gil Profile picture
Apr 21 131 tweets 23 min read Twitter logo Read on Twitter
LEMAH KUBURAN (Bab 10)

~Pilkades Mekar Sari 1985

@bacahorror @menghorror @IDN_Horor #bacahorror Image
“LEMAH KUBURAN”. Bab. 10.

Singkat cerita malam pun tiba, seperti biasa, orang-orang sudah memenuhi rumah Pak Lurah. Di hari pemilihan yang kurang satu hari lagi ini, warga-warga yang berkumpul tampak lebih ramai dari sebelumnya.
Terpantau banyak wajah2 baru yg datang hampir dari semua dusun, dan saking banyaknya orang yg datang, sampai2 membuat Bu Sundari & Mbak Sari kewalahan menjamunya & akhirnya mengundang Pak Rusdi dan Lik Parmin, seorang penjual soto ayam & sekuteng langganannya untuk mendirikan-
-lapaknya di halaman rumahnya.

Ramai warga di karpet teras depan, tampak kasak-kusuk membicarakan kelilingnya Mbah Untung & Mbah Suyuti tadi pagi ke rumah para tokoh & kadus untuk melakukan ritual pembersihan.
“Kiro-kiro sing arek menang kono opo kene kang? Nek menurut sampean!?”.

(Kira-kira, yang akan menang, sana atau sini kang? Kalau menurut sampean!?). Tanya Lik Parmin kepada Pak Rusdi di halaman rumah Pak Lurah, di tengah kesibukan mereka meracik minuman dan makanannya.
“Heleh, yo Mbuh ya.. Podo kuate soale, Mbok rasah melu mikir to, wong dewe yo dudu warga kene kok, hehehehe”.

(Heleh, entahlah, sama kuatnya soalnya, sudahlah tidak usah ikutan mikir, orang kita saja bukan warga sini, hehehe). Tanggap Pak Rusdi yg tak lama kemudian di hampiri-
-oleh Mbah Gotro.

“Iseh akeh to iki!?”.

(Masih banyak to ini!?). Tanya Mbah Gotro kepada mereka.

“Eh..Tasih Mbah, dewe wau diken nyiapke setunggalatus porsi kok kalih Bu Lurah, sakniki nek sekitar sewidak nggih tasih wonten..”.
(Eh.. Masih Mbah, kita tadi disuruh menyiapkan seratus porsi kok sama Bu Lurah, sekarang kalau sekitar enam puluh sepertinya masih ada). Jawab Pak Rusdi mewakili.

“Oh Yowes nek ngono, iki duite tak bayar sek yo, mengko nek Bu Lurah ngenei ojo ditompo yo, sakmene sampe!?”.
(Oh ya sudah kalau begitu, ini uangnya sy bayar dulu ya, nanti kalau Bu Lurah ngasih, jangan diterima ya, segini cukup!?). Kata Mbah Gotro seraya memberikan beberapa lembar uang.

“Cukup Mbah, malah susuk niki”.

(Cukup Mbah, malah ada kembaliannya ini). Jawab Mereka.
“Wes gowonen wae susuke, bagi loro”.

(Sudah bawa saja kembaliannya, bagi dua). Jawab Mbah Gotro yang setelah itu langsung berlalu pergi dan kembali masuk ke dalam rumah Pak Lurah.
Sementara itu, di halaman belakang rumah Pak Lurah..

Bau kemenyan menyerbak, asap hitamnya mengepul ke langit-langit beriringan dengan cahaya lentera besar yang diletakkan di atas tanah, terlihat disitu, Pak Lurah, Mas Angga, Mbah Untung dan Mbah Suyuti tengah duduk melingkar-
-di atas gelaran tikar, dan Seraya membakar kemenyan itu di atas tungku kecil, mereka sepertinya tengah membicarakan sesuatu.

Tapi diantara mereka berempat, Mbah Untung terlihat kerap menghela nafasnya, seakan ada kebimbangan yang ia pendam dalam pikirannya. Pak Lurah tampak-
-menatap sungkan, namun Mbah Suyuti yang waspada pun segera mempertanyakan.

“Pripun Kang? Wonten sing kirang?”.

(Bagaimana Kang? Apakah ada yang kurang berkenan?). Tanya Mbah Suyuti kepada Mbah Untung.

“Mboten Kang, namung kula koyo dadi bingung, ajeng perang nopo namung-
-ngresiki”.

(Tidak Kang, setelah dipikir-pikir, saya menjadi bingung, mau perang atau hanya membersihkannya saja). Kata Mbah Untung yang kali ini segera ditanggapi oleh Pak Lurah.

“Saene mawon to Mbah, nek upami mboten mbales nggih mboten nopo-nopo kok, sing penting kula-
-kalian rencang-rencang saget medal saking masalah niki”.

(Baiknya saja to Mbah, kalau memang kita tidak usah membalasnya, tidak apa-apa kok, yang terpenting saya dan semua kawan-kawan bisa keluar dari masalah ini). Tanggap Pak Lurah.
Mbah Untung yang gamang pun, terlihat kembali menghela nafasnya, menggelengkan kepalanya dan seraya mengusap wajahnya, beliau pun akhirnya berujar dan mengira-ira bahwa ada bahaya yang akan mengancam kubu Pak Lurah, jika ini tidak dilawan dengan tuntas.
“Apese njenengan niku menang Pak Lurah, menurut trawangan kula, njenengan telak menang”.

(Apesnya, nejenengan itu nanti akan menang Pak Lurah, menurut penerawangan saya, njenengan akan menang telak). Jawab Mbah Untung yg tentu membuat Pak Lurah dan yg lain mengkerutkan dahinya.
“Bukannya itu tujuan kita?”. Kata mereka, tapi ternyata tidak menurut kaca mata Mbah Untung, yang mana justru kemenangan itulah yang nanti akan berbuntut dengan mala petaka.
Mbah Untung pun kembali berujar, jika Dukun Cokro adalah orang yg hanya menerima kemenangan, Jika ia kalah dalam satu sisi, ia pasti akan membuat kemenangan di sisi yg lain dengan cara apapun. Bahkan tanpa di bayar pun, Dukun Cokro tetap akan melakukannya demi harga diri.
“Nek njenengan menang, kulo yakin, njenengan mesti bakal di gujer tekaning Pati Pak Lurah”.

(Kalau njenengan menang, sy yakin, njenengan pasti akan menjadi sasaranya sampai mati Pak Lurah). Jawabnya yg setelah itu sedikit menceritakan tentang kejadian yg kurang lebih serupa.
Dimana dulu pernah ada keluarga Lurah yang dihabisi oleh Dukun Cokro dengan santet ‘Pring sedapur’, setelah mengalahkan calon kepala desa yang dipihaknya.

Itulah yang menjadi kekawatiran Mbah Untung, jangan-jangan, Dukun Cokro akan mengulangi hal itu kembali. Pak Lurah tentu-
-tercengang mendengar penjelasan itu.

“Terus saene pripun Mbah?”.

(Terus, sebaiknya bagaimana Mbah!?). Tanya Pak Lurah yang menjadi resah.

Mbah Untung sejenak terdiam atas pertanyaan itu, namun beberapa saat kemudian, ia pun akhirnya berkata, bahwa ada dua cara untuk keluar-
-dari masalah ini.

Cara yang pertama adalah mundur dari pencalonan dan dianggap kalah. Dan cara yang kedua adalah membunuh Dukun Cokro secepatnya. Menurut Mbah Untung, Hanya itulah cara untuk menghentikan semua ini. (Cont)
Sebenarnya cara yang pertama sangatlah mudah, yaitu mengundurkan diri dari pencalonan ini, tapi sepertinya itu mustahil terwujud, karena akan banyak sekali orang yang kecewa.
Dan tinggallah kini cara yang kedua, yaitu mematikan Dukun Cokro, tapi yang sekarang menjadi masalahnya adalah, Mbah Untung sendiri, yang tiba-tiba saja berubah menjadi bimbang untuk melakukan itu atau tidak.
Pak Lurah hanya bisa pasrah dan berkata, kalau pun harus mengundurkan diri demi keselamatan orang2 disekelilingnya, ia mau2 saja.

“Pun Mbah, kulo manut ajeng pripun”.

(Sudah Mbah, saya akan ikut bagaimana yang terbaik). Kata Pak Lurah yang langsung di timpal oleh Mas Angga.
“Wah eman pak, kita sudah berjalan sejauh ini, mesakke tiang-tiang ingkang sampun podo ndukung mati-matian, pokoke dewe tetep kudu ngelawan, apapun yang terjadi”.

(Wah, sayang sekali Pak, kita sudah berjalan sejauh ini, kasihan orang-orang yang sudah mendukung mati-matian, -
-pokoknya kita tetap harus melawan, apapun yang terjadi). Sela Mas Angga, dengan tegak dan sedikit emosi.

Mbah untung kembali menghela nafasnya mendengar ungkapan itu, sebenarnya alasannya cukup sederhana, Mbah Untung tidak mau menghilangkan nyawa seseorang, sekalipun dia-
-sangat bersalah.

“Upami mundur, emange saget Pak Lurah? hari pemilihane gari sedinten malih lho”.

(Kalau seandainya sekarang mengundurkan diri, memangnya masih bisa Pak Lurah?, hari pemilihan tinggal sehari lagi lho). Sela Mbah Suyuti kini.
Singkat cerita obrolan itu pun berakhir tanpa konklusi, Mbah Untung yang masih bimbang pun hanya menjawab dengan kata.

“Mangkih tak ndelok sik mawon, kalih kulo nggih tak pados menawi wonten cara liane”.

(Nanti saya lihat dulu, sembari saya juga mencari kalau saja ada cara-
-yang lain). Kata Mbah Untung menutup obrolan itu.

Mereka pun kembali masuk kedalam rumah, menuju ruang utama untuk menemui para tokoh dan kadus-kadus. Bersamaan dengan waktu yang sudah hampir tengah malam, Pak Lurah pun memerintahkan para kadusnya untuk memberitahu para warga-
-agar pulang, karena ritual pembersihan yg akan segera dilakukan.

“Nunut yo, poro warga kon bali, piye carane, sing penting alus lan kesane ora ngusir”.

(Tolong ya, para warga diberitahu agar segera pulang, entah bagaimana caranya, yg penting mereka tidak merasa diusir). Kata-
-Pak Lurah yang seketika membuat para kadus kebingungan.

“Waduh, njok piye Kang, carane?”.

(Waduh, terus bagaimana caranya?). Tanggap Kadus Barjo yang tak lama kemudian dijawab oleh Mbah Gotro.

“Nggo iki lho, wes tak siapke”.

(Pakai ini lho, sudah saya siapkan). Kata Mbah-
-Gotro seraya memberikan kantong plastik yang berisi banyak amplop-amplop.

“Teko kon baris, karo didumi kui, mengko lak do bali”.

(Tinggal suruh berbaris saja, sambil dibagikan itu satu-satu, nanti pasti semua langsung pulang). Kata Mbah Gotro lagi.
“Wuih!! Njenengan pancen ngeten Mbah!! Hehehe”.

(Wuih!! Njenengan memang begini Mbah!! Hehehehe). Kata Kadus Barjo seraya mengacungkan jempolnya kepada Mbah Gotro.
Kang Barjo dan Kadus-kadus lainnya pun bergegas ke ruangan depan, dan benar saja, melalui amplop-amplop yang entah berisi uang berapa itu, mereka pun akhirnya dapat membuat semua warga pulang tanpa merasa diusir.
Dan tak lama setelah itu, para Tokoh dan kadus-kadus pun turut pulang juga dari rumah Pak Lurah.

“Yowis saiki aku karo kanca-kanca tak mulih, mugo-mugo wae paringi lancar yo”.

(Yasudah, sekarang saya dan kawan-kawan pamit pulang dulu ya.. Semoga semua diberi kelancaran). Ucap-
-Mbah Gotro mewakili para tokoh dan Kadus-kadus kelurahan Mekar Sari itu.

Rumah Pak Lurah pun sedikit agak sepi, tinggalah kini Mas Angga, Bu Sundari, Mbah Untung, Mbah Suyuti, Pak Lurah Sendiri dan Mbak Sari beserta si kecil Dito, yang kini sudah duduk di ruangan utama.
“Dito kok ora bobok-bobok yo Buk!!”.

(Dito kok tidak bobok ya Buk!!). Kata Mbak Sari yang tengah menggendong anaknya itu kepada Bu Sundari.

“Ho’o yo, padahal mau awan yo ora bobok blas to!?”.

(Kok bisa ya, padahal tadi siang juga tidak bobok sama sekali to!?). Kata Bu-
-Sundari, yg tak lama kemudian di tanggapi oleh Mbah Untung.

“Cobi di mimiki niki sekedik mawon, insyaAllah sedelo malih lak bobok”.

(Coba dikasih minum ini sedikit saja, insyaAllah sebentar lagi pasti tidur). Kata Mbah Untung seraya memberikan air teh miliknya yg masih utuh-
-dan sama sekali belum ia sentuh itu.

Dan dengan drama menangis di awalnya, akhirnya sedikit air teh itu pun berhasil masuk ke mulut cucu Pak Lurah itu, Dan benar saja, tidak sampai dua menit setelah meminumnya, Dito pun langsung nyenyak di pangkuan ibunya.
Menit demi menit pun berlalu, dengan waktu yang kini sudah menunjukkan pukul 00.30 dini hari, dan tibalah saatnya ritual pembersihan ini harus dimulai. Mbah Untung pun meminta Bu Sundari, Mbak Sari beserta Dito kecil, untuk masuk ke dalam satu kamar, dan jangan keluar sampai-
-ritual ini selesai.

“Nggih pun, sakniki, njenengan-njenengan mlebet kamar rumiyin njih, pokoke ampun medal ngatos niki tingkas”.

(Ya Sudah, sekarang, njenengan2 masuk ke dlm kamar dulu ya, pokoknya jangan keluar sampai ini selesai). Kata Mbah Untung kpd Bu Sundari & Mbak Sari.
Dan sebelum mereka masuk ke kamar, Mbah Untung pun memberi waktu kepada Mbak Sari dan Bu Sundari kalau barang kali ada keperluan yang harus mereka bereskan terlebih dahulu, seperti buang air kecil dan sejenisnya, karena mereka akan berada di dalam kamar selama ber jam-jam.
“O nggih!!”. Tanggap Bu Sundari yang atas saran itu langsung bergegas berjalan menuju belakang bersama Mbak Sari.

Singkat cerita, Mbak Sari dan Bu Sundari pun sudah masuk ke dalam kamar, begitu juga dengan Si Dito yang sudah direbahkan dengan nyaman, dan satu pesan kembali Mbah-
-Untung katakan secara spesifik, yang kurang lebih adalah seperti ini:

”Siapa pun nanti yang mengetuk dan meminta masuk ke dalam kamar, jangan digubris, sekalipun itu terdengar memohon dengan suara salah satu dari kami (Mbah Untung, Mbah Suyuti, Pak Lurah dan Mas Angga), jangan-
-terlena dan tetaplah berdoa”. Tukas Mbah Untung.

Setelah memastikan Bu Sundari dan Mbak Sari benar-benar mengunci pintu kamarnya. Mbah Untung, Pak Lurah, Mas Angga dan Mbah Suyuti pun segera memulai ritual itu.
Ritual itu, di awali dengan dipadamkannya seluruh penerangan di rumah ini, kecuali kamar dimana Mbak Sari dan Bu Sundari berada tentunya. (Cont)
Setelah itu, seraya membawa perlengkapan yang sudah di siapkan, mereka semua pun berjalan keluar rumah, menggelar tikar anyam di halaman depan, dan duduk bersila saling berhadapan dengan empat buah lentera kecil di tengahnya.
Mbah Untung pun mulai membakar kemenyan, bersamaan dengan Mbah Suyuti yang setelah itu mengasapi sebuah tongkat bambu kuning di atas tungku kecil dimana kemenyan itu terbakar oleh bara.
Tak lama setelah itu, angin pun bertiup kencang, bersama dengan suara ‘Kiak’ burung ‘Koak’ yang tiba-tiba terbang mengitar di atas kepala mereka.

“Ampun mengo munggah!!”.

(Jangan menoleh keatas!!). Sentak Mbah Untung agak berbisik, bersama dengan datangnya burung koak itu.
Dikeluarkanlah beberapa lembar daun sirih dari saku mantel Mbah Untung setelah itu, yang langsung dibagikan kepada masing-masing dari mereka.

“Templekke wonten mripat nggih, ampun dicopot sakderenge kula omong”.

(Tempelkan di mata ya.. Jangan dilepas kalau belum saya-
-beritahu). Kata Mbah Untung seraya memberikan daun sirih itu kepada mereka masing-masing dua lembar.

Ritual kembali berlanjut dengan Mbah Untung yang kini mulai membaca ayat-ayat suci, yang entah bagaimana, seakan membuat angin dan suara kiak burung itu menjadi lebih kencang.
Hingga tibalah pada suatu detik, dimana secara tiba-tiba angin dan Kiak burung Koak itu pun mendadak berhenti begitu saja, bersamaan dengan selesainya doa yang diucapkan oleh Mbah Untung itu.
Setelah itu Daun Sirih yang menutupi kedua mata dari Pak Lurah, Mbah Suyuti dan Mas Angga pun akhirnya dilepas sesuai perintah Mbah Untung. Yang tak lama kemudian meminta mereka semua untuk berdiri.
“Dizikir terus saksagete nggih, terus nek semerep nopo mawon mangkih ting njero, teko tenang mawon, ting burine kula, ampun panik”.

(Dzikir terus sebisanya ya, terus apapun yang nanti kalian lihat di dalam, tenang saja di belakang saya, jangan panik). Kata Mbah Untung. Dan-
-dengan masing-masing lentera di tangan, mereka semua pun kini berjalan untuk masuk ke rumah Pak Lurah itu.

“Bismillah!!”. Kata Mbah Untung seraya mengayunkan tuas pintu. Dan setelah itu sejenak memandang ke belakang, mengisyaratkan semua orang untuk benar-benar bersiap.
Mereka pun mulai mengendap masuk secara beriringan, membawa sebuah rasa yg sulit untuk dijelaskan. Di dalam, tepatnya di ruang tamu, suasana memang gelap, namun entah mengapa susunan perabotan di ruangan itu yang sedikit tersinari oleh temaram lentera, seakan berubah menjadi-
-asing dan berbeda.

Dan benar saja, ketika mereka yang secara spontan bersama-sama mengangkat lenteranya lebih tinggi, sebuah pemandangan ganjil pun tampak di depan mata.
Ini sama sekali bukan ruang tamu Pak Lurah yang semestinya, suasananya sangat amat berbeda dan sama sekali tidak bisa dideskripsikan dengan tulisan kata, yang jelas terlihat juga disana sosok-sosok yang seperti menggunakan mukena putih, berlalu-lalang di ruangan itu. Image
“Tenang yo, sek tenang”. Bisik Mbah Untung, yang perlahan menuntun mereka untuk mulai berjalan maju dan mengikutinya dari belakang.

“Agstafirullah...”.

“Agstafirullah...”.

“Agstafirullah...”. Ucap Pak Lurah, Mbah Suyuti dan Mas Angga yang mulai menyeret langkahnya mengikuti-
-Mbah Untung, dengan pikiran yang sebenarnya masih mencerna dan terlihat syok dengan apa yang di sekelilingnya.

Mereka berjalan menunduk di belakang Mbah Untung, saling menghimpit memikul ketakutannya masing-masing di suasana yg sangat tidak masuk diakal ini.
Sementara itu di dalam kamar, Bu Sundari dan Mbak Sari tampak rebah berhimpit dan mencoba memejamkan mata di atas satu ranjang, dengan si kecil Dito yang terlelap di tengahnya, terhitung mungkin sekira satu jam setelah mereka ditinggal, dan benar saja apa yang tadi dikatakan-
-oleh Mbah Untung, pintu kamar pun mulai diketuk dari luar.

“Tok..tok..tok!!”. Suara ketukan yang terdengar seketika membuat Mbak Sari dan Bu Sundari yang pura-pura tertidur itu langsung terbelalak.

“Tok..tok..tok!!”. Ketukan kembali terdengar, membuat mereka kini langsung-
-terduduk merapat dan saling pandang.

“Ssstt!! Dzikir wae saiki”.

(Ssst!! Sekarang kita dzikir saja). Bisik Bu Sundari kepada Mbak Sari.
Mereka pun mulai berdzikir diantara suara ketukan itu, yang ternyata tak juga berhenti. Sampai akhirnya setelah beberapa saat ketukan itu-
-bertahan, dada istri dan anak lurah itu pun tersentak ketika ada suara manusia terseling bersama ketukan yang kini terdengar semakin keras dan terburu.

“Tok!!tok!!tok!!tok!!, Dek!! Iki Mas Dek!! Tulung bukaki!!”.

(Tok!!tok!!tok!!tok!! Dek!! Ini Mas Dek!! Tolong bukakan-
-pintunya!!). Suara Mas Angga terdengar jelas dari luar, yang membuat Mbak Sari sebagai seorang istri yang mendengarnya seketika terhenti dalam dzikirnya.
“Dudu kae!! Kae dudu Angga Nduk!!”.

(Bukan!! Itu bukan Angga Nak!!). Kata Bu Sundari kepada Mbak Sari yang segera mengangguk dan menyadari apa yang tadi di pesankan oleh Mbah Untung kepada mereka.
Tapi suara Mas Angga itu masih terus terdengar, dengan nada ketakutan dan terus memohon untuk masuk.

“DEKKK!! TULUNG DEK!! BUKAKI! IKI MAS DEK!!”. Terdengar suara Mas Angga yang berbicara kepada Mbak Sari dari balik pintu.
Suara itu terdengar jelas dan begitu nyata, membuat mereka berdua sempat meragu, dan beranggapan bahwa itu memang benar-benar suara dari Mas Angga. Namun Bu Sundari dan Mbak Sari masih bertahan untuk tidak menanggapinya, Dan..
“TOK!!TOK!! TOK!! Niki Angga Buk!! Bukaki mawon!! Bapak kalih liyane pun semaput ting njobo!! Bukaki Buk!! Tok!! Tok!! Tok!!”.

(TOK!! TOK!! TOK!! Ini Angga Buk!! Bukakan saja Buk!! Bapak dan yang lainnya sudah pingsan di luar!! Bukakan Buk!! Tok!!tok!!tok!!). Suara Mas Angga-
-itu, kini terdengar berbicara kepada Bu Sundari.

Dan di sinilah mereka mulai lengah, berawal dari Bu Sundari yang mencoba menjawab panggilan itu.

“Bbbaapak kenopo Ngga!?”. Tanggap Bu Sundari dengan gugup dan gagap.

“Sami semaput Buk!! Pokoke kulo di bukaki rien!!”.
(Semua pada pingsan Buk!! Pokoknya saya dibukakan dulu!!). Kata suara yang menyerupai Mas Angga itu.

Bu Sundari menoleh ke arah Mbak Sari, dengan perundingan Mata tanpa bicara, mereka berdua pun sepertinya sama-sama setuju dan seketika terlupa dengan pesan dari Mbah Untung tadi.
“Wes Buka’i wae Buk, samare nek do kenopo-nopo!!”.

(Sudah Bukakan saja Buk, takutnya kalau pada kenapa-kenapa). Kata Mbak Sari beberapa saat setelah itu.

Mereka pun mulai bergandengan tangan dan bangkit dari ranjang, tuas engsel pintu yang kini terus bergerak-gerak dan-
-suara Mas Angga yang masih terdengar memohon-mohon untuk masuk, membuat Bu Sundari dan Mbak Sari sedikit berlari.

“Buk! Dek! Tulung cepet bukaki!!”. Kata Mas Angga yang segera disambut oleh Mbak Sari.

“Iyo!Mas iyo!”. Tanggap Mbak Sari yg kini sudah berada di dpn pintu bersama-
-ibunya.

Namun entah mengapa sesampainya mereka di depan pintu, keraguan itu mendadak muncul, Bu Sundari dan Mbak Sari kembali saling pandang, dengan mata yang juga saling bertanya apakah mereka harus membukakan pintu.
Sementara itu, Mas Angga masih saja terus mengetuk dan memohon untuk masuk.

“DEK!!! BUK!! TULUNG BUKAKI!!”. Suara itu terdengar semakin memelas dan memohon, namun seketika itu pun dibuyarkan oleh bau bangkai yang menyerbak tajam masuk di dalam kamar.
“Huh!!!”. Ekspresi Mbak Sari dan Ibunya yang spontan memundurkan langkahnya, karena begitu tajamnya bau itu menyengat indra penciuman mereka.

Dan di sinilah keanehan pun mulai tampak, ketika suara Mas Angga yang memohon itu, berubah menjadi kasar dan memaksa.
“MENUNGSO GOBLOK!!! CEPET NDANG BUKAKI!!!”.

(MANUSIA GOBLOK!! CEPAT SEGERA BUKAKAN!!!). Ucap suara yang masih mirip dengan Mas Angga itu yang kini terdengar kasar dan membentak dari balik pintu.
Mendengar itu, Bu Sundari dan Mbak Sari pun segera menjauh dari pintu, yang mana bersamaan dengan itu, Si kecil Dito terbangun dan menangis kencang. Hal itu membuat Mbak Sari yang pertama kali bergegas kembali ke ranjang untuk menenangkannya. Sementara Bu Sundari masih berdiri-
-tertegun beberapa meter di depan pintu. Dan setelah itu..

“DAR!!! DAR!!! DAR!!! BUKAKI!!! CEPET BUKAKI!!!! DAR!!! DAR!! DAR!!”. Ketukan kini berubah menjadi gedoran, begitu juga dengan suara itu yang terdengar lagi untuk kesekian kalinya.
Sampai akhirnya, entah apa yang ada di pikiran Bu Sundari saat itu, ia yang melihat termos berada di atas meja pun langsung mengambilnya, dan setelah itu segera berjalan mendekati pintu sambil berkata.
“AKU WES KESEL SU!!! ASU!!! BAJINGAN!! SETAN KERE!!”.

(SAYA SUDAH CAPEK NJING!! ANJING!! BAJINGAN!! SETAN KERE!!). Kata Bu Sundari seraya membuka termos itu dan mengucurkan air panasnya, ke sela-sela lantai bawah pintu, dan ajaibnya seketika ketukan dan suara menyerupai Mas-
-Angga itu pun menghilang tak terdengar lagi.

Suasana di kamar perlahan melandai tenang, begitu juga dengan si Dito yang kembali tertidur tenang.
Kembali lagi kepada Pak Lurah, Mas Angga, Mbah Untung dan Mbah Suyuti. Dalam rentang waktu yang tidak bisa dijelaskan.

Mereka berempat masih terus berjalan menyusuri ruangan-ruangan asing, yang semakin lama semakin tidak mereka kenali. Sosok-sosok bermukena putih itu masih- Image
-terus ada, semakin banyak, bergerombol di sekitar mereka.

“NDI IKI SING PALING BAHUREKSO, METU, AKU MEH OMONG”.
(MANA INI YANG PALING BERKUASA, SAYA MAU BICARA). Kata Mbah Untung saat itu, yang seketika membuat sosok-sosok bermukena putih yang sedang berada di sekeliling-
-mereka itu berlarian dan menghilang.

“Ambegane pada ditata nggih, ampun ketok wedi!!”.

(Tata nafas kalian ya!!, jangan kelihatan takut!!). Kata Mbah Untung seraya menarik yang lain untuk berdiri berjejer di sampingnya.
Kecuali Mbah Untung, semua tampak gemetar dan menunduk takut, “Bisa gila saya kalau begini!!”. Batin Mas Angga yang seakan tak sanggup dengan ketidakwajaran ini.

Hingga tak lama setelah itu, suara hentakkan-hentakkan pun mulai terdengar menggema, mendekat ke arah mereka,-
-terlihat Mbah Untung yang ‘menjijitkan’ kakinya untuk mencermati apa yang akan ada di depan.

Dan setelah itu. “Fiyuhhh!!”. Mbah Untung tampak kecewa menghela nafasnya, ia pun segera meregangkan tangannya, sebagai isyarat kepada semua orang untuk bersiap.
Dan mulai tampaklah dengan samar namun cukup jelas, sesosok bungkusan putih yang melompat pelan mendekat ke arah mereka. Ya!! Apa lagi kalau bukan pocong!!

“DUNG.....DUNG...DUNG..”. Lompatannya, menghentak menggema dan akhirnya berhenti di depan mereka. Image
“hiiiiiii........hhiiiiiiii....hhiiiiii”. Suara bak peluit melengking keluar dari sosok pocong itu, sembari menatap tajam ke arah semua orang.

Mas Angga mundur dan ingin berlari, namun beruntung, Mbah Suyuti yang berada di sampingnya segera sigap mencengkeram tangannya.
“Tenang Mas!!”. Bisik Mbah Suyuti yang sebenarnya juga tak begitu berani itu.

“Hiiiiiii.....hiiiiii”. Lengkingan itu masih juga terdengar, sampai akhirnya.

“MENENG!!!”.

(DIAM!!!). Sentak Mbah Untung, yang seketika dengan ajaib menghentikan suara yang keluar dari pocong itu.
“AKU LAK WES OMONG TO!! SING BAHUREKSO KON MRENE!!, MBOK PIKIR AKU ISO DIAPUSI!! CEPET KON MRENE TIMBANG KOWE TAK OBONG!!”.

(SAYA KAN SUDAH BICARA!! SURUH YANG PALING BERKUASA ITU KESINI!! KAMU PIKIR!! SAYA BISA DIBOHONGI!! CEPAT SURUH KESINI!! DARI PADA KAMU SAYA BAKAR!!).-
-Kata Mbah Untung dengan marah kepada sosok pocong yang masih tegak di depan mereka itu.

Pocong itu tak bergeming, tak menjawab dan malah terlihat menantang dengan tatapan matanya yang merah menyala.
“Oh!!”. Kata Mbah Untung yang setelah itu, segera menyuruh Mbah Suyuti untuk menghantam bungkusan putih itu, dengan bambu kuning yang dibawanya.

“Cobi Kang, gebuk!! Tak nonton sekuat opo deknen niku”.

(Coba Kang, gebuk!! Kita lihat sekuat apa dia). Kata Mbah Untung.
Mbah Suyuti tampak tersentak, menoleh ke arah Mbah Untung dengan raut wajah yang meragu.

“Pun!! Mboten popo!!”.

(Sudah!! Tidak apa-apa). Kata Mbah Untung lagi yang setelah itu dijawab oleh Mbah Suyuti dengan anggukan kepala.
Dan dengan segala ketakutan yang ia pikul, Mbah Suyuti pun segera maju, namun baru saja ia mengambil ancang-ancang, sosok pocong itu pun mundur menjauh sebelum Bambu itu sempat diayun oleh Mbah Suyuti.
Dan untuk beberapa saat, suasana pun mulai berubah tenang, namun tak berlangsung lama, karena tiba-tiba, jantung mereka dibuat kembali berdegup kencang ketika terdengar suara pekik tawa mengikik yang menggema. (Cont)
“Tenang..tenang!!”. Kata Mbah Untung, yang sama seperti tadi, ia kembali menyuruh semua orang untuk kembali bersiap dan menata nafas masing-masing.

“Gedebug!! Gedebug!!”. Terdengar juga di antara pekik tawa itu, seperti suara tapak kaki yang berlari mendekat ke arah mereka.
Suara itu pun semakin mendekat dan mendekat, hingga akhirnya, perlahan mulai tampak kini di hadapan mereka, sesosok yang menyerupai seorang wanita.

Mata Pak Lurah dan Mas Angga seketika terpaku oleh sosok wanita itu, yang mana rasanya tak begitu asing di ingatan mereka.
Ya!! Sepertinya dia adalah Sumirah!!, lelembut dari makam ‘Tegal Sari’, yang pernah dilihat oleh Pak Lurah begitu pula dengan Mas Angga dan diketahui juga sempat merasuki tubuh Mbak Sari tempo hari. Image
“Oh, ini pasti yang namanya Sumirah!!”. Batin Mbah Suyuti saat itu, ternyata, beliau juga mempunyai pikiran yang sama.

Beda dengan Pak Lurah dan menantunya yang kini menunduk takut, di sini Mbah Suyuti sepertinya sudah mulai mencoba terbiasa, yang mana, itu terlihat pada-
-dirinya yang kini tampak langsung bersiaga, menatap sambil menggenggam Bambu Kuningnya.

Tapi lagi-lagi, sepertinya Mbah Untung beranggapan bahwa sosok itu, bukanlah si ‘Bahurekso’, sosok terkuat yang beliau ingin ajak bicara saat ini, hingga ia yg kecewa pun kembali berteriak.
“NDI SING BAHUREKSO KI!!!!”.

(MANA YANG PALING BERKUASA ITU!!!). Teriak Mbah Untung, yang setelah itu, tanpa aba-aba dan memberitahu, Mbah Suyuti pun segera melangkah maju dan langsung memukulnya dengan bambu itu.
“SUMIRAH!!! DUAR!!!”. Teriak Mbah Suyuti menyebut nama lelembut itu, sambil mengayunkan Bambunya, yang diikuti oleh suara ledakan kecil, yang membuatnya terhempas balik.
Dan erangan pun terdengar setelahnya, erangan kesakitan dari sosok yang diduga kuat adalah Sumirah itu yang kini menjauh dan menghilang.
Mbah untung pun mencabut sebuah keris dari balik punggungnya, mengacungkannya ke langit dan menghubak-habikan bilahnya sembari berkata dengan nada tinggi.

Pada intinya ia ingin menyelesaikan ini secara baik-baik, melalui mediasi dan pembicaraan, namun sosok ‘Bahurekso’ itu-
-tidak juga keluar menemuinya. Hingga untuk terakhir kalinya Mbah Untung pun kembali memberikan tawaran, agar kiriman lelembut yang paling kuat di tempat ini segera keluar.
“PISAN MENEH! METUO! TIMBANG TAK OBONG TENAN!!”.

(SEKALI LAGI! UNTUK TERAKHIR KALINYA, KELUARLAH!! DARI PADA SAYA BAKAR!). Sentak Mbah Untung, yg tak lama setelah itu, desis2 aneh pun terdengar, & datanglah satu sosok lagi yg terbang melandai rendah & kini berdiri di hadapan-
-mereka.

Dan inilah ternyata sosok terkuat itu, sosok yang sedari tadi Mbah Untung harapkan. Wujudnya masih menyerupai seorang wanita, rambutnya putih, matanya menyala, dengan ukuran tubuhnya yang tak wajar. Image
Mbah Untung segera terdiam dan sedikit memundurkan langkahnya, menoleh sesaat ke arah orang-orang yang ada di belakangnya dan setelah itu berkata.

“Niki sing paling tuwo.. Ampun ajrih”.
(Inilah yang tertua.. Jangan takut). Bisik Mbah Untung yang setelah itu langsung menarik-
-lengan Mbah Suyuti, agar berdiri di sampingnya.

Desisan aneh masih terdengar dari makhluk itu, kepalanya terlihat sedikit menggeleng, seperti mengamati orang-orang yang tengah berada di depannya.
Di hadapan sosok itu, semua orang tampak berusaha tegak menata nafasnya, meski dengan wajah-wajahnya yang sudah pucat dan penuh peluh. Keadaan itu sempat bertahan untuk beberapa saat, sampai akhirnya Mahluk itu pun mengatakan sesuatu.
“AKU LAN BRAYATKU, WES DIKON MANJING NENG KENE”.

(AKU DAN ORANG-ORANGKU, SUDAH DI MINTA UNTUK MENETAP DISINI SELAMANYA). Kata makhluk itu dengan parau, yang kemudian di tanggapi oleh Mbah Untung secara lembut dan santun.
Kurang lebih dalam mediasi itu, beberapa kali Mbah Untung mencoba menekankan dan mempertanyakan, apa hak ‘Kalian’ (para lelembut) menguasai tempat ini. Namun jawaban dari makhluk itu, selalu sama dan kembali lagi pada apa yang dikatakannya saat awal pembicaraan, yaitu “Aku dan-
-orang-orangku, sudah diminta untuk menetap di sini selamanya”.

Yang mana itu menjelaskan, bahwa telah ada ‘Manusia’ yang menyuruh ‘mereka’ (para lelembut itu), untuk berada dan menetap di rumah ini.
“Iki sing ngongkon kowe!?”.

(Orang ini yang menyuruhmu!?). Kata Mbah Untung, sambil menarik Pak Lurah dengan tiba-tiba, yang mana sebelum makhluk itu menjawabnya, Mbah Untung pun kembali berkata.
“Iki sing duwe omah lho, nek dudu piantun iki sing ngongkon kowe manggon ning kene, berarti kowe karo kanca-kancamu ora ono hak ono ning kene”.

(Ini yang punya rumah lho, dan kalau ‘bukan’ beliau ini yg menyuruh, berarti kamu dan teman-temanmu, tidak mempunyai hak untuk berada-
-disini). Kata Mbah Untung masih dengan nada yang lembut.

Sampai akhirnya, masih dengan cara lembut pula, Mbah Untung pun memberi dua penawaran kepada si Bahurekso, yaitu ia akan mengusirnya secara paksa, atau ‘mereka’ (para lelembut itu) pergi secara suka rela.
Makhluk itu, tak menolak dan mau pergi dari tempat ini, namun dengan satu syarat, yaitu harus diantar kembali satu per satu ke tempat asalnya (tanah makam di mana para lelembut itu berasal).
Lagi-lagi Mbah Untung menggelengkan kepalanya, & kembali menjelaskan kepada makhluk bebal itu.

“Lawong kene wae ra rumongso ngundang kowe mrene kok, sing wajib mbok jaluki pertanggung jawaban kui yo, menungso sing gowo kowe mrene!!”.

(Lawong kami saja tidak merasa mengundang-
-kamu kemari kok, yang wajib kamu pintai pertanggung jawaban itu ya, manusia yang membawamu kemari!!). Tukas Mbah Untung yang tampak mulai kehabisan kesabarannya.
“Wes ngene wae, intine kowe-kowe kabeh kudu lunga saiki, balio sik ning wong sing gowo kowe rene, iki kesempatan terakhir, nek kowe tetep angel, liwat asmane Gusti Pangeran, kowe tetep tak pekso lunga, nek perlu yo tak obong”.

(Sudah begini sj, intinya kalian semua harus pergi-
-saat ini juga, pulanglah terlebih dahulu kepada manusia yang mengirimkanmu kesini, tapi kalau memang tidak mau, atas nama Tuhan Yang maha kuasa, kamu akan paksa pergi, atau kalau perlu saya bakar!!). Kata Mbah Untung sembari mengangkat kembali bilah kerisnya.
Sepertinya cara Mbah Untung kali ini bekerja dengan baik, itu semua nampak ketika makhluk itu perlahan menghilang dari hadapan mereka dan disusul beberapa saat kemudian oleh suara riuh bising, dan kelebatan-kelebatan putih yang berlalu terbang ke atas.
Mbah Suyuti, Mbah Untung, Pak Lurah dan Mas Angga, kini saling merapat sembari menatap ke atas pada suasana yang tidak bisa dijelaskan. Kabut pun datang dan bertahan untuk beberapa saat, sampai akhirnya menghilang bersamaan dengan mereka yang kini secara tidak masuk akal, sudah-
-berdiri di lantai ruang tamu.

“Allhamdulilah..”. Ucap Mbah Untung sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, yang setelah itu diikuti juga oleh Mbah Suyuti, Pak Lurah dan Mas Angga dengan ekspresi gugupnya masing-masing.

Bersambung ke Bab. 11.
Lemah Kuburan Bab 10. Selesai disini, terimakasih sudah mengikuti hingga Part ini, sampai jumpa di bagian selanjutnya 🙏.
Buat temen-temen yang pengen buru-buru tahu lanjutannya, bisa langsung mampir ke @karyakarsa_id ya, berikut Linknya :

Bab 11. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bab 12. karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with gil

gil Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @AgilRSapoetra

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(