Restu Wiraatmadja Profile picture
Apr 26, 2023 326 tweets >60 min read Read on X
Ngunduh Jiwo (12)
-Tamat-

"Isteriku jadi korban pesugihan perias pengantin."

@bacahorror #pesugihan #ceritaserem #ngunduhjiwo #malamjumat #serem Image
''Dendam dan ambisi''

Desa Tejo Kromo
(Flash back. 1 hari setelah kematian Rahayu)
Langkah dari seorang pria menerobos masuk ke dalam rumah yang sangat besar bak istana yang berdiri di tengah-tengah desa.
Entah dari mana informasi yang dia dapatkan, namun, sebelum itu dirinya sudah mengambil sebuah benda penting yang menjadi sebuah media penyebab dari kematian orang yang sangat dicintainya.
‘’Jika perias pengantin itu benar, maka, orang itu berada di sekitaran kamar ini.’’
Somantri memasuki sebuah kamar yang disinyalir sebagai tempat dari persembunyian orang yang telah melakukan kejahatan sebesar ini.
Saat dimana dirinya memasuki kamar, tersebut, tubuhnya tidak berhenti bergetar. Di hadapannya, sudah ada seseorang yang belum dia ketahui sebelumnya.
Tatapan Somantri sangat kesal tatkala seorang pria tua dengan tubuh yang sudah benar-benar di ambang kematian sedang menatap cermin pengantin.
‘’Bagaimana? Sudahkah kau puas dengan melakukan apa yang kau inginkan?” Tanya Somantri terhadap pria tersebut
Pria tua itu tidak mengatakan apapun. Dia hanya bisa menatap Somantri dengan penuh iba. Baru kali ini, semua yang direncanakannya benar-benar digagalkan oleh orang yang memiliki dendam layaknya letusan gunung berapi.
‘’Siapa, kau?’’
‘’Aku adalah orang yang akan menjadi tuanmu, kelak. Kau harus tunduk kepadaku.’’
‘’Apa untungnya aku menjadi budak dari orang yang bahkan lebih rendah kedudukannya dariku?’’
Tak ada kalimat yang dikeluarkan Somantri saat itu. Dia sudah benar-benar tidak bisa menahan dirinya lagi. Padahal, dirinya sedang berusaha untuk membalaskan kejahatan yang selama ini menjadi ketakutannya.
‘’Malam ini, aku rasa, semuanya harus diselesaikan.’’
‘’Sebelum kau mengatakan hal itu, cobalah mengaca terlebih dahulu. Kau hanyalah manusia biasa. Kau bahkan tidak bisa melakukan apapun untuk menundukkanku.’’
Somantri tersenyum. Ia bahkan tidak menyangka jika musuhnya sangat lihai untuk mematahkan mental dan menjatuhkan semua semangatnya.
‘’Kau tahu? Kematian Rahayu menyisakan jejak. Jejak itu adalah kelemahan dari apa yang selama ini kau punya.’’
Somantri kemudian menunjukkan sebuah sisir. Ia tahu, jika sisir yang dipegangnya sekarang bukanlah sisir biasa. Sisir itu adalah penyebab Rahayu meninggal dunia dengan cara yang mengenaskan.
‘’Jika aku patahkan, apa yang terjadi?”
‘’A—apa yang akan kau lakukan! Jangan kau patahkan!’’
Perlahan, somantri mengangkat sisir itu ke bagian atas dengan tangan kanannya. Ia kemudian menjatuhkannya dan menginjak-injak sisir tersebut.
Tidak berselang lama, pria tua yang ada di hadapannya merasa seperti kesakitan. Dadanya seperti diinjak-injak hingga mengeluarkan darah dari mulutnya.
‘’Hen—hentikan!’’
‘’Haha! Aku tahu! Ini bukan sisir biasa.’’
‘’Ba—baiklah! Aku akan menjadi budakmu!”
Somantri pun menghentikan itu. Jiwa seorang penjahatnya naik begitu drastis. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan kebencian.
‘’Si—siapa namamu, anak muda?”
‘’Perlukah aku menyebutkan namaku?’’
‘’Benar. Seorang budak harus mengetahui nama tuannya. Begitu pun sebaliknya. Aku ingin mengetahui nama tuanku yang sebenarnya.’’
Somantri hanya tersenyum. Kali ini, usahanya benar-benar tidak sia-sia. Ia bahkan tidak menyangka jika hatinya dipenuhi dengan kegembiraan karena mampu menundukkan orang yang telah membunuh calon isterinya.
‘’Namaku adalah Somantri.’’
Pria tua itu membalikkan badan. Seolah kematiannya sudah dekat, dia mencoba untuk bangkit dari tempat duduknya.

Dia berjalan dengan sangat pelan. Tubuhnya yang selama ini menjadi nyawa bagi kehidupan orang-orang yang memujanya, sekarang, sudah berada di batas mautnya.
‘’Ingat, mantri. Yang memiliki dendam bukan dirimu saja. Ada orang lain yang pernah merasakan sakit yang tidak bisa terobati sehingga dia melakukan hal yang sama sepertimu. Kita semua akan mati di tangan demit itu.’’
Pria tua itu memegang pundak Somantri. Lalu, dia mencengkramnya dengan sangat kuat. Somantri sendiri sampai merasakan kesakitan. Urat-uratnya seperti ditarik dengan keras. Bahkan, dia tidak menyadari bahwa selama ini, dia sudah masuk ke dalam perangkap yang salah.
‘’Ngunduh Jiwo tidak akan bisa dihentikan kecuali calon pengantin mematahkan tiga sisir tersebut dan menancapkannya ke tiap liang lahat tiap-tiap korbannya.’’
Semakin dicengkram, tubuh Somantri semakin kesakitan. Suhu badannya tiba-tiba berubah drastis. Mata Somantri memerah seketika. Dia tidak bisa menahan lebih dalam lagi akan kesakitan yang luar biasa.
‘’Lepaskan! Lepaskan!’’
‘’Kau tahu? Selama ini, aku mencari para pengantin dengan menggerakkan isteri dan anakku. Lalu, aku juga memanfaatkan perias pengantin yang merupakan orang yang sudah aku ajarkan untuk menumbalkan para korban.’’
Fakta demi fakta mulai terungkap. Ternyata, orang-orang seperti Bunda Melati dan yang lainnya adalah orang-orang yang dijadikan sebagai penggerak untuk ngunduh jiwonya.
Dan rumor terkait dengan keberadaan dari Pak Pranomo yang disembunyikan ternyata benar adanya. Itu menandakan, jika ngunduh jiwo dilakukan di tempat yang tertutup.
‘’Ini adalah sebuah ruangan yang dipergunakan untuk menumbalkan para wanita yang akan dijadikan wadah dari demit manten.’’
Ruangan itu sangat luas. Didesain seperti layaknya ruangan yang dipergunakan untuk tempat pertemuan.

Tidak heran, jika tempat sebesar ini hanya diperuntukkan sebagai tempat untuik melakukan ritual ngunduh jiwo yang dilakukan oleh Pak Pranomo.
Somantri tidak mau mengalah. Dia berusaha untuk mengambil sisir yang merupakan kunci utama untuk bisa menundukkan Pak Pranomo.
Kedua tangan Somantri sudah siap untuk menekan dengan kencang sisir tersebut agar patah, akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya.
Tiba-tiba, bulu kuduk mereka mendadak merinding. Tangan mereka langsung lumpuh dan tidak bisa digerakkan mana kala mereka merasa ada sesuatu yang hadir di sekitar ruangan tersebut.
Hingga mereka, ketakutan mereka berdua benar-benar tercipta. Keduanya terdiam layaknya batu tatkala tepat di belakang mereka sudah berdiri sosok demit manten yang sedang menyaksikan pertikaian keduanya.
Perlahan, sosok tersebut mengambil sebuah sisir yang berada di tangan Somantri. Ia kemudian berjalan ke arah cermin sembari melepaskan sanggul di rambutnya.
Seperti halnya seorang wanita biasa, sosok tersebut tersenyum ke arah cermin tersebut sembari merapihkan rambutnya bekas sanggulannya.

Keduanya benar-benar terdiam dan tidak bisa bergerak sama sekali. Bahkan, tubuh dari Pak Pranomo tidak bisa menahan hal tersebut.
Ia kemudian terjatuh dengan mulut yang sudah sudah berbusa. Sedangkan Somantri, ia bahkan masih menyadari jika sosok demit tersebut adalah masih betah dengan tindakan anehnya yang sedang menyisiri rambut.
Perlahan, sosok yang ada di hadapannya mendadak berubah menjadi soerang wanita yang dikenalinya.
‘’Rahayu?’’
Wanita yang memiliki wajah simetris dan berparas cantik itu tersenyum saat Somantri memanggil namanya. Akan tetapi, keniscayaan yang tidak berbalik terhadap apa yang dipikirkan oleh Somantri benar-benar terjadi.
Wanita itu hanyalah khayalan. Wajahnya seketika berubah wujud menjadi sesosok pengantin dengan rupa yang sangat mengerikan.
‘’Rahayu?’’
Sosok tersebut sedang memakani bunga melati yang sudah berada di dekat cermin. Perlahan-lahan, ia memakannya dengan wajah yang menyeringai ke arah Somantri.
Setelah selesai, sosok pengantin itu beranjak bangkit. Ia kemudian meninggalkan Somantri dan menjatuhkan sisirnya tepat di dekat cermin tempat dimana dirinya terduduk.
Somantri tidak percaya jika wanita yang dicintainya benar-benar telah dijadikan sebagai wadah dari demit manten yang merupakan ingon-ingonan (Peliharaan) dari Pak Pranomo beserta dengan perias pengantin yang menjadi rekan kinerjanya.
Hari itu, somantri telah merencanakan sesuatu. Dia berencana untuk mengikat demit manten agar semua yang terjadi tatkala bulan pengantin tiba, dia sendirilah yang menjadi kendali sepenuhnya.
Namun, dia hanya ingin melakukan hal tersebut dengan cara menjadikan Pak Pranomo sebagai budak dan bawahannya.
Dengan begitu, ngunduh jiwo yang dilakukan oleh Keluarga Pak Pranomo dan para penggeraknya adalah kehendak dari Somantri yang sengaja ingin memanipulasi semua kejadian agar dirinya bisa membalaskan dendam kesumatnya terhadap Keluarga Pak Pranomo dan para penggerak ngunduh jiwo.
Somantri segera bergerak cepat. Dia kemudian mengambil sisir yang disinyalir sebagai media untuk mengendalikan si sosok demit manten tersebut.
Lalu, dia menuju ke tempat pemakaman Rahayu untuk menggali kuburannya dan mengambil tali pocong yang tertimbun di dalamnya.
Sembari membawa cangkul, somantri menuju ke tempat pemakaman Rahayu yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan lokasi dari rumah Mbah Sur, orang tua dari Rahayu sendiri.
Sesampainya di pemakaman, somantri langsung menggali kuburan Rahayu dan terus menerus meyakinkan kepada dirinya bahwa hal yang sedang dilakukannya adalah demi kebahagiaannya sendiri.
Somantri terus menggali tiap tanah yang masih basah itu. Tidak terasa, air matanya menetes saat sudah berada di pertengahan penggalian.

Dia berteriak kencang sebagai bentuk kekecewaannya terhadap dunia yang tidak memihak akan jalan hidupnya.
‘’Bajing*an kalian semua para manusia! Bajing*an kalian semua yang memiliki kedigdayaan dan kekuatan yang berlimpah! Kalian telah seenaknya mengatur kehidupan dan kematian seseorang.
Lihat dan dengarkanlah! Aku Somantri! Akan membalaskan dendam kepada orang-orang yang telah merenggut kebahagiaan orang yang aku cintai!’’
‘’Prak! Prak!”
Somantri dengan brutalnya melemparkan papan tersebut dan menangisi wanita yang sudah menjadi mayit serta menjadi wadah dari demit manten, ingonan dari Keluarga Pak Pranomo.
Setelah dirinya tenang, somantri mengecup dahi mayit tersebut dan mengatakan sesuatu dengan membisiki telinga mayit yang tidak bernyawa itu.
‘’Mari kita balaskan dendam mereka, sayang. Ibumu juga adalah orang yang menyerahkan tubuh cantikmu kepada Keluarga Iblis tersebut. Suatu saat nanti, aku akan bebaskan dirimu untuk membalaskan dendam kepada orang-orang yang sudah membuatmu menderita sepenuhnya.’’
Somantri segera mengambil tali pocong Rahayu dan kemudian merapihkan kembali semuanya agar rencana dan tujuannya benar-benar berjalan sesuai dugaannya.
‘’Ingatlah, kalian. Bulan pengantin akan tetap berjalan, namun, tepat dimana korban yang aku pilih, dia sendirilah yang akan menjadi jembatan bagi dendam kesumatku!’’
Desa Tejo Kromo,
(Hari setelah kematian Pak Wikto dan Mbah Sur)
Senja di langit desa tejo kromo sesaat menggambarkan sesuatu yang membingungkan.
Seakan-akan ingin terjadi sesuatu yang tidak bisa diperhitungkan lagi kedatangannya, saat itu, banyak yang warga berbondong-bondong untuk keluar dari rumahnya masing-masing.
Mereka mendengar secara terus menerus suara burung gagak yang memberikan ucapan selamat datang terhadap para jenazah yang entah kapan dan waktunya akan tiba.
Ibu Sumi melihat keanehan itu dari balik jendela rumah. Ia kemudian sejenak untuk mengetahui lebih jelas terkait warna langit yang sangat aneh untuk dipandang.
‘’Mega merah ini memiliki warna layaknya darah.’’
Pak Sumardi yang melihat sang isteri sudah berada di luar rumah, ia pun menghampiri isterinya sembari menanyakan sesuatu kepadanya,
‘’Ada apa, bu?’’
‘’Lihat, pak. Langitnya berwarna aneh.’’
‘’Orang dulu bilang, jika langit ini memiliki warna seperti layaknya darah, itu berarti, akan ada pembantaian besar-besaran.’’
‘’Aku harus menemui Somantri.’’
‘’Somantri? Dimana?’’
‘’Aku tidak tahu dia dimana sekarang. Tapi, yang ingin aku tanyakan adalah terkait dengan pengantin selanjutnya yang akan dinikahi oleh Bagus. Mengapa pestanya belum ada?’’
Pak Sumardi baru menyadari akan hal tersebut. Pesta pernikahan yang seharusnya jatuh tepat di bulan pengantin ini sepertinya tertunda. Apakah tertundanya pesta pernikahan antara Bagus dan calon pengantin selanjutnya dikarenakan kematian dari Pak Wikto?
Jika memang demikian itu terjadi, maka, kematian dari Pak Wikto adalah salah satu pengecoh untuk menjadikan acara pernikahan tersebut sebagai panggung utama yang menjadikan semua ritual yang direncanakan oleh Bunda Melati berjalan dengan lancar.
‘’Hanya ada satu orang yang bisa menjawabnya.’’ Jelas Pak Sumardi
‘’Siapa, pak?’’
‘’Mbah Sur.’’
Lanjut Rabu Misteri dulu ya.
Pak Sumardi tahu, jika Mbah Sur adalah orang yang masih memiliki hubungan terdekat dengan Somantri. Dia berencana untuk menemui Mbah Sur dengan tujuan menanyakan keberadaan dari Somantri.
Menurut keduanya, somantri adalah kunci dari ngunduh jiwo. Dilihat dari pengakuan Jeka, somantri adalah orang yang melakukan pembunuhan di balik ini.
Itu berarti, somantri telah mengambil kendali dari apa yang selama ini dipikirkan orang-orang terkait dengan kemunculan demit manten.
‘’Jika Somantri melakukan ini? Lalu, apa tujuannya dia membunuh Pak Wikto?’’ Tanya Ibu Sumi
‘’Aku yakin, kita semua tidak mengetahui terkait dengan perbedaan antara domba dan serigala dalam kehidupan manusia.’’
‘’Apa jangan-jangan, somantri adalah orang yang memang menjadi suruhan dari Bunda Melati?”
‘’Lalu? Siapa yang membunuh Rahayu?’’
‘’Entahlah. Kita tidak tahu, siapa yang berperan untuk memegang demit manten itu sendiri. Namun, jika pikiranku benar, ada banyak kendali dalam satu nahkoda.’’
Sangat sulit untuk dipercaya dengan peran Somantri dalam hal ini. Pak Sumardi dan Ibu Sumi juga masih meragukan dengan Somantri.

Entah mengapa, keraguannya begitu kuat tatkala Jeka menyebutkan jika pelaku dalam kematian dari Pak Wikto sendiri adalah Somantri.
Jika memang demikian adanya, maka, somantri masih memiliki hubungan antara dirinya dengan Bunda Melati. Namun, jika Somantri masih memiliki hubungan antara dirinya dengan Bunda Melati, mengapa Rahayu terbunuh dan dijadikan tumbal dari ngunduh jiwo?
‘’Somantri satu-satunya kunci untuk penyelesaian ngunduh jiwo. Jika memang dirinya adalah orang yang mengendalikan semuanya terkait dengan demit manten, maka, dia juga sudah tahu siapa pelaku yang sebenarnya yang sengaja disembunyika dari orang-orang.’’
Ibu Sumi sangat yakin jika Somantri adalah satu-satunya orang yang mengetahui lebih dalam terkait dengan ngunduh jiwo. Itu berarti, dia juga mengetahui siapa pelaku dari orang yang berada di ngunduh jiwo tersebut.
Sore itu, mereka berdua memaksakan diri untuk pergi menuju ke rumah Mbah Sur. Mereka tidak memperdulikan keadaan yang sedang terjadi di kedua desa tepat di bulan pengantin tiba.
Ketakutan mereka bukanlah terhadap kematian yang nantinya akan merenggut nyawa mereka sendiri, akan tetapi, yang mereka takutkan adalah tatkala ritual itu terjadi, maka, semuanya akan sia-sia.
Sementara itu …
Somantri sudah berada di hadapan rumah Bi Imah. Dia sepertinya ingin memberikan sebuah kabar gembira terkait dengan apa yang selama ini dia lakukan.
‘’Dok! Dok! Dok!’’
‘’Dok! Dok! Dok!’’
‘’Dok! Dok! Dok!”
Tiga kali Somantri mengetuk pintu namun tidak ada jawaban sama sekali dari dalam rumah. Ia hanya tersenyum sembari menunggu pintu rumah tersebut terbuka.

Saat dimana Somantri ingin mengetuk pintu kembali, tiba-tiba, dia mendengar suara langkah kaki yang menuju ke arah pintu.
Tidak berselang lama, pintu pun terbuka. Somantri segera memberikan sapaan yang hangat tatkala Bi Imah membukakan pintu untuknya.
‘’Selamat sore, perias pengantin Keluarga Pranomo.’’
Bi Imah terkejut saat dirinya mengetahui jika orang yang sudah ada di hadapan rumahnya adalah orang yang selama ini menjadi topik pembicaraan dalam Keluarga Pranomo itu sendiri.
‘’Mau apa kau kemari, mantri?”
‘’Aku tahu, kau membocorkan rahasiaku.’’
‘’Maksudmu?”
‘’Apakah Bunda Melati sudah memberikanmu perintah?’’
Bi Imah tidak bisa berkata apa-apa. Ia bahkan tidak tahu menahu soal pembahasan yang sedang ditanyakan oleh Somantri kepadanya.
‘’Aku tidak mengerti maksudmu, mantri. Aku tidak membocorkan rahasia.’’
‘’Benar, kah? Lalu, mengapa aku merasa jika ritual ini diundur?’’
‘’Calon pengantin membatalkan pernikahannya.’’
‘’Dibatalkan?’’
‘’Ini semua karena kau! Kau yang memberitahu tentang hubungan terlarang antara Bagus dan juga Cici kepada wanita itu, kan?”
Somantri terdiam. Tidak berselanag lama, ia tertawa kegirangan seperti menikmati semua alur yang telah ia rangkai, lalu menjadi kenyataan dengan semua proses yang sempurna tanpa cacat sedikit pun.
‘’Apa yang kau tertawakan, mantri?’’
‘’Sesuai dengan dugaanku, ritualnya diundur.’’
‘’Apa maksudmu? Apakah kau sengaja merencanakan ini semua agar ngunduh jiwo benar-benar menjadi gagal? Atau ada hal lain yang kau sembunyikan?’’
Somantri menatap tajam ke arah Bi Imah. Ia tidak menyadari jika orang selayaknya Bi Imah sedang memposisikan dirinya sebagai korban.
Seharusnya, bi imah menerima segala bentuk karma yang sudah dia lakukan selama menjadikan para wanita sebagai korban dari ngunduh jiwo itu sendiri.
‘’Kau tahu? Aku sangat membenci Bunda Melati terutama pria yang bernama Bagus. Namun, aku tidak pernah membenci terhadap dengan ayahnya.’’
‘A—apa maksudmu?”
‘’Kematian dari Kusumawati, ibu neni, wikto dan juga Mbah Sur. Semuanya adalah atas kendaliku sendiri.’’
Deg! Bi Imah terkejut mendengar hal tersebut. Dia bahkan tidak mengetahui, bagaimana bisa Somantri mengendalikan semuanya.
‘’Ba—bagaimana bisa?”
‘’Aku tahu siapa pelaku di balik ngunduh jiwo ini.’’
Bi Imah langsung teringat dengan seseorang yang selama ini dijadikan sebagai alat utama atas ngunduh jiwo itu sendiri. Dia adalah Pak Pranomo.
Orang yang selama ini sengaja disembunyikan oleh Keluarga Melati karena dirinyalah orang yang berada di balik ngunduh jiwo itu sendiri. Akan tetapi, bagaimana bisa Somantri mengendalikan itu semua?
Somantri pun mengeluarkan satu persatu tali pocong yang sudah dia ambil dari tiap masing-masing kuburan dari yang selama ini dia bunuh kecuali tali pocong milik Pak Wikto. Tali pocong tersebut sedang berada di tangan Jeka.
‘’Seorang pria tua yang bahkan tidak bisa bergerak sedikit pun harus benar-benar aku paksa untuk mengetahui bagaimana caranya menjadi tuan dari apa yang selama ini dilakukannya.’’
‘’Jangan bilang, kau sengaja melakukan ini demi kepentingan tertentu?’’
Bi Imah adalah orang yang menjadi suruhan dari Bunda Melati untuk menyampaikan terkait dengan orang yang nantinya akan ditumbalkan sesuai dengan arahannya.
Bi Imah biasanya akan menuju ke kamar Pak Pranomo untuk memberitahu para korbannya.
Namun ternyata, pak pranomo sendiri sudah disetir oleh Somantri tatkala dirinya memberikan ancaman kepada Pak Pranomo dengan cara yang mengerikan.
‘’Kala itu, aku hanya memiliki kenekatan. Awalnya aku ingin membunuh Melati dan juga anaknya. Namun, aku melihat ada sebuah kamar yang sangat mencurigakan.’’
‘’Kapan kau melakukan hal itu?’’
‘’Tepat setelah 1 hari kematian Rahayu. Aku sudah mengira jika pelakunya adalah Bunda Melati. Akan tetap, pelaku sebenarnya dari ngunduh jiwo itu sendiri adalah Pak Pranomo. Dia sengaja disembunyikan agar tatkala bulan pengantin tiba, ngunduh jiwo akan dilaksanakan.’’
Tidak disangka, jika apa yang dilakukan oleh Somantri adalah sesuatu yang berada di luar nalar.
Bahkan, pandangan Bi Imah sendiri menjadi berbeda dengan pria yang sudah ada di hadapannya itu.
‘’K—au gila! Apa rencanamu?”
‘’Rencanaku? Aku tidak memiliki rencana apapun. Akan tetapi, aku akan menghubungi dua orang yang bertugas memandikan jenazah agar kelak mereka mau memandikan para penggerak ngunduh jiwo sekaligus pelaku dari ngunduh jiwo itu sendiri.’’
‘’Maksudmu?”
Somantri meminta kepada Bi Imah untuk mendekati telinganya. Ia kemudian mengatakan sesuatu yang sangat mengerikan di telinga Bi Imah,
‘’Aku akan membebaskan demit manten. Kelak, dia akan mencari para penggerak ngunduh jiwo lengkap dengan pelakunya. Apakah kau siap untuk melihat kemarahan sosok demit manten tersebut?’’
Bruk! Bi Imah segera mendorong tubuh Somantri hingga dirinya terjatuh. Akan tetapi, somantri justru tertawa kegirangan dengan dampak yang diterimanya setelah memberitahu hal tersebut kepada Bi Imah.
‘’Bajing*an kau, mantri! Ternyata, selama ini kau memanipulasi semuanya! Kau sengaja kan turut campur dalam ngunduh jiwo agar mengambil momen ini?’’
‘’Momen?’’
‘’Kau sengaja kan mengendalikan pengantin selanjutnya agar tidak menjadi korban dari ngunduh jiwo lalu kau jadikan dia sebagai jembatan untuk dendam kesumatmu?”
Somantri menepuk tangan berkali-kali. Ia tidak menyangka jika Bi Imah sudah mengetahui rencana sesungguhnya yang sudah dia rencanakan tepat setelah kematian dari Rahayu.
Perlahan, bi imah juga tidak mau kalah. Ia tersenyum lebar ke arah Somantri karena dirinya bukanlah orang lemah seperti yang ada di dalam benak pikiran Somantri.
‘’Lakukan dan lampiaskan dendammu, mantri. Aku akan melakukan apapun demi membatalkan rencana busukmu itu. Dan wanita yang memandikan jenazah itu, aku sudah mengikatnya.’’
Namun, somantri tidaklah lemah. Dia juga sudah mengetahui langkah selanjutnya yang akan dilakukan oleh Bi Imah.
‘’Aku tahu pikiranmu sedang mengarah kemana. Aku tidak peduli dengan rencanamu. Yang pasti, aku tidak akan biarkan kau menyentuh Dini!’’
Somantri pun meninggalkan rumah Bi Imah. Lalu, ia mengarahkan perjalanannya menuju rumah yang nantinya akan dijadikan jembatan dari dendam kesumatnya, Dini!
Singkatnya, somantri telah berada di sebuah rumah yang menjadi sebuah kunci untuk menghentikan ngunduh jiwo.
Rumah itu adalah milik seorang pengantin wanita yang gagal menikah dengan Bagus, anak dari Bunda Melati dan Pak Pranomo.
‘’Dok! Dok! Dok!’’
Tidak berselang lama, pintu terbuka. Seorang wanita yang penampilannya sudah tidak terawat keluar sembari membawa sebilah pisau di tangannya.
‘’Ma—au apa kau datang kemari lagi?’’
Somantri mengangkat kedua tangannya. Ia berharap, sebilah pisau tajam itu tidak menusuk perutnya.
‘’Pergi! Jangan ganggu keluarga kami lagi!’’
‘’Tunggu. Tahan emosimu.’’
‘’Kau dan mereka semua tidak ada bedanya. Biarkan keluarga kami bebas dan berdamai dari rongrongan orang-orang berjubah munafik!’’
Lagi-lagi, somantri benar-benar ahli dalam bersilat lidah. Ia berusaha untuk meyakinkan kepada Dini agar dirinya mau mendatanginya ke rumah Mbah Sur.
‘’Aku tahu, emosimu meledak saat mengetahui itu semua. Tapi tenanglah. Aku membawakan sebuah kabar gembira untukmu.’’
‘’Apa maksudmu?’’
Somantri segera memberikan sebuah kertas putih yang bertuliskan sebuah alamat yang menjadi lokasi pemakaman dari orang-orang yang dikenai Ngunduh Jiwo di Desa Wongso.
‘’Besok malam, datanglah ke pemakaman itu.’’
Dini memegangi kertas itu. Tidak sampai di situ, somantri akhirnya membuka sebuah rahasia yang saat ini menjadi kunci utamanya.
‘’Kau ingin tahu? Keluarga Pranomo tidak akan membiarkan orang yang menggagalkan ritual ngunduh jiwo untuk hidup dalam ketenangan.’’
‘’Apa maksudmu?”
‘’Sekarang kau memilih, ikut denganku atau semua keluargamu akan menjadi korban dari Keluarga Pranomo. Mereka sedang merencanakan sesuatu untuk membungkam keluargamu dari Ngunduh Jiwo.’’
‘’Ngunduh Jiwo?’’
‘’Ritual penumbalan para pengantin di bulan pengantin.’’
Dini akhirnya menyebutkan keinginannya tatkala Somantri membeberkan sesuatu yang belum dia ketahui sebelumnya.
‘’Aku hanya ingin satu hal.’’
‘’Sebutkan keinginanmu.’’
‘’Aku ingin mereka berdua menderita.’’
Somantri tersenyum. Dia tahu, dua orang yang dimaksud oleh Dini adalah Bagus dan Cici. Sama halnya seperti Somantri, dia juga membenci dua orang tersebut.
‘’Mimpi dan keinginan kita sama. Besok malam, kita akan menjadikan mereka semua menderita.’’
‘’Lalu? Bagaimana dengan benda itu?’’
Benda yang dimaksud adalah tiga sisir perias pengantin yang disinyalir sebagai media dari pelaku ngunduh jiwo.
‘’Patahkan dan tancapkan tepat di makam Rahayu. Sisanya, berikan kepadaku.’’
Dini pun mengambil dua sisir yang menjadi benda keinginan dari Somantri. Entah apa tujuannya, namun, somantri sendiri sangat lihai dalam mengatur rencana.
Tidak berselang lama, dini membawa dua sisir perias pengantin yang berwarna kuning keemasan. Dua sisir itu diserahkan kepada Somantri dengan cuma-cuma.
‘’Ikuti perintahku. Tancapkan di kuburan Rahayu. Dan ini, kaitkan ini di sisirnya.’’
Somantri menyerahkan sebuah tali usang yang digunakan untuk mengikat Rahayu. Namun, untuk kembali membebaskannya, dini harus mengaitkan tali tersebut di sisir yang sudah dipatahkan.
Dini mengangguk paham. Ia mengikuti semua arahan Somantri demi mewujudkan keinginannya.
Karena di rasa sudah tidak ada lagi pembahasan, Somantri pun pamit undur diri.ia mengunkapkan kepada Dini akan ada hal lain yang ingin dilakukannya yaitu memastikan jika keadaan mala mini benar-benar aman sesuai dugaannya.
Sementara itu …
Pak Sumardi dan Ibu Sumi sudah tiba di Desa Wongso. Tapi, mereka berdua merasa ada yang aneh dengan keadaan desa yang mendadak sangat sunyi.
Walaupun memang sejatinya Desa Wongso itu sunyi, kesunyiannya tidak seperti saat mereka berdua tiba di desa ini.
‘’Pak … ‘’
‘’Desanya benar-benar seperti Desa Mati, bu.’’
‘’Apakah ini akibat bulan pengantin yang membuat para warga ketakutan?”
Tapi, mereka semua tidak begitu menyadari bahwa di Desa Wongso sendiri, ketika ada salah satu warganya meninggal dunia, mereka akan menutup semua kegiatannya di malam hari.
Mereka percaya, semenjak kematian Rahayu, terror dan ketakutannya benar-benar dirasakan oleh para warga.

Pak Sumardi dan Ibu Sumi berjalan ke arah rumah Mbah Sur. Mereka ingin mengetahui kabar selanjutnya dari ngunduh jiwo yang belum sepenuhnya diketahui.
Setibanya di rumah Mbah Sur, pak sumardi dan Ibu Sumi terkejut karena rumah dari Mbah Sur benar-benar sunyi. Mereka berdua tidak merasakan tanda-tanda kehadiran Mbah Sur di rumah tersebut.
Pak Sumardi dan Ibu Sumi mengetuk pintu beberapa kali. Namun, mereka tidak mendapati jawaban dari dalam rumah tersebut.
‘’Pak? Apakah Mbah Sur sudah pindah?’’
Mereka berdua mengecek ke seluruh bagian rumah dari luaran. Dimulai dari bagian samping, belakang hingga mereka berusaha untuk mencari jalan masuk agar bisa memasuki rumah Mbah Sur.
Namun, tetap saja. Rumah itu seperti tidak berpenghuni. Tidak ada suara, lampu rumah benar-benar padam, dan yang mereka dapatkan hanya kesunyian dari rumah tersebut.
Ibu Sumi dan Pak Sumardi tidak menyerah. Ia bahkan rela menunggu di depan rumah Mbah Sur untuk mengetahui keadaan Mbah Sur yang sebenarnya.
Setengah jam berlalu, mereka masih menunggu kehadiran Mbah Sur. Keduanya benar-benar sangat membutuhkan Mbah Sur untuk mengetahui penyelesaian dari ngunduh jiwo darinya.
Dari kejauhan, tampak seorang pria berjalan menuju ke arah rumah Mbah Sur. Pak Sumardi dan Ibu Sumi beranjak bangkit dari duduknya.
Sekilas, mereka berdua mengenali cara langkah kaki yang sangat familiar itu. Belum lagi, perawakan tubuhnya mirip seperti seseorang yang dia kenali.
‘’Apakah itu Somantri?’’ Tanya Ibu Sumi
Setelah pria itu mendekat lebih jauh, ibu sumi dan Pak Sumardi baru bisa melihat wajah asli dari pria tersebut.
‘’Selamat malam, para pemandi jenazah.’’
‘’Tunggu, apa yang kau lakukan malam-malam begini di rumah Mbah Sur?” Tanya Ibu Sumi
‘’Seharusnya, pertanyaan itu aku arahkan kepada kalian berdua. Apa yang kalian cari di rumah Mbah Sur. Kalian rela meninggalkan desa kalian hanya untuk menemuinya, kan?’’
Ibu Sumi dan Pak Sumardi saling memandang. Mereka berdua bahkan mengakui tujuan dari kedatangannya menuju Desa Wongso.
‘’Aku ingin menemui Mbah Sur. Ada yang ingin aku tanyakan tentang Ngunduh Jiwo.’’
‘’Kau bisa menanyakan itu kepadaku.’’ Ucap Somantri
‘’A—apa maksudmu?”
‘’Dia sudah wafat. Kematiannya bersamaan dengan seseorang yang berada di Tejo Kromo. Pasti kau mengenalinya, kan?’’
Deg! Mereka berdua kaget mendengar penuturan dari Somantri. Pernyataan yang sangat frontal itu sengaja Somantri berikan dengan tujuan mengajak kerja sama Ibu Sumi dan juga Pak Sumardi.
‘’Pak Wikto? Ba—bagaimana bisa?’’
‘’Aku pelakunya. Selama ini, kematian para wanita pengantin adalah ulahku.’’
‘’Kau pelaku ngunduh jiwo?”
‘’Bukan. Aku adalah orang yang mengendalikannya. Pelakunya adalah suami dari Bunda Melati. Dan yang lebih mengejutkan, bunda melati dan para kroconya adalah para penggerak dari Ngunduh Jiwo itu sendiri.’’
Seakan tidak percaya, ibu sumi langsung mundur beberapa langkah. Ia bahkan tidak kuasa menahan rasa kesal, emosi, sedih dan ketidak percayaannya akan semua yang sudah berjalan semestinya.
‘’Somantri? Apa tujuanmu melakukan itu?” Tanya Pak Sumardi
Somantri perlahan membalikkan badannya. Ia kemudian melihat warna langit dari Desa Wongso yang sangat indah jika di pandang dengan mata telanjang.
‘’Dulu, aku mempercayai bahwa cahaya kehidupan akan datang untuk menyinari para hati manusia yang gelap. Sekarang, aku justru membenci pandangan itu.’’
Dengan bangganya, somantri pun mengatakan pernyataannya kepada Pak Sumardi terkait dengan tujuan dan ambisinya saat ini.
‘’Aku mempercayai bahwa, kegelapan yang aku ciptakan, kelak akan melahirkan cahaya baru. Kau tahu, apa cahaya yang kumaksud?”
Pak Sumardi hanya terdiam. Tangannya sudah menggenggam kuat dan ingin ia layangkan bonggeman mentah itu tepat di wajah Somantri.
‘’Cahaya itu bernama … DENDAM!’’
Bruk! Somantri benar-benar mendapatkan bonggeman mentah dari Pak Sumardi. Dia tidak membayangkan akan berkelanjutan seperti ini.
Darah segar menodai bibir bagian kanan Somantri, ia bahkan tidak menyangka akan mendapatkan bonggeman mentah dari seorang pak tua seperti Pak Sumardi.
‘’Kau … ‘’ Ucap Pak Sumardi
‘’Kau telah sengaja mempermainkan kematian orang-orang hanya untuk mewujudkan dendammu.’’
Somantri tertawa. Dia bahkan tidak mengerti dengan pandangan dangkal yang dimiliki oleh Pak Sumardi.
‘’Lalu? Apa yang harus aku lakukan jika orang yang aku cintai juga dibunuh oleh orang-orang yang sama?’’
Dari cinta bisa melahirkan sebuah dendam. Kematian seseorang yang disebabkan oleh ambisi tertentu, mampu melukai orang yang ditinggalkannya.

Itulah yang ada di kepala Somantri sekarang. Ia bahkan tidak takut untuk mencipatkan nerakanya sendiri dan tercebur ke dalamnya.
Ia sudah bersiap untuk mengakhiri hidupnya dengan membunuh orang-orang yang terikat dan berhubungan atas kematian calon isterinya tersebut.
Ibu Sumi masih terdiam. Tatapannya menjadi kosong. Pantas saja, saat dimana dirinya mendapati sosok Rahayu, sosok itu minta dilepaskan.

Namun, ibu sumi masih belum mengerti, bagaimana caranya agar bisa melepaskan Rahayu hingga menemui kedamaiannya sendiri di alam lain.
Ibu Sumi kemudian bangkit dari duduknya. Ia meminta kepada Somantri untuk menyelesaikan ngunduh jiwo tersebut.
‘’Aku minta kepadamu, mantri. Selesaikan ngunduh jiwo ini. Bebaskan Rahayu. Aku tidak mengetahui sesakit apa hatimu saat ini. Namun, dendam yang kau ciptakan adalah sebuah lautan nestapa yang kelak akan memberikanmu penderitaan.’’
Memang benar. Apa yang dikatakan oleh Ibu Sumi benar-benar sesuai dengan fakta yang ada. Ia bahkan tidak habis pikir untuk memberikan sebuah penilaian terhadap seorang pria polos seperti Somantri yang ternyata adalah orang yang memiliki kendali penuh akan demit manten.
Sekali lagi, sebelum Pak Sumardi dan Ibu Sumi pamit, keduanya benar-benar sudah merasa lelah untuk menghadapi pria pendendam seperti Somantri.
‘’Ingat satu hal lagi, mantri. Tidak ada dendam yang melahirkan dendam. Rasa sakit akan melahirkan bentuk ketidak percayaan terhadap dunia dan seisinya.
Kita akan membenci orang-orang yang bahkan belum kita ketahui seperti apa sifat dan perilakunya. Namun, itu semua hanya dikhususkan bagi orang yang telah mati hati dan pikirannya.’’
Ibu Sumi dan Pak Sumardi pun meninggalkan Somantri seorang diri di rumah Mbah Sur. Keduanya sudah sangat lelah untuk kembali ikut campur dalam permasalahan yang sangat tidak masuk akal ini.
Somantri hanya bisa memaklumi hal itu. Dia bahkan tidak melarang kepada orang-orang yang berada di sekitarannya untuk membenci tindakan salahnya itu.
Kepergian Pak Sumardi dan Ibu Sumi merupakan sebuah awal dari dimulainya sebuah dendam yang sudah ia tanamkan sejak lama.
Di tempat Mbah Sur, somantri berusaha untuk menenangkan diri. Setelah kematian calon mertuanya itu, ia jadikan rumahnya sebagai tempat untuk bernaung.
Mau tidak mau, dia sendiri yang harus menjaga rumah tersebut untuk dijadikan sebagai tempat dimana dirinya akan melancarkan aksi dendam kesumatnya terhadap beberapa orang-
-yang belum mengalami nasib yang sama seperti kedua orang yang sudah lebih dulu meninggal dunia tepat di bulan pengantin.
‘’Wikto, mbah sur. Dua orang ini sudah ku amankan. Selanjutnya, perlahan aku akan habisi mereka semua.’’
Sekarang, rumah itu adalah markas bagi Somantri. Ia dengan tenangnya akan menjalani apa yang menjadi keinginannya.
Ia kemudian memasuki kamar dan mencoba untuk mengunjungi seluruh ruangan yang ada di rumah tersebut.

Tatkala Somantri sedang mengecek tiap kamar, dia terkejut saat mendapati kamar calon isterinya, rahayu, yang sudah berantakan.
Somantri berinisiatif untuk membereskan kamar isterinya dan merapihkan kembali semua yang berserakan di lantai. Akan tetapi, hal yang mengejutkan terjadi tatkala Somantri mendapati sebuah benda yang selama ini ia cari.
‘’Rahayu … Cincin ini.’’
Somantri menemukan cincin milik calon isterinya. Cincin itu adalah sebuah hadiah yang dia berikan kepada Rahayu tepat di hari ulang tahunnya.

Somantri saat itu sangat berharap, jika dirinya dapat menikahi Rahayu. Akan tetapi, justru yang terjadi malah sebaliknya.
Maut adalah sambutan pertama yang dirasakan oleh Rahayu. Dunia dan seisinya serasa hancur tatkala Somantri mengetahui hal itu.
Kini, ia hanya bisa menangisi seseorang yang sudah menjadi wadah bagi Keluarga Pranomo.
‘’Sabar, sayang. Besok, akan aku bebaskan dan aku persilahkan kepadamu untuk membalaskan dendam kepada mereka semua.’’
Babak Terakhir:
''Cinta dan fana''
Sejatinya, sebuah cinta tercipta dari sebuah rasa dan perasaan yang menjadi satu. Namun, jangan lupakan akan sebuah fana yang terkadang bisa menjadi sebuah pembatas di antara kedua pasangan itu sendiri.
Sama halnya seperti cinta orang-orang yang telah ditinggal oleh orang yang dicintainya, mereka berusaha penuh untuk bisa menciptakan kesadaran akan sebuah fana yang berdampingan dengan cinta.
Sore itu, jeka mengunjungi makam keluarganya. Dia benar-benar merasa kesepian. Tidak ada sesuatu yang dia bisa banggakan dalam hidup ini selain ingin bertemu dengan keluarganya seperti dulu.
‘’Ibu, mbak wati, bapak. Kalian bagaimana di sana? Apakah kalian baik-baik saja? Hari ini, aku masak bayam kesukaan Mbak Wati. Nanti sore, aku coba buat semur telur kesukaan Ibu. Malamnya, mungkin aku ingin memasak sayur sop kesukaan Bapak.’’
Begitulah kira-kira ungkapan hati yang ingin disampaikan oleh Jeka. Dia bahkan tidak tahu harus menceritakan apa untuk menghilangkan kesepian di dalam hidupnya.
Curahan hatinya hanya tertuju kepada hal-hal yang keluarganya sukai saja. Jeka sadar, dirinya tidak akan menemui lagi keluarganya di dunia dalam keadaan hidup normal seperti pada umumnya.
Namun, di lain sisi juga dia tidak ingin memberikan beban yang mampu membuat mereka semua menjadi tidak tenang.
‘’Jeka sudah bisa melakukan apapun sendiri. Jeka kangen kalian semua. Tiap hari, do’a Jeka hanya tertuju kepada kalian semua.’’
Jeka menaburi makam ketiganya dengan bunga khusus yang digunakan untuk menaburinya di pemakaman.

Lalu, ia beranjak bangkit dan perlahan pergi meninggalkan pemakaman. Di pertengahan perjalanan, jeka mendengar suara rintihan tangis.
Dia terdiam sejenak. Kedua kakinya langsung merasa merinding dan sekarang menyebar ke bagian tangan hingga lehernya.
‘’Tulung aku. Awakku esih dikrangkeng.’’
(Tolong aku. Tubuhku masih diikat)
Tidak berselang lama, kepalanya kejatuhan sebuah benda kecil berwarna putih dengan wangi yang sangat harum.
Jeka terkejut saat mendapati sebuah melati yang merupakan pertanda dari kehadiran dari sosok demit manten.
‘’Di—dia ada di sini?’’
Jeka kembali melangkahkan kakinya dan perlahan melawan rasa sakitnya. Akan tetapi, saat dimana dirinya hendak melewati sebuah makam baru yang masih basah, tiba-tiba, ada sebuah tangan yang memegang kaki Jeka.
‘’Arghhhh! Apa ini! Setan! Setan!”
Jeka berteriak ketakutan. Namun anehnya, tangan itu langsung menghilang. Jeka langsung menatap sekeliling pemakaman.
Lagi-lagi, dia mendengar suara rintihan tangis serta ucapan kalimat yang sangat membuatnya merinding ketakutan.
‘’Tulung aku. Awakku esih dikrangkeng.’’
(Tolong aku. Tubuhku masih diikat)
Jeka memegangi kepalanya. Ia harus tetap tenang dan tidak boleh untuk terbawa dalam suasana mengerikan itu.

Jeka pun segera membuka matanya kembali. Ia kemudian meninggalkan pemakaman tersebut dengan berlari kencang tanpa memikirkan resiko apa yang akan terjadi kepadanya.
Sesampainya di rumah, jeka segera mengunci semua pintu dan dia bersembunyi di balik kamarnya sendiri.
Namun, terror belum usai sampai di situ. Kali ini, jeka mendengar suara gedoran pintu dari kamar sebelahnya. Yang mana, kamar itu adalah kamar milik Ibunya sendiri.
Jeka menutupi diri dengan selimut. Dia bahkan tidak mengerti bagaimana bisa dirinya juga mendapatkan terror yang sama.
‘’Tak Lelo, lelo lelo ledung.’’
‘’Cep meneng ojo pijer nangis.’’
‘’Anakku sing apik rupane.’’
‘’Yen nangis ndak ilang apike.’’
Jeka ingat, suara itu biasanya digunakan oleh Ibunya untuk menidurinya saat kecil. Suara dan nadanya yang khas membuat Jeka meyakini jika sosok ibunya sedang berada di rumah untuk mencarinya.
Jeka menutupi kedua telingannya dengan tangan. Ia bahkan tidak ingin mendengar suara mengerikan yang nadanya sangat mirip seperti yang sering ibunya nyanyikan.
Akan tetapi, semakin Jeka menutupi telinganya, suara itu semakin kencang dan berdengung keras di telinganya.
‘’Tak Lelo, lelo lelo ledung.’’
‘’Cep meneng ojo pijer nangis.’’
‘’Anakku sing apik rupane.’’
‘’Yen nangis ndak ilang apike.’’
Jeka menutupi matanya. Ia menyadari, jika suara itu sekarang sudah berada di kamarnya.
Tiba-tiba, jeka terkejut saat selimutnya perlahan menurun seperti ada seseorang yang sedang menariknya.
Keringat dingin mulai bercucuran di leher Jeka. Bibirnya menggigil ketakutan. Dan perlahan, suara yang sama kembali terdengar.
‘’Tak Lelo, lelo lelo ledung.’’
‘’Cep meneng ojo pijer nangis.’’
‘’Anakku sing apik rupane.’’
‘’Yen nangis ndak ilang apike.’’
Lalu, tidak lama kemudian, jeka merasa ada yang ikut tidur di sebelahnya. Dia merasakan getaran dari tubuh seseorang yang menyentuh ranjang tempat tidurnya.
Jeka pun memberanikan diri untuk membuka kedua matanya. Dan di kala rasa takut telah menenggelamkannya, terlahir sebuah hal yang sangat mengerikan tepat di hadapannya.
Jeka melihat dengan jelas jika keluarganya sudah berada di samping tempat tidurnya sembari menatap ke arahnya dengan tatapanya yang mengerikan.
‘’SETANNNN.’’
‘’MELU MARING KUBURAN YO NANG!”
Mereka bertiga mencoba untuk menggapai tubuh Jeka. Namun, jeka berusaha sekuat tenaga untuk melarikan diri.

Dia membuka pintu kamarnya dan berlari ke arah depan. Suara-suara mengerikan masih terdengar dari dalam kamarnya.
‘’Cepat buka! Buka pintunya!”
Kedua tangan Jeka bergetar hebat. Dia bahkan tidak fokus untuk memasuki kunci pintu rumah depannya ke dalam lubang pintu itu sendiri.
Dan saat dimana kuncinya sudah memasuki lubang pintu, tiba-tiba, kunci sulit digerakkan dan macet dengan mendadak.
Dari dalam kamarnya, jeka mendengar kembali sesuatu yang diucapkan oleh seorang wanita.
‘’Jeka? Kamu ndak kangen kami bertiga?”
Jeka reflek menggelengkan kepala. Dia berusaha untuk fokus dan membuka pintu rumahnya. Namun, suara mengerikan itu tetap terdengar dengan sangat kencang.
‘’JEKA? KAMU NDAK KANGEN KAMI BERTIGA?”
Jeka berteriak sekencang-kencangnya untuk menguatkan mental dan keberanian. Dan saat yang bersamaan, kunci pun bisa digerakkan ke arah pembuka pintu
Dan saat Jeka berhasil keluar dari rumah, dia telah mendapati dua orang yang sangat dikenalinya.
‘’Jeka? Kamu kenapa?’’ Tanya Ibu Sumi
‘’Ibu Sumi, pak sumardi. Mereka datang.’’
‘’Siapa?” Ucap Pak Sumardi
‘’Ibu, bapak dan Mbak Wati. Mereka mengajakku untuk ke kuburan.’’
Pak Sumardi menatap Ibu Sumi. Dia paham, bahwa semuanya sudah dimulai.
‘’Bu,sepertinya sudah dimulai.’’

Sementara itu …
Somantri telah tiba di pemakaman sebuah keluarga yang menjadi korban dari ngunduh jiwo.
Ia kemudian menancapkan sisir yang sudah dia patahkan ke tanah kuburan ketiganya.
‘’Ngunduh Jiwo sebenarnya sudah dimulai. Malam ini, orang-orang yang telah membuat kalian bertiga menderita, menjadi jenazah.’’
Somantri pergi meninggalkan pemakaman. Ia akan melakukan tugas lain yang semestinya bisa membuat semua rencananya berjalan dengan lancar.
Malam harinya, seorang wanita dengan rambut yang sudah dirapihkan berjalan ke area pemakaman. Ia mencari sebuah papan nama kuburan yang bernama
‘’Rahayu.’’
Setelah dirinya menemukan makam tua yang sudah mengering tanahnya, dini pun segera melaksanakan amanah dari Somantri. Ia menancapkan patahan sisir perias itu di tanah kuburan milik Rahayu.
Akan tetapi, dini tidak menancapkan semua patahan sisir itu tepat di makam Rahayu. Ia kemudian tertuju kepada salah satu makam yang disinyalir sebagai makam milik orang tua Rahayu.
Sembari membawa patahan sisir yang sudah dipatahkan sebelumnya, dini memberanikan diri untuk melakukan ambisi yang sama seperti yang dilakukan oleh Somantri kepada orang-orang yang telah membuatnya hancur berantakan.
Matanya tertuju kepada sebuah kuburan baru. Dini tahu, bahwa cici-ciri yang sangat mudah adalah dengan kuburan baru yang memang menjadi kunci utama untuk mengetahui papan nama yang bernama ‘’Suryani’’ tersebut.
Langkah kakinya benar-benar dipercepat. Ia kemudian tiba di waktu yang sangat cepat di makam baru itu. Papannya bertuliskan sebuah nama yang bernama ‘’Suryani.’’
Dini kemudian menancapkan sisir tersebut ke tanah kuburannya. Ia kemudian bangkit dang era pergi meninggalkan pemakaman.

Hatinya sudah tidak tenang. Jiwanya juga sudah tidak mulai nyaman. Dini merasa, ada yang mengikutinya dari belakang.
Dan benar saja, dia mendengar suara langkah kaki melambat dari arah belakang. Saat dimana dirinya terhenti, suara langkah kaki itu juga ikut berhenti.
‘’So—sopo sing melui aku?”
(Siapa yang mengikuti aku?)
‘’Nduk, simbah melu.’’
(Nak, simbah ikut)
Dini sadar, yang mengikutinya dari arah belakang adalah sosok Mbah Suryani yang sudah terbebaskan.

Dini tidak memperdulikan kalimat itu. Ia kemudian melajukan lagi langkahnya dan meninggalkan pemakaman dengan penuh ketakutan.
Semua sudah dimulai. Somantri juga sudah siap untuk menciptakan dendamnya. Ia sama sekali tidak takut jika kebebasan para sosok korban ngunduh jiwo menjadi membahayakan.
Pertama-tama, somantri mengarahkan terror mematikan itu kepada keluarga dari Bi Imah.

Tepat di malam itu, bi imah dan Cici sedang tertidur. Mereka berdua merasa, ada yang datang hingga mengetuk pintu rumah depannya dengan sangat kencang.
Bi Imah pun terbangun dari tidurnya. Ia kemudian memerika bagian depan rumahnya dan saat pintu dibuka, bi imah tidak menemui siapapun.
Namun, saat dimana Bi Imah menutup pintu dan membalikkan badannya, dia terkejut saat mendengar suara aneh dari dalam kamarnya.
‘’Cici? Cici? Kamu kenapa, nduk?”
Tiba-tiba, pintu kamar mendadak tertutup. Bi Imah segera berlari untuk menggapai pintu kamar dan berusaha untuk membukanya.
Dari dalam kamar, Bi Imah hanya mendengar suara rintihan dan teriakan sakit dari Cici. Perlahan, Bi Imah pun ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ia kemudian mengintipnya lewat lubang pintu. Dan hal yang mengerikan terlihat saat dimana Cici sedang dicekik oleh demit manten tersebut.
‘’Cici! Cici!”
Bi Imah mencoba untuk mendobrak pintu kamar. Namun, tenaganya tidak cukup kuat untuk membuka kamar tersebut.
Bi Imah hanya bisa menangis. Ia bahkan tidak bisa melakukan apapun kecuali melarikan diri dari target berikutnya.
Saat dimana Bi Imah ingin pergi, pintu kamar terbuka dengan sendirinya. Lalu, keluarlah seorang wanita dengan mulut yang sudah bersimbah darah dengan tatapan yang sayu.
‘’Cici?”
‘’Sopo selanjute?’’
(Siapa selanjutnya)
Tubuh Cici bergerak dengan cepat. Ia bahkan mampu menarik tubuh Bi Imah sebelum Bi Imah menggapai gagang pintu depan.
Tubuh Bi Imah diseret hingga masuk ke dalam kamar mandi. Sosok tersebut kemudian mengangkat tubuh Bi Imah yang sudah merintih kesakitan ke dalam bak mandi.
Bersamaan dengan itu, cici yang sedang dirasuki melakukan hal yang sama. Ia kemudian masuk ke dalam bak mandi tersebut dan menenggelamkan diri bersama dengan Ibunya.
Bi Imah mencoba untuk menggapai bagian atas bak mandi, akan tetapi, kepalanya benar-benar ditekan oleh tangan Cici yang saat itu sedang dirasuki oleh sosok demit manten.
Perlahan, warna air di dalam bak mandi pun berwarna merah pekat darah. Mereka berdua tewas dengan cara yang sangat mengenaskan.
Korban selanjutnya mengarah kepada Keluarga Pranomo. Akan tetapi, ketiganya sudah benar-benar berada di ruangan tempat dimana ritual ngunduh jiwo dilakukan.
‘’Bunda? Kita harus bagaimana?” Tanya Bagus
‘’Bunda tidak tahu. Demit manten sudah kehilangan kendalinya. Si brengsek itu ingin membalaskan dendam kesumatnya.’’
Mereka bertiga tidak melakukan apapun kecuali saling berpegangan tangan dengan kedua kaki yang berada di dalam lingkaran melati.
Namun, terror pun dimulai lebih cepat dari dugaannya. Seluruh lampu di rumah mewah itu mendadak padam dengan seketika.
Lalu, dari luaran terdengar suara tangisan seorang wanita. Bagus seperti mengingat tangisan itu. Tangisan dari seorang wanita yang dia kenali.
‘’Rahayu.’’
‘’Dia bukan Rahayu, bagus! Dia demit manten.’’ Teriak Bunda Melati
Tidak berselang lama, kaki bunda melati ditarik hingga dirinya keluar dari lingkaran melati itu. Kepalanya membentur keramik hingga darah segar mengucur dengan derasnya.
‘’Bunda!”
Bagus berusaha untuk tidak melepaskan pegangan tangannya. Akan tetapi, jika dirinya tidak melepaskan pegangan tersebut, niscaya, dia juga akan terseret.
‘’Lepaskan, bagus!” Teriak Pak Pranomo
‘’Gak akan! Bunda gak boleh mati!’’
‘’Lepaskan! Jika tidak, tubuhmu terseret.’’
Dengan pasrahnya, bagus pun melepaskan pegangan tangan Bunda Melati. Lalu, yang mereka dengar hanyala suara benturan tubuh ke arah tembok lengkap dengan amarah dari demit manten.
Pak Pranomo berusaha untuk bisa menyelamatkan dirinya dan juga anaknya dari target selanjutnya. Dia pun berusaha mencari cara untuk mengalahkan demit tersebut.
‘’Pak? Kita harus bagaimana?”
‘’Sabar. Kita tidak boleh keluar dari lingkaran –
Belum usai Pak Pranomo melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba, tubuh Bagus mengeluarkan banyak darah.
Dari bagian lehernya, terlihat sebuah tangan yang sedang mendekap tubuh Bagus dari arah belakang.
‘’Pa—pak! Tol—ong! Aa—ku!”
Bruk! Tubuh Bagus kembali ditarik. Hal yang sama seperti Bunda Melati, tubuh Bagus dibenturkan di tembok hingga tewas.
Dan terakhir adalah Pak Pranomo. Tidak seperti keduanya, pak pranomo ini diberikan kesempatan untuk keluar dari ruangan.
Akan tetapi, saat dimana dirinya hendak keluar dari rumah, tiba-tiba, muncul beberapa wanita dengan pakaian layaknya pengantin.
Wanita-wanita tersebut adalah korban dari kejahatan Pak Pranomo yang dijadikan sebagai tumbal dari ritual ngunduh jiwonya.
Pak Pranomo tidak bisa pergi kemana-mana lagi. Ia kemudian kembali ke ruangan yang sama.
Namun, saat dimana dirinya memasuki ruangan tersebut, dirinya telah melihat fenomena aneh dimana anak dan isterinya sedang terduduk sembari menatap ke arah cermin.
‘’Melati? Bagus? Kalian masih hidupkah?”
Langkah Pak Pranomo melaju perlahan ke arah cermin tersebut. Namun, belum juga tiba di lokasi yang dituju, tiba-tiba, kepalanya dicengkram dari arah belakang dan kemudian dipaksa untuk diputarkan ke bagian belakang.
‘’Krek!’’
Tubuh Pak Pranomo ambruk. Dia tewas dengan bagian kepala yang sudah berpindah posisi belakang.
Kini, somantri yang berada di dalam rumah Mbah Sur harus menanggung semua beban yang dirasakannya.
Mulutnya tiba-tiba keluar darah yang tidak sedikit. Kedua matanya memerah. Ia ingin menyelesaikan semuanya karena semua orang yang memang dijadikan target olehnya sudah terbunuh.
‘’Rahayu. Aku sudah tunaikan janjiku padamu. Mereka yang telah membuatmu menderita, telah aku singkirkan semuanya.’’
Akan tetapi, semua belum usai. Kini, somantri merasakan sendiri akibat dirinya telah melepaskan kendalinya terhadap demit manten.
‘’Aku harus ke kuburan Rahayu. Aku harus melepaskan sisir yang menancap di tanah kuburannya.’’
Somantri keluar dengan mulut yang sudah bersimbah darah. Kepalanya terkadang merasakan pusing yang sangat kuat hingga dirinya kehilangan kesadaran.
Belum juga dirinya tiba di ruangan depan, tiba-tiba, somantri mendengar suara langkah pelan dari arah belakangnya.
Suaranya mirip seperti suara langkah calon mertuanya itu, mbah sur. Tubuh Somantri mendadak merinding. Dia bahkan tidak menyadari, jika dini telah melakukan sebuah kesalahan.
Dini menancapkan patahan sisir itu juga kepada makam Mbah Suryani. Dengan begitu, sosok Mbah Suryani bebas seperti halnya sosok Rahayu dan yang lainnya.
‘’Mantri? Kamu mau kemana?”
Suaranya semakin membesar. Somantri pun berusaha untuk melawan ketakutannya sendiri. Ia memberanikan diri untuk menegok ke bagian belakang.
Akan tetapi, sosok yang dituju tidak ada. Sosok Mbah Sur menghilang. Pikir Somantri, itu hanyalah khayalannya semata. Namun, dari arah belakang, lehernya dicekal dengan sangat kuat hingga tubuhnya ditarik ke arah pintu depan.
Somantri berusaha untuk menggapai pintu. Akan tetapi, apa yang terjadi saat ini adalah karma yang dia dapatkan saat mengunci Mbah Sur saat dirinya terbunuh oleh demit manten.
Perlahan, tubuh Somantri tidak bergerak lagi. Nafasnya sudah habis. Nyawanya tidak tertolong. Somantri tewas seperti yang orang-orang yang mengabdikan diri terhadap ngunduh jiwo.
Malam kelabu memenuhi dua desa yang bersebelahan, desa wongso dan tejo kromo. Banyak korban yang berjatuhan dengan cara yang mengenaskan.
Kini, tersisa Jeka dan Ibu Sumi serta Pak Sumardi yang mencari cara agar bisa mengikat kembali sosok-sosok yang mengganggu Jeka dan juga keduanya.
Mereka berdua pun menuju ke arah kuburan Keluarga Jeka. Kenekatan ini tercipta agar semua permasalahan menjadi selesai.
Saat ketiganya tiba di area pemakaman, ketiganya langsung menemukan patahan sisir yang menusuk di tanah kuburan masing-masing Keluarga Jeka.
Ibu Sumi segera mencabuti semua patahan sisir yang tertanam di tanah kuburan Keluarga Jeka.
‘’Sudah selesai?” Ucap Ibu Sumi
Pak Sumardi dan Jeka terkejut saat Ibu Sumi dengan beraninya mencabuti patahan sisir itu tanpa ada halang dan rintangan.
Kini, mereka bertiga pulang ke rumah Jeka dan menginap di sana. Karena waktunya sudah sangat malam, mereka berdua menginap di rumah Jeka.
‘’Bu, pak. Kalo ada apa-apa, ketuk pintu saya aja, ya. Nanti, kamar Mbah Wati boleh dipake.’’
Mereka berdua pun berencana untuk menempati kamar Kusumawati. Saat kamar dibuka, di dalam kamar tersebut sudah terdapat sebuah cermin pemberian dari Bunda Melati lengkap dengan sisirnya.
Ibu Sumi hanya melihat itu dan mencoba untuk duduk di kursi tepat dimana di hadapannya sudah berdiri tegak sebuah cermin yang sangat indah.
Perlahan, ibu sumi mengambil sisir dan menyisiri rambutnya dengan ekspresi wajah yang cukup aneh.
Pak Sumardi yang melihat tingkah aneh isteri nya mencoba menanyakan secara baik-baik.
‘’Bu? Ibu kenapa?”
Tidak lama kemudian, lampu mendadak mati dengan seketika. Ibu Sumi berjalan keluar dari kamar. Pak Sumardi mencoba untuk menahan isterinya. Akan tetapi, langkah Ibu Sumi jauh lebih cepat.
‘’Jeka! Jeka!’’ Teriak Pak Sumardi
Jeka segera keluar dari kamarnya. Ia menyadari ada sesuatu yang aneh yang terjadi kepada Ibu Sumi.
‘’Ibu kenapa, pak?”
‘’Dia kerasukan demit manten.’’
Jeka langsung teringat dengan sesuatu yang ia bawa dan ia kembali letakkan di kamar sang kakak.
‘’Pasti karena sisir dan cermin itu.’’
Jeka meminta kepada Pak Sumardi untuk mengejar Ibu Sumi. Sedangkan dirinya, ia ingin menghancurkan semua barang-barang yang masih tersisa dari media ngunduh jiwo itu sendiri.
Bersamaan saat Pak Sumardi mengejar langkah Ibu Sumi, dia mendengar suara langkah kaki mengarah ke kamar mandi.
‘’Bu? Ibu ada di dalam kah?”
Dari dalam kamar mandi, ibu sumi teriak kesakitan. Dia benar-benar seperti disiksa oleh sesuatu yang ternyata sudah mengikat tubuhnya.
‘’Pak! Bapak! Tolong!”
‘’Bu! Ibu!’’
Pak Sumardi berusaha untuk mendobrak pintu tersebut. Sedangkan Jeka, dia perlahan menghancurkan cermin dan mematahkan sisir riasan pengantin tersebut.
Pak Sumardi berusaha untuk mendobrak pintu tersebut. Sedangkan Jeka, dia perlahan menghancurkan cermin dan mematahkan sisir riasan pengantin tersebut.
Jika berhasil Jeka melakukan itu, niscaya, demit yang sedang mengganggu Ibu Sumi akan menghilang selama-lamanya.
‘’Cepat patah! Patah! Patah!’’ Teriak Jeka sembari berusaha mematahkan sisir riasan pengantin tersebut.

Dari dalam kamar mandi, teriakan Ibu Sumi perlahan menghilang. Pak Sumardi memiliki firasat yang kurang baik akan keadaan isterinya.
Dia pun berlari ke arah Jeka. Jeka yang sedang berusaha mematahkan sisir tersebut terkejut saat mendapati Pak Sumardi yang menampakkan wajah paniknya.

‘’Jeka! Kemarikan sisirnya. Kau dobrak pintu kamar mandi, aku yang mematahkan sisir ini.’’
Jeka mengangguk paham. Ia pun kemudian menuju ke arah kamar mandi dan segera mendobrak pintunya demi menyelamatkan Ibu Sumi.
Sedangkan Pak Sumardi, ia berusaha untuk mematahkan sisir tersebut. Dengan sekuat tenaga, dia berteriak dengan sangat kencang untuk menambah kekuatan yang ada dalam dirinya.
‘’AARGHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!’’
Sama halnya dengan Jeka, ia juga mendobrak pintu kamar mandi dengan sekuat tenanga. Ia berharap, ibu sumi masih bisa diselamatkan.
Dan tidak lama kemudian, sisir rias pengantin itu patah menjadi beberapa kepingan.
‘’Prak!’’
Bersamaan dengan itu, pintu kamar mandi yang awalnya sulit didobrak, kini langsung terbuka.
Namun, saat dimana Jeka melihat bagian dalamnya. Tubuhnya langsung ambruk. Dia tidak percaya, bahwa hal ini akan terjadi.
Pak Sumardi segera berlari ke arah kamar mandi. Sembari berteriak memanggil-manggil nama Jeka, pak sumardi terkejut saat melihat Jeka sudah terduduk dan wajahnya benar-benar menampakkan ekspesi rasa takut terhadap apa yang dilihatnya saat itu.
‘’Jeka? Ibu Sumi kemana, nak?”
Jeka pun menunjuk ke arah bak kamar mandi. Pak Sumi melangkah lebih dalam. Hatinya benar-benar sudah merasa tidak enak. Pikirannya kacau balau.
Dan saat dimana dirinya berdiri tepat di hadapan kamar mandi, pak sumardi langsung meneteskan air matanya secara perlahan.
Dia dengan jelas melihat sang isteri sudah tenggelam di dalam bak mandi dan menjadi korban terakhir dari ngunduh jiwo.
‘’Su—sumi?’’
Jeka segera bangkit. Ia kemudian memeluk tubuh Pak Sumardi dengan pelukan yang sangat erat.
Pak Sumardi mengucapkan sebuah kalimat perpisahan terhadap isterinya yang sudah meninggal dunia itu.
‘’Innalillahi wa innailaihi ro-ji’un.’’
Jeka mengikuti perkataan Pak Sumardi. Ia mengucapkan kalimat yang sama sebagai bentuk perpisahan terhadap Ibu Sumi.
‘’Innalillahi wa innailaihi ro-ji’un.’’
Malam itu, malam yang sangat dipenuhi kesedihan. Pak Sumardi gagal menyelamatkan isterinya yaitu Ibu Sumi dari jeratan ngunduh jiwo.

Perasaan yang sama pun terjadi pada Jeka. Dirinya merasa kehilangan sosok ibu angkatnya yang telah memberikan banyak sekali pelajaran hidup.
Desa Tejo Kromo
Pagi itu, warga desa Tejo Kromo berkabung. Mereka tidak menyangka akan kehilangan sosok Ibu Sumi yang telah membantu banyak warga setiap kali ada jenazah wanita yang meninggal dunia.
Lantunan kalimat tarjih terus didengungkan. Pak Sumardi kini melakukan tugas akhirnya. Ia ingin memandikan jenazah isterinya sebagai bentuk terima kasihnya atas segala perjuangan yang dilakukan secara bersama-sama.
Pak Sumardi benar-benar tidak bisa menahan rasa sedihnya. Air matanya beberapa kali menetes tepat di bagian tangan, pipi dan kaki sang isteri.
Hatinya benar-benar rapuh serapuhnya mana kala perpisahan terakhirnya adalah dengan cara memandikan jenazah isterinya sendiri.
Selesai memandikan, pak sumardi mengkafani isterinya lalu menyelesaikan semua tugasnya.
Tangis para warga pecah saat jenazah sudah diletakkan di tempat yang sudah disedikan untuk dibacakan bacaan al-qur’an.
Serasa sudah selesai, pak sumardi pun meminta agar jenazah Ibu Sumi dibawa menuju ke pemakaman, lalu dilakukan proses penguburan.
Jenazah pun kemudian dimasukkan ke dalam keranda, lalu, kalimat tarjih benar-benar mengiringi perjalanan Ibu Sumi menuju ke tempat peristirahatan sesungguhnya.
Bagi Pak Sumardi, ketulusan cintanya kepada Ibu Sumi tidak akan melahirkan dendam atau apapun. Dia bahkan menerima dengan lapang dada akan sebuah perjalanan yang tidak bisa ia tolak kehadirannya.
Kematian bukanlah sebuah akhir dari sebuah perjalanan. Kelak, perjalanan selanjutnya sudah menunggu di alam sana.
Atas penguburan dari Ibu Sumi, alam pun merasakan kesedihan yang sama. Langit tiba-tiba menurunkan rahmatnya dan hujan memberikan salam terakhir untuk Pak Sumardi.
Kini, setelah jenazah Ibu Sumi dikuburkan, mereka berdua sejenak untuk mengobrol.
‘’Jeka? Saat kamu melihat Ibu Sumi meninggal, mengapa kamu menangis?’’
‘’Ibu Sumi itu orang baik. Dia adalah satu-satunya orang yang menenangkanku saat hati dan pikiranku sedang kacau.’’
‘’Syukurlah kalau begitu.’’
‘’Aku sudah menganggap kalian berdua sebagai kedua orang tuaku sendiri. Aku tidak memiliki keluarga lagi. Entah, bagaimana aku akan menjalankan hidup dengan tubuh yang terseok-seok ini.’’
Pak Sumardi segera memeluk Jeka. Dia menyadari, jika Jeka benar-benar haus akan kasih sayang.
‘’Kini, kau menjadi anakku. Jangan membenci dirimu sendiri, jeka. Kelak, kebencian itu melahirkan dendam.’’
Jeka mengangguk paham. Mereka berdua benar-benar merasa ikhlas paling dalam saat di momen tersebut.

Bagi mereka berdua, kematian Ibu Sumi adalah kematian yang benar-benar sangat dinanti oleh alam untuk menuju cepat kehadiran Tuhan Yang Maha Esa.
Setelah dirasa telah cukup, mereka berdua pun meninggalkan pemakaman. Namun, tepat setelah mereka meninggalkan kuburan Ibu Sumi, mereka mendengar sesuatu dari arah belakang.
‘’Pak? Mau ikut aku gak?’’
Jeka segera memeluk tubuh Pak Sumardi. Mereka berdua tahu, jika suara itu adalah suara dari Ibu Sumi yang merupakan korban dari ngunduh jiwo itu sendiri.
Pak Sumardi meminta kepada Jeka untuk melanjutkan perjalanan dan meninggalkan kuburan tanpa mengikuti arahan dari para sosok ngunduh jiwo itu sendiri.
Hingga akhirnya, semua yang terikat oleh ngunduh jiwo, akan mendapatkan karma sesuai dengan yang dia lakukan semasa hidupnya.

TAMAT!
Terima kasih kepada semua para pembaca yang sudah mengikuti ''ngunduh jiwo'' hingga di penghujung cerita. Silahkan berikan komentar, support dan hal lainnya yang positif untuk memberikan energi baik untuk penulis agar terus melahirkan cerita-cerita epic lainnya
Sebelumnya juga ingin menyampaikan bahwa setelah ngunduh jiwo selesai, saya akan beristirahat sejenak untuk memperbaiki kesehatan yang masih tahap pemulihan.

Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih kepada para pembaca yang sudah support, menunggu dan membaca karya saya ini.
Mohon maaf apabila dalam pengupload-an terkendala oleh waktu yang lama karena masalah ksehatan saya.

Sampai jumpa di cerita-cerita epic lainnya!

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Restu Wiraatmadja

Restu Wiraatmadja Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @RestuPa71830152

Feb 24
Ganendra Ratri Part 2

“Kutukan 12 Ningrat”

@bacahorror #bacahorror Image
Read 151 tweets
Feb 16
MAQBAROH

“Tiap kali tangan menengadah ke atas, tetesan darah segar atau bahkan kepala pocong sudah berada di atas sela-sela jari.”

@bacahorror #ceritaserem #kuburan Image
“Wan! Jangan cepet-cepet jalannya!” Ujar Afif saat meminta kepada Ridwan, temannya, untuk tidak buru-buru dalam menjejaki tiap petak tanah kuburan yang di lewatinya
Malam itu, mereka berdua menyelinap ke sebuah pemakaman yang disebut-sebut sebagai makam terangker. Kabarnya, makam itu dijaga belasan pocong dan sosok-sosok lainnya.
Read 86 tweets
Dec 19, 2023
“Seorang wanita dengan rambut kusut dan kering ditemukan hampir
menggantung diri setelah
kedua orang tuanya menganggapnya gila. Padahal, wanita itu terkena… BUHUL RIKMO!”

Apa itu Buhul Rikmo?

@bacahorror #rambutpembawamaut Image
Kasusnya sama seperti yang ini, ya. Mari kita bahas… Image
Upload jam sabaraha nih gaes?
Read 76 tweets
Nov 29, 2023
GANENDRA RATRI (1)
(Babad Keluarga Ningrat)

''Perjalanan baru dimulai''
@bacahorror #bacahorror Image
Rules: PULAU INI MEMILIKI CIRI SIGNIFIKAN SEBAGAI PULAU TERPENCIL YANG DIHUNI BANYAK TAWANAN YANG BERHARGA.
Read 190 tweets
Nov 9, 2023
TUMBAL PERSEMBAHAN

Sebuah kisah tentang seorang anak yang menjadi tumbal persembahan
@bacahorror #bacahorror #malamjum’at
#sengkolo #malamsatusuro #satusuro #pemandimayat Image
Sengkolo diyakini merupakan sebuah energi negatif yang menyelimuti manusia, dan membuat manusia berada dalam kesialan. Orang-orang yang terlahir di weton Sengkolo sering terlibat dengan hal-hal yang tak masuk akal.
Kisah ini merupakan sebuah pengadaptasian sosial terkait dengan salah satu keluarga yang terkena tulah (musibah) akibat melanggar sebuah ketetapan yang sudah turun temurun dilakukan oleh leluhurnya.
Read 96 tweets
Nov 1, 2023
KARANG MAYANG

“Perjanjian yang terikat di saat jabang bayi masih di dalam kandungan.”

@bacahorror #bacahorror #malamjumat #ceritaserem #pesugihan Image
Jam brp nih?
Sebelum masuk ke dalam sebuah cerita, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada narasumber yang mau membagikan cerita ini.
Read 159 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(