseorang yang seharusnya kujaga walaupun nyawaku taruhanya. Seseorang yang mengurusku sejak kecil hingga saat ini.
Ibuku…
“Anak durhaka! Lepaskan! Lepaskan aku.. kukutuk kau! Neraka untukmu!”
Suara itu terdengar dari seorang wanita terus memberontak dari tali yang terikat di tangan dan kakinya. Tali-tali itu juga terikat di tangan ketiga orang yang menjaganya.
“Jangan hiraukan, itu bukan ucapan ibumu!” ucap salah satu dari pakdeku.
“Berisik! Kakek peyot! Kubunuh kau!” umpat ibu.
Aku tahu dengan jelas, ibu tidak mungkin berbicara seperti itu. Terlebih saat ini wujudnya sangat mengenaskan. Tubuhnya kurus kering, tapi perutnya membesar. Rambutnya tumbuh tak beraturan dengan wajah yang pucat.
Semua dokter dan rumah sakit sudah menyerah. Besarnya perut ibu bukan merupakan kehamilan atau penyakit. Tidak terdeteksi apapun secara medis. Salah seorang dari pakdeku memberi tahu bahwa ibu sudah dipilih oleh dia…
Dia adalah sosok terkutuk yang membuat leluhurku terpaksa membuat perjanjian denganya.
Nyai Kunti…
Aku membakar kemenyan dan meletakkan beberapa jenis kembang alam satu wadah. Dalam sebuah nampan anyaman, aku menyatukan benda-benda itu dan menyerahkanya kepada ibuku.
Saat itu iapun menatapku sambil tersenyum.
“Kau harusnya berterima kasih! Tanpaku, kalian tidak akan lahir dan leluhur kalian Raden-raden goblok itu akan mati dibantai!” ucapnya sembari mengambil nampan itu.
Sedikit demi sedikit ia mengambil kembang dari nampan itu dan memakanya dengan lahap. Ia menghirup aroma kemenyan itu dengan nikmat sementara matanya tak sabar untuk menikmati kopi pahit yang kubuatkan.
Salah satu pakdekupun melepaskan ikatanya dan membiarkan kedua pakdeku yang lain menjaganya. Pakde Darja namanya. Ialah yang tertua diantara mereka.
“Yang Sabar ya Linggar, kita hadapi ini bersama,” ucap Pakde Darja.
“Iya Pakde, saya akan terus mencari cara untuk memulihkan ibu,” balasku.
Memang sudah banyak cara yang kami coba. Mulai dengan memanggil ulama setempat, beberapa orang pintar yang terkenal, dan bahkan ritual yang pernah dilakukan keluargakupun sudah dilakukan.
Namun Nyai Kunti yang ada di tubuh ibu hanya menertawakan kami.
Setelah selesai menghabiskan sesajen yang kubawa, Ibupun perlahan tenang. Raut wajahnya yang mengerikan perlahan berubah menjadi sendu dengan tatapan kosong.
Sekali lagi aku melihat pemandangan yang membuat rasa perih di dadaku.
“Ibu sudah tidak tahan nak…” tangis ibu.
Air matanya menangis meratapi apa yang terjadi pada dirinya. Aku hanya bisa memeluk ibu yang kembali mendapatkan kesadaranya sesaat.
“Ibu sabar ya, Linggar akan tolong ibu. Linggar janji,” balasku.
“Ibu mau mati saja…” balasnya yang sudah tidak tahan dengan penderitaan yang terjadi pada dirinya.
Aku tidak mampu menjawabnya dan hanya terus memeluknya.
Aku tahu kesadaran ibu tidak akan lama, sebentar lagi ia akan kembali dikuasai oleh sosok makhluk yang menyiksanya itu.
“Malam ini kita coba ritual itu lagi, semoga saja Nyai Kunti mau meninggalkan tubuh ibumu,” Jelas Pakde Darja.
Aku mengangguk mengiyakan. Sudah beberapa kali kami melakukan ritual pada ibu. semua itu berdasarkan catatan-catatan dari leluhur kami yang pernah menolong keluarganya dari sosok ini.
Dulu hal itu pernah menolong mereka leluhurku, tapi entah mengapa belum berpengaruh terhadap ibu.

Malampun datang, gerimis masih menemaniku di teras rumah bersama secangkir kopi.
Dari dalam sudah terdengar suara tembang yang dinyanyikan pakde Darja. Tembang itu bernafaskan mantra-mantra yang dituliskan leluhurku untuk mengiringi ritual yang mereka lakukan.
Aku tidak ikut dalam ritual ini, sebelumnya aku pernah membantu mereka.
Namun keberadaanku membuat ibu semakin emosional. Jadi aku memutuskan untuk menunggu di luar hingga prosesi selesai.
Suara air terdengar mengguyur tubuh ibu dengan tembang indah yang dinyanyikan oleh pakde.
“Eling dunyo, eling akhirat. Saben titah duwe panggonane dhewe..”
Setelah beberapa kali guyuran tiba-tiba suasana menjadi hening. Aku menduga saat ini sedang dalam prosesi membacakan doa. Tapi entah mengapa aku mendapati firasat yang tidak enak..
Aku penasaran ingin masuk ke dalam, tapi pakde Darja belum memanggilku.
Bisa saja aku merusak ritual bila melakukanya.
Suasana hening terasa semakin lama, dan firasatku terasa semakin tidak enak. Akupun memutuskan untuk membuka pintu dan mengintip sedikit dari celahnya.
Cahaya lilin adalah satu-satunya yang menerangi dari dalam rumah.
Lampu dan cahaya lainya sengaja dimatikan untuk proses ritual.
Tidak ada suara apapun di dalam, namun aku melihat ada bayangan yang mengayun-ayun dari sekitar tempat ibu berada. Seketika, saat itu juga rasa takut menghampiriku.
Akupun membuka seluruh pintu dan mendapati ketiga pakdeku tengah tergantung di langit-langit rumah dengan tambang yang disangkutkan di kayu atap tanpa plafon di rumah kami.
Tambang itu adalah tambang yang mereka gunakan untuk mengikat ibu.
Ujung dari ketiga tali yang menggantung pakde tergenggam di tangan ibu. Sementara itu, ibu menyeringai senang melihat leher ketiga kakaknya tergantung di sana.
“Nya—nyai! Hentikan!!!” aku berteriak.
Dengan bergegas aku berlari ke arah ibu. Saat itu ia melepaskan tali di genggamanya hingga tubuh ketiga pakdeku terjatuh di tanah. Tapi mereka bertiga tidak terkapar sendiri, ibupun ikut kehilangan kesadaran dan terjatuh.
Akupun mengecek keadaan mereka. Denyut nadi pakde masih terasa, namun kesadaranya mulai memudar. Sementara ibu…
Mata ibu melotot dengan mulut menganga. Tubuhnya kaku dan terkadang kejang tak menentu. Ini tidak seperti biasanya.
Aku ingin menanyakan hal ini pada pakde-pakdeku, tapi keadaan mereka tidak lebih baik daripada ibu.
Di tengah kebingunganku aku merasakan ada sesuatu di atas. Aku menoleh dan di sana sudah ada sosok makhluk menyeramkan melayang layang di atasku.
Sosoknya berwujud perempuan kurus kering dengan kulit hitam legam. Rambutnya melayang-layang bersama tubuhnya tepat diatasku.
Itu, Nyai Kunti..
“Aku bebas…” ucap sosok itu.
Tubuhku gemetar melihat sosok itu. Tapi rasa khawatirku akan keadaan ibu memaksaku menghadapi makhluk itu.
“Kau apakan ibu! Apa yang kau lakukan!” teriakku.
Mendengar ucapanku, sosok Nyai Kunti menoleh dengan tajam ke arahku.
Ia menatapku dengan wajah yang mengerikan dan terbang menembus kedalam tubuhku.
Rasa sakit seperti tertusuk ribuan jarum kurasakan hingga aku kehilangan kesadaran.
Dalam sekejap rasa sakitku hilang namun aku tersadar di sebuah hutan yang kelam.
Aku seolah mengenal hutan ini, tempat yang pernah membawa kenangan buruk untukku pada saat KKN dulu. Alas Wetan…
Kali ini suasananya berbeda..
Dari dalam hutan terlihat begitu banyak sosok yang melayang-layang menatapku dari dalam kabut hutan.
Suara teriakan dan tangisan terdengar dari sekelilingku. Dan saat kabut itu menghilang asal suara teriakan itu mulai terlihat.
Sosok-sosok yang melayang-layang itu tengah menyeret orang-orang menuju ke sebuah desa yang aneh.
desa tua dengan bangunan yang sudah lapuk dimana sosok manusia-manusia terikat dan disiksa di tempat itu.
Ada sosok mengerikan di sana. Sosok makhluk yang besarnya hampir setengah desa itu sendiri.
Aku menduga bahwa orang-orang yang disiksa itu adalah tumbal untuk makhluk besar itu.
Ada ibu disana…
Ia berada di desa itu bersama ketiga pakdeku yang masih mengikatkan tanganya pada ibu. Mungkin itulah alasan mereka tidak diseret oleh setan-setan di sana.
Aku hendak berlari mendekat untuk menolong ibu. Namun tiba-tiba angin besar meniupkan kabut tebal dan menghalangiku. Ada seseorang yang menghadangku saat itu.
"Tolong ibumu… tapi tidak saat ini..” ucap sosok itu.
Aku mengenali suara itu, dan aku memastikanya ketika sosok itu sudah muncul dari balik kabut.
“Bapak? Apa maksudnya ini? Bapak dimana?” Teriakku.
“Ada satu desa yang akan mati, desa kelahiran ibumu,” ucap Bapak sembari berjalan ke arahku.
“Lantas saya harus apa pak? Apa yang harus saya lakukan?” Tanyaku.
“Pergi! kembalilah ketempat ini tapi jangan sendiri.. Carilah mereka yang mungkin bisa menghadapi makhluk itu,” ucap Bapak.
Saat itu bapak menyentuh wajahku dengan tanganya dan seketika aku seperti tertarik akan sesuatu dengan cepat.
Seketika aku terbangun dengan nafas yang hampir habis. Aku memperhatikan ruangan ini yang ternyata aku masih berada di rumah.
Tapi Ibu dan ketiga Pakdeku..
Mereka masih terbaring dengan mata melotot dan mulut menganga. Tubuhnya kaku seolah sukmanya tidak menyatu lagi dengan tubuhnya.
Akupun segera berlari keluar meminta pertolongan ke tetangga yang kukenal.
Pak Kepala desa yang sudah mengerti kondisi ibu sejak sebelumnyapun kembali menggelengkan kepalanya. Ia tidak menyangka keadaan akan kembali parah.
“Mas Linggar, sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka? Mengapa keadaanya bisa seperti ini?” Tanya Pak Kades.
“Mungkin ini kutukan di keluarga saya pak, saya sama sekali tidak menyangka akan ada kejadian ini,” balasku sembari melihat ibu dan ketiga pakdeku diperiksa oleh beberapa warga.
“Jelas kami juga tidak menyangka, sampai beberapa tahun yang lalu kalian adalah keluarga biasa dan bahkan tidak berhubungan dengan hal-hak klenik seperti ini,” balasnya.
“Ini musibah pak, tapi saya sudah dapat petunjuk. Kalau boleh saya titip mereka berempat beberapa saat untuk menyelesaikanya..” ucapku.
“Mas Linggar yakin itu jalan penyelesaianya?” Pak Kades memastikan padaku.
Aku mengangguk.. Aku yakin kalau aku harus datang ke alas wetan untuk menghadapi makhluk itu.
“Ya sudah, tapi mas Linggar jangan nekad. Kami akan merawat ibu dan ketiga Pakde Mas Linggar,” Balas Pak Kades.
Akupun berterima kasih pada pak kades dan segera membereskan barang-barangku. Ada satu orang yang mungkin saja dapat membantuku. Dialah yang dulu membantu menolong masalah di hutan itu dengan bantuan pusaka pisau batu miliknya.

***
Part 1 - Linggar Sasena

Sama sekali tidak ada mimpi indah ataupun tidur yang tenang selama perjalananku ke tempat ini. Suara tawa tanpa wujud selalu menghantuiku setiap aku mencoba memejamkan mata.
Ada seseorang yang telah menungguku di sebuah warung kopi di terminal. Dia adalah Linus.
“Wajahmu lesu, kurang tidur ya?” Tanya Linus.
“Bukan kurang tidur, tapi hampir tidak tidur,” balasku lemas.
Linus memesankanku segelas kopi dan bergeser dari tempatnya duduk.
“Kayaknya masalahmu kali ini lebih serius, aku nggak nyangka kita bakal berurusan sama hutan itu lagi.” Ucap Linus.
“Jangankan kamu, sampai beberapa tahun ke belakang aku masih menikmati pekerjaanku dan tidak terpikir sedikitpun akan berurusan dengan hal klenik,” balasku.
Segelas kopi diantarkan kepadaku bersama satu nampan gorengan hangat yang baru matang. Aku segera menyeruputnya dan berharap beberapa teguk kopi ini dapat menahan rasa ngantukku.
“Aku nggak nyangka kalau desa ibumu itu juga dekat Alas Wetan,” tanya Linus.
“Aku memang nggak bilang, karena desa ibuku berlawanan dengan desa Ranggilawu. Letaknya di sisi belakang Alas Wetan.
Saat cukup dewasa aku juga hanya satu kali ke sana, dan itupun aku sempat tersesat di sisi lain Alas Wetan,” Jelasku.
“Iya juga, kalau nggak salah kamu juga sempat cerita soal tersesat saat itu..” Balas Linus.
Kami menghabiskan waktu beberapa saat di warung kopi itu untuk beristirahat sejenak.
Setelahnya kami menaiki mobil angkutan umum tua yang sudah mengetem sejak kedatangan kami menunggu penumpang penuh.
Aku memperhatikan mobil yang aku sebut dengan omprengan ini. Berbeda dengan angkutan kota.
Kursi mobil ini seperti mobil travel dan menempuh rute yang jauh. Hanya saja mobil ini seharusnya sudah tidak layak untuk digunakan, aku ingat kalau mobil ini sudah ada sejak aku masih kecil.
Walau keadaanya mengenaskan, Mobil ini masih dengan tangguh melewati daerah-daerah jalur yang terapit dengan hutan-hutan dan menuju desa-desa yang tidak dilalui trayek kendaraan umum resmi.
“Masih kuat aja pak mobilnya,” tanyaku yang memilih duduk di depan bersama Linus. Ini lebih baik dibanding harus bersanding dengan warga yang membawa barang-barang tidak biasa seperti ikan segar, sayur sayuran, hingga ayam jago.
“Jelas mas, walau bentuknya kayak kaleng krupuk tapi mesinya selalu saya eman-eman,” balasnya.
“Nggak pernah mogok?” Tanyaku.
“Ya pernah, namanya mobil tua. Tapi itupun satu tahun sekali belum tentu..” Balasnya.
“Nggak nyangka ya, mobil yang umurnya hampir kayak kita ini masih bisa menembus jalur pinggir hutan begini,” Tambah Linus.
“Mobilnya sih memang tambah tua, pasti ada saatnya mobil ini pensiun.
Tapi mobil ini masih bisa terus narik juga karena jalurnya sudah dibangun dan sekarang sudah aspal.
Paling ada beberapa jalur belubang karena pertemuan dengan jalur kendaraan berat dari tambang batu,” cerita pak sopir itu.
Benar juga, dibanding dulu, sekarang jalur yang kami lewati sudah diaspal dengan baik. Padahal saat menoleh ke kanan dan kiri , semuanya masih berupa hutan belantara.
“Masnya turun di mana?” Tanya sopir itu lagi.
“Desa Rowomanten pak, udah deket,” balasku.
“Heh, yang bener?” Tanya sopir itu dengan raut wajah yang berubah.
“Iya, memang kenapa pak?” tanyaku.
“Sudah lama tidak ada yang berhenti di sana, dari beberapa penumpang saya mendengar kabar yang tidak enak di sana,” ucap sopir itu lagi.
“Kabar apa pak? Tolong ceritakan, kami kesana juga karena mendapat firasat tidak enak,” tanya Linus.
Sopir itu menghela nafas sejenak. Ia seperti mencoba mengingat cerita apa yang pernah ia dengar.
“Ada kabar, desa Rowomanten diserang semacam kutukan. Warganya tidak bisa keluar dari desa, malah ada yang bilang mereka semua sudah meninggal di sana,” cerita sopir itu.
“Huss pak, jangan ngomong gitu,” ucap Linus, sepertinya ia tidak ingin aku khawatir.
“Iya maaf, saya Cuma menceritakan apa yang pernah saya dengar,” jawabnya.
“Iya pak, terima kasih. ada cerita apa lagi pak?” tanyaku.
“Cuma itu mas, lebih baik masnya simpan nomor hape saya. Kalau ada apa-apa bisa telpon saya nanti bisa janjian buat saya jemput,” balasnya.
“Oh iya, terima kasih pak..”
Tak lama setelah perbincangan itu, akupun turun di sebuah jalan setapak dengan gapura yang bertuliskan Desa Rowomanten.
Dari jalan yang kami lihat, memang sepertinya sudah jarang ada kendaraan yang melalui tempat ini.
“Ingat, tujuan kita ke desa ini untuk mencari tahu masalahnya. Jangan sekali-kali bertindak nekad,” peringat Linus.
“Iya, aku tahu benar apa yang kita hadapi..” balasku.
Kamipun berjalan cukup jauh menerobos tepi hutan. Letak desaku tidak terlalu dalam, bila dengan sepeda motor hanya membutuhkan waktu tidak sampai sepuluh menit untuk sampai. Namun bila berjalan kaki mungkin bisa dua kali lipatnya.
Saat ini hari menjelang maghrib, langit sudah memerah memastikan kami akan bermalam di desa ibu nanti. Sebenarnya aku sedikit cemas, namun masih aku berharap bahwa apa yang diceritakan oleh sopir angkutan itu hanya isu belaka.
Hanya sedikit lagi kami sampai di desa, tiba-tiba langkah kami terhenti. Dari dekat pos desa terlihat seorang kakek sedang menatap kami dari kejauhan.
Aku sama sekali tidak mengenal kakek itu, atau mungkin aku yang tidak ingat.
Ia menatap kami dengan tubuh bungkuknya serta rambut dan janggutnya yang berantakan.
“Lungo! Deso iki wis ditutup!” (Pergi! Desa ini sudah ditutup)
Ucap kakek itu dengan tegas.
“Maaf Mbah, saya harus ke desa Rowomanten. Ada yang harus saya cari tahu,” ucapku berusaha untuk sopan.
Kakek itu menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Iapun menghela nafas sejenak dan berjalan dengan kakinya yang gemetar dan pergi melewatiku begitu saja.
Raut wajahnya aneh, aku tidak bisa menebak itu menandakan apa.
“Kek, saya mencari..” aku mencoba menyapa kakek itu kembali dan menoleh ke belakang. Tapi kakek itu sudah menghilang dari pandanganku begitu saja.
Tidak sepertiku yang kebingungan, wajah Linus terlihat ketakutan. Ia melihat ke salah satu arah yang berbeda denganku.
“Nggar, kakek itu… kakek itu!” Teriak Linus.
Aku menoleh ke arah yang ia tunjuk. Saat mengetahui maksud Linus akupun menelan ludah.
Dibalik langit merah di hutan itu, kakek yang berpapasan dengan kami tadi tengah duduk di salah satu ranting pohon sembari menggigiti hewan yang seperti ayam hidup. Tubuhnya kurus kering tanpa pakaian dengan kulit yang hitam.
Saat mengetahui kami menatapnya, iapun menoleh kepada kami dan menyeringai memamerkan giginya yang penuh dengan darah hewan itu.
“Ca—cabut! Cepetan!” Perintahku pada Linus.
Kamipun segera mempercepat langkah kami agar bisa segera masuk ke dalam desa.
Saat sampai ke desa, langitpun semakin gelap. Entah mengapa kabut turun menyelimuti desa di jam yang bahkan masih belum terlalu malam ini.
“Nggar ini pasti ada yang nggak beres,” ucap Linus.
Aku tidak segera merespon ucapan Linus dan terus melangkah mencari rumah Ibu.
“Sudah gelap, ngapain kalian di luar!” Tiba-tiba terdengar suara seorang bapak dari dalam rumah. Tapi saat kami menoleh, ia buru-buru menutup pintu rumahnya.
“Cepat masuk ke rumah!”
Kali ini suara teriakan seorang perempuan dari dalam rumah memperingatkan kami.
Tapi sama seperti sebelumnya, perempuan itu segera menutup jendelanya saat kami menoleh.
Aku mengingat arah rumah ibu dan berhasil menemukanya. Ada kebun yang sudah dipenuhi rumput liar di sekitar rumah ibu.
Di balik rumput liar itu ada sebuah rumah kayu tua yang cukup besar dan sebuah bangunan bekas kandang sapi di belakangnya.
“Itu rumah ibuku Nus..” ucapku.
“Ada yang tinggal di sana?” Tanya Linggar.
“Dulu ada pakdeku, tapi kalau melihat keadaanya saat ini mungkin sudah tidak ada yang menempati,” Jawabku.
Yah.. aku juga cukup kecewa, ini artinya kami harus berberes rumah dulu sebelum bisa beristirahat.

“Khikhikhi…”
Terdengar suara tawa seorang perempuan dari arah belakang kami.
Aku dan Linus saling bertatapan dan menoleh ke belakang. Kami tidak melihat apapun di belakang kami selain kabut yang semakin tebal.
Tapi satu hal yang kami sepakati, suara itu bukan pertanda baik…
Secara bersamaan bulu kuduk kami berdiri dan merasakan adanya bahaya di dekat kami. Aku mulai melangkahkan kaki perlahan menuju rumah itu, dan dari belakang samar-samar terlihat bayangan sesuatu yang bergerak menembus kabut.
Linus menepukku memberi isyarat untuk kami mempercepat langkah dan mulai berlari.
“Arep lungo ngendi to le?.. Khikhihi..” (Mau pergi kemana to nak?.. Khikhikhi…)
Suara itu terdengar semakin dekat.
Bukan hanya suara, dari belakang tiba-tiba terpental kepala seekor babi hutan yang mendarat tepat di hadapan kami.
Kepala hewan itu masih mengalirkan darah segar dan menggelinding kembali ke hadapan kami.
“Sialan! Lari!!! Lari Nggar!” Teriak Linus.
Kami terus berlari sekuat tenaga menghindari apapun yang berada di belakang kami saat itu. Apapun itu, pasti adalah sesuatu yang sangat berbahaya.
Setelah menerobos semak-semak rumput liat yang menghalangi. Kamipun sampai di rumah ibu.
Dengan tergesa-gesa aku mencari kunci rumah itu dan berusaha membuka pintu.
“Cepat! Cepat Linggar… ada yang mendekat,” Linus benar-benar terlihat ketakutan.
Sementara itu aku masih sibuk mencari kunci yang cocok dengan lubang kunci di pintu depan.
Klekk!
Berhasil! pintu rumahpun terbuka dan kami segera masuk ke dalam dan segera menutup pintu rumah rapat-rapat. Aku tidak yakin berada di dalam rumah dapat mengamankan kami, tapi setidaknya seluruh penduduk desa juga melakukan hal yang sama.
Sedari tadi, Linus terus mengintip ke arah keluar jendela. Wajahnya pucat menatap sesuatu yang ia lihat di luar sana.
“Ada apaan?” Tanyaku yang segera menghampiri Linus.
Ia tidak menjawab dan masih terpaku pada sesuatu yang ada di luar sana.
Di balik kabut mereka menari-nari. Perempuan dengan kebaya compang-camping menenteng potongan tubuh hewan dan memakanya dengan rakus. Di sisi kabut yang lain ada sosok yang melayang-layang seolah mencari sesuatu yang menjadi jatahnya.
Brakkk!!!
Di tengah kebingunganku, sesosok kepala berlumuran darah menabrak kaca jendelaku.
Itu adalah kepala mayat manusia…
Ada makhluk berwujud kakek kurus kering yang sengaja menghantamkan kepala manusia itu ke kaca jendela rumah ini dan menyeretnya mengelilingi dinding rumah ini.
Sepertinya ia memang bermaksud mengancam kami.
Linus terjatuh di tanah sementara aku hanya bisa menelan ludah melihat semua pemandangan di desa ini.
“Ini bukan lagi desa manusia…” ucap Linus.
Aku setuju dengan ucapan Linus, tapi walau begitu mengapa masih ada warga yang tinggal di desa ini.

“Kreeet…. Kreeeet….”
Terdengar suara daun pintu yang bergerak dari dalam rumah. Linus segera berdiri dan berdiri di sebelahku.
Cahaya api dari lampu minyak mendekat ke arah kami dari dalam rumah. Ada sosok yang mendekat namun kami tidak dapat mendengar suara langkah kakinya.

Seorang nenek…
Seorang nenek muncul dibalik kegelapan dan menerangi ruangan dengan lampu yang ia bawa.
“Nek, nenek siapa?” Tanyaku mencari tahu siapa nenek yang ada di rumah ibuku itu.
Linus menahanku saat tahu aku ingin menghampirinya.
“Jangan Linggar, dia.. dia bukan manusia..” ucap Linus menahanku.
Bukan manusia? Jelas-jelas nenek itu menenteng sebuah lampu minyak yang tengah menyala.
“Ucapan bocah itu benar, aku sudah bukan lagi manusia.. tapi jangankan mengangkat lampu minyak ini, mematahkan leher kalianpun aku sanggup,” ucap sosok nenek itu.
Sepertinya sosok nenek itu tersinggung dengan ucapan Linus.
Aku menelan ludah ketika melihat wajah marah nenek itu.
“Ikut aku!” Perintahnya tiba-tiba.
Aku dan Linus saling bertatapan, Linus mengangguk seolah tidak merasakan bahwa Nenek itu berniat mencelakai kami.
Ia melayang bersama lampu minyak yang ia bawa menuju ke sebuah kamar di dalam rumah. Aku ingat, ini adalah salah satu kamar eyangku yang dilarang untuk aku masuki saat aku kecil.
Perasaanku tidak enak, sebelum masuk ke kamar itu aku sudah mencium bau yang menyengat. baunya seperti bau..
“Ma—mayat!!” teriak Linus yang terperanjat melihat sosok jasad yang hampir tersisa tulang belulangnya saja itu.
“Tidak usah berisik! Bawa ke halaman belakang, dan kuburkan!” perintah roh nenek itu.
“Ini? Ini jasad Eyang?” Tanyaku.
“Kuburkan dulu, dan kita bicara nanti! Kalian mau tidur di rumah bersama mayat!” Teriak nenek itu.
Kamipun tidak punya pilihan. Benar ucapan nenek itu. Aku tidak pernah menyangka akan menemukan jasad manusia di rumah ini dan harus menguburkanya.
Nenek itu berjalan ke halaman belakang dan berjaga beberapa meter dari kami.
Dengan lampu yang ia bawa beberapa kali ia saling bertatapan dengan sosok yang bergentayangan di desa ini.
“Cepat! Kalian mau berurusan dengan mereka??!” Teriak nenek itu lagi.
Takut? Jelas…
Linus yang mengerti mengenai hal ghaib saja terlihat tidak berkutik dengan keadaan ini.
Bayangkan saja, dua orang pria yang baru saja sampai di desa menemukan jasad yang sudah membusuk dan harus menguburkanya dengan ditonton oleh sosok-sosok mengerikan dari balik kabut.
Linus mulai menggali lubang sementara aku memindahkan bagian jasad yang berada di kamar satu persatu. Sebagian jasad itu masih memiliki daging dan tengah digerogoti oleh belatung, sebagian sudah habis dan tinggal tulang.
Walau menutupi hidungku dengan kain, aku tetap tidak bisa menghindari aroma busuk dari jasad ini.
“Cepat masukan sisanya dan kuburkan!” Perintah Nenek itu ketika mengetahui seluruh bagian jasad sudah kubawa.
“Sebentar eyang..” ucapku.
Akupun mengambil air dari sumur timba yang tidak jauh dari tempat kami berada dan membersihkan tubuh kami.
“Lama sekali!” Nenek itu sudah tidak sabar, namun kami tidak tega bila menguburkan jasad ini begitu saja.
Aku dan Linuspun mendekat ke liang kubur itu dan membacakan doa untuk mendoakan siapapun jasad yang kami kubur ini. Kami berharap walaupun meninggal dengan tidak layak, setidaknya ia bisa mendapat ketenangan di alam sana.
Saat mengetahui tujuan kami, nenek itupun berhenti meneriaki kami dan terlihat merenung.
Tapi rasa takut justru mulai menghantui kami, ada sosok yang mendekat.
“Wenehke wong loro kuwi! Ben tak nikmati saben tetes getihe menungso kuwi..”
(Berikan mereka berdua untuk kami! Biar kami menikmati setiap tetes darahnya!)
Tiba-tiba makhluk kurus setinggi rumah muncul dari balik kabut dan mengincar keberadaanku dengan Linus.
“Wani nyentuh menungso kuwi, urusanmu karo aku!” (Berani menyentuh mereka, Kalian berurusan denganku!) Ucap Nenek itu.
Setan itu terlihat kesal. Iapun mendekat ke arah roh nenek pembawa lentera itu dan mengancamnya. Namun nenek itu tidak gentar dan setan itupun pergi.
Aku merasa nenek itu bukanlah roh biasa.
Aku menelan ludah melihat kejadian itu, aku tidak menyangka apa jadinya bila kami tidak ada nenek itu di dekat kami.
“Kenapa bengong?! Cepat selesaikan!”
Tanpa membantah, kamipun menutup liang kubur itu dan menancapkan sebuah nisan yang kami buat dari kayu seadanya.
Setelahnya kami membersihkan tubuh seadanya dan masuk ke dalam rumah lagi. Linus memastikan pintu sudah tertutup dengan rapat.
“Nek.. sebenarnya nenek ini siapa?” Tanyaku penasaran.
Kali ini nenek itu tidak menjawab. Ia hanya berjalan menuju kamar dimana jasad itu berada tadi dan berdiam di sana. Aku dan Linus saling bertatapan menebak maksud sosok roh nenek itu,
namun semua itu berakhir dengan kami mengangkat kedua pundak kami tak tahu apa yang nenek itu inginkan.
Kamipun memutuskan untuk mengganti baju dan membersihkan salah satu kamar yang akan kami gunakan untuk istirahat nanti. Ini adalah kamar ibuku dulu.
Kamar yang selalu aku gunakan untuk istirahat setiap ke tempat ini. Tapi semenjak ibu pindah bersama bapak, sepertinya kamar ini sudah digunakan oleh orang lain.
Linus mengeluarkan dari tasnya sebungkus singkong goreng yang ia beli di terminal tadi.
Setidaknya ini cukup untuk mengisi perut kami sampai besok pagi. Rasa lelah benar-benar menyelimuti tubuh kami, tapi rasa takut akan bahaya di sekitar rumah ini mengurunkan niat kami untuk tidur.
Merasa tidak ingin pulang dengan tangan kosong, kami memutuskan untuk membunuh rasa takut kami dan menghampiri roh nenek yang masih setia dengan lampu minyak yang menyala di kamar eyangku dulu.
“Eyang… kulo nuwun,” (Eyang permisi)
Aku dan Linus mendekat ke kamar dan berhati-hati memasuki kamar itu.
“Kulo nuwun eyang…” (Permisi eyang)
Aku mencoba menegur sosok roh yang seorang diri terdiam di kamar itu.
“Kowe Linggar putuku to?” (Kamu Linggar cucuku kan?) tanya roh nenek itu.
“I—iya eyang, berarti benar jasad tadi jasad eyang?” Tanyaku.
Nenek itupun mengangguk.
“Tapi kenapa saya tidak ingat wajah eyang? Yang saya ingat hanya Eyang Putri Ramini, nenek saya,” ucapku.
“Panggil saya Eyang Ratih saja, saya kakak dari eyangmu.
Soal Ramini bukankah kamu sudah tahu dimana makamnya?” tanya Eyang Ratih.
Aku mencoba mengingat, Eyang putri memang sudah meninggal beberapa tahun lalu dan sudah dikuburkan. Saat itu Bapak dan Ibu pulang kampung sementara aku diminta untuk tetap di rumah.
“Iya Eyang, tapi kenapa eyang bisa ada di sini? Dan mengapa jasad eyang bisa ada di sini?” Tanyaku.
“Sabar dulu cucuku, malam masih panjang.. kedatangan kalian ke tempat ini pasti sudah ditakdirkan,” jelas Eyang Ratih.
“Berarti Eyang Ratih juga sudah tahu akan ada sesuatu hal yang berbahaya yang berhubungan dengan Linggar?” Tanya Linus.
Eyang Ratih berbalik menatap ke arah Linus.
“Tidak hanya Linggar, ini juga berkaitan denganmu,” ucap Eyang Ratih.
Mendengar ucapan itu Linus merasa bingung. Bahkan mengenal Eyang Ratih saja tidak, hubungan Linus dengan keluargakupun tidak ada.
“Akan banyak yang terlibat dengan tragedi ini,
tapi yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara menyelamatkan sukma ibumu, pakdemu, dan ayahmu bisa kembali pulang,” Jelas Eyang Ratih.
Aku menghela nafas mendengar ucapan Eyang Ratih.
“Jadi Eyang juga mengetahui masalah ini?” Tanyaku.
Eyang Ratih mengangguk. Sementara kami mengambil posisi duduk, ia malah berdiri mengangkat lenteranya dan mengelilingi kami berdua.
“Bukan hanya eyang, makhluk penjaga keluarga Sasena juga sudah bertindak. Bukankah kau sudah berkenalan denganya?” Tanya Eyang.
Samar-samar dari cahaya lampu minyak yang menyinariku, aku melihat ada sosok yang berdampingan dengan bayanganku.
Bayangan makhluk berambut panjang dengan tangan kurus dan kuku-kuku yang tajam. Ia bergerak tak menentu dengan mengerikan.
Tapi dari bentuk perutnya yang membesar, aku bisa menduga siapa sosok itu.
“Nyai Kunti…”
Aku menggumam menyaksikan sosok mengerikan yang menyatu dengan bayanganku.
“Linggar… apa-apaan itu?” Tanya Linus.
Aku tidak menanggapi rasa heran Linus dan kembali menatap Roh Eyang Ratih.
“Penjaga? Dia yang sudah menyiksa ibu hingga keadaanya mengenaskan saat ini. bagaimana dia bisa disebut penjaga??” Ucapku tidak terima.
“Kau masih belum tau apa-apa, apakah sosok itu kutukan atau penyelamat? kalian akan tahu sendiri nanti. Dan mungkin kamu jugalah yang bisa menghentikan perjanjian mengerikan keluargamu itu,” jelas Eyang Ratih.
Aku tidak mengerti, semua ini penuh dengan teka teki.
“Maaf nek, lalu apa yang terjadi dengan desa ini? Apa semua warga benar-benar tidak bisa meninggalkan desa?” Tanya Linus.
Eyang Ratih berjalan menuju jendela kamar. Ia menatap desa yang sudah sangat tidak pantas disebut sebagai tempat tinggal ini.
“Desa ini sudah mati, semua yang masih hidup hanya menjadi persediaan tumbal bagi mereka,” ucap Eyang Ratih.
“Memangnya mereka tidak bisa pergi eyang?” Tanyaku.
Eyang Ratih menggeleng.
“Kemanapun mereka pergi, mereka akan segera kembali.
Manusia yang tersisa di tempat ini adalah orang-orang yang pernah berurusan dengan Gandara Baruwa,” ucap Eyang Ratih.
“Maksudnya Genderuwo?” Tanya Linus.
“Genderuwo yang kalian kenal lahir dari persetubuhan Gandara dengan manusia perempuan yang ditumbalkan suaminya.
Demit itu akan menyamar jadi suaminya dan menghamili istrinya. Perbuatan itu melahirkan genderuwo yang sekarang kalian ketahui,” jelas Eyang Ratih.
Aku memang pernah mendengar cerita ini.
Ada sebuah pesugihan yang didapatkan dengan mengikat perjanjian dengan sosok seperti Genderuwo.
Keluarga itu akan hidup makmur. Kekayaanya melimpah dan sosok genderuwo akan menjadi khodam yang melindungi keluarga itu.
Tapi makhluk pemberi pesugihan itu akan memperkosa istri keluarga itu dengan menyamar sebagai suaminya.
Hal aneh akan sering terjadi, biasanya sebelum tujuh bulan bayi akan menghilang dari kandungan. Atau bayi lahir dengan kondisi mengerikan.
Sosok bayi itu adalah penerus Gandara Baruwa yang kelak akan menjadi anak buahnya dan menjadi bagian dari kerajaanya.
“Tega-teganya ada pria yang melakukan hal seperti itu,” ucapku.
Kali ini Eyang Ratih menatapku dengan tajam.
“Yang leluhur kita lakukan dengan Nyai Kunti tidak jauh berbeda. Jangan memandang kesalahan orang lain sementara dosa kita tak lebih sedikit dari mereka,” Ucap Eyang Ratih.
“Apa tidak ada cara untuk menyelamatkan mereka Eyang?” Tanya Linus.
Eyang Ratih kembali menggeleng.
Bersamaan dengan jawaban Eyang Ratih, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar. Aku dan Linggar menyaksikan dari jendela ada seorang perempuan yang ditarik keluar oleh setan berlengan panjang. Beberapa orang di dalam rumah mencoba menahanya tapi terlihat sia-sia.
Linus merasa cemas, ia masih berharap ada cara untuk menolong orang itu. Iapun berlari kearah pintu dan dengan ragu mencoba membukanya.
“Jangan bodoh, begitu keluar dari rumah ini sudah tidak ada yang melindungi kalian,” ucap Eyang Ratih.
“Ta—tapi?” Linus cemas.
Aku tahu betul, Linus adalah orang yang tidak bisa diam melihat kejadian seperti itu di depan matanya. Akupun merasakan hal yang serupa, tapi aku juga sadar betul, aku tidak bisa melakukan apapun terhadap makhluk itu.
“Linggar, bukanya manusia adalah makhluk yang paling mulia. Tidak seharusnya kan kita takluk pada setan-setan itu?” ucap Linus.
Linus menahan rasa takutnya dan membuka pintu rumah.
“Kalaupun harus mati, aku mati karena percaya akan hal itu,” lanjutnya sembari berpaling dan berlari menuju perempuan itu.
Aku ingin segera menyusulnya, tapi aku tersadar dengan apa yang diucapkan Eyang Ratih. Tapi raut wajah Eyang Ratih malah berubah dan sedikit tersenyum.
“Keberanian itulah yang membuat takdir besar akan jatuh pada dirinya,” ucap Eyang Ratih.
Mendengar ucapan itu, akupun tidak ragu untuk berlari mengejar Linus.
“Tolong!!! Tolong anak saya!” Teriak seorang ibu yang masih berusaha merebut anaknya dari cengkeraman setan besar bertangan panjang itu.
Kami menahan tubuh perempuan itu dan membantu menariknya.
“Kita sudah nekad, terus apa rencanamu? Pusaka itu juga sudah tidak ada padamu,” teriakku pada Linus.

“Hitung semua yang kita punya,” ucap Linus.
“Maksudnya?”
“Pertama, Doa… jangan lupa kita punya Tuhan yang harus selalu kita andalkan,” ucap Linus.
Seketika mataku terbuka. Gagalnya berbagai usaha yang kulakukan untuk kesembuhan ibu sempat membuatku melupakan apa yang harusnya paling kuandalkan.
Saat itu yang kami lakukan adalah terus menahan tubuh perempuan itu bersama keluarganya sembari membacakan doa-doa yang dipimpin oleh Linus.
Bacaan doa kami membuat makhluk itu gelisah dan melepaskan wanita itu. Tapi masalah sebenarnya baru saja terjadi.
Keberadaan kami justru membuat marah sosok-sosok yang menguasai desa ini.
“Cepat masuk! Jangan keluar dan terus baca doa jangan sampai terputus,” perintah Linus pada keluarga itu.
“Ta—tapi? Mas-masnya?” Tanya mereka.
“Tidak tahu! Selamat kan diri kalian dulu, kami akan cari cara!” Teriak Linus.
Aku kagum akan keberanian Linus, walau aku masih ragu apakah itu keberanian atau kebodohan.
Persis seperti yang diucapkan Linus, kamipun terus membaca doa tanpa terputus.
Di satu sisi, Linus yang juga berguru tengah membaca sebuah amalan yang sepertinya dapat membantu kami selamat dari situasi ini.
“Aku sudah mencoba mempagari tempat ini Linggar, semoga saja ini berhasil,” ucap Linus.
Aku mengangguk dan menelan ludah.
Sehebat apa pagar yang dibuat Linus yang bisa menghadang puluhan makhluk yang melayang-layang mengincar kami dan setan-setan yang marah dengan perlawanan dari kami.
“Kowe wis ora sayang nyowo,” (Kalian sudah tidak sayang nyawa)
Tiba-tiba suara Linus berubah menjadi suara perempuan.
“Grrrrr…. Grrrr….”
Tak lama kemudian suara Linus terdengar menggeram seperti dirasuki sosok binatang buas.
“Linus! Kamu kenapa?” Teriakku.
“Kowe kabeh kudu mati!” (Kalian semua harus mati)
Kali ini suara Linus terdengar berat. Ia terjatuh tengkurap seolah tak mampu menahan tubuhnya. Tak berhenti sampai di situ, berbagai makhluk marasuki tubuh Linus dan menyerangnya habis-habisan.
Aku memeganginya dan membacakan doa yang panjang di telinganya.
Aku berharap setiap doa yang kubacakan bisa memanggil kesadaranya.
“Aaaaarrrghhh….!!!” Linus berteriak kesakitan.
Ia berguling-guling ditanah berusaha mendapatkan kesadaranya.
“Sudah cukup!! Cukup!” Aku berteriak berusaha menghentikan setan-setan itu merasuki tubuh Linus.
Sayangnya bukan berhenti, mereka malah berkumpul dan menerjang ke arahku. Aku tidak bisa menjelaskan wujud mereka semua. Wajah mereka tidak berbentuk dan berbau menjijikkan.
Tapi tidak seperti Linus, saat menerjangku aku terpental sangat jauh hingga menabrak dinding rumah.
“Urrggghhh..” Rasa sakit menyelimuti tubuhku, tapi tidak ada satupun dari mereka yang merasukiku.
Sebaliknya mereka mundur saat menatapku, hal itu bersamaan dengan sadarnya Linus.
“Linggar! Mata kamu! Mata kamu memerah.. memerah seperti darah!” teriak Linus yang mengkhawatirkanku.
Merah? Bagaimana mataku bisa memerah…
Tapi benar, semua yang kulihat berubah menjadi merah.
tak hanya itu, aku merasakan ada sosok yang membuatku tak henti-hentinya merinding , ia ada di belakangku.
Aku menoleh ke belakang dan melihat bayangan makhluk yang paling kubenci.
Bayangan Nyai Kunti tengah berada di belakangku seolah menantang semua makhluk yang ada di tempat ini.
Sayangnya tubuhku tidak sekuat itu, sebelum Nyai Kunti bertindak akupun terjatuh. Tubuhku begitu lemah seolah tak mampu mempertahankan kesadaranku.
“Tidak, kamu masih belum mampu menahan kekuatan makhluk itu,” ucap Linus membantuku berdiri.
“Ta—tapi?”
Aku tidak ingin mengakuinya, tapi sepertinya hanya Nyai Kunti yang mampu menolong kami saat ini.
Mengetahui kami yang sedang lengah, tiba-tiba sebuah lengan panjang mencengkeram tubuhku dan mencoba menarikku. Aku benar-benar tidak mampu melawan, namun Linus masih mencoba menahanku.
Sayangnya makhluk itu mendekat.Ia membuka mulutnya lebar-lebar dan ingin mencoba melahapku.
Aku hampir merasa ini adalah akhir hidupku. Tapi tiba-tiba ada bayangan makhluk besar yang mendekat. Suara dentuman terdengar tak jauh dari tempat setan itu berada.
Suara langkah-langkah kecil terdengar mendekat ke arah kami.
Salah satu yang mencolok dari mereka berdiri di depan kami, ia menantang setan bertangan panjang itu seorang diri.
Seekor kera..
“Kliwon? Kamu Kliwon kan?” aku menyadari sosok itu.
Ia adalah kera kecil yang pernah menolongku saat tersesat di Alas Wetan dulu.
Kliwon tidak menjawab, tapi aku melihat bayanganya membesar layaknya kera rakasasa yang mengerikan.
Melihat setan itu mundur. Aku menoleh ke seluruh wilayah desa dan menemukan kera-kera lain sedang berada di atap-atap rumah seolah menguasai desa itu.
“Dia? Bukanya dia monyet yang selalu bersama Cahyo?” Tanya Linus.
Aku mengangguk, bila Kliwon sampai kembali ke Alas wetan dan mengumpulkan pasukanya, pasti ada sesuatu yang sangat genting.
Keberadaan pasukan Kliwon membuat seluruh setan-setan itu mundur. Beruntung tanpa kurasa tiba-tiba matahari fajar mulai muncul. Seluruh makhluk itupun menghilang bersama kesadaranku yang kabur dan menjadi gelap.

***
Aku terbangun dan menyadari ada kain hangat yang tengah menempel di dahiku. Sepertinya aku melewati tidur yang cukup panjang. Sudah ada segelas minuman di dekat tempat tidurku dan terdengar suara Linus sedang berbincang di luar.
Aku mengecek suhu tubuhku yang sudah kembali normal dan mengumpulkan kesadaranku. Setelah menghabiskan teh hangat yang disiapkan untukku, akupun keluar menyusul Linus.
“Lho Linggar, jangan maksain kalau masih belum enak,” ucap Linus.
“Nggak, sudah nggak papa. Eyang Ratih kemana?” tanyaku pada Linus.
Mendengar pertanyaanku beberapa warga yang berbincang dengan Linus menatap ke arahku. Sepertinya Linus belum menceritakan tentang hal itu kepada mereka.
Akhirnya kamipun menceritakan tentang kejadian semalam kepada warga desa dan menunjukkan dimana kami mengubur jasad Eyang Ratih.
Aku melihat perbedaan yang mencolok dari desa ini. Hampir seluruh sudut desa dipenuhi monyet-monyet yang keluar dari Alas Wetan.
“Eyang Ratih sudah pergi entah kemana, tapi sebelum dia pergi dia meninggalkan pesan,” kata Linus.
“Pesan?” tanyaku.
“Gandara Baruwa tidak sendiri, ia bangkit bersama makhluk-makhluk yang tidak kalah mengerikan.
Semua sedang mencari tumbal untuk menyatakan kekuasaanya..” Jelas Linus.
“Gila? Melawan anak buahnya kemarin saja kita tidak sanggup. Kini ada lebih dari itu?” Aku tidak percaya dengan cerita Linus.
“Kita harus bertemu dengan beberapa orang. Menurut Eyang Ratih ada beberapa roh yang akan berperan untuk menyelesaikan masalah ini,” jelas Linus.
Aku mengernyitkan dahi. Aku hanya ingin menyelamatkan keluargaku, tapi mengapa sekarang kami terlibat masalah yang lebih besar.
Tapi biar begitu, sepertinya kami juga tidak punya pilihan.
“… Roh perjanjian terkutuk.. aku menduga itu adalah Nyai Kunti yang ada di dalam dirimu saat ini,” ucap Linus.
Aku menghela nafas tak mampu lagi menyangkal hal itu.
“… Roh penjaga Alas Wetan.. “ Linus menoleh ke arah Kliwon, dan aku setuju dengan dugaanya.

“… Sisanya aku tidak punya petunjuk, Eyang Ratih mengatakan .. Roh seorang ulama dan pengikutnya, Roh penunggu sendang, Penjaga bukit batu, dan roh pusaka terlarang..”
Aku mencoba menebak itu semua, namun hampir tidak ada petunjuk yang kudapatkan. Tapi dengan kemunculan Kliwon, aku mengetahui siapa yang harus kutemui berikutnya.
“Kita harus ketemu Cahyo dan Paklek,” ucapku.
“Iya, sepertinya pasukan Kliwon akan menjaga desa ini,” Balas Linus.
Kami menghampiri warga desa yang mendekat tadi mengobrol dengan Linus. Walaupun desa sudah dikuasai oleh pasukan Kliwon Aku menyarankan kepada mereka untuk pergi mengungsi.
Akupun memberikan nomor telepon kepala desa Ranggilawu tempatku dulu melaksanakan KKN.Seharusnya mereka mau menampung warga desa ini bila menceritakan kejadianya.
Sementara langit masih terang akupun memaksa Linus untuk membereskan barangnya dan meninggalkan desa.
Linus yang merasa trauma dengan kejadian semalampun sepakat untuk segera pergi dari desa.
Tanpa kami minta, Kliwon tiba-tiba naik ke pundakku seolah ingin menunjukkan dimana saat ini sahabatnya Cahyo berada.
Dan yang pasti, dengan keberadaanya di dekat kami, kami merasa jauh lebih aman dari sebelumnya.

***
(Di desa Dirga..)
Suara riuh pedagang pasar terdengar menemani lamunan Danan. Mobil Jagad terparkir di salah satu sudut kios dengan semua barang yang telah diturunkan.
“Masnya bengong aja, nanti kesambet lho,” tegur seorang ibu yang baru saja melintasi Danan.
Tidak seperti biasanya, Danan benar-benar memikirkan sesuatu dengan keras. Kejadian pertarungan dengan Ki Luwang meninggalkan misteri yang membuatnya cemas.
“Kamu masih mikirin ucapan Nyi Sendang Rangu?” tanya Jagad yang mendekat ke arah Danan.
“Iya mas, masalahnya aku merasa apa yang kita hadapi nanti bukan hanya soal adu kekuatan. Ada sesuatu yang tidak bisa kita selesaikan hanya dengan pertarungan,” balas Danan.
Jagad merapikan sisa barang yang masih perlu dia antar.
Setelahnya, diapun bersiap meninggalkan Danan lagi.
“Kalau kamu cemas, berarti kamu masih ragu dengan kebesaran Tuhan. Percaya saja, jika sudah waktunya, kita pasti akan dipertemukan dengan jalanya..” ucap Jagad yang kembali mengantar daganganya ke toko lain.
Danan kembali melamun, tapi saat ini lamunanku terganggu dengan keberadaan kucing yang berjalan dengan pincang di dekat pasar.
Kucing itu seolah memperhatikan seorang kakek yang berjalan dengan membawa tongkat.
Ia tengah berjalan untuk menjajakan kerajinan bambu miliknya di pasar. Tapi ada yang aneh..
Kakek itu berjalan dengan kaki yang diseret. Sekilas hanya terlihat seperti seorang kakek yang kesulitan berjalan. Tapi dari mataku aku melihat ada hal yang berbeda.
Ada sosok makhluk berwujud tuyul berwarna hitam bergelantungan di betisnya. Sepertinya makhluk itu sudah cukup lama mengikutinya, aku melihat ada luka ghaib yang terjadi akibat makhluk itu terus menggerogoti betis kakek itu.
“Kek!” Danan meninggalkan tempat duduknya dan menghampiri kakek itu.
“Kunaon A? hayang meuli?” (Kenapa A? Mau beli?) tanya kakek itu.
“Iya Kek, mau beli gasing bambu,” jawab Danan.
Setelah beberapa kali mampir ke desa Dirga. Danan mulai mengerti bahasa sunda walau masih belum bisa membalasnya dengan baik. Dananpun memberikan beberapa lembar uang sebagai ganti gasing bambu yang ia beli.
“Kakek sering main ke hutan bambu ya?” tanya Danan iseng.
“Iya A, kan jualanya kerajinan bambu,” Balasnya.
Danan membuka obrolan sembari mencari kesempatan untuk memeriksa kaki kakek itu. Saat Danan menebak keadaan kakinya, iapun mengijinkan Danan untuk memeriksanya.
Sebuah doa panjang dibacakan oleh danan sembari beberapa kali mengelus betis kakek itu. Beberapa kali kakek itu meringis merasakan kepanasan, namun itu tidak lama.
Setelah Danan selesai dengan pengobatanya, tiba-tiba kakek itu bisa berdiri dengan lebih nyaman.
“Gimana kek? Sudah enakan?” Tanya Danan.
“I—iya, kok bisa? Tadi saya diapakan?” tanya kakek itu.
Danan tidak ingin menceritakan tentang sosok yang menggerogoti kakinya. Ia hanya menyarankan agar kakek itu sering beristirahat agar kakinya bisa pulih sepenuhnya.
“Yang penting kalau kakek main ke hutan bambu lagi jangan terlalu masuk ke dalam. setelahnya mandi yang bersih dan jangan lupa ibadahnya,” Jelas Danan.
Kakek itu berterima kasih dengan bantuan dari Danan. Iapun segera pergi dan melanjutkan daganganya lagi.
Saat berbalik arah, Danan melihat sosok seekor kucing yang berjalan dengan pincang menghampiri dirinya.
Dananpun berjongkok menyambutnya. Kucing itu mendekat dan menciumi tangan Danan. Tapi itu tidak lama..
Setelah itu kucing hitam itu hanya kembali berjalan dengan kakinya yang pincang. Entah mengapa Danan melihat raut wajah sedih di mata kucing itu.
“Kucing itu suka denganmu… Sayangnya sepertinya ia sudah punya majikan,”
Tiba-tiba terdengar suara Abah yang menghampiri Danan.
“Eh, Abah ngagetin aja…” Balas Danan.
“Bukan Abah yang ngagetin, Kamu aja yang kebanyakan melamun,” ucap Abah.
Danan menggaruk kepalanya mengakui kesalahanya. Kedatangan abah bukan tanpa sebab, ia memang ingin menemani Danan untuk mencari tahu apa yang mengganjal pikiranya.
“Saya masih berhutang budi sama sosok yang menolong saya saat membatu itu Bah, sepertinya Abah mengetahui sosok itu?” tanya Danan.
“Kita cerita sambil jalan-jalan ya? Lha mas Cahyo dimana? Kalian nggak bareng?” Tanya Abah.
Danan menggeleng.
“Nggak tahu, tadi dia bilang ngerasain hal yang aneh. Katanya dia mau mencari tahu ke arah salah satu hutan..”
Abah mengerti, iapun mengajakku meneruskan jalan-jalan sembari menceritakan tentang sosok yang mungkin telah menolongku. Sosok yang Abah kenal denang nama Ki Langsamana…

***
Seekor monyet putih terlihat tengah memantau dari kejauhan. Entah kebetulan atau ia memang mengenali sosok Cahyo.
“Grrrrr…..”
Saat tengah menikmati segelas kopi, cahyo merasa Wanasura gelisah memberi pertanda.
Tanpa kesulitan, Cahyopun menemukan sosok Monyet putih yang memandangnya dari kejauhan.
“Kenapa mas?” tanya Dirga yang menemani Cahyo di rumah.
“Monyet putih Dirga.. Mitosnya kalau sudah ada monyet putih yang keluar dari hutan menunjukkan wujudnya,
itu adalah pertanda akan adanya bahaya,” balas Cahyo.
“Yang bener mas?” Tanya Dirga.
“Iya..”
Cahyopun mencari kunci motornya dan berpamitan pada dirga untuk mengikuti kemana kera putih itu melangkah.
Kera itu berlari dengan cepat, dari jauh Cahyo juga melihat ada beberapa kera lain yang mengikuti dirinya. Jelas Kera putih itu berniat ingin memberi tahu sesuatu.
Sebuah hutan…
Kera putih itu masuk ke hutan tersebut. Cahyo tidak ingin gegabah, ia memperhatikan hutan itu secara seksama dan memang merasakan ada sesuatu yang mengerikan disana.
Saat melewati sebuah jembatan, tiba-tiba terlihat burung-burung hitam yang jenisnya sulit untuk dikenali beterbangan dari dalam hutan. Cahyopun menghentikan vespa tuanya dan memperhatikan tempat itu.
“Grrrr….” Wanasura terlihat helisah.
“Tenang wanasura, seharusnya hutan semengerikan ini disegel dan jangan dibiarkan siapapun untuk masuk,” ucap Cahyo kepada wanasura.
Jelas kejadian beterbanganya burung-burung itu adalah sebuah pertanda.
Setidaknya Cahyo sudah mengerti maksud dari kera putih itu.
Iapun memutuskan untuk menceritakan kejadian ini pada paklek dan Danan untuk meminta pendapat tentang keadaan hutan ini.
Saat hendak melaju sepeda motornya, tiba-tiba cahyo merasakan perasaan aneh yang cukup mengancam.
“Kamu juga ngerasain juga kan Wanasura?” Tanya Cahyo pada sosok yang bersemayam di dirinya itu.
Wanasura memberi isyarat, tapi ia tidak melihat sosok berbahaya apapun di sana.
Ia tidak mungkin mengabaikan perasaan itu.
Tapi saat menoleh, yang ia lihat adalah seorang pria berambut panjang yang juga tengah memperhatikan fenomena di hutan itu.

Merasa tidak menemukan sosok aneh, Cahyopun memilih untuk tidak menghiraukanya..
Menurutnya, tidak mungkin perasaan mengancam itu berasal dari seorang manusia biasa. Iapun segera melaju vespa tuanya dan kembali untuk mendiskusikan ini dengan Paklek.

***
Bersambung Part 2 - Leuweung Sasar
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga akhir. Mohon maaf apabila ada salah kata dan bagian yang menyinggung.

Buat temen-temen yang minta baca duluan kelanjutanya atau sekedar support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya 🙏

karyakarsa.com/diosetta69/ala…
Alas Sewu Lelembut
Part 2 - Leuweung Sasar

Tak hanya Alas wetan, terdapat juga sebuah hutan terkutuk yang dilarang untuk dimasuki. Misteri di dalamnya mampu membawa maut bagi yang memasukinya

@IDN_Horor @qwertyping @bacahorror_id
#bacahorror Image
Part 2 - Leuweung Sasar

(Sudut pandang Cahyo...)
Suara petir memecah keheningan malam berpadu dengan hujan yang tidak kunjung henti sejak pagi.
Biasanya, hujan adalah alasanku untuk bermalas-malasan di rumah, dan menghabiskan waktu untuk tidur di kasur.
Tapi tidak kali ini...
Sudah beberapa minggu setelah aku berhasil memulihkan roh Wanasura setelah ia kehabisan kekuatanya. Tapi sejak saat ia pulih, ia selalu merasa gelisah seolah merasakan sesuatu yang tidak biasa.
Bulek juga mengabariku bahwa sudah beberapa hari ini Kliwon menghilang dan tidak kembali ke rumah. Hal ini benar-benar membuatku khawatir.
"Hutan? Kalau memang ada kekuatan yang menyegelnya, seharusnya itu nggak akan menjadi bahaya kan Jul?”
Tanya Danan yang juga ikut khawatir setelah kuceritakan tentang sebuah hutan yang menarik perhatianku.
"Aku juga berpikir begitu, tapi Wanasura gelisah dan pertanda alam juga sudah terlihat.
Aku merasa cepat atau lambat kita akan berurusan dengan hutan itu,” Jelasku.

Danan berpikir sesaat, aku tahu ia adalah orang yang paling khawatir dengan peringatan yang dikatakan oleh Nyi Sendang Rangu saat kami selesai berhadapan dengan Ki Luwang.
"Ya sudah, kita putuskan nanti soal hutan itu. Lebih baik kamu nyamperin Paklek, katanya ada teman lama kalian yang ingin bertemu,” ucap Danan.

Ucapan Danan benar. Paklek sudah meneleponku dan memintaku menemuinya di terminal. Ada teman lama kami yang menyusul ke kota ini untuk… twitter.com/i/web/status/1…
"Iya Nan, kita janjian besok pagi kok,” balasku.

"Memang siapa to yang datang? Kok paklek sampe harus menjemput ke Terminal?” Tanya Danan.

"Belum tahu Nan, mungkin kalau sudah ketemu nanti aku akan ingat,” balasku.
Danan mengerti, sepertinya ia ada acara tersendiri dengan Abah. Entah mengapa dia begitu terobsesi dengan sosok roh yang menyelamatkan nyawanya saat sempat membatu.
Seorang pria yang cukup berumur tengah terduduk di pinggir trotoar terminal sembari menikmati teh segar yang tersaji dalam botol kaca.

Akupun segera menghampirinya dan menegurnya.
"Wah korban iklan nih Paklek, apapun makanannya minumnya...”
"Bayarin dulu Jul, paklek lupa bawa duit,”
Belum sempat menggodanya, paklek sudah memalakku untuk membayarkan minuman yang ia minum sembari melamun dulu.

"Ealah, belum sempet ngomong. Udah ilang lima ribu perak...” ucapku.
"Seger jul, pesen aja nggak usah malu-malu,” balas paklek.

"Yo ndak malu lah paklek, orang bayarnya pake duitku,” jawabku dengan muka kecut.
Tapi walau begitu tetap saja embun dingin yang terlihat berkeringat dari teh botol kaca itu membuatku menelan ludah dan ingin meneguk hal yang serupa.

"Bu! Saya pesen satu juga,” teriakku memesan es teh yang menggoda itu.
Yang terjadi saat ini di sana adalah dua manusia tidak jelas yang tengah menikmati minuman dingin sambil duduk di pinggir trotoar.

"Memangnya siapa yang mau ketemu, Paklek?”

"Lupa namanya,” Balas paklek singkat.
"Lha piye to? udah janjian mau ketemu malah lupa namanya,” protesku.

"Namanya lupa pasti nggak inget to Jul, Piye to..” balas Paklek.

Aku hanya menggaruk kepala bingung menanggapi kelakuan Paklekku yang semakin tua ini.
Belum sempat memprotes paklek lebih jauh, tiba-tiba aku dan Wanasura merasakan sesuatu yang mendekat. Keberadaan itu bersama sebuah bis yang memasuki terminal. Akupun berdiri menyambut kedatangan bis itu.
Belum sempat bis itu berhenti, tiba-tiba dari kaca jendela melompat sesosok makhluk kecil yang segera berlari ke arahku.

"Kliwon!!” Teriakku bingung.

Kera kecil itu segera berlari ke pundakku dan menaikinya.
Tanpa sadar rambutku sudah berantakan dibuat olehnya.Aku penasaran dengan siapa dia datang ke tempat ini.
Tepat saat bis itu berhenti, aku melihat dua orang yang wajahnya tidak asing. Dia adalah orang- orang yang pernah membantuku di Alas Wetan dulu.
"Mas Linggar? Mas Linus?” Tanyaku menyambutnya.

“Paklek! Cahyo! Waduh maaf ya, tadi agak macet. Nunggu lama ya?” ucap Mas Linggar.

“Halah nggak kok, es teh sebotol aja belum habis,” balas Paklek menyambut mereka berdua.
Seseorang yang datang bersama dengan Mas Linggar adalah Mas Linus. Dialah pemilik pusaka sebenarnya dari pusaka pisau batu yang sudah membantu kami dalam beberapa tragedi.

“Hai Cahyo!” Sapa Mas Linus.
"Halo Mas, Hehe.. kayaknya banyak yang hams saya obrolin sama Mas Linus,” sambutku.

"Ya sudah, santai dulu saja ada banyak hal yang sepertinya harus kita bicarakan. Tapi yang paling darurat kayaknya kita cari warung bakso dulu deh,” ucap Mas Linus.
"Bener! Sehari kebelakang kami Cuma makan singkong goreng sama tahu sumedang jajanan di bus,” Tambah Linggar.

Kamipun berpindah menuju sebuah warung Bakso yang tidak jauh dari terminal.
Awalnya kami ingin memulai dengan perbincangan-perbincangan singkat. Tapi melihat Mas Linggar dan Mas Linus makan dengan lahap, kamipun ragu untuk menyelanya.

"Paklek, udah mangkok ketiga..” bisikku pada paklek.
"lya Jul, kalau sampe lebih dari sepuluh mangkok kita pura-pura nggak kenal aja. Siapa tau mereka lagi kesurupan,” balas paklek berbisik.

Baru kali ini kami berdua melongo menyaksikan orang yang menikmati makananya.
"Paklek, coba dicek bakso ini penglarisnya apa?” Tanyaku.

Seketika rasa sakit muncul di kakiku bersama injakan kaki paklek yang mendarat di kakiku.

"Hati-hati kalo ngomong, ngawur kamu..” balas paklek.
Setelah selesai mengisi perut kamipun memulai perbincangan mengenai alasan mereka menemui kami.

"Maaf ya Paklek, di desa kemarin keadaanya benar-benar tidak kondusif. Mencari makan saja susah,” Cerita Mas Linggar.
Merekapun menceritakan tentang sebuah desa di salah satu sisi Alas Wetan. Saat mereka datang, desa ini sudah dikuasai oleh berbagai sosok tak kasat mata.
Semua warga desa yang tinggal di sana adalah orang-orang terkutuk yang pernah membuat perjanjian dengan sosok ghaib.
Setiap mereka meninggalkan desa, selalu ada kejadian aneh dimana mereka akan kembali.

Saat waktunya tiba, orang-orang itu akan diambil dan dijadikan makanan untuk setan-setan anak buah sosok mengerikan yang bernama Gandara Baruwa.
Yang menyedihkan lagi, ternyata desa itu adalah desa kelahiran Ibu Mas Linggar.

"Beruntung Kliwon dan anak buahnya datang menguasai desa itu. Aku tidak menyangka sekumpulan kera bisa menghadapi sekumpulan makhluk ghaib yang menyerang desa,” ucap Mas Linggar.
"Kliwon dan anak buahnya memang bukan kera biasa, tapi bila sosok bernama Gadara Baruwa itu turun tangan, menurut saya mereka tetap saja tidak berkutik,” Balas Paklek.
Mas Linggar juga menceritakan bahwa ia mendapat penglihatan. Penglihatan tentang sebuah desa dan keberadaan Gandara Baruwa yang tengah menikmati tumbalnya. Di sanalah keberadaan sukma ibu dan Pakde-pakdenya berada.
"Saat ini Gandara Baruwa sedang memanen tumbalnya. Entah untuk tujuan apa, tapi menurut Eyang Ratih ia dan beberapa makhluk mengerikan lainya sedang mengumpulkan kekuatan,” Jelas Mas Linggar.
"Sama satu lagi Paklek..” Mas Linus mencoba menyampaikan sesuatu.
"Saya khawatir dengan sosok lain yang bersemayam di tubuh Linggar, Nyai Kunti. Aku merasa itu adalah sosok yang berbahaya,”

Aku dan Paklekpun menatap Mas Linggar bersamaan. Aku baru sadar, ada sosok lain yang bersembunyi di tubuhnya.
Ia mampu menyembunyikan keberadaanya hingga kami tidak sadar.

"Nanti kita cari tau, kalian sudah lelah. Akan bahaya bila kita mengusiknya,” ucap Paklek.
Sekarang kami mulai mengerti dengan apa yang ingin dibicarakan oleh Mas Linggar dan Mas Linus. Kamipun meminta mereka untuk beristirahat terlebih dahulu di penginapan dan kami akan menghampirinya di malam hari.
Sepertinya ada yang mau didiskusikan paklek bersamaku tentang masalah ini.

***
Sementara menunggu Mas Linggar dan Mas Linus beristirahat, aku mengajak paklek ke rumah Abah. Di sanalah kami akan tinggal sementara waktu.

Seperti biasa Abah menyambut kami dengan baik. Obrolan orang tua antara Abah dan Paklek sudah mulai berbeda dari seleraku dan Danan.
Beberapa candaan mereka kadang hanya membuat kami harus pura-pura tertawa agar suasana tidak kaku.

"Kamu sudah dapet petunjuk Nan?” Tanya Paklek.
"Sedikit paklek, ada amalan yang sedang saya jalankan. Sepertinya sosok yang ingin saya temui bukan roh biasa. Saya merasa harus memantaskan diri,” Balas Danan.

Sepertinya Danan mulai menemukan jalanya.
Tapi aku merasa terlalu membosankan bila melihat Danan terlalu fokus seperti itu.

‘‘Danan, Kita keluar yuk! Bantu aku cari tahu tentang kejadian kemarin..” ajakku pada Danan.
"Boleh, biar paklek istirahat dulu juga,” balas Danan.
"Kejadian? Kejadian apa Mas Cahyo?” Tanya
Abah.

Sepertinya aku lupa menceritakan pada
Abah.
"Saya tidak tahu ini perasaan saya saja, atau memang ada sesuatu. Makanya mau saya pastikan sama Danan,” Jelasku.
Akupun menceritakan tentang sebuah hutan yang kulihat dari sebuah jembatan yang besar. Hutan itu sepertinya terletak di sebuah kampung yang besar. Saat itu aku melihat sosok burung- burung berwarna hitam beterbangan dari dalam hutan itu.
Anehnya, aku bahkan tidak mengenali jenis burung tersebut.

“Astagfirrulahaladzim...”

Abah membaca Istigfar saat mendengar ceritaku. Melihat hal itu akupun mengambil kesimpulan bahwa ini bukan pertanda baik.
"Abah pernah dengan ada hutan keramat di kampung itu. Kalau tidak salah namanya Kampung Wetan Tilasjajah.. Mas Cahyo benar-benar melihat burung itu beterbangan?” Tanya Abah.
"lya Bah, Jelas sekali,” jawabku.
"Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat pertanda itu. Burung-burung itu tidak bisa dilihat oleh orang biasa,” Cerita Abah.
Mendengar cerita Abah aku jadi semakin cepat-cepat ingin mencari tahu tentang hutan itu.
"Ceritakan Bah, ceritakan tentang hutan itu,” pinta Danan.

Abah menggeleng, ia menghela nafas seolah tidak mampu berkata lebih lagi.

"Saya akan temui kenalan saya terlebih dahulu. la lebih mengerti mengenai hutan itu.
Kalau
kalian ingin mencari tahu, kalian bisa datang ke Kampung Wetan Tilasjajah. Semua warga kampung sana tahu betapa keramatnya hutan itu.” Jelas Abah.

"Gimana nan? Kita ke sana?” tanyaku.
"Ayo, mumpung masih siang,” Balas Danan.
"Silahkan cari informasi, tapi jangan coba- coba memasuki hutan itu tanpa persiapan. Jauhi hutan itu sebisa mungkin,” perintah Abah.

Kamipun mengangguk menyetujuinya dan berpamitan meninggalkan rumah Abah.
Aku dan Danan memutuskan untuk mendatangi kampung yang dimaksud oleh Abah. Kami melewati sungai yang besar dan jembatan yang menghubungkanya.
Aku menunjukkan pada Danan dimana aku melihat kejadian yang kumaksud,
tapi kali ini hutan yang kutunjuk itu tak lagi menunjukkan keanehanya.

“Memang ada sesuatu di sana Jul, orang seperti kita pasti bisa merasakanya,” ucap Danan.

“Iya, tapi kita hams mencari tahu lebih jauh,” Balasku.
Aku kembali mengegas Si Mbah Vespa tua kebanggaanku menuju kampung yang bernama Kampung Wetan Tilas Jajah tempat hutan itu berada. Sebuah kampung yang cukup besar, namun tidak terlalu padat.

“Nah!! Ketemu!” teriakku sembari segera berbelok.
“Ketemu apa jul? Ada Petunjuk?” Tanya Danan.
Aku melambatkan motorku yang akhirnya berhenti di sebuah warung makan.

“Ketemu warung lah Nan, masa ketemu demit terus? Makan dulu, dari pagi belum ketemu nasi,” ucapku.

“Ealah Panjul, wis tak anggep serius,” Balas Danan.
Sejakpagi perutku baru terisi bakso tanpa tersentuh nasi. Jadi sudah sewajarnya aku melengkapinya dengan masakan dari warung ini.

“Punten teh..” teriakku menyapa penjaga warung sembari masuk ke warung yang cukup luas itu.
“Mangga A, Dahar didieu?” (Silahkan mas, makan disini?) Tanya perempuan itu.

“Nan, belum pesen udah ditawarin Mangga,” bisikku pada Danan.

“Jangan becanda terus, udah jelas kamu tau artinya,” balas Danan sembari memukul kepalaku.
“Ye.. namanya juga usaha,” balasku.
Kamipun masuk ke dalam dan mengintip lauk yang tersedia di etalase kaca di warung itu.

“lya Teh, makan disini...” Balas Danan.
"Saya pepes ikan ya teh.. nggak pake mangga,” Ucapku.
Dananpun mengambil serbet milik teteh itu dan melemparkanya ke wajahku. Teteh penjaga warung itu hanya tertawa melihat tingkah kami.

"Maafin ya Teh, temen saya lagi kumat. Jadwal kontrolnya udah kelewatan soalnya,” ucap Danan.
Akupun segera mengambil piring yang telah terisi nasi dan pepes ikan dan membawanya ke meja.

"Teh, saya teh pesen es teh buatan teteh yang dibikinya teh pake teh celup dan gulanya teh sedikit ya teh,” Ucap Danan yang sepertinya gatal ingin ikutan menggoda teteh itu.
"Hati-hati teh, temen saya yang itu jadwal kontrolnya malah udah lewat sebulan.. jangan ditanggepin,” Teriakku dari jauh.

Aku dan Danan cukup puas melihat teteh penjaga warung itu menahan tawa melihat kelakuan kami. Sepertinya warga desa sini juga ramah- ramah.
Beruntung becandaan kami tidak mengganggu pelanggan warung yang sebenarnya cukup banyak. Hampir setengah kapasitas warung ini penuh oleh warga yang menyisihkan waktunya untuk istirahat makan.

"Enak Nan,” ucapku memberi dapat tentang masakan yang kumakan.
"Iya Jul, nggak semanis masakan di Klaten tapi masakan sunda masih masuk ke lidah kita. Apalagi pepes-pepesan,” Balas Danan.

Dalam sekejap makanan di piring kami sudah menghilang dan bergeser berganti menjadi segelas es teh manis penutup menu makan kami.
"Teh, kalau hutan yang di sebelah sana itu hutan apa sih teh?” Danan mulai menggali informasi mengenai hutan yang ku maksud.

“Waduh, saya sih taunya itu hutan desa. Tapi memang katanya ada salah satu sisi hutan yang dianggap keramat,” cerita teteh penjaga warung.
"Itu hutan apa teh? Kenapa bisa dianggap keramat?” Tanyaku.

Teteh itu mengernyitkan dahinya.
“Kalau itu saya kurang tahu, biasanya orang- orang yang sudah lama di desa ini yang tau tentang cerita hutan itu,” jelasnya.
Kami mengangguk-angguk mendengar penjelasanya, walau sebenarnya kami cukup kecewa karena tidak langsung mendapat informasi.
“Leuweung Sasar, itu nama hutan keramat yang kalian tanyakan,”
Tiba-tiba seorang pria bergabung dalam percakapan kami. Pria itu duduk bersama temanya sembari menikmati segelas kopi hitam.
“Leuweung Sasar?” Danan Penasaran.
“Leuweung Sasar Tanah Beureum, Orang dulu menyebutnya begitu. Hutan itu selalu membawa petaka,” Teman dari orang tadi ikut dalam perbincangan kami.

Kamipun berbalik arah dan bergabung dengan meja kedua orang itu.
“Eh, Maaf mas sampai lupa memperkenalkan diri.. Saya Danan dan ini teman saya Cahyo. Masnya tahu tentang hutan itu?” Tanya Danan.

“Saya Karta, dan ini Mimin.. Kalian teh bukan orang sini?” Tanya Karta.

“Iya bukan, kami dari jawa tengah,” balasku.
“Pantas saja manggilnya ’Mas’,” balas Mimin.

“Haha.. iya nih, kebiasaan,” Balas Danan.

Kartapun mulai menceritakan tentang keberadaan Leuweung Sasar.
Setiap orang yang memasuki hutan itu hampir dipastikan akan tersesat. Konon mereka tersesat bukan karena tidak mampu menentukan arah. Tapi ada campur tangan ghaib di sana.

Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan yang bisa lolos dari hutan itu.
Bahkan tanaman hijau saja bisa menjadi tanah merah dalam sekejab di sana.

“Seseram itu?” Tanya Danan.

“Lebih dari itu, Hutan itu juga sarangnya ilmu hitam dan pesugihan. Bahkan sebagian orang juga menyebutnya Leuweung Sarebu Lelembut atau Hutan seribu lelembut,” Jelas Mimin.
“Alas Sewu lelembut.. kenapa julukanya bisa sama seperti Alas Wetan ataupun hutan di Desa Gandurejo kampung Nyai Jambrong?” Bisikku pada Danan.

Danan menggeleng, yang pasti saat ini kami mengetahui ada satu lagi hutan yang berbahaya seperti kedua hutan tadi.
"Tapi kalian tidak usah khawatir. Hutan itu sudah di segel dan tidak bisa dimasuki oleh siapapun. Hal yang buruk dari hutan itupun tidak akan keluar bila tidak ada yang mengusik segel itu,” Jelas Karta.

"Segel? Segel seperti apa?” Tanyaku.
Aku membayangkan segel yang dimaksud seperti saat pusaka Mas Linus menutupi Alas wetan dengan kesaktianya. Saat itu jangankan berminat untuk masuk, siapapun bahkan tidak menyadari keberadaan Alas wetan.
"Ada ilmu seseorang yang menyegelnya. Kami juga kurang mengerti, tapi selama ini Kampung Wetan Tilasjajah aman-aman saja hidup berdampingan dengan Leuweung Sasar,” Jelas Karta.

Aku cukup lega mendengar pernyataan itu.
"Saya sempat merasakan sesuatu dari hutan itu. Apa dengan tersegelnya hutan itu saya tidak perlu khawatir?” Tanyaku.

"Abaikan saja, jauhi hutan itu! Bila kalian salah berbuat malah mungkin akan membahayakan desa ini,” ucap Mimin.
Mendengar penjelasan itu kamipun cukup lega. Setidaknya kami bisa mengesampingkan permasalahan di hutan ini terlebih dahulu dan membantu Mas Linggar.
Setelah cukup banyak berbincang, kamipun kembali ke desa dirga. Sebentar lagi maghrib, aku dan paklek sudah berjanji untuk menemui Mas Linggar dan Mas Linus saat matahari tenggelam.

***
Langit mulai memerah, beberapa menit lagi kami sudah tiba di desa dirga dan ingin segera mengejar kewajiban kami untuk beribadah. Tapi sebelum sampai ke desa, kami melihat pemandangan yang cukup mengganjal.
Ada anak kecil terdiam di tengah jalan sembari mengarah ke sebuah bukit. Saat kami mendekat, iapun melangkah dengan tatapan kosong dengan perlahan menuju ke bukit itu.
"Jul, itu anak kecil kenapa?” Tanya Danan.
Aku menoleh ke arah bukit kemana anak itu mengarah. Seketika aku terhenti saat menyadari ada sesuatu di sana.
"Nan! Itu...”
Aku menunjuk ke arah hutan bukit.
Mengerikan..
Dari balik pepohonan aku melihat sebuah tangan besar seukuran pohon pisang dengan jari- jari yang panjang dan tajam. Tangan itu melambai- lambai seolah memanggil anak kecil itu.
“Kejar Jul! Jangan sampai bocah itu ke sana!” Teriak Danan.
Kami berdua segera berlari mengejar anak itu. Danan ke arah anak itu menahanya agar tidak terus melangkah sementara aku mencari tahu sosok apa yang ada di hutan bukit itu.
“Titip anak itu Nan!” Teriakku.
“Hati-hati!”
Aku mempercayakan anak itu pada Danan. Dialah yang lebih ahli dalam mengembalikan kesadaran orang yang terpengaruh sihir.
Kali ini senja terasa begitu mengerikan, langit terlihat begitu merah menerangi hutan yang selama ini kuanggap biasa saja.
“Keluar kau!” Teriakku memancing sosok mengerikan yang masuk ke dalam hutan tadi.
Sayangnya teriakanku sama sekali tidak digubris. Namun samar-samar aku mendengar suara langkah kaki dari salah satu sisi hutan.
Akupun berlari ke asal suara tersebut dan menemukan pemandangan yang lebih membuatku geram.
Ada sebuah batu di sana. Sesajen dan sebuah patung kayu terletak di batu itu. Tapi bukan itu yang membuatku geram. Di pohon-pohon sekitar batu itu terlihat anak-anak kecil yang kakinya tergantung di ranting-ranting pohon besar.
“Keluar!!! Berani-beraninya kalian!” Aku menantang siapapun yang melakukan perbuatan ini.
Tidak hanya setan yang muncul tadi, aku menduga ada manusia yang melakukan ini. Anak- anak kecil itu tidak mungkin tergantung di pohon tanpa campur tangan manusia.
“Cahyo!” Terdengar suara Danan dari jauh.
“Di sini Nan!”
Danan mendekat bersama anak kecil yang sudah tersadar.
"Ini gila!!” ucap Danan.
Melihat kedatangan Danan aku segera pergi menuju anak-anak itu, memanjat pohon dan melepaskan semua ikatanya.
Danan menangkap anak-anak itu dan memastikan keadaanya.
"Mas, Fatan gimana mas? Fatan nggak papa kan?” Tanya anak yang tadi sempat diselamatkan oleh Danan.
Sepertinya mereka saling mengenal.
"Nggak papa, mereka masih hidup. Yang penting kita harus cepat membawa mereka kembali rumahnya,” ucap Danan.
"Kami satu desa mas, tadi satu persatu dari kami menghilang. Kami saling mencari, tiba-tiba saya tidak sadar dan baru sadar setelah ditolong masnya tadi,” ucap anak itu.
Cerita anak itu memperjelas asal muasal kejadian ini. tapi langit mulai gelap, prioritas utama adalah menyelamatkan anak-anak ini terlebih dahulu.
Kamipun membawa anak-anak ini keluar hutan.
Danan segera meminta Mas Jagad menjemput kami untuk membawa anak-anak ini kembali ke desa.
Dan benar saja, tepat saat kembali ke desa sudah ada orang tua dari anak-anak ini yang kebingungan mencarinya.
"Apa yang terjadi Mas Danan?” Tanya Abah dengan wajah khawatir.
"Kami menemukan mereka di hutan dekat desa Bah, ada sesajen dan patung ritual. Mereka tergantung seolah siap ditumbalkan,” ucapku sembari berbisik.
Begitu banyak warga yang datang mengerubungi anak-anak itu. Aku sengaja mengecilkan suaraku agar tidak membuat panik mereka semua. Tapi entah mengapa kami merasa ada seseorang dengan kemeja safari terus memperhatikan kami.
Entah mengapa aku pernah merasa pernah bertemu denganya.
"Ya sudah, kita serahkan mereka kepada orang tuanya. Nanti biar saya yang ceritakan kejadianya ke perangkat desa,” ucap Abah.
Akupun menitipkan anak-anak itu pada Abah dan Danan. Abah bercerita bahwa paklek sudah duluan menghampiri Mas Linggar dan Mas Linus. Menurutnya ada sesuatu yang sepertinya harus segera diurus. Dengan segera aku melaju Simbah lagi ke arah penginapan Mas Linggar.
Kali ini aku membawa sebuah benda yang mungkin seharusnya sudah kukembalikan sejak lama. Pusaka pisau batu...

***
Suara teriakan terdengar dari salah satu kamar di penginapan Mas Linggar. Aku langsung bisa menebak dimana kamar mereka. Dengan cepat aku memarkirkan motor dan memastikan kondisi di dalam.

"Paklek?” aku memastikan apa yang terjadi di
dalam.
Tak bisa kusangka, dalam penglihatanku ruangan ini sudah dipenuhi oleh ular-ular yang merayap di lantai hingga ke dinding-dindingnya. Sementara itu, Paklek tengah memegang dahi Mas Linggar sembari membacakan ayat-ayat suci untuk membersihkan sesuatu dari tubuh Mas Linggar.
"Mas Cahyo?”

Mas Linus sedari tadi terus membaca doa memagari dirinya dari hal buruk yang keluar dari tubuh Mas Linggar. Saat mengetahui kedatanganku, Mas Linus sengaja mengajakku keluar membiarkan Paklek konsentrasi dengan ritualnya.
"Sudah banyak ular yang keluar dari tubuh Linggar, dan itu tidak habis-habis,” ucap Mas Linus.
Ular yang dimaksud Mas Linggar adalah ular ghaib hasil perwujudan ilmu hitam. Sepertinya memang ada sesuatu yang menyerang Mas Linggar.
"Ulah Nyai Kunti itu?” Tanyaku.
"Mungkin, tapi mungkin nanti paklek yang bisa memberi kesimpulan,” jelas Mas Linggar.
Beruntung penginapan ini tidak terlalu ramai. Pengunjung lain mengisi kamar yang berjauhan.
Paklek juga sudah memasang pagar ghaib agar ritualnya tidak mempengaruhi orang lain.
"Oh iya, Mas Linus.. Sepertinya sudah waktunya saya mengembalikan ini,”
Aku mengeluarkan pusaka pisau batu yang sudah banyak membantuku selama ini.
"Pusaka ini ya?” Mas Linus memperhatikan pusaka peninggalan keluarganya itu.
"Ngapunten, Maaf.. sepertinya kekuatanya habis setelah membantu kami di pertarungan terakhir,” Jelasku.
Mendengar ucapanku Mas Linus sedikit tersenyum.
"Syukurlah kalau keberadaan pusaka ini bisa berguna,” balas Mas Linus.
"Dia sudah banyak membantu saya, bahkan menyelamatkan nyawa saya,” ucapku.
Aku teringat saat di hutan bersama Giridaru, pusaka inilah yang menunjukkan jalurku untuk kembali,
bahkan saat tersesat di Jagad segoro demit pusaka ini ikut membantuku dan kliwon untuk keluar dari alam itu. Dan yang terakhir saat melawan Ki Luwang. la sampai kehabisan kesadaranya demi membantu menggunakan Ajian Triwikrama untuk Wanasura.
"Mas Cahyo yakin sudah bisa mengembalikan ini? Bisa saja pusaka ini sudah menjadi bagian dari mas Cahyo?” tanya Mas Linggar.
Aku menggeleng. Selama ini aku paling malas menyimpan benda berharga. Itu adalah amanah yang tidak bisa disepelekan.
"Kasihan Mas, sama saya tidak pernah dirawat. Boro-boro dikasi sesajen, disimpanya saja ala kadarnya,” balasku.
Mas Linus malah tertawa mendengar ucapanku.
"Ya sudah, kalau memang kalian masih berjodoh pasti pusaka ini akan menemukanmu lagi dengan sendirinya,” Kata Mas Linus.
"Saya setuju soal itu,” balasku.
Sembari menunggu paklek menyelesaikan Ritualnya, aku menemani kliwon yang sedari tadi masih menikmati buah-buahan yang entah ia dapat dari mana.
Aku tidak menyangka Kliwon sampai berkelana sejauh itu kembali ke Alas Wetan dan tahu lebih dulu mengenai masalah ini. Sepertinya selain denganku, Kliwon juga memiliki ikatan dengan Mas Linggar.
Entah karena ia adalah orang pertama yang ia tolong, atau karena ia merupakan keturunan dari desa yang berdampingan dengan Alas Wetan.
"Rrrrr”
Saat sedang asik-asiknya menikmati malam, tiba-tiba raut wajah Kliwon berubah menjadi menyeramkan.
la menatap ke arah kamar Mas Linggar.
"Dia datang.. jangan lengah!” Suara Mas Linus tiba-tiba berubah.
Itu adalah suara dari pusaka yang baru saja kukembalikan padanya.
Aku dan Kliwon segera berlari menuju kamar Mas Linggar dan bergegas membuka kamarnya. Saat itu ada kobaran api putih di tubuh Mas Linggar.
la seperti mencoba menahan sesuatu dari tubuhnya dengan bantuan ilmu paklek.
"Jangan disini! Kita ke hutan belakang!” Teriak Paklek memerintahkan aku dan Mas Linus.
Kamipun membantu Mas Linggar berjalan menuju hutan belakang. Jaraknya hanya beberapa ratus ratus meter dari penginapan.
Namun sebelum cukup dalam masuk ke dalam hutan Mas Linggar sudah tidak mampu lagi mempertahankan kesadaranya.
"Sopo sing arep gawe perkoro...?” (Siapa yang mau mencari perkara?)
Itu adalah suara perempuan! Mas Linus berbicara dengan suara perempuan.
Suaranya seperti wanita tua yang lirih dan penuh amarah.
Tapi bukan itu yang kukhawatirkan. Mata Mas Linggar memerah seluruhnya hingga ke bagian putihnya. Aku tahu bahwa tubuhnya merasakan sakit dari kemunculan makhluk itu.
"Ora ono sing nggawe perkoro, Kulo mung pengen tau opo tujuane penjenengan ngerasuki Linggar,” (Tidak ada yang mencari perkara, saya hanya mau tahu apa tujuanya kamu memasuki Linggar), Balas Paklek.
Saat itu tiba-tiba muncul bayangan hitam dari tubuh Linggar.
Bayangan yang besar dari makhluk berwujud wanita dengan rambut yang beterbangan berantakan.
“Dudu urusanmu!” (Bukan urusanmu)
“Kalau tidak ada yang ingin kau katakan, lebih baik tinggalkan tubuh Linggar,” Perintah paklek.
“Cuh, Aku! Aku Nyai Kunti! Tidak ada satupun yang bisa memerintahku!” Teriak sosok itu.
Saat itu seketika angin berhembus dengan begitu kencang. Bayangan tangan Nyai Kunti melayang mencekik paklek dan mencoba menyerang kami.
Paklek sudah bersiap mengeluarkan kerisnya, tapi tiba-tiba Kliwon melompat ke hadapan paklek.
“Gggraarrr!!” Bayangan Kliwon membesar dan membuat Nyai Kunti gentar.
Tidak mau mengalah, kini ia mengincar Linus.
Tangan dan kukunya yang tajam hendak mencengkram wajah Linus. Tapi ia berhenti...
Sosok itu menatap mata Linus baik-baik.
“Yang ada di hadapanmu saat ini bukan manusia sembarangan,”
Itu adalah suara dari kesadaran pusaka pisau batu yang merasuki tubuh Mas Linus.
Kini berganti Nyai Kunti menoleh ke arahku. Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Kukencangkan ikatan sarungku dan memanggil temanku.
“Wanasura!”
Seketika suara auman yang menggelegar memecahkan keheningan desa.
Nyai Kunti yang sebelumnya sombong kini terdiam. la tidak menyangka dengan siapa mereka berhadapan.
Tapi ada satu hal yang tidak bisa kusangkal. la tidak takut...
“Khikhikhi... rupanya kalian sudah tiba,” ucap Nyai Kunti.
Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. Tapi aku yakin yang ia maksud ‘kalian’ adalah Pusaka Mas Linus dan roh Wanasura dan Wanasudra.
“Kami tidak ingin mencari masalah! Kembalikan saja sukma keluarga Linggar dan tinggalkan tubuh Linggar,” Perintah Paklek.
“Khikhikhi.. Kau tahu tidak akan semudah itu aku meninggalkan tubuh ini kan?” Ledek Nyai Kunti.
Ucapanya terdengar biasa, tapi entah mengapa aku merasakan tekanan yang besar saat ia mengatakan ucapan itu.
"Tapi.. aku beritahu sesuatu, bukan aku yang mengambil sukma keluarga Sasena,” ucap Nyai Kunti.
“Tapi... Linggar bercerita sukma mereka terpisah saat kau merasuki dirinya?!” teriak Mas Linus.
“Bodoh, aku hanya memilih untuk menyelamatkan tubuh anak ini.
Sisanya, semua sukma keluarga Sasena sudah diminta oleh D/a..” ucap Nyai Kunti.
“Jadi sebenarnya Nyai Kunti ini penjaga Mas Linggar atau Musuh mereka sih?” Aku semakin bingung dengan sikap makhluk ini.
Tapi mendengar pertanyaanku, sosok bayangan roh perempuan mengerikan itu melesat menerjang tepat di hadapanku.
"Seorang perempuan digilir oleh tujuh pertapa keluarga Sasena! Dihamili hingga tujuh kali dan janinya ditumbalkan!
Hanya anak ketujuhlah yang dibiarkan hidup di dalam perutnya!
Perempuan itu dipasung dan hanya diperbolehkan makan dari bekas mulut ketujuh pertapa biadab itu.
Sepanjang hidupnya ia habiskan di dalam goa dengan terus mendengar mantra terkutuk sampai perempuan itu mati bersama janinya terkubur hidup-hidup di dalam Goa,”
Teriak Nyai Kunti dengan wajah penuh amarah.
"Itu adalah ritual menciptakan khodam, tapi caranya sangat keji,” ucap Linus.
"Sekarang menurutmu perempuan itu harus menjaga keluarga itu? atau mengutuk keluarga itu?” Tanya Nyai Kunti sembari berpaling meninggalkanku.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Sudah sewajarnya Nyai Kunti menuntut balas. Tapi tadi ia
berkata bukan ia yang menculik sukma keluarga sasena.
"Mereka ada di dekat tempat ini, semua pencari ilmu sedang berlomba-lomba untuk memberikan pengorbananya untuk ‘Dia’.
Mereka mengumpulkan tumbalnya di sebuah hutan yang seharusnya tidak boleh dimasuki lagi,” Ucap Nyai Kunti.
" Apa itu Leuweung Sasar? Dan Dia siapa?” gumamku.
Belum sempat menjawab tiba-tiba Mas Linggar memuntahkan darah bersama hilangnya bayangan roh Nyai Kunti.
Mata Mas Linggar melotot dan tubuhnya mulai kejang.
Paklek tidak lengah sedikitpun. la menyalakan api putih dalam tanganya dan meletakkan di dada Mas Linggar hingga tubuhnya kembali tenang.
"Li—Linggar? Linggar kenapa paklek?” Tanya Mas Linus.
"Sudah, ia selamat. Kita tepat waktu. Sepertinya aku hams melatih jalur sukma Linggar sebelum Nyai Kunti merebut kesadaranya lagi. Itu akan berbahaya bagi nyawanya,” ucap Paklek.
Belum sempat paklek menyelesaikan pengobatanya, Mas Linggar tiba-tiba berdiri memaksakan dirinya dan menghampiriku.
"Hutan apa yang ia maksud? Leuweung sasar? Tunjukkan dimana,” Ucap Mas Linggar sembari meremas bahuku.
"Tenang Linggar! Pulihkan dulu tubuhmu!” Ucap Mas Linus yang terlihat khawatir.
Jelas tidak mungkin aku memberi tahu tempat itu dalam kondisi Mas Linggar yang belum pulih.
"A—Abah, Abah yang tahu dimana hutan itu. Kita harus bertemu beliau kalau mau ke sana,” ucapku sembari memberi kode pada paklek.
Paklek mengangguk setuju dengan rencanaku. Setidaknya kami bisa mengulur waktu Mas Linggar agar tidak nekad ke hutan itu.
"Kalau begitu kita ke tempat Abah sekarang,” ucap Mas Linggar.
"I—iya,” balasku.
Mas Linggarpun meminta kami bergegas menemui Abah. Sesuai permintaanya kami mengajak Mas Linus dan Mas Linggar menuju kampung Abah.
Dengan menggunakan satu motor tua dan kendaraan umum, cukup lama waktu yang kami butuhkan untuk sampai di desa Abah. Tapi saat sampai di desa Abah, semua tidak seperti yang kubayangkan.
Seluruh desa mati listrik. Tidak ada pencahayaan selain dari senter dan lilin-lilin dari dalam rumah.
"Ini ada apa?” Tanya Paklek.
"Nggak tahu paklek, tadi pas aku tinggal nggak begini,” ucapku.
Aku mencari keberadaan warga, namun semua berdiam di dalam rumah.
Ini jelas tidak wajar..
Paklek menatap ke salah satu sisi. Ia menatap ke sesuatu yang sama sekali tidak aku sadari. Ia menggeleng-geleng melihat ke sosok itu.
"Apa paklek? Ada apa?” Tanyaku.
"Perhatikan baik-baik! Makhluk itu ada di sana,” Balas Paklek.
Akupun memperhatikan arah yang ditunjukkan oleh paklek. Awalnya aku cukup kebingungan, namun saat tersadar tubuhkupun bergetar.
"Besar.. sebesar itu? itu setan?” Tanyaku.
Makhluk itu terlihat dari desa ini. Aku tidak menyadarinya karena mataku tak mampu menangkap besarnya sosok itu. Dari tempatku hanya terlihat makhluk berbulu dengan mata merah yang besarnya hampir setengah desa.
"Gandara Baruwa..” Gumam Mas Linggar.
"Apa? Gandara?” tanya Paklek.
"Dia makhluk yang meminta banyak tumbal di penglihatanku, dia juga yang menculik sukma ibu dan ketiga pakdeku,” Ucap Mas Linggar.
Gila! Makhluk apa lagi yang harus kita lawan kali ini?? Besarnya saja mungkin hampir sebesar buto lireng.
Siapapun yang bisa melihatnya pasti akan gentar.
"Berarti di sana leuweung sasar?” Tanya Mas Linggar.
"I—iya mas,” balasku dengan spontan.
Tapi setelah beberapa saat, Penglihatan kami akan makhluk itu perlahan menghilang seperti disembunyikan oleh sesuatu di hutan itu.
Mas Linggar segera mengeratkan tasnya dan berlari ke arah makhluk itu.
"Tunggu mas! Jangan nekad!” Teriakku.
Kami berteriak mengejar Mas Linggar, tapi di perbatasan desa akhirnya kami menemui Abah, Jagad dan Danan yang tengah berdiri dengan tatapan serius di sana.
"Ini apa-apaan Nan?” tanyaku pada Danan.
Danan mengetahui kedatangan kami dan menceritakan permasalahanya.

"Merekalah yang mau menumbalkan anak- anak yang kita tolong tadi,” Ucap Danan.

Ada seseorang berpakaian hitam dengan janggut panjang.
Di sekitarnya bergelimpangan tubuh anak-anak kecil yang tak dapat kulihat sukmanya. Di belakangnya sudah ada beberapa mobil dan pria berpakaian pendekar yang sudah bersiap di sepeda motornya.

Rupanya mereka tidak terima saat kami menyelamatkan anak-anak itu dari hutan.
“Mbah Sugik! leu teh langsung urang mawa ka leuweung sasar bae mbah?” (Mbah Sugik! Ini langsung saya bawa ke Leuweung Sasar saja mbah?) tanya salah satu dari pengikut orang itu.

Kakek berpakaian hitam itu mengangguk dan anak buahnya segera meninggalkan tempat itu.
Rupanya anak buahnya memanggilnya dengan nama Mbah Sugik.
“Brengsek!” Danan yang mencoba menghadang mereka.

Tapi dukun tua itu segera menghadang Danan yang tiba-tiba terpental oleh sesuatu yang melindungi dukun itu.
Akupun menangkap tubuh Danan dan bersiap membantunya.
"Apa yang mereka bawa?” Tanyaku.

"Masing-masing dari mereka membawa pusaka peti batu, sukma anak-anak itu di dalam benda itu!” Ucap Danan.
Brakkk!!!
Terdengar suara sepeda motor terjatuh dari kejauhan. Ada suara perkelahian dari sana. Saat melihat Mas Jagad tidak ada disekitarku, aku menduga itu adalah ulahnya.
"Minggir kau kakek peyot!” Teriakku sembari mengibaskan sarungku untuk menyerangnya.
Tapi berbeda dengan Danan, bila Danan terpental oleh ilmu dukun itu. Aku malah tak mampu menyentuhnya. Berkali-kali aku menyerangnya dan seranganku hanya menembus tubuhnya.
"Jangan gegabah Cahyo!” Teriak paklek.
Benar saja, semakin sering aku menyerang kakiku semakin menghitam dan semakin berat. Akupun panik dan melompat mundur.
Danan segera memutihkan kutukan dari kakiku dengan doa-doa yang ia bacakan.
Bukan masalah besar, tapi akan menjadi besar bila kami tidak bisa mengalahkan dukun itu.

"Dua kotak sudah hancur! Kita hanya tinggal menarik sukma mereka kembali ke tubuhnya. Tapi masih ada dua kotak lagi di tangan mereka,”
ucap mas Jagad yang tiba-tiba muncul dari tempat yang tidak kuketahui.
"Jagad! Kau susul mereka bersama Cahyo, jangan sampai mereka masuk ke hutan itu, biar kami yang berurusan dengan dukun itu” Perintah Abah.
Aku dan Mas Jagad mengerti perintah Abah. Mas Jagadpun menyalakan mobil bak terbukanya dan menjemputku untuk mengejar orang-orang itu.
"Kami ikut!” Tiba-tiba Mas Linggar dan Mas Linus sudah ada di bak belakang.
Sayangnya kami tidak punya waktu untuk mendebat mereka. Akupun menoleh pada paklek meminta persetujuanya, dan paklek mengangguk.
"Paklek akan menghadang orang-orang itu dengan wujud sukma! Kalian susul mereka secepatnya!” ucap Paklek.
Dengan segera, Jagad melaju mobilnya meninggalkan desa yang seketika menjadi begitu kelam ini.
Belum sempat jalan terlalu jauh, tiba-tiba Mas Jagad mengerem mendadak mendapati sosok ular besar menghadang kami.
Kami ingin keluar, tapi tiba-tiba api besar menyambar dari belakang kami dan mengusir makhluk itu.
"Itu api paklek!” Ucapku.
Rupanya paklek sudah menggunakan ilmu ragasukmanya untuk mengejar anak buah Mbah Sugik.
Mas Jagadpun kembali menginjak gasnya dan mengejar para pengikut dukun itu.
"Semoga Danan bisa menghadapi dukun itu,” ucapku yang cemas dengan keadaan Danan.
"Tenang, ada Abah disana. Setelah paklek berhasil menghadang anak buah dukun itu ia akan segera menyusul Danan,” Hibur Mas Jagad.
Kami melewati jembatan penghubung Kampung Wetan Tilasjajah,
sebentar lagi kami sampai ke arah hutan yang disebut dengan Leuweung Sasar itu.

Braaaakk!!!!

Terdengar suara motor yang terjatuh di sekitar hutan. Sepertinya Paklek berhasil menghentikan mereka. Kamipun memarkir mobil di pinggir jalan utama dan berlari ke arah mereka.
"Mas Linggar! Jangan jauh-jauh dari kami!” Ucapku.

"Tenang Cahyo, aku awasi Linggar,” ucap Mas Linus.

Mendengar ucapan itu aku menjadi cukup lega. Dengan segera aku meminjam kekuatan wanasura untuk menguatkan kakiku.
Dengan beberapa kali lompatan akupun berhasil menyusul keempat orang yang membawa sukma anak-anak di desa Abah.

“Serahkan kotak batu itu!” ucapku.
Bukanya berhenti , mereka malah ingin berlari menuju kedalam hutan.
Beruntung mas Jagad segera mencegahnya. Sayangnya mereka bukan orang biasa.
Mereka mampu menandingi ilmu beladiri mas
Jagad.
“Hentikan! Jangan mau jadi hamba setan!” Teriakku mencoba menyadarkan mereka.
“Hahaha... Hamba setan? Merekalah yang melakukan perintah kami! Memberi kami kekayaan, kekuatan, bahkan untuk mencabut nyawa kalian!” Teriak salah satu dari mereka.
Benar saja, seketika muncul makhluk besar berbulu yang hampir sebesar pohon keluar dari balik pepohonan.
“Sialan! Bagaimana bisa ada genderuwo sebesar itu!” Teriakku.

“Itu! Itu anak buah Gandara! Berarti benar disinilah tempat sukma ibu tertahan” Teriak Mas Linggar.

“Wanasuraaa!!!”
Tak mau lengah sedikitpun, akupun meminjam kekuatan wanasura lagi untuk memperkuat bagian tubuhku.
Sebuah pukulan kuhantamkan ke tanah untuk menggoyahkan pijakan para pengikut dukun itu.
Tapi belum sempat melancarkan serangan lagi, tangan besar genderuwo itu bersiap melumatku.

Beruntung mas Jagad berhasil menarik tubuhku untuk menjauh. Tidak seperti genderuwo pada umumnya yang takluk dengan beberapa bait doa, makhluk ini benar-benar kuat.
Sesekali aku menyerang bagian tubuhnya namun semua itu hanya membuatnya mundur sesaat.

"Serahkan ini pada tuanmu!”

Anak buah dukun itu menitipkan kedua kotak batu itu pada makhluk raksasa yang melindunginya.
Perlahan makhluk itu mencoba menghilang dibalik gelapnya hutan.

“AAArrrggh!!! Jangan kabur!!”

Aku melepas sarungku dan mengibaskanya sekuat tenaga.
Dengan ajian penguat raga kuhempaskan satu persatu anak buah dukun itu hingga terkapar.
Dengan terpaksa Mas Jagad melumpuhkan mereka dengan mematahkan beberapa tulang mereka. Ada salah satu diantara mereka yang berlari menjauh.
Akupun mengambil sebuah batu besar dan memasukkanya ke dalam sarungku. Dengan beberapa kali ayunan, aku melemparkan sarungku hingga batu itu mendarat di tubuh orang itu dan terkapar.
Tapi.. rupanya keputusanku salah.
Aku terlalu berkonsentrasi pada anak buah dukun itu, sementara Mas Linggar sudah mulai bertingkah aneh. Matanya memerah lagi dan giginya berderit.
"Kalau kau memang penjaga Sasena! Pastikan bahwa kau memang berguna!” Geram Linggar.

"Linggar! Kamu jangan gila!! Tahan Mas
Linus.
Belum sempat aku menggapai tubuh Mas Linggar, tiba-tiba ia melesat seperti kilat menuju ke dalam hutan keramat itu.
"Aaaarrggg!! Kenapa jadi gini sih!” Keluhku yang segera menyusul Mas Linggar.
"Cahyo! Tunggu! Jangan sendirian!” Teriak Mas Jagad.
Tanpa sengaja kami semuapun masuk ke dalam hutan itu.
Disegel? Aku memang merasakan beberapa residu kekuatan dari pagar yang tak kasat mata. Tapi energi itu sudah lama menghilang.

"Pusaka batu? Bisa bantu aku?” Tanya Mas Linus pada pusakanya, sayangnya pusaka itu sama sekali tidak memberi respon.
"Sial, kemana kau saat dibutuhkan!” Keluhnya lagi.
Kamipun berhasil meleihat sosok Genderuwo itu. Mas Linggar dengan cepat menyusulnya dan menaiki tubuhnya.
Tak seperti Mas Linggar yang kukenal pendiam, kini ia mengamuk dengan mencengkeram kepala genderuwo itu.
“Jangan remehkan aku bocah tengik!” teriak Nyai Kunti yang tengah merasuki Mas Linggar.
Ini benar-benar pemandangan yang tak pernah kuduga. Dengan sekali gerakan Nyai Kunti Menjambak kepala genderuwo besar itu dan memisahkan kepalanya dari tubuhnya.

“Duuummmm!!!” Suara dentuman terdengar dari jatuhnya suara makhluk besar tak kasat mata itu.
“Gi—gila! Satu lagi setan gila ada di dekat kita,” ucapku.
“Kalau sampai jadi musuh dia akan merepotkan,” ucap mas Jagad.
“Tapi bukan itu saja masalahnya,” tiba-tiba Mas Linus menyusul kami dari belakang.
Kami menoleh ke arahnya sembari mengawasi perilaku Mas Linggar.
“Jalan masuk kita tadi menghilang...” Ucap Mas Linus.
Aku tertegun, sekali lagi aku lengah.
Akupun berlari menuju arah kedatangan kami dan sama sekali tidak menemukan jalan menuju tempat kami masuk.
“Sial! Ini benar-benar masalah besar!” Teriakku.
"Nggak usah panik Cahyo! Nanti biar aku coba mencari jalurnya dari alam ghaib,” Hibur mas Jagad.
“Bukan!!! Bukan Itu!!” Teriakku.
Mas Jagad dan Mas Linuspun bertatapan.
"Sarungku ketinggalan! Bisa-bisanya aku kepikiran nyerang anak buah dukun sialan itu pake ketapel sarung!” Jawabku dengan wajah depresi.

***
(Sudut pandan Danan...)
"Ingat Danan, Tidak ada ilmu hitam yang melebihi kekuasaan Tuhan,” Abah mencoba membuka mataku untuk mencari celah melawan Mbah Sugik.
"Tenang Bah, masih banyak cara yang belum kucoba,” balasku.
Sekali lagi aku mencoba mendekati Mbah Sugik. Ada pagar tak kasat mata yang membuatku terpental, tapi tidak seperti tadi. Abah memurnikan tanah tempat kami berpijak sehingga ajian dukun itu melemah.
Sembari terus mencari celah, aku membacakan ajian pada kepalan tanganku.
"Angin topan memiliki pusat yang tenang,” ucap Abah mencoba memberi petunjuk.
Aku mengerti maksud Abah.
Dari setiap bagian yang kudekati aku selalu terpental sampai akhirnya aku memisahkan sukmaku dari ragaku dan melayang tepat ke atas Mbah Sugik.

Sebuah pukulan jarak jauh kulontarkan tepat dari atasnya.
Dan benar saja, pagar yang digunakan Mbah Sugik tidak melindungi dirinya dari titik ubun- ubunya.
Seranganku mendarat tepat di tubuhnya, tapi aneh... tiba-tiba tubuh Mbah Sugik menghilang.
Aku mencarinya ke segala arah, tapi tidak ada tanda-tanda dari dirinya.
"Dia sudah melarikan diri,” Ucap paklek yang sukmanya sudah kembali ke dirinya.
Akupun kembali ke tubuhku dan menghampiri mereka.
"Kabur?” tanyaku.
"Tumbal anak kecil mudah didapatkan dibanding harus bertarung dengan kita,” jelas paklek.
Sialan, berarti dia bermaksud mencari tumbal di tempat lain. Aku benar-benar lengah.

"Sekarang lebih baik kita tolong anak-anak ini dulu,” Ucap Paklek.

"Kita tolong warga desa dulu Paklek, mereka akan memantu kita mengevakuasi tubuh anak-anak ini,” Pinta Abah.
Paklek setuju, mereka akan ke desa untuk menghilangkan kutukan yang dipasangkan Mbah Sugik pada Desa ini. Tapi aku tidak bisa meninggalkan anak-anak ini.

Akupun memutuskan untuk memisahkan sukmaku dari ragaku.
Wujud ini mempermudahku mengumpulkan sukma anak-anak yang berhasil diselamatkan tadi.

Malam terlihat begitu kelam saat itu. Dalam alam roh aku berjalan menyisiri jalan di pinggir hutan
menyaksikan sukma dari anak-anak desa yang terdiam tanpa tau apa yang terjadi.
"Ayo kita kembali,” ajakku pada roh seorang anak yang termenung sendiri di sisi hutan.
Aku berjalan lagi dan kembali menemukan beberapa roh anak desa yang melayang-layang dengan tatapan kosong.
Sayangnya, tidak ada hutan yang tidak berpenghuni. Seluruh penunggu hutan terlihat mengincar roh anak-anak yang sebenarnya masih hidup itu.
"Tenang kalian akan aman, setelah ini kalian akan bisa bertemu orang tua kalian,” ucapku.
Merekapun menurut dan berjalan tidak jauh dari tempatku berada.
Tapi tepat saat aku ingin mengembalikan mereka. Terlihat ada seseorang berdiri diantara tubuh anak-anak desa itu.
Pria berbaju safari cokelat yang terlihat tidak asing. Wajahnya penuh dengan amarah saat mendapati tubuh anak-anak itu terkapar di tanah tanpa rohnya.
Iapun menoleh ke arahku dengan mengenggam benda kecil seperti gelang.
Dengan cepat aku segera mengenali bahwa itu adalah sebuah pusaka.
“Jadi... Kau setan yang merampas sukma mereka?” Ucap orang itu dengan mata yang menatap tajam ke arahku.
Setan? Benar.. aku lupa kalau aku sedang dalam wujud sukmaku.
Cringg!!
Terdengar suara dari gelang pusaka yang dibawa oleh orang itu. Seketika aku merasakan bahaya yang menakutkan.
Orang itu menghentakkan kakinya di tanah dan membunyikan gelang itu beberapa kali.
Jelas aku tahu itu bukanlah hal yang biasa. Itu adalah ritual pemanggilan.
“Gggrrrrrr....”
Anginpun berhembus bersama dengan terdengarnya suara hewan yang menakutkan.
Suaranya benar-benar menyerupai suara macan hutan yang mengerikan.
Siapa orang sakti itu? Dan makhluk apa yang mengikutinya?

***
(Bersambung Part 3 - Pendekar Pasundan )
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga selesai.
Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian yang menyinggung.

Seperti biasa buat yang mau baca kelanjutanya duluan atau sekedang mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya 🙏

karyakarsa.com/diosetta69/ala…
Alas Sewu Lelembut
Part 3 - Pendekar Pasundan

Tokecang, tokecang…
Balagendir tosblong…
Suara itu mendekat menuju ke arah desa.

Imah akang, bau arang…
Barudak leutik.. Gosong…
(Rumah abang, bau arang.. Anak kecil.. Gosong…)
#bacahorror @bacahorror @bagihorror @rabumisteri Image
(Sudut Pandang Cahyo…)
“Cahyo! Jangan gegabah! Itu hanya sebuah sarung!” Teriak Jagad.
Bukanya tidak mempedulikan ucapan Mas Jagad, namun sarung itu memiliki arti yang penting untukku.
Tapi setelah berpikir sesaat aku merasa ucapan Mas Jagad ada benarnya, sepertinya masalah Mas Linggar masih lebih darurat.

“Baik mas, kita cari nanti saja,” Balasku.

Tapi tepat saat aku membalikkan badan, tiba-tiba Mas Jagad dan yang lainya sudah menghilang dari pandanganku.
“Mas Jagad! Mas Linggar!” Teriakku memanggil mereka, namun tidak ada satupun jawaban dari mereka.

Sebaliknya mulai ada kabut pekat yang menyelimuti hutan ini.

Samar-sama aku merasakan ada sosok yang mendekat. Sosok pria berambut gondrong muncul dari balik kabut.
Ada sesuatu yang menarik perhatianku. Ia menenteng sebuah sarung yang sangat kukenal.

"Heh! Itu sarungku! Balikin!" ucapku yang menyadari sarungnya berada di gengGaman orang itu.

Pria itu tidak menjawab dan terus berjalan ke arahku dengan tatapan dingin.
“Jadi kamu yang menghabisi orang-orang itu?” Ucap pria gondrong itu.

Aku mencoba mencerna apa yang ia maksud. Apa yang dimaksud adalah anak buah dari Dukun bernama Mbah Sugik itu? Apa dia salah satu dari mereka?

“Mereka pantas mendapatkanya,” ucapku.
Aku merasa orang ini berbeda dengan anak buah Mbah Sugik yang lainya. Entah mengapa aku merasa ia jauh lebih berbahaya. Tingkahnya seperti makhluk buas yang sedang menahan amarahnya hingga menggeram.
"Ah elah, udah cukup aku saja yang tingkahnya kayak monyet, jangan ada lagi orang yg tingkahnya kaya hewan buas", balasku saat melihat wajah Budi yang berlaku layaknya hewan hutan.

Walau sedang menahan amarahnya, orang itu tetap menjaga jarak dariku seolah tidak meremehkanku.
"Heh Balikin! Sarung itu mengandung kutukan aroma keringat pendekar jawa yang bisa membuat hidupmu nggak tenang! Buat ikat rambutmu juga bakal jadi sarang kutu!" Ucapku lagi.

Pria Gondrong itu masih belum mau menyerahkan sarungku.
“Untuk apa tujuan kamu masuk ke dalam leuweung sasar!” tanya Budi semakin penasaran.
Baru saja aku akan menjawab, tiba-tiba secara bersamaan kami mendengar jelas suara lengkingan teriakan perempuan sangat kencang dari dalam leuweung sasar.

***
(Sudut Pandang Danan…)

Suara auman makhluk mengerikan terdengar di sekitarku bersama sebuah ritual singkat dari seseorang yang berada di hadapanku sekarang.

“Jangan jauh-jauh dari mas ya,” Ucapku pada sosok roh anak-anak yang mulai ketakutan itu.
Hentakan kaki orang itu mampu membuat tanah di bawahnya bergetar, dan semua semakin mengerikan ketika samar-samar terlihat makhluk hitam yang tingginya melebihi tubuh manusia dewasa.

Siapa orang ini? Apa dia ada hubunganya dengan Mbah Sugik?

“Grraaaoorrr….”
Aku menggenggam wujud roh Keris Ragasukma bersiap menghadapi sosok apa yang akan kuhadapi.

Sesuatu mendekat ke arahku, ia menerjang dengan begitu cepat dengan wujud yang mengerikan. Itu sebuah cakar!
Aku tidak bisa membayangkan wujud sebenarnya dari makhluk mengerikan ini. Setidaknya aku harus bisa menyelamatkan diri dari serangan ini terlebih dahulu.

Akupun bersiap menghalau cakar besar itu dengan Keris Ragasukma di tanganku.
Tapi… tepat sebelum cakar itu beradu dengan Keris Ragasukma, tiba-tiba makhluk itu terhenti.
Terlihat.. terlihat dengan jelas dihadapanku saat ini. Seekor macan berukuran sangat besar berwarna hitam.
Wujudnya begitu mengerikan. Aku yakin siapapun lawan dari makhluk ini akan gentar melawanya.
Aku melihat seseorang yang memanggil sosok ini. ia masih menutup matanya sembari terus menggenggam pusaka gelang miliknya.
Tapi saat menyadari makhluk utusanya berhenti menyerangku, iapun membuka matanya.
“Apa yang terjadi?” ucap orang itu yang kebingungan dengan makhluk suruhanya itu.
Kebingunganya sama dengan apa yang kurasakan.
Tapi macan hitam raksasa itu malah berbalik arah menuju tuanya dan tubuhnya mengecil secara perlahan.

Semakin wujudnya kecil jalanya semakin tertatih layaknya seekor kucing yang pincang.

Tunggu? Kucing pincang? Jangan-jangan?
Akupun menggunakan kesempatan itu untuk kembali ke tubuhku dan menghampiri orang itu. Aku yakin ada kesalahpahaman diantara kami.

“Kenapa? Kenapa kamu tidak mau menyerang makhluk itu?” Tanya orang itu pada sosok kucing hitam yang kini bermanja-manja di kakinya.
“Mungkin karena ia tahu ada kesalahpahaman diantara kita,” balasku sembari mendekat kepadanya.

“Tunggu? Kau manusia? Lantas tadi?” Pria itu cukup bingung melihat wujudku yang sudah kembali ke tubuh.
Aku menunjukkan pusaka Keris Ragasukmaku padanya dan menjelaskan apa yang terjadi.

“Dengan kemampuan keris ini aku bisa melakukan ajian Ragasukma, memisahkan roh dengan tubuh. Dengan cara itu aku lebih mudah untuk menemukan sukma dari anak-anak ini,” jelasku.
“Jadi Aa’nya bukan setan?” Tanya pria itu.
Akupun menjulurkan tanganku padanya.

“Nama saya Danan, Dananjaya Sambara. saya dan teman saya sedang mencoba menolong anak-anak ini. Tapi sepertinya masih ada sukma beberapa mereka yang belum bisa saya temukan,” ucapku.
“Wah, kalau gitu maafkan saya A, Saya Gama. Saya juga sedang mencari pelaku yang membuat masalah serupa di desa saya,” balasnya.
“Salam kenal Mas Gama, tapi bagaimana kalau perbincanganya kita tunda dulu. Biar saya pulihkan dulu beberapa anak yang sukmanya berhasil saya temukan,” balasku.

“Baik A’ , Biar saya bantu..” ucapnya.
Kamipun menghampiri tubuh anak itu satu persatu dan mengarahkan sukmanya untuk kembali. Aku memperhatikan Gama yang ternyata juga memiliki kemampuan untuk memulihkan anak-anak ini.

Sembari menolong mereka,
tak lama kemudian Abah dan Paklek datang bersama beberapa warga desa yang segera membantu mengevakuasi anak-anak yang sudah sadar.
“Mereka gimana mas? Apa sudah bisa dipertemukan dengan orang tuanya?” Tanya salah satu warga desa.
“Yang sudah sadar sebaiknya segera dibawa pulang agar orang tuanya tidak khawatir. Tapi mereka yang belum sadar sebaiknya dibawa ke rumah sakit,” balasku.

Abah tersadar dengan keberadaan seseorang yang berada di dekatku, Gama.
“Punten, Aa’ teh siapa?” Tanya Abah pada Gama.
“Eh, Iya pak. Saya Gama, tadi saya dari Kampung Wetan Tilasjajah. Tadi ada sedikit insiden dengan mas Danan,” balas Gama.

Aku mendekati Paklek sembari membisik kepadanya.
“Hati-hati Paklek, dia juga orang sakti. Kucing itu ga kalah serem sama kliwon,” bisikku.

Paklek mengernyitkan dahinya tidak percaya. Sekilas kucing itu memang hanya terlihat seperti kucing hitam yang pincang biasa.

“Ojo guyon kowe nan,” (Jangan bercanda kamu Nan) Balas Paklek.
“Yah.. nggak percaya,” ucapku.
Akupun menepuk tanganku dan memanggil Gama.

“Gama! Nih Paklekku nggak percaya kalau kucing itu bisa jadi makhluk raksasa?!” Teriakku.

Gama segera menghampiri ke arahku sambil menepuk pundakku.
“Jangan begitu Danan, aku nggak bisa seenaknya memanggil dia. Hanya saat dalam keadaan berbahaya saja,” balasnya.

“Haha, benar juga,” balasku.

Ternyata Gama juga sama. pusaka dan khodam yang ia miliki tidak bisa seenaknya digunakan.
tapi ternyata perbincanganku dengan Gama tadi menarik perhatian Abah.

“Kucing? Raksasa?” tanya Abah.

Ia melihat di tangah Gama masih tergenggam sebuah gelang kecil yang tadi ia gunakan untuk ritual pemanggilan khodamnya.

“Apa itu gelang gengge?” Tanya Abah.
Mendengar pertanyaan itu sontak Gamapun kaget. Tak hanya Gama, akupun jadi penasaran apakah Abah tahu tentang orang ini.

“I—iya pak, Bapak tahu gelang ini?” Tanya Gama
.
“Jangan bapak, saya biasa dipanggil Abah. Nak Gama ini, apa kenal Ki Duduy?” tanya Abah.
“Eh, Abah kenal Ki Duduy? Ki Duduy teh kakek saya,” balasnya.

Aku mendekat pada Abah mencari tahu apa yang ia maksud.

“Ki Duduy itu orang yang mau aku pertemukan sama Mas Danan, malah bisa kebetulan begini ketemu dengan cucunya,” Ucap Abah.
“Memangnya Mas Danan ada perlu apa dengan Ki Duduy?” Tanya Gama.

Sebenarnya aku masih ragu menceritakan hal ini kepada Gama, tapi apabila Gama memang cucu dari orang yang dimaksud Abah mungkin aku harus menceritakanya.

“Saya ingin mencari tahu tentang sosok seseorang,” jawabku.
“Kami menduga sosok yang Mas Danan maksud adalah Ki Langsamana. Jadi saya berpikir ingin mempertemukan Mas Danan dengan Ki Duduy,” tambah Abah.

Gama terdiam sejenak sepertinya ia sedikit berhati-hati menanggapi ucapan kami.
“Gelang ini adalah peninggalan Ki Langsamana, menurut Kakek sosok yang berhadapan dengan Danan tadi juga peninggalan Ki Langsamana.

Kami menyebutnya Meong Hideung. Tapi untuk menjawab pertanyaan Mas Danan, saya sendiri takut salah berbicara.” Jawab Gama.
Melihat Gama menunjukkan gelang itu aku teringat bunyi krincing dan suara kucing saat sosok itu menolongku dari pembatuan.

“Tapi mungkin saya bisa mempertemukan Kalian dengan Kakek saya Ki Duduy agar informasi yang Danan butuhkan bisa lebih akurat,” tambah Gama.
Aku dan Abah cukup lega mendengar ucapan Gama.

“Terima kasih, semoga kami berjodoh bertemu beliau,” balasku.

“Tapi Punten, saya masih ada suatu hal yang harus saya lakukan. Ada anak kecil di kampung saya yang menghilang dengan misterius.
Setelah urusan ini selesai saya akan menghubungi Abah dan Mas Danan,” Ucap Gama.

Mendengar ucapan itu aku sedikit tersenyum. Rupanya selain kami masih ada juga orang yang mau repot-repot membantu orang lain dalam masalah serupa.
“Iya Gama, kami juga harus menyelesaikan masalah di tempat ini dulu,” balasku.

Aku teringat dengan anak-anak yang masih belum tersadar. Harus ada yang mengangkutnya ke rumah sakit, tapi Mobil Mas Jagad sedang tidak ada di tempat.
Walaupun ada, tidak mungkin juga membawa mereka di mobil bak Mas Jagad.

Di tengah kebingungan kami dari jauh kami melihat nyala lampu mobil mendekat ke arah kami. Orang itu turun dan menanyakan perihal keramaian di tempat ini.
“Maaf Abah, itu ada yang mau bantu nganter anak-anak itu ke rumah sakit,” ucap salah satu warga desa.

Abah menghampiri orang itu untuk memastikan. Masalahnya di desa ini jarang sekali yang memiliki mobil.
Mungkin tak hanya aku, Abah juga khawatir kalau orang itu adalah komplotan dari dukun bernama Mbah Sugik itu.

Setelah berbicara sebentar, Abahpun kembali dan memerintahkan warga untuk memasukkan anak-anak itu ke dalam mobil.
“Abah? Bener nggak papa? Abah kenal orangnya?” Tanyaku.

Orang itu datang menghampiriku dan memberikan salam.

“Permisi Mas Danan, biar saya yang nganter anak-anak ini ke rumah sakit. Harusnya masih muat untuk membawa perwakilan orang tua mereka juga,” jelas orang itu.
Aku menatap orang itu, wajahnya terlihat tidak asing untukku.
“Ini Putra, pemilik pabrik tahu yang pernah Mas Danan datangi..” Jelas Abah
Aku berpikir sejenak dan teringat akan kejadian saat aku menemukan warangka di pabrik itu.
Sebuah pabrik yang menyimpan kematian misterius dari seorang wanita.

“Owalah Mas Putra, pangling saya. Saya jadi tenang kalau gitu. Titip mereka ya Mas,” Ucapku.

“Siap Mas Danan. Mas Danan juga istirahat, jangan maksain diri,” balas Mas Putra yang segera berpamitan padaku.
“Kalau begitu saya juga mau pamit mas, maaf tadi sudah salah paham,” Gamapun mendekat ke arahku.

“Eh Iya nggak papa, hati-hati ya mas. Kita ketemu lagi secepatnya,” balasku.

Setelah kepergian mereka, aku bersiap untuk menyusul Cahyo. Tapi Paklek melarangku.
Menurutnya mereka berempat sudah cukup. Paklek merasa masih ada kemungkinan Mbah Sugik dan anak buahnya kembali ke tempat ini untuk mengincar lagi anak-anak yang masih lemah.
Akhirnya Aku, Abah, dan Paklekpun memutuskan untuk menjaga desa dan mempercayakan sisa anak buah Mbah Sugik yang kabur itu ke Cahyo dan Mas Jagad.
Sejak kejadian malam itu Desa Abah mengadakan pengamanan keliling dengan jumlah orang yang lebih banyak. aku sempat beristirahat, tapi entah mengapa Paklek terlihat begitu cemas. Biasanya ia adalah yang paling tenang menghadapi permasalahan seperti ini.
Malam setelahnya keadaan di desa ini berubah drastis. Desa yang sebelumnya ramai dengan aktivitas warga kini menjadi begitu sepi.

Warga terutama anak-anak benar-benar dilarang untuk keluar setelah matahari tenggelam. Apalagi hingga saat ini Cahyo dan Jagad belum juga kembali.
“Paklek nggak tidur?” Tanyaku pada Paklek yang masih terus berjaga di halaman rumah Abah.

“Belum Nan, perasaan nggak enak Paklek masih belum hilang dari kemarin,” ucapnya.
Tak hanya Paklek, aku juga sama. Tapi menurutku di saat seperti ini sebaiknya kami beristirahat mengumpulkan tenaga untuk menghadapi kemunculan dukun itu lagi.
Baru saja ingin merayu Paklek untuk beristirahat, sayup-sayup aku mendengar suara Abah yang tengah melantunkan ayat-ayat suci dari salah satu masjid desa. Suasana ini hampir selalu kurasakan di setiap desa yang tengah mendapat teror ghaib.
Melewati tengah malam, Paklekpun memutuskan untuk masuk ke rumah dan tidur. Walau cukup cemas, tapi sepertinya ia sudah tak mampu menahan kantuknya.
….
Tokecang … tokecang…

Di tengah tidurku sayup-sayup aku mendengar suara suara seseorang sedang benyanyi dengan sangat pelan.

Tokecang, tokecang…
Balagendir tosblong…
Suara itu seperti mendekat menuju ke arah desa.
Imah akang, bau arang…
Barudak leutik.. Gosong…
(Rumah abang, bau arang..
Anak kecil.. Gosong…)

Mendengar suara itu sontak akupun memaksa diriku untuk terbangun dari tidur. Aku yakin memang ada yang mendekat ke desa ini.
“Paklek!” aku mencoba membangunkan Paklek yang masih terlelap.

Ia membuka matanya dan aku memberinya isyarat bahwa aku curiga akan sesuatu. Paklek yang cemas semenjak tadi segera mengambil tasnya dan mengikutiku menuju keluar.
Tokecang… tokecang…

Benar, ada sosok yang mendekat membawa obor. Ia masuk ke dalam desa sembari menari-nari mengenakan pakaian wayang orang dengan wajah yang dicat putih. Jelas dia bukan manusia biasa.
Aku memperhatikan seluruh warga yang bertugas berjaga tertidur lelap. Kecurigaanku muncul bahwa ngantuknya Paklek dan warga desa adalah akibat ilmu dari sosok itu.

Sambil terus menyanyi dan menari ia memasuki desa yang kini sangat hening ini.
Orang itu menunjuk satu persatu rumah seolah sedang menandai dimana rumah yang ia incar.

Aku dan Paklek memperhatikan dari jauh. Orang itu mengetuk salah satu pintu warga desa. ia menunggu sambil terus menari dengan asik di depan pintu rumah orang itu.
Tak berapa lama, seorang anak keluar dari rumah itu dengan tatapan kosong. Degan segera ia menjambak anak itu dan menyeretnya ke jalan sembari terus menari-nari.

Iapun pergi ke rumah berikutnya dan melakukan hal yang sama.
anak-anak itu hanya menurut saja dengan perlakuan kasar dari orang itu. anehnya semua warga dan anggota keluarga tidak ada yang terbangun.

Kamipun tidak mau menunggu lama dan menghadang makhluk itu. iapun mengernyitkan dahinya saat melihat kami.
tak lama setelahnya dia menoleh ke salah satu atap rumah.

“Nyai Runtak Goblok! Masih aya nu teu sare!” (Nyai Goblok! Masih ada yang belum tidur) ucap orang itu.

Aku dan Paklek menoleh ke arah orang itu menoleh. Kamipun baru sadar bahwa ada sosok di atas salah satu rumah.
Ada sosok perempuan berambut panjang bermata buta di sana. Ia mengenakan baju kebaya yang sudah lusuh sambil menggendong bangkai binatang seperti kucing yang berdarah-darah dan mengelus-elusnya.
“Khikhikhi… mereka sudah tertidur, tapi bangun lagi.. khikhikhi. Selanjutnya urusanmu goblok!” Balas sosok itu.

Kami yakin dua orang ini bukan manusia biasa. Sosok yang menari itupun melempar anak-anak itu ke pinggir dan berjalan mendekati kami.
“Kang Jawir teh nggak suka ribut! Kang Jawir teh nggak suka berantem!” Ucapnya sembari tertawa.

“Kalau begitu lepaskan mereka dan pergi jauh dari sini!” Ucapku.

“Hihihihi…” Kang Jawir malah tertawa seolah sedang bercanda.
“Mereka sudah dipilih, Kang Jawir teh cuma ngejemput, hihihi,”

Paklek menepuk bahuku. Sepertinya Paklek mencoba memperingatkanku.

“Mereka kuat, Paklek sama sekali tidak tahu ilmu apa yang mereka gunakan,” ucap Paklek.
Ucapan Paklek benar. Walau terlihat seperti orang tidak waras, Kang Jawir dan Nyai Runtak menyembunyikan ilmu yang tidak kami ketahui.

“Kami tidak mungkin membiarkan kalian membawa anak-anak itu,” ucapku.
“Hihihi, maneh teh saha? Sugik bae teu wani ngatur aing,” (Kamu itu siapa? Sugik saja tidak berani ngatur saya)

Ia tertawa tapi setelahnya matanya berubah menjadi ancaman. Kali ini aku merasa dalam bahaya.
Akupun menarik Keris Ragasukma dari sukmaku dan bersiap menghadapinya. Tapi saat aku hendak menariknya dari warangkanya. Tiba-tiba tangan Kang Jawir sudah menahan tanganku hingga tak mampu mencabut keris itu.

“Jangan buru-buru,” ledeknya.
Paklek yang melihat hal itu juga mencabut keris sukma geninya dan menyerangnya untuk mengusirnya dari dekatku.

Dengan sigap Kang jawir melompat ke belakang sembali kembali menari.
“Hiji.. dua.. tilu… Jurig didinya, jurig didieu,” Kang jawir mengucapkan kalimat itu sembari menatap tajam ke arah kami. Aku merasakan firasat buruk dari apa yang ia ucapkan.

Iapun melompat sembari mengulang-ulang kalimat itu.
dan tepat saat kakinya menyentuh tanah kami tercengang dengan apa yang terjadi.
Tiba-tiba di seluruh desa muncul berbagai macam sosok yang sudah mengincar kami.

Aku menelan ludah saat melihat kumpulan pocong bergelimpangan di atap-atap rumah.
Roh manusia yang mati dengan tidak sempurna memandangi kami dengan wajahnya yang rusak dari sudut-sudut jalan. hingga tubuh tanpa kepala yang berjalan mendekati kami.

“Paklek!” ucapku memperingatkanya.
Kang Jawir kembali menari dan meninggalkan kami. ia menuju ke pintu rumah selanjutnya dan mengacuhkan kami.

“Jangan ganggu anak-anak itu,” ucapku.
Belum sempat mengejarnya, tiba tiba sosok pocong terjatuh di hadapanku. Ia berusaha berdiri dan menghadangku.
“Urusanmu dengan mereka,” balas Kang Jawir yang benar-benar mengacuhkan kami.

Paklekpun sudah mulai membaca-baca ajian untuk menghadapi makhluk-makhluk ini. tanpa kusadari mereka sudah makin mendekat mengerubungi kami.
Aku mencoba menenangkan roh mereka dengan doa, tapi mereka malah kesakitan.

“Tidak bisa Nan, mereka diikat oleh orang-orang itu.”ucap Paklek.

Mengetahui hal itu aku merubah seranganku dengan menghadapi mereka dengan Keris Ragasukma.
Aku menyerang yang mendekat satu persatu hingga tubuh mereka terbelah.

“Sakiit… sakit…”

Makhluk-makhluk itu bukanya melawan, mereka malah merintih kesakitan. Tapi walau tubuh mereka terluka dan terbelah mereka tetap mendekat ke arah kami dengan segala cara.
“Sakitt.. jangan tambah penderitaan kami,” ucapnya.

Ucapanya begitu lirih. Mereka seperti benar-benar tersiksa. Aku yakin mereka benar-benar roh manusia.

“Brengsek kalian! Apa yang kalian lakukan pada mereka!” Teriakku.
“Khikhikhi… kami sudah memberi pada mereka apa yang mereka mau saat mereka hidup. Kini mereka harus membayarnya saat mereka mati,” Ucap Nyai Runtak.
Aku ingin menyerang mereka lagi.
Tapi mereka tidak akan menghilang dan hanya akan terus tersiksa, sementara doa-doa kamipun tidak mampu menenangkan mereka karena ada yang mengikat mereka.

Aku dan Paklek hanya bisa bertahan menghadapi mereka semua agar menjauh.
Geni Baraloka Paklek sudah menyala, api itu bisa memulihkan beberapa luka roh tumbal itu tapi tetap saja tidak bisa menenangkanya.

Nyai runtak tertawa puas mengetahui kami yang kewalahan melawan para pengikutnya ini. sepertinya aku harus mengambil resiko.
“Maaf Paklek, nggak bisa begini terus,” ucapku.
Akupun menerobos kumpulan pocong dan setan setan itu dan berlari menuju salah satu rumah tempat Nyai Runtak berdiri di atapnya. Aku bersiap naik ke atas untuk menyerang sosok perempuan gila itu, tapi ternyata tidak semudah itu.
Semakin aku mendekat mataku terasa berat. Aku hampir tidak mampu menopang kesadaranku dan tertidur. Sementara itu di tengah kesadaranku yang sulit kupertahankan. Setan-setan tadi sudah mulai mengejarku lagi.
“Khikhikhi.. jangankan kau, Sugikpun tak mampu mendekatiku. Matamu akan tertutup sama seperti mataku,” ledek Nyai Runtak.

Beberapa kali aku mengibaskan kepalaku untuk terbangun. Tapi ini terlalu berat.

Akupun terjatuh di tanah bahkan sebelum sempat menaiki atap rumah itu.
“Khikhikhi… kasihan, masih muda sudah mati. Khikhikhi,” ucap sosok itu.

Tapi tak berapa lama setelah mengucapkan kata-kata itu. darah bermuncratan dari mulutnya.

Dari dadanya muncul ujung keris yang kuhujamkan menembus dari belakang.
“Tubuhku mungkin bisa tertidur, tapi tidak sukmaku,” ucapku yang diam-diam memisahkan sukmaku untuk menyerang Nyai Runtak dari belakang.

“Aarrggh… sa—sakit!” teriak perempuan itu. “Nyai!!!” Kang Jawir yang menyadari kejadian itupun panik.
Iapun kembali meninggalkan anak-anak itu dan berlari ke arahku. Mengetahui hal itu Paklek menghadangnya di tengah puluhan pocong yang masih terus mencoba mendekatinya.

“Jangan berani-berani kau sentuh Nyai!” Ancam Kang Jawir.

“Dia pantas mati!” Balas Paklek.
“Tolong! Tolong Jawir!” Teriak nyai.
Aku tidak melewatkan kesempatan ini dan meletakkanku di kepala Nyai Runtak. Saat itu aku mulai merukiyahnya dengan membaca doa-doa yang seketika membuatnya tersiksa.

“Hentikaan!!! Hentikaan!!!” Teriak Nyai Runtak.
Bersamaan dengan itu setan-setan yang mengerubuti kampung ini mulai menghilang satu-persatu. Sepertinya dugaanku benar, Nyai Runtaklah yang mengikat mereka.

Kang Jawir terlihat cemas. Tapi ia masih bisa bepikir untuk melawan kami.
Iapun menarik salah seorang anak kecil dan mencengkeram lehernya dengan kuku-kukunya.

“Lepaskan Nyai atau kubunuh anak ini disini!” Ucap Kang Jawir.

Sontak aku dan Paklek mulai panik. Tapi aku tidak bisa melepaskan Nyai Runtak begitu saja.
“Lepaskan anak itu! kami tidak akan membunuh Nyai Runtak!” teriak Paklek.

Sepertinya Paklek juga tidak bisa berkutik. Sedikit nekad Kang Jawir bisa saja membunuh anak itu dan berganti menyandra anak lainya.
“Ada satu anak yang mati, maka kupastikan Jasad Nenek sialan ini yang kukembalikan padamu!” Aku mencoba mengancam balik.

“Ja—jangan! Lepaskan dia! Kami akan pergi!” Teriak Kang Jawir.

Tak kusangka Kang Jawir yang begitu mengerikan sangat ketakutan kehilangan Nyai Runtak.
Tapi aku tidak bodoh, aku menyelesaikan doaku hingga tuntas dan kubawa Nyai Runtak ke hadapan Paklek.

“Lepaskan anak itu dan pergi!” perintahku.

“Baik! Tapi lepaskan Nyai!” Pintanya.

“Ikuti kami!” Ucapku.
Aku dan Paklekpun berjalan perlahan meninggalkan desa dan masuk ke sebuah hutan dengan membawa tubuh Nyai Runtak. Kang Jawir menggendong salah satu anak kecil itu dan mengikuti kami.
“Tinggalkan anak itu, dan kami akan tinggalkan Nyai Runtak di sini, lalu pergilah sejauh-jauhnya,” ucapku.

Kang Jawir setuju dan menjatuhkan tubuh anak itu di tanah. Kamipun dengan sigap menjemput anak itu sementara Kang jawir segera berlari menjemput nyai runtak.
“Nyai!! Nyai!!” Teriak Kang Jawir khawatir. “Sakit.. sakit Jawirr,” ucap Nyai.

Kang Jawirpun membopong Nyai Runtak dan menghilang di dalam kegelapan. Semoga saja kami tidak perlu bertemu dengan mereka lagi.
Tapi di satu sisi, aku penasaran dengan hubungan mereka. Perbedaan umur mereka terlalu jauh sebagai pasangan.
Abah kaget saat menyadari desanya mendapat serangan lagi. Kamipun menjelaskan bahwa itu adalah ilmu sirep dari Nyai Runtak yang membuat seluruh desa tertidur.

Paklek bertanya padaku mengapa aku bisa tersadar saat desa sedang di sirep.
Akupun baru sadar dengan hal itu. Aku terbangun dengan normal dan aku tidak mendeteksi ada sesuatu yang melindungiku.
Sekilas aku malah berpikir, apakah Nyai Runtak memang sengaja menggunakan ilmunya padaku? Tapi untuk apa? Apa dia memang berharap untuk dihentikan?

***
Tragedi malam itu membuat kami tetap waspada. Kali ini Dirga sudah kembali ditemani oleh Guntur. Kami meminta pertolongan mereka untuk tetap di desa sementara aku, Paklek, dan Abah meninggalkan desa.

“Mas Danan mau kemana?” Tanya Guntur.
“Ada seseorang yang mau mas temui, tunggu di sini ya biar pas mas Cahyo balik dia nggak bingung,” Jawabku.

Guntur mengangguk setuju. Ia terlihat senang bisa mampir ke desa Dirga.
Sepertinya di desanya juga tidak banyak anak seumuranya, atau mungkin hidupnya terlalu dipenuhi latihan oleh Nyai Jambrong.

Kamipun pergi menuju kota melintasi Kampung Wetan Tilasjajah.
Rumah Gama berada di sana, Ia sudah bersedia membantu kami untuk mempertemukan kami dengan kakeknya.

Aku memperhatikan sebuah hutan yang mereka sebut dengan nama Leuweung Sasar. Cahyo dan Mas Jagad masih berada di sana.
Semoga saja ia bisa menyelesaikan permasalahan yang ada di sana.

“Rumah kakek saya ada di daerah pegunungan. Masih sekitar satu jam dari sini,” ucap Gama yang kami temui di terminal.

“Haha aku jadi penasaran Ki Duduy orangnya seperti apa,” balasku.
“Nanti juga ketemu, sepanjang perjalanan sambil diinget inget mau nanya apa aja ke Ki Duduy,” sahut Abah.

Benar ucapn Gama, setelah satu jam perjalanan kamipun sampai di rumah yang ia maksud.
“Punten..Assalamualaikum” Gama mengetuk pintu rumah itu dan terdengar suara langkah seseorang yang mendekat.

Pintu itupun terbuka bersama munculnya seorang pria yang cukup berumur dengan rambubt yang sudah memutih. Aku menebak bahwa dialah orang yang Gama maksud.
“Walaikumsalam.. Gama, sudah sampai rupanya. Ayo teman-temanya diajak masuk, Silahkan duduk” ucap orang itu.

Orang itu seolah sudah mengetahui akan kedatangan kami. Mungkin Gama sudah memberitahunya terlebih dahulu.
“Kek, ini Abah dari desa yang dekat pabrik. Dan ini teman-teman Abah Mas Danan dan Paklek Bimo.” Gama memperkenalkan kami kepada orang itu.

“Ini Ki Duduy, kakek saya. Sok, mangga kalau ada yang mau di tanyakan,” lanjut Gama.
Dengan wajah ramahnya Ki Duduy menyambut salam kami. Belum sempat berbicara banyak Ki Duduy sudah mendekat dan menepuk lututku.

“Gimana mas, puasanya lancar?” Tanya Ki Duduy tiba-tiba.
Aku cukup kaget. Kenapa Ki Duduy bisa tahu aku sedang melakukan tirakat dan berpuasa agar mendapat jawaban mengenai Ki Langsamana.

“Alhamdullilah Ki, kemarin sudah selesai,” balasku.

Kamipun memperkenalkan diri satu persatu sebelum memulai perbincangan serius.
Gama menceritakan bahwa Ki Duduy adalah ayah dari ibunya yang bernama Umi Esih. Dan seseorang yang ingin kucari tahu, Ki Langsamana adalah buyut dari Gama.

Akupun menceritakan pertemuan kami dengan Gama kemarin termasuk kesalahpahaman yang terjadi diantara kami.
Ki Duduy malah tertawa mendengar ceritaku.
“Tumben, biasanya kamu lebih tenang?” Tanya Ki Duduy pada Gama.

“Saya panik kek, ada tubuh bergelimpangan di tanah dan Danan muncul dalam wujud roh. Jadinya kukira setan,” balas Gama.

Saat ini kami bisa menertawakan kejadian itu.
Tapi saat mengingat betapa mengerikanya Khodam Gama saat itu jelas tidak mungkin aku tertawa.

Akupun melanjutkan perbincangan kami dengan menceritakan tentang kejadian saat aku terkena bencana di desa Abah.
Saat itu ketika pertarungan dengan Ki Luwang aku terkena kutukan yang membuat aku berubah menjadi batu.

Aku menceritakan bahwa saat itu aku tertolong dengan sosok pria bergamis putih. kedatanganya ditandai dengan suara seekor kucing dan suara gelang seperti milik Gama.
Tak hanya itu, bahkan sosok itu juga sempat membantu kami saat pertarungan di alam lain melawan Ki Luwang.

“Menurut Abah, mungkin sosok itu adalah Ki Langsamana. Apa itu mungkin Ki?” Tanyaku.
Ki Duduy menoleh ke arah Gama sebelum menjawabku.
Iapun mengangguk sembari menyeruput kopinya.
“Ki Langsamana sudah meninggal dan rohnya sudah tenang. Tapi sesekali ia memberi petunjuk pada kami saat kami sedang kesusahan,” ucap Ki Duduy.

“Berarti itu benar Ki?” Tanyaku.
“Bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Mungkin itu adalah sosok pengikut Ki Langsamana yang mencoba menolong kalian. Ia menampilkan sosok Ki Langsamana sebagai pertanda bahwa perbuatanya itu atas seijin beliau,” jelas Ki Duduy.

“Pengikut?” Tanyaku lagi.
“Kami mengenalnya dengan nama Meong Hideung. Apa mungkin itu alasan ia tidak mau menyerang Mas Danan walah kuperintahkan?,” Tanya Gama sembari menoleh ke arah Ki Duduy.
“Benar, beruntung Danan sudah berkenalan dengan meong hideung terlebih dahulu sebelum bertemu denganmu,” ucap Ki Duduy.

Ki Duduy melanjutkan ceritanya mengenai sosok bernama Ki Langsamana itu.
menurut ceritanya Ki Langsamana adalah seorang ulama pengembara yang sering mendatangi tempat-tempat yang dianggap bermasalah terutama dengan hal ghaib.
“Bila beliau bisa menyelesaikan masalah tersebut, beliau pasti menyelesaikanya. Tapi bila tidak, beliau pasti meninggalkan sesuatu yang bisa menjadi petunjuk untuk diselesaikan oleh orang lain atau keturunanya,” jelas Ki Duduy.
Mendengar cerita ki langsamana akupun menoleh ke arah Paklek. Apa yang beliau lakukan sama seperti yang Paklek dan Bapak lakukan semasa hidupnya.
“Saya mencoba mempelajari petunjuk dan peninggalan yang dimiliki Ki Langsamana tapi entah mengapa ilmunya tidak menurun kepada saya.
Ilmu-ilmu dan peninggalan Ki Langsamana ternyata turun ke cucu saya ini,” ucapnya sambil mengelus punggung Gama.

“Peran masing masing manusia kadang memang berbeda Ki. Kadang peran kita memang hanya memberi petunjuk agar mereka bisa melalui jalan yang benar,” Sahut Paklek.
Dari perbincangan itu sepertinya aku melihat kesamaan diantara Ki Duduy dan Paklek. hanya saja saat ini Paklek masih lebih muda dan masih bisa ikut mendampingi kami.

“Saya mendapat petunjuk bahwa akan ada bencana yang akan datang.
Saat itu mungkin kami akan membutuhkan bantuan Ki langsamana. Apa itu memungkinkan Ki?” Tanyaku.

“Seperti yang saya bilang tadi, Ki Langsamana sudah tiada. Apabila peranya dibutuhkan, Gamalah yang akan menggenapinya,” Jawab Ki Duduy.
“Iya Danan, kalau ada sesuatu yang dibutuhkan bilang saja. pasti saya bantu,” sahut Gama.
Aku mengangguk mengerti, sekarang terjawab sudah. Kemunculan Ki Langsamana saat itu ternyata menuntun kami untuk bertemu dengan mereka.
“Satu lagi…” tiba-tiba Abah mengambil sesuatu dari bawaanya. Ia mengeluarkan sesuatu yang dibungkus rapi dengan koran.

Ia menyerahkan itu dengan meletakkanya di hadapan Gama.

“Ini apa Bah?” Tanya Gama.
“Kalau memang Gama adalah pewaris Ki Langsamana, mungkin sudah saatnya aku mengembalikan ini,” ucap Abah.

Gama mebuka bungkusan koran itu dan menemukan sebuah sorban putih yang sudah sangat berumur.
Ki Duduy ikut melihat dan menyentuhnya. Seketika matanya menjadi berkaca-kaca.
“Ini? Saya tahu sorban ini.. Ini Sorban yang dipakai ayah saya, Ki Langsamana,” ucap Ki Duduy.

Ia mengambil salah satu ujung sorban itu dan menciumnya seolah mengenang sesuatu yang dalam.

“Bagaimana ini bisa ada di tangan Abah?” Tanya Ki Duduy.
Abahpun tersenyum dan mulai menceritakan sesuatu.

“Tidak hanya Danan, sayapun pernah ditolong oleh beliau,” ucap Abah.

Kejadianya saat itu Abah masih kecil. Waktu itu ia bermain dengan teman-temanya di pinggir sungai. Saat waktu mulai maghrib ia hendak kembali ke rumah.
Tapi salah satu temanya memanggil ke dalam hutan.

Temanya mengatakan kalau ada hewan aneh di dalam hutan dan mau membawanya pulang.
Abahpun menghampiri temanya itu dan masuk ke dalam hutan.
“Ayo cepat! Di sini,”
Abah ingat sekali anak itu dan suaranya mirip seperti dengan temanya sehingga ia tidak curiga dan mengikutinya sampai ke dalam hutan.

Tapi saat langit mulai gelap dan ia masuk semakin dalam. Seseorang yang menyerupai temanya itu menghilang.
Seketika Abah yang saat itu masih kecilpun panik.
Ia mencari jalan keluar, namun ia malah semakin tersesat. Tapi itu bukan hal yang paling menakutkan.

Saat semakin tersesat, Abah melihat sesuatu dari dalam kegelapan hutan.
Tubuhnya besar, rambutnya panjang dan berantakan, matanya merah dengan mulut yang besar, payudaranya menggelambir dengan menjijikkan.

Mungkin yang ditemui Abah saat itu adalah sosok wewe gombel. Sosok itu mendekat kepada Abah. Abah saat itu ketakutan dan hanya bisa menangis.
Tapi sebelum makhluk itu sempat menggapai Abah, tiba-tiba makhluk itu ketakutan dan kembali mundur. Perlahan iapun meninggalkan Abah dan kembali masuk ke dalam hutan.

Abah menoleh ke belakang dan menemukan ada sosok kakek tua bergamis putih di belakangnya.
Iapun memeluk Abah dan mengajaknya bersender di salah satu pohon yang besar.
Orang itu mengaku bernama Ki Langsamana. Ia sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat.
“Saya tidak bisa menghantarkanmu ke rumah, tapi dengan melilitnya sorban ini di tubuhmu tidak akan ada makhluk hutan apapun yang berani menyakitimu,”

Abah mengingat jelas perkataan Ki Langsamana saat itu.
Sebelum meninggalkan Abah, Ki Langsamana mengajarkan Abah beberapa ayat-ayat suci untuk di hafal dan melafalkanya bersama-sama.

Hampir setengah malam mereka mengulang-ulang ayat itu sebelum akhirnya Ki Langsamana meninggalkanya sendiri lagi.
Tapi saat ini Abah tidak takut dengan adanya Sorban dari Ki Langsamana.
Saat pagi menjelang, Warga desa berhasil menemukan Abah dan membawanya pulang.

Sampai saat ini Ki Langsamana masih merupakan sosok penolong untuk Abah.
“Setelah saya dewasa, saya baru sadar. Bukan sorban inilah yang melindungi saya. Tapi ayat-ayat suci yang diajarkan Ki Langsamanalah yang melindungi saya dari makhluk-makhluk penghuni hutan saat itu,” jelas Abah.
Wajah Gama dan Ki Duduy terlihat sumringah mendengar cerita mengenai leluhurnya itu. Mungkin mereka tidak menyangka akan mendengar kisah hebat dari leluhurnya itu sekali lagi. Bahkan dari mulut Abah.

“Kalau begitu sorban ini ijin saya terima Bah,” balas Gama.
“Dengan senang hati Nak Gama, kini setidaknya sesuatu yang mengganjal di hati saya sudah selesai satu,” balas Abah.

“Gam, di setiap perjalanan Ki Langsamana beliau juga meninggalkan tapak tilas yang tidak sembarangan di beberapa tempat.
Tapi mungkin tidak hanya itu, mungkin masih banyak benda-benda peninggalan Ki Langsamana yang ditinggalkan atau diberikan pada seseorang,” ucap Ki Duduy.

Jangankan Ki Duduy dan Gama, aku yang mendengar cerita Abah tentang Ki Langsamana saja juga merasa senang.
Seandainya kami diijinkan bertemu, mungkin aku bisa belajar banyak dari beliau.
Waktu sudah semakin sore, kamipun harus berpamitan pada Ki Duduy. Tapi tepat sebelum kami berangkat Ki Duduy terlihat aneh.

“Gama, kau antar mereka sampai ke desa ya.” Ucap Ki Duduy.
“Baik Kek, tapi kenapa mendadak? Apa ada sesuatu,” tanya Gama.

“Entah, Perasaan Kakek benar-benar tidak enak. Tolong antar mereka ya,” ucap Ki Duduy.
Aku dan Paklek saling bertatapan. Ini masih sore, seharusnya desa masih ramai.
Tapi sepertinya kami tidak bisa meremehkan firasat Ki Duduy.

Kami turun dari angkutan umum setelah lewat waktu maghrib. Saat itu kami terkejut dengan adanya nyala api dari dalam desa.
Saat itu warga desa berbondong-bondong sedang berusaha memadamkan api dari beberapa rumah yang terbakar.

Kamipun bergegas berlari menuju tempat itu dan mencari tahu apa yang terjadi.

“Pak Kades? Apa yang terjadi?” Tanya Abah.
“Entah bah, tiba-tiba ada bola api yang melayang-layang dan menyerang rumah warga,” jelas pak kades.

“Banaspati?” Tanyaku.

“Bukan, kalau itu banaspati ia pasti langsung menghabisi nyawa dan tidak membakar rumah seperti ini,” Balas Paklek.
Aku menoleh ke segala arah dan mencari dimana Guntur dan Dirga.

“Dirga? Dimana dirga?” Tanyaku.

“Setelah kejadian tadi dukun itu kembali lagi dengan anak buahnya. Dirga dan temanya menghadang dukun itu bersama warga yang berjaga.
Saat dukun itu lari ke dalam hutan, mereka mengejarnya untuk menangkapnya,” Jawab Pak Kades.

Mendengar cerita itu Gama meremas pundakku.
“Firasatku tidak enak, bisa jadi itu jebakan,” ucap Gama.

“Benar Danan, Susul Dirga. Biar Abah dan Paklek yang mengawasi di sini,” Ucap Abah.
“Ayo Nan, biar aku aku temenin,” Ajak Gama.
Aku dan Gamapun segera berlari ke arah hutan yang ditunjukkan oleh pak kepala desa. Bermodalkan senter seadanya kami menyusuri hutan yang biasanya hanya dimasuki warga desa yang mencari umbi-umbian.
“Danan! Itu!” Terik Gama.
Gama menunjuk ke arah tubuh seseorang yang terkapar di salah satu sisi hutan. Ia tergeletak tak berdaya mempertahankan kesadaranya.
“Ada setan yang mencoba merasukinya,” ucapku yang segera meletakkan tanganku di wajahnya dan membacakan sebuah doa untuk mengusir setan itu.

Orang itupun tersadar dan mencoba mengingat apa yang terjadi.
“Ke arah sana! Mereka ke arah sana” ucap orang itu yang sadar kami sedang mencari yang lainya.

“Bapak kembali ke desa saja ya, pulihkan dulu luka-luka bapak. Biar kami yang mengejar mereka,” ucap Gama.

Bapak itupun menurut dan kami segera bergegas mencari keberadaan Dirga.
Benar saja, yang kami takutkan terjadi.
Kami sampai di sebuah tanah yang cukup lapang di tengah hutan. Sebuah batu besar terlihat di tengah dengan seekor kepala kerbau diatasnya. Berbagai sesajen terpampang di sekitanya.
Tapi bukan itu yang membuat kami geram.
Guntur terlihat tengah berdiri melindungi Dirga yang tak mampu berdiri dengan luka besar di punggungnya.

Darahnya terus mengalir sementara anak buah dukun itu terus menyerang Guntur tanpa ampun dengan golok di tanganya.
“Mereka menyerang sambil kerasukan?” Tanya Gama dengan wajah penuh amarah.
Aku mengangguk, anak buah Mbah Sugik dirasuki sosok yang mungkin ia panggil dengan ritual itu.
Amarah kami semakin tidak terbendung saat melihat warga desa yang sudah terbaring di batu itu dengan berlumuran darah.

“Sudah cukup!” Teriakku mencoba menghentikan mereka.
Mendapati kedatangan kami, Mbah Sugik bukanya gentar, ia malah tertawa seolah memang sudah bersiap menyambut kami.

“Krrrk.. cuih, akhirnya datang juga kalian. Kupikir harus kukuliti dulu bocah-bocah ini agar kalian datang kemari,” ucapnya.
Aku tak tahan lagi, akupun menarik Keris Ragasukma dari dalam sukmaku dan bersiap menyerangnya. Tapi, dukun itu juga tidak diam.

Ia membacakan mantra sembari menggoreskan sebuah kujang di dahinya.
Wajahnyapun berlumuran darah, namun semua mantra yang diucapkan menjadi begitu mengerikan.

“HHhhhhrrrrrrr…..”

Sepasang mata merah menyala dari gelapnya hutan. Ada sosok menyerupai genderuwo yang besar dengan berbagai bekas luka di tubuhnya.
Bersama dengan sosok itu, muncul juga bola api yang menyala-nyala dan siluman ular yang mengikutinya.

“Hati-hati Mas Danan! Bahkan keris Dasasukma Dirga tidak dapat menembus tubuh mereka,” peringat guntur.
Di belakang mbah sugik tengah berdiri sekumpulan pasukan dedemit yang sudah siap melumat kami.


“Cring…”
Suara itu terdengar lagi…

“Tidak usah banyak bicara,” ucap Gama.

Aku menoleh ke arah Gama. Ia sudah tidak mampu lagi menahan amarahnya.
Benda yang disebut dengan gelang Gengge itu sudah ada di tanganya. Sepertinya ia bersiap melakukan ritual itu lagi.

Cring… cring.. cring…

Ia membunyikan gelang itu tiga kali, dan entah tiba-tiba ada kucing hitam yang pernah kutemui itu muncul dari salah satu sudut hutan.
Saat itu Gama menghentakkan kakinya beberapa kali ke tanah hingga tanah di sekitar kakinya bergelombang.

Aku merasakan kekuatan besar mulai datang dan akupun tidak tinggal diam.
Kuletakkan Keris Ragasukma di hadapan dadaku dengan membaca sebuah mantra yang diturunkan oleh leluhurku.

“Jagad lelembut boten duwe wujud…”

***
(Bersambung Part 4)
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga akhir. Mohon maaf bila ada kesalahan atau bagian cerita yang menyinggung.

Seperti biasa buat temen2 yang mau baca duluan atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya 🙏

karyakarsa.com/diosetta69/ala…
Alas Sewu Lelembut
Part 4 - Nyawa di Tengah Hutan

Suaradari gelang gengge milik Gama merupakan tanda perintah untuk kedatangan sosok yang selama ini mengikuti bayang-bayangnya.

Suara itu bersahutan dengan mantra yang dibacakan oleh Danan..
@bacahorror @IDN_Horor @bagihorror Image
Part 4 - Nyawa di Tengah Hutan

Suara dari gelang gengge milik Gama merupakan tanda perintah untuk kedatangan sosok yang selama ini mengikuti bayang-bayangnya.
Seekor kucing hitam yang berjalan dengan kaki pincangnya…
Tapi kali ini aku tahu sosok semengerikan apa makhluk yang terlihat lemah dan tak berdaya itu. Sangat beruntung saat ini mereka ada di posisi sebagai kawan.

Sudah ada korban jiwa di tempat ini. Dirga juga sudah terluka parah.
Dan sosok yang Mbah Sugik panggil juga bukan sosok sembarangan. Aku tidak bisa menahan diri.


Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
...
Menyambut suara raungan makhluk besar yang datang ke sisi gama, hujan gerimis mulai membasahi hutan dan mendatangkan sosok yan muncul dari gelapnya malam.

“Si—siapa itu? Cantik sekali,” ucap gama yang kaget melihat sosok Nyi sendang rangu yang terhiaskan butiran air gerimis.
“Kawan,” balasku.

Aku sedikit lega begitu Gama melihat Nyi Sendang Rangu dengan wajah yang cantik. Itu artinya ia memiliki hati yang bersih.

“Jadi sudah waktunya ya?” ucap Nyi Sendang Rangu.
“Jika bencana yang Nyi Sendang Rangu maksud adalah perbuatan orang-orang bodoh ini. berarti memang sudah waktunya,” ucapku.

Nyi Sendang Rangu berdiri di sebelahku sembari melihat sosok pasukan lelembut yang dipimpin oleh Genderuwo raksasa.
“Mereka memang terlibat, tapi sayang sekali mereka tidak lebih dari alat sang Iblis itu,” ucap Nyi Sendang Rangu.

Aku menghela nafas. Sudah kuduga, Mbah Sugik memang tidak lebih dari dukun yang mengumpulkan tumbal untuk Gandara Baruwa atau mungkin makhluk yang lebih dari itu.
Sialnya, keberadaan Mbah Sugik saja sudah cukup merepotkan kami. Bahkan Dirga dan Guntur saja tidak mampu menahan mereka.

“Ayo kita selesaikan,” ucap nyi sendang rangu.

“Baik Nyi..” balasku.
“Bukan kamu…” tolak nyi sendang rangu tiba-tiba. Akupun bingung, siapa yang ia ajak untuk menyelesaikan musuh kami.

Saat menoleh, tangan Nyi Sendang Rangu tengah mengelus dagu besar macan Raksasa hitam yang sudah berpindah dari sisi Gama ke sisi Nyi Sendang Rangu.
Makhluk mengerikan itu terlihat sangat bersahabat dengan Nyi Sendang Rangu layaknya sudah kenal cukup lama. Ia bahkan menurunkan tubuhnya seolah mempersilahkan Nyi Sendang Rangu untuk menaikinya.
“Kalian menonton saja…” ucap Nyi Sendang Rangu yang sudah menduduki punggung Meong Hideung dengan anggun.

Aku dan Gama Pun saling bertatapan tidak menyangka akan melihat hal seperti ini.

“Gggrrrraaaooorr!!”
Kedua roh yang kami panggil itupun menerjang sekumpulan pasukan dedemit yang dipanggil oleh Mbak Sugik.

“Hanya dua roh cecunguk! habisi saja mereka!” Perintah Mbah Sugik pada pengikutnya yang sedang kerasukan.
Gerak-gerik mereka benar-benar tidak seperti manusia. Mereka menyerbu Nyi Sendang rangu dengan berlari seperti binatang. di tangan mereka sudah tergenggam pusaka yang siap melukai Nyi Sendang Rangu dan ro Macan hitam itu.
“Roh binatang liar mau menghadapi Khodam Ki Langsamana? Jangan bermimpi,” ucap Nyi Sendang Rangu sembari memperhatikan kuku-kuku lentiknya tanpa menoleh sedikitpun pada orang-orang itu.

Benar saja, tak satupun dari mereka dapat melukai roh Macan hitam itu.
sebaliknya, satu persatu tubuh mereka tertembus oleh kuku besar Sang Meong hideung.

Darah pun bermuncratan dimana-mana. Tak kusangka makhluk yang dipanggil oleh Gama ini jauh lebih kejam dari Wanasura..
Mbah Sugik Pun gentar melihat apa yang terjadi dengan para pengikutnya. Saat meong hideung bersiap menyergapnya Nyi Sendang Rangu menahanya.

“Aku masih ada urusan dengannya,” ucap Nyi Sendang Rangu yang melayang turun menghadapi Mbah Sugik.
Mengetahui hal itu, Mbah Sugik memerintahkan sosok-sosok yang ia panggil untuk menyerang nyi sendang rangu.

Sepasang bola api yang menyala-nyala melayang ke hadapan Mbah Sugik. Kedua makhluk itu mengincar Nyi Sendang Rangu untuk menghabisinya.
Tapi belum sempat menyentuh Nyi Sendang Rangu, bola api itu padam dengan sendirinya dan terjatuh menjadi bongkahan tengkorak berwarna hitam.

Nyi Sendang Rangu Pun menginjaknya seolah menunjukkan penghinaan kepada sosok-sosok itu.
Terutama kepada pemimpin mereka, sang genderuwo raksasa bermata merah yang dari tadi masih menonton dari belakang.

“Jangan diam saja! Habisi mereka! Aku memberi kalian tumbal bukan hanya untuk menonton!” Perintah Mbah Sugik.
Tepat ketika Genderuwo itu bergerak, Meong hideung meninggalkan Nyi Sendang Rangu. Ia menghadapi sendiri roh-roh gentayangan yang mengeroyoknya.

Sementara itu tiba-tiba wajah Nyi Sendang Rangu menjadi semakin menyeramkan ketika ia mendekat ke arah Mbah Sugik.
Wajahnya menghitam dengan bulu yang tumbuh di wajahnya. matanya seolah mau keluar dari lubangnya dengan tubuh yang menumbuhkan duri..
“Mas Danan, baru pertama kali aku melihat Nyi Sendang Rangu semengerikan ini,” ucap Guntur yang datang menghampiriku bersama Dirga yang sudah tidak sadarkan diri.

“Roh wanita itu? sebenarnya dia siapa? kenapa sekarang dia terlihat mengerikan?” Gama terlihat bingung.
“Nyi Sendang Rangu, terlalu panjang bila aku harus menceritakan tentangnya. Wujudnya akan berubah sesuai hati manusia yang berhadapan dengan nya..” Balasku.

Mbah Sugik mencabut keris yang ada di pinggangnya dan menusuk tubuh Nyi Sendang Rangu.
Nyi Sendang Rangu tidak menghindar, ia menerima serangan itu dan membiarkan keris itu melubangi tubuhnya.

Aku khawatir, namun Nyi Sendang Rangu tidak terlihat kesakitan dan malah semakin mendekat kepada Mbah Sugik dengan wajahnya yang menyeramkan.
Kali ini Mbah Sugik terlihat ketakutan. Ia menarik keris itu lagi dan berkali-kali menusukkan keris itu pada tubuh Nyi Sendang Rangu.
“Mati! Mati!! Mati kau setan busuk!” Teriak Mbah Sugik.
Nyi Sendang Rangu mengangkat tanganya yang telah ditumbuhi kuku-kuku yang panjang.
“Busuk? Wujudku adalah cerminan dosamu!” ucapnya sambil mengelus pipi Mbah Sugik.
“Tidak! Kau bahkan lebih menjijikkan dari semua setan yang pernah ada!” Tolak mbah sugik yang menusukkan kerisnya di wajah Nyi Sendang Rangu.
Darah hitam pun mengalir dari bekas luka yang disebabkan dari keris itu. Tapi Nyi Sendang Rangu tetap tidak bereaksi. Sebaliknya, wajah Mbah Sugik semakin pucat. Sepertinya Nyi Sendang Rangu menunjukkan penglihatan yang membuatnya trauma.
“Hentikan! Pergi!! Pergi!!” Mbah Sugik menoleh memerintahkan sosok genderuwo itu untuk membantunya, Tapi Meong Hideung menghadang makhluk itu.

“Mungkin aku akan berbelas kasihan bila kau membebaskan sukma anak-anak dan orang yang kau tawan,” ucap Nyi Sendang Rangu.
“Ti–tidak! Tidak bisa, mereka sudah milik Gandara Baruwa..” Balasnya.

“Dimana mereka?” Tanya Nyi Sendang Rangu sembari mencekik leher Mbah Sugik dengan kuku-kukunya yang tajam.

“Desa.. mereka di desa mati di Leuweung Sasar,” ucap Mbah Sugik ketakutan.
Nyi Sendang Rangupun melempar Mbah Sugik ke tanah dan berpaling menghadapi sosok genderuwo bermata merah itu.

Walau sudah dilepaskan, Mbah sugik masih dengan akal bulusnya. ia membacakan mantra pada kerisnya dan menusuk punggung nyi sendang rangu dari belakang.
“Mati kau! Setan manapun akan terbakar dengan mantra ini,” ucap Mbah Sugik.

“Aaarrrrghhhh!!”

Teriakan itu? Mbah Sugik! Dia yang berteriak!
Tiba-tiba dari tubuhnya muncul luka yang memuncratkan darah. luka itu muncul dari perut, tubuhnya, hingga wajahnya.
“Mas?” Guntur mencoba menebak.
Akupun mengangguk. Kami sadar, itu adalah luka yang ia buat di tubuh Nyi Sendang Rangu.

Setelahnya iapun kesakitan dengan luka bakar di punggungnya. Itulah serangan terakhir yang ia hujamkan di punggung Nyi Sendang Rangu.
“To–tolong! Sakit! Sakitt!!” Teriaknya.
Nyi sendang Rangu tidak peduli. Ia terus menyusul Meong Hideung itu dan meninggalkan Mbah Sugik kesakitan sendirian.

Genderuwo itu menggeram menghadapi Nyi Sendang Rangu dan Meong Hideung.
Ia mengayunkan lengan nya menyapu tubuh Meong Hideung hingga terseret. Bola api mulai berdatangan menyerang sosok Macan hitam yang masih berdiri dengan tegap itu.

Tapi nyi sendang rangu menghadangnya dan memadamkannya lagi.
Genderuwo itu mengalihkan serangannya pada nyi sendang rangu, tapi meong hideung menahan dengan tubuhnya.

Genderuwo itu mengira mereka berdua sedang terdesak dan meminta semua siluman segera menyerbu Nyi Sendang Rangu.
Tapi mereka hanya menyerang tanah kosong belaka sementara Nyi Sendang Rangu sudah berada di hadapan wajah Genderuwo itu.

Genderuwo itu tidak sempat bereaksi sementara tangan Nyi Sendang Rangu sudah mencengkeram salah satu mata genderuwo itu dan mencabutnya dari tempatnya.
Mata merah itu ia lempar ke tanah dan diinjak oleh meong hideung.
Suara teriakan genderuwo itu pun berteriak kesakitan. suaranya menggelegar mungkin sampai ke desa.
“Pergi! Kita pergi dari sini! Selamatkan aku!”
Mbah Sugik tiba-tiba sudah merangkak di bawah genderuwo itu dan memerintahkannya untuk membawanya pergi.
Genderuwo yang sudah kesakitan itupun tidak menolak dan segera mengambil tubuh Mbah Sugik.
Mereka tiba-tiba menghilang bersama kabut hitam yang menyelimuti genderuwo itu.
“Nyi! Mereka?” Tanyaku.
“Biarkan, dukun itu belum boleh mati sebelum kita menemukan roh anak-anak itu,” balas Nyi sendang Rangu.
Dengan hilangnya genderuwo itu seluruh siluman dan setan yang menyerang kami pun pergi dan menghilang.
Macan hitam itupun kembali ke wujud kucingnya dan bermanja-manja di kaki Gama.
“Sepertinya kita harus ke Leuweung Sasar untuk mencari sukma mereka,” ucapku pada Nyi Sendang Rangu.

“Kalau memang perlu ke hutan itu aku bisa membawa seorang temanku yang paham mengenai hutan itu,” Sahut Gama.

“Dia hafal tentang hutan itu?” Tanyaku.
Gama menggeleng.
“Tidak, tapi setidaknya ia lebih mengerti hutan itu dibanding kita,” jawabnya.

Aku setuju dengan Gama agar mengajak seseorang yang lebih mengerti. Gunturpun mengingatkanku tentang keadaan Dirga, Nyi Sendang Rangu mencoba sedikit memulihkan luka Dirga yang cukup dalam.
tapi sepertinya ia membutuhkan waktu untuk pulih.

“Aku ikut ke hutan itu mas! Biar kubalas perbuatan mereka ke Dirga,” Ucap Guntur.
Akupun mengelus kepala Guntur dan menjelaskan padanya.
“Untuk kali ini jangan dulu. harus ada yang bisa menjaga Dirga dan desanya.. percayakan ini pada kami,” balasku.

Wajah Guntur terlihat tidak setuju, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa menolak. Ia dibutuhkan di desa ini.
Hujan Nyi Sendang Rangu mengguyur seluruh desa hingga memadamkan rumah-rumah yang terbakar. setelahnya ia menghilang saat subuh mulai datang.

Gama Pun meninggalkan desa sebelum matahari terbit.
Aku mencoba mencari kucing yang sebelumnya bersamanya, tapi ia sudah menghilang begitu saja.
Abah panik saat mengetahui keadaan Dirga.
Namun ia menjadi tenang setelah guntur menceritakan bahwa Nyi Sendang Rangu sudah mengobatinya. Mereka Pun segera membawa Dirga kembali ke rumah untuk memberi perawatan.

***
Pagi itu aku menjelaskan situasi yang terjadi semalam pada Paklek dan Abah. Sosok dibalik Mbah Sugik bukan sosok yang biasa. Bahkan Dirga dan Gunturpun sampai tidak berkutik melawan mereka.

“Jadi benar, mereka adalah pengikut Gandara Baruwa?” Tanya Paklek.
“Benar Paklek, yang lebih darurat saat ini sukma ibu Linggar dan anak-anak yang akan mereka tumbalkan disekap di sebuah desa mati di Leuweung Sasar,” Jawabku.

Abah keluar dari kamar Dirga dan ikut bergabung dalam pembicaraan kami.

“Gimana keadaan Dirga Bah?” Tanyaku.
“Terima kasih pada Nyi Sendang Rangu sudah menutup lukanya. Semoga demamnya cepat turun,” Balas Abah.

Abah meletakkan beberapa benda di meja. sesuatu yang ia tarik dari tubuh Dirga.
“Serangan yang Dirga terima bukan serangan biasa. Ada kuku, taring, dan duri dari Gandara Baruwa yang mereka gunakan untuk melumpuhkan Dirga,” cerita abah.

“Ini semua masih ada di tubuh Dirga?” Tanyaku.
Abah mengangguk, ia meletakkan benda-benda mengerikan itu pada sebuah toples kaca yang di dalamnya sudah diberikan kertas bertuliskan ayat-ayat suci.
“Benda ini ada di tubuh Dirga, tapi sudah tidak melukai. Mungkin Nyi Sendang Rangu sengaja meninggalkanya untuk memberi kita petunjuk,” balas Abah.

Cukup masuk akal. Abah Pun memberikan benda-benda itu kepadaku dan aku masih bingung apa maksudnya.

“Untuk apa ini Bah?” Tanyaku.
“Ada alasan mengapa Leuweung Sasar menjadi hutan terlarang. Bukan hanya karena keberadaan makhluk gaib yang mengerikan saja, tapi hutan itu dapat dengan mudahnya menyesatkan kalian.
Mungkin benda ini bisa menuntun kalian menemukan Makhluk terkutuk itu,” Jelas Abah.
Aku mengambil benda itu dan masih merasakan warna dari empu tubuh aslinya. Benar ucapan Abah, benda ini bisa menjadi petunjuk untukku.

“Paklek, sebaiknya paklek tetap di desa. Bantu rawat Dirga hingga sembuh,” ucapku.
“Gandara Baruwa itu bukan setan penunggu biasa lho,Nan. Nggak mungkin kamu menghadapi mereka sendirian,” tolak paklek.

“Nggak sendirian Paklek, Cahyo masih ada di sana dan Gama juga akan membantu kami.. dia kuat,” balasku.
Paklek menoleh kepada Abah sebentar. Aku yakin ia sebenarnya juga khawatir dengan Abah dan Dirga bila meninggalkan desa ini lagi.

“Ya sudah, kalau ada apa-apa beri pertanda ke Paklek ya,” Ucap Paklek.

“Iya Paklek.. Pasti,” balasku.
Abah terlihat cukup lega setelah itu. Apalagi saat ini Mas Jagad juga belum kembali bersama Cahyo.

“Istirahat dulu saja Nak Danan, kabari Gama untuk bertemu di mulut Leuweung Sasar saat perbatasan maghrib,” ucap Abah.
“Bukankah semakin cepat kita ke sana semakin baik , Bah?” Tanyaku.

Abah menggeleng, “Percuma.. Pintu masuk Leuweung Sasar hanya terbuka saat Langit sudah mulai memerah. itu adalah saat paling baik untuk menghindari pengaruh ghaib hutan itu,” Jawab Abah.
Aku mengerti, saat itu aku pun menghubungi gama untuk bertemu di mulut Leuweung Sasar menjelang maghrib. Aku mendapat kabar baik saat itu, ternyata teman Gama juga baru kembali dari hutan itu, dan ia sempat bertemu dengan Cahyo.
Mengetahui kabar Cahyo baik-baik saja. Akupun bisa beristirahat dengan tenang untuk mengembalikan semua energi yang terkuras semalaman.
(Sudut pandang Cahyo…)

Suara teriakan makhluk wanita terdengar hingga ke tempat ini. Suaranya yang keras dan mengancam menandakan betapa mengerikanya makhluk itu.
“Leuweung ini terlarang! Tidak ada alasan apapun untuk masuk ke hutan ini!” Teriak Pria Gondrong yang membawa sarungku itu.

Tatapan itu menjadi semakin tajam, jelas pria gondrong ini serius dengan ucapanya.
“Arrggh! Jangan bikin tambah pusing! Aturan apapun itu kalau demi nyawa temanku, aku tidak peduli!” Balasku sembari menoleh ke arah terakhir aku melihat Mas Jagad.

Aku cemas kalau mereka semakin jauh dan tidak terkejar.
“Aku harus mengejar mereka,” Ucapku lagi.
Orang itu terlihat kesal dengan ucapanku, walau aku merasa ia sedikit mau mendengarkan alasanku.

Mungkin aku harus mencoba mendekat dan menjelaskan keadaanya tapi…
“Awass!!” Orang itu berteriak bersamaan dengan perasaan bahaya yang kurasakan.

“Mundur!” Tambahku.

Sebuah cakaran dari mahluk perempuan tanpa busana tiba-tiba muncul begitu saja,
perawakannya jauh lebih menjijikan dengan hanya mengenakan selendang yang berusaha menutupi bagian payudaranya yang menjulang panjang.

Aku berhasil menghindar dari sapuan lengan besar itu dan mendekat ke arah Pria gondrong itu.
Ia menyadari keberadaanku di dekatnya dan melempar sarung itu padaku.

“Ini tangkap!” ucap Pria Gondrong itu.

Aku tersenyum kecil dengan kembalinya sarungku. Selain itu mungkin mamang gondrong yang satu ini sudah menyadari bahwa aku bukanlah musuhnya.
Aku tahu Wewe Gombel itu menyadari kami berdua sebagai ancaman. Ia Pun terlihat sangat berambisi untuk menghabisi kami.

Makhluk itu menatap kami berdua sambil memainkan rambutnya dengan wajah pucat yang menyeramkan, apalagi mulutnya mulai meneteskan lendir yang berwarna hitam.
“Ini wilayahku! Mengganggu wilayahku, akan kuhabisi kalian!” ancam makhluk itu.
Kami berdua memperhatikan sosok itu dan langsung mengenalinya.

“Wewe gombel?” Ucap Mamang Gondrong itu.
Aku mengangguk, ”Nggak salah lagi..”

Mamang Gondrong itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. Sepertinya ia menyesali posisinya yang berada di situasi ini.
Aku menoleh ternyata makhluk itu tengah menerjang pepohonan dan bersiap menyerang Mamang Gondrong.
Akupun Refleks menendang Mamang Gondrong agar terhindar cari cakaranya.

“Maaf Mamang Gondrong! Nggak sakit kan? Kalau kena Cakaran itu pasti bahaya,” Ucapku sembari memperhatikan Wewe Gombel yang menoleh ke arah kami lagi.
Mamang Gondrong itupun meraih tanganku dan kembali berdiri.

“Aku Cahyo..” Tambahku lagi. Mungkin aku harus memperkenalkan diri sekarang agar kami tidak canggung.

“Terima kasih.. Saya Budi, Jauh lebih baik kau panggil saja Budi dibanding sebutan Mamang Gondrong itu!” Balasnya.
Budi? Nama itu lebih cocok buat anak ibu yang pergi ke pasar, bukan pria gondrong berantakan seperti dia.

“Hah-ha, Mamang Gondrong lebih cocok! Dia mengincarmu lagi Mamang Gondrong, salah-salah kau bisa mati! Minggir!” Teriakku sembari memanggil kekuatan Wanasura di lenganku.
Aku berhasil menahan serangan sesaat dan segera menarik Budi menjauh.

“Heh! Mau kemana?” Teriak Mamang Gondrong yang bingung dengan perbuatanku.
“Makhluk itu terlalu kuat untuk kita lawan berdua, sepertinya ada hal yang lebih penting yang harus kita urus, tahan dulu dirimu, Mamang Gondrong” ucapku tergesa-gesa.

“Jangan kabur! Mati kalian!!” Suara teriakan itu terdengar sampai ke telinga kami yang sudah menjauh.
Kamipun sampai ke sebuah tempat yang sepertinya dekat dengan jalan keluar. aku mulai merasakan perbedaan energi di tempat ini. Sayangnya aku tidak mungkin keluar tanpa Mas Jagad dan yang lain.
“Cahyo? Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini? Dari mana kau berasal?” Tanya Mamang Gondrong.

“Panjang ceritanya kalau diceritakan sekarang. Sebaiknya kita berpencar dulu. Saat sudah ada kesempatan dan bantuan, kita habisi makhluk itu bersama-sama,” ucapku.
“Benar.. aku tidak menyangka makhluk itu bisa berada di hutan ini,” balas Mamang Gondrong.
Sebenarnya aku berpikir kalau Mamang Gondrong. Jelas dia bukan orang jahat dan mungkin suatu saat aku akan membutuhkan bantuanya. Akan berbahaya bila pergi sendirian.
Mungkin setidaknya harus ada yang melindunginya.
“Kliwon!” Teriakku pada sosok yang tengah memperhatikan hutan ini sedari tadi.
Ia Pun berlari dari pohon ke pohon dan mendekat ke arah kami.
“Jangan diem aja, sini bantuin,” panggilku pada Kliwon yang sudah tiba di dekat kami.
ia segera menaiki pundakku seolah siap menerima perintah dariku.
“I–itu kera dari mana?” Tanya Mamang Gondrong.
“Dia temanku, biar dia nemenin Mamang Gondrong. Percaya deh, mamang gondrong lebih tahu tentang hutan ini.
Kliwon bisa jadi pelindung yang handal,” Jelasku berharap agar Mamang Gondrong mau menerima bantuanku.

Mamang gondrong terlihat ragu. ia menatapku dengan tatapan yang tajam lagi dan kembali berhati-hati. Mungkin dia mulai tahu tentang kelebihanku.
“Jangan menatapku seolah ingin memakanku hidup-hidup begitu Mang. Ada waktunya kita akan berbincang banyak. Lagipula dagingku pahit” Ucapku membalas tatapannya.
“Aku tunggu! Ingat! Akan aku habisi siapapun yang mengacau di tanah kelahiranku!” ucap Mamang Gondrong mengeluarkan sifat aslinya.

Jadi hutan ini adalah tempat kelahiranya. Pantas saja ia begitu kesal dengan orang luar yang memasuki hutan terlarang ini.
“Aku pasti bantu melawannya... Kliwon akan bersama kamu Mamang Gondrong, Sugik menunggu hari sialnya tiba, tenang saja...” ucapku yang segera berbalik meninggalkanku dan mencari jejak Mas Jagad dan yang lain.
Sekilas aku melihat hutan ini tidak sebesar Alas Wetan. Tapi hutan ini begitu menyesatkan. Aku tidak bisa menggunakan insting manusia di hutan ini.
Akupun mencoba memikirkan bahwa diriku adalah Kliwon.
Kemana arus hutan ini akan bergerak dan dimana arah yang paling memungkinkan untuk keberadaan mereka bertiga.

Aku berlari menembus pepohonan dengan tenang. Bukan karena aku telah mengetahui keberadaan mereka, melainkan karena sarungku sudah terikat di pundakku.
Dengan adanya sarung ini aku tidak lagi takut dengan hawa dingin, aroma busuk, ataupun gangguan dari makhluk-makhluk di hutan ini.
Dalam pengejaranku sekali lagi aku mendengar teriakan Wewe gombel yang berhadapan denganku dan Mamang Gondrong tadi.
Namun aku bergegas menjauh ketika sudah melihat wujudnya dari jauh.
Semakin gelap aku berlari semakin dalam aku memasuki hutan. samar-samar aku melihat api menyala dari kejauhan, akupun bergegas ke arah cahaya itu.
Tapi sebelum aku menambah kecepatanku, tiba-tiba seseorang menangkapku dari depan.
“Akhirnya ketemu juga!”
Itu Mas Jagad. Ia Pun segera menarikku dan membawaku ke dalam semak yang cukup lebat.
“Cahyo! Syukurlah kamu selamat,” Ucap Mas Linus.

“Jelas mas, aku lebih aman dilepas di hutan daripada dilepas di kota,” candaku.

Sayangnya aku bercanda di saat yang tidak tepat. Aku baru melihat Mas Linggar terbaring di dekat Mas Linus.
Ada handuk kecil yang terpasang di dahinya untuk meredakan demamnya.

“Mas Linggar..” Tanyaku bingung.

“Ini efek samping setelah ia dirasuki Nyai Kunti, tubuhnya masih jauh dari siap untuk itu,” Jelas Mas Linus.
Mengetahui hal itu akupun memutuskan untuk beristirahat sejenak sembari membaca situasi. Terlebih dari balik dedaunan aku mulai melihat cahaya matahari mulai terbit. Sayangnya hutan ini terlalu lebat untuk ditembusnya.
“Kita harus memanggil bantuan,” ucap Mas Jagad.
“Apa tidak bisa kita hadapi makhluk itu dan anak buah mbah sugik sendiri?” Tanyaku.

Mas Jagad menceritakan bahwa pengejaran mereka membawanya ke sebuah desa mati di tengah hutan.
Iapun mengajakku sedikit mendekat ke arah cahaya api yang kulihat itu.
“Ada lebih dari sukma anak-anak itu yang disekap disana. Kalau kita mau menolong mereka, kita butuh bantuan Paklek, Danan dan yang lain,” Cerita Mas Jagad.
Setelah melihat ini semua aku setuju dengan itu. Terlebih saat aku melihat sosok yang paling mengerikan di sana. Besarnya saat tertidur mungkin bisa setengah dari desa itu sendiri.

“I–itu?” Tanyaku yang ingin mencoba menebak.
“Dia makhluk yang diceritakan Linggar.. Gandara Baruwa,” Jelas Mas Jagad.
Kamipun memanfaatkan waktu ini untuk berisitirahat sampai sebelum matahari tenggelam kembali.
Aku meminta wanasura untuk menyampaikan pada kliwon agar ia menuntun yang lain untuk menemuinya.
Semoga saja, kami semua cukup untuk menghadapi makhluk mengerikan itu.
***
(Sudut pandang Danan….)

Aku tiba di sebuah hutan yang menyimpan banyak misteri, Leuweung Sasar.
Namanya mengingatkanku pada sebuah rumah di hutan karet yang dikenal oleh warganya dengan sebutan Imah Leuweung.
Hanya saja hutan yang ada di sekitar rumah itu tidak sebelantara hutan ini.
Langit mulai memerah bersama munculnya burung-burung aneh yang berwarna hitam beterbangan dari dalam hutan. Mungkin ini yang diceritakan oleh Cahyo, Jelas burung-burung ini bukanlah burung biasa.
Terdengar beberapa langkah kaki mendekat dari kejauhan, tapi ada salah satu langkah kecil yang lebih cepat dari mereka dan segera melompat ke arahku.
“Kliwon! Kenapa kamu bisa ada di sini?” Tanyaku pada sosok kera kecil sahabat Cahyo ini.
Ia Pun menoleh kepada dua orang yang berada di belakangnya.
“Gama? Kok bisa?” Tanyaku.
“Haha, aku juga kaget. Sepertinya temanku juga bertemu dengan temanmu,” balasnya.
Aku menoleh ke arah teman Gama itu. Terlihat seorang pria berambut panjang dengan pakaian lusuh seadanya. Tubuhnya jauh lebih kekar dan aura buas terlihat dari tatapan matanya.
“Apa urusanmu di Leuweung Sasar?” Tanya orang itu dengan tegas.
Aku kaget dengan ucapanya, jelas dia jauh berbeda dengan Gama.

“Yang sopan, kita membutuhkan bantuan mereka untuk masalah Rara dan yang ada di dalam hutan ini,” Tahan Gama.
Sontak orang itu berhenti dan menurut.
Aku sama sekali tidak menyangka orang sebuas itu bisa patuh dengan Gama.

“Saya Danan, saya hanya seperlunya saja di hutan ini. Ada sukma anak-anak desa yang tertahan di desa mati di dalam. Setelah menyelamatkan mereka, kami akan segera pergi,”
balasku yang yakin bahwa orang ini tidak suka kami memasuki hutan itu.

“Sepertinya yang satu ini lebih pintar bicara daripada teman monyet itu,” balasnya.
“Haha.. maaf Danan, namanya Budi. Hutan ini adalah tempat kelahiranya. Ia tidak mau ada yang celaka lagi bila ada yang memasuki hutan ini,” ucap Gama.

Aku mengerti, walau ia selalu memasang muka mengancam rupanya ia juga orang baik.
Aku jadi teringat sosok juga terlahir di hutan dan juga berambut gondrong sepertinya.

Tepat saat matahari tenggelam, Kliwon memandu kami masuk ke dalam hutan. di sana ada seekor monyet putih yang sudah menantinya.

“Ikuti kera itu!” Perintah Budi.
Kliwon memang memberi isyarat agar kami mengikutinya. Sepertinya ia sudah mendapat teman di hutan ini dan sedikit mengenal seluk beluknya.

“Khi..khi..khi…khrrrrraaa….”

Terdengar suara teriakan wanita dari salah satu sisi hutan. suaranya menggema dengan serak dari jauh.
Kliwon yang menyadari keberadaan makhluk itu merubah jalurnya dan memutar.

“Itu makhluk yang kuceritakan,” ucap Budi.
“Wewe Gombel?” Tanya Gama.

“Benar…”

“Tapi aku belum pernah melihat Wewe Gombel sebesar dan sebuas itu,” balasku.
“Coba saja datangi,” Balas Budi.
Err… aku merasa sepertinya harus mencari cara komunikasi yang lebih cocok dengan seseorang bernama budi ini.
Memasuki tengah hutan, kami memilih untuk berjalan mengatur nafas kami. Setidaknya bila kami berpapasan dengan makhluk seperti tadi kami memiliki tenaga untuk berlari.
tapi baru beberapa langkah berjalan aku mulai merasakan keanehan.
“Gama..” Aku menghentikan langkahnya.
Aku merasa ada sesuatu di belakang kami dan memberi Isyarat pada Gama. Budi mendahului Gama ke arah yang kuisyaratkan sekolah berusaha melindunginya.
“Ada sesuatu di sana,” ucap Budi.
Bersama dengan ucapanya tiba-tiba sepasang mata merah muncul dari dalam kegelapan. Aku menduga ia adalah genderuwo yang sejenis dengan khodam Mbah Sugik.

“Lari! Kita temukan yang lain dulu!” Ucapku.
Kami bertigapun menjauh dari makhluk itu dan berlari. namun saat makhluk itu sudah mengetahui bahwa kami menyadari kehadiranya, iapun mengejar kami.
Suara desikan pohon dan patahan ranting terdengar bersama langkah besar yang mengejar kami.
Kliwon sudah berusaha mencari jalur untuk menghalangi makhluk itu, namun sepertinya tidak berpengaruh begitu banyak.
Aku sempat berpikir untuk melawannya, tapi aku harus menyimpan kekuatanku untuk menghadapi Gandara Baruwa apabila ia benar ada di hutan ini.
di tengah pelarian kami tiba-tiba terlihat sosok seseorang yang tengah berdiri di tengah hutan. Dengan cepat aku bisa mengenali sosok itu dari sarungnya.
“Panjul!” Teriakku.
Cahyopun menoleh kearahku dan segera menyambut kami.
“Danan? Kliwon? Mamang Gondrong?” Teriak Cahyo.
“Syukurlah, Kami butuh bantuanmu!” Ucapku yang sekarang merasa bisa menghadapi makhluk itu dengan keberadaan Cahyo.
“Bantuan? Kebalik! Aku yang butuh bantuan kalian!” Teriak Cahyo.
Dari arah kedatangan Cahyo tiba-tiba muncul makhluk dengan suara yang tidak asing.
Makhluk Wanita bertubuh besar dengan kuku yang panjang dan tajam. Aku mengenali makhluk itu dengan mudah saat melihat payu dara yang menggelambir dan hanya tertutup sehelai kain lusuh.
“Itu Wewe Gombel yang tadi?” teriakku panik.
“Oo.. jadi sudah tahu? Bagus deh nggak usah aku kenalin” Balas Cahyo.
“Sialan kamu Jul!” teriakku.

Seketika kami terkepung dengan keberadaan dua makhluk besar di hutan ini. Sang Wewe Gombel dan Genderuwo anak buah Gandara Baruwa.
“Mamang Gondrong! Kita lanjutin pertarungan kemarin!” Teriak Cahyo.
Mamang Gondrong? Aku sedikit tertawa mendengar panggilan itu. Entah mengapa Cahyo bisa akrab dengan orang sebuas budi.

“Sekali lagi memanggilku dengan nama itu, Kulumat kepalamu!” Balas Budi.
“Danan itu!” Gama menunjuk ke arah beberapa orang yang muncul bersama genderuwo itu. Sepertinya mereka juga anak buah Mbah Sugik yang sudah dirasuki.

“Wanasuraa!!!!” Cahyo berteriak sekuat tenaga memanggil sahabat di dalam dirinya itu.
Seketika kekuatan melimpah mengalir di kedua tangan dan kakinya. Dengan kekuatan itu, ia melompat sekuat tenaga dan menghantam tubuh Wewe Gombel itu.

Budi merespon serangan Cahyo dengan menangkap kepala Wewe gombel yang terjatuh itu dan membantingnya ke tanah.
Iapun menaiki wajahnya dan mencengkeramkan tanganya di bola mata Wewe Gombel itu.

“Aarrrragghh… Manusia berengsek!” Umpat Wewe Gombel itu.

Aku sudah menarik keris ragasukma di dalam tubuhku dan membacakan sebuah ajian yang membuat keris itu menyala.
Tepat saat genderuwo itu mendekat, aku menghindari seranganya dan menghujamkan keris itu tepat di jantung genderuwo itu.

Sayangnya.. sepertinya seranganku tidak berdampak banyak.
Aku melihat gelang gengge sudah ada di tangan Gama, namun ia masih menahan ritualnya dan terus membacakan doa berusaha agar sosok yang merasuki orang-orang itu bisa pergi.

Sayangnya orang-orang itu masih bersikeras menyerang Gama.

Krakkk!!!
Terdengar suara tulang seseorang yang patah tepat saat Budi menyusul Gama dan menghabisi salah seorang yang ingin menyerang gama. Tak hanya mematahkan lehernya, Budi juga menghabisi oran-orang itu dengan sadis hingga darah bermuncratan di tubuhnya.
“Gila! Dia masih manusia!” Teriakku memperingatkan Budi.

“Tidak lagi!” Balasnya dingin.

“Lah Mamang Gondrong?? ini Wewe Gombelnya gimana?” Protes Cahyo.

Sementara itu, Wewe Gombel itu kembali berdiri dengan penuh amarah.
“Anak perempuan itu harus selesai ditumbalkan, dan akan kuhabisi kalian!” Teriak wewe gombel itu yang ingin meninggalkan kami.

“Anak perempuan? Budi! Itu pasti Rara!” Teriak Gama.

Dengan Sigap Gama dan Budi meninggalkan tempatnya untuk mengikuti Genderuwo itu.
“Danan kita berpisah di sini! Anak yang kucari pasti ada di sarang makhluk itu!” Teriak Gama.

“Jangan nekad! Makhluk itu terlalu berbahaya!” Teriakku.

Cahyo menyadari maksud mereka dan memanggil kliwon.

“Kliwon tolong mereka! Jangan sampai mereka mati!” Perintah Cahyo.
Kliwonpun mengikuti Gama dan Budi seolah sudah akrab dengan mereka.

Mengetahui maksud kami untuk menolong mereka, Gama Pun berhenti sebentar dan mencari sesuatu dari kantongnya.

“Danan! Tangkap!” Teriak Gama.
Ada sebuah benda berbentuk botol kecil yang di lemparkan ke arahku. Botol itu berisi cairan dengan rempah yang aneh di dalamnya.

“Apa ini?” tanyaku.

“Itu wewangian peninggalan Ki Langsamana, Aku merasa itu akan membantumu!” Teriak Gama.
Tanpa menjelaskan apapun, Gama tiba-tiba sudah pergi menjauh mengejar Wewe Gombel itu. Aku yakin, urusanya tidak kalah penting dengan kami.

“Mamang Gondrong sudah membantu mengurus orang-orang itu, berarti tinggal setan genderuwo itu,” ucap Cahyo.
“Benar.. selesaikan dengan cepat!” Balasku.
Dengan kekuatan Wanasura Cahyo melemparkanku jauh ke atas genderuwo itu. Tentu saja sebuah sapuan tangan besar sudah menanti untuk menghabisiku, tapi cahyo sudah bersiap menghalaunya.
Kilatan putih menyala dari Keris Ragasukmaku.
Ada sebuah titik yang kuincar dari atas sini.
“Cahyo!!” teriakku.

Ia mengambil sarungnya dan menutupi mata genderuwo itu. Dengan bantuan itu aku bisa mendaratkan keris ragasukmaku tepat di ubun-ubun genderuwo yang lengah karena sarung cahyo.

Ggrrraaaarrrr!!!
Genderuwo itu teriak kesakitan. Tapi aku tidak yakin ia akan kalah walau terluka seperti itu. Akupun melepaskan sukmaku dan menusuknya lebih kedalam dengan wujud sukma dari Keris Ragasukma yang kutembus dari ubun-ubun hingga ke bawah badanya.
Teriakan genderuwo itu berhenti bersama asap hitam yang menguap dari tubuh genderuwo yang mulai menghilang itu.

“Selesai?” Tanya Cahyo.

Aku mengangguk. Sepertinya Genderuwo ini tidak sekuat yang dipanggil oleh mbah Sugik. Mungkin Mbah Sugik sudah memberinya lebih banyak tumbal.
“Kalau ketemu makhluk serupa yang bermata satu, hati-hati Jul,” Ucapku.

“Maksudnya?”

“Genderuwo bermata satu itu sama-sama anak buah Gandara Baruwa, hanya saja dia sudah memakan tumbal yang lebih banyak hingga jauh lebih kuat,” Peringatku.
Setelah yakin tidak ada Gangguan Cahyo Pun membawa kami menemu Mas Jagad dan yang lain. Aku melihat Mas linggar yang pucat namun sepertinya sudah bisa bergerak dengan baik.

Cahyo menjelaskan tentang keberadaan sebuah desa yang dipenuhi roh manusia yang disiksa.
Menurut Mas Linggar, tempat itulah yang ada di dalam penglihatanya.

“Paklek dan Dirga nggak ikut Nan?” tanya Cahyo.
Aku menggeleng sembari menjelaskan kejadian semalam. Jagad cukup khawatir saat mendengar Dirga terluka, tapi ia lega saat mengetahui Paklek di sana merawatnya.
“Dapet salam dari Guntur. Sekarang dia yang bertugas menjaga desa,” ucapku pada Cahyo.

“Sepertinya tanggung jawab murid Nyai Jambrong itu tidak bisa diremehkan,” balas Cahyo.

Kamipun menghitung kekuatan kami untuk menyelinap ke desa itu.
Apabila sampai harus berhadapan dengan Gandara Baruwa, kekuatan apa saja yang kami punya.

“Kekuatan Nyai Kunti sangat mengerikan, hanya saja tubuh Linggar mungkin tidak kuat lagi untuk menahanya,” jelas Linus.
“Tidak Danan, selama bisa menyelamatkan sukma ibuku aku tidak keberatan,” Balas Mas Linggar.

Aku tidak ingin berdebat di tempat ini. Sebisa mungkin yang terbaik adalah kita menyelamatkan sukma-sukma itu tanpa bertarung.
“Jangan salah sangka.. Jangan pernah bergantung pada makhluk seperti itu. Entah Nyai Kunti, Wanasura, ataupun Nyi Sendang Rangu.. Hanya kepada Yang Maha Kuasalah tempat kita berharap untuk menyelamatkan mereka,” Jawabku.
Mas Linggar Pun menghela nafas, sepertinya ia lupa akan hal itu. Kami pun mulai mempersiapkan diri dan berjalan memasuki desa mengerikan itu.

Desa? bukan…
ini hanya setumpukan pondasi rumah yang telah hancur. hampir tidak ada satupun rumah yang utuh di desa ini.
Sebaliknya, ratusan makam tersebar di seluruh desa tanpa diatur.
Desa ini terlihat ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan wajah yang pucat berputar-putar tanpa arah.
Beberapa dari mereka sudah kehilangan bola matanya atau bahkan tubuhnya tinggal setengah dan berjalan sembari merayap.
Ya.. mereka adalah roh-roh yang akan dijadikan tumbal.
keramaian roh-roh ini membuat kami tidak terlihat mencolok.
Aku menemukan beberapa sosok roh anak-anak dari desa sedang termenung. Tak jauh dari tempatnya termenung ada sebuah bekas rumah tanpa atap dan terdengar suara dari dalam.
“Mbah Sugik, apa tumbal sebanyak ini tidak cukup untuk memberi kesaktian pada kita,” tanya seseorang dari sana.
“Uhukkkk… Aku ingin lebih banyak, tapi sepertinya waktu kita tidak cukup!
Kita akan membangunkan Gandara Baruwa dan meminta kekuatanya dengan bayaran semua tumbal yang ada di sini,” ucap suara mbah sugik yang tidak mungkin kulupakan.
Dari suaranya, sepertinya lukanya cukup parah.
“Di Sana!” Teriak Mas Linggar.
Ada satu buah pohon yang paling besar di desa ini. Kepala Gandara Baruwa terbaring di bawahnya. Sialnya Linggar menunjukkan bahwa sukma Ibunya dan pakdenya tergantung disana dengan mengenaskan.
Raut wajah Mas Linggar berubah penuh amarah.
Aku merasakan ada kekuatan besar yang akan muncul dari dalam dirinya.
“Tahan Linggar! Tahan!” Mas Linus mencoba menenangkan temanya itu.
Sementara kami menenangkan Mas Linggar, tiba-tiba dari arah suara mbah sugik tadi tercium aroma kemenyan bersama teriakan seseorang.
“Jangan! Jangan saya!”
“Sayangnya tidak ada orang lain di tempat ini yang lebih tidak berguna selain kamu,” ucap Mbah Sugik.
kamipun berlari menuju tempat itu.
“Hentikan! Jangan bangunkan makhluk terkutuk itu!” Teriakku.
Mbah Sugik seketika panik melihat kedatangan kami. ternyata di ruangan itu ada lima orang anak buahnya, dan salah seorang dari mereka sudah terikat dengan parang di lehernya.
“Kau lagi! kali ini aku pasti membunuhmu!” Teriak mbah Sugik Kesal.
“Bangkit Gandara Baruwa! Ini tumbal dan makanan-makananmu sudah menanti!” Teriak Mbah Sugik.
Dengan isyarat dari Mbah Sugik, keempat pengikutnya menyembelih seseorang yang juga bagian dari mereka. Aku tidak bisa menatap saat darah bermuncratan dari leher orang itu.
Ada kepala kerbau, kemenyan, dan kembang yang dilumuri dengan darah dari kepala manusia yang ia sembelih.
Setelahnya aku merasakan kekuatan yang sangat besar yang menekan kami. Itu berasal dari luar. Aku yakin, itu berasal dari makhluk yang tertidur itu.
Kamipun segera keluar dari persembunyian Mbah Sugik dan melihat sosok mengerikan itu tengah berdiri memantau desa itu.
“Berengsek!!! Bisa-bisanya kau membangkitkan Makhluk terkutuk ini!” Teriak Mas Jagad.
“Hahaha… sudah sepantasnya kalian takut dan takluk padaku!” ucap Mbah Sugik.
Ia mendekat ke arah sosok Gandara Baruwa untuk melaksanakan perjanjianya.
“Siapa yang sudah membangunkanku??” Teriak Gandara Baruwa.
“Aku! Semua sukma ini adalah tumbal untukmu dan jadilah abdiku!” Ucapnya.
Wajah Gandara Baruwa terlihat senang dengan semua roh yang ada di tempat ini. liurnya menetes membasahi tanah di bawahnya.
“Bagus!” ucapnya.
“Tapi aku butuh makanan pembuka!”
Sontak ia mendekatkan wajahnya pada Mbah Sugik dan menggigit tubuhnya hingga terputus. Hanya tersisa pinggang dan kakinya yang masih berdiri tidak merespon kejadian yang hanya terjadi beberapa detik itu.
“Mbah!!” Anak Buah Mbah Sugik terlihat panik dengan kejadian itu.
“Gila, dia memakan dukun yang memberinya tumbal,” ucap Linus.
“Dia bukan setan biasa, dia bisa berpikir layaknya iblis,” Balasku.
Anak buah mbah sugik ingin menghampiri gurunya itu. tapi ia merasa tidak ada gunanya.
Bagaimana mungkin tubuh yang hanya tinggal setengah bisa selamat.
Merekapun memilih untuk melarikan diri, namun tangan Gandara Baruwa menahan mereka layaknya tembok yang setinggi tiga kali tubuh mereka.
“Ja–jangan!!” Teriak mereka.
Tapi setan itu tidak peduli. ia meremas keempat itu hingga darah bermuncratan dari genggamanya dan memakan mereka semua tanpa ampun.
Gandara Baruwa mengendus sembari menunjukkan mata merahnya.
“Masih ada manusia hidup di sini,” ucapnya mencari keberadaan kami di antara sukma-sukma ini.
Akupun menggenggam keris ragasukma dan meletakkanya di depan dadaku.
“Maafkan aku Nyi, sepertinya aku membutuhkan kekuatan Nyi Sendang Rangu lagi,” gumamku.
“Wanasura, untuk kali ini jangan tahan kekuatanmu,” ucap Cahyo.

“Semoga Ajian Watugeni bisa berguna melawan Makhluk itu,” ucap Jagad.

Mata Mas Linggar menghitam, sepertinya sosok Nyai Kunti di dalam dirinya merasakan bahaya yang memaksanya untuk muncul.
“Hei pusaka, kalau ada yang bisa kau lakukan lebih baik kau lakukan sekaran,” Ucap Mas Linus sembari menggenggam pusaka miliknya.
Perasaan gentar ini jauh lebih mengerikan daripada saat melawan Ki Luwang kemarin. Yang kami lawan saat ini bukan lagi roh manusia. Tapi Roh dedemit yang mungkin sudah ada bahkan saat manusia belum mengenal peradaban.

***
Bersambung Part 5
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga akhir. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yg menyinggung.

Buat temen2 yang mau baca duluan atau sekedar memberi dukunga bisa mampir ka @karyakarsa_id ya 😊🙏

karyakarsa.com/diosetta69/ala…
Alas Sewu Lelembut
Part 5 - Gandara Baruwa

Sosok yang lahir dari ketamakan manusia dan tumbuh karena dendam manusia. Sosok yang mematikan dan akan membawa pengikutnya ke penderitaan tanpa akhir di Akhir Jaman.

Gandara Baruwa…

@bacahorror @IDN_Horor @qwertyping
#Bacahorror Image
Manusia percaya bahwa bahwa mereka adalah makhluk yang paling mulia yang diciptakan oleh Penciptanya.

Namun alam ini begitu luas dan dalam, begitu banyak hal yang bahkan tak tergambar dalam pikiran ataupun imajinasi seorang manusia.
Ada Jaman dimana makhluk-makhluk tak kasat mata ikut campur dalam alam yang dihuni oleh manusia. Semua itu terjadi saat manusia belum mengenal peradaban dan mencoba mengandalkan sosok yang mereka kira dapat mereka kendalikan.
Nyatanya, Makhluk tak kasat mata itu memiliki pengetahuan yang lebih banyak, lebih licik, dan lebih kuat dari manusia. Semua itu karena mereka memiliki masa hidup yang sangat jauh lebih panjang.
Hanya saja, mereka tidak berkutik terhadap manusia yang berlindung dibalik Penciptanya. Manusia itu terlihat lemah, namun kuasa Yang Satu takkan pernah membiarkan dirinya celaka.
Walau begitu, banyak manusia bodoh yang menggadaikan ikatan pada Tuhanya demi mendapatkan hal yang nikmat namun sementara. Padahal semua yang dibutuhkan untuk hidup dan untuk mati sudah tersedia di alam ini.
Makhluk-makhluk itu menjelma menjadi sosok digdaya yang terlihat dapat diandalkan. Kuat untuk memenangkan perang, Cantik untuk memperdaya, hingga megah untuk memperkaya.

Satu diantara mereka menjanjikan kekayaan sekaligus memberi ilmu untuk menghadapi siapapun yang mengusiknya.
Sosok yang lahir dari ketamakan manusia. Sosok yang tumbuh karena dendam manusia. Sosok yang menjadi makhluk mematikan yang akan membawa pengikutnya ke penderitaan tanpa akhir di Akhir Jaman.

Gandara Baruwa…
Ribuan pria sudah menggadaikan istrinya untuk perjanjian denganya. Ribuan pencari ilmu sudah mempersembahkan tumbal untuk mendapat restunya.

Semua itu terjadi sejak manusia masih hidup dengan berburu, hingga saat ini manusia sudah bertahan hidup dengan saling menipu.
Kebodohan itu menciptakan sesosok makhluk yang haus darah dan tak terkendali. Sosok digdaya yang membuat siapapun gentar melihatnya. Dan Sosok yang terus mencari manusia untuk disesatkan.
Satu hal yang dapat dipastikan saat kebangkitanya.

Banjir getih…
Part 5 - Gandara Baruwa

Mbah Sugik..
Sosok dukun yang mengabdi pada makhluk mengerikan itu, mati begitu saja setelah ritualnya membangkitkan sosok yang ia puja. Bahkan hanya setengah tubuh bawahnya saja yang tersisa dari jasadnya.
Kali ini aku benar-benar gentar. Sedikit saja aku salah mengambil keputusan, mungkin kami akan bernasib sama seperti Mbah Sugik dan anak buahnya.

Tak membutuhkan waktu lama sampai mata hitam makhluk besar itu menemukan keberadaan kami.
Iapun meletakkan kedua tanganya di tanah dan memajukan kepalanya untuk melahap kami.

“Lari!!” Teriakku memperingatkan Cahyo dan yang lainya.

Wajah mengerikan itu mendekat ke arah kami. Mas Jagad menarik Mas Linggar dan Mas Linus masuk ke dalam alam ghaib,
sementara Cahyo menarikku untuk melompat lebih jauh dari jangkauan makhluk itu.

“Wanasura!!”

Cahyo tidak menahan diri, ia segera kembali ke arah Gandara Baruwa untuk menghantamkan pukulan pada wajahnya.
Raungan wanasura terdengar ke seluruh hutan seolah menandakan bahwa ia mengerahkan seluruh kekuatanya.

Pukulan itu telak mengenai wajah makhluk besar itu, tapi sayangnya serangan itu hanya mampu membuatnya sedikit menoleh.
“Manusia? Bukan.. ini kekuatan ras terkuat alas Wanamarta,” ucap Gandara Baruwa yang mendapati keberadaan Cahyo.

“Genderuwo jelek! Ojo sakpenake main cokat-cakot wae! Iki uwong dudu perkedel!”
(Genderuwo jelek! Jangan seenaknya main makan-makan saja! Ini orang bukan perkedel!)
Teriak Cahyo sembari menunjuk-nunjuk wajah makhluk itu.

Menyadari keberadaan Cahyo, Gandara Baruwapun berdiri memandang kami dari ketinggian. Seolah ia ingin menunjukkan betapa perkasanya dirinya.
“Tidak pantas makhluk sepertimu mengabdi pada manusia lemah! Mengabdilah padaku!” Ucap Gandara Baruwa pada Cahyo.

Tapi aku tahu dengan jelas bahwa ucapanya tertuju pada Wanasura yang berdiam di raga Cahyo.

“Grrrraaaaaorrrr!!!”
Raungan wanasura terdengar begitu keras menentang ajakan Gandara Baruwa. Semangat itu disambut oleh Cahyo yang segera kembali melesat untuk menghantam perut makhluk itu.

Sayangnya… kali makhluk itu tak sedikitpun terpengaruh oleh seranganya.
Sebaliknya dengan cepat tiba-tiba kaki makhluk itu sudah menghantam tubuh Cahyo.

Sontak Cahyopun terpental hingga tubuhnya terhempas di salah satu pohon. Namun ketika makhluk itu kembali ingin menyerang Cahyo,
aku membacakan mantra pada kerisku dan menusukkanya pada salah satu kakinya.
Makhluk itupun tertahan dan berpaling menatapku.

“Keris pusaka? Mau mengalahkanku dengan benda itu?” ucap Gandara Baruwa.
Aku sadar seranganku tak cukup membuatnya terluka. Dengan cepat aku menarik kembali kerisku dan menjauh darinya. tapi tubuhnya terlalu besar sehingga tanganya dengan mudah dapat meraihku.

“Danan!” Teriak Cahyo khawatir.
Wajar saja, berbeda dengan Cahyo yang dilindungi kekuatan wanasura. Dengan serangan itu dengan mudah aku akan berubah menjadi tumpukan daging yang berserekan seperti anak buah Mbah Sugik.

Aku tak sempat untuk menghindari besarnya tangan yang beberapa kali lipat dari tubuhku itu.
tapi sebelum tangan itu menyentuhku, tiba-tiba pemandangan di sekitarku berubah. Ada Mas Jagad di belakangku.

“Hampir saja aku terlambat,” ucap Mas Jagad.

Ternyata Mas Jagad menyelamatkanku dengan memindahkanku ke dimensi lain. Akupun menarik nafas lega saat menyadarinya.
“Ayo kita kembali, Cahyo sendirian,” balasku.

“Iya”
Dalam sekejap kami sudah kembali ke hadapan makhluk raksasa yang sedang beradu pukulan dengan Cahyo. Namun sekali lagi Cahyo terpental.
Aku melihat sesuatu menyala merah dari tangan Jagad, ia berlari mendahuluiku dan membacakan mantra pada sebuah batu yang berada di genggamanya.

Iapun melemparnya dan sebuah batu menyala melesat ke wajah Gandara Baruwa.
Sebuah ledakan membakar wajah makhluk itu, namun sekali lagi serangan itu hanya membuat makhluk itu semakin kesal.

“Ajian Watugeni, tidak berguna…” ucap Jagad.
Kini makhluk itu berpaling kearahku lagi,
Cahyo yang sudah babak belur segera menghampiriku mencoba menghadang serangan yang mungkin akan diarahkan padaku dan Mas Jagad.

“Kera alas wanamarta! Kuberikan waktu hingga aku selesai menikmati tumbal untukku ini.
Setelahnya kau harus memilih! Menjadi abdiku, atau mati bersama mereka!” Ucap Gandara Baruwa.

Aku tak menyangka makhluk itu masih mengharapkan wanasura untuk mengabdi padanya. Entah itu sebuah keberuntungan, atau hanya sebuah bom waktu untuk kematian kami.
Setelah mengucapkan itu, perlahan tubuh Gandara Baruwa menyusut semakin mengecil. Tubuhnya yang hampir sebesar setengah dari desa itu berubah seukuran manusia biasa dengan seluruh tubuh yang berwarna hitam.
Kukunya panjang dengan bulu yang lebat di seluruh tubuhnya. Giginya tajam dengan taring yang menjulur keluar dan matanya menyala merah.

“Apa dia melemah?” Tanya Cahyo.

“Tidak.. tidak mungkin, tekanan kekuatanya masih kurasakan, bahkan semakin kuat,” Balasku.
Gandara Baruwa yang dalam wujud manusia itu mencengkeram salah satu sukma seorang wanita yang terikat di sana. Ia menjambak rambutnya dan memakanroh itu dari wajahnya.

“Ja—jangan! Sakitt!” Teriak roh itu yang seketika terhenti tepat saat Gandara menghabisi kepalanya.
“Hentikan!!” Teriakku dan Cahyo.

Kami bergegas menuju Gandara Baruwa dan melancarkan serangan kami. Cahyo melompat dengan kekuatan wanasura dan menghantam kepala setan itu, sementara aku melancarkan Ajian Lebur Saketi untuk melemparkan pukulan jarak jauh padanya.
Sayangnya, makhluk itu tidak terluka sedikitpun. Ia tidak mempedulikan setiap serangan kami dan terus melumat roh itu hingga habis.

Setelahnya ia kembali mencari roh lain dan kembali menerkamnya.
“Hentikan!! Hentikan!!” Teriak Cahyo yang terus memukuli makhluk itu bertubi-tubi, tapi kekuatan wanasura benar-benar tidak berguna terhadapnya.

Cahyo terlihat frustasi saat tak berkutik melihat roh seorang manusia yang seharusnya masih hidup dihabisi di depan matanya.
Ini pertama kalinya serangan kami sama sekali tidak berguna pada suatu makhluk. Aku tidak ingin menambah korban lagi dan segera meletakkan keris ragasukma di hadapan dadaku.

Aku mengingat dengan jelas mantra yang diturunkan leluhurku.
Sebuah mantra yang seharusnya hanya kubacakan saat dalam keadaan terdesa diantara hidup dan mati. Tapi, kali ini nyawa puluhan orang dipertaruhkan.

Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…

Angin berhembus dengan tenang.
Suara hutan masih berbaur dengan suara teriakan roh yang siap dihabisi oleh Gandara Baruwa.

Tapi…

Aneh..

Tidak ada air hujan yang menetes..
Tidak ada pula tanda-tanda kemunculan sosok yang mendekat ke arah kami.
“Tidak mungkin? Mantraku gagal?” Ucapku.
Akupun mengulang mantra itu sekali lagi. Kupastikan sukmaku dan keris ragasukma menyatu saat membaca mantra itu, tapi tetap sama. tidak ada tanda-tanda kemunculan Nyi Sendang Rangu.
“Danan? Apa yang terjadi dengan Nyi Sendang Rangu?” Teriak Cahyo yang menyadari ada yang salah dengan mantraku.

“Entah, Tidak terjadi apapun.. mantraku tidak bekerja,” jawabku.

Aku memastikan keris ragasukma masih memiliki kekuatanya.
Tapi mengapa ia tidak bisa memanggil Nyi Sendang Rangu lagi? Apa terjadi sesuatu dengannya?

“Hutan ini yang menghalanginya mendekat…” Tiba-tiba Mas Linus mendekat, namun aku mengenal itu bukanlah suaranya.
Itu adalah suara dari kesadaran pusaka pisau batu yang kini telah kembali padanya.

“Ma—maksudnya? Nyi Sendang Rangu tidak bisa memasuki Leuweung Sasar?” tanyaku.

Mas Linus mengangguk,
sementara itu Mas Linggar tengah menitipkan roh ibu dan ketiga pakdenya kepada mas jagad untuk dibawa ke tempat yang aman.

Rupanya sedari tadi mereka mencari kesempatan untuk menyelamatkan roh ibu Mas Linggar dan kerabatnya yang tergantung di atas pohon besar.
Terlihat roh ibu mas linggar menyadari sesuatu yang terdapat dalam diri mas linggar. Ia menyadari kutukan yang sebelumnya berada padanya kini telah berpindah ke anaknya.

“Kau boleh membalaskan dendamu padaku sekejam apapun itu, tapi tolong selamatkan anakku,”
Ibu Mas Linggar berkata sembari menatap mata Mas Linggar dalam-dalam. Kami semua tahu bahwa ia sedang berbicara dengan sosok yang berdiam di tubuh Mas Linggar.

“Jangan ibu! Ibu harus hidup!” Ucap Mas Linggar yang tidak setuju dengan ucapan ibunya.
Belum sempat lebih lanjut berbicara, tiba-tiba sebuah tangan muncul dari dalam tubuh Mas Linggar. Sosok itu mencekik ibu linggar dengan kuku-kukunya yang tajam.

“Kalau begitu, mati!!”

Nyai Kunti muncul dari tubuh linggar dan hendak menghabisi roh ibu linggar.
Mas Linggar mencoba menahanya, tapi ia masih jauh dari mampu untuk melakukan itu.

“To—tolong!” Teriak Linggar.

“Kau harus berjanji memastikan anakku hidup,” Ucap Roh ibu Linggar yang tengah mempertahankan kesadaranya.

“Itu urusanku!” Balas Nyai Kunti.
Aku dan Jagad berusaha mencegah Nyai Kunti membunuh roh ibu linggar. Tapi waktu mereka tidak cukup untuk mencapainya.

Di tengah kebingungan kami tiba-tiba terlempar sebuah benda menabrak tubuh linggar dan membuatnya terjatuh.
“Cepat bawa pergi dia!” Ucap Linggar dengan suara yang berbeda.

Benda itu adalah pusaka Linus yang dilempar olehnya, ia mengambil kesadaran Linggar sementara untuk mengekang Nyai Kunti.

“Mas Jagad!” aku memastikan Mas Jagad mengerti maksud itu.
Dengan sigap mas jagad menarik roh ibu linggar dan membawanya pergi ke alam lain bersama ketiga roh pakdenya.

“Pusaka brengsekk!!!” Teriak Nyai Kunti yang berhasil menguasai tubuh Linggar lagi.

Sosok itu berteriak sekeras-kerasnya hingga hewan hutanpun berlarian.
Kali ini Gandara Baruwa menoleh. Sepertinya ia tidak memandang Nyai Kunti dengan sebelah mata.

“Jadikan dirimu berguna setelah apa yang kau lakukan!” Teriak Nyai Kunti sebari melempar pisau pusaka batu itu kembali pada linus.
“Aaaaarrrrggh!!!”Mas Linggar terlihat kesakitan. Matanya menghitam dengan darah yang mulai mengalir dari rongga matanya. Garis uratnya terlihat di sekujur kulitnya dan mulai menghitam.

Tak lama setelahnya tiba-tiba Gandara Baruwa memuntahkan darah hitam dari mulutnya.
Ia kesakitan hingga bergulingan di tanah.

“Aarrrghh…sakit! Setan sialan!!!” Teriak Gandara Baruwa.

Cahyo kaget, ia tidak menyangka sosok yang sedari tadi ia serang sekuat tenaga namun tidak terluka sedikitpun, kini berteriak kesakitan oleh sesuatu.
“Itu, Nyai Kunti?” Tanya Cahyo.
Aku memastikan keberadaan sosok yang ditanyakan oleh Cahyo, dan benar saja tanpa kami sadari Nyai Kunti sudah merasuk kedalam Gandara Baruwa dan menyebarkan kutukanya.
“Linggar tidak akan bertahan,” ucap pusaka batu yang mengambil alih tubuh linus.
Aku, Cahyo, dan Linus menghampiri Mas Linggar yang tengah kesakitan. Berkali-kali aku membacakan mantra penyembuh namun sama sekali tidak berguna untuk dirinya.

“Nyai Kunti itu harus kembali sebelum Mas Linggar kehilangan nyawanya,” ucapku.
Aku memikirkan siasat. Mungkin saja bila aku menyerang mereka dengan wujud sukmaku aku bisa memaksa Nyai Kunti untuk meninggalkan Gandara Baruwa dan kembali ke tubuh linggar.

Namun sebelum itu terjadi, Linus menghentikanku.
“Aku mencium bau sesuatu yang sangat kuat, bau yang menenangkan,” ucap Linus yang masih dalam pengaruh pusaka itu.
“Maksudnya?” tanyaku.
Aku merogoh tubuhku dan menemukan sebotol kecil wewangian yang diberikan oleh Gama sebelum berpisah tadi.
“Apa.. ini?” Tanyaku sembari menunjukkan botol wewangian kecil itu.
Linus memperhatikanya dan menciumnya dengan seksama. Wajahnya terlihat berubah seolah mengenali benda ini.
“Gunakan ini pada Linggar, wewangian ini sama dengan yang dimiliki sang ulama,” ucapnya.
Aku tidak mengerti, namun aku juga tidak memiliki kesempatan untuk berpikir. Saat ini aku hanya bisa mengikuti petunjuk dari sang pusaka pisau batu yang mengambil alih tubuh Linus.
Kami membaringkan Mas Linggar dalam posisi yang nyaman.
Sementara itu Cahyo berusaha menahan tubuh Mas Linggar yang terus meronta. Akupun membuka tutup wewangian itu dan mencium aroma yang sangat pekat.

Aku bisa menebak bahwa benda ini bukan benda biasa.
Ada bau dari akar-akaran keramat dan rempah dari puluhan bahkan ratusan tempat. Benda ini hanya bisa dibuat oleh pengembara yang sudah berkeliling selama puluhan tahun.

Botol wewangian itu kudekatkan pada hidung linggar.
Aku memastikan aroma itu merasuk dalam tubuhnya bersama setiap nafas yang ia tarik kedalam paru-parunya. Hanya dalam hirupan ketiga, seketika Mas Linggar terhentak bersama asap hitam yang keluar dari dalam dirinya.

“Apa yang kalian lakukan?”
Asap hitam itu melayang ke atas kami. kamipun menoleh dan melihat sosok perempuan mengerikan melayang-layang diatas kami. itu adalah sosok Nyai Kunti yang tadi merasuk pada Gandara Baruwa. Kini ia telah kembali di antara kami.
Kamipun menoleh ke arah Gandara Baruwa, ia tengah berusaha berdiri setelah pertarunganya dengan Nyai Kunti. Sementara itu tubuh Linggar kembali pulih dan kesadaranya kembali perlahan.

“Berhasil?” tanyaku.

“Jangan lengah!” Ucap Linus sembari memastikan kami mengawasi Nyai Kunti.
Nyai Kunti memperhatikan tubuh rohnya. Ia merasakan ada yang berbeda pada dirinya. Ia melayang terlepas dari tubuh linggar sementara mas linggar masih tetap tersadar.

“Kau melepaskan ikatanku dengan keturunan Sasena?” ucap Nyai Kunti.
Melepaskan? Aku tidak pernah menyangka wewangian ini memiliki kemampuan seperti itu. Apa ini hal yang buruk? Apa ini artinya kini ia bisa melampiaskan amarahnya?

Kamipun menjauh mundur dari Nyai Kunti. Saat meyakinkan apa yang terjadi padanya, perlahan iapun mulai tersenyum.
“Khikhikhikhikhi…. Akhirnya!! Akhirnya kutukan bodoh itu tidak lagi mengikatku! Aku bisa membalas dendamku!” Teriak Nyai Kunti.

Wajah Linggar terlihat pucat, ia meminta kami semua untuk waspada.
“Leluhurku menyiksa dan membunuhnya agar ia bisa menjadi roh pelindung trah sasena.
Dendamnya benar-benar tidak terbendung,” ucap Mas linggar.

Apa-apaan ini? Melawan Gandara Baruwa saja kami tidak sanggup, kini Nyai Kunti bebas dari ikatanya dan berhadapan dengan kami.
“Aku akan memaafkanmu bila kau mau mengabdi kepadaku dan menghabisi mereka,” ucap Gandara Baruwa yang mendekat pada Nyai Kunti.
Nyai Kuntipun menoleh ke Arah Gandara Baruwa. Walau sempat membuat Gandara Baruwa kerepotan, ia sadar makhluk raksasa itu masih jauh lebih kuat darinya.
“Sebaiknya kalian segera melarikan diri,” ucap kesadaran pusaka di tubuh linus.

“Aku bertatapan dengan Cahyo,” kami sama sekali tidak bisa membaca situasi ini.

Melarikan diri? Saat ini ada puluhan roh yang akan musnah bila tidak ada yang menolongnya.
Itu sama saja dengan kematian anak-anak di desa dirga dan warga yang ditumbalkan Mbah Sugik.

Tanpa sepatah katapun aku dan Cahyo melangkah kedepan Mas Linggar dan Mas Linus.
Cahyo sudah mengerahkan semua kekuatan wanasura di tubuhnya sementara keris ragasukma sudah tergenggam erat di tanganku.

“Kalian pergilah, selamatkan roh-roh yang bisa kalian bawa sebisa kalian,” ucap Cahyo yang berdampingan denganku.
“Jangan! Jangan Gila! Nyai Kunti saja sudah terlalu kuat! Kini musuh kalian dua orang makhluk yang mendekati dewa,” ucap Pusaka Linus menahan kami.

“Dewa? Mereka jauh dari pantas untuk menyandang gelar ini,” balasku.
Perbincangan kami tidak berlangsung lama, Mas Linggar dan Mas Linus tetap tidak ingin pergi tanpa kami.

Sementara itu Makhluk hitam bermata merah yang tengah dikuasai amarah itu kini melangkah ke arah kami.
Perlahan ia kembali ke wujud raksasanya dan berniat menghabisi kami dengan brutal.
“Seharusnya kalian kuhabisi lebih dulu!” ucapnya.
Sekali lagi kami berhadapan dengan sosok raksasa Gandara Baruwa.
Pohon-pohon bertumbangan tak mampu menahan kekuatan makhluk itu. aku dan Cahyo sudah kembali memasang kuda-kuda untuk bereaksi terhadap serangan apa yang akan ia lakukan.

Cakar makhluk itu sudah mengayun ke arah kami, namun sebelum kami sempat menangkisnya seranganya terhenti.
Tanganya terjatuh di tanah seolah Gandara Baruwa tidak mampu mengangkatnya lagi. Tanganya membusuk dengan kulit-kulitnya yang mulai mengelupas. Aku mencari siapa pelakunya, dan hanya menemukan Nyai Kunti yang melayang menghadang Gandara Baruwa.

“Nyai Kunti?” Tanyaku Bingung.
“Setan brengsek! Kau sudah bebas, mengapa masih memihak manusia,” protes Gandara Baruwa.

“khikhikhi… Memihak? Jangan Goblok! Aku hanya sudah terlanjur berjanji pada ibu dari bocah itu,” Balas Nyai Kunti.
Gandara Baruwa terlihat semakin geram. Wajahnya penuh amarah seolah merasa dipermainkan.

“Pergi Bocah Goblok! Jangan pikir aku akan bertarung mati-matian untuk mengalahkan demit bongsor ini!” Ucap Nyai Kunti.
Benar, dengan Nyai Kunti yang menahanya, mungkin kami memiliki waktu untuk menyelamatkan diri dengan membawa beberapa roh anak-anak dan warga yang masih bisa diselamatkan.

Ucapan Nyai Kunti segera terbukti. Tangan Gandara Baruwa kembali pulih dengan cepat.
Kutukan Nyai Kunti hanya bertahan sesaat di tubuh raksasa itu.

“Kita pergi?” Tanya Linggar.

Aku masih ragu, tapi aku tetap merasa ini adalah kemungkinan terbaik. Bila kami sampai mati, aku tidak bisa membayangkan kembali siapa yang bisa menghadapi Gandara Baruwa.

“Tunggu,”
Tiba-tiba Linus yang masih dikuasai pusaka itu menahan kami.

“Tidak perlu lari lagi,” ucapnya.
Aku dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan kali ini sudah diluar kendali kami, apa mungkin pusaka pisau batu itu punya rencana?
Di tengah kebingungan kami, sebuah cakaran Gandara Baruwa yang diarahkan ke Nyai Kunti kembali terhenti. Ada sosok yang menariknya dan menjatuhkanya ke tanah. Sesuatu mencabik-cabik lengan itu dengan cakaran dan giginya.
Aku sempat melihat sosok hitam yang cukup besar melesat ke arah Gandara Baruwa. Suara geraman makhluk itu membuatku bisa menebak sosok itu.
“Maaf aku terlambat, ada sesuatu yang menghalangiku untuk muncul di hutan keramat ini,”
Itu adalah Nyi Sendang Rangu. Ia datang bersama sosok kucing hitam besar yang sebelumnya juga bertarung denganya.
“Nyi ?” Ucapku senang.
Kini Macan hitam besar itu tengah sibuk melumat wajah Gandara Baruwa. Ia terlihat begitu marah dengan keberadaan sosok itu. Walau begitu, aku melihat kekuatan Meong Hideung tengah tidak maksimal, sepertinya ia baru saja menyelesaikan sebuah pertarungan.
Akupun menghampiri Nyi Sendang Rangu dan berdiri di sebelahnya.

“Aku minta bantuan lagi ya Nyi,” ucapku yang dibalas dengan senyuman manisnya.
Hujan gerimis mulai turun menyambut kedatangan Nyi Sendang Rangu.
Dengan keberadaan hujan ini, itu artinya ada wujud roh yang bisa ikut bertarung dengan kami.
Akupun menoleh dan memberi isyarat pada Cahyo.

“Wanasura, sekarang kamu bisa mengamuk sepuasnya,” ucap Cahyo disusul dengan kemunculan roh kera raksasa yang kini berdiri di sebelahnya.
Berada di bawah rintikan hujan sendang rangu, sama seperti berada di alam roh. Wanasurapun bisa menggunakan wujud aslinya.

Aku memperhatikan Mas Linggar yang memberanikan diri untuk mendekati Nyai Kunti.
“Kenapa? Kenapa Nyai Kunti masih membantu kami? Apa kau benar-benar ingin membunuh ibu?” Tanya Mas Linggar.

Sosok itupun mundur dan mendekat kepada Mas Linggar.

“Leluhurmu menggagalkanku untuk menjadi seorang ibu.
Tapi berada dalam tubuh ibumu membuatku merasakan arti sebenarnya menjadi seorang ibu..
Kalau kalian mati, berarti aku akan kehilangan itu semua,” ucap Nyai Kunti yang mulai melunak.
Mas Linggar mencoba untuk mengerti ucapan itu.
ia menganggap bahwa ada harapan bahwa Nyai Kunti tidak akan membunuh ibunya.

“Kalau begitu, aku minta tolong untuk terakhir kalinya ya Nyai,” ucap Mas Linggar.

Kini jantungku berdegup keras. Nyi Sendang Rangu, Wanasura, Nyai Kunti, dan Meong Hideung berada di pihak kami.
Aku semakin yakin bahwa Tuhan tidak pernah memberikan masalah pada kami tanpa pemecahanya. Kini aku sangat yakin bisa mengalahkan makhluk itu.

“Mengamuklah, sekarang kalian bisa mengamuk dengan puas,”
Tiba-tiba terdengar suara mas Jagad yang tengah memegang sebuah pusaka kotak batu yang sempat digunakan anak buah Mbah Sugik.

“Roh di desa mati itu sudah kuamankan. Jangan menahan kekuatan kalian,” ucapnya lagi.
Rupanya Mas Jagad mencoba mengerahkan kemampuan maksimal dari pusaka-pusaka kotak batu itu untuk menampung roh anak-anak dan warga yang ada di desa mati. walaupun aku tahu, setelahnya pusaka itu pasti akan hancur. Itulah kekuatan dari sang Sambara Penghancur Pusaka.
Sekarang kami tidak perlu ragu lagi untuk mengamuk.

“Hebat! Mas Jagad keren!” Ucap Cahyo.
Kamipun segera menyusul Meong Hideung yang tengah kesulitan menahan Gandara Baruwa.
“Pisahkan kepalanya! Dia tidak akan bisa pulih setelahnya,” Ucap Kesadaran Pusaka Pisau batu di tubuh Mas Linus.

Kami mendengarnya dan merencanakan sebuah serangan bersamaan.
Aku dan Cahyo menaiki tubuh wanasura dan menghantam Gandara Baruwa yang tengah kehilangan keseimbangan dengan serangan Meong Hideung. Dengan sigap, Gandara Baruwa kembali menahan dirinya, namun tiba-tiba ia terjatuh.

“Aarrrrgghhhh…..”
Ia kesakitan, Nyai Kunti kembali merasuki dirinya dan menanamkan kutukan padanya. Walau begitu Gandara Baruwa masih bisa mengayunkan cakarnya dan menghantam tubuh Wanasura. Beruntung Wanasura cukup sigap menahanya walau membuatnya terpental.
Gandara Baruwa kembali mencoba berdiri, namun Nyi Sendang Rangu sudah berada tepat di atas wajahnya.

“Kita roh dari masa lalu punya banyak waktu untuk memilih. Menjadi penghuni neraka? Atau berharap belas kasih dari sang pencipta?
Sayangnya pilihan kedua mungkin sama sekali tidak menarik untukmu,” ucap Nyi Sendang Rangu yang wujudnya berubah dengan mengerikan.

Tubuhnya menghitam dengan berbagai wajah tumbuh di setiap kulitnya.
“Kalian yang bodoh! Takluk pada manusia? Kita jauh lebih hebat dari mereka!” Teriak Gandara Baruwa.

“Kalau begitu biar semua tumbalmu membalas semua perbuatanmu,” Ucap Nyi Sendang Rangu.
Wajah-wajah dari tubuh Nyi Sendang Rangu berteriak dan keluar satu persatu merasuk ke dalam Gandara Baruwa. Seketika Mata Gandaruwa terbelalak ia berteriak histeris setelahnya. Entah apa yang telah dilakukan Nyi Sendang Rangu padanya.
Di satu sisi, aku mengambil posisi di hadapan Cahyo sembari membacakan mantra pada keris ragasukmaku. Kilatan cahaya putih menyelimutinya dan aku memastikan ini adalah semua kekuatan yang kupunya.
Di hadapanku ada leher makhluk itu bersama Meong Hideung yang telah bersiap di sisi lainya. Wanasurapun sudah berlari menuju kepala Gandara Baruwa.

“Sekarang!” Teriakku.
Cahyo melempar tubuhku dengan tubuhnya yang telah dibacakan ajian penguat raga hingga tubuhku melesat ke arah leher Gandara Baruwa.

Nyai Kunti dan Nyi Sendang Rangu menahan Gandara Baruwa dengan kutukan mereka.
Akupun berpapasan dengan Meong Hideung dan menyayatkan serangan yang memutus leher makhluk raksasa itu hingga setengahnya.
Dan sebelum luka itu menutup, Wanasura segera menarik kepala makhluk itu dan memisahkanya dari badanya.
“Aaaaarrrghh!! “ Teriak Gandara Baruwa, Bahkan ia masih bisa berbicara setelah kepalanya terputus.

“Bodoh! kalian bodoh!! Tanpa adanya aku, penguasa Alas Wetan akan leluasa berkuasa! Seribu lelembut Alas Wetan akan menuntut tempatnya di alam kalian! Arrrrgghhh…”
Kepala itu terus meronta tanpa henti, namun wanasura tetap enggan melepasnya walau berkali-kali kepala Gandara Baruwa mencoba menggigitnya. Lambat laun, teriakan itupun menghilang bersama tubuh Gandara Baruwa yang menciut dan menguap menjadi asap hitam.
“Kemana? Kemana tubuh makhluk itu?” Tanya Mas Linggar bingung.

Akupun menoleh ke arah kepala yang dibawa wanasura, dan kepala itu ikut menciut dan menguap menjadi asap hitam.

“Apa sudah selesai?” Tanya Cahyo.
Kami menunggu beberapa saat dan tidak mendapati pertanda bahwa Gandara Baruwa akan muncul lagi. Tapi tidak seperti biasanya, setelah menyelesaikan sebuah masalah sewajarnya kami merasa lega. Tapi kali ini aku masih merasa cemas.
“Seharusnya sudah, tapi aku masih merasa cemas,” ucapku.

Nyi Sendang Rangu menghampiriku setelah kembali ke wujud cantiknya.

“Belum selesai, tapi urusan di hutan ini seharusnya sudah sampai di sini,” Ucapnya.
“Apa ini tentang Alas Wetan? Seperti gertakan Gandara Baruwa?” Tanyaku.

Nyi Sendang Rangu mengajakku menoleh ke salah satu sisi langit. Aku melihat dengan mata batinku dan menemukan sebuah cahaya prasasti dari sisi barat berhenti bersinar.
Namun masih ada beberapa prasasti lagi yang menyala dan menandakan masih ada bencana yang harus kami hadapi.
Aku mencari keberadaan Meong Hideung, namun ia sudah menghilang dari pandangan kami.
Tanpanya Nyi Sendang Rangu tidak akan sampai ke tempat ini, dan kami tidak mungkin mengalahkan makhluk itu.
“Kucing itu siapa Nan?” Tanya Cahyo penasaran.
“Teman, nanti kalian juga akan saling kenal,” Jawabku singkat.
Kamipun terduduk menyender pada tubuh Wanasura yang menikmati hujan Nyi Sendang Rangu. Beberapa langkah dari hadapan kami, Aku melihat Mas Linggar dan Mas Linus yang berhadapan dengan Nyai Kunti.
“Wewangian itu sudah melepaskan ikatan Kita.. Ikatan Nyai Kunti dengan darah Sasena. Aku hanya berharap Nyai Kunti bisa tenang,” ucap Mas Linggar pada Nyai Kunti.
Sosok itu terdiam tak langsung menjawab. Ia perlahan menghilang dari pandangan kami seperti kabut yang telah menyelesaikan paginya.
“Tidak ada yang bisa mengaturku, Jangan kira setelah ini aku tidak mengawasimu.. Linggar Sasena,” Suara Nyai Kunti terdengar menggema diantara kami, namun aku cukup lega saat tidak lagi merasakan kebencian dalam suaranya.

***
Nyai Kunti
Suara rintihan terdengar begitu lirih di sebuah goa di tengah hutan. Ada seorang wanita yang dikurung di sana oleh pertapa-pertapa keji yang ingin merubah manusia hidup itu menjadi setan yang mengerikan. twitter.com/i/web/status/1…
Tubuhnya sudah hancur, tidak ada lagi kehormatan di dirinya setelah ketujuh pertapa keluarga Sasena memperkosanya dalam sebuah ritual.
“Ini semua terpaksa kami lakukan agara rohmu mengenal siapa tuanya!”
Kalimat itu terus teringat di pikiran wanita itu.
sebuah alasan yang menurutnya tidak dapat membenarkan perbuatanya. Ia diperlakukan seperti anjing dengan hanya memakan lepehan ketujuh pertapa itu. semua itu dilakukan dengan alasan yang sama.
Ia sendirian di sana, tapi ia masih punya harapan pada janin yang ada diperutnya yang menjadi satu-satunya alasan untuk hidup.

Di suatu malam, wanita itu terbangun dengan bau wewangian yang begitu menyengat.
Ia merasa akan ada ritual lagi yang akan dilakukan padanya, tapi ternyata ia salah. Semakin lama, bau itu semakin menenangkan.
Ia sadar bahwa ada yang sedang meramu sesuatu tak jauh dari tempat ia dikurung.
“Siapa? Siapa di sana? Ada orang?” Teriak wanita itu, namun sama sekali tidak ada jawaban dari siapapun. Ia terus berusaha walau tahu suaranya tidak akan mencapai orang itu.

Tapi keajaiban terjadi…

“Siapa yang mengurungmu di sini?”
Suara seorang pria tua terdengar tak jauh dari tempatnya.

“To—tolong! Tolong saya! Ketuju pertapa keluarga sasena yang mengurungku di sini,” ucap wanita itu.
Pria itu berhenti sesaat dan mengambil air untuk membasuh tubuhnya. Iapun mulai membacakan doa-doa dan ayat suci untuk melepas penghalang gaib yang menghalangi tempat itu.
Tapi hampir setengah malam orang itu melakukan tirakat, Tidak ada sedikitpun tanda-tanda penghalang gaib itu akan menghilang.

“Maafkan aku, ritual yang mereka lalukan begitu kuat. Ilmuku belum mampu untuk melepaskanmu..” ucapnya.
Wanita itu kecewa, iapun kembali merenung dalam gelapnya goa yang mengurungnya. Sebenarnya iapun sadar, hampir tidak ada manusia yang menolongnya dalam situasi ini.
“Setidaknya maukah anda membacakan lagi doa-doa itu. Retidaknya aku bisa sedikit tenang mendengarnya walau hanya satu malam saja…” ucapnya.
Di tengah hutan itu aroma ramuan itu menemani wanita itu bersama alunan ayat-ayat suci yang menenangkan.
Suara rintihan yang sebelumnya terdengar kini mulai menjadi berganti dengan alunan ayat suci yang menenangkan.
“Saat ini aku belum bisa menolongmu, tapi mungkin suatu saat, aku atau keturunanku bisa menyelamatkanmu dari penderitaan ini,” ucap pria itu sebelum meninggalkan wanita itu sendirian lagi.
Ketenangan itu hanya berlangsung sesaat. Di siang harinya wanita itu terus dihujani sengan mantra mengerikan yang dibacakan oleh leluhur Sasena. Rasa dendam dan kebencian semakin tumbuh dengan kuat.
Itulah yang diharapkan oleh leluhur sasena. Manusia yang mati dengan rasa dendam yang menumpuk akan melahirkan setan yang mengerikan.
Wanita itu berakhir di sebuah liang kubur. Ia terkubur hidup-hidup bersama janin yang ia kandung.
Ia terkubur bersama setiap umpatan yang ia teriakkan bersama setiap tanah yang jatuh menguburnya.

Di sebuah bangunan besar, sekelompok orang berkumpul dengan emosi yang meledak-ledak.
“Kepala setiap keluarga Sasena harus kita gantung di hadapan warga desa! Mereka harus menanggung setiap perbuatanya,” ucap salah seorang dari mereka.

“Tanah yang mereka rebut, akan menjadi tempat darah mereka tertumpah,” tambah yang lain.
Tapi pertemuan yang penuh emosi itu seketika terhenti dengan perubahan wajah salah seorang yang memimpin mereka.

Wajahnya menghitam, kulitnya mengelupas. Matanya memerah bersama darah yang mengalir dari lubangnya.

“Apa yang terjadi??!!” Yang lainpun panik mendekat ke orang itu.
Tapi orang itu malah tertawa cekikikan sembari terus menjambak rambutnya hingga kulit kepalanya terlepas.

“Khikhikhi…Mati! kalian diperintahkan untuk mati” Orang itu tertawa dan berteriak, setelahnya ia mati tergeletak dengan tubuh yang menghitam.
Seluruh orang di tempat itupun panik. Dari jasad itu muncul asap hitam yang berubah menjadi sosok wanita mengerikan yang melayang dengan penuh amarah.

“Siapa! Siapa yang menyuruhmu!” Teriak seseorang yang mengacungkan kerisnya ke setan perempuan itu.
“Aku Nyai Kunti! Ini adalah peringatan dari Sasena!” jawabnya.
Dalam waktu semalam, rumah itu sudah dipenuhi jasad yang menghitam. Tidak ada satupun dari mereka mampu melawan makhluk suruhan keluarga sasena itu.
Saat pagi tiba, istri salah seorang dari orang itu memasuki ruangan dan histeris menemukan jasad-jasad itu. ada seseorang yang masih tersadar berusaha memperingatkanya.
“Jauhi trah Sasena! Mereka memelihara iblis! Mereka dan keturunanya akan dikutuk!” Ucapnya sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
Semenjak itu tidak ada satupun orang yang berani mengusik keluarga sasena. Entah itu masalah peninggalan kerajaan, perebutan lahan, dan bahkan penjajahpun tidak berani berurusan dengan mereka.
Mereka sadar akan satu sosok yang berada dibalik nama sasena..
Nyai Kunti…

***
(Sudut pandang Danan…)

Tangis histeris terdengar saat Mas Putra mengantarkan anak-anak di desa dirga setelah benar-benar pulih dari rumah sakit. Rasa khawatir orang tua mereka terbayarkan saat anak-anaknya kembali tersadar dari komanya.
“Mas Cahyo berhasil?” Tanya Guntur menyambut kami.

“Ya Jelas, selama ada pusaka sarung keramat ini nggak ada yang bisa ngalahin mas Cahyo,” balas Cahyo.

“Iya, nggak ada yang mau ngelawan. Kabur duluan karna nggak tahan sama baunya,” Ledekku.

“Aseem kowe Nan,” balas Cahyo.
Akupun menengok keadaan Dirga. Ia sudah tersadar namun luka luarnya sepertinya belum pulih sepenuhnya.

“Mas Danan?” Dirga menyambutku dengan senyuman di wajahnya.

“Tenang, orang-orang yang ngelukain kamu sudah diberesin. Semangat buat pemulihanya ya,” ucapku.
“Iya mas, tapi aku seneng lho!” ucap Dirga.
“Seneng?”

“Iya, akhirnya aku punya bekas luka seperti mas Danan dan mas Cahyo,” Ucapnya Polos.
Mendengar ucapan itu guntur segera menghampiri Dirga.
“Lah iya! Kok keren?? Aku malah nggak punya yang sebesar itu. Luka-lukaku paling Cuma gara-gara cakaran Nenek-nenek,” Ucap Dirga iri.

Aku dan Cahyo menggeleng mendengarkan perbincangan kedua bocah ini. bagaimana bisa bekas luka menjadi suatu hal yang diperebutkan.
“Hati-hati nanti Nyai Jambrong denger, gitu-gitu dia gurumu lho,” ucapku.

“Hehe.. kan guyon mas,” balas Guntur.
Aku berkeliling rumah mencari keberadaan Paklek. Tapi aku sama sekali tidak menemukan keberadaanya. Tidak biasanya ia pergi tanpa pamit.
“Paklek sudah pergi duluan, ia naik bus subuh ke Jawa Timur.” Ucap Abah.

“Kenapa buru-buru Bah?” Tanyaku.

“Ada yang bilang seseorang menemukan sebuah desa yang sebagian penduduknya mati dalam semalam.
Ada yang menganggap itu wabah, tapi paklek mendapatkan penglihatan bahwa itu adalah perbuatan makhluk yang serupa dengan Gandara Baruwa,” Jelas Abah.
Cahyo mendekatiku saat mendengar cerita abah. Kisah itu seolah membenarkan ancaman Gandara Baruwa tentang adanya makhluk penguasa alas wetan yang lebih mengerikan darinya.

“Kami harus segera menyusul paklek Bah,” ucap Cahyo.
“Kalian istirahat dulu, biar Paklek yang mencari petunjuk. Kalian menyusul saat inipun tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik,” Larang Abah.
Kami berusaha menerima ucapan Abah. Jelas kami semua sudah kehabisan tenaga.
Sepertinya kami harus menghabiskan hari ini di tempat ini terlebih dahulu.

Ada sebuah pesan masuk di telepon genggamku saat aku terbangun di sore hari. Itu dari Gama, ada sesuatu yang ingin ia bicarakan sebelum kepergian kami.
Cukup jauh dari rumah abah, ada sebuah bukit yang bernama Bukit Cupu. Hanya butuh beberapa menit untukku bisa mencapai puncaknya. Aku disambut dengan langit yang memerah dan seseorang yang sudah menunggu seorang diri di sana.

“Sudah lama?” ucapku.
“Eh nggak juga, emang dasarnya aja betah di sini,” balas Gama.

Kami duduk berdua menikmati pemandangan langit yang memerah. Sebuah karya maha indah yang diberikan maha pencipta untuk mereka yang menjemput maghribnya.
Tapi di bawah keindahan langit itu terdapat misteri yang mendalam. Kami bisa memandang dengan jelas hutan-hutan yang tumbuh lebat di bawah sana. Dan Leuweung Sasar ada diatara hutan-hutan itu.
“itu Leuweung Sasar?” Tanyaku memastikan pada Gama yang terus melihat ke arah hutan itu.
“Benar Nan, itu yang ingin kubicarakan sama kamu,” balas Gama.

Mendengar ucapan Gama, aku tidak yakin bisa memberi solusi atas apa yang ingin dibicarakan oleh Gama.
Perihal Leuweung Sasar, seharusnya ialah yang lebih mengerti.
“Apa mungkin kamu mengetahui sesuatu yang mungkin bisa menyegel hutan itu lagi Nan?” Tanya Gama.
Menyegel hutan? Selain kejadian antara pusaka Mas Linus dan alas wetan aku tidak pernah mengerti cara untuk melakukan itu.

Walau begitu aku sedikit menceritakan tentang pengalaman kami ketika penunggu alas wetan mengamuk.
Saat itu Pusaka Mas Linuslah yang mengorbankan diri untuk menyegelnya disana selama bertahun-tahun. Tapi saat ini, kekuatanya jauh dari cukup untuk itu.
“Berarti pusaka ya? Mungkin aku harus mencari pusaka serupa untuk bisa menyegel Leuweung Sasar..” ucap Gama.
Aku mengangguk, tapi aku juga tahu itu tidak mudah. Saat ini kami hanya bisa menghaturkan doa kami dan memohon kepada Yang Maha Pencipta untuk menjauhkan manusia-manusia dari hutan keramat itu.
“Mungkin sudah waktunya aku mengembalikan ini, benda ini berhasil menyelamatkan nyawa kami,” ucapku sembari mengeluarkan botol kecil berisi wewangian yang diberikan oleh Gama.
“Kau bawa dulu, kudengar kalian masih akan berurusan dengan hal berbahaya di ujung timur sana,” ucap Gama.

“Kamu yakin? Ini peninggalan berharga dari Ki Langsamana,” tanyaku.

“Peninggalan paling berharga dari leluhurku adalah ilmu dan akhlak yang diturunkan melalui keluargaku.
Dan bila benda itu bisa menyelamatkan nyawa seseorang di tanganmu, berarti benda itu berada di tangan yang tepat,” Jawab Gama.
Aku senang mendengar ucapan Gama. Bukan hanya tentang benda berharga ini. Tapi mengenai kepercayaan dirinya tanpa mengandalkan pusaka seperti ini.
Baru beberapa saat sebelum kami kembali, tiba-tiba terdengar suara beberapa langkah kecil yang mendekati kami. kami mencoba mencari asal suara itu dan menemukan seekor kera kecil mendekati kami.
“Kliwon?” Gama mengenali kera kecil itu.
Aku segera menyambut kliwon, ia menunjukkanku ke arah kedatanganya seolah meminta kami memperhatikanya.
Ada seekor monyet putih..
Ia membawa sebuah kantung kain yang ia letakkan begitu saja di hadapan kami. Akupun mengambil kantung itu dan mencoba membukanya di hadapan Gama.
Pasir…
Hanya beberapa genggam pasir yang terdapat di kantung itu.
“Hanya pasir, apa maksudnya ini Kliwon?” Tanyaku.

Kliwon mencoba menjelaskan, namun aku sulit untuk mengerti. Mungkin Cahyo yang bisa mengartikanya. Tapi Gama masih saja memperhatikan Pasir itu baik-baik.

“Pasir ini…”
Gama membacakan beberapa doa sembari melihat reaksi dari pasir itu.

“Benar! Pasir ini.. pasir ini adalah pasir yang sama seperti yang pernah digunakan untuk menyegel Leuweung Sasar” ucap Gama sembari tersenyum.
“Yang bener?” Tanyaku.
“Iya Nan! Nggak salah lagi! Kliwon, terima kasih! Dan temanmu itu..”

Belum sempat Gama mengucapkan terima kasih. Monyet putih itu sudah menghilang kembali ke dalam hutan.

“Titip ucapan terima kasih Gama untuk temanmu itu ya,” ucapku pada Kliwon.
Iapun menyeringai memamerkan giginya dan meninggalkan kami menyusul temanya itu.
Kedatangan kliwon dan temanya benar-benar memberi sesuatu untukku. Setidaknya dengan tersegelnya Leuweung Sasar, aku bisa meninggalkan tempat ini dan menuju alas wetan dengan tenang.

***
Perjalan panjang mengantar paklek menuju sebuah kota yang berdekatan dengan alas wetan. Dari terminal ia menaiki angkutan umum hingga mencapai salah satu wilayah pedesaan yang sangat luas.
“Bapaknya mau ke desa itu? ini sudah sore lho pak? Kalau masuk jalan kaki ke sana Bapaknya nyampe sana pasti sudah malam,” Cemas supir angkutan umum itu.

“Nggak papa pak, justru saya sudah sangat terlambat,” balas Paklek.
Paklek berjalan kaki menuju desa yang dimaksud. Ia melintasi beberapa desa dan bertemu beberapa penduduk yang mengingatkanya. Namun paklek terus berjalan dengan cemas hingga menemukan sebuah desa yang jauh dari desa lainya.
Bahkan penduduk sekitar desa itupun sudah mengungsi entah kemana.

Ada bau bangkai yang menyengat dari desa itu. tidak ada satupun jasad disana yang dievakuasi dan dikuburkan.
Siapapun yang memasuki desa itu dengan alasan apapun akan bernasib sama dengan warganya yang mati dengan mengenaskan.

Paklek menahan sedih melihat jasad-jasad warga desa yang bergelimpangan di jalanan. Jasad mereka sudah membiru dan sebentar lagi akan semakin membusuk.
Saat memasuki desa semakin dalam, paklek terhenti dengan sosok yang ia lihat. Sosok yang berada di atas salah satu rumah terbesar di desa itu.
Paklek melihat makhluk itu tengah berdiri menatapnya. Wujud dan pakaianya mirip seperti setan-setan di pewayangan.
Giginya panjang dengan wajah dan sebagian tubuhnya tertutup oleh rambutnya yang panjang. tubuhnyapun juga dihiasi baju dan perhiasan kerajaan yang telah lusuh.

Satu hal yang membuat paklek yakin bahwa ia bukan setan biasa.
Setan itu menggenggam sebuah keris berwarna merah padam. Sebuah pusaka mengerikan yang bahkan membuat keris sukmageni bergetar.
Saat ini paklekpun merasa bahwa dirinya gegabah. Ia tidak yakin apa ia bisa selamat dari makhluk mengerikan itu.

***
(Bersambung part 6)
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga akhir. mohon maaf bila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

untuk temen-temen yang mau baca kelanjutanya duluan atau sekedar memberi dukungan bisa mampir ke @karyakarsa_id ya!

karyakarsa.com/diosetta69/ala…
Alas Sewu Lelembut
Part 6 - Amarah

Danan dan Cahyo terbangun di saat yang sama, Firasat tentang paklek membuat mereka memutuskan untuk menyusulnya

@bacahorror @IDN_Horor #bacahorror Image
Malam masih setia dengan pesonanya menyelimuti sebuah desa yang kembali mendapatkan tenangnya. Suara dengkuran saling beradu dari setiap ruangan menandakan kelelahan dari setiap insan yang terlelap di rumah ini.
Sayangnya sunyinya malam itu tak mampu menahan gelisah dari dua orang yang tengah memaksakan tidurnya.

Jantung Danan berdegup kencang, nafasnya seolah tertahan sebuah firasat yang mengganggunya. Iapun terbangun dari tidur dan memilih untuk keluar dan membasuh wajahnya.

Brakk!!
Danan membuka pintu dengan gelisah, tak di sangka ia berpapasan dengan Cahyo yang sebelumnya tidur di kursi teras. Tak berbeda dengan Danan, wajah Cahyo juga terlihat gelisah

“Ndaktenang aku Nan,” ucap Cahyo.

“Sama, nggak pernah aku ngerasa segelisah ini.
Ada sesuatu yang terjadi pada Paklek!” balas Danan.
Ada perasaan yang tidak bisa mereka gambarkan. Yang mereka tahu mereka semua merasa terdorong untuk segera menghampiri Paklek.
“Ra iso iki Nan, aku harus nyusul Paklek,” Cahyo mencari barang-barang bawaanya dan mulai memasukkanya ke tas. Dananpun tak menjawab dan ikut melakukan hal yang serupa.

Mendengar keriuhan di ruangan tengah, Abahpun terbangun dan menemui mereka.
“Ini teh ada apa? kok tiba-tiba tengah malam pada sibuk?” Tanya Abah.

Dananpun menjeda apa yang Iakukan dan menghampiri Abah. Ia menjelaskan apa yang mereka rasakan saat ini.
“Maaf Abah, sepertinya kami harus segera menyusul Paklek. Perasaan kami benar-benar tidak enak,” Ucap Danan menjelaskan keadaanya.

Abah menatap Danan dan Cahyo satu persatu. Matanya terlihat khawatir dengan mereka berdua.
“Kalau kalian merasakan hal itu secara bersamaan, mungkin saja firasat kalian benar. Ya sudah, Abah nggak akan menahan kalian. Pastikan kalian berhati-hati,” ucap Abah.

“Iya Abah, doain kami dan Paklek ya,” balas Cahyo.
“Kalau keadaan semakin tidak tertolong, segera kabari. Nanti saya minta Jagad dan yang lain untuk menyusul ke sana,” Ucap abah.

“Iya Bah, terima kasih..” balas Danan singkat.
Mereka berdua bersiap-siap secepat mungkin untuk menaiki bis pertama menuju ke Jawa Timur.
Mereka sempat memikirkan menggunakan motor Cahyo, namun setelah beberapa kali berdebat mereka sepakat bahwa naik bis adalah cara yang terbaik.

Kali ini bis tidak terlalu ramai, kursi hanya terisi setengahnya saja dari jumlah kapasitas.
Mereka dibawakan beberapa makanan kecil dan lauk seadanya oleh abah. Sepertinya Abah tahu, bahwa kegelisahan Danan dan Cahyo akan membuat mereka tidak terpikir untuk mencari sarapan.

“Kamu nggak bisa ngerogosukmo kesana Nan?” Tanya Cahyo.
“Masih terlalu jauh Jul, lagipula aku tidak tahu persisnya lokasi desa itu,” Balas Danan.
Tak ada yang bisa mereka lakukan saat itu selain memaksa tubuh mereka untuk beristirahat agar siap menghadapi apapun yang ada di tujuan mereka.
Sesampainya di terminal, mereka segera mencari angkutan umum yang melewati jalur terdekat menuju desa yang dikunjungi Paklek. Mereka menanyakan tentang desa Danumulur pada sopir angkutan umum, namun supir angkutan itu malah menyarankan mereka untuk tidak ke sana.
“Bukanya apa-apa mas, sempat ada kabar desa itu sudah ditutup. Ada beberapa orang yang mau cari tahu tentang warga di sana, tapi nggak ada yang kembali,” peringat supir angkutan umum itu.

Merekapun menanyakan padanya, apa yang terjadi pada desa itu.
Sayangnya tidak ada yang bisa memastikan apa yang terjadi. Yang mereka dengar, seluruh warga desa mati dengan cara yang misterius.

“Bukanya nggak mau ngasi tau mas, tapi kayak yang saya bilang tadi. Semua yang masuk ke desa itu untuk mencari tahu tidak pernah keluar lagi.
Orang sekitar hanya menebak melalui bau bangkai di desa itu yang tercium dari hutan sekitar desa itu.” Jelasnya.
Mendengar ucapan itu Danan dan Cahyopun semakin khawatir. Dalam hatinya ia mengetahui bahwa Paklek bukanlah orang yang lemah.
Terlebih Pusaka Keris Sukmageni selalu menemaninya. Mereka berharap Paklek masih bertahan di sana.

Supir angkutan itu memperingatkan kami sekali lagi saat akan menurunkan mereka.
“Tenang pak, paling malam ini kami menginap di desa terdekat dulu,” balas Danan untuk menenangkan supir itu.
Setelahnya Danan dan Cahyo segera memasuki hutan menuju desa sesuai dengan yang diarahkan dan digambar kan oleh abah. Paklek sempat menitipkan secarik petunjuk dan peta sederhana pada abah untuk diberikan pada mereka.

***
DESA DANUMULUR

“Mas, heh Mas.. mau ke mana? Sebentar lagi malam lho,” salah seorang warga desa menegur kami dalam perjalanan.

“Ke desa Danumulur mas, jalananya bener lewat sini kan?” Tanya Danan. twitter.com/i/web/status/1…
Mendengar ucapan kami warga desa itu segera berlari menghampiri kami.
“Jangan mas, jangan… udah beberapa orang ke sana dan nggak ada yang balik lagi,” ucap orang itu.
Sepertinya supir angkutan umum tadi tidak melebih-lebihkan ucapanya.
Masalah di desa itu benar-benar sudah menyebar ke mana-mana.
“Iya mas, tapi Paklek saya ada di sana,” Tambah Cahyo.
Orang itu menghela nafas dengan wajah bingung. Jelas ia terlihat khawatir dengan kami.
“Gimana ya, kalau saya mau cuek sih monggo.. tinggal masuk aja ke hutan, ikutin jalan nanti nggak lama ketemu gapuranya. Tapi ini masalah nyawa lho,” jelasnya.
Sejenak aku berpikir. Bila memang desa itu benar-benar bisa membuat Paklek dalam bahaya,
mungkin sebaiknya aku mencari tahu mengenai keadaan desa itu terlebih dahulu.
“Saya Danan Mas, ini teman saya Cahyo. Memangnya apa yang terjadi sama desa itu mas?” Tanyaku.
“Saya Jurwo, Mas Jurwo.. sini-sini duduk dulu biar saya ceritain,” Jawabnya sembari mengajak kami duduk di sebuah kayu besar yang tergeletak begitu saja di pinggir desa.
Mas Jurwo menceritakan kejadian saat salah seorang warga sedang masuk ke dalam hutan.
Biasanya mereka mencari umbi-umbian atau mencari bahan buruan. Namun saat mendekati desa Danumulur, ia mencium bau bangkai yang sangat menyengat.
Orang itu penasaran dan mendekat ke arah desa, tapi dari jauh ia sudah melihat banyak mayat yang mati dengan mengerikan.
Ada yang jasadnya tersangkut di atap rumah, ada yang bergelimpangan di tanah, dan sebagian berada di luar desa seolah berusaha ingin melarikan diri.
Orang itupun melaporkan ke warga desa-desa sekitar kami. Jelas saja beberapa warga desa dan petugas segera datang ke sana.
Tapi sampai sekarang, mereka yang masuk ke desa itu belum ada yang kembali.
“Nggak ada mas, warga nunggu sampai malam tetep nggak ada yang keluar dari desa itu.” Ucap Mbah Jurwo.
Ia juga bercerita, semenjak kejadian itu banyak warga yang meminta pertolongan orang pintar dan orang sakti dari kenalan-kenalan mereka. Tapi sama saja, tak ada satupun dari mereka yang terlihat keluar dari desa.
Mendengar cerita itu Cahyo tidak bisa diam, ia semakin cemas dengan keadaan Paklek. Dananpun menitipkan sebuah kertas pada Mas Jurwo yang bertuliskan sebuah nomor telepon.
“Mohon maaf mas, mendengar cerita Mas Jur kami semakin harus ke sana.
Saya titip ini, kalau kami sampai besok tidak keluar dari desa. Tolong hubungi nomor ini,” Ucap Danan.
Mas Jurwo merasa kecewa tidak bisa mencegah mereka. Namun ia menerima kertas itu dan berjanji akan menghubungi nomor itu bila besok mereka tidak keluar dari desa.
Malam menjemput saat mereka berdua sudah sampai di tengah hutan. Mereka merasakan sendiri bau bangkai yang berasal dari desa Danumulur. Bukanya semakin takut, mereka malah semakin mempercepat langkah menuju desa itu.

“Grrrrrr….”
Cahyo merasakan kegelisahan Wanasura. Sepertinya,tidak hanya mereka yang khawatir mengenai keadaan Paklek.
Desa Danumulur…
Tulisan itu terpampang di gapura desa yang dibangun dengan apik dengan kayu dan bambu.
Desa terpencil, dan sepertinya hanya berjarak beberapa puluh kilometer dari salah satu sisi alas wetan.
Danan dan Cahyo melangkah dengan hati hati. Saat memasuki desa segera Cahyo menutupi hidungnya dengan sarungnya dan Danan dengan sapu tanganya.
Bau busuk dari jasad-jasad yang bergelimpangan mulai menyengat. Jasad itu sudah mulai membusuk dan rusak.

“Ini seperti di Kampung Srawen…” Ucap Danan.

“Kampungnya Dimas?” Tanya Cahyo.

Danan mengangguk. Ia mengingat bagaimana keadaan kampung srawen saat dia datangi.
Setidaknya saat itu jasad warganya masih bisa dievakuasi dan dikuburkan. Tapi kali ini jasad mereka tidak tersentuh.

Ketika memasuki desa lebih dalam, tiba-tiba Danan dan Cahyo terhenti. Seketika keris ragasukma muncul dengan sendirinya dan bergetar di tangan Danan.
Sedangkan Wanasura segera merasuk dalam tubuh Cahyo untuk melindunginya.
“Keris Ragasukma dan Wanasura sampai gelisah. Ini jarang sekali terjadi,” Ucap Cahyo.
Di tengah kebingungan kami, tiba-tiba sebuah benda melayang ke arah Danan.
Cahyo yang segera tersadar segera mendorongku untuk menghindar dari benda itu.
Pyarr!!
Darah bermuncratan dari benda yang dilemparkan ke arah mereka.
“Kepala? Itu kepala manusia?” ucap Danan memperhatikan benda yang melayang ke arahnya.
Merekapun menoleh ke arah asal benda itu dan beberapa bagian tubuh kembali melayang terlempar ke arah mereka.
Mereka terus menghindar dan mendapati benda-benda itu terlempar dari salah satu pohon besar di sana.
“Di sana Nan!” Ucap Cahyo.
Cahyo menunjuk ke arah sebuah pohon mengerikan dimana mayat-mayat manusia tersangkut di ranting-rantingnya. Dan di salah satu ranting utamanya, tengah berjongkok seorang pria bungkuk yang tengah menikmati memakan bagian tubuh mayat-mayat itu.
“Gila, apaan lagi itu?” Tanya Danan.
“Nggak bakal tahu sampai kita ke sana!” ucap Cahyo geram.

Merekapun bergegas menghampiri pohon itu, namun sosok bungkuk tadi rupanya sudah mengincar mereka.

“Ndang mati! Ndang tak pangan!” (Cepet mati, biar bisa aku makan)
Ucap makhluk itu sembari menatap Danan dan Cahyo dengan tajam. Tepat saat Danan dan Cahyo tiba di bawah pohon, tiba-tiba pohon itu dipenuhi ular-ular berbisa yang tidak terhitung jumlahnya.

“Arrgh!Sial! Ular beginian lagi!” Ucap Cahyo.
“Biasanya kamu seneng kalo ngeliat ular sebanyak ini,” Ledek Danan yang tahu kalau Cahyo punya kenalan di Magetan yang mau menerima kulit ular seperti ini.

“Jangan becanda sekarang Nan, waktunya nggak tepat,” ucap Cahyo.
Seketika Danan menoleh pada Cahyo, ia mulai mengambil jarak dan mencurigai kawanya itu.

“Siapa kamu? Itu bukan kata-kata Cahyo!” Ucap Danan yang tidak menyangka Cahyo bisa menahan candanya.
“Asem.. nggak gitu, itu ular jadi-jadian! Kulitnya nggak bisa diambil!” Bantah Cahyo.

Danan berpikir sejenak dan menganggap jawabanya masuk akal.

“Hampir aja kamu kukira siluman monyet yang lagi nyamar..” balas Danan.
“Monyet gundulmu itu Nan!” balas Cahyo.

Makhluk yang memanggil ular-ular itu seketika kesal ketika melihat Danan dan Cahyo mengobrol sembari menghindari dan menendang ular-ular itu menjauh dari mereka.

“Kowe ngeremehake aku?” (Kamu ngeremehin aku?) ucap makhluk itu.
Iapun melompat turun dari pohon itu untuk menghampiri mereka berdua. Mengetahui hal itu, Danan dan Cahyo mengambil kesempatan dengan menyerang makhluk itu.
“Ngelempar barang ke orang lain itu gak sopan! Apalagi kepala manusia!” Teriak Cahyo sembari menyerang pria bungkuk itu dengan tenaga wanasura.
Danan tidak mau kalah, ia mengincar titik buta makhluk itu dan menyerangnya dengan Keris Ragasukma.
Anehnya serangan mereka menembus begitu saja.
Sebaliknya, tiba-tiba tangan makhluk itu menjambak Danan dan Cahyo dan membantingnya ke tanah. Sontak merekapun bergegas berdiri menjauh dari makhluk itu dan ular-ularnya.

“kenapa serangan kita nggak kena?” Tanya Cahyo.
“Nggak tahu, tapi kalau serangan fisik gak mempan…”

Danan menitipkan tubuhnya pada Cahyo dan menggunakan kemampuan keris ragasukma untuk memisahkan rohnya dengan tubuhnya.
Dalam Wujud roh ia melayang menghujamkan keris ragasukmanya menembus tubuh Makhluk bungkuk itu.
“Khekhe.. khe… rogosukmo? Orang sebelumnya juga melakukan hal yang sama,” ucapnya.

Makhluk itu tidak terlihat khawatir, ia malah terus berjalan dengan tertatih menuju ke arah Cahyo dan tubuh Danan.
“Paklek? orang itu pasti Paklek! Dimana dia?” Teriak Danan sembari menyerangnya. Tapi sialnya, seranganya tetap tidak melukai makhluk itu. Danan bingung, bahkan rohpun tidak bisa melukainya.
“Tidak ada yang bisa membunuhku, selama ada orang yang mati, aku Ki Among Mayit tidak akan bisa mati,” ucapnya sembari berjalan menuju Cahyo.
Cahyo waspada dan menjaga jarak, tapi tiba-tiba pundak Cahyo mengalirkan darah tanpa ia sadari.
Iapun menemukan serpihan tulang manusia menusuk di bahunya.
“Danan hati-hati! Dia pengguna pusaka!” Cahyo memperingatkan Danan.
Dananpun segera kembali ke tubuhnya dan menjaga jarak dari orang itu.
“Pusaka? Itu hanya tulang-tulang manusia biasa. Saat kalian mati nanti, tulang kalian akan tetap berguna untukku,” ucapnya.

Makhluk itu berjalan tertatih dengan tubuh bongkoknya. Rambutnya panjang dengan mata yang dipaksakan untuk melotot dengan kelopak matanya yang bengkak.
Terlihat sangat lemah, namun Danan dan Cahyo sama sekali tidak bisa melukainya.

Danan mencoba membacakan sebuah doa untuk melawan ilmu hitam yang digunakan oleh Ki Among Mayit sementara Cahyo masih terus berusaha menyerangnya. Dan tidak ada yang berhasil dari semua itu.
Sebaliknya, Ki Among Mayit hanya melemparkan serpihan tulang-tulang manusia yang sudah ia ukir dengan tajam ke tubuh Danan dan Cahyo. Mereka bisa menghindar, namun benda itu terus kembali menyerang mereka dari banyak sisi.
“Mundur Jul! Kita nggak bisa bertarung begini!” Teriak Danan.
Cahyo menurut pada Danan dan menjauh kembali ke desa. Ki Among Mayit mengejar mereka dengan perlahan sembari menyeret mayat-mayat yang ia temui.
“Serangan roh, pukulan, doa, dan mantra nggak mempan. Gimana cara kita bertarung?” tanya Cahyo bingung.
“Itu juga yang lagi aku pikirin,” balas Danan sembari berlari lebih menjauh.
Sesampai desa, Cahyopun berhenti. Ia melihat mayat-mayat yang bergelimpangan terpikirkan sesuatu.
“Atau sebenernya kita tidak perlu melawanya? Jalanya kan pincang begitu. Harusnya dia nggak bisa ngejar kita kan?” Ucap Cahyo.
“Bener juga!” Danan setuju dengan ucapan Cahyo. Merekapun berlari menjauh dari Ki Among Mayit dan masuk ke desa lebih dalam.
Benar ucapan Cahyo, Ki Among Mayit tidak bisa mengejar mereka. Ia masih berjalan dengan terpincang-pincang jauh di belakang mereka.

Tapi ternyata tidak semudah itu…
Danan dan Cahyo sudah berlari cukup lama namun ia tidak melihat ada tempat yang sekiranya bisa menjadi petunjuk mereka mencari Paklek.

Dananpun terhenti dan menarik sarung Cahyo.
“Tunggu Jul! ada yang nggak beres!” Ucap Danan.
Merekapun berhenti dan tanpa mereka sadari, sesosok mayat manusia melayang terlempar ke arah manusia dari salah satu gang. Mereka menghindar dan menoleh kearah itu dan menemukan Ki Among Mayit sudah berada di sana.
“Nggak mungkin, tadi dia masih di belakang?!” Teriak Cahyo.

Danan berpikir sebentar dan melihat sekitarnya.

“Liat bekas darah itu Jul!” Ucap Cahyo menunjuk ke salah satu sisi yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Cahyo melihat ke arah itu dan seketika sadar dengan apa yang terjadi.

“Kita masih di tempat yang sama?” Tanya Cahyo bingung.

“Khekhekehke… terlambat, kalian sudah tidak bisa keluar dari desa ini.
Silahkan lari sepuasmu, aku tak akan mati tapi aku bisa membunuh kalian. Kalian akan berada di tempat ini seumur hidup..” Ucap Ki Among Mayit yang kembali menikmati jasad manusia yang ia bawa dari jalan.
Danan dan Cahyo mulai kebingunan. Ia tidak menyangka akan terjebak di sihir Ki Among Mayit dengan begitu mudahnya.

***
Bangunan yang tak ditinggali, jalan yang penuh dengan mayat. Kemanapun Danan dan Cahyo berlari, hanya pemandangan itulah yang mereka temukan.

“Berhenti dulu Nan, lama-lama ngosngosan juga,” ucap Cahyo yang mengajak Danan untuk bersembunyi di salah satu celah gang.
Wajah Danan juga sudah penuh dengan keringat. Mereka terus berlari berusah menghindari kejaran Ki Among Mayit. Merekapun duduk mencari sebuah jendela yang terbuka dan memutuskan untuk bersembunyi di salah satu rumah.

Srekkk… Srekkk….
Suara itu kembali mendekat. Danan dan Cahyo menahan suara dan gerakanya berharap Ki Among Mayit tidak dapat menemukan mereka. Dari celah jendela terlihat Ki Among Mayit masih menyeret mayat berjalan mengelilingi desa itu.

“Percuma, desa ini wilayahku..”
Mereka bersembunyi di balik jendela berharap Ki Among Mayit tidak melihat mereka. Langkah Ki Among Mayit tiba-tiba berhenti dan tak kembali terdengar. Mereka ingin mengintip kembali untuk mengecek keadaan diluar, namun mereka memilih untuk tidak melakukan itu.
“To—tolong! tolong..”

Dari rumah tempat mereka bersembunyi samar-samar terdengar suara dari arah dapur belakang.

“Ada yang minta tolong,” bisik Cahyo pada Danan.

Danan hanya membalas dengan gerakan tanganya untuk memberi isyarat agar mereka menghampiri suara itu.
Benar saja, ada suara seorang perempuan yang tengah berusaha berdiri dengan berpegangan di meja meja dapur. Merekapun bergegas menghampiri sosok itu.

“Mbak nggak papa? Akhirnya kami menemukan warga yang masih hidup!” ucap Cahyo.
Namun sebelum Cahyo memasuki dapur, tiba-tiba Danan terhenti dan menarik Cahyo.

“Mundur!” Perintah Danan.

Cahyo bingung, tapi Danan tersadar wanita itu sudah berlumuran darah dan matanya terbuka dengan paksa.

“Itu mayat!”
Cayo menoleh kembali, dan mendapati Ki Among Mayit sedang menggerakan tubuh perempuan itu dari belakang sebelum akhirnya melempar jasad itu saat ketahuan.

“Khekehkhe… kupikir aku masih bisa bermain sebentar lagi!” Ucap Ki Among Mayit.
Danan dan Cahyo terlihat sangat kesal dengan perbuatan makhluk itu mempermainkan mayat. Sayangnya, mereka masih belum menemukan cara untuk mengalahkan makhluk itu dan memilih untuk melarikan melalui jendela.

“Nan, sepertinya aku ada rencana yang harus kucoba,” ucap Cahyo.
Mereka berhenti di tempat yang cukup tersembunyi untuk mendengar rencana Cahyo.

“Gimana Jul?” Ucap Cahyo.

“Tempat ini seperti sihir yang seolah ngebuat kita berhalusinasi kan?” Tanya Cahyo.

“Bisa jadi, terus kenapa?”

“Nahhh…”
Tanpa aba-aba tiba-tiba Cahyo memukul kepala Danan dengan cukup keras.

Plakkk!

“Heh! Apa-apan sih kamu Jul! Sakit!” Teriak Danan.

“Gimana?” Tanya Cahyo.

“Gimana apanya? Sakit lah Panjul!” Balas Danan.
“Lah biasanya kalo lagi mimpi kan kalo dicubit kan sadar, harusnya kalo sakit kamu berarti dalam keadaan sadar Nan!” ucap Cahyo dengan memasang raut wajah sok pintar.
“Trus? Kenapa nggak nyoba di badan kamu sendiri aja?” Protes Danan.
“Sakit lah Nan, enak aja!”
“Terus kenapa malah nyoba di kepala orang Panjul!!!”

Dananpun mengangkat tanganya mencoba membalas pukulan Cahyo tadi. Tapi tiba-tiba sebuah benda jatuh dari kantungnya. Danan memungutnya kembali dan mengingat benda berbentuk botol kecil itu.
“Ini.. ini wewangian pemberian Gama. Benda ini bisa menyadarkan Mas Linggar, apa benda ini juga bisa menyadarkan kita dari pengaruh sihir ini?” Ucap Danan.
“Nggak ada cara lain kan buat cari tau?” Balas Cahyo sembari mengintip ke sela jalan mencari keberadaan Ki Among Mayit dan menemukan sosok itu tengah mengarah kepada mereka.

Dananpun membuka wewangian itu dan membiarkan aroma rempah yang sangat pekat tercium oleh mereka.
Mereka tidak dapat menggambarkan apa yang terjadi, namun mereka sadar bahwa ada sesuatu yang tidak sadar berada di alam pikiran mereka yang sekarang sudah menghilang.

“Di sana…” ucap Ki Among Mayit.

Menyadari posisinya diketahui, merekapun kembali melarikan diri.
tapi kali ini mereka merasakan hal yang berbeda. Pelarian mereka sampai ke balai desa tempat yang sedari tadi tidak bisa mereka capai.
“Kita lolos!” Teriak Cahyo senang.
Danan memastikan sekitarnya dan memang mendapati dirinya kali ini berhasil melangkah lebih jauh ke dalam desa.
Baru saja mereka hendak merasa senang, tiba-tiba Ki Among Mayit sudah berada di hadapanya.

“aku ra nyongko kowe iso lepas seko elmuku,” (Aku tidak menyangka kau bisa lepas dari ilmuku) Ucapnya.
“Hehe.. jangan remehkan kami! Berarti sekarang kami bisa menghajarmu!” Ucap Cahyo yang segera menerjang Ki Among Mayit dan berusaha memukulnya. Tapi, ia tetap terjatuh dan menembus tubuh itu.

“Khekhekeh..kalian yang meremehkanku!” Balas Ki Among Mayit.
Namun Danan tidak tinggal diam. Ia ikut melompat dengan keris yang berada di genggamanya. Dengan berbagai macam gerakan ia terus menyerang Ki Among Mayit walau tak ada satupun serangan yang mengenainya.
Sebaliknya, beberapa kali Ki Among Mayit menangkap Danan dan membantingya. Tak sedikit dari luka-luka cakaran terlihatdi tubuh Danan.
“Udah Nan! Kita mundur lagi!” Teriak Cahyo.
Danan tidak menanggapi ucapan Cahyo dan terus menyerang Ki Among Mayit.
Tanpa di sangka, perlahan beberapa bagian tubuh Ki Among Mayit berubah menjadi asap hitam. Danan yang menyadari itu sedikit tersenyum dan melanjutkan seranganya.

Saat mengetahui rencana Danan berhasil, Cahyopun menyusulnya dan menahan serangan-serangan yang diarahkan ke Danan.
Sementara itu, Danan masih terus mencoba menyerang dari jarak dekat.
“Tidak mungkin! Tidak ada serangan yang bisa menyentuhku!” ucap makhluk itu.
Berbalik dari sebelumnya, kini tubuh Ki Among Mayit terlihat memudar bersamaan dengan asap hitam yang berasal dari tubuhnya.
“Apa? Apa yang kalian lakukan?” Teriak Ki Among Mayit yang mencoba untuk mundur, Tapi Danan tidak membiarkan itu dan terus menyerangnya.

“Saatnya kau musnah!” Teriak Danan sembari menyapu wajah Ki Among Mayit yang berubah menjadi asap hitam.
Saat memastikan Ki Among Mayit menghilang, Cahyo segera menghampiri Danan dan menanyakan apa yang terjadi.
“Kok bisa Nan?” Tanya Cahyo.
Danan mengeluarkan wewangian pemberian Gama yang sedari tadi ia genggam dan menutupnya.
“Sepertinya aku mulai mengerti kegunaan benda ini,” ucap Danan.
Ia menjelaskan bahwa mungkin wewangian pemberian Gama bisa menetralkan sihir. Mendengar itu Cahyo merasa lega dan terduduk di tanah.

“Huh.. capek Nan, baru masuk kesini aja udah dapet lawan sesulit ini,” ucap Cahyo.
Danan mengambil botol air dari tasnya dan menyerahkanya pada Cahyo, “Minum dulu.”
Cahyo meminum beberapa teguk dan mengembalikanya pada Danan.

Baru saja mereka melepas lelahnya, tiba-tiba ada perasaan mengerikan terpancar dari dekat mereka.
Ada seseorang didekat mereka yang memberi tekanan yang sangat mengerikan.
Sontak mereka menoleh ke belakang dan menemukan sesosok makhluk tengah berdiri di atap rumah dengan kersi berwarna merah padam di genggamanya.
Wujud dan pakaianya mirip seperti setan-setan di pewayangan. Giginya panjang dengan wajah dan sebagian tubuhnya tertutup oleh rambutnya yang panjang. tubuhnyapun juga dihiasi baju dan perhiasan kerajaan yang telah lusuh.

“Nan.. hati-hati,” ucap Cahyo.
Wanasura gemetar, keris ragasukma bergetar. Kini mereka sadar, ternyata sosok inilah yang memberi firasat mengerikan saat kedatangan mereka tadi.
“Demit Goblok! Isih durung puas dolanane?”(Setan bodoh! Masih belum puas main-mainya?) Ucap sosok itu entah pada siapa.
Mereka mencoba menoleh kepada kemana arah wajah makhluk itu memandang, tapi di sana hanya ada jalanan desa dan setumpuk mayat.
Tapi ternyata tak lama setelah itu tiba-tiba salah satu mayat itu berdiri dan berjalan dengan tertatih dan tubuhnya yang bungkuk.

“Khekhkeh… Mbok yo sabar, aku gek asik lho iki,” (Khekhekeh… sabar, aku lagi asik lho ini) ucapnya.
Danan dan Cahyo seketika terkaget melihat sosok itu. Ia mengenal suara itu dan mengetahui dengan jelas sosok itu dari bentuk tubuhnya.

“I—itu Ki Among Mayit? Bukanya tadi dia sudah kalan?” Tanya Cahyo.

Mendengar ucapan Cahyo, Ki Among Mayit menoleh ke arah Danan dan Cahyo.
“Kalah? Khekehkeh… Jangan melucu. Bahkan menyentuhku saja kalian tidak sanggup,” ucap sosok itu yang perlahan berubah menjadi asap hitam dan mendahului makhluk yang baru datang tadi untuk masuk ke dalam desa.
Mereka berdua meninggalkan Danan dan Cahyo seolah ada suatu hal yang sangat penting yang harus mereka lakukan.

“Jangan pergi! Kalian kemanakan Paklek?!” Teriak Cahyo. Namun mereka tidak peduli dan terus masuh ke dalam desa.
Danan dan Cahyopun mengikuti mereka hingga sampai di ujung desa yang sudah masuk ke dalam salah satu sisi alas wetan. Seketika perasaan mereka jauh menjadi lebih tertekan.

“Sudah beberapa kali aku ke alas wetan, tapi tidak pernah semengerikan ini..” ucap Cahyo.
Danan mengangguk sembari mulutnya terus mengalunkan doa untuk menjauhkanya dari hal-hal buruk yang mungkin menyerang mereka.
Berbeda dengan saat awal masuk desa tadi yang dipenuhi oleh mayat, tempat mereka berdiri saat ini terdapat banyak darah yang bececeran.
Hanya sedikit maya yang terlihat.
“Jangan kabur! Ini semua pasti ulah kalian!” Teriak Cahyo yang segera menyusul kedua dedemit itu.

Tak mempedulikan ucapan Danan dan Cahyo, mereka hanya terus melangkah seolah apa yang mereka tuju begitu penting.
Cahyo dengan nekat menyerang Ki Among Mayit sementara Danan menghunuskan kerisnya pada Demit yang menggenggam keris merah itu. Tapi seperti sebelumnya, serangan Cahyo hanya menembus tubuh Ki Among Mayit
sementara keris Danan sama sekali tak mempu menembus tubuh demit pembawa keris itu.
Danan dan Cahyo tercekat, serangan mereka sama sekali tidak terpengaruh seolah kedua demit itu sudah diluar batasan mereka.

“Apa-apaan ini?” Danan mulai bingung.
Ajian lebur saketi, hingga kilatan keris ragasukma tidak mampu melukai mereka berdua. Sementara serangan Wanasura hanya dimentahkan begitu saja.
“Kalian tidak sayang nyawa rupanya, kupikir kita masih bisa bermain lagi,” ucap Ki Among Mayit yang mulai terasa terganggu dengan serangan-serangan mereka berdua.
Iapun mencekik Danan dan Cahyo dengan kedua tanganya dan melempar mereka hingga menabrak sebuah pohon.
“Kalau kalian mau mati, akan kuberikan. Sama seperti pendekar-pendekar yang datang ke tempat ini,” Ucap Ki Among Mayit.
Mendengar ucapan itu Danan dan Cahyo kembali terpikir akan keadaan Paklek.
“Kemana? Dimana mereka? Dimana orang-orang yang datang ke sini untuk menolong warga desa?” teriak Danan.
Mendengar pertanyaan itu, Ki Among Mayit malah tertawa terkekeh-kekeh. Ia berbalik meninggalkan mereka berdua sembari menatap sebuah pohon besar yang tertutup daun rindang.
“Jelas saja mereka… Mati, Khekheke” tawa Ki Among Mayit.
Danan dan Cahyo melihat ke arah pohon dengan ranting yang besar itu. Mereka menyaksikan jasad-jasad tim penolong, beberapa orang berpakaian dukun tersangkut di pohon itu.
Tapi ada satu yang akhirnya membuat mereka terdiam. Ada sosok dengan tubuh yang sudah membiru dengan darah mengering di pinggir mulutnya. Jasad itu terduduk di salah satu ranting dengan sebuah keris menancap di dadanya.

“Nggak.. nggak mungkin,” ucap Cahyo.
“Paklek.. nggak, nggak mungkin Paklek” Danan masih tidak percaya.

Wajah mereka pucat, tubuh mereka lemas seketika melihat jasad Paklek tertancap di pohon itu dengan mengenaskan. Nafas Cahyo semakin menderu menahan kesedihan sekaligus kemarahan yang mulai muncul.
“Pakleeek!!!” Cahyo berteriak. Bersamaan denganya terdengar auman Wanasura dari dalam tubuh Cahyo.

Danan menyeka air matanya, ia sama sekali tidak bisa menahan emosinya.
“Khekhekehke…ternyata satu rombongan, kalian harus melihat nanti saat darahnya diperah,” tawa Ki Among Mayit.

Mendengar ucapan itu amarah Cahyo memuncak. Dananpun tak dapat berpikir jernih dan menghunuskan kerisnya pada tubuh Ki Among Mayit yang tidak bisa tersentuh itu.
Berkali-kali serangan itu menyapu tubuh Ki Among Mayit, namun semua itu hanya menembus asap hitam dari wujud tubuhnya. Danan juga menggunakan wewangian yang diberikan oleh gama untuk memusnahkan sihir Ki Aming Mayit, namun sayangnya tidak berhasil seperti tadi.
Itu bukan sihir, itu adalah tubuh asli Ki Among Mayit sehingga wewangian pemberian Gama tidak bekerja padanya. Sementara itu Cahyo menyusul dengan menghajar Ki Among Mayit namun pukulanya menembus dan menggetarkan tanah.
“Apa yang kalian lakukan pada Paklek!!” Teriak Cahyo sembari mengamuk.
Ki Among Mayit menangkap Cahyo dan melemparkanya hingga menabrak sebuah rumah. Cahyo segera berdiri dan melompat menghancurkan rumah tersebut dan kembali menyerang.
Rumah-rumah di desa itu menjadi sasaran amukan mereka berdua. Beberapa kali mereka dilontarkan tapi mereka terus mencari cara untuk membalaskan perbuatan mereka pada Paklek.
Nafas Danan semakin menderu, kilatan-kilatan keris ragasukma melesat mengitari desa mengincar lawanya itu.
“Ki Among Mayit! tinggalkan mereka, biarkan demit alas itu yang membunuh mereka,” perintah dedemit yang membawa keris merah itu.
Ki Among Mayit terlihat kecewa dengan perintah itu.
iapun mundur kembali melangkah masuk ke dalam hutan sementara sekali lagi ular-ular terjatuh dari langit menghujani Danan dan Cahyo.
Danan dan Cahyo yang tengah termakan emosipun membantai ular-ular yang mendekat padanya.
Tapi ternyata ular-ular itu hanyalah penyambutan dari sosok-sosok setan manusia yang tiba-tiba muncul di sekeliling mereka.
“Brengsek! Pengecut! Hadapi kami kalau berani!” Teriak Cahyo.
Namun sebelum menyusul Ki Among Mayit, setan-setan itu mengerubuti Danan dan Cahyo untuk menghabisi mereka.

Duarrr!!!

Kembali sebuah rumah hancur, dan sebuah pohon tumbang. Mereka menerobos puluhan demit yang mengepung mereka dan membuat desa itu porak poranda.
Puluhan setan itu tidak mampu menandingi Danan dan Cahyo, tapi sialnya setan lainya terus bermunculan untuk menyerang mereka.
Nafas Danan sesak, amukanya menghabiskan nafasnya. Namun itu tidak dapat melegakan rasa sesak saat mengetahui kematian Paklek.
“Aaaaarrrgrhh!!!Setan biadab!!!” Teriak Danan.

Kilatan putih di keris sukmageni mermerah, api menyala di setiap tempat yang tergores oleh keris itu seolah menggambarkan kemarahan Danan.

Setan-setan itu mulai terbakar oleh serangan Danan, tapi tidak hanya itu.
Tangan Danan juga ikut terbakar dengan api amarah sukmanya sendiri.

“Mati! Kalian harus mati!” Teriak Danan bengis berdampingan dengan hantaman wanasura yang menggetarkan tanah.
Melihat keadaan semakin kacau Ki Among Mayit dan Setan keris merah itu terhenti dan menoleh kembali ke arah Mereka berdua.

“Kalau tempat ritual sampai hancur kita akan repot. Habisi saja mereka” Perintah setan keris merah itu.
Ki Among Mayit menurut walaupun sedikit kecewa karena mainanya harus dihabisi. Tapi sebelum melangkah lebih jauh tiba-tiba melesat sosok dengan cepat menembus kerumunan setan dan menghajar Danan dan Cahyo secara bersamaan.

Blarrr!! Duakkk!!!!
Danan dan Cahyo terpental dengan wajah yang babak belur dalam seketika. Ia tidak dapat melihat sosok yang menyerang mereka.

“Aing bae nu bakal maéhan aranjeunna! maneh geus ditunggu di situs ritual!”
(Aku saja yang membunuh mereka! Kalian sudah ditunggu di tempat ritual) ucap makhluk itu.

Danan dan Cahyo tidak bisa melihat sosok yang membuat mereka babak belur tertutup oleh sekumpulan setan-setan itu.

“Aku ra ngerti omonganmu Kang Jawir” Ucap Ki Among Mayit.
“Hadeuh.. repot pisan. Sudah cepat ke tempat ritual! Aku yang bunuh mereka, tidak akan lama seperti kalian!” Teriak orang itu.

Sosok itu adalah Kang Jawir. Sosok yang persis Danan hadapi bersama Paklek di desa dirga sebelumnya.
Kang Jawir kembali menghajar Cahyo hingga terpental. Hanya dalam beberapa pukulan Cahyo yang diselimuti roh wanasura bisa memuntahkan darah. Setelah itu ia melompat dan menari mengincar Danan.
Danan sudah siap dengan kerisnya, ia menahan rasa sakit di tanganya dan mengayunkan keris itu ke arah Kang Jawir.

“khikhikhi… kita ketemu lagi,” ledek Kang Jawir.
Cahyo memaksakan dirinya membantu Danan. walau begitu mereka semua tetap terpojok.
Di tengah amarah itu, Danan tidak punya pilihan lagi selain meletakkan kerisnya di hadapan dadanya dan membacakan Mantra leluhur.

Tapi sebelum sempat melakukan itu, Kang Jawir menangkap wajah mereka berdua dan menghantamkanya ke sebuah rumah hingga hancur.
Tubuh Danan dan Cahyo babak belur setengah mati hingga sulit untuk bergerak.
Tapi bukanya segera menghabisi mereka berdua, tiba-tiba Kang Jawir membisikkan sesuatu pada mereka berdua.
“Orang tua itu belum mati! Aku sendiri yang sengaja menusukkan keris pusaka yang mempunyai kekuatan penyembuh itu agar menjaganya tetap hidup,” bisik Kang Jawir.

Mendengar itu mata Danan dan Cahyo terbuka.
Mereka berusaha untuk bangun, namun kembali Kang Jawir mengantamkan tubuh mereka ke reruntuhan rumah itu.
“Sekarang aku harus mengambil nyawamu!” Ucap Kang Jawir pada Danan.
Suara kegaduhan mulai terhenti. keheningan kembali terwujud saat demit alas yang dipanggil mulai meninggalkan desa. Ki Among Mayit dan Demit yan Demit yang membawa keris merah itu menoleh dan melihat Kang Jawir muncul menyusulnya.

“Sudah kau bunuh mereka?” Tanya Ki Among Mayit.
Tanpa perlu menjawab, Ki Among Mayit sudah mengetahuinya ketika ada roh seorang manusia yang lehernya tercengkeram di tangan Kang Jawir dan terseret.
“Mayatnya?” Tanya Ki Among Mayit.
“Bisa kau ambil sendiri di belakang, selesaikan dulu ritual kita,” ucap Ki Among Mayit.

“Jangan sampai kau lupa perjanjian kita,” peringat Ki Among Mayit.
“Jangan khawatir, aku hanya butuh roh mereka. Mayatnya jatahmu, dan darahnya jatah Kanjeng Nyai Rasmono. Pergi! Aku akan menyusul setelah mengantar ini ke Nyai Runtak. Ia pasti senang!” jawab Kang Jawir.
Mendengar jawaban Kang Jawir mereka berdua merasa tenang dan mempercepat langkah mereka untuk masuk ke kedalaman Alas Wetan.

Beberapa lama Kang Jawir terdiam di tempat itu sampai tidak merasakan keberadaan kedua dedemit itu lagi.

***
Dua tubuh manusa terbaring tak berdaya di sebuah gubuk yang jauh dari hutan. Seorang perempuan tua dengan matanya yang buta mencoba membasuh luka di tubuh orang-orang itu semampunya.

Roh Danan kembali menemui raganya setelah memastikan keadaan Paklek di desa.
“Kenapa? Kenapa kau menyelamatkan Paklek dan kami?” Tanya Danan pada Kang Jawir yang sedang asik merias wajahnya dengan bedak tebal berwarna putih.

Kang Jawir tidak mempedulikan pertanyaan Danan dan tetap asik dengan kesibukanya.
Mengetahui Kang Jawir enggan menjawab, Dananpun masuk ke dalam gubuk tempat dimana tubuh mereka dibaringkan.

“Itu kemauan Nyai Runtak, Aing ngelakuin supaya Nyai Runtak senang,” ucapnya tanpa menoleh pada Danan sedikitpun.
Dananpun masuk melihat kondisi mengenaskan dari tubuhnya dan Danan yang tengah dalam kondisi terkapar tak berdaya. Ia tidak bisa berharap pengobatan yang mujarab dari seorang dukun buta di sana.
“Jangan kembali dulu ke tubuhmu, saya tidak yakin kau akan kuat menahan rasa sakit dari semua luka ini,” ucap Nyai Runtak.

Mendengar itu Dananpun hanya berdiri terpaku di hadapan kedua raga itu seperti sosok hantu penasaran yang tengah mengawasi.
“Kang Jawir bilang, Nyai Runtak yang memintanya menolong kami?” Tanya Danan.

Nyai Runtak mengangguk. Tapi sepertinya ia enggan untuk berbicara banyak.

“Kenapa?” tanya Danan.
Sebenarnya Danan sudah curiga sejak mereka berdua menyerang desa dirga.
Ia merasa bahwa Nyai Runtak sengaja untuk tidak membuatnya tertidur karena ilmunya.

“Kalian aka tahu bila kalian bisa bertahan hidup setelah ini..:” ucapnya.

Danan menanyakan keadaan Cahyo yang tak sadarkan diri.
Berbeda dengan dirinya yang bisa melakukan ilmu ragasukma, Ia tidak mengerti apa yang terjadi dengan Cahyo dengan luka sebanyak itu.

“Luka temanmu tidak sebanyak yang ada di tubuhmu, kekuatan roh kera yang merasukinya membuat ia bertahan.
Tapi entah kapan ia bisa tersadar,” ucap Nyai Runtak.

Dananpun meringkuk di ujung ruangan meratapi kekalahan mereka.
Setelah berhasil melawan Gandara Baruwa, mereka pikir mereka akan mampu menangani masalah di tempat ini. Namun kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya.
Kini mereka seperti jasad mati yang tidak bisa berbuat apapun.
..
Tokecang.. tokecang…
Balagendir Tosblong…
Hayang perang, Mawa parang.
Sirah aing bolong…
..
Tidak seperti nyanyian yang Danan dengar di desa dirga. Danan merasa ada perasaan gelisah dari lagu yang digumamkan Kang Jawir.
“Kalian ini sebenarnya di pihak siapa?” Tanya Danan yang bingung dengan pasangan aneh itu.
Kang Jawir merubah posisi duduknya, namun masih tetap menatap kosong ke arah hutan.

“Anu aing.. saya di pihak Nyai Runtak..” ucapnya.
Danan menoleh ke arah Nyai Runtak yang masih duduk termenung tanpa bisa terbaca apa yang ia pikirkan dari matanya yang tak menggambarkan apapun itu.

“Saya sendiri tidak tahu.. tapi setidaknya kalian tahu kalian di pihak mana,” ucap Nyai Runtak.
Jelas mereka berada di pihak manusia yang harus menghentikan setan-setan itu. Tapi Danan merasa sudah kalah, bahkan bila ia berhasil memanggil Nyi sendang Rangu iapun masih merasa belum bisa mengalahkan mereka.

“Percuma, kami sudah kalah..” ucap Danan.
Wajah Nyai Runtak mencoba menebak posisi Danan dari suaranya.

“Kalah? Kalau itu kami sudah mengalami ratusan kali.. tapi kami baru memutuskan kalau kami kalah, hanya saat kami memutuskan untuk menyerah,” ucap Nyai Runtak.
Danan merenung sejenak. Sesaat iamerasa ucapan Nyai Runtak ada benarnya. Mereka baru benar-benar kalah saat mereka memutuskan untuk berhenti berjuang. Iapun teringat keberadaan orang-orang yang membantu mereka selama ini.
“Kang Jawir! Ritual apa yang mereka lakukan? Bagaimana cara menghentikanya,” tanya Danan yang mulai mendapatkan semangatnya.

“Cuh… Sudah sadar rupanya.
Ritual Panggon Demit, Ritual itu berguna untuk melepaskan batas alam alas wetan dengan alam manusia.
Bila itu terjadi, Tuan kami iblis alas wetan akan bangkit dan Makhluk halus di alas wetan bisa pergi sesuka mereka,” Jelas Kang Jawir.

Danan kembali gemetar saat mengetahui ada sosok yang lebih mengerikan dari setan-setan yang mereka lawan tadi.
“Apa lagi? Masih mau merenung nunggu mati atau mau cari cara ngelawan mereka?” Bentak Kang Jawir.
Danan mengerti maksud kedua orang ini. Mereka jelas berharap Danan dan Cahyo dapat mengalahkan sekutunya yang akan melakukan ritual panggon demit.
Tapi apa motivasi mereka? Dan apa mereka bisa dipercaya?
Dengan kondisi seperti itu, Danan memutuskan menitipkan tubuhnya dan Cahyo pada Nyai Rungkat, sementara rohnya akan mencari bantuan dari orang-orang yang mungkin memiliki kapasitas untuk permasalahan ini.
Orang-orang atau sosok yang bisa menghadapi setan-setan tadi dan makhluk yang mungkin akan muncul setelah ritual mereka.

Roh Dananpun melayang ke langit malam yang luas mencari segara kemungkinan yang bisa ia temukan untuk menghentikan tragedi ini.
Semua itu akan memastikan pertarungan akhir yang akan mereka hadapi di Alas Wetan.

***
(Di Desa Kandimaya…)

Naya terbangun di tengah malamnya. Perasaan berkecamuk muncul dari mimpinya yang seolah begitu nyata.

Danan…
Naya sangat sulit menyangkal firasatnya sebagai seorang wanita. Ia merasakan hal yang mengerikan terjadi pada Danan.
Tapi.. bukan itu saja yang membuatnya terbangun.
Ada mimpi yang terjadi selama berulang kali yang membuatnya gelisah. Tapi kali ini ia memutuskan untuk menceritakan mimpinya pada Nyai Kirana, Ibu Danan.
Bukan tanpa alasan, tapi mimpinya berhubungan dengan tempat dimana Ayah Danan dimakamkan. Bukit batu…


“Saya dihantui sosok penunggu bukit batu Bu, seolah saya dipanggil untuk ke sana,” cerita Naya.
Nyai Kirana mendengarkan cerita Naya baik-baik sembari mencoba mengerti kegelisahan Naya akan Danan. Sepertinya hal serupa juga dirasakan oleh Nyai Kirana.


“Beruntung kamu merasakan ini sekarang Naya,” ucap Nyai Kirana.

“Kok? Kenapa beruntung bu?”
“Hal terberat menjadi pasangan seorang seperti Danan atau ayahnya, adalah terus yakin bahwa mereka akan baik-baik saja sementara kita tahu, mereka selalu berurusan dengan maut,” Jelas Nyai Kirana.

Naya mengangguk dengan matanya yang berkaca-kaca.
Ia terus melihat telepon genggamnya berharap ada pesan balasan dari Danan.
“Biar Danan berusaha dengan perjuanganya sendiri. Sebaiknya kamu juga harus berjuang dengan masalah dengan mimpimu itu, Naya,” lanjut Nyai Kirana.
Naya setuju dengan perkataan Nyai Kirana. Iapun memutuskan untuk naik ke bukit batu tempat dimana Ayah Danan dimakamkan. Nyai Kirana ikut menemani Naya sekaligus menjenguk kuburan suaminya itu.
Siang itu mereka menghabiskan waktu di bukit batu sembari nyekar makam Ayah Danan. Mereka membersihkan sekitar makam sekaligus mengirim doa.
Naya membawakan beberapa makanan untuk mereka nikmati di sana sembari menatap desa dari ketinggian.
Namun, Naya masih tetap pada tujuanya mencari tahu tentang sosok yang hadir di mimpinya.

“Buto Lireng sudah tiada.. Apa mungkin masih ada penunggu lain di bukit ini ya Bu?” Tanya Naya.

Nyai Kirana menghela nafas mencoba mencari jawaban terbaik untuk ia ucapkan.
“Tempat ini terlalu indah, Naya. Seharusnya banyak sosok yang ingin menunggu bukit batu ini,” balas Nyai Kirana.

Dari ucapan Nyai Kirana Naya mengambil kesimpulan bahwa mungkin ada sosok lain yang sudah mengambil peran Buto Lireng.
Sayangnya, sampai matahari hampir tenggelam, mereka tidak menemukan petunjuk apapun.

“Ya sudah Bu, kita turun saja. Mungkin Naya hanya terlalu khawatir sampai kebawa mimpi,” kata Naya.

“Iya, yang penting sekarang kamu udah tenang dan nggak penasaran kan?” Tanya Nyai Kirana.
Naya mengangguk dan berterima kasih pada Nyai Kirana. Merekapun membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk turun.

Tapi sebelum sempat mereka meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar suara.

Klotak… Klotakk…

Naya dan Nyai Kirana terhenti.
Mereka kembali menoleh ke belakang mencari asal suara itu.

Klotak…

Suara itu berasal dari salah satu tempat di bawah pohon besar. Nyai kirana yang menyadari tempat itupun segera mendekati tempat itu.

“Bu, hati-hati..” Ucap Naya yang terus memegangi Nyai Kirana.
Merekapun terus menajamkan telinga mencari asal suara itu. Dan saat sudah memastikanya, Nyai Kirana memaksa untuk menggali tangah tempat asal suara itu dengan tanganya.

“Bu? Kenapa di gali bu? Memangnya itu tempat apa?” Tanya Naya.
“Di sini Naya, di sini tempat ibu memakamkan pusak-pusaka Mas Bisma, Ayah Danan,” ucap Nyai Kirana.

Mendengar ucapan itu Nayapun ikut membantu menggali. Tapi langit sudah mulai memerah dan malam sudah siap menjemput.
Nyai Kirana terlihat cemas. Naya tidak bertanya terlalu banyak dan hanya terus menggali hingga tangan mereka menyentuh sebuah benda.

Kendi tanah liat..
Masih terlalu jauh untuk menggali keseluruhan, Tapi Nyai kirana dapat segera mengetahui bahwa pusaka-pusaka suaminya itu masih berada di sana. Nyai Kirana merasa lega.
Walaupun menurutnya pusaka itu tidak lagi memiliki ‘isi’ ataupun kekuatan. Ia masih tidak tenang bila ada yang memanfaatkan benda itu dengan tujuan buruk.

Tapi, Naya terlihat aneh…

Ia memperhatikan sosok bayangan yang muncul dari kendi itu.
Ia menatap tinggi ke arah atas pohon tempat dimana kendi itu dikuburkan.

Nyai Kirana menyadari keanehan pada Naya dan ikut melihat ke arah kemana Naya memandang.

“I—itu Bu! Itu sosok yang ada di mimpi Naya!” Teriak Naya.
Nyai Kirana terperanjat. Iapun segera mendekat dan menggandeng Naya saat melihat sosok yang dilihat naya.

Ada sosok makhluk besar yang berdiri tersenyum memamerkan gigi-giginya di hadapan mereka berdua. Sosok besar melebihi pohon terbesar yang ada di puncak bukit batu itu.
“Benar Naya, Itu dia! Dialah penjaga bukit batu yang baru.” Ucap Nyai Kirana seolah mengenali sosok itu.

***

(Bersambung Part Akhir)
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga akhir. Mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Tinggal 1 part lagi..

Buat temen2 yang mau baca duluan atau sekedar support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya!

karyakarsa.com/diosetta69/ala…
Alas Sewu Lelembut
Part Akhir - Panggon Demit

Tubuh Danan dan Cahyo terbarikng tak sadarkan diri, sementara ritual Panggon demit sudah dimulai. Roh Danan bergentayangan berharap ada yang menyadari petunjuk darinya.

@bacahorror @IDN_Horor @rabumisteri @bagihorror
#bacahorror Image
Berhubung part akhir ini panjang (137 halaman), maka mohon maaf uploadnya akan dibagi jadi 2x karena ada batas limit upload dari twitter.

Tapi nggak lama kok.
akan dibagi jadi hari ini dan sabtu malam.

---
Part 7.1 - Panggon Demit

Langkah seorang anak perempuan mendekat menuju sebuah rumah di bawah pohon yang besar. Sebuah rantang susun ia bawa dengan hati-hati sembari mengamati ke sekeliling rumah itu.

“Eyang, ini Arum,” ucap anak perempuan itu sembari mengetuk pintu rumah itu.
Suara langkah tertatih mendekat membukakan pintu untuk arum. Terlihat Nyai Jambrong sedang merapikan rambutnya yang belum sempat ia sanggul.

“Ini ada lauk, Eyang! Arum sama ibu yang masak,” Ucap arum.
“Ealah Nduk, lauk kemarin aja belum habis malah repot-repot bawain lagi,” balas Nyai Jambrong.
Arum masuk ke dalam rumah dan melangkah menuju dapur.

“Lauk kemarin itu nggak sehat eyang, makanya ibu selalu nyuruh arum buat bawain lauk tiap hari,” Balas Arum.
“Titip bilang terima kasih ya sama ibumu, eyang selalu ngerasa bersalah nggak bisa ngelakuin sesuatu yang berguna buat ibumu,” balas Nyai Jambrong.

Arum menukar lauk kemarin dengan lauk yang baru dan mengambilkanya untuk makan mereka berdua.
“Eyang jangan ngomong gitu, Arum dan Ibu tau kok kalo eyang sayang sama kami. ibu yang selalu ngingetin arum. Kita makan dulu yuk eyang,” Ajak arum.

Eyangpun tersenyum sembari menikmati masakan itu. Dalam hatinya ia tidak pernah menyangka akan bangkit di kehidupan seperti ini.
Sebelumnya ia selalu hidup di dunia yang penuh dengan kutukan dan ilmu hitam.

Arum menanyakan pada eyangnya tentang keberadaan Guntur yang belum pulang hingga saat ini. Namun Eyang menjelaskan bahwa ia merasakan keberadaan Guntur yang tengah baik-baik saja.
Hanya saja sepertinya Guntur harus sedikit lebih lama di desa Dirga.
Saat mereka selesai makan, samar-samar Nyai Jambrong merasakan keberadaan sosok seseorang di luar jendela.

Iapun meninggalkan tempat duduknya dan mendekati jendela untuk mencari keberadaan orang tersebut.
“Arum…”

“Iya Eyang?”

“Bantu Eyang membereskan barang-barang eyang ya,”

Arumpun bingung dan menghampiri Nyai Jambrong yang tengah memperhatikan sosok di luar jendela.
“Sepertinya eyang belum diijinkan untuk mati,” ucapnya sembari menatap sesosok roh seorang pemuda yang menggenggam sebuah keris pusaka.
Jelas dari wajahnya memancarkan bahwa saat ini sosok itu tengah membutuhkan pertolongan.

***
(Di desa Dirga…)
Suara ayam berkokok baru saja berhenti menyambut datangnya matahari terbit. Tapi saat itu, Dirga tidak melihat keberadaan Guntur yang sebelumnya juga tidur di kamarnya.
Iapun keluar dan mendapati Guntur tengah menggantungkan kedua kakinya pada sebuah batang ranting di pohon belakang, sembari beberapa kali mengangkat tubuhnya.

“Emang harus ya kamu latihan sepagi ini?” Tanya Dirga.
Guntur yang menyadari kedatangan Dirga segera meninggalkan latihanya. Ia menghampiri Dirga sembari melap keringatnya.

“Kata Eyang, kalau latihan bisa diselesaikan saat subuh, pagi dan siangnya kita bisa beraktivitas dengan tenang,” ucap guntur yang tengah mengatur nafasnya.
“Bener juga sih, tapi butuh niat yang hebat untuk ngelakuin itu. Aku aja ngerasa belum tentu sanggup,” balas Dirga.

“Haha, manusia ini nggak dilahirkan setara, Dirga! Kadang ada yang harus berjuang ratusan kali lebih keras untuk bisa melangkah di jalan yang sama,” balas Guntur.
Mendengar ucapan itu Dirga semakin kagum dengan Guntur. Ia sama sekali tidak mengeluh pada takdirnya dan mensyukuri apa yang ia miliki.

“Hebat kamu, orang biasa pasti akan lebih menuntut bahwa Tuhan tidak adil, dibanding berusaha keras seperti kamu,” ucap Dirga.
Setelah membasuh wajah dan tubuhnya dengan air, iapun menepuk pundak Dirga dan duduk di sampingnya.

“Nggak mungkin Dirga, Nggak mungkin aku mengatakan Tuhan tidak adil setelah dia menciptakan Arum untukku,” jawab Guntur sambil tersenyum membayangkan Arum di desa.
Mendengar jawaban Guntur wajah Dirga semakin sumringah dan bersiap meledek Guntur, tapi ia menahanya karna ia tahu ledekan itu tidak mempan padanya yang memang benar-benar membanggakan Arum temanya sejak kecil itu.
Di tengah perbincangan mereka, seketika anginpun berhembus dengan kencang. Diantara cahaya matahari yang akan terbit itu samar-samar mereka melihat sesosok orang yang tengah mendekat kepada mereka.
Cahaya matahari itu menghalangi penglihatan mereka untuk mencari tahu siapa orang itu. Namun tak lama tangan Jagad menepuk kedua anak itu.

“Yuk, siap-siap..” ucap Mas Jagad.
Kedua anak itu bingung dengan kemunculan dan ajakan Jagad yang sangat tiba-tiba.

“Kemana?” Tanya Dirga.
Mas Jagad melemparkan dagunya ke arah sosok yang mendekat tadi. Itu adalah sosok pemuda yang tengah menggenggam keris di tanganya.
“Kalau sudah seperti ini, artinya mereka benar-benar membutuhkan kita,” ucap Jagad.
Saat berhasil mengenali sosok itu, mereka berduapun bergegas mengemasi barang-barang mereka dan bersiap menaiki mobil mas Jagad untuk menyusul sosok itu.

***
(Di desa lembah keramat..)

Sebuah buku tua terbuka selembar demi selembar. Ada berbagai gambaran benda-benda pusaka dan berbagai mantra yang menyatu dengan gambaran pusaka tersebut.
Lembah keramat sempat bergetar, sebuah cahaya sempat memancar dari tempat yang tidak pernah Mbah Jiwo datangi. Jelas saja kejadian itu membuatnya begitu cemas.

“Se—setan!!! Lari!!”
Samar-samar Mbah Jiwo mendengar suara warga desa yang berlari seolah baru saja melihat sosok yang mengerikan. Bila itu warga desa, seharusnya mereka sudah terbiasa melihat sosok yang terkadang nampak di halaman rumah Mbah Jiwo. Ia menangkap bahwa ini adalah sosok yang berbeda.
Mbah Jiwo segera meletakkan bukunya dan menuju tempat dimana teriakan itu terdengar. Dalam sekejap terjawab sudah penyebap teriakan orang yang lari tunggang langgang tadi.

Berbagai dedemit muncul berbondong-bondong dari arah lembah keramat.
Mereka adalah roh penasaran dari manusia yang terjebak di tempat itu. Tapi apa yang memancing mereka untuk meninggalkan tempat itu dan pergi ke desa.
Mbah Jiwo hendak mengambil pusakanya untuk menghadapi mereka, namun dari kejauhan ia melihat sesosok roh yang melayang yang membuat setan-setan itu gentar.
Lantunan doa tak henti terucap dari roh itu. sebuah keris tergenggam di tanganya yang sudah jelas akan ia gunakan bila mungkin doanya tidak mampu menenangkan mereka.
Tapi sebelum itu terjadi, suara geraman terdengar dari arah lembah bersama kemunculan bayangan berbentuk makhluk berkepala kerbau. Sontak setan-setan itupun gentar dan memilih kembali ke alamnya.
Mbah Jiwo yang melihat kejadian itu segera menyadari maksud keberadaan roh itu mendatangi desanya. Saat kembali ke rumah, ia melihat sosok roh berkepala kerbau tadi sudah menantinya di halaman.
Di ruangan pusakanya, Mbah Jiwo membuka sebuah peti kayu yang ia tanam di bawah ruangan itu. Ada sebuah kotak pusaka yang ia keluarkan dari dalamnya.
“Tidak kusangka pusaka ini akan kugunakan secepat ini,” gumam Mbah Jiwo.

Iapun bergegas membereskan barang bawaanya dan meninggalkan sebuah rumah yang dijaga oleh sosok-sosok yang pernah menghuni lembah keramat.

***
GUBUK DI TENGAH HUTAN
Suara deru mesin mobil mengerang begitu keras menggerakkan mobil Jagad secepat mungkin menuju sebuah tempat yang ditunjukkan kepadanya. Rasa khawatir di dalam dirinya mendorongnya untuk segera sampai ke tempat terpencil itu.
“Astaga Mas Jagad ! Istiqfar mas!!” Teriak Dirga yang ketakutan sembari memegangin handle di samping atas jendela.

“Iya mas! Eling mas! Aku belum nikahin Arum!!” Teriak Guntur yang nyalinya ciut seketika.
“Sabar! Ini darurat!” Balas Jagad yang bukannya melambatkan mobilnya, malah semakin menekan pedal gasnya.

Memang, dalam waktu setengah hari mereka sudah memasuki Jawa Timur dan berhasil sampai di dekat tujuan mereka saat langit masih terang.
Namun usaha tersebut harus ditebus dengan Guntur dan Dirga yang memaksa untuk turun dan memuntahkan isi perut mereka.

“Yah.. jadi cowok kok lemah, begitu aja udah mabok,” ledek Jagad.

“Asem.. ayo ke desaku mas, tak ajak balapan sapi!” balas Guntur.
Jagad hanya menggeleng menertawakan mereka berdua. Setelah menunggu sesaat dan menyeduh teh hangat dari termos yang dibawakan Emak Dirga, merekapun melanjutkan perjalanan.
Baru beberapa menit memasuki jalur hutan, tiba-tiba mereka terhenti oleh sosok yang menari-nari di tengah jalan. Beberapa kali Jagad memberi kode dengan lampu ataupun klakson orang itu tetap tidak mau menyingkir.

"Tokecang tokecang balagendir tosblong…"
Suara itu sayup-sayup terdengar dari penari itu. Dirga mulai merasakan bahaya saat orang itu menghentikan tarianya.

“Mas… berhenti! Hati-hati!” Peringat Dirga.
Jagad dan Dirga segera tersadar mengenai sosok yang ada di hadapanya itu.
merekapun keluar dari mobil dan menghadapinya.
“Siapa? Kamu siapa?” Tanya Jagad.
Orang itu menoleh dan memamerkan wajahnya yang dirias dengan bedak putih pekat. Jelas Jagad merasakan bahaya dari orang itu.
Belum sempat bertindak apapun, tiba-tiba seseorang merangkul Dirga dan Jagad dari belakang.

“teu pantes mun budak leutik ulin ka leuweung!” (tidak pantas, anak kecil main-main ke hutan) ucap orang itu yang dalam sekejap membuat Dirga dan Guntur melompat menjauh.
“Maaf, tapi kami harus pergi ke alas wetan,” ucap Jagad sembari mencoba menyerang orang itu dan menjauhkan Guntur dan Dirga darinya.

Sebuah pertarungan singkat terjadi. Tapi, serangan Jagad tidak ada satupun yang berhasil mendarat di tubuh orang itu.
Menyadari hal itu, Guntur dan Dirga ikut dalam pertarungan membantu Mas Jagad.

Tapi dalam sekejap, serangan mereka bertiga hanya menghantam angin kosong sementara orang itu sudah ada di belakang mereka.
“Khikhihi.. ilmu hanya sekotoran hidung mau masuk ke hutan.. Goblok!!” teriak orang itu.

Mendengar ucapan itu Jagad , Guntur dan Dirga menjadi kesal. Dirgapun bersiap mengambil keris pusakanya tapi sebelum itu terjadi, Guntur menahanya.

“Tunggu!” ucap Guntur.
“Kenapa? Makhluk itu tidak bisa diremehkan!” Balas Dirga.

“Entah mengapa aku merasa orang itu sedang menguji kita,” ucap Guntur.

Dirga mengernyitkan dahinya tak mengerti dengan maksud Guntur. Ia sama sekali tidak melihat bahwa tujuan orang itu seperti yang Guntur katakan.
“Biar aku yang melawanya,” ucap Guntur.
Jelas saja Jagad dan Dirga tidak setuju. Ia mencoba menahan Guntur, tapi Guntur bersikeras untuk mencobanya.

“Aku lawanmu!”
Guntur memasang kuda-kuda dengan memfokuskan dirinya pada orang itu.

“Kalian teh ngeremehin Kang Jawir?” ucap sosok yang bernama Kang Jawir itu. Seketika wajahnya terlihat kesal dengan ulah Guntur.

“Meremehkan atau tidak, kan kau sendiri yang bisa menilai,”
Guntur melesat melayangkan pukulan yang segera dengan mudah dihindari oleh Kang Jawir. Tanpa sempat merespon Kang Jawir sudah siap mendaratkan kepalan tanganya di wajah Guntur.
Ia yakin seranganya akan mengenai Guntur tapi anehnya serangan itu lolos melewati wajahnya dengan sangat tipis.

Tendangan guntur mencoba menjatuhkan Kang Jawir, tapi langkah kaki Kang Jawir terlalu lincah hingga tendangan itu hanya menghantam angin.
Sementara itu, Kang Jawir sudah siap dengan sikutnya untuk menghantam tubuh Guntur. Tapi sekali lagi seranganya melewati tubuh guntur begitu saja. Guntur menghindari setiap serangan Kang Jawir dengan begitu tipis.
Merasa Guntur tidak dapat diremehkan, Kang Jawir mulai menari dan memutar tubuhnya dan membentuk sebuah gerakan hingga tanganya menghitam.
Melihat hal itu Guntur mengingat sebuah gerakan yang diajarkan oleh seseorang. Ia menarik semua energi yang bisa ia rasakan dalam kepalan tanganya.
Tepat saat Kang Jawir menyerang Guntur dengan pukulan misterius itu, Guntur menyambutnya dengan sebuah pukulan yang menyebabkan suara petir yang menggelegar saat pertemuan kedua pukulan mereka.

Blarrr!!!
Guntur dan Kang Jawir terpental. Mereka masih berdiri dengan mantap, namun senyum Kang Jawir tidak lagi terlihat di wajahnya.

“Dirga, sejak kapan Guntur sehebat itu?” Tanya Jagad yang kagum dengan gerakan-gerakan Guntur,
“Entah mas, yang pasti itu semua nggak dia dapatkan dengan mudah,” Balas Dirga yang mengingat bagaimana latihan yang Guntur lakukan.

“Mas Jagad mulai ngerasa ilmu bela diri dia sudah melewati Mas Jagad ,”
Mendengar ucapan itu Dirga menoleh menatap pakdenya itu. ia tidak menyangka pernyataan itu akan keluar dari mulutnya.

“Masih ada manusia yang mempelajari ilmu bela diri sampai seperti itu? Siapa gurumu?” Tanya Kang Jawir.
“Guruku orang yang jauh lebih sakti darimu! Eyang Nyai Jambrong!” Teriak Guntur meneriakkan nama gurunya dengan bangga.

Mendengar nama itu Kang Jawir mundur selangkah. Mungkin ia tidak pernah menyangka akan mendengar nama itu.
“Tidak mungkin! Nyai Jambrong tidak pernah benar-benar mengangkat murid! Lagipula aku tidak melihat kekuatan hitam di ilmumu!” Bantah Kang Jawir.

Mendengar bantahan Kang Jawir, Gunturpun meninggalkan kuda-kudanya dan menarik nafas sedikit santai.
“Makanya Kang Jawir main-main keluar hutan. Eyang udah lama tobat! Ilmu hitamnya sudah musnah, tapi ilmu bela dirinya aku yang akan meneruskan!” Ucap Guntur sembari memukul dadanya.

Kang Jawirpun meninggalkan kuda-kudanya. Tapi wajahnya masih terlihat heran.
“Apa jadinya nenek peyot itu tanpa ilmunya?” Gumam Kang Jawir.

“Jadi orang baik,” balas Guntur singkat.

Wajah Kang Jawir menunjukkan reaksi aneh mendengar jawaban Guntur. Iapun terlihat bingung dan beberapa kali menggaruk kepalanya.
“Ya sudah, kalian ikut saya!” ucap Kang Jawir.

“Ikut kemana Kang?” Tanya Guntur.

“Jasad teman-temanmu,” ucap Kang Jawir sambil melangkah membelakangi mereka.

Mendengar itu wajah mereka bertiga semakin menjadi serius dan masuk ke mobil untuk mengikuti Kang Jawir.
“Kang, nggak mau ikut naik mobil aja kang? Kalau ngikutin Kang Jawir jalan kaki, nggak sampe-sampe nih,” ucap Guntur yang mulai berani pada Kang Jawir.
“Berisik! Kalau mau ya ikutin, kalo nggak pulang aja sana!” Usir Kang Jawir.
Mendengar jawaban itu mereka bertigapun hanya pasrah menahan sabar mengikuti kecepatan Kang Jawir.

***
Pohon-pohon rindang berdiri tegak melindungi sebuah gubuk kumuh yang dibanjiri dedaunan kering. Jagad memarkir mobilnya di pinggir hutan dan berjalan beberapa puluh menit hingga sampai di tempat itu.

“Sudah puas mencari gara-gara dengan muridku?”
Tiba-tiba suara seorang nenek menyambut mereka dari dalam rumah. Kang Jawir terlihat kaget melihat sosok Nyai Jambrong muncul dari dalam gubuknya.

“Aarrggh… cuih! Nyai Jambrong! Bagaimana kau bisa ada di sini?” teriak Kang Jawir.
“Naik Bis! Kowe pikir aku orang tua yang tidak mengikuti perkembangan jaman? Kuno seperti kamu!” balas Nyai Jambrong.

Guntur terlihat masih mengucek matanya. Ia masih tidak percaya dengan sosok yang menyambutnya itu.
“Eyang? Ini beneran eyang? Apa setan berwujud Eyang? ” Tanya Guntur.

Bukanya menjawab, sebuah sandal jepit malah melayang dan mendarat dengan akurat di wajah Guntur.

“Berisik! Cepat masuk! Masih ada sisa masakan Arum di dalam,” teriak Nyai Jambrong.
Dirga tertawa melihat kejadian itu, “Aku berani jamin itu Nyai Jambrong, Mas”

“Sama,” Tambah Mas Jagad sembari menahan tawa.

Guntur merengut mendengar ucapan mereka berdua. Iapun memungut sandal Nyai Jambrong dan membawakanya kepadanya.
“KONDENYA COPOT!!!” Teriak Guntur sembari melemparkan sandal Nyai Jambrong ke batu.

“EH COPOT! KONDE COPOT” Latah Nyai Jambrong yang segera disusul dengan tawa puas Guntur.
Nyai Jambrong segera menoleh ke arah Guntur yang ternyata sudah berlari melesat menuju rumah secepat mungkin.

Dirga dan Jagad yang melihat ekspresi wajah Nyai Jambrongpun memilih ikut berlari sebelum sesuatu terjadi pada mereka.
“Gila kamu Tur! Kalo Nyai Jambrong Jantungan gimana?” Tanya Dirga.

“Biar dikasi napas buatan sama mas Jagad ,” balas Guntur singkat.

“Ngawur kamu!”
Merekapun masuk ke rumah dengan terburu-buru sebelum Nyai Jambrong menyusul mereka.
Tapi, niat guntur yang mengincar masakan arumpun berubah ketika melihat dua orang terbaring di ranjang dengan keadaan yang mengenaskan.

“Selamat siang,” ucap lirih seorang perempuan yang duduk di sebuah kursi dengan mata yag tidak dapat melihat.

“Si—siang,” balas mereka.
Seketika suasana menjadi canggung. Mereka bertiga segera bergegas menuju tubuh Danan dan Cahyo yang terbaring tak berdaya di ranjang kayu yang hanya beralaskan tikar itu.

“Nggak mungkin, nggak mungkin Mas Cahyo bisa dibuat babak belur begini,”
Guntur tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Tubuh Cahyo babak belur, bagian luka-lukanya tertutup rempah rempah untuk mengobati lukanya.

“Selama ini kita melewati pertarungan sengit, tapi kita tidak pernah melihat Danan tak berdaya seperti ini,” tambah Jagad.
Jagad dan Dirga menggunakan amalan pemulih berusaha untuk menyembuhkan luka-luka ghaib yang ada di tubuh mereka berdua. Tapi sayangnya, semua itu tidak berdampak banyak.
“Ternyata mereka berdua memang hebat, bahkan dalam keadaan seperti ini mereka bisa mengumpulkan orang sebanyak ini,” ucap Nyai Runtak.

“Eh Iya, maaf nyai. Kami sampai tidak sempat menyapa nyai,” ucap Dirga sopan.
Nyai Runtak menggeleng, ia berdiri dengan hati-hati dan membuka jendela dengan lebar. Walau tidak bisa melihat, tapi Nyai Runtak bisa merasakan hawa di luar jauh lebih peka dibanding manusia biasa.
“Hari mulai gelap, kalau kalian ingin mencegah bencana itu kalian harus mulai malam ini,” ucap Nyai Runtak.

Ucapan itu seolah memberi isyarat kepada mereka semua untuk berkumpul. Bermodalkan api unggun yang dibuat oleh Jagad.
Mereka berkumpul untuk mendengarkan apa yang ingin disampaikan Nyai Runtak.

Mereka menceritakan tentang Ritual Panggon Mayit yang digunakan untuk melepaskan batas antara alam manusia dengan alam roh.
Dengan melakukan itu mereka bisa membangkitkan Iblis Alas Wetan yang mereka panggil dengan nama Prabu Sudrokolo.

“Bila Prabu Sudrokolo sudah dibangkitkan, sudah pasti akan ada banjir getih. Setelahnya, Batas dimensi antara manusia dan roh perlahan akan terbuka” ucap Nyai Runtak.
“Prabu Sudrokolo? Sopo to kuwi?” (Prabu Sudrokolo? Siapa sih itu?) Tanya Guntur.

“Makhluk terkutuk, kami berusaha membangkitkanya untuk menempati tahta kami di alam ini” balas Nyai Runtak dengan singkat.
“Sudrokolo? nek ra salah inget, kuwi sosok rojo sing mateni rakyate dewe?” (Sudrokolo? Kalau tidak salah ingat, itu sosok yang menghabisi rakyatnya sendiri?) Tanya Nyai Jambrong.

Ternyata jauh sebelum Nyai Jambrong dibangkitkan, ia pernah mengetahui legenda tentanga raja itu.
“Sing nggenah eyang?” (Yang bener eyang?) Tanya guntur.

Nyai Jambrong mengangguk,”Tapi eyang ndak tahu lebih dari itu,”

Mendengar pernyataan Nyai Jambrong Nyai Runtak memutuskan untuk bercerita. Ia menceritakan tentang sosok seorang raja yang gila kesaktian.
Raja itu menyadari bahwa manusia adalah entitas yang lemah di alam ini. Dibanding raksasa, wanamarta, hingga lelembut, menurut raja itu manusia adalah makhluk yang paling tak berdaya.

Ia tidak ingin menyerima kenyataan itu dan mencari kesaktian dengan berbagai cara.
Hingga akhirnya ia mencapai kesempurnaan dengan menumbalkan seluruh rakyat di kerajaanya. Dengan kekuatan itu ia bisa menghadapi sosok seperti Gandara Baruwa yang menguasai wilayah-wilayah di tanah Jawa.

Semasa hidupnya ia memiliki enam orang yang mengabdi kepadanya.
Tak hanya di kehidupan itu, abdi itu terus menitis untuk terus membangkitkanya agar sang raja terus hidup dan tak tersentuh api neraka.

“Berarti titisan itu juga hidup saat ini?” Tanya Dirga.
Mendengar pertanyaan itu Nyai Runtak menoleh ke arah Kang Jawir.
“Kalian teh sudah tahu tentang Mbah Sugik, dia salah satu dari mereka. Sayangnya dia terlalu tamak sampai mati di tangan Gandara Baruwa,” Jelas Kang Jawir.

“Lima lagi?” Tanya Guntur.
“Kang Jawir teh salah satunya. tapi sejak hidup dengan Nyai Runtak, Kang Jawir mulai malas dengan urusan mereka.

Kang Jawir mau jagain Nyai Runtak saja,” ucapnya seolah tidak merasa ada yang aneh antara hubunganya dengan Nyai Runtak yang jauh lebih tua darinya.
Mereka juga menjelaskan bahwa masih ada Ki Among Mayit yang sangat rakus mengumpulkan mayat-mayat untuk menjadi makanan ilmunya.

Ada Kanjeng Nyai Rasmono yang menarik tumbal laki-laki dengan pesonanya,
Genduk ireng bocah licik yang tidak bisa melihat pusaka yang lebih baik dari miliknya, dan Mpu Jandrik yang menguasai keris angkara murka.
Jagad menelan ludah mendengar sosok-sosok yang harus mereka lawan itu.
“Keris Angkoro murko itu hanya julukan, wujud aslinya menjadi satu dengan tulang Mpu Jandrik sendiri,”

Suara seseorang mendekat dari kedalaman hutan. Dari suaranya saja, Jagad dan yang lain sudah mengetahui siapa sosok yang sangat mengenal pusaka itu.
“Ki Jiwo Setro.. kamu hampir mati di pertarungan sebelumnya, masih berani ke sini?” Sambut Nyai Jambrong yang teringat kejadian saat bertarung melawan Raden Darwana.

“Haha, bukankah kita sama-sama mencari tempat untuk mati?” Balas Mbah Jiwo.
Kedatangan Mbah Jiwo membawa angin segar untuk mereka. Satu lagi tambahan kekuatan untuk menghadapi bencana ini.
“Hanya kekuatan Keris Sukmageni, yang bisa memulihkan kedua pemuda itu. Jadi satu-satunya jalan adalah menghidupkan Paklek mereka terlebih dahulu,” Jelas Nyai Runtak.
“Tu—tunggu? Menghidupkan?” Jagad terlihat panik. Tapi malam sudah semakin larut, Kang Jawirpun memerintahkan mereka untuk mengikutinya menuju jasad Paklek berada.

Di tengah gelapnya malam merekapun pergi dengan berhati-hati menuju hutan tempat Jasad Paklek berada.
Sesaat sebelum meninggalkan gubuk itu, Nyai Jambrong menghentikan langkahnya sejenak.

“Nyai Runtak? Apa sebenarnya tujuanmu menolong dua bocah itu?” Tanya Nyai Jambrong.

Nyai Runtak merenung sejenak dengan wajah yang mencoba mengarah ke arah suara Nyai Jambrong.
“Entah Nyai, kami sadar dosa kami tidak termaafkan. Tapi apakah salah bila kami masih berharap pengampunan dari Dia yang dipercaya sebagai Yang Maha Pengampun?” Balas Nyai Runtak.

Nyai Jambrong melanjutkan jalanya sembari menyampaikan sebuah perkataan.
“Bocah-bocah itu pernah mengatakan, Tuhan itu maha adil. Mungkin dosa-dosa kita tidak termaafkan, tapi Ia juga tidak akan mengabaikan perbuatan baik kita,” balas Nyai Jambrong sembari meninggalkan Nyai Runtak.
Kang Jawir yang mendengar perkataan Nyai Jambrong berhenti sejenak dan menatap Nyai Runtak. Mereka berdua kini semakin yakin dengan keputusanya untuk meninggalkan Prabu Sudrokolo.

***
PENYELAMATAN

Alas Wetan…

Sekumpulan hutan yang membentuk suatu kesatuan belantara yang jarang sekali dijamah oleh manusia biasa. Warga desa yang ada di sekitarnyapun mungkin hanya menjelajahi sepersepuluh bagian dari hutan ini.
Cahaya rembulan adalah penerangan terbaik yang bisa bertahan di hutan ini. Keberadaan cahaya seperti senter atau lampu minyak hanya akan menarik perhatian dari hewan atau makhluk yang tak kasat mata untuk mendekati mereka.
Bau busuk mulai tercium dari arah tempat yang akan mereka datangi. Sudah jelas perasaan bahaya mereka rasakan saat mengetahui sebuah desa telah mati dengan jasad warganya yang bergelimpangan.
Dirga dan yang lain setengah mati menahan mual saat melihat darah dan daging busuk berceceran di tempat itu. Terlebih, masih ada jasad yang tersangkut di pepohonan di sekitar desa mengerikan itu.
“Pertarungan seperti apa yang terjadi di tempat ini?” Tanya Jagad saat melihat bangunan-bangunan yang rusak parah di tempat itu.

“Tanyakan pada kedua teman kalian saat mereka sadar,” Balas Kang Jawir.
Wajah Dirga dan Guntur terlihat tidak percaya bahwa ini semua adalah hasil dari pertarungan Danan dan Cahyo. Tapi, masalah sebenarnya bukanlah itu.
Kang Jawir menuntun mereka pada sebuah pohon besar dimana ada seseorang terduduk di rantingnya dengan keris yang menancapkan tubuhnya ke pohon itu.

“Paklek? Itu paklek?” Dirga terlihat panik saat menyadari tubuh paklek tertancap di sana dengan wajah yang mulai membiru.
Nafas mereka menderu melihat pemandangan itu, emosi mereka mulai memuncak. Namun sebelum mereka bertindak apa-apa Mbah Jiwo maju melewati mereka dan menyadari sesuatu.

“Apa yang menancap itu, Keris Sukmageni?” Tanya Mbah Jiwo.
“Benar, aku yang menancapkanya. Saat itu, hanya itulah satu-satunya menyelamatkan dirinya dari pembantaian Mpu Jandrik,” Jelas Kang Jawir.

Mendengar ucapan itu Jagad dan yang lain semakin bingung.
“Menyelamatkan? Menusukkan keris ke tubuh paklek disebut menyelamatkan?” Kesal Dirga.
Mbah Jiwo menahan Dirga seolah mulai mengerti situasinya.

“Ingat, kekuatan Keris Sukmageni adalah penyembuhan. Mungkin saja tindakan Kang Jawir sudah benar,” Ucap Mbah Jiwo.
Merekapun kembali menyimpan emosi mereka dan mendekat ke arah pohon tempat tubuh Paklek berada. Tapi belum sempat menghampiri paklek, tiba-tiba langkah mereka terhenti dengan sekelompok orang yang muncul dari balik rumah-rumah tua itu.
Orang-orang itu membawa golok dan berbagai senjata tajam dengan raut wajah yang aneh. mereka menatap penuh amarah dengan nafas yang menggebu-gebu.

“Kowe kudu mati!” (Kalian harus mati)

Teriak salah satu dari mereka yang segera menyerang Jagad dan yang lainya.
Guntur dan Nyai Jambrong dengan sigap menahan serangan serangan mereka, namun jumlah mereka tidak sedikit.

“Manusia? Mereka manusia!” teriak Guntur.
“Jangan terkecoh! Mereka laki-laki yang terpengaruh oleh Kanjeng Nyai Rasmono,” ucap Kang Jawir yang dengan mudah mementalkan salah satu dari mereka.

Walau begitu, orang-orang itu seolah tidak merasakan sakit.
Setiap luka dan darah yang menetes dari tubuhnya tidak mereka hiraukan dan terus menyerang.

“Gila! Mereka tidak perduli walau tubuhnya hancur!” Ucap Guntur Panik.
“Percuma, otak mereka sudah benar-benar dikuasai nafsu pada Kanjeng Nyai Rasmono. Mereka sudah seperti budaknya,” jelas Kang Jawir.

Menghadapi orang-orang seperti itu jelas mereka kerepotan. Terlebih yang menghadapi mereka sekarang sepertinya juga bukan orang-orang biasa.
Mereka mengerti bela diri.
“Lama sekali! Patahkan saja kepala mereka!” Teriak Kang Jawir.

Jagad Melihat Kang Jawir yang tengah bersiap mematahkan kepala dari salah satu orang-orang itu. iapun bergegas menahan siku Kang Jawir untuk mencegahnya membunuh orang itu.
“Nggak kang! Bukan begitu cara kita bertarung! Mereka itu manusia!” Ucap Jagad.

Kang Jawir menoleh ke arah Jagad dengan kesal setelah caranya disalahkan. Walau begitu sepertinya ia mau mendengar ucapan Jagad.
“Terserah! Kalau kalian yang mati, itu bukan salahku!” Ucap Kang Jawir yang segera melempar tubuh otang yang kepalanya hendak ia patahkan tadi.
Pertarungan saat itu terjadi semakin sengit.
Pilihanya hanya orang-orang itu kehabisan tenaga lebih dulu, atau Jagad dan yang lain kehabisan tenaga dan mati di tangan anak buah Kanjeng Nyai Rasmono.

“Bodoh, kalau begini tidak akan selesai. Suruhan Kanjeng Nyai Rasmono akan terus berdatangan,” ucap Kang Jawir.
Nyai Jambrongpun mendekat dan menghalau orang-orang yang menyerang Kang Jawir.

“Laki-laki goblok! Jangan sia-siakan niat Nyai Runtak,” ucapnya.

Mendengar ucapan itu Kang Jawir terdiam. Namun tetap saja ia bingung dengan apa yang harus mereka lakukan.
“Terus apa? Gimana cara menangani ini?” Protes Kang Jawir.

Nyai Jambrongpun menoleh ke belakang dan mendapati Guntur tengah berlari menjauh dari orang-orang itu.

“Kang Jawir! Eyang! Kabur sekarang!” Teriak Guntur.

“Itu caranya..” Ucap Nyai Jambrong.
Kang Jawir bingung. Kabur dari pertarungan? Setelah menghabiskan tenaga, mereka ingin kabur tanpa hasil? Pikir Kang Jawir.

Tapi sebelum berpikir lebih jauh, tiba-tiba terlihat jauh di depan guntur seseorang yang tengah menggendong tubuh manusia. Itu adalah Mbah Jiwo.
Ia berlari sekuat tenaga dengan membawa tubuh Paklek yang masih tertancap Keris Sukmageni ditubuhnya. Jelas saja Kang Jawir kaget dengan pemandangan itu. Tapi benar, saat ia menoleh ke arah pohon, tubuh paklek sudah tidak ada di sana.

“Sejak kapan?” Tanya Kang Jawir.
“Sejak kau berpikir untuk membunuh lawanmu, kami berpikir untuk memenuhi tujuan kami tanpa membunuh siapapun,” Jelas Nyai Jambrong.

“Itu tidak seperti ucapan seorang Nyai Jambrong,” heran Kang Jawir.
Di kepalanya, Nyai Jambrong masihlah sosok pendekar ilmu hitam yang kejam dan tak segan membunuh orang lain.

Sayangnya pelarian mereka tidak berjalan mulus. Mereka dihadang sosok wanita anggun dan cantik.
Kebayanya memamerkan bahunya dengan jariknya yang pendek hingga membuka bagian pahanya yang indah.

“Si—siapa?!” Ucap Jagad menelan ludahnya.

Sosok wanita itu memang terlihat cukup berumur. Tapi wujud dan pesona wanita itu mampu menggoda lelaki manapun yang berhadapan denganya.
“Kanjeng Nyai Rasmono, dialah yang mengirim orang-orang itu,” ucap Kang Jawir.

Merekapun terhenti dan cemas apakah orang-orang pengikut makhluk itu dapat menyusul mereka.

“Kalian tidak bisa pergi, pilihanya hanya menjadi budakku atau mati di sini,” ucap Kanjeng Nyai Rasmono.
Tatapan mata Jagad , Mbah Jiwo, Dirga dan Guntur mulai terhipnotis kecantikan Kanjeng Nyai Rasmono. Mereka membaca doa dan sekuat tenaga menahan pengaruh itu.

Tapi Sebelum sihir makhluk itu semakin dalam, Kang Jawir dan Nyai Jambrong menyusul ke depan.
“MINGGIR!” Bentak Kang Jawir dengan tegas.
Suaranya bahkan menggema sampai wilayah hutan tempat mereka berada.

“Hoo.. Kang Jawir? Sudah berani berkhianat?” Mati kamu!” ucap Kanjeng Nyai Rasmono mengancam Kang Jawir.
Sementara itu para pengikut Kanjeng Nyai Rasmono sudah mengepung mereka semua.

“Mati itu sudah pasti, tapi aku tidak akan mati di sini. Sebaiknya kau yang pergi! Melawan akupun belum tentu kau mampu!” Gertak Kang Jawir.
Wajah Kanjeng Nyai Rasmono terlihat kesal. Sepertinya ucapan Kang Jawir benar, ia yang saat ini tidak bisa melampaui kekuatan Kang Jawir. Terlebih ia melihat sosok Nyai Jambrong yang ada diantara mereka.
“Lihat saja, setelah ritual panggon demit selesai, kau akan memohon-mohon untuk menjadi budakku!” Ancam Kanjeng Nyai Rasmono.

“Itu kalau nasibmu tidak seperti Sugik,” balas Kang Jawir.
Kanjeng Nyai Rasmonopun menghilang dari dalam kabut bersama kembalinya kesadaran Jagad dan yang lain.

Tranggg!!!

Mendadak tiba-tiba Nyai Jambrong melompat menendang beberapa benda yang melesat ke arah mereka.
“Pergi, pergi saja! Tidak usah melempar barang barang tak berguna!” Teriak Nyai Jambrong yang ternyata menepis beberapa tusuk konde yang dilemparkan Kanjeng Nyai Rasmono.

Terlihat Kang Jawir tidak sempat menyadari serangan itu.
Tanpa keberadaan Nyai Rasmono, dengan cepat mereka bisa mengalahkan orang-orang itu dan pergi untuk kembali ke gubuk Kang Jawir.

***
SERANGAN DARI BALIK PURNAMA

Mbah Jiwo terengah-engah setelah membawa tubuh paklek hingga mencapai di gubuk tempat tubuh Danan dan Cahyo berada.

“Biar aku saja Mbah,” Jagad membantu Mbah Jiwo memindahkan tubuh paklek tikar seadanya yang disediakan Nyai Runtak.
Mereka mengatur nafas sementara guntur mengambil air untuk mereka semua.

“Setelah ini bagaimana?” Tanya Dirga yang menoleh ke arah Nyai Runtak dan Kang Jawir.

Menerima tatapan itu Kang Jawir malah kebingungan. Ia menoleh pada Nyai Runtak yang sepertinya juga tidak tahu apa-apa.
“Jangan tanya Kang Jawir! Kang Jawir teh cuma bisa berantem sama ngepantun aja!” Tolak Kang Jawir.

Sebaliknya Nyai Runtak hanya diam menandakan bahwa ia juga tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan untuk menolong ketiga manusia yang dalam kondisi mengenaskan ini.
Mbah Jiwo mempelajari kondisi tubuh Paklek dan mencoba memikirkan sesuatu.

“Dulu aku yang menghidupkan keris ini. Mungkin aku bisa mencoba menggunakan kekuatanya dengan menyambungkan kesadaran dan menggunakan darah paklek,” ucap Mbah Jiwo.
Nyai Jambrong mendekat dan melihat luka yang tertutup oleh tusukan Keris Sukmageni.

“Kau yakin? Pusaka itu bukan pusaka biasa yang akan patuh pada siapapun,” Nyai Jambrong ragu.
“Itulah yang harus aku lakukan, Ilmuku akan menerjemahkan perintah paklek yang tengah tidak berdaya ini pada Keris Sukmageni. Tidak ada lagi yang mengerti tentang Keris Sukmageni selain aku saat ini,” jelas Mbah Jiwo.

Semua orang yang berada di gubuk itu setuju.
Mbah Jiwo meletakkan tanganya pada dahi paklek sementara tangan satunya mengambang di atas Keris Ragasukma yang menancap di tubuh paklek.

Ada mantra yang Mbah Jiwo bacakan, ada kekuatan yang memancar dari kedua tangan Mbah Jiwo.
Tapi sebelum Mbah Jiwo melangkah lebih jauh, tiba-tiba seluruh orang di gubuk itu merasakan firasat mengerikan yang datang tiba-tiba.

Hanya satu jendela yang terbuka di sana, dan saat itu mereka sepakat bahwa ada wajah sosok makhluk besar yang mengintip melalui jendela.
Hanya satu matanya yang terlihat dari wajahnya yang sangat besar itu.

“I—itu!!” Dirga panik.

Dengan berhati-hati mereka meninggalkan gubuk sembari mengawasi sosok itu. Hanya Nyai Runtak dan Mbah Jiwo yang tersisa di dalam sembari terus berusaha menyelamatkan paklek.
Sialnya, raksasa itu tidak sendirian. Saat mereka keluar rumah sudah ada pasukan makhluk kerdil mengepung gubuk itu.

“Kkhikh..khik…Bunuh mereka! Perintah Mpu Gandrik, tidak boleh ada yang tersisa dari pengkhianat ini!”
Ada makhluk perempuan kerdil bertubuh hitam bermata merah yang datang memerintah semua makhluk yang mengerubungi tempat ini. Termasuk sosok raksasa yang mengintip dari jendela tadi.

“Genduk ireng! Jangan cari gara-gara di tempatku!” Teriak Kang Jawir kesal.
Ucapan Kang Jawir segera disambut dengan makhluk hitam yang melompat mengincar kepala Kang Jawir dari atas pohon. Namun belum sempat makhluk itu menyentuhnya, Guntur sudah melompat dan menghantamkan pukulanya hingga makhluk itu terpental.
Dari sisi lain Raksasa pengikut genduk ireng sudah bersiap menghancurkan gubuk yang menjadi markas mereka saat ini. Tapi sebelum tangan raksasa itu mencapai bangunan kumuh itu, sebuah batu melayang dengan nyala api berwarna merah dan meledak di tangan raksasa itu.
“Menjauh dari tempat itu!” Teriak Jagad.
Genduk ireng mengambil sebuah tombak pendek yang ia ikatkan di punggungnya. Sebuah tombak pusaka yang sepertinya membuat Kang Jawir waspada.

Benar saja, Tombak itu memanjang saat diayunkan ke arah Kang Jawir.
Beruntung ia sempat menyadari itu dan menghindarinya, namun ia tidak yakin ia bisa menghindarinya bila Genduk ireng menggunakan ilmunya pada tombak itu.
Tapi sebelum itu terjadi, empat buah keris melayang menyerang makhluk kerdil anak buah Genduk ireng dan menyerang setan bocah wanita kerdil itu.

“Pusaka yang menarik! Benda itu harus menjadi milikku!”
Genduk Irengpun melontarkan perhatianya pada Dirga dengan mengincar kerisnya. Anak buah Genduk Ireng semakin banyak berdatangan.

Nyai Jambrong dan Guntur saling berpunggungan menghadapi setan-setan itu dengan ilmu mereka.
Keadaan begitu genting, tapi Kang Jawir merasa aneh.
Ia tidak merasa gentar dengan serangan itu. Keberadaan teman-teman Danan di sekitarnya membuat ia merasakan perasaan yang berbeda. Kang Jawirpun bergabung dengan Nyai Jambrong dan Guntur untuk menghadapi puluhan dedemit yang mencoba menyerang mereka semua.
“Bisa-bisanya anak kecil berani melawanku!”
Genduk Ireng memuntahkan benda seperti gumpalan daging dari mulutnya dan menggumamkan sebuah mantra. Sembari menghadapi serangan keris Dirga, Genduk Ireng melemparkan gumpalan daging itu ke arah Dirga.
Dirgapun menghindar, tapi gumpalan yang jatuh di tanah itu berubah menjadi makhluk mengerikan dengan menumbuhkan tangn dan kakinya sendiri.

“Khik.. khik… kau mati duluan,” teriak Genduk Ireng.
Dirga kesulitan mengendalikan keris pusakanya sembari menghadapi makhluk aneh yang dipanggil dari perut Genduk ireng itu.

“Arrrgh!!”

Serangan tombak Genduk Irengpun berhasil menggores bahu Dirga.
Guntur yang melihat hal itu segera meninggalkan Nyai Jambrong dan Kang Jawir untuk membantunya.

“Fokus Dirga!” Teriak Guntur.

Ia menghadapi Genduk ireng sementara Dirga mencoba mengatur kembali ritme seranganya sembari melawan makhluk menjijikkan dari perut Genduk Ireng itu..
Malam semakin larut. Bukanya semakin membaik, Serangan Genduk ireng malah semakin tajam. Tak hanya itu, makhluk hitam pengikutnya semakin bertambah bergabung ke pertarungan itu.

Brakkk!!!!

Sebagian atap rumah roboh dengan serangan raksasa yang bertarung melawan Jagad.
Terlihat di sana Jagad sudah terluka dan kesulitan mengatur nafasnya.

“Siaaaal!!! Kenapa mereka datang di saat kita belum siap seperti ini!” Teriak Guntur yang kesulitan menghadapi Genduk Ireng walau melawanya berdua dengan Dirga.
Kang Jawir dan Nyai Jambrong mulai kewalahan saat makhluk yang menyerangnya sama sekali tidak berkurang. Sementara itu, Genduk Ireng menyadari bahwa ia sedang di atas angin.

“Khik..khik.. Habisi dulu pria lemah itu!”
Genduk Ireng menghilang dan seketika dirinya sudah berada di tubuh raksasa berambut panjang yang berhadapan dengan Jagad.

Jagad sudah kewalahan sedemikian rupa, tapi Genduk Ireng malah mengambil sebuah pusaka berbentuk tali dan mengikatnya ke leher raksasa itu.
Seketika otot-otot raksasa itu membesar bahkan hingga merobek kulitnya.

“Bunuh!” Perintah Genduk Ireng yang menunjuk pada Jagad yang tengah kelelahan.

Makhluk itu berteriak dan mengangkat tanganya tinggi-tinggi. Sebuah pukulan mengerikan sudah mengayun untuk melumat Jagad.
Jagad berusaha menghindar, tapi pertarungan sebelumnya membuatnya kesulitan untuk bergerak dengan cepat. Sementara energinya sudah habis setelah menggunakan beberapa kali ajian watugeni.
Jagad hampir saja pasrah menerima serangan itu. Tapi tak berselang lama dari teriakan raksasa itu, tiba tiba terdengar teriakan lain yang jauh lebih mengerikan.

“Ggrrrrraaaaaaaorrrr!!!!”

Suara raungan mengerikan yang mengema ke seluruh alas wetan.
Dengan mudah mereka menemukan bahwa suara itu berasal dari dalam gubuk. Seketika Genduk Ireng dan raksasanya menjadi waspada.

“I—itu! Nggak salah lagi! Itu!!” perasaan semangat Guntur membuatnya tak mampu menahan rasa gembiranya.
“Iya benar! I—Itu! Itu Raungan Wanasura!” Tambah Dirga.

Seseorang melesat dengan cepat dan menghantamkan pukulan tepat di dagu raksasa peliharaan Genduk Ireng itu. Hanya dengan sekali pukulan sosok itupun terjatuh.
Orang itu berdiri dengan wajah penuh amarah sembari memperbaiki posisi sarungnya.

“Mas Cahyo!”

Guntur datang menghampirinya sementara Genduk Ireng meringis kesal saat ia terjatuh dari tubuh raksasa peliharaanya.
Sementara itu tanpa disadari makhluk-makhluk yang bertarung dengan Nyai Jambrong dan Kang Jawir mulai berkurang sedikit demi sedikit. Ada sosok yang menghabisinya dalam wujud roh.
“Bocah-bocah itu sudah kembali,”

Senyum Nyai Jambrong yang menyadari kilatan-kilatan putih yang terlihat di sekitar dirinya.

---
Bersambung Part 7.2 Part akhir dari kisah ini.

Kita upload sabtu malam, Minta tolong bantu share dan komenya ya 🙏
Alas Sewu Lelembut
Part 7.2 - Panggon Demit [TAMAT]

Kita tuntaskan part akhir ya.

@bacahorror @IDN_Horor @qwertyping
#bacahorror Image
Seseorang melesat dengan cepat dan menghantamkan pukulan tepat di dagu raksasa peliharaan Genduk Ireng itu. Hanya dengan sekali pukulan sosok itupun terjatuh.
Orang itu berdiri dengan wajah penuh amarah sembari memperbaiki posisi sarungnya.

“Mas Cahyo!”
Guntur datang menghampirinya sementara Genduk Ireng meringis kesal saat ia terjatuh dari tubuh raksasa peliharaanya.

Sementara itu tanpa disadari makhluk-makhluk yang bertarung dengan Nyai Jambrong dan Kang Jawir mulai berkurang sedikit demi sedikit.
Ada sosok yang menghabisinya dalam wujud roh.

“Bocah-bocah itu sudah kembali,” Senyum Nyai Jambrong yang menyadari kilatan-kilatan putih yang terlihat di sekitar dirinya.
“Itu! Sukma Mas Danan!” Teriak Dirga yang menyadari Danan sedang menghadapi pengikut Genduk Ireng dengan kerisnya yang diliputi kilatan putih.

Melihat kejadian itu, Genduk Irengpun panik. Apalagi raksasa suruhanya tak berdaya melawan Cahyo,
ia mencari kesempatan menyerang guntur dengan tombak pusakanya yang ia panjangkan dari dalam tanah.

Jagad menyadari siasat itu. Iapun mendorong guntur dan menangkap tombak yang muncul dari dalam tanah itu.
“Siapa yang kau bilang lemah?” ucap Jagad sembari mengalirkan kekuatan khusus yang mengalir di darahnya.

Prak!!!
Tombak kebanggan Genduk ireng patah dengan mudah. Jagad menggunakan kelebihan yang diturunkan dari garis ketutunanya.
Kekuatan salah satu trah Sambara, Sang penghancur pusaka.

“Ti—tidak!! Pusakaku! Aku bahkan belum menggunakan kekuatanya!!” Genduk Ireng kesal mengetahui pusakanya hancur begitu saja.

Namun ia tidak menyerah, ia mengambil sebuah cambuk yang lagi lagi sebuah pusaka keramat.
Ia mengayunkan beberapa kali untuk menyerang Jagad. Tapi tak lama cambuk itupun mengikis dan rusak setelah Jagad menangkapnya.

“Tidak! Tidak mungkin!! Pusaka ini kukumpulkan dengan susah payah!” teriak Genduk Ireng.
Iapun menahan untuk tidak menggunakan pusakanya yang lain dan memilih untuk menyuruh raksasa peliharaanya menghadapi Jagad. Tapi saat menoleh ke sana, kepala raksasa itu sudah terpisah, dan sukmanya menguap berubah menjadi asap itu.

“Nggak! Nggak mungkin aku kalah!”
Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia menoleh ke sisi Kang Jawir berharap setan-setan pengikutnya sudah berhasil menghabisi Nyai Jambrong dan Kang Jawir. Namun yang terjadi adalah sebaliknya.

Setan-setan itu menghilang satu persatu terlepas ikatanya dari Genduk Ireng.
Rasa kesalnya semakin menjadi-jadi saat menyadari posisinya tengah terpojok.

“Khik..khik.. setidaknya, mereka di bangunan itu akan mati!” teriak Genduk ireng yang memanggil pasukan demitnya lagi. Namun hanya muncul beberapa dari mereka.
Setidaknya menurutnya itu sudah cukup untuk membunuh Nyai Runtak, paklek dan, Mbah Jiwo yang tengah kelelahan.

Tapi sebelum setan itu mendekat, Nyai Runtak muncul di depan gubuk. Ia hanya mengetuk tongkatnya beberapa kali dan muncul berbagai sosok pocong,
dan roh orang mati yang berkumpul di sekitar gubuk itu.
Setan-setan suruhan Genduk ireng yang kalah jumlahpun gentar. Mereka memilih untuk pergi tanpa mempedulikan perintah Genduk Ireng.
Merasa tak ada lagi harapan, Genduk Irengpun ikut berbalik dan melarikan diri dari gubuk itu.

“Sial! Awas saja! Kubalas kalian!!” Teriaknya sembari melarikan diri dengan terengah-engah dengan kekuatanya yang mulai habis..

Sayangnya, ia sudah berhadapan dengan Nyai Runtak.
Perlahan tapi pasti, matanya mengantuk dan semakin mengantuk.
Tanpa ia sadari, Iapun terjatuh tertidur dengan lelap di tengah jalan itu.

Seketika keadaan menjadi hening. Mereka tidak menyangka keadaan terdesak mereka bisa berubah seratus delapan puluh derajat dalam waktu cepat.
Mereka saling memandang mencoba memastikan situasi ini. sampai tiba-tiba Danan keluar dari dalam Gubuk.

“Sudah selesai?” Tanya Danan.
Semua orang di tempat itu tersenyum melihat Danan kembali dengan tubuh yang utuh.
“Bukan selesai lagi, yang jualan udah pada bubar!” Teriak Cahyo melemparkan sarungnya pada Danan.

Pemandangan itu seketika membuat Guntur dan Dirga berkaca-kaca. Jagad menghampiri mereka, sementara Nyai Jambrong dan Kang Jawir menarik nafas lega.
“Paklek? Gimana kondisi paklek?” Tanya Jagad.
“Paklek dan Mbah Jiwo kelelahan, mereka harus beristirahat dulu. Mungkin sampai mereka tersadar, coba kita menggali informasi setan itu dulu,” Ucap Danan.

Mereka semua menatap ke arah Genduk Ireng yang masih terkapar di tanah.
Namun saat mereka hendak mendekat dan menangkap Genduk Ireng, tiba-tiba sesuatu terlihat mendekat dari atas langit.

Sebuah keris merah padam melesat dan terjatuh tepat di tubuh Genduk Ireng menusuk tepat di Jantungnya yang membuatnya sadar sesaat.
“Urrrrgghhh! Kurang ajar kau Mpu Jandrik!” ucap Genduk Ireng yang tersadar dengan mulutnya yang berdarah.

Ia bersiap mencabut keris itu, tapi tiba-tiba ada api menyala dari bilahnya dan membakar tubuh Genduk Ireng.
“Sial!! Sial!!!” Genduk Ireng Meronta-ronta sampai akhirnya tubuhnya terbakar habis oleh kekuatan keris itu.

Kejadian itu sontak membuat Danan yang yang lain bergidik ngeri.
Setelah Genduk Ireng hangus dengan sempurna, keris itu melayang memamerkan ujungnya seolah mengincar Danan dan yang lain.

Merekapun mempersiapkan diri berjaga-jaga dengan apa yang akan dilakukan keris itu.
Tapi keris itu melesat kembali ke dalam hutan meninggalkan mereka seolah hanya menyampaikan sebuah ancaman.

“Itu Keris Mpu Jandrik..” Jelas Kang Jawir.

“Iya udah tau,” balas Cahyo begitu saja.

Danan yang mendengar ucapan Cahyo melempar kembali sarung Cahyo ke wajahnya.
“Nggak usah bercanda! Lagi serius!” Tegur Danan.
“Lah nggak bercanda, orang tadi setan kuntet itu juga udah ngomong,” balas Cahyo.
Melihat kelakuan Cahyo, seketika rasa khawatir mereka menghilang. Kini mereka yakin bahwa kondisi Cahyo sudah pulih.
Kini mereka sudah siap untuk menuju lokasi ritual. Lokasi tempat Prabu Sudrokolo akan dibangkitkan.

***
API ALAS WETAN

(Sudut pandang Danan..)

Sekali lagi kekuatan Keris Sukmageni berhasil menyelamatkan nyawaku dan Cahyo. Niat kami untuk menyelamatkan paklek malah berbalik dengan paklek yang menyelamatkan kami lagi.
Aku mendengar cerita bahwa Mbah Jiwo mengaktifkan kekuatan Keris Sukmageni untuk memulihkan keadaan paklek yang sebenarnya jauh lebih parah dari kami.

Saat ini paklek dan Mbah Jiwo tengah beristirahat sembari mengumpulkan kembali tenaganya.
“Dirga, Guntur tidur aja, gantian Mas Danan sama Mas Cahyo yang jaga,” ucapku meminta mereka untuk beristirahat.

“Nggak papa mas, kami belum ngantuk kok,” balas Guntur.

“Iya belum ngantuk, tapi bentar lagi udah mau pagi. Jangan sampai besok kamu malah kecapekan,” tambah Cahyo.
Kami tahu, mereka bukanya tidak lelah. Tapi serangan Genduk ireng tadi membuat kami semua khawatir akan serangan lainya.

Baru saja Cahyo berbicara, mulai terlihat cahaya muncul dari ufuk timur. Tidak kami sangka pagi datang secepat ini.
“Masih jam segini kok sudah ada matahari aja?” ucap Dirga.

Guntur merasa ada yang aneh dari ucapan Dirga. Iapun mencari pohon tertinggi di sekitarnya dan memanjat setinggi yang ia bisa.

“Bukan! Itu bukan matahari! Itu api!” Teriak Guntur.
Cahyopun menyusul guntur dan memastikan arah cahaya itu.

“Benar, itu api! Api yang sama dengan yang membakar setan kuntet itu,” jelas Cahyo.

Kang Jawir yang tengah tertidurpun terbangun. Nyari Runtak yang menyadari itu juga keluar dari gubuk.
“Ritual sudah dilakukan,” ucap Nyai Runtak.
“Ternyata tanpa sugik, Genduk ireng, dan kita, ritual itu tetap bisa dilakukan,” ucap Kang Jawir.

Aku menyaksikan wajah Kang Jawir dan Nyai Runtak terlihat gelisah.
sepertinya mereka sangat sadar betapa mengerikanya bila ritual itu selesai.
“Apa kita harus ke sana sekarang Kang?” Tanyaku.
“Ritual ini teh seharusnya berjalan selama tiga hari. Sebaiknya kita ke sana dengan kondisi yang paling baik,” ucap Kang Jawir.
“Kita persiapkan semuanya, dan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk,” tambah Nyai Runtak.
Aku menangkap perkataan itu sebagai tanda bahwa kami harus beristirahat dan mempersiapkan benar-benar fisik dan mental kami.
“Danan, Panjul.. bangun, makan dulu terus berangkat,”

Terdengar suara seseorang membangunkanku dan Cahyo. Aku menyadari suara itu dan segera memaksa mataku untuk terbuka.

“Paklek! Paklek sudah pulih?” tanyaku saat menyadari paklek sudah bisa beraktivitas.
Cahyo melirik sebentar dan kembali nyaman dengan sarungnya.

“Ya sudah lah Nan! Kita tebak-tebakan, gorenganya pasti udah habis duluan,” ucap Cahyo yang bukanya terbangun malah mengubah posisi tidurnya.
“Awas kowe Jul, ra kebagian iwak kowe!” (Awas kamu Jul! Nggak kebagian daging kamu!) Ancam Paklek sembari bergegas meninggalkan kami.
Mendengar ucapan itu, Panjul panik dan buru-buru terbangun menuju tempat aroma masakan yang tercium dari luar.
Sekali lagi aku menghela nafas melihat tingkah mereka berdua. Walau bertingkah begitu, sebenarnya Cahyolah yang paling khawatir dengan keadaan Paklek.

Hanya masakan sederhana, beberapa hewan hutan yang dibakar dan buah-buahan yang ditemukan di hutan.
Gubuk Nyai Runtak bahkan tidak menyimpan rempah atau bumbu masakan.
Kami memang tidak menuntut masakan apapun, tapi setidaknya masakan kali ini bisa mengisi perut kami untuk menghadapi Mpu Jandrik dan yang lainya.
Saat itu matahari sudah berada di atas kepala, namun suasana benar-benar seperi pagi buta dengan kabut yang sejak tadi semakin menebal.
Merasa takut keadaan akan semakin memburuk, kamipun memutuskan untuk berangkat tepat saat selesai makan.
Tapi saat hendak meninggalkan gubuk, tiba-tiba kabut terasa semakin tebal.

“Hati-hati! Kabut ini tidak wajar!” Peringatku pada yang lain.
“Semuanya! Mendekat jangan jauh-jauh!” Paklek tersadar bahwa tebalnya kabut ini bahkan membuat kami kesulitan melihat satu sama lain.
Kang Jawir memperhatikan sekelilingnya dengan hati-hati. Ia beberapa kali meraba pohon-pohon dan dendaunan dengan wajah gelisah.

“Sial maneh teh! Kita nggak bisa kemana-mana!” ucap Kang Jawir.
“Kabut ini benar-benar menutup alas wetan!”
Ucapan Kang Jawir seketika membuat kami panik. Paklek segera mengambil posisi duduk bersila dan melepaskan sukmanya dari raganya. Akupun melakukan hal serupa untuk mengecek keadaan dari atas hutan.
Dan benar.. seluruh hutan ditutup oleh kabut tebal. Hanya beberapa pucuk pohon tertinggi yang terlihat dari atas.
“Kabut ini menutupi seluruh hutan,” ucap paklek.
Cahyo mencoba menaiki pohon dan mencari kemungkinan mereka untuk pergi. Ia menajamkan telinga dan penciumanya.
“Kabut ghaib, aku bahkan tidak mencium dan mendengar suara hewan hutan. Kita terjebak!” ucap Cahyo.

Entah berapa kali paklek membacakan mantra dan doa untuk menghilangkan tabir ghaib. Tapi semua sia-sia.
Jagad menggunakan kemampuanya untuk melintasi alam lain, tapi yang terjadi di alam sana juga sama. seluruh kabut menutupi hutan ini dari dua sisi.

Persiapan kami sia-sia, kami menduga kabut ini sudah dipersiapkan sejak keris Mpu Jandrik tadi menghabisi Genduk ireng.
Berjam-jam kami mencari cara untuk menghilangkan kabut ini, tapi semua sia-sia.
Di tengah kebingungan kami, samar-samar terlihat bayangan dari balik kabut.
Besar.. bayanganya begitu besar, mungkin hampir sebesar pohon yang tumbuh di hutan ini. matanya menyala menembus kabut, dan ia mengarah ke arah kami.
“Raksasa lagi?” ucap Guntur.
“Hati-hati!” peringatku.
Walau sosok itu mendekat, entah mengapa aku tidak merasakan adanya ancaman. Lagipula makhluk itu berjalan dengan perlahan ke arah kami.
“Itu disana!”
Dari arah raksasa itu samar-samar aku mendengar suara yang tidak asing. Suara seorang perempuan.
“Nan, kayaknya aku nggak asing sama suaranya,” ucap Cahyo.
Akhirnya wujud raksasa itu terlihat menyeruak dari balik kabut. Sosok raksasa dengan wajah datar. Tubuhnya seperti batu yang keras dan menggendong sesuatu.
Ada dua orang yang berjalan di dekatnya, dari merekalah suara tadi berasal.
“Jul, aku nggak salah lihat?” Tanyaku.
“Mbuh nan, bisa jadi ini ilusi buatan Mpu Jandrik,” balas Cahyo.
Dua perempuan itu menemukanku dan segera berlari ke arahku.
“Mas Danan!” Teriaknya.
Itu.. Naya, di sebelahnya ada ibuku. Jelas aku tidak langsung mempercayainya. Gubuk ini ada di tengah hutan, dan mereka datang bersama dengan sosok raksasa.
“Naya? Nggak mungkin kamu Naya!” balasku.
Mendengar ucapanku, ibu mencubit pipiku dengan wajah kesal.
“Ati-ati nek ngomong, wis adoh-adoh tekan kene malah dingonokke,” (Hati-hati kalau ngomong, sudah jauh-jauh sampai sini malah digituin) Ucap ibu.
Jelas sekali itu adalah suara dan kebiasaan ibu.
“Ta—tapi? Gimana kalian bisa sampe sini?” Tanyaku.
“Iya Bude? Kenapa bisa ada di sini?” Cahyo ikut penasaran. Sementara itu paklek juga mendekat ke arah kami.
“Sabar Mas, Naya juga tahu Mas Danan pasti bingung. Biar Naya ceritain,” ucap Naya.
Naya bercerita bahwa beberapa hari kebelakang ia mendapat mimpi mengenai bukit batu.
Mimpi yang seolah benar-benar nyata. Hal itu membuat Naya memutuskan untuk mendatangi bukit batu bersama Nyai Kirana Ibu Danan sekaligus menyekar Ayah Danan.
Dan hal yang tidak mereka sangka terjadi di sana.
Dari kuburan pusaka Ayah Danan terlahir sosok yang mereka lihat saat ini.
“Naya menamainya Buto Kendil. ia terus menggendong kendil besar di punggungnya.” Jelas Ibu.
Aku sangat tidak menyangka dengan kejadian ini.
Baiklah.. mungkin aku percaya bahwa ada sosok yang terlahir dari pusaka bapak, tapi apa alasan sampai mereka datang ke tempat berbahaya ini.
“Tapi kenapa kalian sampai ke tempat ini? Di sini terlalu berbahaya,” tanyaku.
“Naya yang minta ke Ibu,” ucap Naya.
Ia bercerita bahwa dalam mimpinya ia ditemui oleh tiga orang. Seorang kakek tua, seorang pendekar, dan seseorang yang mirip dengan Danan tapi lebih berumur. Mereka mengatakan bahwa Buto kendil terlahir karena sebuah tujuan.
Satu yang Naya yakin, keberadaan Buto Kendil dibutuhkan oleh Danan dan yang lainya.
Paklek menatap sosok raksasa yang hanya terdiam tanpa sepatah katapun itu. Tak ada komunikasi diantara mereka, namun tiba-tiba Paklek tersenyum dan tertawa melihat sosok itu.
Tahu apa yang terjadi setelahnya?
Buto kendil ikut tertawa merespon ekspresi Paklek. Tawa itu membuatku merasa dekat denganya. Setelah beberapa lama aku menyadari bahwa senyumnya itu sangat mirip dengan senyum Buto Lireng.
“Jadi kamu buto kendil? Salam kenal ya,” ucapku.
Buto kendil hanya tertawa ringan menyambut ucapanku. Sepertinya ia memang sosok yang baru terlahir dan belum mengenal bahasa.
Buto Kendil menurunkan kendil di punggungnya seolah meminta kami untuk masuk ke dalamnya.
Setelahnya ia menatap ke arah kami melihat api yang menyala di alas wetan.
“Maksudnya kami diminta masuk ke sini?” tanyaku.
Naya mengangguk, “Kami bisa sampai ke tempat ini juga dengan cara itu,”
Aku menoleh kepada Cahyo dan yang lain.
Apa mungkin ini adalah jalan untuk kami sampai ke tempat ritual?
“Aku ikut,” ucap Cahyo yang mendekat ke arah buto kendil seolah memperkenalkan diri.
“Iya, sepertinya aman..” ucap Guntur.
Melihat yang lain tidak keberatan, akupun setuju untuk menumpang pada Buto Kendil.
Tapi sepertinya ada sedikit perubahan rencana.
“Guntur, Dirga.. apa kalian bisa tinggal di Gubuk ini? harus ada yang yang menjaga Naya dan Ibu,” ucapku pada mereka.
“Dirga sih nggak keberatan, tapi apa di sana Mas Danan nggak kesulitan?” Tanya Dirga.
“Mas Danan akan lebih kesulitan bila tidak yakin bahwa Naya dan Ibu tidak dalam keadaan aman,” jelasku.
Mendengar penjelasanku Dirga dan Guntur terlihat setuju. Saat itu Jagad juga mengatakan bahwa ia akan menyusul setelah lukanya pulih.
Bila kami sudah bisa mengatasi kabut ini, ia akan segera menyusul melalui jalur ghaib.
“Guntur, Kang Jawir nitip Nyai Runtak juga ya. Jangan sampai dia kenapa-kenapa,” pinta Kang Jawir.
“Tenang, serahkan sama guntur!” ucapnya sombong.
“Khekhkeh.. kalau kita selamat, Kang Jawir janji akan ngajarin satu jurus hebat buat kamu,” ucap Kang Jawir.
Mendengar perkataan itu tiba-tiba sandal jepit lusuh menghantam kepala Kang Jawir.
“Itu muridku! Jangan macam-macam!” Peringat Nyai Jambrong.
Tingkah laku mereka cukup membuat kami terhibur, bahkan Buto Kendil ikut tertawa dengan suaranya yang berat. Entah mengapa sepertinya tawa buto kendil akan menjadi salah satu suara favoritku.
***
PANGGON DEMIT

Dengan bantuan Buto Kendil kami menerobos kabut hutan menuju arah yang kami sendiri tidak mengerti. Entah bagaimana Buto Kendil bisa yakin dengan arah yang ditujunya.
Tak sedikit ranting-ranting pohon berjatuhan dan beberapa pohon tumbang akibat Buto Kendil.
walau begitu, kami tahu ia sudah sebisa mungkin berusaha untuk memilih jalur yang aman.

Dengan bantuan Buto Kendil, tak membutuhkan waktu lama sampai kami mencapai sebuah tempat yang dipenuhi bebatuan besar.
Saat mencapai tempat itu, Buto Kendil yang penuh tawa kini memasang muka seramnya dengan nafas yang menderu.
Langkah Buto Kendil terhenti saat ada sesuatu yang melayang ke arahnya.
Ia tidak sempat menghindar namun dengan sigap ia menangkap benda besar yang membuat buto kendil terhenti itu.
Tubuh Buto kendil bergetar, ia baru menyadari benda yang ia tangkap adalah kepala. Kepala bangsa buto seperti dirinya.
“Itu yang akan terjadi padamu,”
Terdengar suara dari salah dalam susunan batu dan api yang digunakan untuk ritual.
Kami semuapun memilih untuk turun dan mencoba membaca situasi.

“Tidak usah khawatir, setelah ini biar menjadi urusan kami,” ucapku mencoba menenangkan Buto Kendil.
Kang Jawir yang baru saja turun tiba-tiba gemetar dengan pemandangan di hadapanya.
“Kita terlambat, Prabu Sudrokolo sudah bangkit dan menuju ke sini,” ucap Kang Jawir dengan tubuh yang bergetar.
Api menyala begitu besar dari tengah hutan yang saat ini menyerupai alun-alun ghaib itu. Ada beberapa bekas bangunan disana. Sesuatu yang membuatku tidak tahu alasan apa yang membuat seseorang tinggal di tempat seperti ini.
Seolah menyambut kami, ratusan kepala manusia terlempar di udara dan jatuh ke sekitar kami. itu semua ulah dedemit berwujud aneh yang menikmati mayat manusia di sekitar tempat itu.

“Setan-setan itu bukan dari jaman ini,” ucap paklek.
Belum sempat menanggapi, tiba-tiba kabut hutan tersibak dengan tetesan darah yang menghujani kami semua.

“Sudah kubilang, kau akan memohon-mohon untuk menjadi budakku!” terdengar suara Nyai Rasmono yang muncul dengan wujud yang sangat berbeda.
Ia datang dengan hanya menutupi tubuhnya dengan kain hitam yang membuat semua mata kami terbelalak.

Nafasku menderu seolah ingin sedekat mungkin dengan Nyai Rasmono.
Tapi kecantikan Nyai Rasmono seketika dinodai dengan sebuah tendangan dari nenek tua yang melompat dan mendarat di wajahnya.
“Khekhekeh… tidak mungkin Kang Jawir takhluk padamu. Nyai Runtak masih jauh lebih cantik darimu!” Ledek Nyai Jambrong.
Mendengar ucapan itu Kang Jawir semakin meneguhkan hatinya. Ilmu kanuraganya membuatnya tidak terpengaruh oleh sihir Nyai Rasmono.

“Jangan samakan aku dengan nenek cacat itu!” umat Nyai Rasmono.

Buuggggh!!!
Sebuah tendangan kembali menghajar Nyai Rasmono. Kali ini serangan itu berasal dari Kang Jawir dengan wajah penuh amarah.

“Siapa yang kau bilang nenek cacat?!” Teriak Kang Jawir. Sudah jelas ia sangat marah dengan hinaan Nyai Rasmono.
“Semua, jangan menoleh ke arah setan perempuan itu. kita serahkan mereka berdua pada Nyai Jambrong dan Kang Jawir,” perintah paklek.
Kamipun berlari maju dan sosok yang pernah gagal kami kalahkan sudah di hadapan kami.
ia berjalan dengan bungkuk tetap dengan bagian tubuh mayat yang ada di tanganya.
“Ki Among Mayit..” Cahyo terhenti melihat sosok itu. Jelas saja ia gentar, serangan kami bahkan tidak bisa menyentuhnya.
Tapi sebelum terjadi pertarungan diantara kami, tiba-tiba sebuah api besar menyala membakar sosok makhluk bungkuk itu.
“Aararrrgghh!! Kau? Kau masih hidup?” Teriak Ki Among Mayit.
“Hidup atau mati, aku tidak akan menjadi setan seperti kalian!” Balas Paklek.
Aku dan Cahyo cukup lega saat mengetahui ilmu geni baraloka paklek bisa bekerja melawan Ki Among Mayit. sepertinya Kami bisa terus berlari menghadapi sosok yang paling mengerikan diantara mereka.
Mpu Jandrik…
Berbeda dari terakhir kami melihatnya.
Mpu Jandrik seperti sudah sepenuhnya menjadi setan. Saat ini ia memilik empat tangan yang tetap menggenggam keris berwarna merah padam. Wajahnya rusak menyisakan taring yang panjang di mulutnya. Matanya terbelalak tanpa ada kelopak mata lagi yang menutupinya.
Di belakangnya sudah ada pasukan setan aneh yang siap untuk berperang.
Dalam hitungan detik, wajah mengerikan Mpu Gandrik sudah ada di hadapanku bersama dua tanganya menahan tanganku.
Aku tak mampu melawan sementara kedua tangan mpu gandrik yang lainya menggeggam keris dan bersiap menusukkanya ke kepalaku.

“Danan!” Cahyo melompat ke arahku, namun ia terpental dengan sosok tak tak bisa ia temui wujudnya.
Aku terjatuh dengan tangan Mpu Jandrik yang belum menusukkan kerisnya kepadaku. Sesuatu menahanya dari belakang.
“Menyingkir!” Teriak Mbah Jiwo yang menggunakan pusaka cemetinya untuk menahan tangan Mpu Jandrik. Jelas aku tahu, itu bukan cemeti biasa.
Aku memutar tubuhku dan berusaha melepaskan diri. Mpu Jandrik berganti mengincar Mbah Jiwo yang menyegel tanganya. Tapi seranganya seketika ditahan oleh sosok makhluk berkepala kerbau.
“Ki Mahesa Ombo.. “
Pertarungan sengitpun terjadi. Cahyo berusaha menghadapi serangan-serangan tak kasat mata hanya mengandalkan firasatnya. Sayangnya masih banyak serangan yang mendarat di dirinya.
Tak mau mengambil resiko, akupun segera memanggil Nyi Sendang Rangu untuk ikut dalam pertarungan ini.
Mantra leluhurpun kubacakan dengan Keris Ragasukma kuletakan di hadapanku.

Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
Tetesan hujan darah berganti dengan hujan Nyi Sendang Rangu. Tidak lagi hadir dengan wujud anggun, Nyi Sendang rangu segera melesat menuju Mpu Jandrik dan mencengkram wajahnya.
Aku yakin Nyi Sendang Rangu sudah merasakan kengerian dari bencana ini.
“Aaaarrrgggh!!” Mpu Jandrik terlihat kesakitan.
Nyi Sendang Rangu mengutuknya dengan wujud yang mengerikan. Namun itu tidak lama sampai Nyi Sendang Rangu terpental dengan sosok-sosok tak kasat mata yang menghantamnya.
“Nyi!!” Teriakku mencoba menghampirinya.
Tidak pernah aku melihat Nyi Sendang Rangu terluka semudah ini.
“Danan, gunakan wewangian Ki Langsamana,” perintah Nyi Sendang Rangu.
Benar, aku memiliki benda itu. benda yang dipinjamkan gama untuk keadaan seperti ini.
Akupun membuka botol kecil yang kusimpan di sakuku hingga aroma rempah yang menyengat tercium menyatu dengan hujan nyi sendang rangu.
Cahyo mundur mendekat kearahku saat menyadari perubahan yang terjadi di sekitarnya.
“Bagus Nan, wujud mereka mulai terlihat..” ucap Cahyo.
Aku mengatur nafasku sambil menyaksikan kemunculan orang-orang yang sebelumnya tak terlihat dan menyerang kami. mereka adalah pengikut Nyai Rasmono yang kesetanan.
“Nyi, Apa mereka masih manusia?” Tanyaku.
Nyi sendang rangu menggeleng. “Jiwa mereka sudah menjadi setan seperti apa yang mereka puja.”
Di tempat ini sulit bagi Nyi Sendang Rangu untuk mewujudkan wajah ayunya. Dosa makhluk-makhluk yang berada di sekitarnya membuat wajahnya mencerminkan keburukan mereka.
“Urus saja Mpu Jangkrik sialan itu! makhluk-makhluk bodoh ini biar aku yang membereskan,” ucap Cahyo yang segera memanggil wujud roh Wanasura.
Danan setuju dan Mengajak Nyi Sendang Rangu menghadapi Mpu Jandrik lagi. Sama sekali tidak bisa diremehkan.
Aku bersama Nyi Sendang Rangu dan Mbah Jiwo bersama Ki Mahesa Ombo benar-benar kewalahan melawan Mpu Jandrik.
Belum ada satupun pertanda dari pertarungan kami yang menunjukkan tanda-tanda akan selesai,
sementara langit semakin gelap dan api di sekitar tempat ini menyala dengan semakin membara.
“Graaorrr!!” Amukan Wanasura melumat makhluk-makhluk jelmaan pengikut setan-setan itu. tapi anehnya tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar mati.
Nyai Rasmono yang kami kira akan kalah dengan mudah oleh Nyai Jambrongpun masih melawan. Bahkan kain hitamnya sudah melilit ke pepohonan seolah menjebak Kang Jawir dan Nyai Jambrong.
Aku khawatir.. sepertinya ada sesuatu yang tidak kami ketahui.
Benar saja, tepat saat malam mencapai pekatnya. Mpu Jandrik melompat menjauh dari kami semua dan berdiri di sebuah bekas bangunan batu besar di dekat altar.
“Mundur!” Perintah Mpu Jandrik entah pada siapa.
Tapi beberapa saat kemudian, Ki Among Mayit dan Nyai Rasmono mundur dan berpindah ke sebelah Mpu Jandrik.
Kami semua bingung dengan apa yang mereka lakukan,
namun aku merasa yakin bahwa akan terjadi hal yang berbahaya setelah melihat tingkah laku Buto Kendil yang ketakutan setengah mati.
“Hati-hati! Berkumpul!” Teriak Paklek.
Benar saja, Api membakar tanah tempat kami berpijak.
Panasnya hampir tak tertahan dan membuat kami sulit bernafas. Bahkan hujan Nyi Sendang rangu tak lagi mampu mengimbangi panasnya api ini.
Saat kami merasa api ini akan menjemput ajal kami, tiba-tiba semua menjadi gelap.
Aku sempat mengira bahwa aku kehilangan kesadaran, namun saat mendengar suara yang lain aku menyadari kami terselamatkan oleh sesuatu.
Suara panas api menderu bahkan terdengar dari tempat kami. namun tak sedikitpun panas api itu mencapai kami.
“Nyi Sendang Rangu, kita ada di mana?” Tanyaku yang juga mencari keberadaan dirinya di dalam gelap.
“Temanmu menyelamatkan kami, kita berada di dalam kendinya,” ucap nyi sendang rangu.
Tu—tunggu? Jadi Buto Kendil menyelamatkan kami? lalu apa yang terjadi dengan buto kendil?
Saat suara bara api mulai menghilang, Nyi Sendang Rangu mencari tahu keadaan di luar dan memberi tanda bahwa api itu sudah menghilang.
Benar saja, saat kami keluar seluruh tempat ini menjadi hitam dengan api yang membakarnya. Hanya tersisa ketiga setan busuk itu yang berdiri dengan aman di salah satu batu. Masih ada api di sekitar mereka yang seharusnya tak lama lagi akan padam.
“Buto Kendil?” Cahyo menoleh ke arah sosok yang menyelamatkan kami.
Keadaanya mengenaskan..
Tubuhnya menghitam hangus sembari meringkuk memeluk kendi yang melindungi kami tadi. Jantungku berdegup, aku tidak menyangka ia sampai berkorban seperti ini untuk kami.
“Buto Kendil…” aku berusaha mencoba mencapai wajahnya.
Namun saat aku menaikinya tiba-tiba ia terbangun dan berdiri.
“Buto Kendil? Kamu masih hidup?” Tanyaku yang hampir terjatuh karena kehilangan keseimbangan.
Ia melihat ke arah bahu dan tubuhnya.
Semuanya menghitam, namun sepertinya tidak ada luka pada dirinya. Ia malah tertawa sembari memukul dadanya dengan lengan kirinya.
“Tunggu! Wajah Buto itu, sepertinya tidak asing?” Tanya Nyi Sendang Rangu.
“Haha.. rupanya Nyi Sendang Rangu merasakan hal yang sama. Mungkin kita bisa menyebutnya titisan Buto Lireng,” balasku.
Nyi Sendang Rangu segera melayang dan menyentuh dahi buto kendil.
“Buto lireng datang dan menjaga bukit batu, sedangkan dia adalah roh bukit batu itu sendiri.
Wajar ia sekuat itu, Terpaan matahari, badai, petir selama ribuat tahun sudah ia rasakan.” Jelas Nyi Sendang Rangu berusaha mencari tahu tentang Buto Kendil.
Kami mendengar penjelasan itu dengan kagum. Sepertinya Bapak bersemayam di tempat yang tepat.
“Sepertinya ada yang mau kau berikan untuk Danan?” ucap Nyi Sendang Rangu.
Mendengar ucapan itu buto kendil mencoba merogoh kendil yang melindungi kami tadi. Sepertinya kendil itu punya ruang sendiri yang tidak kami mengerti.
Sebuah kotak batu kecil ia berikan padaku.
Ukuranya hanya seujung jari buto kendil. akupun menderima dan membukanya. Ada tiga buah permata kecil di dalamnya.

“Apa ini?” Tanyaku.

Paklek dan Mbah Jiwo menghampiriku mencoba mencari tahu benda apa yang kuterima. Ia menyentuh dan menerawangnya.
“Tunjukkan Keris Ragasukmamu” ucap Mbah Jiwo.

Aku mengeluarkan Keris Ragasukma dan menunjukkanya pada Mbah Jiwo. Ia menunjukkan jarinya pada sebuah ukiran yang berujung pada tiga cekungan berwarna emas.

“Mungkin ketiga permata ini adalah bagian dari keris ini,” ucap Mbah Jiwo.
Iapun memintaku untuk memasang ketiga permata itu di Keris Ragasukma. Akupun menurutinya dan memasang ketiga batu berwarna merah, biru, dan hijau itu.

Seketika Keris Ragasukma bersinar sesaat. Aku merasakan ada kekuatan yang menyatu dengan Keris Ragasukma.
“Sepertinya ada kekuatan besar yang merasuk. Tapi aku yakin bukan itu saja guna permata itu,” ucapku.
“Lebih baik cari tahu tentang pusakamu nanti. Api itu mulai padam dan ketiga setan itu sudah kelaparan mau mengunyah kita,” ucap Nyai Jambrong mengingatkan kami.
Benar saja.. Mpu Jandrik, Ki Among Mayit, dan Kanjeng Nyai Rasmono terlihat berbeda. Matanya hanya tertuju pada kami tanpa berkedip sedikitpun.
“Sembah aku..”
Seketika terdengar suara dari dalam tanah. Makhluk berwujud manusia besar memanjat dari dalam tanah yang terbakar.
Tubuhnya menghitam bekas nyala api dengan pakaian mirip raja-raja jaman dulu.
Kekuatan mengerikan datang bersamanya. Ada makhluk makhluk dari dalam tanah mencoba keluar mengikutinya.
“Panggon demit.. alam ini akan dikuasai oleh mereka,” ucap Kang Jawir.
Mendengar itu aku menoleh ke arah Cahyo. Sepertinya ia memang menunggu aba-abaku.
“Jul! Jangan menahan diri!” Teriakku.
Aku dan Paklek menaiki tubuh Wanasura bersama Cahyo. Dengan sekuat tenaga, Wanasura melempar tubuhku dengan sekuat tenaga ke arah Mpu Jandrik.
Api Geni Baraloka menyelimuti tubuhku dan kilatan cahaya menyelimuti Keris Ragasukma.
Trangg!!
Kerisku beradu dengan keras dengan keris Mpu Jandrik. Walau bisa menahanya, ia terpental dengan tenaga wanasura yang melontarkanku.
“Hanya segitu?” ucap Mpu Jandrik sembari menyeringai. Seranganku sama sekali tidak melukainya.
Tapi aku juga tersenyum.
Aarrrrggh!!!!
Suara teriakan terdengar bersama jatuhnya sosok pria bertubuh bungkuk dari batu itu. Senyum Mpu Jandrik seketika menghilang begitu saja.
“Tidak mungkin! Tidak mungkin kau bisa menyentuhku!” Teriak Ki Among Mayit.
Aku menunjukkan tubuhku yang masih terbakar geni baraloka. Ilmu api paklek yang bisa membakar Ki Among Mayit tadi.
Kerisku menancap begitu saja di tubuh Ki Among Mayit dengan api geni baraloka yang menyelimutinya. Menyadari hal itu Paklek yang juga sudah tiba juga membakar Keris Sukmageninya dan menebas Ki Among Mayit dengan bilah hitamnya.
“Sakitt!!! Sakitt!!” Teriak Ki Among Mayit.
“sakit itu tidak cukup untuk menggantikan penderitaan warga desa,” ucap Cahyo.
Melihat hal itu, Nyai Rasmono mendekat dan bersiap melilitkan selendangnya pada kami. Namun Nyi Sendang Rangu sudah bersiap menghadangnya dengan raut wajah yang menjiikkan.
Wajahnya meleleh seperti lilin hitam.
“Minggir kau makhluk menjikikkan!” Teriak Nyai Rasmono.
“Jangan mengelak! Ini adalah wujud dosa-dosamu!” Balas Nyi Sendang Rangu.
Iapun menangkap selendang hitam Nyai Rasmono, menariknya dan menjatuhkanya ke tanah.
Di Bawah, Kang Jawir dan Nyai Jambrong sudah bersiap dengan jurus yang menghantam Nyai Rasmono.
“Bodoh! Ilmu kalian tidak akan berguna!” Teriak Nyai Rasmono yang sepertinya memang tidak merasakan dampak dari jurus itu.
Tapi ia tidak sadar, tanganya sudah terikat oleh tasbih yang selama ini selalu terikat di tangan Nyai Jambrong. Ia mencoba melepasnya tapi selalu gagal.
Selama tasbih itu terikat serangan Kang Jawir dan Nyai Jambrong berhasil melumpuhkan Nyai Rasmono.
Kekuatan hitamnya menghilang perlahan dampak dari tasbih yang mengikatnya.
Paklek membaca sebuah mantra, sementara Nyi Sendang Rangu menyentuh wajah Nyai Rasmono.
“AAArrrgg Sakittt!!!” Teriakan itu keluar bersamaan dari mulut Ki Among Mayit dan Nyai Rasmiono.
Api hitam membakar Ki Among Mayit hingga tubuhnya habis terbakar, sementara kutukan nyi sendang rangu menyiksa pikiran Nyai Rasmono hingga ia tak lagi bisa merasakan apapun.
Melihat hal itu Mpu Jandrik kesal, ia mundur ke arah Prabu Sudrokolo yang sudah berdiri di hadapan kami semua.
“Makhluh rendah! Berani-beraninya kalian melawan!” ucap sosok bernama Prabu Sudrokolo itu.
Mendengar itu Cahyo maju bersama wanasura.
“Sejak diciptakan, Manusia adalah makhluk paling mulia. Tidak pantas direndahkan oleh kalian!” Teriak Cahyo.
Prabu Sudrokolo melihat sekitarnya dan tidak mendapati pengikut-pengikutnya berada di tempat ini.
“Mana yang lain? Mana Gandara Baruwa?” Tanya Prabu Sudrokolo.
“Mati! Semua pengikutmu sudah menjadi bahan bakar untuk kebangkitanmu! Dan Gandara Baruwa sudah mati oleh mereka” Ucap Mpu Jandrik.
Wajah Prabu Sudokolo terlihat geram. Sepertinya ia tidak menyangka kebangkitanya akan disambut dengan hal seperti ini.
Sepertinya kematian Gandara baruwa membuatnya cukup kaget.
“Kalau begitu biar mereka, makhluk dari alamku yang mengisi tanah ini” Ucap Prabu Sudrokolo bersama kemunculan manusia-manusia hitam bermata merah yang merayap dari tempat kemunculanya.
“I—itu? Itu apa?” tanya Cahyo.
“Setan! Setan yang tidak memiliki hak di bumi dan terus menolak kematian. Panggon demit adalah ritual untuk menjadikan tanah ini tempat untuk mereka,” Jelas Kang Jawir.
Kami semua terpaksa menghadapi makhluk itu dan mengembalikanya ke dalam lubang,
namun semakin banyak dari mereka yang datang ke alam ini.
Aku yakin mereka tidak akan berhenti sampai kami mengalahkan Prabu Sudrokolo. Akupun memberi isyarat pada Paklek dan Cahyo untuk menyerang iblis itu.
“Kembali ke alammu setan brengsek!” Teriak Cahyo yang membacakan ajian penguat raga ke tubuh wanasura dan menghajar Prabu Sudrokolo.
Tapi itu sia-sia..
Sama seperti melawan gandara baruwa, serangan kami sama sekali tidak membuatnya bergerak sedikitpun.
Sebaliknya, Mpu Jandrik kembali menyerang kami dengan kekuatan yang berlipat.
Aku dan paklek kewalahan menahan serangan dari kerisnya yang terbakar dengan api yang begitu panas.
Cahyo terpental begitu jauh hanya dengan sedikit gerakan Prabu Sudrokolo.
Aku dan Paklekpun mulai terpojok. Sementara yang lain tidak mampu membendung setan-setan yang keluar dari dalam tanah itu.
“Paklek ini gimana?!” Tanyaku bingung.
“Kalau paklek tahu kita tidak akan terdesak begini,” balas paklek.
Tak lama kemudian aku dan paklek terhempas dengan pukulan dari dua tangan lain dari Mpu Jandrik. Pukulanya begitu kuat hingga darah segar bermuncratan dari mulut kami.
Sialnya, Mpu Jandrik tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan melompat untuk menghunuskan kerisnya ke wajahku.
Dengan sekuat tenaga, aku menangkis seranganya dan menahan keris itu mencapai wajahku.

“Paklek to—long!”ucapku.

Paklek berusaha untuk berdiri, tapi sepertikanya luka yang ia derita juga cukup parah. Ujung keris merah padam itu menyentuh pipiku dan mulai membakar.
Tapi saat tenagaku mulai habis aku mendengar sebuah suara yang memberiku sedikit harapan.

Cring!!!

Itu suara gelang gengge! Tapi tidak mungkin. Kami terlalu jauh dari mereka.

Graaaorrrr!!!
Sebelum keris Mpu Jandrik menembus wajahku.
Makhluk hitam besar menerjangnya dan mengusir Mpu Jandrik dari atasku.

“Itu! Meong hideung?” Ucapku tak percaya.
Aku menoleh ke arah makhluk itu datang dan Terlihat gama yang tengah berlari menghampirku.
“Maaf Danan, kami terlambat,” ucapnya sembari menjulurkan tangan membantuku berdiri.
“Ta—tapi?” aku meraih tanganya sembari bingung dengan bagaimana ia bisa sampai ke tempat ini.
Tak lama setelah kedatangan Gama, Jagad muncul dari dalam kabut dengan terengah-engah.
Sepertinya tenaganya benar-benar habis.
“Mas Jagad yang menjemput kami,” jelas Gama.

Aku melihat dari jauh saat tubuh Cahyo ditarik oleh seseoang berambut panjang menyelamatkanya dari pukulan Prabu Sudrokolo.

“Budi juga disini?” Tanyaku.
Gama mengangguk dan memastikan kondisi tubuhku.

“Kupikir titisan wewe gombel adalah masalah terbesar yang pernah ada, sekarang aku tersadar bahwa dunia ini begitu luas. Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan nalar,” ucap Gama.
“Haha.. kalau begitu sekarang kuperkenalkan, Prabu Sudrokolo. Makhluk yang kembali dari neraka,” balasku.

Api besar membara dari tubuh Mpu Jandrik membuat meong hideung kembali menjauh. Tapi satu yang aku tahu, Mpu Jandrik Gentar dengan keberadaan hewan besar itu.
Sayangnya Mpu Jandrik tahu bahwa Gama adalah empu dari meong hideung. Diam-diam ia mencari celah memutari pepohonan dan menyerang Gama.

Belum sempat aku menahan serangan itu, tiba-tiba seseorang menghajar Mpu Jandrik dengan keras.
“Jangan sentuh Gama!” Ucap Budi yang dengan sigap melindungi Gama.

Tak Jauh dari dirinya terlihat Cahyo yang terjatuh setelah diselamatkan oleh Budi.

“Mamang Gondrong! Kalau nolongin yang niat! Jangan dilempar begitu saja!” teriak Cahyo
“Berisik!” Balas Budi dengan singkat.
Melihat kedatangan mereka sepertinya aku mendapatkan harapan untuk menyelesaikan pertarungan ini.

“Budi, bisa bantu mereka tolong urus makhluk bertangan empat itu?” ucap Gama.

Budi mengangguk. Sementara itu paklek telah selesai memulihkan dirinya dan memberi isyarat pada Cahyo.
“Kalau begitu biar aku yang menemani Mamang gondrong!” balas Cahyo.

Setelahnya aku dan Gama berlari menuju Prabu Sudrokolo yang sudah berniat menghabisi Nyai Jambrong dan yang lain.
Tidak kusangka, walaupun tidak bisa melukai Prabu Sudrokolo, Nyai Jambrong masih bisa mengalihkan semua serang iblis itu walau dengan susah payah.

“Wanasura!! Kerahkan semua kekuatanmu!” Teriak Cahyo yang memberi isyarat pada wanasura untuk kembali ke tubuhnya.
Bersama dengan itu tiba-tiba kliwon muncul dari pepohonan dan melompat menyentuh tangan kanan Budi. Aku tahu, saat itu Kliwon tengah meminjamkan kekuatanya pada Budi.

“Jangan menahan diri, Geni Baraloka akan memulihkan setiap luka kalian!” Ucap Paklek.
Dua pukulan keras menghantam Mpu Jandrik yang membuatnya terpental. Ia membakar dirinya dan menyerang Budi dan Cahyo, tapi mereka tidak gentar. Tidak ada satupun luka yang bertahan lama dengan geni baraloka yang menyelimuti mereka.
Dengan kelincahan mereka, semua serangan keris Mpu Jandrik dapat mereka hindari. Cahyopun menghimpun tenaga pada kakinya dan mendendan Mpu Jandrik hingga terpental.

Tapi belum sempat tendangan itu mementalkanya, Budi menangkap tangan Mpu Jandrik dan menariknya hingga terputus.
“Aaaarrrrghh!!! Manusia brengsek!!!” Mpu Jandrik kesakitan.
Budipun tidak mau melewatkan kesempatan itu. Ia melempar kembali tangan itu kepada Mpu Jandrik dan mengincar bagian tubuh lain.
“Heh!! Jangan sadis-sadis!” Teriak Cahyo yang melihat Budi tengah gagal memisahkan kepala Mpu Jandrik, dan hanya mendapatkan segenggam rambutnya.
“Berisik! Kalau tidak suka pergi saja bertarung sama monyet!” Balas Budi yang kembali menghindari keris Mpu Jandrik dan menusukkan kukunya di bahu bekas lengan yang terputus itu.
“Aarrrrgh!!” Mpu Jandrik benar-benar kesakitan.
Cahyopun menggunakan kesempatan itu untuk sekali lagi menghantamkan pukulanya di wajah makhluk itu dan membuatnya tersungkur di tanah.
“Nggak mau, monyet alas wetan serem-serem,” balas Cahyo pada umpatan Budi.
Budi mendengar itu sembari melihat ke arah Kliwon.
“Benar juga,” Balasnya singkat.
Melihat Mpu Jandrik Mulai terdesak, Paklek ikut bergabung dalam pertarungan dengan menahan kersi Mpu Jandrik.
Budi kembali memutuskan satu tangan milik Mpu Jandrik tanpa ampun. Sementara Cahyo menangkap kepala Mpu Jandrik dari belakang.
Api hitam membara bersama mantra yang dibacakan paklek dari luka yang ia sayatkan di tubuh Mpu Jandrik.
“Tolong! Prabu!! Tolong!!” Teriak Mpu Jandrik.
Teriakan itu semakin keras saat keempat tanganya sudah terlepas dari tubuhnya. Paklek mundur tak terbiasa dengan pemandangan itu.
Tapi teriakan Mpu Jandrik berhenti tepat saat tangan Cahyo meremas kepala Mpu Jandrik dan memecahkan isi kepalanya.
Krakkk!!!
Bola mata makhluk itu keluar dari tempatnya bersama darah yang mengalir dari setiap lubang di wajahnya.
Budi yang melihat itu menatap pada Cahyo, “Kau bilang aku sadis?”

Raungan meong hideung terdengar ke seluruh hutan berusaha menghindar dari cakaran Prabu Sudrokolo yang tidak kalah menyeramkan dari cakarnya.
Nyi Sendang Rangu mencoba memberikan kutukan pada Prabu Sudrokolo namun semua itu tak berarti.
“Kutukan mana yang lebih menyakitkan dari neraka?” Tantang Prabu Sudrokolo.
Kedua makhluk seperti meong hideung dan Nyi sendang rangu tak mampu melukai Prabu Sudrokolo.
Lantas apa yang harus kami lakukan untuk mengalahkanya?
“Tenang Danan, pasti ada cara untuk mengalahkanya,” ucap Gama.
Aku mencoba menenangkan diri mencoba mengamati situasi.
“Permata itu Danan!” Teriak Mbah Jiwo yang sedang sibuk bersama Kang Jawir dan Nyai Jambrong mengusir setan-setan hitam kembali ke dalam lubang.
Benar juga, aku belum menggunakan kekuatan dari permata yang diberikan oleh Buto Kendil.
Mungkin aku harus mencoba membaca mantra yang diturunkan oleh leluhurku sekali lagi.

Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
Nyi Sendang Rangu terlihat aneh saat aku mengucapkan mantra itu sekali lagi. Ia menghampiriku mencari tahu apa yang terjadi.
Namun sebuah permata berwarna biru menyala. Aku merasakan sebuah kekuatan besar mengalir kedalam tubuhku.
“Danan! Hentikan! Ini tidak benar!” peringat Nyi Sendang Rangu.
Kuku di tanganku semakin tajam dengan taring yang mulai memanjang. Berbeda dengan saat bersatu dengan eyang widarpa dulu, kini pikiranku pudar seolah sesuatu mencoba mengendalikanku.
“Hahahha!! Akhirnya kau mencoba menjadi salah satu dari kami!” Teriak Prabu Sudrokolo.
Nyai Jambrong ikut mendekat, ia merasakan kekuatan yang meluap dari tubuhku.
“Ini kekuatan Jagad segoro demit!” Ucap Nyai Jambrong.
Apa? Jagad segoro demit? Bagaimana mungkin Keris Ragasukma menyimpan kekuatan seperti ini.
Nyi Sendang Rangu menurunkan hujanya semakin deras. Aku pernah mendengar ia pernah meredakan eyang widarpa yang mengamuk dengan hujanya. Tapi kali ini sepertinya tidak berdampak banyak.
Aku ingin mengamuk sejadi-jadinya entah kepada siapa aku akan mencengramkan cakar ini. tapi sebelum itu terjadi tiba-tiba terdengar suara yang membuatku sadar sepenuhnya.

Cring!!! Cringg!!
Itu suara gelang Gengge Gama. Ia membunyikan gelang itu sembari bersimpuh membacakan doa. Entah mengapa aku seolah melihat seseorang yang berada di sekitarku. Seseorang yang berjalan dengan sorban putih menuju ke Prabu Sudrokolo. Setelahnya semua pandanganku menjadi putih.
“Sekarang Danan!” Ucap Gama.
Saat ini hanya keberadaan sosok berjubah putih itu dan suara Gama yang menjadi acuanku untuk melangkah. Seketika hanya Prabu Sudrokolo saja yang terlihat di hadapanku.
Akupun melompat setinggi-tingginya dan menghunuskan kerisku ke tubuh Prabu Sudrokolo. Berbeda dengan sebelumnya, kini kerisku mampu menembus tubuhnya dengan mudah.
“Tidak!! Tidak mungkin! Harusnya kesadaranmu sudah termakan oleh kekuatan itu!” Prabu Sudrokolo tidak percaya.
Ada suara meong hideung di dekatku, namun aku tidak melihatnya. Sepertinya ia juga menyerang Prabu Sudrokolo bersama Nyi Sendang Rangu. Mungkin penglihatanku saat ini adalah cara yang gama lakukan agar aku tidak termakan oleh kekuatan ini.
Aku harus menyelesaikan ini dengan cepat..
Dengan bentuk tubuh yang kumiliki sekarang, aku bisa dengan lincah menaiki tubuh Prabu Sudrokolo. Aku menancapkan Keris Rogosukmo ke tubuhnya berkali kali dan terkadang melampiaskan amarahku dengan menggigit telinganya hingga terputus.
Prabu Surdrokolo tidak diam saja, ia menangkap tubuhku dan membantingku sekuat tenaga hingga beberapa tulangku retak. Namun aku tidak merasakan sakit sedikitpun. Setelahnya aku kembali berdiri sekali lagi dan berusaha memisahkan kepala Prabu Sudrokolo dengan kerisku.
Persis seperti cara kami mengalahkan Gandara Baruwa.
Tapi rupanya itu tidak mudah. Walau begitu, entah mengapa aku memikirkan cara yang lebih dari itu.
Aku membacakan sebuah mantra pada Keris Ragasukma. Sebuah mantra yang membuat keris ini memancarakan kilatan putih.
Tidak seperti biasanya, kali ini Keris Ragasukma seolah memanjang dengan cahaya yang menyelimutinya.
“Danan! Wanasura dan Kliwon akan menahan kedua tanganya,” samar-samar aku mendengar suara Cahyo.
“Aku akan mencoba mengalihkan pikiranya,” kali ini suara nyi sendang rangu kembali terdengar.
Mendengar hal itu, akupun melesat mengincar jantung Prabu Sudrokolo. Tapi sebelum aku mendaratkan seranganku ke sana, terlihat sosok meong hideung tak jauh di bawah kakiku.
Ia seolah ingin menunjukkan titik lain yang harus aku serang.
Aku mendarat di punggung meong hideung dan ia melemparkanku tepat ke arah Prabu Sudrokolo. Kini aku berada tepat di depan matanya.
“Aku tidak akan mati, setelah kalian tak mampu bergerak akan kulumat kalian semua,” ucap Prabu Sudrokolo.
“Anjing yang sudah terpojok hanya bisa menggonggong!” balasku yang segera menancapkan keris raga sukma ke dahinya.
Sembari menjatuhkan diri ke tanah, aku menarik Keris Ragasukma untuk terus memonong tubuhnya hingga terbelah menjadi dua.
Bruggggh!!!
Suara keras terdengar dari jatuhnya tubuh Prabu Sudrokolo. Aku tidak lagi melihat sosoknya.
Hanya warna putih di sekitarku dan suara ramai dari segala sisi.
Perasaan berkecamuk memenuhi pikiranku. Entah aku merasa bisa mengamuk kapan saja.
“Ini Ajian segoro demit..”
“Bagaimana menghentikanya?”
“Kalau sampai Danan mengamuk nyawa kita dalam bahaya”
“Paklek, Tolong Danan!”
Terdengar suara semua orang yang khawatir dengan sosokku saat ini. Aku merasa beruntung tidak bisa melihat mereka. Jika itu terjadi mungkin aku akan melukai mereka.
Tapi setelah cukup lama, perlahan suara itu semakin menghilang bersama bau wewangian yang kukenal.
Itu adalah wewangian yang kusimpan, kini aromanya begitu kuat bersama dengan alunan doa yang kutebak berasal dari Gama.
“Danan?”
Cahyo berada di hadapanku dengan wajah yang cemas.
Aku mencoba berdiri, tapi rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku.
“Tenang dulu, biar paklek yang obati dulu,” ucap paklek.

Aku tersadar dengan sosok Prabu Sudrokolo yang tubuhnya terbelah menjadi dua. Tapi sayangnya aku masih merasakan bahaya dari tubuh itu.

“Cahyo hati-hati!” Peringatku.
Cahyo dan Budi berdiri tepat di hadapan Prabu Sudrokolo bersiap dengan apapun yang terjadi. Dan benar saja, asap hitam kembali muncul dari belahan tubuh Prabu Sudrokolo.
“Sudah kubilang, aku tidak bisa mati lagi!” ucap Prabu Sudrokolo yang mulai memulihkan dirinya lagi.
Cahyo menelan ludah, akupun tidak tahu harus berbuat apa setelah ini.
Tapi.. setelah beberapa lama, tubuh Prabu Sudrokolo tidak lagi menyatu. Kami sempat heran dengan hal itu. namun hal itu terjawab dengan sosok yang terlihat melayang diatas kami semua.
Sosok perempuan dengan rambut berantakan dan wajah kurus mengerikan.
“Nyai Kunti?” aku menebak sosok itu.
Aku menoleh ke arah Mas Jagad dan memang tidak melihat dia di tempatnya lagi.
Saat aku mencari ke sisi lain, terlihat tak jauh dai posisi Gama ia sedang bersama dengan Mas Linggar dan Mas Linus. Kali ini wajah Mas Jagad terlihat pucat. Sepertinya ia terlalu memaksakan diri.
“Kembalikan mereka ke dalam lubang! Aku akan mengunci mereka semua!” Ucap Mas Linus yang kesadaranya dikuasai oleh pusaka pisau batu.
Tanpa sempat bertegur sapa, Cahyo segera melibas setan-setan hitam itu kembali ke lubangnya.
“Tidak! Tidak mungkin aku kalah dari setan rendah sepertimu!” Umpat Prabu Sudrokolo sembari menatap nyai kunti dengan kesal.
Nyai Kunti tidak membalasnya ia malah melayang meninggalkan Prabu Sudrokolo yang terkena kutukanya dan mendekat ke arah gama.
“Jadi ini keturunan ulama pengembara itu?” ucap Nyai Kunti.

Gama menelan ludah melihat sosok nyai kunti di hadapanya. Budi yang khawatir ingin segera menyusul, tapi Cahyo menahanya.

“Katakan padanya, Terima kasih…” Ucap Nyai Kunti yang perlahan menghilang begitu saja.
Meong hideung menerjang tubuh Prabu Sudrokolo hingga kembali ke dalam lubang. Api besar kembali membara saat tubuh itu jatuh kedalamnya.

“Tidak!! Aku tidak mau kembali ke tempat itu!!” Teriaknya.
Namun Linus segera berlari menuju batu altar dan menancapkan pusaka pisau batu itu di sana.
“Tidak! Jangaaan!!!”
Perlahan tanah disekitarnya mulai bergerak menutup lubang itu. bebatuan ikut berjatuhan seolah menjadi batas perbedaan antara kedua alam ini.
“Apa sudah selesai?” tanya Cahyo.
Hujan Nyi Sendang Rangu mulai berhenti. Kliwon kembali ke wujud keranya dan wanasura kembali ke tubuh Cahyo. Hal itu seolah memberi jawaban atas pertanyaan Cahyo.

“Paklek, apa kejadian tadi menandakan Nyai Kunti sudah tenang?” Tanya Mas Linggar.
Paklek menghela nafas, sepertinya Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

“Maaf, saya tidak tahu. Tapi satu yang pasti, ia sudah tidak terikat dengan keluarga Sasena. Doakan saja dia ya,” balas paklek.
Jangan sampai ledekanmu ngebuat kamu lupa sama nama aslinya,” tergurku.
Cahyopun berbalik sembari merangkulku.
“Haha.. nggak mungkin lah aku lupa sama namanya. Seorang pendekar gila yang terlahir di hutan pasundan.
Jalu Kertarajasa…

- Tamat -
EPILOG
Udara pagi di desa kandimaya tidak pernah gagal membuatku tenang menikmatinya. Terlebih, sebelum aku terbangun sudah ada Naya yang datang lebih dulu dan memasakkan sarapan pagi untukku.

“Bangun Mas Danan, mandi terus sarapan,” Ucap Naya sembari mengetuk pintu kamarku.
Dengan wajah yang masih berantakan akupun masuk ke dapur dan mengambil piring.
“Heh! Muka masih penuh iler begitu mau langsung makan,” tegur ibu.
“Bu, anak ibu ini tetep ganteng walau belum mandi.
Udah ikhlasin aja anakmu ini menikmati masakan Naya untuk menyempurnakan harinya,” ucapku mencari alasan.

“Sudah pinter ngomong ya sekarang,” ucap ibu sembari menggeleng.

Naya tertawa geli melihat kelakuanku. Ia mengambilkan segelas teh panas dan menghantarkanya kepadaku.
Sungguh aku ingin terus melihat tawa itu di setiap pagiku.
Saat tubuhku mulai pulih, akupun pergi ke atas bukit batu untuk mengunjungi makam bapak bersama naya. Sepertinya walaupun bapak sudah tiada, ia masih menginggalkan beberapa hal yang ternyata bisa menyelamatkan nyawaku.
Seperti kemunculan Buto Kendil misalnya.
Entah sedang dimana sosok itu saat ini. yang aku tahu ia tidak akan jauh dari bukit batu tempatnya berasal. Dan aku membayangkan, saat ini ia pasti masih asik memainkan kendi yang tak pernah lepas dari dirinya.
Langitpun mulai memerah, aku menikmatinya hanya berdua bersama Naya sembari memandang Desa Kandimaya dari ketinggian.
“Ibu hebat ya..” ucap Naya tiba-tiba.
“Hebat gimana?” Balasku.
“Hebat, bisa sekuat itu menahan rasa khawatir.
Padahal anaknya sedang bertaruh nyawa, dulu juga almarhum bapak pasti juga sama,” ucap Naya polos.
“Iya, Ibu memang hebat. Tapi aku tahu saat aku berhadapan dengan demit, ia tengah berjuang berhadapan dengan kekhawatiranya dan tak pernah henti mengucap namaku dalam doanya.
Siapa yang tahu, jangan-jangan hal yang selama ini menyelamatkan Mas berasal dari doa ibu yang dikabulkan,” jelasku.
“Iya mas, Naya juga akan berusaha setegar ibu,” balasnya sembari meletakkan kepalanya di bahuku.
Kata-katanya sangat singkat, tapi begitu mengiris hati. Semoga saja akan ada waktunya aku sudah memiliki pendapatan yang cukup dan bisa hidup dengan layak bersama Naya dan ibu.

Kebahagiaan mereka adalah salah satu tujuan hidupku saat ini.
Itu janji yang kuucapkan dalam hati di sebelah naya di atas bukit batu ini.

Malam ini begitu hening, rasa nyaman menyelimutiku untuk bisa tidur dengan tenang. Aku yakin ini adalah mimpi, namun entah mengapa aku merasa ini begitu nyata.
Aku tengah berada di atas sebuah bukit yang ku kenal. Sebuah bukit tempat aku sempat bertemu dengan Gama.
Aku melihat sekitar dan menemukan Gama berada tak jauh dari tempatku berada. Kami saling bertatapan seolah mempertanyakan kejadian ini.
Tapi… kebingungan kami mendadak menghilang saat menoleh ke arah yang sama.

Ada seseorang di sana…

Seseorang yang kucari dan sudah membantuku berkali-kali.
Seorang pria tua yang menggunakan gamis putih dan sorban di kepalanya.
Gama tersenyum melihatnya, hal itu seolah memastikan bahwa yang kami lihat benar adanya. Sosok itu menoleh kearah kami dan tersenyum.
Singkat memang, tapi kejadian itu seolah sangat berarti untuk kami.
Iapun melangkah pergi meninggalkan kami. Entah untuk kembali ketempatnya, atau malah melanjutkan perjalananya.

Tiba-tiba mataku terbuka. Akupun terbangun dengan perasaan yang begitu tenang. Kini pencarianku sudah selesai. Aku telah melihat wajahnya.
Dialah roh seorang ulama yang semasa hidupnya telah berkeliling tanah ini untuk memberi pertolongan.

Ki Langsamana…

*Selesai*
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Untuk teman-teman yang mau sekedar mendukung atau baca2 cerita lain bisa mampir ke @karyakarsa_id ya

karyakarsa.com/diosetta69/ind…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Apr 18
SABDA PENGIWA - Keranda Tulah
Part 1

Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berikat berpakaian hitam.

Di dalamnya, terbaring Jasad Keramat yang diarak dan mendatangkan kematian bagi warga desa

@IDN_Horor @bagihorror #bacahorrorImage
"Nak, jangan pernah kamu mengaku sebagai anak Bapak. Hapuskan nama Bapak dari namamu..."

Malam itu, suara tangis seorang remaja pecah di tengah keheningan sebuah gubuk tua yang tersembunyi di pematang sawah.

Di luar, angin menderu kencang membawa bau anyir lumpur dan kematian. Langit seperti ikut menangis, menggantung mendung tanpa hujan. Gubuk reyot itu menjadi satu-satunya tempat yang belum dijangkau oleh teror dari kegelapan.

"Nggak, Pak! Keluarga kita keluarga terhormat! Keluarga kita sudah menolong banyak orang! Tegar bangga dengan keluarga kita!"

BRAKK!!

Suara tubuh terhempas keras ke lantai
bambu mengguncang hati Tegar. Ia menoleh dan
melihat ayahnya tergolek di lantai, tubuhnya
kejang-kejang.

Dari telinga dan sudut matanya
mengalir darah hitam pekat yang tak wajar—seperti ada sesuatu yang sedang menggerogoti dari dalam.

Tegar berlari dan memeluk tubuh ayahnya. Tubuh itu panas, namun terasa sekarat. Tangannya gemetar, mencoba menahan kehancuran yang ia tahu tak bisa dihentikan.

"Jangan jadi mantri seperti Bapak, Le. Hiduplah dengan cara yang jauh berbeda. Pilihlah jalan yang tak bisa mereka temukan... Jangan... biarkan mereka menemukanmu..."

"Bapak! Jangan ngomong kayak gitu! Bapak pasti bisa sembuh! Bapak pasti bisa lawan penyakit ini!"

Sang ayah tersenyum tipis—senyum
seorang lelaki yang tahu ajalnya tinggal hitungan detik. Ia mengangkat tangannya dengan sisa tenaga, menyentuh wajah anaknya.

"Ini... sudah batasnya. Pergilah... Mereka akan sampai ke sini sebentar lagi..."

Tegar menggeleng, menggenggam tangan ayahnya erat-erat. "Tegar nggak akan ninggalin Bapak!"

"Keras kepala tidak akan membawa kebaikan, Le... Beberapa detik lagi... yang ada di hadapanmu cuma mayat... Jangan dendam... Bapak cuma ingin lihat kamu hidup..."

Tangis Tegar pecah. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi dada ayahnya. Namun saat itulah, suara-suara itu terdengar dari kejauhan.
Suara obor.

Langkah-langkah berat.
Nyanyian lirih yang seperti mantra kematian.

Tegar menoleh. Dari celah bilik bambu, terlihat cahaya obor menyala—bergerak perlahan seperti ular api yang meliuk di tengah sawah. Di tengah arak-arakan itu, sesuatu yang membuat jantung Tegar serasa diremas oleh tangan tak kasatmata.
Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berpakaian hitam. Di dalamnya, seonggok mayat keramat yang sudah membusuk dibungkus kain kafan dengan simbol- simbol aneh. Keranda itu bukan sekadar pengantar jenazah. Itu adalah momok yang menjadi penyebab kutukan di desa.

Tegar tahu. Mereka—orang-orang itu—telah membunuh seluruh keluarganya. Tidak dengan pisau atau senapan. Tapi dengan ritual. Dengan kematian yang dijadikan alat. Dan kini, mereka datang untuk menyelesaikan yang tersisa.

Hanya ia yang berhasil diselamatkan—dan untuk itu, ayahnya harus menukar nyawa.

"Tolong, Tegar... pergi..." bisik ayahnya, kali ini lebih lemah dari sebelumnya.

Kaki Tegar lemas. Hatinya ingin tetap tinggal, ingin menjaga sang ayah sampai akhir. Tapi naluri—dan rasa takut yang menyesakkan— memaksanya untuk memilih.

Ia menahan tangis, mencoba memaksakan senyum meski dadanya seperti disayat. "Bapak... Tegar akan jadi orang baik. Tegar akan hidup bahagia sampai tua. Tegar janji..."

Sang ayah ingin menjawab, namun suaranya tinggal bisikan. Tapi senyuman itu masih ada. Senyuman yang cukup untuk jadi kekuatan terakhir Tegar.

"Tegar pamit ya, Pak... Kalau semua sudah tenang, Tegar janji akan kembali. Akan kubur Bapak dan keluarga kita dengan layak..."

Tangan ayahnya yang lemah memberi isyarat. Isyarat terakhir untuk pergi. Tegar memposisikan tubuh ayahnya senyaman mungkin di amben kayu, lalu berdiri. Kakinya berat, tapi ia mulai melangkah.
Tanpa menoleh. Tanpa ragu.

Di belakangnya, suara arak-arakan semakin dekat. Gubuk itu akan menjadi saksi bisu kematian terakhir dari keluarga yang pernah dihormati.

Dan Tegar—ia kini menjadi satu-satunya pewaris nama yang harus ia kubur dalam-dalam.

***
Read 17 tweets
Apr 11
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part Akhir II - Pusaka Para Dewa

Kita tuntaskan Part Akhir POV Danan dan Cahyo.
Bantu share sama komen ya temen-temen biar cerita-cerita horor bisa kembali ramai di kancah twitter.

#bacahorrorImage
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Perburuan Sukma
x.com/diosetta/statu…
Part 6 : Pusaka Merapi
x.com/diosetta/statu…
Part 7 : Temui Aku di Merapi
x.com/diosetta/statu…
PUSAKA PARA DEWA

(Sudut pandang Danan…)

Ada yang dirayakan. Pementasan ini lebih dari sekedar pementasan gaib semata.

Niat awalku menaiki merapi sekali lagi bukan untuk hal ini. Aku tak menyangka bahwa niat kami menolong Galang dan yang lain mencari sukma Tiwi akan berujung pada tragedi ‘Padu Kolo’, pertengkaran bangsa lelembut.

Dan saat ini, dihadapanku tengah menghadang sosok makhluk-makhluk utusan dari keraton demit. Lebih dari sekedar menangani mereka, aku harus mencari tahu mengapa mereka mengincar Galang dan Wulan.

Pertarungan sengit sempat terjadi di antara kami. Aku mempercayakan Galang dan yang lain pada Cahyo sementara aku menghadang mereka.

“Kau tidak perlu mempertaruhkan nyawamu demi mereka. Takdir mereka sudah ditetapkan menjadi tumbal merapi…” Sosok penari setinggi tiga meter itu masih mencoba untuk mempengaruhiku.

“Merapi tidak pernah meminta tumbal. Kalian makhluk terkutuklah yang menghasut dengan mengatasnamakan Merapi!” Sosok roh yang menutupi wajahnya dengan topeng badut pun muncul dari kejauhan.

Badut Pak Suradirja. Firasatku mengatakan bahwa alasannya tetap memakai topeng itu adalah sesuatu yang penting.

“Nyai Lendheng. Percayalah kalian bukan lawan pemuda ini..” Pak Suradirja mencoba menggertak mereka.

“SOMBONG! Keris karatanmu itu tak ada artinya dibanding pusaka keraton demit!”

Srattt!!!

Saat itu juga keris Ragasukmaku melayang melesat ke lehernya. Sosok bernama Nyai Lendheng itu menghindar, namun kerisku sempat melukainya.

“Aku tak suka banyak bicara!” Balasku kesal sekaligus menggenapi gertakan Pak Suradirja.

Kali ini Nyai Lendheng terlihat cemas. Luka di lehernya tak bisa menutup.

“Cih! Mengurus kalian hanya akan membuang waktuku. Sebentar lagi pementasan selesai! Bersiaplah, kali ini serangan dari keraton demit tak mengenal ampun!” Ucap Nyai Lendheng yang mundur bersama dayang-dayangnya.

Jelas itu adalah ancaman. Bukan ancaman kosong. Sebuah tragedi akan terjadi di gunung ini.

“Pak? Bagaimana roh bapak bisa sampai di sini?” Aku segera menghampiri sosok roh yang jasadnya telah mati di kota itu.
Read 17 tweets
Mar 28
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part Akhir - Temui Aku di Merapi

Galang mendapati kenyataan bahwa Wulan adalah saudara kembarnya yang diminta Merapi. Tanpa ia sadari, sebagian sukma Tiwi menyadarinya lebih dulu..

@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Perburuan Sukma
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Pusaka Merapi
x.com/diosetta/statu…
Wulan adalah saudara kembarku?

Semua perlahan terasa masuk akal. Mimpi-mimpi yang selama ini menghantuiku kini terajut menjadi satu kenyataan yang utuh. Tak heran jika aku selalu merasa terikat dengan Merapi. Ada sesuatu yang lebih besar di sini, sesuatu yang tertanam dalam diriku.

"Pantas saja kamu begitu terobsesi sama Merapi, Lang. Ternyata ada bagian dari dirimu yang memang berada di sini," ujar Farel dengan nada tak percaya. Wajahnya masih dipenuhi keterkejutan.

Tanganku tak bisa lepas dari genggaman Wulan. Adikku. Namun, ia kini bukan lagi manusia seutuhnya. Sukmanya saja yang tersisa, sementara tubuh ragawinya telah lama tiada

. Aku merasakan getir yang menusuk dada, tapi aku tahu ini bukan saatnya untuk larut dalam kesedihan.

"Akhirnya, tumbal yang hilang telah kembali..." Suara parau itu datang dari makhluk mengerikan di hadapan kami. Setan penari setinggi tiga meter itu menyeringai puas, matanya berkilat penuh kemenangan. Namun, Mas Danan tidak tinggal diam.

"Pergi! Kalian pergi dengan Cahyo! Cari sukma Tiwi dan tinggalkan gunung ini!" seru Mas Danan dengan tegas.

"Ngawur kowe, Nan!" Mas Cahyo membentak, jelas tak terima meninggalkan sahabatnya seorang diri menghadapi makhluk-makhluk mengerikan itu.

"Tenang, Jul. Aku nggak sendiri." Mas Danan memberikan isyarat. Tatapannya mengarah ke sudut gelap di belakang kami.

Dari kegelapan itu, muncul sosok yang membuat bulu kudukku meremang. Sosok badut dengan senyum mengerikan di wajahnya. Di tangannya tergenggam sebilah pisau yang berkilat tajam.

"Badut itu... Pak Suradirja?" suaraku bergetar saat menyebut nama yang tiba-tiba terlintas di pikiranku. "Rohnya sampai ke sini?"

Mas Danan mengangguk singkat. "Mungkin dia memang berasal dari tempat ini. Akan kuceritakan jika aku menemukan sesuatu. Sekarang pergi!"

Tanpa banyak pilihan, Mas Cahyo menarik lenganku, memaksa kami untuk segera berlari. Sekilas, aku melihat keris pusaka melayang-layang di udara, membentuk penghalang yang menjaga agar setan-setan itu tidak mengejar kami.

"Mas Cahyo! Apa yakin kita tinggalin Mas Danan?" Raka berteriak, rasa khawatir terlihat jelas di wajahnya.
Read 16 tweets
Mar 21
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 6 - Pusaka Merapi

Mereka terpisah sejak kecil, satu tinggal di alam manusia dan satu tinggal di sisi gaib hutan merapi..

#bacahorror @bacahorror Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Perburuan Sukma
x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Galang…)
Suara gending gamelan mulai mengalun, menyatu dengan hembusan angin sore yang membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan. Cahaya keemasan senja mulai meredup di balik pepohonan, memberikan kesan magis pada suasana di sekitar balai desa.

Aku, Raka, dan Farel masih duduk di beranda kayu, memandangi halaman yang mulai dipenuhi orang-orang. Seharian ini kami menghabiskan waktu bersama Wulan, tapi kini ia telah berpamitan untuk bersiap-siap.

Kami tahu, sebentar lagi pementasan akan dimulai—dan bersamaan dengan itu, kecemasan kami semakin menjadi.

Sebelum pergi, Wulan sempat berpesan dengan nada serius, “Sebelum pementasan selesai, kalian harus sudah pergi.”

Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban di balik matanya yang sejenak tampak bimbang. “Kenapa, Lan?” tanyaku, berharap ia akan menjelaskan.

Namun jawabannya justru membuat kami semakin terdiam.

“Kalian seharusnya tidak berada di sini.”
Kalimat itu menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan di antara kami. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi Wulan tidak memberi penjelasan lebih lanjut.

Ia hanya menyebutkan bahwa gelar “tamu” bagi seorang penari memiliki konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang ia hindari untuk jelaskan, tetapi cukup untuk membuat kami mengerti bahwa itu bukanlah sesuatu yang baik.

Tak ada lagi yang bisa kami katakan, selain menerima kenyataan bahwa waktu kami di tempat ini sangat terbatas.

Farel, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan suara mantap. “Begitu pementasan dimulai, kita harus cepat-cepat mencari sukma Tiwi dan pergi.”

Raka segera mengangguk setuju. “Benar! Jangan buang waktu.” Ia sudah bersiap, memastikan barang-barang kami dalam keadaan siap untuk dibawa sewaktu-waktu.

Tapi kemudian, Farel kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih tegas. “Satu lagi.” Ia menatapku tajam, seakan ingin memastikan aku benar-benar mendengarkan. “Kalaupun kita belum menemukan Sukma Tiwi saat pementasan selesai, kita tetap harus pergi.”

Deg!

Jantungku seperti dipukul begitu saja. Pernyataan itu terasa begitu berat, tetapi aku tahu bahwa Farel tidak salah.

“I—iya…” suaraku lirih, hampir tidak terdengar.

Raka menepuk bahuku dengan lembut. “Lang… kuatkan hatimu,” katanya dengan nada penuh keyakinan. “Nggak boleh ada korban lagi. Kalau kita tidak menemukan Tiwi di sini, berarti dia memang tidak ada.”

Aku menarik napas dalam, lalu mengangguk. Aku menatap mata kedua sahabatku dengan tekad yang bulat. Aku tidak boleh bimbang. Raka dan Farel sama pentingnya bagiku, dan aku tidak akan mengorbankan mereka hanya karena keraguanku.

Melihat keteguhanku, Farel mengangkat sudut bibirnya tipis, lalu menepuk bahuku sebelum merangkulku. “Bagus…” katanya singkat.

Tanpa perlu berkata lebih banyak, kami bertiga pun melangkah menuju balai desa tempat dimana panggung kayu yang sederhana sudah berdiri dan para pemain gamelan sudah memainkan alatnya.


“Monggo, Mas. Kue-kue sama jajanannya ada di sebelah sana. Teh dan kopi juga ada, jangan sungkan-sungkan,” suara lembut seorang ibu menyambut kedatangan kami.

Aku, Farel, dan Raka berdiri di pelataran sebuah rumah yang cukup besar. Di tengahnya, sebuah tumpeng megah diletakkan di atas meja kayu panjang, dikelilingi oleh aneka jajanan pasar dan makanan-makanan yang terlihat begitu menggoda.
Read 15 tweets
Mar 14
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 5 - Perburuan Sukma

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya Part 1 : Sukma yang Tertinggal x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Cahyo…)
Kabut tebal menyelimuti jalur sempit yang kami lalui. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada ribuan mata tak terlihat yang terus mengintai dari balik pepohonan kering di sekitar.

Suasana begitu mencekam, bahkan napas kami terdengar lebih keras dari suara angin yang berhembus pelan.

Aku terus melangkah, tapi bayangan kebimbangan menyelimuti pikiranku.

“Danan... apa yang kita lakukan ini sudah benar?” ucapku dengan suara gemetar.

Danan berjalan di sampingku, menoleh sebentar sebelum kembali menatap lurus ke depan. Sorot matanya menandakan ia pun tak yakin.

“Entahlah, Jul... Tapi ini satu-satunya cara. Mbah Dirwo bilang Wiralaya bisa membantu kita.”
Aku melirik sosok tua yang berjalan di depan kami.

Wiralaya... pria bertubuh kurus dengan rambut panjang beruban yang menutupi sebagian wajahnya. Sorot matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang tidak bisa kami lihat.

Tangannya kurus dan keriput, mencengkeram tongkat kayu yang terus menghantam tanah lembab setiap kali ia melangkah.

Kabut semakin tebal. Langit abu-abu yang tadi samar-samar terlihat kini benar-benar lenyap. Di tempat ini, siang dan malam terasa tidak ada bedanya. Dunia seperti terjebak di antara waktu.

“Sebenarnya kita mau ke mana, Mbah Wiralaya?” tanyaku mencoba memberanikan diri.
Pria tua itu tiba-tiba menghentikan langkah. Aku tersentak. Perlahan ia melirik ke arahku—tatapan yang begitu tajam hingga membuat bulu kudukku meremang.

Wiralaya tidak menjawab. Namun... di saat itulah tangan hitam berkeriput muncul begitu saja dari kabut pekat, mencengkeram tubuhku dengan kekuatan luar biasa.

“PANJUL!!”

Aku mendengar teriakan Danan, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Dunia di sekelilingku berputar—kabut, pepohonan, dan sosok Danan menghilang dalam sekejap. Aku merasa dihempaskan ke tempat lain, tubuhku terlempar tanpa aku tahu melewati apa.

Saat aku membuka mata, tubuhku terbaring di atas tanah yang dingin dan lembab. Nafasku memburu, dadaku terasa sesak. Aku mencoba bangkit, tapi sesuatu menindih tubuhku.

Sosok pocong.

Makhluk itu berdiri di atasku, tubuhnya kaku dengan kain kafan yang penuh bercak darah. Wajahnya membusuk... kulitnya terkelupas hingga memperlihatkan tulang di beberapa bagian. Matanya cekung dan hampir keluar dari lubang tengkorak yang menghitam.

“Udu wayahe kowe tangi meneh... Wektumu wis rampung... Aku mung njaluk panggonanku... Kowe sing ngganti...”
(Bukan waktumu lagi untuk bangun lagi... Waktumu sudah habis... Aku hanya meminta tempatku... Kamu yang menggantikan...)

Suaranya dalam, berat, seolah berasal dari dasar kubur. Bau anyir darah bercampur tanah basah menusuk hidungku. Tubuhku bergetar hebat saat pocong itu mulai tersenyum, memperlihatkan deretan gigi kuning berlumuran lendir.

Aku mencoba meronta, tapi tekanan di dadaku semakin kuat. Napasku tersengal-sengal.

“Nggak... nggak sudi aku!”

Aku memanggil satu-satunya harapan yang kupunya.
“WANASURA!!”

Tidak ada jawaban.

Aku memanggil lagi, lebih keras. “WANASURA!!!”
Tapi... sunyi. Bahkan energi di dalam tubuhku terasa lenyap. Seolah sesuatu telah memutuskan ikatan antara aku dan Wanasura—jiwa roh penjaga yang selama ini mendiami tubuhku.

Pocong itu tertawa terbahak-bahak, suara seraknya menggema di udara. Kafan yang membalut tubuhnya mulai sobek perlahan, memperlihatkan ratusan ular berbisa yang menggeliat di balik lipatan kain. Ular-ular itu melata, menyusup keluar dan menempel di tubuhku, melilit leher dan tanganku.

“Kafan ini sudah memintamu... kehkehkeh...”

Wajah pocong itu mendekat, hanya sejengkal dari wajahku. Bau busuk menyengat menembus hidung, membuat perutku mual. Matanya yang hampir lepas bergetar, menatapku dengan rasa puas.

Aku berusaha membaca doa-doa di dalam hati... tapi semakin aku membaca, semakin kuat kain kafan itu menjerat tubuhku.

“LEPASKAN!! LEPASKAN AKU!!”

Kafan itu hidup. Lembaran kainnya melilit tubuhku seperti ular, perlahan menyusup ke dalam mulutku, memaksaku diam. Aku menggigit kain kasar itu, tapi ia terus memaksa masuk.

Keringatku semakin menetes.

“Berkatmu aku bisa kembali memburu sukma di gunung ini... kehkehkeh...”

Makhluk itu berbalik, berjalan menjauh dengan langkah pincang, meninggalkanku dalam lilitan kafan yang semakin rapat. Aku mencoba meronta, tapi tak ada yang bisa kulakukan.

Dalam kegelapan itu, aku hanya bisa berdoa.
Perlahan-lahan, dunia di sekelilingku terasa semakin dingin... dan aku mulai kehilangan kesadaran.

“Sial!!” Aku mengumpat kesal, namun mulutku terus melantunkan doa tanpa henti. Napasku memburu, keringat dingin membasahi tubuhku yang gemetar. Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari arah belakang.
Read 14 tweets
Mar 6
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 4 - PENARI DUNIA ARWAH

Galang dan Wulan bertemu lagi, dan perasaan mereka masih sama...

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Galang…)

Langkahku terhenti ketika tiba-tiba seseorang meraih tanganku dan menarikku dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berlari di hadapanku, napasnya memburu seolah dikejar sesuatu.

Wajahnya dipenuhi kecemasan, terutama setelah melihatku yang hendak memasuki sebuah desa yang tampak sunyi di kejauhan.

"Wulan, tapi Raka dan Farel... Mereka juga tersesat," ucapku, mencoba menjelaskan situasiku yang tak kalah membingungkan.

Mendengar itu, Wulan memperlambat langkahnya sejenak. Matanya mengawasi sekeliling dengan waspada, lalu tanpa banyak bicara, ia menarikku menuju rimbunan pepohonan di tepi jalan.

Sesampainya di sana, ia celingukan seakan mencari sesuatu atau seseorang. Setelah memastikan keadaan aman, ia menatapku dengan serius.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Kenapa kalian bisa sampai ke sini? Bahkan dalam situasi seperti ini..." Suaranya lirih, tapi penuh kekhawatiran.

Aku menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, Wulan. Awalnya ini tentang Tiwi..."
Aku mulai menjelaskan bagaimana kami sampai di sini. Wulan mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah-ubah seiring dengan ceritaku.

Awalnya ada kecemasan, lalu keterkejutan, dan entah kenapa, aku tidak lagi melihat ekspresi cemburu seperti yang pernah ia tunjukkan sebelumnya. Saat kusebutkan bahwa bagian sukma Tiwi masih tertinggal di sisi gaib Gunung Merapi, Wulan tampak semakin tegang.

"Bagaimana keadaan Tiwi? Apakah Mbah Dirwo membantu kalian?" tanyanya cepat.

"Tiwi sudah mendapat pertolongan dari Mas Danan. Sayangnya, kami belum sempat bertemu Mbah Dirwo. Tapi ada beberapa orang yang memahami hal gaib yang juga turun tangan membantu kami..." jawabku, mencoba menenangkan kekhawatirannya.

Meski tampak memahami, Wulan tetap gelisah. Ia menggigit bibirnya pelan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Masalahnya bukan hanya itu, Mas... Alam gaib di Merapi sedang bergejolak," ucapnya akhirnya.

Aku mengernyit. "Bergejolak? Maksudmu?"
Wulan mengangguk. Ia melirik ke arah desa yang semakin jauh dari pandangan kami. Matanya menangkap kehadiran seekor burung jalak yang bertengger di salah satu dahan pohon. Seolah mendapat isyarat, ia menarikku lebih jauh dari tempat itu.

"Farel dan Raka tidak sendirian. Ada seekor kera yang menjaga mereka," katanya tiba-tiba.

Aku terkejut. "Kamu tahu dari mana, Wulan?"
Alih-alih menjawab, Wulan hanya tersenyum kecil. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban dari ekspresinya. Namun, aku sadar bahwa meskipun ia menjelaskan, belum tentu aku bisa benar-benar memahami apa yang ia ketahui.

"Saat ini, para penghuni desa gaib di gunung ini tengah gelisah. Keberadaan makhluk-makhluk asing yang bukan berasal dari Merapi mulai berdatangan dan mengganggu keseimbangan," ujar Wulan dengan nada serius.

Aku mengerutkan dahi. "Sesama makhluk pun bisa berseteru?"

Wulan mengangguk pelan. "Tentu saja, Mas. Setiap wilayah memiliki sosok kuat yang menjaga keseimbangannya.

Keberadaan mereka bukan hanya sebagai pelindung, tapi juga sebagai pengatur batas antara alam manusia dan alam gaib. Jika keseimbangan itu terganggu..." Wulan tidak melanjutkan ucapannya, tapi dari sorot matanya, aku bisa merasakan betapa serius situasi ini.

Aku menelan ludah. Sekarang aku paham, kami tidak hanya tersesat di gunung ini, tapi juga terjebak di tengah-tengah sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kami bayangkan.

"Ada satu lagi pertanyaan penting, Wulan." Kali ini aku yang menarik tangan Wulan hingga langkahnya terhenti.

"Apa, Mas?"

"Bagaimana kabarmu?"

Wulan berpaling dan menatapku dengan bingung. Sejenak ia tampak terkejut, sebelum akhirnya menjawab dengan suara sedikit canggung. "Eh, ba—baik, Mas."

Aku melihat raut wajahnya berubah, rona halus muncul di pipinya. Walaupun Wulan bukan manusia, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu membuatku merasa nyaman. Namun sebelum aku bisa mengatakan lebih jauh, perasaan aneh tiba-tiba menyelimuti kami.

Hutan di sekitar semakin sunyi. Suasana menjadi dingin, dan aku bisa merasakan keberadaan sesuatu yang mendekat.

"Ada yang datang..." bisikku.

Wulan ikut menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang. Dari balik bayangan pohon, seseorang muncul. Sosok itu adalah seorang lelaki tua dengan wajah penuh senyum. Namun, senyum itu terasa janggal.

"Buru-buru sekali, Mas sama Mbaknya? Di desa sedang ada acara, lho," ucap lelaki itu dengan nada ramah yang terdengar ganjil.

Wulan segera mengambil langkah maju, berdiri di depanku. "Terima kasih, Pak. Tapi kami sudah ada janji dengan seseorang," balasnya dengan sopan.
Senyum lelaki itu perlahan memudar.

Wajahnya berubah serius, tatapannya dingin. "Bukan seperti ini caranya meninggalkan desa..." Nada suaranya datar, tapi aku merasakan ancaman yang tersirat. "Seharusnya kamu mengerti, Wulan."

Aku menyadari bahwa ini bukan sekadar perbincangan biasa. Ada sesuatu yang hanya dipahami oleh para penghuni desa gaib ini.

"Nggih, Pak. Wulan lupa," jawab Wulan, suaranya lebih lembut. "Kami akan kembali ke desa sebentar lagi."

Mendengar jawaban itu, lelaki tua itu kembali tersenyum. "Bagus. Jangan lama-lama, keburu acaranya selesai."

"Nggih, Pak!" balas Wulan ceria.

Begitu lelaki itu berbalik dan mulai berjalan kembali ke hutan, tubuh Wulan tiba-tiba menegang.

"Lari!" teriaknya tiba-tiba.

Ia menarik tanganku, dan kami segera berlari menuju bagian hutan yang berkabut. Nafasku tersengal-sengal, dan aku bisa merasakan bahaya yang membuntuti kami.

"Apa bapak tadi berbahaya?" tanyaku di tengah langkah terburu-buru.

"Manusia tidak boleh berada di desa gaib itu, Mas. Sekali masuk, mereka harus menjadi bagian dari desa selamanya."
Read 17 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(