mwv.mystic Profile picture
May 2, 2023 263 tweets >60 min read Read on X
Bagian 4
BUKIT ORANG BUNIAN

"Tiang Peradilan"

a thread

@bacahorror #bacahorror #malamjumat Image
Bagi yang baru bergabung, cerita ini adalah Part 4 dari Seri Bukit Orang Bunian, Part 1 bisa dibaca pada utas berikut :

Di kantor polisi, Bagindo Sati dan Firman baru saja selesai membuat laporan setelah pemeriksaan yang cukup lama untuk mencari kemungkinan motif b*nuh diri yang dilakukan Pak Soleh.
Mereka juga ditemani oleh Supardi yang hadir untuk memastikan Firman tidak mengatakan apapun terkait andilnya dalam rencana pembelian tanah desa. Namun baru saja mereka akan berpamitan, seorang polisi masuk ke ruangan pemeriksaan itu dan memberi kabar..
“Izin Komandan, ada informasi baru dari Desa Rangkiang” ujar polisi itu setelah sebelumnya memberi gestur hormat.

“Ya, apa itu?” tanya atasannya, yang berada di sudut ruangan.
“Warga menemukan pakaian, kacamata dan tongkat yang menurut warga biasa dipakai Datuk yang sedang kita cari sebagai saksi dan!” ujarnya dengan tegas.
“Datuk?.. datuk..” atasan polisi itu nampak membolak balik kertas laporan karena ia lupa nama Datuk yang sudah sejak tadi dibicarakan selama proses pemeriksaan oleh Sati sebagai saksi kunci.

“Pagaralam!? Pakaian, kacamata dan tongkat?..” potong Bagindo Sati.
Polisi pemberi kabar itu hanya mengangguk.
“kenapa hanya barang barangnya? kemana orangnya? Apa beliau tidak ada disekitar lokasi penemuan?? Warga menemukan barang barang itu dimana??” Bagindo Sati mencecar polisi itu dengan hati berdebar.
Polisi itu nampak ragu dan melihat ke arah atasannya. Menunggu izin untuk menceritakan temuan baru tersebut kepada warga sipil yang tengah dalam pemeriksaan seperti Bagindo Sati.

Atasannya mengangguk, tanda mengizinkan.
“Siap. Barang barang itu ditemukan di longsoran bukit belakang pak. Hanya barang barang saja. Tidak ada orang hidup maupun jasad mati disana” jawab polisi itu lagi dengan lugas.
Mata Firman membesar karena keterkejutannya. Tidak jauh berbeda dengan Bagindo Sati yang langsung memijat keningnya ketika mendengar kabar itu. Sementara Supardi, tubuhnya mulai berkeringat dingin karena khawaatir. Lagi lagi, dalam kepalanya terbayang satu orang itu lagi, Buyung.
Atasan polisi tadi berdiri dari bangkunya dan mendekat ke arah polisi pemberi kabar. Seolah ia merasa salah dengar dan memerlukan konfirmasi yang sebenarnya.

“Barang barang itu.. ditemukan di longsoran bukit?..”
“siap, iya komandan” ujar polisi itu lagi.

Atasan polisi tadi lantas berbalik badan dan melihat kembali ke Bagindo Sati dan Firman.
“Apa yang terjadi sebenarnya di desa kalian?..” tanyanya dengan tatapan serius.
Bagindo Sati nampak gusar. Ia memandangi Firman dan atasan polisi itu dalam dalam. Ia pernah dengar tentang kabar bagaimana pentingnya sosok Pagaralam, namun ia cukup ragu untuk mengatakan itu.
“Pagaralam adalah penyambung lidah manusia dengan bangsa penghuni bukit itu.. Pagar Alam adalah gelar turun temurun yang diberikan pada beliau dan orang orang sebelum beliau bagi yang mampu menengahi dua alam.. perannya seperti pagar yang memisahkan kedua sisi alam yang berbeda-
-sekaligus saling melindungi antar sisi tersebut. Tanpa keberadaan Datuk Pagaralam.. atau setidaknya penggantinya.. saya khawatir akan ada sesuatu yang terjadi..” ujar Bagindo Sati tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
***

Di dunia bunian..

Abbas merintih dalam ketakutan. Ia baru saja menghabisi nyawa Mina dan Nek Pampang tanpa ia sengaja. Ia memukul mukul kepalanya sendiri dengan begitu marah. Giginya bergemeretak dan ia berteriak sangat keras memecah keheningan kampung itu.
Abbas memandangi lagi rumah Nek Pampang yang masih berkobar dengan suara bara kayu yang terbakar. Aroma anyir darah dan daging panggang menyeruak.. asalnya apa lagi kalau bukan dari tubuh Nek Pampang dan Mina yang hangus di dalam rumah tersebut.
Dengan langkah lesu, Abbas berjalan menjauhi rumah itu. Ia tidak tau lagi apa yang akan dia lakukan. Dua orang yang seharusnya ia lindungi malah mati di tangannya.
Sekarang apa artinya lagi hidup?.. sepertinya ia akan bergabung bersama mayat mayat yang tergantung di pepohonan yang tadi ia lewati.

Abbas berjongkok pada salah satu sisi jembatan di depan rumah salah seorang warga. Ia duduk dengan membenamkan kepalanya diantara kedua pahanya.
Air matanya sudah habis dan tubuhnya masih menggigil trauma. Ia tidak lagi mempedulikan bau mayat yang tercium sangat pekat di kampung itu.

Abbas memejamkan matanya dan terus meringkuk. Sampai tiba tiba ada suara gerakan yang ia dengar..
Abbas memejamkan matanya dan terus meringkuk. Sampai tiba tiba ada suara gerakan yang ia dengar. Suara itu berasal dari ranting dan daun kering yang diinjak oleh seseorang. Abbas terkesiap dan langsung mengangkat kepalanya.
Abbas tertegun. Di hadapannya kini sudah ada iring iringan rombongan pengantar jenazah dengan sebuah keranda hijau tua yang mereka usung. Namun semua pengantar jenazah itu juga merupakan mayat mayat yg tadi Abbas temui..
bahkan salah satu yg membopong keranda itu adalah pak Munir, masih dgn mata yg menyisakan rongganya saja tanpa bola mata dan mulut yang dikerubungi belatung. Sementara pengusung jenazah lain tubuhnya sudah bengkak membiru dgn cairan hitam yg mengalir dari lubang di tubuh mereka.
Rombongan itu berjalan lambat tanpa mengucapkan tahlil. Mereka hanya diam. Tidak ada yang menangis ataupun berbicara. Hanya mayat mayat yang berdiri tegap dengan menopang keranda di bahu bahu mereka.
Abbas menutup hidungnya dengan tangan saat rombongan itu lewat. Bau yang dikeluarkan rombongan itu benar benar menjijikan. Namun sepintas Abbas mencium juga aroma bunga yang samar saat rombongan tadi melaluinya.
Karena penasaran, Abbas mengikuti rombongan pengantar jenazah dari kejauhan. Ia harus bernafas dari mulut meskipun jarak rombongan ini sudah cukup jauh. Setelah melihat arahnya, Abbas sadar mereka menuju ke Surau Pamatang.
Sesampainya di Surau, keranda bersama para pengiringnya masuk. Lampu surau masih belum menyala dan langit masih tetap dalam kondisi senja seperti menjelang Maghrib, langit seperti berhenti pada keadaan seperti itu.
Dengan sedikit mengendap endap, Abbas mengintip melalui kaca yang sama saat ia mengintip sebelumnya. Di dalam, para pengiring jenazah itu membuka keranda tersebut. Di dalamnya terdapat sosok pria telanjang yang Abbas belum bisa memastikan siapa karena cahaya yang minim.
Mayat itu lalu disiram menggunakan air kembang yang dibawa oleh iring iringan tadi.. namun setelahnya , jasad dari dalam keranda itu tidak dikafani.. jenazah itu diberdirikan dengan disandarkan pada mimbar surau tersebut. Posisi seperti orang yang hendak memberikan ceramah..
Para pengiring jenazah tadi lalu mengambil lampu lampu minyak yang ada di shaf depan surau dan menyalakannya. Satu sosok muncul dari belakang kegelapan dengan wajahnya yang pucat pasi dan dingin.
Ia mengambil lampu minyak itu, menaruhnya di dekat mimbar dan berdiri bersebelahan dengan jenazah telanjang tadi. Berkat cahaya itu, Abbas bisa melihat siapa jenazah yang diberdirikan itu..

Datuk Pagaralam…
Abbas terperangah. Ia kenal betul dengan wajah dan tubuh itu. Kondisi Pagaralam yang masih normal dan yang tidak seburuk orang orang lain membuatnya dengan mudah dikenali. Tapi kenapa ada Datuk Pagaralam disini?? Dan kenapa ia sudah terlihat seperti jenazah???
Pria berwajah pucat yang ada di sebelah jasad Pagaralam lalu maju mengambil sebuah tongkat. Ia mulai berbicara tanpa menggerakan bibirnya. Namun Abbas bisa mendengarkan seluruh ucapannya..
“..hari ko.. pajanjian nan lah tabuek, rusak jo manusia bawah. Pagaralam, sabalun maningga mamarintahan awak untuak manjago tanah awak surang kok inyo gagal.. dan kini liek a nan tajadi.. Pagaralam lah gugur.. lah wakatunyo awak tagak..”
(..hari ini.. perjanjian yang sudah kita buat rusak oleh manusia bawah. Pagaralam, sebelum meninggal memerintahkan kita utk menjaga tanah kita sendiri jika dia gagal.. dan lihatlah sekarang.. Pagaralam sudah gugur.. sudah saatnya kita yang berdiri) ujar orang itu tanpa ekspresi.
Seluruh mayat hidup yang ada disana tidak merespon apapun. Mereka hanya berdiri dgn wajah tertunduk.

“…pinyakiknyo lah babao kamari.. kini wakatunyo peradilan..” (penyakitnya sudah dibawa kesini.. sekarang waktunya peradilan..) tiba2 saja sosok itu menatap tepat ke arah Abbas.
Abbas tersentak. Namun baru saja akan lari, kedua tangannya sudah dipegangi oleh dua manusia berbadan pucat kehijauan yang entah sejak kapan ada di belakangnya.
Abbas meronta. Tapi kekuatan dua orang itu jauh lebih kuat darinya. Ia diangkat masuk ke dalam Surau.
Sosok sosok yang daritadi ada di dalam surau menatapnya dengan pandangan kosong. Surau itu benar benar memiliki aroma yang menjijikan karena banyaknya manusia busuk di dalamnya.
“PAK AWAK NDAK ADO MANGA MANGA PAK! PAK!” (PAK SAYA TIDAK MELAKUKAN APAPUN PAK! PAK!) Abbas berusaha memberontak. Ia merasa tidak bertanggung jawab atas kematian Pagaralam yang entah nyata atau tidak.
“..kami tau ang indak sapanuahnyo basalah.. tapi kami harap jo caro ko. Ayah ang ka mambarantian niaiknyo..” (kami tau kamu tidak sepenuhnya bersalah.. tapi kami harap dgn ini.. ayahmu untuk memberhentikan niatnya)
ujar sosok itu sambil memberi aba aba gestur perintah pada dua sosok disisi kiri dan kanan Abbas.
Abbas digiring keluar Surau. Diluar sudah ada banyak makhluk yang wujudnya sudah tidak lagi bisa dijelaskan. Semua diam memandangi Abbas. Abbas lalu diikat pada sebuah tiang kayu. Badannya sama sekali tidak bisa digerakkan.
Ia tidak bisa meronta ketika tali demi tali melilit lengan, leher dan kakinya. Setelah semuanya cukup kuat, tiang kayu itu diberdirikan dengan Abbas menempel padanya.

Seluruh makhluk yang ada disana melihat kearah Abbas tanpa rasa iba.
Abbas lemas dan hanya bisa menengadah menahan sakitnya jeratan tali yang begitu kuat itu. Sementara itu sebuah tiang kayu lainnya datang, diatasnya terdapat jasad Pagaralam yang dibalut kain putih seperti orang berihram.
Tiang kayu dengan jasad Pagaralam itu ditancapkan tepat di hadapan Abbas.
Abbas menggigit bibirnya dan tubuhnya gemetar. Wajah Pagaralam yang sudah tidak bernyawa membuatnya tidak kuat untuk memandanginya.
Kalau ditanya mana yang lebih menyakitkan antara ikatan tali dengan memandangi jasad Pagaralam di hadapannya, rasanya lebih menyiksa melihat wajah kematian sang Datuk.
***

Sementara itu di kediaman Heri dan Dedet, keduanya masih membicarakan apa yang akan terjadi sampai tiba tiba suara pukulan bedug bertalu talu terdengar memecah keheningan kampung..

Heri tersentak dan itu terbaca oleh Dedet.
“Baa?..” (kenapa?..) tanya Dedet.
“aden khawatir kawan ang lah tatangkok..” (saya khawatir temanmu itu sudah tertangkap..)

“tertangkap?..”
“iya.. suara itu.. suara itu biasanya pertanda adanya sesuatu yang terjadi.. para penghuni dunia ini diminta berkumpul.. ayo kita keluar. Semoga keadaannya tidak seperti yang saya takutkan..” ajak Heri.
Keduanya lalu keluar. Dedet merasa aneh karena kampung yang saat ia datang tadi begitu sepi, kini terlihat begitu ramai dengan orang orang. Namun mereka semua terlihat sama. Tanpa ekspresi dan berwajah pucat. Dedet memandangi satu persatu wajah wajah itu.
Beberapa diantaranya ia mengenalnya sebagai para penghuni Desa Rangkiang, namun gestur cara berjalan mereka terlihat asing.

“baa kok rami bana ko yah?..” (kenapa ramai sekali yah?..) tanya Dedet.
“paja tu nan Abbas kicek ang?..” (apa orang itu adalah Abbas yang kau maksud?) tunjuk Heri ke dua buah tiang kayu yang terpajang di depan Surau Pamatang.

Dedet terlihat tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Iya, itu adalah Abbas yang sekarang diikat pada sebuah tiang kayu.
“baa kok Abbas batakah tu an??” (kenapa Abbas diperlakukan begitu??) ujarnya heran.

“caliak sia nan ado dimukonyo..” (lihat siapa yang ada di depannya..) ujar Heri dengan suara yang rendah.
Dedet melihat ke tiang kayu lainnya. Ada orang lain yang juga terikat, namun orang itu hanya diam tidak bergerak.

“Dat.. Datuak Pagaralam???”

“…”
“Baa Abbas jo Datuak batakah tu an yah?? A nan tajadi sabananyo????” (kenapa Abbas dan Datuak diperlakukan seperti itu ayah?? Apa yang terjadi sebenarnya????) cecar Dedet.
“itu karena ia dinilai sebagai penyebab kematian Pagaralam.. nyawa akan dibayar dengan nyawa. Walaupun Pagaralam manusia, namun ia adalah penyambung antara dua dunia, bunian dan alam manusia.." jelas Heri.

“jadi Datuak sudah meninggal?" tanya Dedet tidak percaya.

“iyo…”
Tiba tiba saja sebuah suara lantang terdengar dari balik kerumunan orang orang yang mengelilingi kedua tiang pancang kayu itu.
"..Pagaralam sudah meninggal.. dan dia meninggal untuk melindungi tanah kita dari ancaman ayah anak ini.. saya masih menyimpan janji untuk tidak menyerang sebelum kita terlebih dahulu diserang..
...tapi kita akan jadikan anak ini sebagai peringatan bagi orang jahat itu.." pungkas pria berkulit putih pucat itu.
Mata pria itu mengedar ke sekeliling. Melihat satu demi satu orang orang yang berada disana. Lalu tiba tiba matanya berubah menjadi merah menyala.
“Aden alun tau ancaman gadang nan ka tibo takah ma.. tapi.. pasiapan diri kalian untuak parang…” (saya belum tau ancaman besar apa yang akan datang.. persiapkan diri kalian untuk perang..) imbuhnya sambil mengangkat tongkat kayu yang ia bawa tinggi tinggi.
Orang orang disana riuh dan mulai bergerak gerak tidak karuan. Melihat itu Dedet panik.

“Itu artinyo awak ndak bisa manolong Abbas?..” (..apa itu artinya kita tidak bisa menolong Abbas?) tanya Dedet, melihat bagaimana orang itu begitu berpengaruh pada sikap sosok sosok disana.
"justru dari kalimatnya tadi, temanmu masih bisa selamat.. ia hanya akan jadi jaminan. Namun yang harus kamu lakukan adalah mencegah apa yang akan dilakukan manusia manusia di dunia asli.." ujar Heri.

“apa itu bisa??”
"kau yakin kau belum memakan apapun sejak kau masuk ke dunia ini kan? Jika temanmu itu juga masih belum memakan apapun, dan tubuh kalian di dunia masih utuh, kalian berdua masih bisa keluar dari dunia ini.." ujar Heri.
“kami bisa keluar?? berarti kita hanya tinggal melepaskan ikatan Abbas dan membawanya kembali kan??”

“Tidak.. mereka yang ada disini tidak akan membiarkan itu terjadi. Ucapan orang tadi adalah sebuah segel yang akan dipatuhi hampir seluruh makhluk yang ada disini..” jelas Heri.
“kenapa?.. siapa memangnya dia?..” bisik Dedet kepada ayahnya.

“dunia ini sama dengan dunia manusia.. ada makhluk yang baik dan ada juga yang buruk, sehingga harus ada pemimpin yang mengarahkan mereka dan mengatur semuanya... yang berbicara tadi itu bernama Sufyan..
...dan dia adalah leluhur pemimpin sekaligus Pagaralamnya orang Bunian...” ujar Heri.
“tap..” Dedet baru saja akan bertanya lagi, namun..

“AAA!!!” tiba tiba saja suara teriakan terdengar dari salah satu sisi kerumunan..

*****
Beberapa waktu sebelumnya di dunia nyata..

Guntara berlari sekuat tenaga ke rumah Abbas. Kertas yang diberikan Datuk Pagaralam itu yang memerintahkannya.
“JAGA ABBAS” tulisan yang sebelumnya tidak ada itu tiba tiba tertulis di kertas itu entah sejak kapan. Namun perasaan Guntara mengatakan ia harus segera menemui sahabatnya itu sekarang juga.
Sementara di belakang rumah nek Pampang, Abbas dgn tatapan kosong dan senyum lebar berjalan dgn obor di tangannya. Langkahnya pelan, mengendap tanpa suara diantara rerumputan yg mengitari rumah tersebut. Di dalam rumah, Nek Pampang dan Mina menunggu kepulangan Abbas dgn khawatir.
Guntara berlari terus meskipun matanya sudah kunang kunang karena lelah. Hingga pada salah satu sudut jalan, beberapa meter lagi dari rumah Abbas, Guntara melihat kepulan asap tipis yang mulai merembet ke atap rumbia rumah sahabatnya itu.
Dan anehnya lagi di belakang rumah tersebut, ia melihat Abbas tengah tertawa sambil menempelkan obor ke sisi atap rumahnya sendiri.

Guntara terlambat.

“ABBAS!! JANGAN!!” pekik Guntara dari kejauhan.
Namun suaranya tidak digubris Abbas saat itu yg terus menyulut api di atap rumah nenek Pampang.

Guntara memacu kecepatan larinya. Ketika sampai di belokan masuk ke rumah nek pampang dari sisi jalan besar, ia berteriak teriak agar nek pampang dan Mina segera menyelamatkan diri.
“MINAA!! NEK PAMPANG!! KELUAR!! RUMAH KEBAKARAAN!!!” jerit Guntara lagi dengan sisa tenaganya.

Nek pampang dan Mina yang kebetulan saat itu ada di dekat pintu mendengar teriakan itu dan mendapati Guntara sedang berlari ke arah mereka.
Keduanya tidak mendengar dengan jelas apa yang diteriakan Guntara tadi karena jaraknya yang cukup jauh. Namun tiba tiba..

“MINA! IYAK! KALUA DARI RUMAH KINI!” (MINA! NENEK! KELUAR DARI RUMAH SEKARANG!) suara pria dewasa yang cukup tegas terdengar dari arah belakang.
Nek Pampang refleks melakukan perintah itu. Ia menggendong Mina dengan susah payah dan membawanya keluar.
Setelah beberapa langkah keluar pintu, Nek Pampang baru sadar bagian belakang rumahnya sudah ada kepulan asap kehitaman.

Guntara mengira keduanya mendengar teriakannya. Namun pandangan Mina dan Nek Pampang justru tertuju ke belakang, bukan ke arahnya.
Nek Pampang melihat ke arah suara yang memerintahkan mereka untuk keluar.
Sampai tiba2, sosok laki laki muncul dari belakang bersama Abbas yg ia rangkul di lengannya. Leher Abbas ia kunci dengan cukup kuat dan obor yang tadi Abbas pegang sudah terlempar jauh.
“Ayah..” ujar Mina lemas, terlebih melihat Abbas yang terlihat tercekik diantara lengan kekar ayahnya itu.

“MANGA KA CARI MATI ANG HAH??!” (NGAPAIN MAU CARI MATI KAMU HAH??!) bentak Buyung tanpa melonggarkan kunciannya.
Ia lalu mengambil tanah pasir di pekarangan rumah tersebut dan melempar lemparkannya ke atap. Beruntung, hujan tadi malam membuat banyak rumbio yang masih basah sehingga rembetan api tidak terjadi dengan cepat dan bisa padam dengan tanah tadi.
Meski sudah ditanya beberapa kali, Abbas yang ada di lengannya tidak menjawab apapun. Namun Buyung menyadari ada yang aneh dengan anaknya ini. Ia tidak melihat tatapan ketakutan yang biasanya ada di wajah Abbas, ia juga tidak melihat adanya tanda tanda bekas penyiksaan yang-
-ia lakukan selama ini pada tubuh anaknya itu. Tapi setidaknya, Abbas sudah pulang dan kemungkinan besar itu tandanya Dedet tidak berhasil menangkap anak ini.
Buyung menyeret tubuh Abbas dengan cukup kasar masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk, ia menatap sinis kearah Guntara yang masih mengatur nafas dengan peluh yang membasahi punggung dan ketiak bajunya.
“Mau ngapain kamu? Pulang sana. Tidak usah mengurusi hidup orang lain” ujar Buyung sambil membawa Abbas masuk beserta Mina.

“M..maafan yo Tara.. mokasih banyak lah tibo..” (M.. maafkan ya Tara.. makasih banyak sudah datang..) ujar Nek Pampang sambil mengusap pundak Guntara.
Ia lalu masuk ke dalam rumah.

Guntara tidak bisa berkata apapun. ia bahkan tidak mampu untuk mengatakan apa yang ia lihat.. Tapi ini karena ia tadi melihat Abbas bukan terlihat seperti Abbas yang ia kenal.. Ia melihat Abbas begitu pucat dgn garis bibir yg hilang dari wajahnya..
BUG!

Buyung melemparkan tubuh Abbas ke arah tembok kayu dengan cukup kuat. Mata Buyung memerah karena amarahnya kepada Abbas. Nek Pampang hanya bisa melihat itu dari sudut ruangan sambil memeluk Mina yang juga ketakutan.
“A KARAJO ANG DI BALAKANG TU HAH??”(APA YANG KAMU LAKUKAN DI BELAKANG TADI HAH??) bentak Buyung. Tangannya menggenggam kerah kaus yang digunakan Abbas. Mata keduanya saling bertatapan dalam jarak yang sangat dekat.
Tapi Buyung merasakan keganjilan lagi. Abbas hanya menatapnya dengan tatapan meremehkan. Ia tidak meringis karena sakit ataupun memohon ampun seperti biasanya. Ia bahkan tidak gemetar ketika bertatapan mata dengan mata ke Buyung.
Buyung yang sadar akan hal itu masih mencoba memancing ketakutan anaknya ini. Ia menarik tubuh Mina dari Nek Pampang dan membawanya ke depan Abbas.

“MANGECEK ANG KINI KOK INDAK DEN TINJU ADIAK ANG KO!” (BICARA KAMU SEKARANG ATAU ADIKMU INI SAYA PUKUL!) ancam Buyung.
Abbas lebih tidak tega jika sudah berhubungan dengan keselamatan adiknyq.

Namun Abbas sama sekali tidak merespon ancaman itu. Ia hanya berdiri disana, tersenyum sambil menatap mata Buyung dalam dalam.
Mina menatap abangnya itu dan merasakan sesuatu yang berbeda, namun ia tidak bisa mengatakannya. Karena bagaimanapun yang ada di hadapannya sekarang adalah Abbas. Tapi ia sulit untuk mengakui Abbas yang di depannya sekarang adalah abang kandungnya.
Buyung yang kehabisan kesabarannya lalu kembali mendaratkan sebuah tamparan keras ke pipi Abbas.

PLAK!
Tapi lagi lagi.. Abbas hanya tersenyum tanpa merespon apapun.. lalu tiba tiba senyumnya memudar dan matanya mulai memerah.. bukan seperti menangis namun seperti orang murka.
“BUNUAH! BUNUAH ANAK ANG KO! ATAU PADIAAN NYO HIDUIK SALAMONYO DISINAN!!!” (BUNUH! BUNUH ANAKMU INI! ATAU BIARKAN DIA HIDUP SELAMANYA DISANA!!!) ujar Abbas sambil tiba tiba saja menendang Buyung dan lari ke pintu.
Tendangan itu sempat membuat Buyung kehilangan keseimbangan karena mendarat tepat di ulu hatinya. Ia terduduk dan tidak bisa menahan Abbas yang berlari sangat cepat keluar dari rumah.

“ABANG!!!” panggil Mina tanpa bisa berbuat apa apa.
...

Beberapa meter dari rumah Nek Pampang, Guntara yang sedang perjalanan kembali ke rumahnya masih terngiang ngiang dengan penampilan Abbas yang dilihatnya tadi. Ditambah lagi Abbas hendak membakar rumah Nek Pampang padahal ada Mina dan Nek Pampang di dalamnya.
Apakah Abbas sudah depresi dan akan mengakhiri hidupnya bersama nenek dan adiknya? Pertanyaan itu terus terpikirkan oleh Guntara.
Guntara menendang nendang batu sepanjang jalan. Tenaganya yang tadi ia gunakan untuk berlari dari rumahnya ke rumah Abbas kini tak bersisa untuk sekedar berlari santai pulang. Ia duduk di bawah salah satu pohon dan berteduh.
“sebenarnya.. apa maksud kertas ini..” Guntara kembali merogoh saku celananya dan mengeluarkan kertas pemberian Datuk Pagaralam. Tapi ia sadar.. saat ini tulisan di kertas itu berubah lagi..

“IKUTI ABBAS”
Guntara memicingkan matanya. Ia yakin tadi bukanlah ini tulisan yang ada di kertas ini. Namun dibaca berapa kalipun, tulisannya memang “IKUTI” bukan lagi “JAGA” seperti yang pertama ia baca.
Ketika Guntara sedang memperhatikan kertas itu, tiba tiba saja seseorang berlari melaluinya dengan sangat cepat. Sosok itu berlari melewati Guntara dengan jarak yang sangat dekat. Jika sedikit saja Guntara bergeser, bisa jadi ia akan ditabrak sosok itu.
Namun saat Guntara melihatnya, ia langsung sadar apa yang baru lewat adalah Abbas. Guntara masih bisa melihat punggung baju yang dikenakan Abbas saat itu.
Tanpa pikir panjang, Guntara mengejar Abbas sambil meneriakinya. Tanpa Guntara sadari, disaat yg sama di kejauhan, Buyung juga mengejar Abbas. Namun kecepatan Buyung jauh lebih lambat dari Guntara dan Abbas.

“ABBAS TUNGGU!! KEMANA??” panggil Guntara sambil terus mengejar Abbas.
Abbas tidak menoleh maupun menjawab panggilan itu. Ia terus berlari ke arah area persawahan. Guntara harus mengimbangi kecepatan Abbas agar tidak kehilangan pandangan darinya.
Dua orang petani yang saat itu berjalan di sisi jalan tertegun melihat Guntara yang berlari begitu cepat seperti itu. Apalagi tidak berapa lama, Buyung juga ikut berlari beberapa meter dibelakang Guntara.
Sesampainya di area sawah luas yg mengitari bukit, Abbas melompat ke pematang sawah lalu berlari lg tanpa mengurangi kecepatannya. Guntara coba menyusulnya namun lumpur menahan sendal jepit yg ia kenakan. Guntara mau tidak mau menanggalkan sendal itu dan memakaikannya di tangan.
Abbas berlari ke arah kebun jagung. Beberapa petani memang menanam jagung walau jumlahnya tidak sebanyak petani padi.

“ABBAS! BERHENTI BAS!” panggil Guntara lagi.
Tanpa terasa mereka terus bergerak ke arah bukit. Dari sisi pinggir sawah, Buyung baru sampai dengan nafas yang sudah terengah engah. Ia hanya bisa melihat Guntara yang berlari mengejar Abbas yang berada beberapa meter darinya.
Keduanya sudah berada cukup jauh dari sisi terluar sawah, Buyung hanya melihat warna baju mereka yang berwarna kuning dan putih sehingga cukup kontras dengan areal sawah.

SRAK!

Abbas meloncat masuk ke dalam kebun jagung yang sudah cukup tinggi dan sebentar lagi panen.
Jagung yang akan panen memiliki batang berbulu dan berduri kecil yang gatal dan perih saat bergesekan dengan kulit. Namun Abbas melaluinya tanpa kesulitan.

Tidak mau kehilangan Abbas, Guntara ikut masuk ke dalam kebun tersebut. Dengan sendal sebagai tameng di tangannya.
Jagung yang akan panen memiliki batang berbulu dan berduri kecil yang gatal dan perih saat bergesekan dengan kulit. Namun Abbas melaluinya tanpa kesulitan.
Tidak mau kehilangan Abbas, Guntara ikut masuk ke dalam kebun tersebut. Dengan sendal sebagai tameng di tangannya, ia menepi nepikan batang batang jagung yang berada di hadapannya. Ia terus berusaha mengejar Abbas sambil memanggil manggilnya.
“Abbas!.. hh.. Abbas!..” panggil Guntara terengah.

SET..
Tiba tiba saja Abbas berhenti di tengah2 kebun jagung itu. Guntara tidak menyia nyiakan kesempatan itu dan langsung bergerak mendekat. Kini jarak keduanya hanya 1 meter. Namun posisi Abbas masih memunggungi Guntara.
“Bas.. hh..” Guntara coba meraih pundak Abbas sampai tiba tiba saja Abbas memutar kepalanya 180 derajat menghadap Guntara.

“ASTAGHFIRULLAH!!” Guntara menjerit dan mundur dua langkah.

Tubuh Abbas lalu mengeluarkan suara seperti tulang remuk.
Lengannya melipat ke arah dalam dan bahunya turun. Dari mulutnya keluar darah merah kehitaman yg ia sembur semburkan ketika perutnya mulai berputar dan mematahkan semua tulang punggungnya..
Guntara menyaksikan itu dengan mata yg tidak bisa berkedip. Ia tidak bisa menjerit atau berlari!
Tubuhnya kaku dan dipaksa untuk melihat tubuh Abbas terpelintir seperti kain basah yang diperas di hadapannya sendiri.

Hingga akhirnya..
TUK..

Kepala Abbas lepas dari tubuhnya yang sudah tidak berbentuk.
Kepala itu menggelinding ke kaki Guntara. Kepala yang masih dalam ekspresi tersenyum meski seluruh permukaan wajahnya sudah dipenuhi darah yang berasal dari mulut, hidung dan telinganya.

“HHAAAGHH!!!”

Guntara menjerit dan dengan susah payah mencoba lari.
Ia melemparkan sendal di tangannya dan mencari jalan keluar dari kebun jagung setinggi dua meter ini. Tapi kebun ini seperti labirin yang tidak berujung. Guntara bahkan tidak bisa menemukan sisi sawah padi yang seharusnya mengitari kebun jagung ini.
Namun baginya, selama ia berjalan lurus, ia akan menemukan jalan keluarnya.

Guntara terus berlari hingga ia melihat suatu objek tergeletak di hadapannya. Harapannya timbul dan berharap ada sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai patokan.
Ketika ia mendekati objek itu.. seketika Guntara lemas dan kembali berlari lagi namun dengan kaki yang semakin payah.

Baru saja.. ia melewati tubuh dan kepala Abbas yang seharusnya sudah ada jauh dibelakangnya..
Ia terus berlari dengan metode yang sama. Berjalan lurus. Bagaimanapun panjangnya kebun jagung ini, pasti akan ada ujungnya dimanapun sisinya. Namun meski hanya berjalan lurus, ia tetap bertemu onggokan kepala dan tubuh Abbas sebanyak 3 kali..
Guntara kehilangan orientasinya. Ia merasa sudah berjalan lurus, dan harusnya sudah berhasil keluar dari kebun jagung yang luasnya tidak seberapa ini. Tapi yang ia lihat justru kebun ini tidak memiliki batas dan hanya membuatnya berputar putar di lokasi yang sama..
Pemandangan tubuh Abbas yang terpelintir masih belum bisa hilang dari kepalanya. Ia menahan muntah dan perutnya seperti diaduk aduk dari dalam.
Guntara terduduk dan mulai memuntahkan semua isi perutnya. Kepalanya pusing dan pandangannya kabur..

“Ikuti saya…”

Tiba tiba saja sebuah suara menggema seakan berada di dalam kepala Guntara...
“Lurus saja..” ujar suara itu lagi. Terdengar seperti suara pria dewasa yang cukup berat.

Dengan ragu, Guntara mengikuti petunjuk itu meskipun ia merasa usahanya akan sia sia. Ia dari tadi juga berjalan lurus namun tidak berhasil keluar dari kebun jagung itu.
“Berhenti disana..” tiba tiba saja suara di kepalanya itu memerintahkan Guntara untuk berhenti.

“Tutup matamu, dan ikutilah arah cahaya..” ujar suara itu lagi.
Guntara tidak mengerti awalnya. Bagaimana ia bisa melihat cahaya jika matanya terpejam?? Tapi karena sudah punya cara lain, ia melakukannya. Ajaib, dalam keadaan mata tertutup, di dalam pandangannya ada cahaya terang pada salah satu arah jalan.
Tanpa membuka matanya, Guntara berjalan ke arah itu. Ia tidak menabrak apapun, padahal ladang jagung itu cukup rapat dengan jarak antar jagung yang tidak terlalu lebar. Semakin Guntara mendekat, cahaya itu semakin membesar dan hingga akhirnya menelan semua kegelapan di matanya.
Guntara lalu membuka matanya dan kini ia sudah berada kembali ke sawah padi yang membentang dan bukit di belakangnya.

Guntara bersyukur dan mengucapkan hamdalah berkali kali dalam hatinya. Ia hampir menyerah karena sudah begitu lama rasanya ia mencari jalan keluar dari kebun-
-jagung itu namun selalu kembali ke lokasinya semula.

Ketika memandangi langit, Guntara sadar ia cukup lama terjebak di dalam. Bersama sosok Abbas yang ia sampai sekarang tidak tau apa yang sudah terjadi padanya.
Langit sudah nampak berwarna lembayung orange keunguan.. dan ia yakin ibu sudah mencarinya dengan khawatir di rumah..

Guntara sempat berpikir ia akan kembali ke rumah Abbas untuk memeriksa keadaannya. Namun ia merasa apa yang ia kejar bukanlah Abbas yang sebenarnya..
Abbas yang asli pasti sudah dalam pengawasan Buyung yang tidak mungkin melepaskannya begitu saja.

Guntara akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia berjalan melewati pematang sawah ke arah rumahnya. Ia sudah siap dengan segala omelan yang akan ia terima karena pulang terlambat.
Agar lebih cepat, ia melewati jalan memotong melalui perkebunan di belakang rumah tanpa melalui jalan kampung.
“Assalamualaikum bu” ucap Guntara sambil mengetuk pintu dan melangkah masuk.

Rumahnya begitu gelap. Guntara menyalakan saklar saklar lampu satu persatu.

“Buu kok lampu pada belum dinyalakan?..” panggil Guntara sambil mencari keberadaan ibunya.
Namun ia tidak mendengar jawaban apapun.

“Buu?” panggil Guntara lagi. Lalu Guntara mendengar suara dentingan spatula dari arah dapur dan semerbak wangi rempah masakan yang memenuhi seisi rumah. Ternyata benar, ibunya berada di dapur dan tengah memasak.
“Ibuu, maaf ya Tara pulang telat. Tadi ke rumah Abbasnya agak lama”ujar Guntara.

“hm…” ibunya hanya bergumam sambil tetap meneruskan kegiatannya memasak.

Guntara masuk ke kamar, menutup pintu , lalu membuka baju dan celananya yang sudah berbau keringat dan bulu bulu jagung-
-menempel hampir di seluruh permukaan pakaiannya. Guntara berusaha untuk memikirkan apa yang terjadi hari ini. Semua terasa begitu aneh, dan ia harus bertanya kepada Datuk Pagaralam nanti..
Di ruang tengah, ibu Guntara membawa satu persatu lauk yang ia masak ke meja makan. Lauk yang ada disana begitu beraneka ragam. Dari nasi hangat, opor ayam hingga lauk kesukaan Guntara, sayur sop. Aroma makanan penuh rempah itu menyeruak memenuhi satu rumah.
“Nak.. makan dulu..” panggil ibu dari luar.

“iya bu, Sebentar. Tara mau mandi dulu..” ujar Guntara dari dalam. Ia hanya mengenakan pakaian dalam saat itu dan sedang mengambil handuk.

“nanti saja mandinya, ayo makan dulu, keburu dingin..” ujar ibu dari arah luar.
“iya bu sebentaaar” jawab Guntara.

Sebelum menaruh pakaian kotornya ke keranjang cucian dan keluar, Guntara teringat dengan kertas pemberian Datuk Pagaralam yang ia simpan di saku belakang celananya. Ia mengambil kertas itu dan hendak menaruhnya di kaca seperti sebelumnya.
Namun saat ia merogoh sakunya, kertas itu terasa hangat.

“Tara, nak.. ayo makan. Keburu dingin..”

Tok Tok Tok

“ibu masak sayur sop kesukaanmu..”

Ibu kembali memanggil dari luar. Kini ibu ada di balik pintu dan terus mengetuk pintu kamar Guntara.
Guntara tidak menjawab panggilan itu. Ia perlahan membuka kertas yang terasa hangat di tangannya. Tapi tiba tiba saja..

TOK! TOK!! TOK!!!
SLAK SLAK SLAK!
Ketukan ibu dari luar terdengar semakin keras dan cepat. Guntara terkejut dan melihat ke arah pintu kamarnya. Kini daun pintu itu sudah bergerak naik dan turun dengan keras. Kenapa ibu sampai seperti itu untuk memanggilnya makan?..

“bu..” Guntara memanggil ibunya dengan lirih.
“Iya nak.. ayo makan dulu.. kamu mau makan di kamar? Ini ibu bawain nasi kamu.. buka pintunya nak..” panggil ibunya lagi tanpa berhenti mencoba membuka pintu itu.
Guntara hanya diam. Ada perasaan dalam dirinya yang mengatakan ia dalam bahaya. Tapi ia tidak tau kenapa ia merasakan hal itu. Ia perlahan membuka kertas tersebut dan tulisannya kini sudah berubah..

“PERGI”
Disaat yang sama, dari arah luar ibu terdengar berteriak sangat keras lalu terdengar benturan kencang ke arah pintu.

BRAK! BRAK! BRAK! BRAK!
“NAK! MAKAN SEKARANG ATAU IBU MARAH! JANGAN KAMU PERCAYA DENGAN TULISAN ITU!!!”

BRAK! BRAK! BRAK!
Guntara melihat ke arah pintu itu dengan panik. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan dan kemana ia harus pergi.. terlebih.. siapa sebenarnya yang sekarang ada di luar sana????
Guntara melihat ke sekeliling kamar. Ia mencari cara untuk keluar. Akses satu satunya hanyalah sebuah jendela kaca persegi panjang yang sebenarnya diperuntukkan sebagai tempat untuk cahaya masuk ke kamarnya.
Jendela itu cukup kecil, Guntara harus merampingkan lebar tubuhnya agar bisa muat melaui jendela itu. Selain itu posisi jendela itu berada lebih tinggi dari tubuhnya, meski masih bisa terjangkau tangan. Namun selain melewati jendela itu, ia tidak memiliki pilihan lain.
BRUK! BRUK! BRUK!

Suara gedoran dari balik pintu terus terdengar diselingi ibu yg terus memanggil manggil Guntara. Terkadang terdengar lembut, namun terkadang terdengar begitu marah. Tapi yg pasti suara itu membuat Guntara begitu terintimidasi dan kesulitan untuk berpikir.
Guntara mengenakan baju dan celananya kembali. Ia lalu mengambil bangku plastik di kamarnya dan meletakkannya di dekat jendela tadi. Ia harus membuka grendel jendela itu, memanjatnya, melompat keluar dan pergi dari rumah ini sebagaimana perintah kertas tadi!
Namun ternyata grendel jendela itu macet. Guntara menggerak gerakannya sedikit demi sedikit agar tuas grendel itu bisa terangkat. Tapi..

TAK!!

Grendel itu mengeluarkan bunyi yg cukup keras saat terbuka. Disaat yg bersamaan suara gedoran pintu dan ibu di luar tiba2 berhenti.
Suasana seketika hening.. lalu terdengar suara langkah terburu buru menjauhi pintu.

Guntara terdiam.. kenapa ketukan dan suara ibu berhenti?.. namun seketika itu juga Guntara sadar.. ia segera turun dari bangku dan menjauhi jendela..
Guntara memandangi jendela itu dgn jantung berdebar..

Dan hal yg Guntara takutkan itupun terjadi.. dari balik jendela muncul dua tangan berwarna kuning kehijauan dengan kuku kuku hitam panjang. Tangan itu bertengger disana, lalu perlahan sebuah kepala muncul dari arah bawah..
Tanpa menunggu wajah itu muncul, Guntara langsung balik badan, membuka kunci pintu kamarnya dan langsung lari keluar. Di ruang tengah, ia melihat piring piring dan panci yang berisi tanah, darah serta isi perut binatang yg masih mentah.
Aroma rumah itu juga berubah sangat anyir dan memuakkan. Guntara hampir muntah saat melangkahi piring piring dan panci itu untuk pergi ke pintu keluar. Dari arah kamarnya ia mendengar sesuatu yang berat jatuh ke lantai. Sepertinya itu sosok yang tadi memanjat jendela kamarnya.
Ia harus pergi sebelum sosok itu mengejarnya lagi!

Beruntung, Guntara sekarang sudah berada di luar rumah. Ia merasa sudah aman karena ruangnya untuk lari dan bergerak lebih leluasa dari sekedar kamar sempit tadi.
Karena ini juga, Guntara berdiri memandangi rumahnya. Ia ingin melihat siapa sebenarnya yg ada di rumahnya tadi..

Namun itu adalah satu kesalahan Guntara lakukan.. sosok itu menampakkan dirinya di depan Guntara..

“Ibu.. Ibu.. Ibu..” lirih Guntara menitikan air matanya..
Dari pintu rumah, muncul sosok ibunya dengan tubuh yang sudah busuk, tubuh ibu menghijau dan membengkak...
Pada tubuh ibunya itu terdapat banyak luka yang menganga dan mengeluarkan cairan kuning. Bagian wajah yang seharusnya berisi hidung dan mulut terlihat rata seperti dijahit.
Sosok itu berdiri diam memandangi Guntara dari ambang pintu lalu tiba tiba saja berlari dgn sangat cepat ke arah Guntara!

Guntara tidak bisa menghindar. Kakinya kaku dan keberaniannya hilang. Ia menutup matanya pasrah saat sosok itu sudah sangat dekat dengannya.
Ia pasrah apapun yang terjadi..

Namun tiba tiba saja muncul sebuah cahaya menyilaukan matanya. Guntara memalingkan wajahnya karena silau, dan saat cahaya itu hilang, sosok menyerupai ibunya tadi sudah terkapar dengan kepala terbelah di tanah.
Sebuah tombak menembus kepala sosok itu yang entah darimana asalnya.

“Itu apa… mimpi macam apa ini…” gumam Guntara sambil mencengkram kuat kepalanya frustasi. Ia memukul mukul kepalanya, berharap dengan itu ia akan terbangun. Namun sampai kepalanya sakit, ia tidak terbangun.
Dalam keputusasaannya, Guntara mendengar suara bedug yang berasal dari arah surau. Meski ragu, Guntara memilih berjalan ke arah itu. Meninggalkan sosok menyerupai ibunya yang sudah tidak bisa lagi bergerak dan darah hitam mengalir dari kepalanya.
Di arah surau, ada banyak orang orang yang berkumpul. Mereka berwajah pucat pasi namun terlihat normal seperti manusia pada umumnya. Itu membuat Guntara merasa lega. Orang orang itu berdiri mengelilingi sesuatu. Dua bawah tiang kayu yang tertancap di depan Surau.
Karena badannya yang kecil, Guntara menyelinap dibalik orang orang itu untuk melihat apa yang terjadi. Sayup sayup ia mendengar orang seperti berpidato, disusul dengan suara sorakan orang orang yang ada disana. Namun pada saat akan melewati salah satu orang, Guntara tersandung.
Ia jatuh dan tanpa sengaja berpegangan pada kaki salah satu orang disana sblm terjerembab ke tanah.

“Ah maaf..” ujar Guntara sambil melihat ke arah orang yg ia pegangi. Namun saat melihat ke arah wajah orang itu, yg menghadap ke arah Guntara justru adalah punggung orang itu..
Sedangkan kaki yang ia pegang menghadap ke arah Guntara.. Guntara melihat seluruh kaki orang orang disana dan mereka semua sama..

Kaki mereka terbalik..

“AAA!!!” Guntara berteriak dan seketika menarik perhatian seluruh orang disana.

****
Di dunia manusia

Beberapa waktu setelah ashar, Bagindo Sati dan Firman sampai di kampung Rangkiang kembali setelah urusannya di kantor polisi selesai. Sementara Supardi izin untuk pergi, alasannya adalah untuk menyelesaikan beberapa urusan dan akan menyusul nantinya.
Tanpa terlebih dulu pulang ke rumah, Bagindo segera pergi ke rumah Pagaralam, disana ada sekumpulan warga yg menyambutnya dgn wajah cemas dan ketakutan.

“Bagaimana?? Saya dapat kabar barang barang Datuk ditemukan??” tanya Bagindo
“Iyo Bagindo. Itu barang barang nan basobok lah ado di dalam.. tapi Bagindo.. Datuak alun jo basobok do..” (Iya Bagindo. Itu barang barang yang ditemukan ada di dalam.. tapi bagindo.. Datuak masih belum ketemu..) ujar salah satu warga dengan wajah khawatir.
Bagindo Sati menghela nafasnya.
“Kita doakan masih ada keajaiban.. semoga beliau masih bisa kita temukan dalam keadaan selamat..” ujar Bagindo mencoba tenang.

Bagindo masuk ke rumah Pagaralam. Di dalamnya ada beberapa orang yg berkumpul dan membaca doa bersama.
Tujuannya adalah mendoakan keselamatan bagi Datuak Pagaralam dimanapun ia berada sekarang.

Di tengah ruangan, ada sebuah kain putih ya dibentangkan. Diatas kain itu ada sebuah tongkat, kacamata, dan baju milik Pagaralam yg ditemukan warga sebelumnya.
Bagindo memandangi barang barang itu dengan perasaan terenyuh. Itu adalah pakaian yg Datuk Pagaralam pakai malam tadi. Hampir saja air matanya menetes, namun ia sadar sebelum ada jasad yg ditemukan, peluang itu masih tetap ada.
Ia menyeka air matanya dan memandang balik ke orang orang yang ada disana.

“Bagaimana dengan Dedet? Apa ketemu?” tanya Bagindo.

“Sama dengan Pagaralam.. tidak ada yang bertemu dengan Dedet sejak pagi tadi. Tapi barang barang Dedet belum ketemu.." ujar salah satu warga.
“kita cari sampai malam.. coba periksa disekitar sawah sawah. Barengi juga dengan bacaan bacaan doa. Semoga apa yang ada dibalik tabir segera terbuka..” ujar Bagindo. Orang orang disana memahami apa yang ia maksudkan.
Bagindo Sati turun tangan untuk menyisir sawah lagi sore itu bersama yang lain. Bukan untuk mencari pelaku perusak sawah, namun mencari Datuk Pagaralam dan Dedet. Pencarian dilakukan hingga adzan Maghrib berkumandang.
Sayangnya tidak ada satupun petunjuk yang mereka dapatkan. Tapi Bagindo sama sekali tidak menyerah. Ia berniat melanjutkan ini hingga malam hari.

Saat sedang menyusuri salah satu sisi sawah bersama yang lain, salah seorang warga menyusul Bagindo Sati dan menyampaikan pesan.
“Bagindo, maaf, bini Bagindo manunggu di rumah Pagaralam..” (Bagindo, maaf, istri Bagindo menunggu di rumah Pagaralam) pesan orang itu.

“Ada apa?”

“Gakti Bagindo bisa tibo dulu kasinan..” (Mungkin Bagindo bisa pergi dulu kesana) jawabnya dengan segan.
Bagindo sudah membaca sesuatu yang tidak beres. Namun ia menolak untuk berprasangka buruk untuk hal ini.

Sesampainya di rumah Pagaralam, disana sudah berkerumun banyak orang, mereka mengelilingi rumah sambil melihat ke arah dalam.
Di dalam rumah tersebut ada istri Bagindo, Nek Pampang dan Mina. Air muka istrinya terlihat begitu cemas. Keringat dingin mengucur deras di kening istrinya itu. Jilbab yang biasanya ia kenakan dengan rapi, saat itu terlihat sangat berantakan.
“kenapa?..” tanya Bagindo sambil memegangi tangan istrinya yang begitu dingin karena ketakutan.

“Guntara yah.. Guntara belum pulang dan gaada dimana mana..” ujar istrinya.
Bagindo hampir saja mengatakan untuk memeriksa Guntara yang mungkin berada di rumah Abbas, namun ia sadar Nek Pampang dan Mina juga ada disana.

“..Abbas samo.. alun jo pulang lai do Sati..” (Abbas juga sama.. dia belum pulang Sati..) ujar Nek Pampang tanpa ditanya Bagindo Sati.
Sikap tenang Bagindo diuji. Ia mengatur nafasnya setenang mungkin meskipun dalam dirinya sudah sangat khawatir. Hal ini yang ia takutkan terjadi tepat setelah Datuk Pagaralam menghilang..
“kemana mereka terakhir kali terlihat?..” tanya Bagindo, pertanyaan itu ditujukan kepada Nek Pampang dan istrinya.

“terakhir tadi dia pulang sekolah izin mau ketemu Abbas.. dia bahkan tidak sempat makan..” ujar istri Bagindo.
“Tadi Guntara iyo sempat tibo ka rumah kami.. tapi ado nan aneh tajadi sabalunnyo.. Abbas..” (tadi Guntara memang sempat berkunjung ke rumah kami.. tapi tadi ada kejadian aneh yang sebelumnya terjadi..Abbas..) jelas Nek Pampang.
“Bukan nek! Itu bukan Abang!” potong Mina dengan air mata yg masih menggenang di matanya.

"apa yang terjadi?..” tanya Bagindo.
“Abbas tadi hampia ka mambaka rumah kami. Guntara tibo pas bana wakatu rumah kami hampia tabaka, untuang ado Buyuang tadi nan manangkok Abbas. Tapi sampai sinan tu kami mancaliak Guntara.. siap tu Abbas babao masuak, tu Guntara baliak pulang..”
(Abbas tadi hampir membakar rumah kami. Guntara datang tepat saat rumah kami hampir terbakar. Untungnya saat itu ada Buyung yang mencegah Abbas. Tapi kami melihat Guntara saat itu saja, ketika Abbas masuk ke rumah, Guntara pulang..) jelas nek Pampang.
“lalu.. kapan Abbas bisa hilang?..” tanya Bagindo.

“Abbas nan masuak rumah tu bantuaknyo babeda Sati.. Adiaknyo ko lo sadar abangnyo ko barubah. Abbas tadi bagak malawan ayahnyo surang. Tadi siap mandongkak ayahnyo, nyo lari dari rumah..”
(Abbas yang masuk ke rumah itu berbeda Sati.. Adiknya ini juga sadar bahwa abangnya berubah. Abbas tadi berani melawan ayahnya seorang diri. Setelah menendang ayahnya, dia lari keluar..) jelas nek Pampang lagi.
“kemana arah dia pergi?.. saya rasa Abbas dan Guntara sedang ada di tempat yang sama sekarang” tanya Bagindo Sati lagi.

“Saya tidak tau Sati.. yang tadi pergi mengejar Abbas itu ayahnya.." ujar Nek Pampang.
Tiba tiba saja dari arah luar, warga yg berkerumun membuka barisan mereka. Seseorang baru saja datang dan mereka mempersilakan orang itu masuk ke rumah Pagaralam.
“mereka pergi ke arah kebun jagung dan tidak keluar keluar lagi. Saya sudah menunggu mereka dari siang tadi hingga malam ini. Tapi mereka masih belum keluar” ujar Buyung yg muncul dari kerumunan warga tanpa mengucap salam sebelumnya.
“apa pak Buyung yakin mereka disana?..” tanya istri Bagindo Sati lemah.

Buyung menunjukkan sesuatu yang ia bawa. Sepasang sendal yang berlumuran lumpur.
“saya sudah menyusul mereka dan menyusuri kebun itu. Tapi hanya ini yang saya temukan. Saya rasa ini punya anak kalian bukan?” ujar Buyung sambil menyodorkan sendal itu ke tangan ibu Guntara.
“AYAHH… Ha….” Tangis ibu Guntara pecah saat menerima sendal itu. Iya, itu adalah sendal milik anaknya. Sama seperti Datuk Pagaralam, hanya benda bendanya saja yang ditemukan, tapi pemiliknya tidak.
Ibu Guntara meraung raung, pikirannya kacau dan mulai berpikiran hal buruk yg mungkin sudah terjadi pada anaknya. Orang2 sudah mulai membicarakan ttg kemungkinan adanya harimau atau hewan buas yg sudah memangsa Pagaralam, hal yg juga sangat mungkin terjadi pada Guntara dan Abbas.
Bagindo Sati memandangi istrinya dengan pasrah. Ia hanya bisa menenangkan dengan kalimat kalimat sabar, meski dirinya sendiri juga tidak tau apa yang bisa dilakukan.
Buyung tiba tiba menyentuh bahu Sati. Dengan kode gerakan kepala, Buyung mengajak Sati untuk keluar dan berbicara berdua. Bagindo Sati meminta izin untuk keluar bersama Buyung, dan menitipkan istrinya pada perempuan perempuan yang ada disana untuk dapat ditenangkan.
Ketika Sati mengikuti Buyung keluar dan menjauh, dari arah kerumunan muncul 2 orang yang mengikuti keduanya. Keduanya adalah warga biasa kampung itu yang berprofesi sebagai petani.
“saya tidak ingin membuat orang orang semakin panik. Saya tadi memang mengejar Abbas dan anak kau juga ikut mengejar dia. Tapi kau harus dengarkan ini” ujar Buyung.

Buyung memandang dua orang itu dan menyuruh mereka berbicara..
Kedua petani itu menarik nafas panjang dan membuangnya lewat mulut..

“Kami melihat Guntara saat dia berlari siang tadi dengan sangat cepat, kami juga melihat pak Buyung ada di belakang Guntara.. tapi pak Bagindo.. jalan di kampung ini hanya satu tanpa cabang..
.. tapi kami tidak melihat Abbas.. kami bahkan awalnya mengira Guntara lari menghindar dari Pak Buyung..” ujar dua petani itu.
Pandangan Bagindo Sati mendadak kosong. Ia menunggu petani itu membicarakan kemungkinan lain atau apapun yang meralat kalimat sebelumnya. Tapi dari wajahnya, Bagindo bisa membaca bahwa keduanya tidak berbohong.
“..kita sedang berhadapan dengan makhluk ghaib Sati.. dan dia sudah mengambil anak kau, anak saya, Pagaralam dan Dedet!” ujar Buyung.

******
Tepat pada tengah malam, Supardi dan Buyung bertemu di rumah Supardi. Keduanya sudah menyiapkan motor untuk perjalanan malam itu menuju satu tempat yang pernah mereka kunjungi dahulu sebelum pemilihan ketua Jorong.
Supardi menghisap rokoknya dengan tangan yang gemetar. Kalimat Bagindo Sati tentang akibat kehilangan Pagaralam terngiang2 di kepalanya. Ia selama ini merasa aman selama Pagaralam masih ada, namun menghilangnya tubuh Pagaralam dan beberapa penduduk kampungnya membuat Supardi-
-sadar ia sudah melakukan sesuatu yang benar benar berbahaya..

“Sialan kenapa harus sampai seperti ini?...” gumamnya dengan gelisah. Namun ia tidak ada pilihan lain demi melancarkan rencananya yang sudah setengah jalan.
Perjalanan membelah dinginnya malam itu harus mereka lakukan sesegera mungkin. Selama perjalanan, Buyung yang membonceng Supardi lebih banyak diam dan hanya menjawab sesekali pertanyaan Supardi.
Supardi dan Buyung menepikan motor pada salah satu pohon di depan sebuah rumah lalu melemparkan rokoknya ke tanah dan menginjaknya hingga padam. Mereka sudah menempuh berjam jam waktu perjalanan utk mencapai desa ini. Suasana desa itu terasa begitu berbeda dgn kampung Rangkiang.
Desa itu terasa sesuai dengan zaman, dan tidak tertinggal sebagaimana desa yang ia ketuai.

Ya, pembangunan memang tidak semerata itu di daerah daerah diluar Pulau Jawa karena pemimpin yang terpusat di dekat dekat ibukota saja.
Suatu daerah bisa terasa seperti tertinggal puluhan tahun dari daerah lainnya. Listrik, kendaraan dan pesawat telepon menjadi hal mewah yang sudah menunjukkan majunya suatu daerah kala itu.
Supardi mengetuk rumah yang ada di sudut kampung itu. Rumah dengan cerobong asap dan dinding yang sudah memudar karena jarangnya dirawat. Sebuah lampu kuning redup menyala di halaman rumah itu, setidaknya cukup untuk menerangi posisi pintu rumah ini ditengah gelapnya malam-
-seperti saat Supardi dan Buyung mengunjunginya saat ini.

Tok tok tok “ada orang?” panggil Supardi dari luar.

“Masuaklah...” (masuklah) ujar suara dari dalam.
Supardi tidak melepas sendalnya dan melangkah masuk ke rumah kayu yang berbau lembab itu, begitupun Buyung. Di dalam rumah yang sangat minim cahaya itu, ada seorang wanita paruh baya berambut pendek dan seorang anak laki laki yang tengah tidur di atas lantai.
“A nan paralu diang lai? Lah lamo na rasonyo sajak ang terakhir kamari untuak mandapekan posisi ang kini tu” (Apa yg kau butuhkan lagi? Sudah lama rasanya sejak kau terakhir kali kesini utk mendapatkan jabatan kepala jorongmu itu) ujar wanita itu sambil terkekeh.
Pertanyaan itu ditujukan kepada Supardi. Wanita itu menatapnya dengan tatapan yang meresahkan.
“ini bukan lagi tentang jabatan, tapi ini tentang kekayaan. Jabatan ini tidak otomatis membuat saya kaya. Bahkan saya merasa tidak ada keuntungan apapun dari jabatan ini karena saya tidak didengarkan oleh orang orang bodoh itu!” jelas Supardi berdengus kesal.
“AHAHAHA. Nan namonyo urang tu yo ndak parnah puaih do. Tapi tulah urang, dek itulo ado sumangaiknyo untuak iduik!” (AHHAHAHA. Manusia memang tidak pernah puas. Tapi karena itulah manusia punya alasan untuk terus hidup) ujar wanita itu.
“Tu a masalah ang kini?” (lalu apa masalahmu sekarang?) lanjut wanita itu lagi.

“saya mendapatkan proyek membuka lahan untuk pabrik sawit di daerah yang saya kepalai. Proyek ini bernilai sangat besar, akan mengambil lahan persawahan dan sebuah bukit.. tapi margin pembayaran ke-
-masyarakat dengan apa yang mereka gelontorkan akan sangat menguntungkan saya..” jelas Supardi.

“Ndak pantiang di den tu doh. A intinyo nan ka ang karajoan??” (Saya tidak peduli tentang itu. Apa yang mau kau lakukan pada mereka?..) potong wanita itu.
“warga itu menolak untuk menandatangani surat penyerahan tanah mereka. Saya mencoba untuk merusak sawah mereka dan berharap orang orang itu akan dengan terpaksa menjual sawah sawah gagal itu kepada saya...
..Tapi sekarang, sepertinya saya bukan melawan penduduk saya saja.. tapi juga penduduk bukit”

“bapahuni bukik tu?” (bukit itu berpenghuni?)
“ya.. bukit itu menurut cerita orang orang tua dahulu adalah bukit orang bunian.. dan mereka sudah menghilangkan tiga orang dalam waktu satu hari saja”
“A nan mambuek urang urang tu hilang? Urang urang ang nan hilang tu?” (apa yang membuat orang orang itu hilang? Orang orang yang hilang itu suruhanmu?) tanya wanita itu lagi.
“Bukan.. mereka adalah warga biasa yang justru berlawanan dengan saya. Satu diantaranya adalah seseorang bergelar Pagaralam..” jelas Supardi.
Wanita itu mendelik seperti keheranan.
“Urang bagala Pagaralam ndak mungkin hilang dibaok Urang Bunian.. Inyo tu pawangnyo.. mungkin inyo sadang pai kama..”
(seseorang yang bergelar Pagaralam tidak mungkin hilang dibawa Bunian.. dia itu justru adalah pawang mereka.. mungkin dia saat ini sedang pergi saja) ujar wanita itu membantah kisah Supardi.
“Tidak… dia tidak pergi kemana mana.. barang barangnya sudah ditemukan. Semua ditemukan di bukit itu, tapi jasadnya menghilang..” jelas Supardi.

Wanita itu mengangguk seakan sudah mengerti apa yang sedang terjadi.
“Pagaralam kampuang ang lah mati. Mati dek urang. Dan kini jasadnyo lah dibaoknyo dek Bunian..” (Pagaralam desa kau sudah mati. Mati dibunuh oleh orang. Dan saat ini jasadnya dibawa oleh Bunian.) ujar wanita itu.
“…Dibunuh orang?..” Supardi tidak percaya. Buyung disisinya hanya diam tanpa ekspresi mendengar kalimat mengagetkan itu.

“Yo.. indak Bunian gai nan mambunuah Pagaralam. Aden yakin. Bunian tu pamegang janji arek. Kok ang taruihan karajo ang tu, binaso kalian sadonyo..”
(Ya.. bukan mereka pelaku pembunuhan Pagaralam. Saya yakin. Bunian memegang perjanjian dengan sangat kuat. Kalau kau teruskan pekerjaanmu ini, bisa bisa kalian binasa berhadapan dengan mereka..) ujar wanita itu lagi.
“justru itu alasan saya datang kesini sekarang..” ujar Supardi dengan tatapan serius.
“mereka hanyalah makhluk primitif yang ada di bukit. Kita manusia lebih kuat dari mereka. Apa kau bisa memberikan saya kekuatan untuk mengalahkan mereka?? Saya akan habisi Bunian, mengembalikan orang orang yang hilang dan membuktikan bahwa saya adalah yg lebih berhak dihormati,
lalu mereka menjadikan saya Pagaralam selanjutnya!” ujar Supardi menggebu.

Tiba tiba dari sudut ruangan lain terdengar kekehan tawa seorang pria. Setitik pijar nyala rokok terlihat disana.
“abang benar benar mencari cara yg sulit ya.. padahal jika kau mau berkeluarga dan punya anak, kau bisa melakukan apa yg akan saya lakukan pada anak perempuan saya saat usianya cukup nanti. Sayangnya orang sepertimu, wanita saja jijik melihatnya haha” ejek org itu dari kegelapan.
“teruslah tertawa. Kau lebih pantas menggantikan posisi setan karena berani beraninya mengambil cara itu untuk mendapatkan kekayaan!” bentak Supardi.
“Tapi dia anak saya, dan itu adalah hak saya. Saya yang rugi karena kehilangan, tapi saya juga mendapatkan kekayaan atas itu ahaha” tawa orang itu lagi sambil beranjak berdiri.
“kau akan merasakan akibatnya saat nanti perjanjian kau habis dan kau harus mencari tumbal baru untuk itu! Kau tau cara yang kau piiih dapat berakibat fatal jika kau tidak bisa memberi dia makan lagi kan?? Nikmatilah kekayaan kau nanti yang akan lenyap seketika!”
kedua orang itu saling ejek dan memaki satu sama lain.

“hahaha… kau mencoba menakuti orang yang salah, Supardi. Bayi yang baru lahir dari istri saya itu anak perempuan. Sesuai dengan yang saya inginkan. Saya hanya akan membesarkan anak laki laki saja...
...Anak laki laki adalah kebanggan bagi seorang ayah. Anak yg akan meneruskan sifat dan cita cita ayahnya. Lagipula, 10 tahun adalah jarak yg cukup lama untuk membuat anak kedua nantinya. Tak ada yg perlu ditakutkan” pria itu muncul dari kegelapan dan memandang remeh Supardi.
Buyung hanya diam, matanya seperti berpikir sesuatu setelah mendengar kalimat pria itu. Wanita di hadapannya juga diam tidak ikut campur perdebatan dan saling ejek itu. Hanya Supardi yang meladeni ucapan orang itu daritadi.
“Orang seperti kau inilah yang membuat saya yakin setan dari golongan manusia lebih jahat daripada jin, Panji!” bentak Supardi ketika Panji melalui kursi tempat ia duduk.
“Sst sst ssst, sesama setan jangan saling memaki. Selesaikan saja urusan kau dengan Nur. Saya pergi dulu untuk cari angin!” ujar Panji keluar dari rumah itu.

Supardi berdecak kesal. Nur, dukun paling terkenal di desa yang kini ada di hadapannya memandanginya dalam dalam.
“ang tau sia nan ang lawan?..” (kau tau siapa yang kau lawan?) tanya Nur.

“Ya!” jawab Supardi yakin.
“urang biaso ndak ka bisa malawan Bunian.. senjata senjata kalian ndak ka kanai ka paja paja tu . Kalian harus manyiapan pasukan nan sapadan..” (manusia biasa tidak akan bisa melawan mereka.. senjata senjata kalian akan menembus mereka dan hanya akan mengenai udara udara kosong.
Kalian harus menyiapkan pasukan yang sama dengan mereka..) jelas Nur.

“Apa kau bisa memberikan kami itu?? Pasukan jin yang kau punya untuk menghancurkan Bunian?” tagih Supardi semakin menggebu.
“Ndak.. jumlahnyo harus banyak.. nan ka ang lawan satu bukik..” (tidak.. jumlahnya harus banyak.. yang akan kalian lawan seluas satu bukit) jelas Nur.
“Coba kau lihat dulu kondisi bukit itu. Ada pasukan tidur yang bisa kami gunakan jika kau punya cara menjinakkan mereka..” Buyung yang daritadi diam angkat bicara.

“A makasuik ang?” (apa maksudmu?) tanya Nur.
“lihat saja dahulu. Lalu kau akan tau apa yang saya maksudkan” Buyung menjulurkan tangannya.

Nur menyentuh tangan itu dan matanya terpejam. Ia merapal mantra mantra yg membuatnya bisa melihat kondisi bukit sebagaimana yang ada di pikiran Buyung.
Setelah beberapa saat, Nur membuka matanya.

“cukuik.. jumlahnyo cukuik untuak itu.. ang lah manyiapan ko sajak awal???” (cukup.. jumlahnya cukup untuk itu.. kau sudah menyiapkannya sejak awal???) ujar Nur dengan tatapan tidak percaya.
“tidak.. tapi saya tau suatu saat itu akan berguna..” ujar Buyung.

“Apa?? Apa yang kalian bicarakan???” tanya Supardi yang bingung dengan percakapan keduanya.
“Kita akan tundukkan dan gunakan jin jin liar yang mengerubungi sawah sawah yang diletakkan jimat oleh warga sebagai pasukan kita melawan penghuni bukit Bunian..“ ujar Buyung.

“…” Supardi diam dan tidak bisa berkomentar. Ia bahkan tidak terpikirkan itu sebelumnya.
“Tapi mambuek jin jin tu tunduak ka satu urang payah. Banyak nan ka baagiah tu” (Tapi untuk membuat jin jin itu tunduk ke satu orang adalah hal yang susah. Banyak yang harus kalian berikan) jelas Nur.

“Memang apa yang harus dilakukan?..” tany Supardi.
“Ang harus..” (kau harus..) Nur baru saja akan menjelaskan namun ucapannya dipotong oleh Buyung.

“Terserah! Saya sudah tidak peduli dengan proyek bukit ini. Saya akan lakukan apapun agar anak laki laki saya bisa kembali!” tegas Buyung.
.
.
.
.
Bagian 4 Bukit Orang Bunian "Tiang Peradilan" -SELESAI-

BERSAMBUNG KE BAGIAN 5
Cerita bagian 5 dan bagian 6 sudah tersedia ebooknya di Karyakarsa, bagi yg mau baca versi lengkapnya tanpa kepotong potong, bisa klik link dibawah ya. Untuk thread Bagian 5 akan kita mulai lagi senin malam, InsyaAllah

karyakarsa.com/Mwvmystic/part…
Terima kasih bagi yg sudah membaca dan sampai bertemu di kelanjutan cerita ini yaa

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with mwv.mystic

mwv.mystic Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @mwv_mystic

Apr 22
Terlihat menangisi jenazah mertuanya di rumah sakit yang dibu*nuh begal, Novi ternyata adalah otak rencana pembu*nuhan itu sendiri.

Kendari, 7 April 2024

a thread Image
Minggu, 7 April 2024, dalam suasana jelang hari raya Idul Fitri. Masyarakat Kelurahan Anduonohu, Kecamatan Poasia, Kota Kendari digegerkan dengan kasus begal yang memb*nuh korbannya a.n Mirna, 53 tahun.
Korban meninggal dunia akibat dijerat menggunakan tambang di bagian leher, serta 10 luka tusuk menggunakan senjata tajam yang juga terdapat pada bagian leher. Image
Read 14 tweets
Apr 13
SENGKETA TANAH BERDARAH
PART 4

"Mulut yang Dijahit"

Sebuah kisah nyata dari sudut pandang seorang pengacara kasus sengketa

a thread Image
Cerita ini adalah kelanjutan dari 3 Part sebelumnya. Untuk yang baru bergabung, Part 1-3 bisa dibaca pada utas dibawah (part 1 dan 2 tertera juga di utas part 3)

..

“saya khawatir, orang ini akan terus mengirimkan hal hal buruk pada kalian selama kalian menganggu urusannya..dan ini saja, dia sampai mengirim lima media sekaligus” jelas Kyai Hanif.

“Jadi kami harus terus kesini secara rutin Bah?..” tanya Sandra lemas.
Read 282 tweets
Feb 28
Mengingat SONDANG HUTAGALUNG,
Mahasiswa Universitas Bung Karno yang melakukan aksi bakar diri di depan Istana Merdeka Jakarta, 7 Desember 2011

a thread Image
Sondang Hutagalung adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Jakarta angkatan 2007. Selama menjadi mahasiswa, menurut penuturan rekannya, ia dikenal sebagai pribadi yang lebih aktif dibidang aktivis ketimbang di bangku perkuliahan. Image
Orang orang memandangnya sebagai seseorang yang santai dan kreatif, namun disisi lain dia juga kritis terdahap pemerintahan presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono.

📸Sesawi. net Image
Read 22 tweets
Feb 25
SENGKETA TANAH BERDARAH

Sebuah catatan seorang lawyer ketika berhadapan dengan lawan hukum yang menghalalkan segala cara demi menang...

PART 2
"Wanita Berbaju Merah"

a thread Image
Cerita ini adalah kelanjutan dari Part 1 "Klien Baru". Bagi yang baru bergabung, Part 1 bisa dibaca pada utas dibawah terlebih dahulu:

Disclaimer : cerita ini didasari oleh pengalaman nyata narasumber. Namun seluruh nama orang dalam cerita ini bukanlah nama sebenarnya. Terdapat beberapa penyesuaian atas dasar privasi narasumber dari kejadian aslinya demi kebaikan banyak pihak.
Read 294 tweets
Feb 17
Pak Beni yang seharusnya bersaksi pada persidangan besok tiba tiba ditemukan pingsan. Bibirnya terkatup dan tidak bisa terbuka.. dan ternyata mulut beliau "dijahit" oleh lawannya..

Diangkat dari kisah nyata seorang kuasa hukum di Jakarta

SENGKETA TANAH BERDARAH

a thread Image
Ketika manusia memiliki keinginan untuk menguasai sesuatu, bukan tidak mungkin ia menggunakan beragam cara. Entah dgn cara cerdas penuh perhitungan, atau menggunakan cara pintas diluar dari norma sosial.
Hal yang sama terjadi dalam dunia hukum di tanah air ini. Walaupun terdengar tabu, nyatanya hal hal klenik beberapa kali mewarnai proses persidangan yang berlangsung. Peristiwa aneh ini bukan terjadi pada lawannya saja, bahkan kepada kuasa hukum orang yg menjadi lawannya itu.
Read 294 tweets
Feb 5
PETISI 50

Saat para tokoh bangsa bersuara mengkritik penyimpangan pemerintahan Soeharto

a thread Image
Pada 1977, diadakan Pemilu pasca penggabungan partai politik menjadi 3. Yakni PDI, PPP dan Golkar sebagai petahana.

Hasilnya sesuai dugaan, Golkar masih tetap menang dengan perolehan lebih dari 60% total suara nasional.
Namun sebuah kejutan hadir dari hasil perolehan suara di DKI Jakarta dan Aceh. Pada kedua daerah ini, PPP, partai gabungan partai partai Islam menang mengungguli suara Golkar.
Read 57 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(