Diosetta Profile picture
Jun 1, 2023 622 tweets >60 min read Read on X
DESA GENDERUWO
- A Thread -

"Apakah aku memang dilahirkan, hanya untuk ditumbalkan?"

@bacahorror @IDN_Horor @P_C_HORROR #bacahorror Image
“Kalau ibu udah nggak ada, kamu tinggal di rumah Paklekmu ya, Nduk..”

Sebuah kalimat lirih terdengar dari ibu yang sudah sangat lemah untuk melawan penyakitnya.

Aku menyuapkan sesendok bubur pada ibu dan membersihkan sedikit bubur yang berada di sekitar bibirnya.
“Ibu jangan ngomong gitu, Kinan percaya ibu bisa sembuh,” Balasku.
Perkataanku bukan hiburan semata, tetapi lebih kepada doa dan harapanku agar ibu bisa tetap bertahan hidup. Tanpa keberadaan ibu, sudah tidak ada siapa-siapa lagi di rumah ini.
Bapak sudah lebih dulu meninggal saat aku kecil sebelum aku bisa mengingatnya, dan di desa kecil ini tidak ada lagi yang mengurusku.
“Nanti di rumah Paklek, kamu bantu-bantu mereka sebisanya. Kamu bisa bantu ngurus Bayu, adik sepupumu untuk meringankan beban Paklek dan Bulekmu..” Lanjut ibu.
“Iya bu, tenang aja. Kan masih lama.. Kinan maunya ngurus ibu dulu aja,” balasku sembali menyuapkan kembali suapan terakhir dari mangkuk bubur ke mulut ibu.
Namun tanpa aku sadari, suapan itu ternyata adalah suapan terakhir untuk ibu. Aku dihadapkan pada kenyataan bahwa mata ibu tak kembali terbuka saat matahari kembali terbit. Jantung ibu tak lagi berdetak dan tidak dapat kutemukan nafas dari tubuhnya.
“Jadi, inikah yang dinamakan kematian?”
Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi setelahnya. Yang aku tahu, setelah aku melaporkan ini kepada tetangga sekitarku, banyak orang datang ke rumah dan mengurus jasad ibuku.
Mereka memperlakukanya jasad ibu dengan baik. Beberapa dari mereka menitikkan air mata saat mengetahui kepergian ibu. Sementara itu banyak orang yang mendekat padaku berusaha menghiburku.
Tapi semua niat baik mereka hanya lewat begitu saja dihadapanku yang masih belum menerima kenyataan ini.
Sampai saat di pemakaman, diapun datang. Seseorang terburu-buru keluar dari mobil dan bergegas menghampiriku.
Ia tidak berbicara apapun dan langsung memelukku saat kedatanganya.
“Sekarang Kinan anak Bulek ya..”
Saat itu aku menatap wajah bulek sesaat dan tanpa sadar seluruh air mataku terurai deras.
Bulek terus memelukku sementara Paklek menghampiri warga untuk memperkenalkan dirinya sekaligus mengabarkan bahwa merekalah yang akan mengasuhku.
Aku mengingat bagaimana leganya wajah warga desa saat tahu ada yang akan merawatku.
Wajah mereka yang sebelumnya khawatir berubah menjadi wajah yang tenang. Memang sebaik dan sepeduli itu mereka padaku dan ibuku selama ini.

“Nanti kamu Bulek daftarin di SMP yang sama dengan SMA Bunga, jadi berangkatnya bisa bareng..”
Bulek berusaha menghiburku sembari menceritakan tentang bagaimana kehidupanku bersama mereka nanti. Aku percaya dengan ucapan mereka, namun aku juga memegang ucapan ibu bahwa aku harus sadar posisiku disana.
Biar bagaimanapun posisiku adalah menumpang, aku harus berguna untuk mereka dan harus bersiap bila tidak diperlakukan sama dengan Bunga dan Bayu.
Akupun meminta waktu untuk mempersiapkan barang-barangku dan menunggu setelah tujuh hari kepergian ibu.
Aku berjanji akan menyusul mereka setelahnya.
Sebenarnya, mereka menawarkan untuk menjemputku, namun aku memilih untuk naik bus kota.
Lagipula desa mereka tidak terlalu jauh, dan rumah Paklek tidak terlalu sulit untuk ditemukan karena merupakan salah satu rumah terbesar di desanya.
Hampir setiap malam kuhabiskan dengan menangis.
Semua kenangan tentang ibu dan rumah ini terlalu lekat di pikiranku, namun aku sadar bahwa sudah saatnya aku meninggalkan rumah ini.
Malam sebelum aku berangkat, tiba-tiba ada suara kelukan lemah di pintu rumah.
Aku yang hampir saja tertidur meninggalkan ranjangku dan melangkah menuju pintu.

“Kulo nuwun…” (Permisi…)

Terdengar suara lemah seseorang perempuan yang cukup tua dari arah luar.

“Mbah Dar?”
Aku terheran dengan kedatangan Mbah Dar. Kami sudah bertemu sebelumnya di pemakaman ibu, namun aku tidak menyangka ia akan datang ke rumah.

“Piye kabare kowe,Nduk?” (Gimana kabar kamu nak?) tanya Mbah Dar.
“Sae Mbah, Wis boten kenopo kenopo,” (Baik Mbah, sudah tidak apa-apa.) balasku sembari mempersilahkan Mbah Dar untuk masuk.

Sebenarnya aku dan Mbah Dar cukup dekat. Ia tinggal sendirian di rumahnya dan tak jarang aku menghantarkan masakan ibu dan sedikit membereskan rumahnya.
Tak hanya aku, beberapa warga desa juga ikut merawat Mbah Dar.

“Nek Mbah Isih kuat, Mbah pasti nawani kowe tinggal sama Mbah. Nanging ngapunten yo nduk, mbah wis sepuh raiso nulungi kowe..”
(Kalau mbah masih kuat, Mbah pasti nawarin kamu tinggal sama Mbah. Maaf ya nak, Mbah sudah tua nggak bisa nolongin kamu)

“Matur nuwun Mbah, Sing penting Mbah sehat, waras, dadi yen bali menyang desa iki Kinan iso mampir,”
(Terima kasih mbah, yang penting mbah sehat, waras, jadi kalau pulang ke desa ini Kinan bisa mampir) Balasku sembari mengelus-elus punggung Mbah Dar.
Iapun menggenggam tanganku dan mendoakan kesehatanku dan berbagai hal-hal baik.
Akupun mengaminkan sembari mendoakan balik dirinya. Aku sempat berpikir, saat sudah bekerja nanti mungkin saja aku bisa kembali ke desa ini dan merawat dirinya.

“Ini buat kamu, Nduk..”

Mbah Dar mengeluarkan sebuah benda berbentuk kalung. Tidak terlalu mencolok.
Hanya tali hitam bersama sebuah bandul yang terlihat cukup indah dengan desain kunonya.

“Ini emas kan mbah? Kok dikasi ke Kinan?” Tanyaku.

“Mbah sudah nggak punya anak lagi, Mbah mau kamu nyimpen ini. Satu-satunya yang tersisa dari warisan keluarga Mbah,” jelasnya.
Aku beberapa kali menolak, namun Mbah terus memaksa. Menurutnya dia merasa tenang saat benda miliknya yang paling berharga sudah di tangan yang tepat.

Akhirnya akupun menyetujuinya dan berjanji akan menjaganya. Iapun berpamitan dan sekali lagi mendoakan yang terbaik untukku.
***
KEDIAMAN KARTOSUWITO

Desa Lawangsari 1996,
“Gapura kiri yo Pak,” ucapku memberhentikan bus yang kunaiki dari terminal dekat rumah.
Pengemudi buspun melambatkan kendaraanya dan berhenti tepat di tempat yang kuminta.
Aku memastikan barang bawaanku sebuah tas yang kugendong di punggung ,dan satu tas yang kutenteng sudah kubawa.

“Matur nuwun, Pak!” (Terima kasih, Pak!) Ucapku yang dibalas dengan lambaian tangan singkat dari pengemudi bus yang sudah cukup sepuh itu.
Desa Lawangsari…
Sebuah gapura bertuliskan nama desa terpampang di hadapanku. Akupun menarik nafas dalam-dalam mempersiapkan diri untuk perubahan hidupku setelah ini.

“Mbak Kinan ya?” tiba-tiba seseorang menyapaku dari sebuah pos jaga di dekat gapura.

“Iya, Masnya siapa?” tanyaku.
“Panggil Mas Puguh saja, tukang kebunya Paklekmu. Saya disuruh nunggu di sini jemput Mbak Kinan.” Jawabnya.

Aku tidak menyangka Paklek sampai menyuruh seseorang untuk menjemputku. Memang rumah mereka masih cukup jauh dari gapura.
Kira-kira butuh waktu dua puluh menit berjalan kaki, sebenarnya akupun sudah siap dengan itu.

“Terima kasih Mas Puguh, malah jadi ngerepotin,” balasku.
“Hehe.. Ndak papa Mbak Kinan, kan anggapanya saya jadi libur setengah hari sambil nunggu Mbak Kinan,” ucapnya sembari sedikit tertawa.

“Sambil menyelam minum air ya mas?”

“Nah, betul! Airnya diangetin terus dikasi gula sama kopi, cocok!”
Mas Puguhpun membawakan tas tentenganku dan meletakanya di tanki motor dua tak di hadapanya. Dengan susah payah akupun menaiki motor berkenalpot bising yang suaranya menggema hingga ke kebun-kebun warga di sekitar.
Menuju rumah Paklek, kami melewati beberapa rumah yang jaraknya saling berjauhan. Beberapa malah cukup jauh dengan dipisahkan kebun-kebun tanaman palawija yang menjadi penghasilan beberapa warga di sana.
Namun dengan bantuan Mas Puguh, akupun bisa sampai ke rumah Paklek dalam waktu singkat.

“Mbak, selamat datang di kediaman keluarga Kartosuwito,” ucap Mas Puguh yang memarkirkan kendaraanya di depan pagar dan membantu menurunkan barang-barangku.
Sebuah rumah yang cukup besar terlihat di hadapanku. Dari balik pagarnya saja masih ada halaman yang cukup luas dengan beberapa pohon besar yang berdiri dengan tegap di sana. Kolam ikan dan tanaman yang sepertinya cukup mahal juga menghiasi taman di halaman itu.
“Kenapa Mbak Kinan?” tanya mas puguh yang bingung melihatku terpaku.

“Rumahnya gede ya mas, dulu belum sebesar ini,” balasku terpukau.
“Berarti Mbak Kinan sudah lama nggak main ke sini ya? Rumah ini sudah dibangun hampir lima tahun yang lalu, tapi saya baru kerja di sini tahun lalu,” Cerita Mas Puguh.
Aku mengingat rumah ini dulunya hanya tanah kosong dengan banyak kebun pisang dan bangunan yang hanya setengah dari rumah yang sekarang.

Dulu saja aku sudah menganggap rumah ini cukup mewah bila dibandingkan dengan rumahku dan ibu di desa,
tapi sekarang aku harus menyebut rumah ini apa? Istana?

Suara langkah kaki seseorang menghampiri kami keluar. Sepertinya ia terpanggil dengan suara knalpot motor Mas Puguh yang memecah keheningan desa.
“Eh, udah sampe! Ayo cepetan masuk Kinan!” Sambut Bulek segera menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam rumah. Aku menoleh ke arah tas tentenganku, namun Mas Puguh memberi isyarat aku untuk mengikuti bulek saja sementara ia membantu membawakan tasku.
“Bayu, Bunga, sini.. masih inget Kinan kan?” Panggil bulek pada kedua anaknya.

Ada seorang anak laki-laki dan seorang perempuan yang sedikit lebih tua dariku menghampiri Bulek.
“Inget donk Bu! Tapi dulu masih kecil, masih segini nih,” Jawab Bunga sembari memperagakan tanganya diantara pinggangnya.

Dia Bunga, anak tertua Bulek dan paklekku. Kalau tidak salah umurnya tiga tahun lebih tua dariku.
Kalau sekarang aku masuk kelas tiga SMP, berarti dia saat ini sudah di kelas tiga SMA.

“Halo Mbak Bunga,” balasku cukup senang kalau dia masih mengingatku.

“Bunga aja, dari dulu juga manggilnya begitu. Apalagi ibumu kan lebih tua dari Bapak,” Balasnya.

“Iya Bunga,”
Ada seorang lagi yang tengah bersembunyi di belakang Bulek, dia adalah anak terakhir dari keluarga pakleku. Bayu namanya.. Bayu Kartosuwito.

Dia cukup canggung, mungkin karena terakhir bertemu denganya dia masih baru belajar jalan.
Sedang sekarang sepertinya dia sudah bisa mengenali seseorang.

Akupun sedikit berjongkok dan menyamakan pandangan mataku denganya, “Bayu ya? Udah sekolah belum?”

Bayu menatapku dengan sedikit malu-malu sembari terus menggenggam rok ibunya.
“Ke—kelas satu,” jawabnya singkat sembari memasang raut wajah malu-malu.

“Wah sudah besar ya! Di sekolah belajar apa? Mbak Kinan bantu ajarin mau?” Tanyaku.

Bayupun mulai keluar dari persembunyianya di belakang ibunya.
“Belajar tambah-tambahan, gambar-gambar, tulis-tulis..” Jawabnya polos. Namun setelahnya Bayu malah memamerkan hasil gambarnya dan ingin banyak bercerita.

Tapi sebelum terlalu jauh, Bulek menghentikan Bayu dan memintanya untuk kembali ke kamarnya dulu agar aku bisa beristirahat.
Sayangnya Bayu tetap kukuh ingin ikut meramaikan di sini.

“Nanti kalau Bayu sudah mandi sore, Mbak Kinan temenin main deh,” Rayuku

“Bener?” Tanya Bayu.

Aku mengangguk. Bayupun melambaikan tangan dan bergegas mengikuti Bunga menuju ke kamar.
“Hati-hati, itu anak nggak ada capeknya lho,” ucap Bulek.

“Wah, berarti seru donk Bulek,” balasku.

“Coba saja sendiri, Bulek nggak nanggung kalau kamu sampe ngos-ngosan,” ucapnya.

Ternyata kesan pertamaku di rumah ini cukup menyenangkan.
Kekhawatiranku bahwa aku akan canggung sepertinya sudah sirna. Namun aku masih belum tenang sebelum aku menemui Paklek. Setidaknya aku harus ijin padanya walau hanya formalitas.

“Nyariin Paklek?” Tanya Bulek yang sadar dengan sikapku yang memandang sekitar rumah.
“Iya Bulek, kok nggak keliatan?”

“Paklekmu lagi emang jarang di rumah, kalau kerja bisa tiga hari baru pulang. Tenang aja, Paklek udah tau kalau kamu dateng. Malah dia yang nyuruh siapain semuanya,” jelas Bulek.

“Syukurlah Bulek.”
Akupun dihantarkan di sebuah kamar tak jauh dari kamar bayu, tapi cukup jauh dengan kamar bunga yang di lantai atas. Mungkin ini yang dulu dimaksud oleh ibu, agar aku bisa sedikit berguna di rumah ini dengan membantu mengurus Bayu.
“Sudah, kamu istirahat dulu saja. Nanti kalau Mbok Yatmi sudah selesai masak, kita makan bareng-bareng,” ucap Bulek.

“Iya Bulek, matur nuwun,” balasku.

Setelah Bulek pergi, matakupun menyisir ruangan yang menjadi kamarku.
Tidak sebesar kamar Bayu dan bunga, namun ini jauh lebih baik dari kamarku di rumah sebelumnya.
Tapi bukan berarti aku senang…

Kalau aku disuruh memilih, aku akan tetap memilih di gubuk sederhana namun tetap bersama ibu.
Ada sebuah lemari kayu tua dengan cermin di pintunya dan kasur dengan dipan kayu yang cukup kokoh. Selain itu hanya ada meja kecil di sebelah kasur yang bisa kugunakan untuk menaruh barang. Semua perabotan yang disediakan bulek sangat mencukupi kebutuhanku.
Tak butuh waktu lama untukku membereskan barang-barang yang kubawa. Mayoritas hanya baju-baju dan buku pelajaran yang memenuhi tasku. Selain itu yang harus kuperhatikan adalah sebuah kotak berisi pemberian dari Mbah Dar.
Aku membukanya dan memandangi kalung sederhana dengan liontin emas yang cukup besar berbentuk segitiga terbalik dengan ukiran-ukiran. Ada permata akik hitam di tengahnya yang menjadi asesoris utamanya.

Krieeeeekkk….
Saat tengah memperhatikan kalung itu tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Akupun menoleh, dan secara tiba-tiba salah satu pintu lemari terbuka dengan sendirinya.
Akupun berdiri dan mengecek lemari itu. dan memang tidak ada apa-apa, hanya lemari kosong.
Mungkin saja pintunya sudah longgar dan sering terbuka sendiri. Saat mengetahui lemari itu tidak memiliki kunci, akupun memutuskan untuk mengenakan kalung itu dan menutupinya dengan bajuku agar lebih aman menempel di badanku.
Suasana makan malam di rumah ini cukup ramai. Ada Bayu yang harus dirayu untuk makan, ada Bunga yang malas makan di meja dan memilih makan di depan televisi, Dan Bulek yang sering memberi saran pada masakan yang dibuat Mbok Yatmi.
Selepas makan, aku dan Bunga banyak bertukar cerita. Ia memberiku beberapa barang dan kebutuhan sekolah miliknya untukku, ia sempat mengatakan bahwa ingin memiliki adik perempuan dan kali ini bisa terpenuhi.
Hari pertamakupun berakhir dengan tenang. Sepertinya aku tidak perlu khawatir berbaur dengan keluarga paklek. Yang perlu aku khawatirkan adalah bagaimana caraku bisa menerima kepergian ibu dan menahan rasa sepiku.

***
SALAM PERKENALAN

“Kinan, kamu tolong bersihkan itu ya,” suara Bulek terdengar lirih memerintah kepadaku.
Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh bulek.

Sebuah gumpalan berwarna merah yang tak berada jauh dariku. Entah mengapa melihatnya saja membuatku merinding.
“I—itu? Itu apa Bulek?” Tanyaku.
Di ruangan dengan cermin yang begitu besar bulek menarik tanganku dan membawaku mendekat ke benda menjijikkan itu.

“Lihat sendiri..”

Itu adalah gumpalan daging yang diselimuti darah segar.
Beberapa bagian sudah terpisah, namun dari bentuknya jelas aku bisa menilai bahwa itu adalah tubuh dan organ tubuh manusia. Sontak tubuhkupun lemas

“I—itu tubuh manusia?” tanyaku yang ketakutan.

“Iya, Bersihkan!” Perintah Bulek.
Tubuhku menolak dan mataku hanya terus melihat wajah bulek dengan tatapan mata yang sayu. Tapi saat aku ingin mencoba berbicara, tiba-tiba ada sepasang mata merah menatap dari dalam kegelapan. Ia ada di belakang bulek.

“Bersihkan!” Kali ini bulek berteriak dengan penuh amarah.
Akupun menoleh kembali ke gumpalan itu dan menyadari, bahwa baju yang robek itu adalah baju yang sama dengan yang dikenakan oleh Bayu..


“Kinan, bangun Kinan!” terdengar suara teriakan Bunga dari luar sembari mengetuk pintu.
Aku tersadar dari mimpiku dengan tubuh yang dipenuhi keringat. Entah mengapa mimpi itu terasa begitu nyata.
Saat mulai mendapatkan kesadaranku, aku mulai tersadar bahwa aku sudah tidak berada dirumahku sendiri dan buru-buru melihat jam.
Sungguh tidak sopan bila sudah menumpang tapi malah bangun paling siang.
Waktu menunjukkan pukul lima pagi. Mungkin inilah jam mereka biasa bangun pagi. Akupun merapikan rambut seadanya sembari mencari perlengkapan mandiku.

Tok tok tok…
“Kinan, sudah bangun?” Bunga memanggil lagi dan aku segera membuka pintu.

“Sudah, maaf kesiang…”

Perkataanku terhenti…

Baru saja aku mendengar Bunga mengetuk pintu dan memanggilku. Padahal aku membuka hanya selisih beberapa detik. Tapi aneh..

Tidak ada siapapun diluar…
Bahkan lampu di ruangan tengah dan atas masih mati seolah memang belum ada satupun anggota keluarga yang bangun.

“Bu—Bunga?” panggilku pelan,Tapi benar-benar tidak ada jawaban.
Seluruh tubuhkupun merinding seolah ada sosok yang tengah menatapku dari suatu tempat, tapi aku lebih memilih percaya bahwa suara tadi hanya pikiranya yang masih terbawa dengan mimpi buruk tadi. Semoga…

***
“Kinan, pagi banget bangunya. Nggak bisa tidur?” Tanya Bulek yang sudah sibuk di dapur bersama Mbok Yatmi saat aku keluar kamar.

“Bisa Bulek, nyenyak kok.” Balasku yang segera berinisiatif ke dapur untuk membantu mereka berdua.
Tidak mungkin aku menceritakan mimpi semalam pada Bulek yang sudah memberiku tempat tinggal.

“Udah Kinan, biar Bulek sama Mbok Yatmi aja. Kamu bangunin anak-anak aja gih,” ucap Bulek.

“Oh, baik Bulek..”

Akupun segera naik ke atas dan mengetuk kamar Bunga.
“Bunga, sudah pagi. Ayo bangun..”
Baru sebentar aku memanggil, pintu kamar sudah terbuka.

“Iya, sudah bangun kok. Kamu pagi banget bangunnya?”

“Iya, udah kebiasaan,” balasku tanpa berniat menceritakan kejadian subuh tadi.
Setelahnya aku kembali turun dan membangunkan Bayu. Sebelum aku mengetuk pintu kamar Bayu, seketika aku teringat mimpiku semalam.
Aku berharap semoga saja itu hanya mimpi tanpa arti.
“Bayu, ayo bangun.. sudah pagi,” panggilku sembari mengetuk pintunya.Tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar bayu.

“Masuk aja Kinan! Bayu susah bangung kalo nggak dipaksa,” teriak Bulek dari dapur.
Akupun membuka pintu kamar Bayu dengan perlahan.
“Lho Bayu, udah bangun kok nggak jawab Mbak Kinan,” Tanyaku yang melihat bayu sedang duduk di pinggir ranjangnya.

Ia duduk sembari menatap dengan tatapan mata yang kosong ke arah lemari kamarnya.

“Bayu..?”
Aku bingung apakah Bayu emang biasa seperti ini. ia benar-benar tidak menjawab panggilanku. Akupun mendekatinya dan hendak menyentuhnya.

“DOR!!!”

Seketika bayu menoleh ke arahku dan mengagetkanku. Akupun tersentak sementara Bayu malah tertawa cekikikan.
“Bayu! Ngagetin aja..”
“Hahahaha.. Mbak Kinan kaget kan? iya kan,” ledek Bayu.

“Awas ya kamu, berani-beraninya ngerjain Mbak Kinan,” ucapku sembari membalasnya dengan mengelitiknya.

“Ampun, ampun mbak kinan,” balasnya yang segera berlari keluar.
Bunga yang melihat tingkah Bayu hanya menggeleng sembari sedikit menertawakanku.
“Dasar, kamu iseng lagi ya, Bay?” Ucap Bunga yang menghampiri kami sembari meminum segelas air yang ia ambil dari dapur.
“Weeee biarin,” balas Bayu sembari kembali berlari kabur dariku.
Akupun tersenyum membiarkanya dan memilih mengambilkan handuk untuknya. Belum pernah aku merasakan keadaan seramai ini di rumah.

“Nih, cepet mandi..” perintahku pada Bayu.
Iapun mendekat mengambil handuk di tanganku dan berlari menuju kamar mandi.
“Jangan lari-lari, nanti kepeleset,” teriakku.
Aku melihat Bulek sudah berada di kamar bayu dan mempersiapkan seragamnya.

“Saya aja Bulek,” ucapku.
“Terima kasih lho Kinan, tapi nggak usah. kamu juga siap-siap. Nanti kamu ikut bunga ke sekolahnya buat ngurus pendaftaran, Bulek juga ikut nanti,” ucap Bulek.

“Baik Bulek..”

Setelah mempersiapkan bayu, akupun buru-buru bersiap dan mengenakan seragam dari sekolahku sebelumnya.
aku yakin seragam putih biru di sekolah manapun pasti sama.

Sekolah Bayu dan Bunga tidak begitu jauh dari rumah. Kami hanya perlu berjalan kaki selama beberapa menit. Walau begitu kata bunga kalau bapak sedang ada di rumah, mereka sering minta diantarkan ke sekolah dengan mobil.
Di sekolah, aku bertemu dengan beberapa guru dan melihat-lihat sekolah yang akan menjadi sekolahku. Bangunanya masih merupakan bangunan tua, namun sangat terawat. Yang jelas sekolah ini jauh lebih besar dari sekolahku.
Aku hanya diminta mempersiapkan beberapa berkas dan mengumpulkanya saat mulai bersekolah besok.

Dalam beberapa hari, aku sudah mulai bisa membiasakan diri di rumah ini. Bayu juga mulai dekat denganku, bahkan malah mulai semakin manja.
Bunga banyak membantuku di sekolah, guru-guru banyak mengenal bunga dan dia memperkenalkanku sebagai adiknya sehingga aku tidak begitu kesulitan. Walau begitu aku masih belum memiliki teman akrab di sekolah.
Mungkin karena aku dan Bunga masih sering bertemu setiap jam istirahat dan pulang sehingga jarang memiliki waktu untuk berkenalan lebih dalam denan teman-teman di sekolahku.
Tapi, walau begitu masih ada satu hal yang masih membuatku penasaran.
Sudah lebih dari satu minggu aku tinggal di rumah ini, namun sampai sekarang aku masih belum bertemu dengan Paklek.

***
SANG PEMILIK RUMAH

Hujan deras mengguyur desa sudah sejak siang tadi. Sesekali hujan mereda menjadi rintik-rintik, namun sesekali juga kembali deras kembali. Hal ini membuat aku dan yang lain memutuskan untuk tidur lebih cepat dan menikmati suara hujan dari kamar masing-masing.
Lewat tengah malam, aku tidak sengaja terbangun dengan suara pintu luar yang terbanting. Ada suara langkah kaki seseorang yang masih menggunakan sepatu masuk dengan terburu-buru.
Menyusul hal itu terdengar suara pintu kamar yang terbuka bersama suara seseorang yang menuruni tangga. Ada suara bulek dan seorang pria yang berbicara dengan berbisik. Aku tidak bisa mendengar dengan pasti apa pembicaraan mereka.
Tapi setelah itu, kembali terdengar suara pintu depan tertutup setelah terdengar suara dua orang yang mengarah keluar.
Aku merasakan hening sesaat. Hanya suara rintikan hujan yang terdengar di telingaku.
Tetapi beberapa saat kemudian, aku melihat ada cahaya yang sekilas menyinari jendela kamarku yang menghadap ke kamar belakang.
Aku sedikit menyibakkan gorden jendela dan mendapati ada dua orang yang sedang melakukan suatu hal di bawah pohon besar itu.
Itu bulek, ia membawa payung dan memayungi seorang pria yang tengah memasang sesaji dalam sebuah nampan besar. Ia menyiapkan sesuatu hingga terlihat sedikit asap yang akhirnya sirnah oleh tetesan hujan. Pria itu duduk bersila seperti melakukan suatu ritual.
Aku tidak mengerti dengan apa yang kulihat, yang pasti pemandangan itu berhasil membuat bulu kudukku berdiri.
Brakk!!!
Tiba-tiba suara keras terdengar dari belakang kamarku. Aku menoleh dan mendapati pintu lemari terbuka dan menutup dengan sendirinya.
Kini pintu itu terbuka perlahan lagi. Aku tahu hanya ada pakaianku yang menggantung di sisi lemari itu, tapi dalam kondisi lampu yang tidak menyala, aku merasakan ada sesuatu yang menatapku dari sana.
Akupun menyalakan lampu kamar dan melihat ke arah lemari lagi. Benar, tidak ada apapun di sana. Tapi aneh, benar-benar aneh. Aku yakin pintu yang digebrak itujelas bukan karena angin.
Akupun memutuskan untuk menutup kembali lemari lagi dan kembali mengintip ke halaman belakang.
Tapi, kedua orang itu sudah tidak ada lagi di sana. Hanya tersisa sisa-sisa sesajen yang sudah basah terguyur hujan.
Aku melamun mempertanyakan apa yang sedang mereka lakukan di sana. Ini jelas sesuatu yang tidak biasa.
Akupun menganggap bahwa mungkin memang setiap keluarga memang punya tradisinya masing-masing.
Sekali lagi aku mematikan lampu dan kembali ke tempat tidur. Hujan masih turun dengan deras, aku kembali mencoba menutup mataku dan melupakan semua kejadian itu.
Suara petir menyambar mengganggu tidurku. Sulit untukku untuk kembali terlelap dengan rasa penasaran atas kejadian tadi. Apalagi suara petir cukup sering mengagetkanku.

“Srek… srek..”
Di tengah kesulitan tidurku aku mendengar suara yang berasal dari dekat lemari.
Aku menduga itu adalah suara cicak ataupun mungkin hewan yang melintas. Tapi entah mengapa aku merasa sangat tidak tenang.
Suara itu semakin berbunyi bersama pintu lemari yang kembali terbuka.
Aku ingat, aku sudah mengganjal sela pintu itu dengan kertas agar tertutup rapat, bagaimana mungkin pintu itu bisa terbuka dengan sendirinya.
Akupun membuka mata dan menatap di dalam kegelapan. Pintu lemariku benar benar bergerak terbuka dan menutup dengan aneh.
Tidak ada angin sebesar itu yang bisa membuat pintu lemari bergoyang seperti itu.
Ditengah kebingunganku, tiba-tiba kilatan petir menyambar.

Cahaya kilat itu masuk melalui jendela dan menunjukkan apa yang sedang berada di sana.

Aku salah…
Sesutu menatapku, tapi bukan dari dalam lemari. Ada sosok makhluk berbaju putih lusuh dan berambut panjang di atas lemari. Ia dan berkulit hitam dengan rambut yang sangat panjang hingga menutupi atas lemari.
Makhkluk itu berjongkok dan merunduk sembari meratapku dengan kepala berada diantara kakinya. Satu tanganya memegang daun pintu lemari dari atas dan memainkanya.

Krieeek… kriekkk….

Tubuhku gemetar…
Setiap kilat menyambar, sosok itu kembali terlihat. Beberapa kali aku mengucek mata namun tetap saja aku melihat ada makhluk itu di sana.
Aku ingin berteriak, namun suaraku seperti tertahan. hanya suara seperti bisikan yang keluar dari tenggorokanku.
Di tengah ketakutanku, aku memutuskan untuk meninggalkan ranjang dan menyalakan kembali lampu kamar. Dengan kakiku yang lemas aku meraba dinding untuk menggapai saklar lampu yang berjarak beberapa langkah dari ranjang.
Setiap kilat kembali menyambar, aku melihat sosok itu menoleh mengikutiku dengan mata yang terus menatapku.
Brakk!!!
Makhluk itu kembali membanting pintu lemari. Aku tercekat dan semakin ketakutan, namun saklar lampu sudah berada di jangkauanku.
Dengan cepat aku menyalakanya dan aneh…
Sosok itu tidak lagi berada di sana.
Aku terduduk lemas dengan masih terus menatap ke arah lemari. Tidak ada apapun diatas sana dan hanya tersisa daun pintu yang masi sedikit bergoyang.
Nafasku tersengal dan memutuskan untuk mencuci wajahkau di kamar mandi. Namun saat aku keluar dari kamar, terlihat di ruang tamu Bulek sedang berada disana bersama seorang Pria.

“Paklek?” Tanyaku yang menyadari bahwa pria yang sedari tadi bersama Bulek adalah suaminya.
“Kebangun Kinan?” Tanya Bulek.

“I—iya, petirnya besar,” balasku yang segera menghampiri mereka sekaligus memberi salam pada Paklek.

Aku salim sebentar kepada paklek. Ini pertama kalinya kami bertemu saat aku sudah berada di sini.
“Kamu sakit, Kinan? Kok pucat?” Tanya Paklek.

“Nggak paklek, cuma kaget aja pas tadi kebangun,” Balasku.

Kami tak banyak berbicara saat itu. Setelah berbicara seperlunya, akupun berpamitan dan kembali melanjutkan niatanku untuk mencuci muka.
Selain karena aku masih merasa sedikit gelisah, aku juga merasakan bahwa kehadiranku mengganggu mereka berdua. Aku merasa ada yang perlu diobrolkan hanya oleh mereka

***
Sepulang sekolah aku menyempatkan diri untuk menghilangkan rasa penasaranku.
Aku memutari rumah dan menghampiri sebuah pohon beringin besar yang berada di belakang halaman rumah. Dari kamar, beringin itu terlihat seperti pohon biasa.
Tapi saat berada di bawahnya, pohon itu benar-benar terasa begitu besar hingga membuatku kesulitan menatap langit.

Aku melangkah mendekati titik dimana aku melihat bulek dan paklek berada di sana sebelumnya. tempat dimana ada sisa-sisa sesajen yang sudah berantakan oleh hujan.
Ada sesuatu di sana yang menarik perhatianku. Akupun menahan langkah tepat setelah mengetahui ada apa di bawah pohon beringin besar itu.

Sesajen itu diletakkan diatas sebuah tanah yang sedikit menyembul dengan sebuah batu nisan yang tidak bertuliskan.

Ya, itu sebuah kuburan..
Aku menelan ludah mendapati pemandangan ini. Begitu banyak pertanyaan yang berada di kepalaku. Pasti ada alasan Bulek dan Paklek memberi sesajen ke kuburan ini, dan aku berharap semoga itu bukanlah hal yang buruk.
Setelah selesai dengan tempat itu, aku berbalik arah melihat ke arah rumah. Ternyata kamarku terlihat dari sini dengan jelas. Tak hanya kamarku, kamar Bunga dan kamar Bulek juga terlihat di lantai dua.
Sekilas aku melihat gorden kamarku bergerak. Aku menduga itu karena angin yang berhembus masuk ke jendela kamarku yang terbuka.

Tapi nafasku tertahan saat melihat ada seseorang di sana.
Gorden kamarku tersibak dengan sesosok wajah yang menatapku dari dalam kamar dengan rambut yang begitu panjang.
Aku tak bisa lupa dengan wajah itu. Itu adalah wajah makhluk yang berada di atas lemari.
Tapi saat aku mengedipkan mataku, tiba-tiba sosok itu tidak lagi terlihat di kamar.
Gorden kamarpun terlihat diam seolah tidak pernah bergerak oleh angin atau apapun.
Ah, aku tidak mengerti. Mungkin aku terlalu lelah, atau mungkin aku masih belum tenang atas kepergian ibu.
“Gimana sekolahnya Kinan? Betah?” Tanya Paklek yang kali ini bisa bergabung makan malam bersama kami.

“Betah Paklek, cuma masih butuh waktu buat ngikutin pelajaran,” Balasku.

“Bohong, Kinan itu pinter lho Pak. Guru-guru yang cerita ke Bunga,” ucap Bunga.
Aku menyenggol lengan bunga sedikit karena merasa malu dengan ucapan Bunga. Memang aku sedikit belajar lebih keras di sini. Dengan begitu mungkin saja aku bisa mendapatkan beasiswa dan mengurangi beban finansial mereka.
“Bagus itu, bisa-bisa nanti Kinan masuk SMA Favorit, nggak Kayak kamu Bunga,” Ucap Paklek yang kutahu dengan jelas bahwa itu adalah ledekan untuk anaknya.

“Yee bapak malah ngeledek, tapi nggak papa Nan kalau kamu bisa masuk SMA Favorit. Aku juga ikut bangga,” Balas Bunga.
Aku menoleh ke arah bayu, ia terlihat cemberut dengan makanannya yang belum berkurang begitu banyak.

“Kenapa Bayu? kok cemberut?” tanyaku.

“Nggak ada yang nanyain sekolahnya Bayu?” balasnya sembali melirik dengan mata sayunya.
Astaga, ternyata Bayu juga ingin diperhatikan dan ditanyakan. Raut wajahnya saat itu benar-benar menggemaskan. Kamipun menertawakan kejadian itu.

“Oiya Mbak lupa, gimana sekolahnya Ba…”

“Jangan!!” tahan Bunga yang segera menutup mulutku.
Aku tidak mengerti maksud Bunga, tapi setelah aku menyelesaikan ucapanku tiba-tiba Bayu meninggalkan meja makan dan kembali dengan membawa tumpukan buku miliknya.

“Nah mulai..” ucap Bunga.

Bulek hanya tertawa melihat kejadian itu.
“Bayu belajar gambar! Banyaaaak banget! Ada gambar gajah, gambar beruang…” Dengan semangat Bayu menceritakan setiap gambar yang ada di bukunya.

Bunga yang sudah selesai makan segera mengangkat piringnya dan meninggalkan kami.
“Nah, Monggo.. tanggung jawab nemenin Bayu ya,” Ucap Bunga yang segera meletakan piring kotornya.

Ternyata begitu. Aku mengulangi kesalahan yang sama. Bayu benar-benar tidak berhenti bercerita kepadaku,
saat itu aku menggunakan kesempatan itu untuk menyuapi Bayu hingga makananya habis. Tapi walau begitu, ia masih terus bercerita hingga waktunya untuk tidur.

“Jangan kapok ya,” ucap Bulek yang ikut memastikan Bayu sudah tertidur.
“Iya Bulek, tenang. Semua aman terkendali,” balasku.
Setelah itu akupun kembali ke kamar dan bersiap untuk tidur. sebelum tertidur, sekali lagi aku melihat Bulek dan Paklek ke Pohon beringin di belakang. Tapi kali ini aku tidak seingin tahu kemarin dan memutuskan untuk tidur.
***
SEBUAH FIRASAT

Siang ini aku pulang sekolah seorang diri. Bunga sedang ada pelajaran tambahan untuk persiapan ujian.
“Nak Kinan, pulang sendiri?” Salah seorang ibu yang berpapasan denganku menyapaku.

“Iya Bu Fitri,” balasku singkat.
Warga Desa sudah mulai mengenalku setelah beberapa lama tinggal di sini. Tetapi aku masih berusaha keras untuk menghafal nama-nama tetanggaku di sini.

“Tolong…”

Sayup-sayup aku mendengar suara lemah dari seorang pria.
Aku menoleh ke segala arah dan tidak menemukan asal suara itu.

“Tolong…”

Kali ini suara itu terdengar bersama langkah kaki seseorang. Seorang pria berjalan dengan lemah dari hadapanku. Wajahnya pucat seperti sedang tidak sehat.

“Bapak, bapak kenapa?” Tanyaku.
Pria itu bahkan tidak menoleh ke arahku sama sekali. Ia terus saja melangkah melewatiku tanpa menoleh walau aku sudah beberapa kali mencoba menanyakan keadaanya.

Akupun memilih untuk tidak menghiraukanya dan segera kembali ke rumah.
Walau begitu, aku masih menoleh beberapa kali ke arah belakang. Keberadaan Bapak itu benar-benar membuatku tidak tenang.

Hari itu aku menghabiskan waktu dengan bermain dengan Bayu. Sedangkan Paklek sudah pergi lagi untuk bekerja.
Sebenarnya aku masih penasaran apa sebenarnya pekerjaan paklek. Tapi sepertinya aku masih harus menahan pertanyaanku sampai benar-benar bisa menyatu dengan keluarga ini.
Malam itu kami baru saja selesai menonton acara televisi favorit kami.
Kamipun masuk ke kamar masing-masing dan bersiap untuk tidur. Tapi sebelum sempat tertidur kami mendengar suara dari poskamling.

Tok…Tok…Tok…Tok…Tok…Tok…

Suara kentongan memecah keheningan malam.Itu suara kentongan yang diketuk sekali jeda sekali.
Aku mencoba mengingat apa arti suara kentongan itu, namun suara langkah kaki dari atas sudah terdengar turun dengan buru-buru.

“Ada yang meninggal?” ucap Bulek yang melihatku juga keluar dari kamar. Bayu dan Bungapun ikut keluar penasaran dengan suara kentongan itu.
“Bayu, di rumah dulu ya sama Mbok Yatmi..” Bunga menahan Bayu agar tidak mengikuti kami yang sudah bersiap mencari tahu apa yang terjadi.
Tidak seperti awal tadi kentongan itu berbunyi.
Semula kentongan itu berbunyi di suara keheningan. Tapi saat kami keluar sudah banyak warga yang penasaran dan datang ke tempat kejadian.

Saat mengecek ke poskamling, warga sudah beralih ke tempat kejadian. memang aku menyadari sudah ada kerumunan di salah satu sisi desa.
Kamipun mengarah ke sana dan mendapati pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Kepala seorang manusia tersangkut di salah satu pohon beringin di pemakaman desa. aku memutari pohon beringin itu dan mendapati tubuhnya berada di ranting belakang pohon beringin itu.
Darahnya masih menetes dari leher yang sudah terpisah dari kepalanya.
Beberapa aparat dan perangkat desa sudah mulai berdatangan untuk mengecek lokasi. Garis polisipun mulai dibentangkan sehingga aku dan warga desa tidak bisa lebih mendekat lagi.
Tapi tunggu, aku seperti pernah melihat orang itu.
Pakaian yang ia kenakan persis seperti dengan seseorang yang berpapasan dan meminta tolong tadi siang. Aku menutup mulutku saat yakin bahwa kepala itu adalah kepala pria yang berpapasan denganku tadi tadi.
Nafasku berderu kencang, apa yang terjadi denganya? Apa tadi dia bermaksud meminta pertolongan karena ini?

“Kinan, ayo pulang. Jangan lama-lama,”
Bunga yang melihatku mulai panik segera menarikku dan mengajakk pulang.

“I—iya,”
Kami bertigapun akhirnya segera meninggalkan keramaian itu. Namun saat hendak menjauh aku merasakan hal yang aneh.

Ada beberapa warga.
Mereka tidak melihat jasad itu lagi dan berbalik menatap dengan mata yang tajam ke arah Bulek. Aku yakin itu bukan tatapan biasa. Tatapan itu seperti tatapan kesal dan penuh emosi.
Aku khawatir dengan Bulek. Tapi saat aku menoleh ke arahnya, entah mengapa samar-samar aku melihat seolah ada sedikit senyuman di bibirnya.
***

(Bersambung Part 2 )
Desa Genderuwo
Part 2 - Pembunuhan Tanpa Jenazah

Jasad yang tercerai berai di pohon beringin itu hanyalah permulaan.
Tapi mengapa semua keanehan itu seolah mengarah kepada keluarga Kartosuwito?

Tolong bantu retweet ya..
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @P_C_HORROR
#bacahorror Image
TAMU DI TENGAH MALAM

Berita tentang warga desa yang mati dengan cara yang tragis sudah menyebar ke seluruh penjuru desa. Beberapa rumah warga sempat didatangi pihak polisi untuk dimintai keterangan.
Rumah Paklek yang paling besar di desa ini juga tak luput dari kedatangan mereka..

“Ada warga yang bercerita, katanya Pak Surono sempat bersitegang dengan Bapak Kartosuwito masalah tanah desa? Apa itu benar?”
Terdengar suara petugas kepolisian yang tengah meminta keterangan dari ibu.

“Iya benar pak, tapi sudah cukup lama. Itupun kami mengalah setelah di mediasi oleh pak kepala desa. Kami merasa Pak Surono lebih butuh untuk usahanya,” Balas Bulek dengan tenang.
Pak polisi itupun mengangguk sembari mencatat keterangan Bulek. Sementara itu, aku memperhatikan ada beberapa polisi yang memeriksa sekeliling rumah. Mereka mengitari rumah besar ini sembari membawa kamera foto.
Namun entah mengapa mereka sama sekali tidak tertarik untuk menuju ke pohon beringin di belakang rumah.Menoleh ke sanapun tidak.
“Baik Bu, sepertinya keteranganya sudah cukup. Tapi seandainya ibu atau bapak mendengar informasi lain, ibu bisa menghubungi kami ya,” ucap polisi itu.
“Baik Pak, pasti saya kabari kalau ada petunjuk. Tapi…”

“Tapi apa Bu?”

“Kalau boleh tahu, warga yang bercerita bahwa saya pernah bersitegang dengan pak surono itu siapa ya pak?”
Dari jauh aku melihat sekilas ekspresi Bulek sedikit berubah. Seperti ada rasa kesal yang disembunyikan.

“Oh.. untuk itu maaf Bu, kami tidak bisa memberitahukan.”

“Begitu ya? Baik, saya mengerti..”
Tak berapa lama setelah perbincangan itupun seluruh anggota polisi meninggalkan rumah ini. aku, Bunga, dan Bayupun keluar dari tempat mengintip kami dan menghampiri Bulek.

“Nanyanya kok begitu? seolah-olah kita pelakunya saja,” ucap Bunga dengan nada yang sinis.
“Nggak gitu Bunga, Polisi kalau nanya emang begitu. Kalau kita nggak salah, nggak usah takut,” balas Bulek sembari mengelus kepala Bunga.

“Bayu takut…”

“Takut sama polisinya?” Tanyaku.

Bayu menggeleng sembari memegang rok yang kukenakan.
“Bayu takut sama pembunuhnya,” ucapnya polos.
Akupun berjongkok sedikit dan mencoba menenangkan Bayu.

“Tenang saja, pembunuhnya pasti tertangkap. Pak Polisinya hebat-hebat kok!”

“Iya, semoga cepet ketangkep,”
Bayupun melepaskan genggamanya dan mulai kembali bermain dengan mainan yang sebelumnya ia mainkan sebelum polisi itu datang.

Sebenarnya aku sedikit berpikir, apa aku perlu menceritakan tingkah aneh pak surono sebelum ia ditemukan meninggal.
Tapi kalau itu kulakukan, pasti akan banyak hal yang merepotkanku dan pasti melibatkan keluarga Bulek.
Akupun memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian itu ke siapa-siapa, dan menyimpanya sendiri.
Menjelang maghrib, suasana mulai berubah. Aku yang tengah mengangkat jemuran menyadari bahwa desa menjadi begitu sepi. Menurutku, wajar saja. Masih ada pembunuh di luar sana yang belum tertangkap.
Baru jam enam sore, suara kentongan warga yang tengah melaksanakan ronda mulai terdengar. Hanya merekalah yang diperkenankan keluar kecuali dalam keadaan terdesak.

“Mbak, sudah mau malam. Masuk ke rumah ya,” Tegur mereka yang mendapatiku masih berada di teras.
“Nggih mas, habis ini langsung masuk..”
Akupun mengangkat jemuran terakhirku dan segera masuk ke rumah.

Tok…
Tok…
Tok…

Suara kentongan itu terdengar berjalan menjauh. Hanya suara itu yang terdengar di desa saat ini.
Suasana di dalam rumahpun ikut terbawa hening. Hanya suara televisi dan kami yang menonton dengan tenang. Tak banyak hal menarik di malam ini, dan kamipun memutuskan untuk tidur cepat.

“Mbak Kinan, temenin Bayu tidur ya. Bayu takut,” pinta Bayu.
“Heh, kamu kan sudah SD. Masa masih minta dikelonin?” Ucap Bunga.

“Nggak papa Bunga, sekali-kali. Toh keadaan juga lagi begini. Wajar kok,” Balasku.

Akupun menemani Bayu untuk sikat gigi dan masuk ke kamarnya.
Aku mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur yang berwarna kuning remang agar Bayu bisa tidur dengan nyenyak.

“Sudah, ayo tidur…” ucapku pada Bayu yang masih berpura-pura memejamkan matanya.

“Iya…”
Aku memperhatikan Bayu yang sudah memeluk gulingnya.
Sementara aku mengambil sebagian sisi kasurnya untuk meletakkan badanku.

“Mbak..”

Bayu memanggilku tanpa menoleh ke arahku.
“Kenapa Bayu?”

“Nanti, lewat tengah malam biasanya ada yang datang. Nanti dikasi nampan yang ada di seamping lemari saja,” ucap Bayu.
Aku setengah duduk menatap ke arah Bayu,
“Datang? Siapa Bayu?”. Namun ia tetap tidak menengok. Sebaliknya, ia malah terlihat benar-benar sudah tertidur. Apa mungkin Bayu sedang mengigau?
Tak mau ambil pusing, akupun memilih untuk ikut memejamkan mata dan menyusul Bayu untuk tidur.

Krakkk!! Krrssaakk!!

Sebuah suara mulai mengganggu tidurku. Suaranya seperti suara hewan yang sedang menyenggol benda-benda di kamar.
Aku mencoba mengabaikanya dan berharap bisa kembali terlelap. Namun suara itu terus terdengar.

Krssaakk!!

Aku sudah mencoba cukup lama, tapi suara itu tidak kunjung menghilang.
Pada akhirnya suara itu berhasil membuatku gagal untuk kembali terlelap. Akupun ingin membuka mata dan mencoba mengusir makhluk itu.

Tapi.. saat itu juga aku teringat perkataan Bayu sebelum ia tertidur.

“Lewat tengah malam biasanya ada yang datang..”
Entah mengapa seketika aku merinding. Aku merasa bahwa sesuatu yang sedang berada di kamar ini bukanlah hewan seperti yang kubayangkan.

Sosok mengerikan seperti di atas lemarikupun mulai terbayang di pikiranku.
Akupun memutuskan untuk tetap memejamkan mata dan berharap makhluk itu akan pergi bila aku mengabaikanya.

Namun aku salah…

Seolah menyadari bahwa aku terjaga, sosok itu mendekat ke arahku. Ada suara geraman yang mendekat dan semakin mendekat ke arahku.

“Hrrrr… hrrrrr…”
Suaranya seperti suara nafas hewan buas yang siap menerkam siapa saja di hadapanya.

Aku tahu, mataku tidak bisa tenang dengan sempurna. makhluk itu pasti menyadarinya dan semakin mendekati diriku. Hingga suara nafas itu kini berada tepat di hadapan mataku.
Tak mampu menahan lagi, akupun membuka mata berusaha menghadapi sosok yang hampir menempelkan wajahnya di wajahku itu.

Tapi… aku salah.

Tidak ada sosok yang sedekat itu di hadapanku.
Akupun mulai merasa tenang, namun penglihatanku terhenti pada sosok yang berdiri di depan kasur di dekat kakiku.

“Bayu?”

Itu Bayu, ia menatapku dari sana dengan tatapan sayu.

“Bay, ngapain di situ? Sini tidur lagi.” Ucapku sembari menepuk kasur di sebelahku.
Tapi, masih ada seseorang di sebelahku. Bayu masih tertidur di persis di sebelahku. Lalu siapa sosok yang menyerupai Bayu di hadapanku?
Wajahku pucat, nafasku begitu berat.

“Katanya, dia mau tidur sama Mbak Kinan,” ucap sosok Bayu yang ada di hadapanku.
Itu suara Bayu, benar-benar suara Bayu. kalau benar itu Bayu, siapa yang sedang tidur di sebelahku?

Akupun menyibakkan selimut yang menutupi sosok di sebelahku dan mendapati seorang anak berkulit pucat tengah berada di sebelahku.
Ia menoleh dan mengarah kepadaku dengan wajah yang penuh lubang. Bahkan aku tidak menemukan bola mata di lubang matanya.

“Se—setan! Setan!!” ucapku dengan suara yang lagi-lagi tidak mampu kuteriakkan.

Suaraku hanya berupa bisikkan yang keluar dari kerongkonganku.
Akupun menjatuhkan diri dari tempat tidur dan berusaha untuk berdiri, namun kakiku terlalu lemas.

Sosok itupun merayap di kasur dan ingin menghampiriku. Akupun menjauh dan tanpa sadar tanganku menyentuh nampan di sebelah lemari.
Ternyata nampan itu berisi berbagai macam kembang, segelas air, dan satu tusuk sate yang tidak kuketahui terbuat dari daging apa.

Akupun panik dan berusaha untuk menggapai pintu dan segera keluar dari kamar. Akupun menutup pintu dengan rapat dan menjauh dari kamar Bayu.
Kucoba untuk mengatur nafas untuk menenangkan diriku di ruang yang juga gelap dan hanya satu lampu kecil yang menyala di ruangan sebesar ini. Aku ingin berlari ke kamar Bulek atau kamar Bunga, tapi aku tiba-tiba cemas dengan keadaan Bayu.
Bayu masih di sana, sendiri dengan makhluk itu…
Aku menelan ludah sembari mencoba kembali membuka kamar Bayu. Jelas aku tidak bisa meninggalkan dia sendirian di kamar.
Dengan mengumpulkan seluruh keberanianku, akupun membuka pintu itu perlahan dan sedikit mengintip.
Semua terlihat normal…
Aku membuka pintu dan masuk ke dalam dan mendapati Bayu masih tertidur di tempatnya dengan posisi yang tidak jauh berbeda dari saat ia pamit tidur tadi.
Mimpi?
Ah, mungkin saja. Tapi semua kejadian tadi terasa begitu nyata.
Akupun memutuskan untuk mencuci wajahku dan kembali tidur di sebelah Bayu dengan menyalakan lampu kamar.
Satu-satunya cara terbaik untuk tenang adalah menganggap hal tadi benar-benar sebuah mimpi. Namun saat aku tidur membelakangi Bayu,
tanpa sengaja mataku melihat sebuah nampan yang berada di sebelah lemari.
Sebuah nampan yang sebelumnya berisi beberapa macam kembang, gelas berisi air, dan satu tusuk sate.
Tapi sekarang nampan itu kosong. Hanya tersisa sedikit kembang yang berserakan dan tusuk sate yang dagingnya telah habis…

***
TAMU DI SIANG BOLONG

Kejadian di kamar Bayu benar-benar membuatku berpikir. Apakah ada yang salah dengan pikiranku? Ataukah memang ada yang aneh dengan rumah ini?
Tapi saat menyadari tidak ada hal buruk yang terjadi padaku dan seluruh keluarga di rumah ini,
aku sedikit mengambil kesimpulan bahwa penglihatan itu adalah wujud depresiku atas kehilangan ibu dan ketakutan akan tempat baru.

Terbukti semakin lama aku tinggal di tempat rumah ini, hal-hal aneh itu mulai berkurang. Kejadian di kamar Bayu itu sudah berlalu lebih dari sebulan,
dan memang tidak ada kejadian aneh lagi setelahnya.
Sekarang, aku sudah cukup sering bertemu Paklek. Walau sering pergi cukup lama, tapi saat sedang pulang ia juga di rumah cukup lama.
Dari perbincangan mereka, aku menangkap bahwa paklek mempunyai bisnis sejenis kontraktor yang harus ia awasi cukup lama. Tak hanya Bunga dan Bayu, akupun turut senang setiap Paklek pulang ke rumah.
Walau berkumis tebal dan berjanggut seperti tokoh-tokoh galak, paklek begitu baik.
Ia benar-benar memperlakukanku seperti Bunga dan Bayu tanpa membedakan. Satu hal yang pasti membuat kami senang, setiap pulang Paklek selalu memberi kami uang.

Sesekali aku ingin sekali keluar dan menjajakan uang dari paklek,
namun aku merasa semua masakan dan yang disediakan Bulek sudah jauh lebih enak dibanding saat aku tinggal bersama ibu dulu hingga tidak ada alasanku untuk jajan. Akupun memutuskan untuk menyimpan uang dari paklek untuk tabunganku ketika sudah bisa mandiri nanti.
Hari ini aku terbangun terlalu pagi, akupun memanfaatkanya untuk menyapu membersihkan teras dari daun-daun kering yang berguguran untuk mengusir kantukku.
Sementara itu, aku melihat paklek yang sudah rapi keluar dari dalam rumah.
“Lha Kinan, rajin banget udah bangun?” Tanya paklek sembari mengambil posisi untuk mengenakan sepatunya.

“Iya, bangun kepagian. Nggak bisa tidur lagi. Paklek mau berangkat?”

“Iya, ada panggilan mendadak,” Balasnya singkat.

“Bulek belum bangun?”
“Belum, sudah biarin aja. Kan hari minggu, kasian kalau dibangunin jam segini.”

Aku baru tahu, rupanya paklek cukup perhatian juga dengan Bulek.

“Aku bikinin kopi dulu ya, Paklek? nggak pake gula kan?” ucapku sembari meletakkan sapuku.

“Nggak usah Kinan, terima kasih.”
Paklekpun berdiri memastikan sepatunya terpasang dengan nyaman. Aku mencium tangan paklek dan membukakan pagar mengantar keberangkatan paklek dengan mobilnya.

Ternyata menjadi orang kaya tidak sepenuhnya menyenangkan.
Entah seberapa banyak waktu yang Paklek habiskan untuk bekerja bila dibandingkan dengan menikmati kekayaanya.
Setelah selesai membersihkan teras, aku kembali masuk ke dalam rumah dan bersiap untuk mandi. Bayu dan Bunga masih terlelap, bahkan saat aku sudah selesai mandi.
Saat aku hendak menjemur handukku di atas, aku memperhatikan kamar Bulek setengah terbuka. Awalnya aku berpikir bahwa tadi Paklek lupa menutup pintu kamarnya. Tapi saat lewat di depanya aku melihat sesuatu yang janggal.
“Pak… masih pagi…” Terdengar suara Bulek melenguh dengan suara yang manja.

Bulek hanya mengenakan daster putih tanpa lengan dan seatas lutut. Ia terlihat gelisah menggerakkan tubuhnya. Akupun menggeser penglihatanku dan mendapati ada orang lain di kamar itu.

Itu Paklek..
Aku sedikit menahan nafas melihat adegan yang tersaji di depan mataku. Walau sedikit terhalang oleh pintu, aku bisa menyaksikan bagaimana Paklek mencumbui tubuh Bulek dengan penuh nafsu.

“Mmmhh.. pelan-pelan pak, belum basah,” ucap Bulek.
Namun Paklek malah dengan kasar memegangi tangan Bulek dan memaksanya.

Ia mengangkat sedikit daster yang dikenakan oleh Bulek dan mulai menikmati bagian intim milik Bulek. Bulek yang awalnya merasakan kesakitanpun perlahan mulai menikmati itu dan seolah kesulitan menahan diri.
Iapun melampiaskan kenikmatanya melalui desahanya.
Aku mulai merasa bersalah melihat pemandangan itu dan ingin segera meninggalkanya. Tapi, bukankah paklek sudah berangkat sejak subuh? Apa ia kembali lagi?
Sebelum pergi dari tempat itu, aku kembali sedikit menoleh ke arah mereka.
Dan tiba-tiba Paklek menoleh ke arahku. Ia menyadari keberadaanku dan menatapku dengan tatapan kesal.
Akupun segera pergi dan meninggalkan mereka untuk melanjutkan tujuanku menjemur handuk.
Tapi saat aku kembali melewati kamar Bulek untuk turun, sosok paklek sudah tidak ada. Hanya tersisa Bulek yang tertidur dengan tubuh yang lemas.
Akupun berjalan dengan sedikit cepat ke bawah dan mengecek ke garasi mobil, dan mobil paklek tidak ada.
Tidak mungkin paklek meninggalkan Bulek dan pergi lagi dengan mobilnya secepat itu.
Lantas, apa itu tadi? Siapa sosok yang berhuBungan dengan Bulek?
Kejadian di kamar Bulek itu benar-benar menghantui pikiranku.
Akupun memilih untuk masuk kembali ke kamar sembari menunggu Bunga dan Bayu bangun.
Satu sisi aku terbayang-bayang tatapan marah paklek yang terasa menyeramkan itu, tapi satu sisi entah mengapa aku merasa menikmati pemandangan itu.
Apa ini pegaruh hormonku yang mulai tumbuh? Atau ada pengaruh lain dari tempat itu.
Aku tahu dengan jelas bahwa apa yang kurasakan salah. Beberapa kali aku memukul-mukul pelipisku yang mungkin saja bisa membuatku berpikir lebih jernih.
Namun yang ada hanya rasa sakit yang menggantikan kebingunganku pagi ini.
Bunga mengetuk pintuku dan mengabari bahwa Mbok Yatmi sudah selesai memasak dan mengajakku untuk sarapan. Di meja makan Bayu sudah menunggu di sana sembari memainkan mobil-mobilanya di meja makan.
“Tuh, rajin kayak Mbak Kinan. Jam segini sudah mandi,” ucap Mbok Yatmi.
“Kan hari minggu Mbok, santai sedikit nggak papa,” balas Bunga yang dengan santainya duduk di meja makan dengan hanya mengenakan kaos tanktop dan celana pendeknya.
“Yang nyapu teras kamu juga ,Kinan?” Tanya Mbok Yatmi.
“Iya Mbok, daripada bingung mau ngapain,”
“Matur nuwun yo, Mbok jadi bisa langsung masak,”
“Iya Mbok,”
Terdengar suara langkah kaki menuruni tangga. Bulek turun ke bawah dengan rambut yang basah dan daster yang lebih panjang.
“Paklek sudah berangkat ya?” Tanyanya.
“Iya, Bulek. Tadi ketemu sama Kinan,” Jawabku sembari terbayang kejadian tadi.
Aku ingin bertanya tentang keberadaan paklek yang aneh tadi, tapi itu artinya sama saja aku mengakui bahwa aku mengintip mereka berdua tengah berhubungan intim.
“Paklek berangkatnya persis habis subuh..” ucapku lagi sembari berharap Bulek bisa meraba maksudku.
“Subuh? Bukan barusan?” Kali ini Bulek mengernyitkan dahinya menatapku.
“I—iya Bulek, pas Kinan lagi nyapu teras. Coba aja tanya Paklek,” Balasku dengan mantap.
“Nggak mungkin, tadi kan paklek habis…”

Bulek tidak melanjutkan ucapanya, jelas Wajah Bulek terlihat cemas, iapun mengurunkan niatnya untuk makan bersama kami dan naik ke kamarnya lagi.
Dari kegelisahan Bulek, aku bisa mengambil kesimpulan bahwa ada sesuatu yang salah dengan kejadian tadi.

***
PEMBUNUHAN TANPA JENAZAH

Prakk!!!

Terdengar suara benda yang menghantam jendela rumah. Suaranya begitu keras dan mungkin saja bisa memecahkan kaca bila mengenai titik yang tepat.

Spontan kamipun keluar mencari tahu asal suara itu.
Saat mengintip keluar, ada seseorang yang tengah menggenggam batu dan bersiap melempar lagi.

“Jangan keluar, bahaya!” Tahan Bulek.
Kamipun menurut sementara Bayu gemetar ketakutan di belakangku.
“Kartosuwito! Tidak usah pura-pura! Kau yang bertanggung jawab atas kematian Sarono!” Teriak orang itu.
Ucapan itu sontak membuat kami bingung. Bagaimana orang itu bisa menuduh paklek sementara paklek sedang di luar kota?
Lagi pula cara kematianya terlalu tidak mungkin untuk dilakukan orang seperti paklek.

Bulekpun sedikit mendekat dan menatap tajam orang itu. Itu Pak Kasto, aku bisa mengetahuinya dari suaranya dan apa yang kulihat dari sini.
Ia memang tidak dekat dengan keluarga Pakde dan cenderung seperti sering menatap sinis.
Entah ada masalah apa diantara mereka, namun Bulek terus menatap Pak Kasto dengan tatapan penuh kebencian.
“Bu, kalau Pak Kasto begitu lagi gimana? Kalau kita berpapasan di jalan gimana?” Bunga yang pagi ini ingin berangkat sekolah merasa khawatir dengan kejadian kemarin.
“Ibu sudah bilang Pak RT, dan Pak Kades kemarin dia sudah didatangi dan berjanji tidak akan mengganggu keluarga kita,” ucap Bulek.

“Bener bu?”

“Iya,” sudah sana berangkat.
Aku memang sedikit khawatir, namun karena aku tidak tahu bagaimana sebenarnya huBungan antara Pak Kasto dan keluarga ini, aku tidak sekhawatir Bunga.
Memang saat berangkat kami tidak menghadapi masalah apapun, namun saat aku pulang. Aku benar-benar berpapasan dengan Pak Kasto.
Langkahku terhenti saat melihat Pak Kasto. Ia menatapku dengan tajam, akupun berjalan lambat dan menunggu ada orang lain yang lewat agar saat melewati Pak Kasto, aku tidak sendiri.

Beruntung ada beberapa ibu-ibu yang berjalan di belakangku.
Akupun menyamakan langkahku dengan mereka dan melanjutkan berjalan.

“Sebaiknya kau cepat-cepat pergi sebelum terlibat lebih jauh dengan keluarga terkutuk itu,” ucap Pak Kasto tepat saat aku melewatinya.

Aku tidak begitu menghiraukanya dan mempercepat langkahku,
saat sudah menjauh baru aku berani menoleh dan memikirkan apa yang ia katakan.

“Keluarga terkutuk?”
Walau ingin mencoba tidak menghiraukanya, tapi kata-kata itu terus muncul di pikiranku.
Sesampainya di rumah, aku menceritakan kejadian di jalan kepada Bulek.
Aku memang tidak mengatakan apa yang diucapkan Pak Kasto. Tapi Bulek yang khawatir segera meminta tolong Mas Puguh untuk menjemput Bunga dengan motornya.
Menjelang maghrib aku meninggalkan kamar dan mendapati Paklek sudah pulang ke rumah.
Aku ingin menghampiri Paklek untuk mengucap salam, namun aku terhenti dengan suasana aneh di meja makan.

Bulek dan Paklek tengah berbicara dengan serius. Sementara itu Mbok Yatmi masih berada di dapur dengan mempersiapkan sesuatu.
Awalnya aku menduga ia menyiapkan makan untuk Paklek, tapi aku salah.

Paklek menyiapkan sesuatu di nampan bambu. Ada beberapa jenis kembang dan selembar kain kafan kecil.
Pintu kamar Bayu sedikit terbuka, ia melihatku dari dalam dan memberi isyarat dengan menggelengkan kepalanya seolah memberitahuku agar tidak mendekat ke Paklek dan Bulek.

Akupun melangkah dengan hati-hati menuju ke kamar Bayu dan menutup pintunya perlahan.
“Bayu, kamu tau mereka lagi ngapain?” Tanyaku sembari berbisik.

“Nggak tahu, tapi kalau bapak dan ibu lagi ngomong serius dan ada Mbok Yatmi. Mereka nggak mau diganggu,” jelas Bayu.

Akupun teringat tentang benda yang disiapkan oleh Mbok Yatmi.
“Terus itu Mbok Yatmi bikin apaan? Buat di kamar kamu?” Tanyaku.

“Bukan, yang itu isinya lebih banyak. Bayu nggak mau tahu, takut.” Jawabnya. Sayangnya ucapan Bayu malah membuatku semakin penasaran.

Saat makan malam aku bersikap seolah tidak melihat percakapan mereka tadi.
Kami hanya berbicara tentang kejadian di sekolah dan tidak membahas tentang Pak Kasto.
“Bayu takut kalau rumahnya dilemparin lagi,” Sekali saat Bayu membicarakan tentang Pak Kasto, padahal aku dan Bunga berusaha untuk tidak membahasnya.
Namun Paklek hanya mengelus kepala Bayu dan menenangkanya.
“Tenang saja, besok Pak Kasto sudah tidak bisa mengganggu kalian,” jawab Paklek sembari tersenyum.
Besok hari libur, mungkin saja Paklek ingin langsung bertemu dengan Pak Kasto bersama perangkat desa yang menengahinya.
Malam ini terjadi lagi..
Paklek dan Bulek datang ke pohon besar di belakang rumah. Mereka menghantarkan sesaji ke pohon besar itu lagi. Aku sudah tidak heran dengan hal itu lagi dan kembali mencoba untuk tertidur.
Sayangnya aku melupakan satu hal.
Setiap Bulek dan Paklek mengunjungi pohon itu. dia pasti akan muncul..
Tepat saat pintu lemari terbuka dengan perlahan. Aku segera menarik selimutku dan menutup wajahku.
Aku yakin makhluk di atas lemari itu pasti akan muncul…
Sosok itu beberapa kali menggoyangkan pintu lemari dan menggeram. Kali ini aku hanya berusaha menahan rasa takutku dengan menutup wajahku dengan selimut hingga sosok itu menghilang.


Darr!!!
Aku terbangun saat terdengar suara dentuman yang keras dari dalam rumah. Lampu kamar tidak menyala, aku mencoba menyalakanya namun tak berhasil. Sepertinya listrik di rumah ini mati.
Akupun segera meninggalkan kamar ingin mencari tahu asal suara itu.
Tapi Mbok Yatmi tiba-tiba menahanku sembari membawa sebuah lilin. Ia seolah berjaga diantara kamarku dan kamar Bayu.

“Nduk, malam ini tidak ada yang boleh keluar kamar.” ucap Mbok Yatmi dengan wajah yang terlihat begitu serius.

“Kenapa Mbok? Ada apa?”
“Sudah, tidak usah banyak tanya. Cepat masuk ke dalam!”

Perintah Mbok Yatmi yang tiba-tiba menjadi lebih tegas dan lebih misterius dari biasanya.

Satu saat aku melihat bayangan yang besar terpantul dalam cahaya api lilin Mbok Yatmi.
Bayangan itu bergerak seperti berjalan secara perlahan. Saat itu bulu kudukku berdiri merasakan keanehan.

“Masuk, sebelum terlambat…” Kali ini Mbok Yatmi berbicara tanpa menoleh ke arahku.

Kali ini aku memilih membunuh rasa penasaranku dan masuk ke dalam kamar.
beberapa kali suara dentuman terdengar. Sangat sulit buatku untuk tertidur.
Hujanpun mulai turun menimbulkan suara yang membuatku semakin gelisah. suara hujan itu tidak seperti biasa. Terkadang suara seolah mereda dan kembali deras. Tapi tidak seperti itu.
Suara itu lebih mirip seperti ada sosok besar yang melintas dan menghalangi hujan jatuh langsung ke tanah..
Tiba-tiba malam itu terasa semakin mencekam, apalagi saat daun jendelaku bergetar dengan sendirinya.
Aku yakin sudah mengunci jendelaku, apa mungkin sesuatu membuatnya longgar?

Akupun meninggalkan kasurku untuk memeriksa dan mengencangkan jendela. Namun baru saja aku menyibakkan kain gordenya. Aku terjatuh.

Apa itu tadi?
Aku terjatuh saat melihat sesuatu dari kaca jendela. Ada sebuah mata…
Ada sebuah mata besar berwarna merah dari makhluk yang merunduk seolah mencoba mengintip ke dalam ruangan ini. makhluk yang begitu besar dengan bulu-bulu berwarna hitam.
Walau hanya sesaat, aku mengingat wajah itu penuh dengan kulit dan bulu yang terkelupas.
Rasa penasaran membuatku berdiri dan mencoba menyibakkan gorden itu lagi. Tapi kakiku gemetar. Bagaimana kalau sosok itu masih berada di sana.
Akupun memilih untuk menahan niatku dan menjauh dari jendela. Aku mengambil selimutku dan meringkuk sembari mengawasinya.
Setelah menunggu beberapa lama, terlihat ada bayangan sesuatu yang besar bergerak meninggalkan jendela.
Gorden yang sebelumnya gelap kini terlihat sedikit lebih terang dengan cahaya bulan yang menerpa kaca jendela.
Beberapa saat kemudian, lampu dan listrik rumah mulai menyala.
Akupun memberanikan diri untuk kembali mengecek jendela dan tidak mendapati apapun di sana selain pemandangan pohon beringin besar yang tertutupi hujan yang mulai reda.
Apa yang terjadi dengan malam ini?
Biar sebagaimanapun aku memikirkan,
aku tetap tidak akan bisa mengetahui apa yang terjadi pada malam itu.

Pagi itu kami terbangun dengan suara ramai di luar. Beberapa kali lemparan batu menghantam ke rumah dan sampai memecahkan kaca.
“Awas kau Kartosuwito! Sampai terjadi apa-apa dengan anakku, kubunuh kau! Aku tidak takut padamu!” teriak Pak Kasto dan beberapa pria lain yang kuduga adalah saudaranya.
“Kau akan membayar atas semua yang kau lakukan!” seorang pria lain ikut membela Pak Kasto menuding Paklek.
Sementara itu Paklek hanya berdiri di pintu rumahnya sembari melipat tanganya. Ia hanya menatap orang-orang itu dengan sombong tanpa rasa takut terhadap orang-orang itu.
“Sebaiknya kalian pergi sebelum kalian berurusan dengan polisi,” ucap Mas Puguh sembari memotong rumput dengan aritnya.
Ia juga bersikap santai menanggapi Pak Kasto dan orang-orangnya itu.
“Lebih baik kau berhenti bekerja dengan setan itu , Puguh! Sebelum kau ikut mati!” Teriak Pak Kasto.
Mendengar ucapan itu, Mas Puguh mendekati mereka dari dalam pagar sembari menggenggam aritnya.
“Akan sangat kasihan bila anakmu sakit sementara ayahnya mendekam di tahanan. Kamu kenal sendiri bagaimana majikan saya bisa melakukan itu,” ucap Mas Puguh yang segera meninggalkan mereka dan kembali mengerjakan kebun.
Mendengar ucapan itu Pak Kasto dan teman-temanyapun meninggalkan rumah sembari terus mengancam pada Paklek.
“Harusnya kau tidak perlu melakukan itu,Puguh.” Ucap Paklek.
“Biar saja Pak, mereka mengganggu pekerjaan saya,” balas Mas Puguh sembari terus melanjutkan pekerjaanya.
Kalau sebelumnya kami berani menanyakan tentang Pak Kasto pada Bulek, kali ini aku, Bunga, dan Bayu hanya terdiam tanpa berani membahas kejadian pagi itu pada paklek.
Kamipun sarapan pagi dengan tenang tanpa banyak perbincangan.
“Kalian tidak usah khawatir. Setelah ini Pak Kasto tidak akan mencari gara-gara lagi,” ucap Paklek tiba-tiba.

“I—iya pak…” Balas Bunga yang terlihat menjaga sikap dengan ayahnya.

Walau begitu, sebenarnya kami penasaran dengan apa maksud dari ucapan Paklek barusan.

***
Matahari mulai tenggelam dan aku baru saja ingin mengajak Bayu untuk mengerjakan Prnya. Tapi dari luar terdengar suara langkah kaki orang yang tengah berlarian.

“Ono opo mas?” (ada apa mas?) Tanya Bunga yang penasaran dengan hal yang sangat tidak biasa itu.
“Pak Kasto, Bunga! katanya ada yang aneh di rumahnya Pak Kasto,” jawab salah satu warga.

Bungapun buru-buru mengenakan sandalnya ingin mengikuti warga tersebut.

“Bayu, sama Mbok Yatmi dulu ya,” ucapku yang juga penasaran.

“Aku ikut Bunga!”
Tak hanya aku dan Bunga. Mas Puguh rupanya juga penasaran dan mengikuti arah keramaian warga desa.
“Tadi Pak Kasto teriak-teriak nggak jelas, awalnya kami mengacuhkan. Tapi setelah teriakanya semakin histeris, kamipun menghampiri Kasto dan keadaan rumahnya sudah seperti ini,” ucap seorang ibu yang bertetangga dengan Pak Kasto.
Ia ditemani suaminya yang sedang menjelaskan hal serupa ke Pak Kades.

Aku dan Bunga mencoba menembus kerumunan dan melihat ke arah rumah tersebut dan mendapati keadaan rumah Pak Kasto sungguh mengerikan.
Dinding rumah itu diwarnai dengan cipratan darah yang tak beraturan seolah baru saja terjadi pertengkaran yang mengerikan. Tak hanya itu, di lantaipun terdapat darah yang menggenang mengelilingi sebuah benda.
Ada tungku kecil yang digunakan untuk membakar kemenyan bersama sisa-sisa kembang yang berserakan. Bahkan, aroma kemenyan masih tercium dari luar pintu dan jendela tempat kami mengintip.
“Bubar! Bubar! Sebentar lagi polisi datang. Jangan merusak TKP,” ucap pak Kades yang memperhatikan warga yang semakin berkerumun.

“Pak Kasto meninggal?”

“Nggak tahu, tapi nggak ada mayatnya. Anaknya juga ikut menghilang.”

“Istrinya?”
“Istrinya sudah menghilang lebih dulu beberapa bulan lalu,”

“Kok aneh ya?”

“Makanya jangan cari gara-gara sama Keluarga Kartosuwito. Itu Si Sarono sama Kasto, setelah bersitegang dengan pak Kartosuwito nasib mereka jadi begini…”
Suara-suara itu terdengar dari warga yang berada di tempat ini dan belum menyadari keberadaanku dan Bunga.
Saat aku hendak meninggalkan rumah itu, aku terhenti saat menyadari ada sebuah pohon beringin yang cukup besar juga di belakang rumah Pak Kasto.
Pohon itu berbatasan dengan sungai kecil yang mengalir dengan tenang.

Sebelum kembali ke rumah aku menyempatkan diri untuk memutar ke belakang rumah Pak Kasto.

“Kinan mau kemana?” Tanya Bunga.

“Tinggal aja, Bunga! Pulang duluan saja sama Mas Puguh. Nanti aku nyusul,” balasku.
Kinan yang sudah merasa tidak nyaman dengan tempat inipun mengiyakan ucapanku dan meninggalkanku.

Pohon beringin itu tidak sebesar yang berada di belakang rumah, namun perasaan saat memandanganya tidak jauh berbeda seolah ada sesuatu yang misterius di sana.
Ada suara aneh dari atas pohon yang sulit kudefinisikan. Tapi suara itu memancing rasa penasaranku untuk mendekat.
Di atas pohon dengan akar yang menggantung itu terlihat sesuatu yang tidak begitu jelas. Aku menajamkan mataku untuk memperjelas penglihatanku di gelapnya malam ini.
Dan benar, ada sesuatu di atas pohon beringin itu.
Tak dapat kupercaya…

Aku gemetar dengan mata merah dari balik dedaunan yang menyadari kehadiranku. Sosok itu menoleh ke arahku sejenak dan kembali berpaling melanjutkan apa yang tengah ia lakukan seolah tidak peduli kepadaku.
Akupun mendekat untuk melihat lebih jelas. Namun apa yang ada di hadapanku jauh lebih mengerikan dibanding apa yang ada di dalam rumah.
Di atas pohon itu, sosok makhluk besar yang mungkin tingginya tiga kali manusia normal tengah mencabik-cabik dan menggit tubuh yang bisa kukenali bahwa itu adalah Pak Kasto. Ia menggerogoti tubuhnya dan menarik tangan dan kakinya hingga terpisah.
Aku menahan mual melihat pemandangan itu. Tak jauh dari makhluk itu, ada sesosok wanita berambut panjang tersangkut tanpa busana. Aku mengenali itu adalah tubuh dari anak perempuan Pak Kasto.
Aku gemetar, tapi aku ingin segera berlari dan memberitahukan apa yang kulihat pada warga desa.

“Percuma, mereka tidak ada yang bisa melihat ini semua,” Tiba-tiba terdengar suara nenek tak jauh dari tempatku berada.
Aku menoleh dan mendapati seorang nenek yang sudah kurus dengan rambutnya yang putih tengah bersandar di balik pohon sembari memandangi hal yang sama.

“Eyang siapa? Kenapa yang lain nggak bisa lihat?” Tanyaku bingung.

“Mereka adalah anak dan cucu eyang..”
Aku semakin kaget, berarti nenek itu adalah ibu Pak Kasto. Mengapa ia bisa begitu tenang melihat pemandangan itu?

“Itu makhluk apa Nek? Kenapa dia membunuh Pak Kasto?” Aku penasaran.

Nenek itu menghela nafas sebelum memutuskan untuk bercerita kepadaku.
“Genderuwo, anakku memeliharanya sepanjang hidupnya”
Genderuwo? Aku setengah percaya mendengar cerita itu. Sayangnya apa yang kulihat di hadapanku benar-benar tidak terbantahkan.
Aku teringat dengan kejadian tadi pagi dan perkataan Paklek mengenai Pak Kasto.
Apa ini yang dimaksud olehnya?

“Eyang… apa ini perbuatan Paklekku?” Tanyaku.
Nenek itu menoleh ke arahku sebentar.

“Mungkin iya, mungkin tidak... Ingat saja ucapan anakku. Jangan terlalu jauh masuk dalam Keluarga Kartosuwito.”
Ucap nenek itu yang ingin segera meninggalkan tempat itu. Sepertinya ia tidak tega melihat apa yang terjadi pada anaknya.

“Memangnya keluarga Paklek kenapa, eyang?”
Nenek itu mendekat kepadaku dan melihat ke wajahku.
Ia mengangkat tanganya dan menyentuh kalung yang tersembunyi di balik bajuku. Ia mengeluarkan liontin itu dan memandangnya sebentar. Setelahnya ia mengembalikanya ke dalam bajuku lagi.

“Yang Paklekkmu lakukan, jauh lebih mengerikan dari apa yang kau lihat sekarang..”
Nenek itupun tidak melanjutkan ucapanya dan melangkah meninggalkanku menuju ke keramaian warga di depan rumah.
Aku menoleh kembali sesaat ke arah pohon itu dan tidak lagi menemukan pemandangan mengerikan tadi.
Mengapa aku bisa melihat pemandangan mengerikan itu sedangkan warga desa tidak?
Apakah memang ada yang berbeda dari diriku?
Atau aku bisa melihat karena ada nenek itu di sana?
Semua ini begitu membingungkan dan membuat aku berfirasat buruk.
Sebenarnya… Apa yang sudah Paklek lakukan?

***
(Bersambung part 3 - Keranda)
Terima kasih sudah membaca part ini hingga akhir. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian yang menyinggung.

Buat temen-temen yang mau baca part 3nya duluan atau sekedar support bisa mampir ke karyakarsa di link berikut ya :

karyakarsa.com/diosetta69/des…
DESA GENDERUWO
Part 3 - Keranda
-A Thread -

Keranda bambu tua itu datang begitu saja di halaman rumah. Sebuah pertanda, harus ada satu orang yang dikurbankan...

Sementara itu bola api yg melayang, kunti sudah mengincar rumah kami
@bacahorror @IDN_Horor @bagihorror
#bacahorror Image
Aku duduk terdiam menatap pohon beringin di belakang rumah sembari membayangkan dengan apa yang terjadi dengan Pak Kasto beberapa hari yang lalu.

Bila Paklek juga melakukan perjanjian dengan sosok yang menghabisi pak Kasto, apakah di pohon ini juga ada sosok mengerikan itu.
Genderuwo?
Selama ini aku hanya mendengar sebutan itu dari desas-desus yang tidak pernah terbukti kebenaranya. Namun malam itu aku benar-benar melihat sosoknya. Jelas, ia jauh lebih mengerikan dari apa yang pernah kudengar dari orang lain.
Tapi, saat aku menghitung ulang satu-persatu hal-hal aneh yang kualami di rumah ini. Mulai dari sosok di lemari kamarku, sesaji di kamar Bayu, hingga sosok menyerupai Paklek di kamar Bulek. Apakah itu semua ada hubunganya dengan ucapan nenek itu?
Nenek itu berucap tentang yang Paklek lakukan ternyata lebih mengerikan dibanding apa yang kulihat kemarin di belakang rumah almarhum Pak Kasto.

Tanpa sadar akupun melamun di tempat itu hingga terdengar suara adzan berkumandang.
Akupun segera meninggalkan pohon yang semakin terlihat misterius itu dan kembali ke dalam rumah.
Tapi malam itu hal yang tidak bisa kupikir dengan nalarpun terjadi lagi.

Tanpa sengaja aku dan Bunga melihat keluar rumah.
Saat itu kami tertegun melihat ada sebuah keranda yang tergeletak di halaman rumah.
Sebuah keranda yang terbuat dari bambu yang sudah lapuk yang secara sekilas mungkin saja sudah tidak mampu mengangkat jenazah.

“Buk, itu Buk…” Bunga berteriak dengan tubuh yang gemetar.
Jelas saja rasa takut menyelimuti tubuhku dan Bunga. Bagaimana mungkin kami bisa tenang menghadapi kejadian ini sementara beberapa hari lalu baru ada seseorang yang meninggal tanpa ditemukan jenazahnya.
“Ada apa to Nduk?” Bulek menghampiri kami dan terhenti saat melihat keranda yang ada di halaman.
Kali ini seketika wajahnya terlihat pucat tanpa bertanya-tanya seolah sudah mengerti dengan apa yang ada di hadapanya.

“Wis wayahe to?” (Sudah waktunya ?)
Paklek ikut mendatangi kami dan menanyakan hal tersebut kepada Bulek.

“Wayahe opo Paklek?” (waktunya apa Paklek?) Tanyaku yang tidak mau diam saja menjadi seseorang yang tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Wayahe bocah-bocah turu, ndang leren!”
(Waktunya anak-anak tidur, sudah sana istirahat) Perintah Paklek.

Kamipun menuruti perintah Paklek dan meninggalkan keberadaan keranda yang berada di halaman rumah.
Aku mengira keranda itu adalah bentuk teror dari orang yang tidak suka dengan Paklek, namun anehnya ekspresi Bunga kali ini terlihat aneh. Wajahnya benar-benar pucat.

“Kinan, nanti malam aku tidur di kamarmu ya?” Pinta Bunga.

“Emang kenapa Bunga? Kok tumben?”
“Nanti saja aku ceritakan, yang penting malam ini aku nggak mau tidur sendiri,” Ucap Bunga.

“I—iya,”

Akupun segera merapikan kasurku agar muat untuk tidur berdua dengan Bunga. Tak berapa lama Bungapun datang dengan membawa bantal dan boneka miliknya untuk tidur bersamaku.
“Nggak papa kan Kinan?” Tanya Bunga.

“Yo ndak papa lah, kayak sama siapa saja,” ucapku yang mempersilahkan Bunga untuk tidur di kasurku, namun sepertinya ia belum berniat untuk segera tidur.

Sembari merapikan buku-buku pelajaranku di meja,
aku melihat Bunga yang melamun dengan tatapan kosong.

“Sudah nggak usah khawatir, tadi aku dengar Paklek sudah meminta Mas Puguh buat menyingkirkan keranda itu,” ucapku.

Bunga menatapku sebentar dan kembali dengan wajah cemasnya.
“Ini.. bukan pertama kali, Kinan.” Ucap Bunga setengah tidak yakin.

“Maksudnya?”

Buga memainkan jari di pangkuanya dengan raut wajah cemas. Ia seolah merasa tidak yakin untuk bercerita.

“Iya, dulu waktu aku kecil pernah ada kejadian seperti ini,”
Sepertinya Bunga mencoba menceritakan sesuatu, namun ia seperti ragu-ragu dan cemas.

Bunga bercerita bahwa kemunculan keranda tadi seolah membuka ingatan Bunga akan sesuatu yang sebenarnya sudah lama ia lupakan.
“Dulu aku masih seumur Bayu, mungkin lebih kecil lagi,” Ucap Bunga.
Saat itu tiba-tiba Bulek kaget dengan kemunculan keranda di depan rumahnya. Bunga tidak begitu paham apa yang terjadi, ia hanya melihat Bulek menangis sembari memeluk Paklek. Sementara Paklek hanya menatap keranda itu dengan tatapan yang dingin.
“Aku ini bukan anak pertama, Kinan,” ucap Bunga.

“Sing bener? Tapi dari dulu waktu aku kecil aku tahunya kamu anak pertama Paklek,” tanyaku.
Bunga menggeleng..

“Sebelumnya aku punya seorang kakak perempuan, tapi nggak ada yang pernah tahu tentang dia,” jelas Bunga.
“Hah? Tapi masak ibuku sampai nggak tahu juga?”
Bunga menceritakan bahwa ia tumbuh dengan seorang perempuan yang mengasuhnya. Bi Sumi namanya. Ia tinggal bersama Bulek dan Paklek jauh sebelum Mbok Yatmi bekerja di rumah ini.
Sepengetahuan Bunga, Bi Sumi memiliki seorang anak perempuan. Bunga mengenalnya dengan nama Canting. Umurnya mungkin selisih lima tahun dari Bunga sehingga seringkali Ia membantu mengurus kebutuhan Bunga untuk membantu Bi Sumi.
Saat itu rumah Paklek belum sebesar sekarang. Ia hanya memiliki tanah dengan rumah yang ala kadarnya. Menurut Bunga, Paklek juga sering mendapat cemoohan dari warga desa. namun paklek hanya bisa menahan rasa kesalnya menerima cemoohan itu.
Bunga sendiri tidak bisa mengingat tentang cemoohan apa yang dilemparkan warga pada Paklek.
Sampai suatu ketika, keranda itu datang.
Paklek dan Bulekpun menyingkirkan keranda itu, namun keranda itu datang lagi di hari berikutnya.
Kalau sebelumnya Paklek menatap keranda dengan raut wajah yang dingin, kali ini Paklek menatapnya dengan raut wajah yang pucat seolah takut akan sesuatu.

Saat itu mereka meminta Bi Sumi membawaku ke dalam kamar dan menemaniku untuk tidur.
Sementara Paklek dan Bulek malah berada di depan bersama Canting sembari memeluknya.
Malam itu sembari menemani Bunga, Bi Sumi sesekali terisak.

Ia benar-benar seperti menahan kesedihanya tanpa tahu harus melakukan apa.
Bunga penasaran, namun Bi Sumi meyakinkan Bunga agar tidak usah khawatir, hingga akhirnya Bungapun bisa tertidur.

Pagi setelahnya Bunga terbangun dengan seluruh rumah dalam keadaan tertutup dan lampu dimatikan.
Seluruh gorden tertutup dan kondisi rumah seolah terlihat tidak ada orang bila dilihat dari luar.
Bulek yang menyadari bahwa Bunga terbangunpun segera menghampirinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar lagi.
Namun saat itu, Bunga sudah sempat melihat keberadaan keranda dengan Canting yang berada di dalamnya. Bi Sumi berada di sebelahnya sembari menyiramkan air kembang beberapa kali dengan sebuah siwur.
Bunga saat itu takut hingga tidak mampu berkata-kata. Namun sebelum ketakutanya membuatnya bertanya pada Bulek, tiba-tiba Paklek datang menghampiri Bulek di kamar Bunga.

“Nek de’e wis weruh, nggo iki wae,”
(Kalau dia sudah melihat, pakai ini saja)
Paklek memberikan dua buah daun hitam ke pada Bulek.

Bulekpun menutupi kedua mata Bunga dengan daun itu. Ia merasa pikiranya begitu tenang hingga akhirnya Bunga benar-benar melupakan kejadian itu, baru saat tadilah ia kembali teringat saat melihat keranda itu kembali.
Entah berapa hari setelah kejadian itu, di dalam kelinglunganya Bunga mengantar kepergian Bi Sumi pergi dari rumah itu. Ia sempat bertanya mengapa Bi Sumi pergi, namun Bulek hanya menjawab bahwa ‘tugasnya sudah selesai’.
Saat berpamitan untuk terakhir kalinya dengan Bi Sumi, Bunga sedih. Tapi saat itu Bunga juga sedang linglung.

Dalam keadaan itu Bi Sumi membisikkan sesuatu yang tidak Bunga hiraukan.

“Canting bukan anak Bi Sumi, ia kakak kandungmu,”
ucap Bi Sumi yang setelahnya meninggalkan rumah. Entah mengapa ucapan itu baru teringat barusan saat Bunga melihat keranda tadi.
Ingatan yang muncul itulah yang membuat wajah Bunga seketika memucat.

“Itu kuburan Canting…”
Bunga menunjuk ke arah pohon beringin yang terlihat dari jendela kamarku. Kini terjawab sudah kuburan siapa yang berada di bawah pohon itu.

Aku menelan ludah mendengar cerita Bunga, ia terlihat pucat dan seringkali melihat ke arah pintu.
Namun aku berusaha membuatnya tenang dan meyakinkanya bahwa keberadaan keranda tadi pasti berbeda dengan yang ada di ingatanya itu.
Aku tidur memeluk Bunga dengan selimut yang menyatukan kami.
Sepertinya aku berhasil melenyapkan rasa cemas Bunga hingga akhirnya kami berdua tertidur.
Tapi.. suara ketukan pintu menggugah kami.



Tok.. tok.. tok…

“Bunga? Kamu tidur sama Kinan?”

Terdengar suara Bulek mengetuk pintu kamarku.
Aku melihat ke arah jam dinding dan mendapati jarum pendek mengarah di pukul satu dini hari.

Tok… tok… tok…

Bunga terbangun, ia memberi isyarat padaku dengan menggeleng untuk tidak memberitahukan keberadaan dirinya pada Bulek.
Bunga ketakutan, tubuhnya gemetar mendengar suara ibunya sendiri…

“Kinan? Bunga di kamar?” Tanya Bulek.

Memang aneh, jarang sekali Bulek mengganggu jam tidur kami. Seketika aku membayangkan kejadian yang diceritakan Bunga tadi.
Beruntung aku mengunci pintu kamar, sehingga Bulek tidak bisa masuk sebelum aku menyiapkan mentalku.

Sayangnya beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki lain yang mendekat.
“Buka pakai kunci ini saja,”
Itu suara Paklek. Mengetahui bahwa Paklek memiliki kunci serep.
Kamipun kembali ke posisi tidur dengan menutupi kepala kami dengan selimut.

Krieeeeet!!!

Pintu kamarpun terbuka. Suara langkah kaki dua orang mendekat ke arah kami.
Dari balik selimut aku berusaha berpura-pura tidur berharap mereka tidak menyadari keberadaan Bunga, namun jelas saja itu mustahil.

“Bunga, kenapa tidur di sini? Ayo ibu temenin tidur di kamar,” Terdengar suara Bulek yang kini berada di dekat kasur.
“Bunga mau disini Buk, sama Kinan,” balas Bunga dengan berpura-pura baru saja terbangun.

“Nggak bisa, Kinan harus istirahat,” Kini suara Bulek terdengar lebih tegas.
Ia setengah memaksa Bunga hingga akhirnya Bunga berdiri dan berjalan meninggalkan kamar dengan tangan ibunya menggandengnya dengan memaksa.

Aku ikut terbangun saat ia meninggal kamar. Bunga hanya menoleh padaku dengan wajah sedihnya.
“Bulek, aku ikut tidur kamar Bunga ya,” aku mencoba menawarkan diri untuk itu.

Bulekpun menatapku dengan mata yang tajam, ia seperti tidak menyukai perkataanku.

“Kamu tetap disini,”
Hanya itu balasan dari Bulek, namun anehnya ucapan Bulek yang sesingkat itu bisa membuatku tertahan dan tidak berani untuk mendekat kepada mereka.

“Bunga semoga yang kamu ceritakan itu hanya mimpi buruk,” doaku saat itu.
Entah apa yang terjadi saat itu, namun rasa ngantuk benar-benar mengalahkanku hingga akupun tertidur.

Pagi itu aku terbangun seperti biasa, akupun bergegas bersiap untuk berangkat sekolah sekaligus membantu mempersiapkan Bayu untuk berangkat denganku juga.
Tapi Bunga tidak terlihat juga…
Akupun teringat ceritanya semalam dan segera naik ke atas dan menghampiri kamar Bunga.

“Bunga?”

Ucapku sembari mengetuk kamarnya, namun tidak ada jawaban. Aku yang khawatirpun segera membuka kamar Bunga yang tidak terkunci.
Lampu kamarnya masih mati dan terlihat seseorang tertidur di kasurnya.

“Bunga sakit, dia nggak sekolah dulu..”
Tiba-tiba suara Bulek mengagetkanku dari belakang. Aku yang hendak menghampiri Bungapun mengurunkan niatku saat melihat kedatangan Bulek.
“Saya siapin obat buat Bunga, Bulek?” aku menawarkan diri.

“Nggak usah ya Kinan, biar Mbok Yatmi saja” Bulek menjawab dengan tatapan dingin. Kali ini aku merasa perasaan yang aneh yang membuatku takut terpancar dari Bulek.
Dengan ragu aku menutup pintu kamar Bunga dan berangkat ke sekolah dengan Bayu. Namun sepanjang jalan, aku tak henti-hentinya memikirkan Bunga.
Setelah malam itu, semua hal mulai menjadi aneh. Bunga hampir tidak pernah keluar dari kamarnya.
Untuk makan, Mbok Yatmi selalu mengantarkan makananya ke dalam kamar.

Pernah saat Bulek dan Paklek tidak ada, aku mencoba mengetuk kamar Bunga dan melihat keadaanya. Namun saat itu ia hanya berdiri dengan tubuhnya yang kurus dengan tatapan mata yang kosong.
“Bunga?” aku mencoba menegurnya, tapi ia malah menoleh sembari tersenyum aneh dengan wajah pucatnya ke arahku. Ia tidak mengatakan sepatah katapun sama sekali. Tapi saat aku mendekat, terdengar suara Mbok Yatmi yang memasuki rumah.
Sekali lagi aku mengurunkan niatku. Entah mengapa aku merasa bahwa mendekati Bunga saat ini adalah hal yang dilarang.

Hari-hari semakin berlalu, namun keadaan Bunga tidak kunjung membaik.
Sebaliknya, Bulek malah memberi tahu bahwa Bunga tidak lagi bisa bersekolah dan harus dirawat di rumah.

Sempat beberapa perwakilan sekolah datang untuk menjenguk, namun mereka hanya melihat Bunga sekilas dan Bulek segera menjauhkan mereka dari Bunga.
Satu yang aku takutkan. Tubuh Bunga terlihat semakin kurus. Sebelum malam itu, Bunga adalah remaja perempuan yang cantik diantara perempuan seumuranya.

Aku sempat mendengar gosip ada beberapa teman sekolahnya yang naksir dengannya.
Tapi kondisinya sekarang sangat jauh dari itu..
Tubuhnya kering, seolah hanya tersisa sedikit daging dibalik kulitnya. Sekitar matanya menghitam dengan wajah yang pucat.

“Kak Bunga sakit apa sih Bu?”
Pernah Bayu menanyakan hal itu pada Bulek, namun Bulek hanya menjawab seadanya dan tidak pernah menjelaskan dengan lebih rinci. Akupun pernah menawarkan diri untuk membantu mengurus Bunga, namun Bulek melarang. Hanya Mbok Yatmi yang diijinkan mengurus Bunga.
“Mas Puguh, tahu tentang sakitnya Bunga gak?”
Aku pernah mencari tahu tentang permasalahan Bunga dari Mas Puguh, namun Mas Puguhpun tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Ia malah mengelus kepalaku dengan tatapan mata cemas.
“Rajin-rajin ibadah ya Kinan... Doain saja yang terbaik buat Bunga,” ucap Mas Puguh.
Entah mengapa aku merasa hanya Mas Puguh yang sedikit berbeda di rumah ini. Semenjak Bunga sakit, ia juga sering terlihat cemas.
Aku ingin menceritakan apa yang Bunga ceritakan di malam itu padanya, namun aku masih merasa takut.
Kadang aku suka merasa merinding dengan tiba-tiba saat berada di rumah. Aku merasa seolah ada sosok lain yang tinggal di rumah ini selain kami semua.
Pernah saat aku membersihkan halaman belakang, aku merasa ada yang mengawasi dari jendela kamar Bunga.
Memang, ada Bunga yang sedang memperhatikanku dari jendela itu. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa itu tidak seperti tatapan Bunga.
Beberapa kali aku juga melihat Mas Puguh yang sedang bekerja terhenti oleh sesuatu. Ia sesekali terhenti sembari menatap kaca jendela seolah ada yang mengawasinya.
Hal itu sepertinya mempengaruhinya hingga beberapa bulan kemudian, Mas Puguh memutuskan untuk mengundurkan diri dan tidak bekerja lagi di kediaman Kartosuwito.
Saat berpamitan Mas Puguh sempat mengatakan padaku sesuatu yang membuatku berpikir.
“Seandainya memungkinkan, sebaiknya Mbak Kinan tidak tinggal bersama mereka,”

Aku menanyakan maksud dari ucapan itu, dan mengapa Mas Puguh bisa berkata seperti itu. Tapi ia tidak mau menjawab.

“Kalau saya sampai menyinggung Bapak, saya bisa mati kapan saja,”
***
DERITA BUNGA

Suara isak tangis terdengar di tengah malam. Aku mencoba keluar dari kamar untuk mencari asal suara itu, namun Mbok Yatmi tengah duduk di kursi kayu yang diletakkan di ruang tamu. Ia menunggu di sana dengan penerangan sebatang lilin.
Aku berpikir apakah sudah dari malam-malam sebelumnya Mbok Yatmi selalu berjaga di ruangan ini? Ia menoleh ke arahku dengan tatapan tajam seolah memberi isyarat agar aku kembali ke kamar.
Saat itu aku bertahan sebentar untuk menajamkan telingaku dan mencari suara isak tangis itu sembari berpura-pura ke kamar mandi. Setelah beberapa saat di luar, aku tidak mendengar suara lagi dan memutuskan untuk kembali ke kamar.
Sayangnya saat kembali mencoba menutup mata, suara itu tidak terdengar lagi. Akupun tidak punya pilihan lain selain memaksa diri untuk menutup mata dan tidur.
Itu Bunga,
Aku melihat sekelilingku dan mendapati tubuhku ada di sebuah tempat yang kukenal. Dengan mudah aku mengenali bahwa ini adalah kamar Bunga.
Aku tak sempat mencari tahu bagaimana aku bisa ada di sini. Keberadaan Bunga di hadapanku benar-benar membuatku cemas.
Bunga menangis dengan tubuh yang mengenaskan. Ia takut akan sesuatu yang menghampirinya. Ada sosok hitam mengerikan yang mendekat ke arah Bunga. Sosok besar bertaring dengan mata yang merah dan tubuh penuh dengan bulu.
Bunga seolah tidak mampu mengendalikan tubuhnya. Ia hanya terkulai lemas dan terus menangis saat makhluk itu mendekat. Aku ingin menghampiri Bunga, namun aku tidak dapat melihat tubuhku, entah bagaimana aku menjelaskanya. Aku hanya bisa melihat tanpa berbuat apapun.
Apa yang terlihat di hadapanku saat ini begitu mengerikan.
Makhluk hitam itu melucuti pakaian di tubuh Bunga hingga tubuh kurusnya terpampang begitu saja. Bunga menangis, namun makhluk itu malah semakin beringas. Ia menjilati kemaluan Bunga dan menikmati setiap bagian tubuhnya.
Tak peduli seberapa keras Bunga menangis, setan itu tetap melampiaskan nafsunya. Aku tidak bisa melupakan bagaimana ekspresi Bunga saat makhluk itu memperkosanya dengan beringas hingga darah berceceran di kasur Bunga.
Setelahnya ,Bunga yang tak mampu melawan hanya terkulai lemas kembali dengan tatapan mata yang kosong.

“Kowe lungo yo nduk, iki wis keterlaluan,” (Aku pergi ya nak, ini sudah keterlaluan) terdengar suara seorang nenek dari belakangku,
namun tetap saja aku tidak bisa melihat selain apa yang ada di hadapanku.

“Wong-wing iki wis ra duwe ati, De’e tego nglacurake anake dhewe kanggo demit kuwi”

(Keluarga ini sudah tidak punya hati, mereka bahkan tega melacurkan anaknya sendiri pada setan itu)
Sebelum sempat bertanya lebih jauh, tiba-tiba aku terbangun dengan tubuh yang penuh keringat. Tubuhku begitu lemah seperti seseorang yang kehabisan tenaga.
Aku hanya terduduk sembari memikirkan apa maksud mimpi tadi? Apakah itu benar terjadi atau hanya sekedar kekhawatiranku akan keadaan Bunga.

***
Aku hanya anak SMP, apakah mungkin aku bisa hidup bila harus meninggalkan rumah ini. Tinggal di desa ibu seorang diri jelas tidak mungkin. Tapi aku mulai yakin bahwa ada sesuatu di rumah ini yang tidak beres.
Tanpa adanya Bunga, aku dan Bayu berusaha mengacuhkan perasaan aneh itu sembari menghabiskan waktu menonton televisi atau bermain bersama Bayu. Sebisa mungkin aku berusaha bersikap biasa seolah tidak mengetahui apapun.
Sampai suatu malam, aku mulai merasakan keanehan lagi.
Kami di dalam rumah, namun udara dingin berhembus meniup tubuh kami semua. Sudah dipastikan semua pintu dan jendela terkunci, hal itu jelas terasa tidak wajar.
Beberapa saat kemudian, Paklek Ambruk.
Ia terjatuh lemah dengan tiba-tiba. Paklek menjerit kesakitan hingga tubuhnya kejang.
Bulek panik, namun itu tidak lama. Tiba-tiba pintu kamar Bunga terbuka dengan sendirinya. Bersamaan dengan itu, pakde terhenti dari kejangnya.

“GHrrrrr….”
Suara itu terdengar menggema di rumah membuatku merinding seketika.

Prangg!!!

Bola lampu pecah, kursi bergeser dan berjatuhan begitu saja.
“Bayu takut…”

Aku memeluk Bayu dan membawanya mendekat ke pintu bersiap-siap bila kami harus keluar dari rumah ini.
“Jangan keluar!” Perintah Mbok Yatmi.
Ia memerintahkanku dan Bayu menjauh dari pintu dan jendela-jendela rumah. Dan benar saja, seketika seluruh listrik di rumah saat itu mati tanpa sebab.
Merasa tak tahu harus berbuat apa, aku memilih untuk mendekat kepada Mbok Yatmi dan Bulek. Paklek sudah kembali mendapatkan kesadaranya dan berusaha mengatur nafasnya.
Seketika saat itu suasana di rumah begitu hening.
Sebegitu heningnya hingga aku bisa mendengar suara nafasku sendiri. Namun dengan jelas aku masih merasakan seolah nyawaku ada di ujung tanduk.
“Bulek, ini kenapa?” Tanyaku mencoba mencari jawaban dari mereka yang masih terdiam.
“Ini ulah mereka, orang-orang yang tidak tahu diuntung..” Paklek menggantikan Bulek menjawab pertanyaanku.

Dari jauh aku memperhatikan kaca jendela.
Samar-samar aku melihat ada sesuatu yang aneh, semakin kuperhatikan semakin kudapati bahwa itu adalah sosok api yang melayang-layang mengitari rumah. Api itu melayang tanpa adanya obor atau orang yang membawanya.

“Gimana ini Pak?” Bulek terlihat cemas.
“Tenang, kita hanya lengah..”
Paklek mencoba menenangkan Bulek, namun tak jauh dari ucapan itu tiba-tiba Bayu terlepas dari pelukanku. Ada sesuatu menariknya menjauh hingga terseret.

“Bayu!” Aku mencoba menggapainya, sementara itu di sisi lain terlihat keanehan dari Mbok Yatmi.
Matanya melotot dengan tubuh yang kaku, ia tak bergerak seperti ada sosok yang mencekiknya.

“Mbok! Mbok Yatmi!” Paklek dan Bulek memegangi tubuh Mbok Yatmi dan berkali-kali mencoba menyadarkan dirinya.

Tapi… kenapa Mbok Yatmi?
Kenapa mereka tidak lebih berusaha menolong Bayu yang hampir saja hilang dari pandangan mereka.

“GHrrrrr…. Hrrrrr!!!”

Suara mengerikan itu terdengar lagi, saat itu Juga Mbok Yatmi tergeletak dan kembali bernafas. Sesuatu yang menarik Bayu sudah tidak ada lagi.
Saat itu aku memeluk Bayu di sudut tembok, dan benar saja mereka tidak peduli dengan Bayu. Mereka ketakutan, namun mereka seperti mengandalkan sesuatu.

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba Mbok Yatmi berdiri.
Seketika wajahnya pucat, ia menoleh pada Paklek dan Bulek sembari menyeringai dengan raut wajah yang berbeda dari Mbok Yatmi yang kukenal.

“Ora ono sing bakal nulungi kowe, wis akeh sing dendam karo kowe.. kowe bakal mati wengi iki”
(Tidak ada yang akan menolongmu, sudah banyak yang dendam dengan dirimu.. Kamu akan mati malam ini)

Itu bukan suara Mbok Yatmi, suaranya terdengar serak dan berat. Ia mendekat kearah Paklek dan Bulek yang sudah menyadari keanehan dari dirinya.
Namun Paklek dan Bulek segera menjauh.
Mbok Yatmi yang tengah kerasukan tidak membiarkan mereka pergi. Dengan langkah yang cepat Mbok Yatmi mengejar Bulek dan menarik tubuhnya hingga terjatuh.
Dengan kesetanan, Mbok Yatmi mencakar tubuh Bulek hingga kukunya dipenuhi dengan darah Bulek.

“Mati!! Kowe pantes mati!!” Teriak Mbok Yatmi.

“Toloong!!” Bulek berteriak kesakitan dengan tubuhnya yang sudah penuh dengan luka cakaran.
Pranggg!!!
Sebuah guci besar pecah tepat di kepala Mbok Yatmi. Itu adalah perbuatan Paklek.
Mbok Yatmi tergeletak di lantai dengan darah yang mengucur dari kepalanya. Ia terbaring dengan mata terbelalak.

Mati? Mbok Yatmi mati?
Aku gemetar melihat pemandangan itu. Entah aku harus bersyukur karena Bulek selamat atau mengkhawatirkan kondisi Mbok Yatmi yang tidak sadarkan diri.

“Pak, kalau Mbok Yatmi mati gimana?” Bulek juga khawatir.

“Kita pikirkan nanti, yang penting kita selamat..”
Paklek membantu Bulek berdiri dan meninggalkan tubuh Mbok Yatmi begitu saja, namun sebelum mereka melangkah lebih jauh aku menyadari ada sesuatu di belakang mereka.

“Paklek! Awas!!”

Paklek dan Bulek menyadari teriakkanku dan menoleh ke belakang, Namun mereka terlambat.
Mereka tercekik oleh dua tangan yang menangkap mereka. Itu adalah Mbok Yatmi..
Ia masih hidup dengan seluruh darah yang masih mengucur dari kepalanya. Pakaianya sudah penuh dengan darah dan sebagian darahnya berceceran di lantai rumah.
Harusnya tenaga seorang perempuan tidak akan kuat menahan Paklek dan Bulek, namun entah mengapa cekikan itu membuat Paklek dan Bulek tak berdaya. Mereka tak mampu bernafas dengan leher yang mereka yang mulai berdarah dengan cengkeraman Mbo Yatmi.
Aku ingin berusaha memberanikan diri untuk melakukan sesuatu. Hanya ada sebuah kursi kayu di dekatku yang mungkin bisa kulemparkan kepada Mbok Yatmi.

Brakkk!!!

“Lepasin!!!” Teriakku.
Aku sudah melemparnya sekuat tenaga, namun kursi itu hanya menghantam tubuh Mbok Yatmi tanpa membuatnya bergerak sedikitpun.
Ditengah kebingunganku, tiba-tiba Mbok Yatmi menatap ke satu sisi. Ia menatap ke arah kamar Bunga.
Dalam sekejap wajah Mbok Yatmi yang mengancam berubah menjadi waspada.
Ada Bunga disana…

Ia berjalan selangkah demi selangkah menuruni anak tangga. Matanya sayu dengan wajahnya yang pucat.

Tapi tepat saat Bunga sampai di bawah, Mbok Yatmi berteriak-teriak tidak karuan.
Ia jatuh berguling-guling di lantai.
Bunga berjalan ke arah pintu utama dan seluruh jendela bergetar secara bersamaan.

“Bu—Bunga!” Aku mencoba memanggilnya.

“Diam!!!” Bulek membentakku dengan keras. Ia melarangku untuk mengusik Bunga.
Aku takut, sangat takut. Aku hanya bisa memeluk Bayu dan melihat semua kejadian itu terjadi begitu saja.

Pintu rumah terbuka, Bungapun keluar dari rumah. Angin berhembus begitu kencang masuk ke dalam rumah bersama berbagai suara yang tidak dapat dijelaskan dengan nalar.
Ada suara tangisan, teriak kesakitan, hingga suara geraman hewan buas mengelilingi rumah ini. Semua itu begitu memekakan telinga hingga aku menutup telingaku rapat-rapat.

Saat itu, Bulek yang menahan rasa sakitnya menarik tanganku dan Bayu dan membawa kami masuk ke dalam kamar.
Ia segera menutup pintu kamarku rapat-rapat dan menguncinya.

“Mbak Kinan, Mbok Yatmi gimana? Bapak? Ibu?” Bayu ketakutan hingga menangis.

Akupun kebingungan menghadapi kejadian ini. Sebisa mungkin aku menenangkan Bayu dan berusaha untuk menidurkannya.
Sementara itu, bahkan dari dalam kamar kami masih merasakan sesuatu yang tidak wajar.
Suara-suara aneh itu masih terdengar dari sekeliling rumah bersama kaca jendela yang beberapa kali bergetar.
Kami berdua hanya bisa bersembunyi di dalam selimut hingga kami tidak ingat kapan akhirnya kami dapat menutup mata.

Hal itu terjadi lagi…
Aku bermimpi melihat Bunga. Ia jauh lebih lemah dibanding mimpi sebelumnya.
Ada Paklek dan Bulek di sana, terdapat luka-luka di tubuh mereka persis seperti luka yang disebabkan Mbok Yatmi tadi.
Mereka mengantar Bunga ke dalam kamar dan membukakan pintu untuknya. Wajah Bunga ketakutan saat melihat ke dalam kamarnya.
Di kamar itu ada sosok hitam yang kulihat sebelumnya memperkosa Bunga, namun kali ini tidak hanya satu. Ada banyak dari mereka berkumpul di kamar Bunga.
“Bayaran kami…”
Salah satu dari makhluk itu menjulurkan tanganya kepada Paklek dan Bulek.
Sisanya sudah bersiap menunggu Bunga dengan wajah penuh nafsu dan begitu beringas.
Paklek memerintahkan Bunga untuk masuk ke dalam, namun Bulek ragu dan menahannya. Tapi tatapan mata salah satu makhluk itu menggetarkan mental Bulek dan membuatnya melepaskan Bunga.
“Peliharaan yang kuat membutuhkan bayaran yang besar,” ucap Paklek dengan raut wajah yang dingin.
Bulek juga serupa, namun saat melihat Bunga masuk diantara kerumunan setan itu bibir Bulek tergetar.
“Ibu…” Bunga menangis ketakutan.
Raut wajahnya menggambarkan bahwa ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya.
Saat pintu tertutup saat itu juga tubuh Bunga menjadi bulan-bulanan makhluk hitam tak berperikemanusiaan itu.
mereka benar-benar setan yang hanya melampiaskan nafsunya pada Bunga yang sudah begitu lemah.
Aku ingin menjerit dan berteriak, namun sekali lagi aku tidak bisa. Semua ini hanya penglihatan.
Makhluk-makhluk itu terlalu keji memperlakukan Bunga.
Mereka merobek baju Bunga, menjilati tubuhnya, menggilirnya satu sama lain dengan begitu kasar, dan mereka baru berhenti ketika tubuh Bunga menjadi rebutan dan satu persatu bagian tubuh Bunga terpisah dari tubuhnya.
Jantungku serasa ingin meledak saat melihat Bunga berakhir dengan tubuh yang tercerai berai di kamarnya sendiri.
Sebuah kamar yang seharusnya menjadi tempat teraman untuknya namun saat ini menjadi sebuah tempat terkutuk dimana kedua orang tuanya menumbalkan dirinya untuk makhluk biadab peliharaan mereka.

***
Suara mobil Ambulance terdengar memekakan telingaku. Aku terbangun dan mendapati Bayu masih tertidur tepat di sebelahku. Matahari bersinar begitu terang tidak seperti pagi yang biasanya, aku menoleh ke arah jam dan mendapati hari sudah melewati setengahnya.
Bagaimana aku bisa tidur hingga sesiang ini?
Aku menduga Paklek pasti memanggil Ambulance untuk menolong Mbok Yatmi, namun ternyata perkiraanku salah.
Saat sampai di luar, keadaan sudah ramai dengan orang-orang yang menonton petugas ambulance mengevakuasi jasad-jasad yang bergelimpangan di jalan desa.

“Gila, ada yang bola matanya sampai keluar,”

“Pak Toyo tubuhnya terbelah jadi dua,”
Ucapan-ucapan itu terdengar dari perbincangan orang-orang yang membicarakan jasad-jasad itu.

“Pak, ini ada apa? Pembunuhan lagi?” Tanyaku pada warga yang sedang menonton.

“Iya Kinan, ini lebih mengerikan. Pembunuhnya kayak bukan manusia,” jawab salah satu dari warga.
“Hewan buas?” tanyaku.

“Bukan, Bisa jadi… setan…” Balasnya lagi.

Sontak aku teringat semua kejadian semalam saat Paklek dan Bulek hampir mati oleh serangan sosok yang merasuki Mbok Yatmi.

Beberapa orang-orang tua menggeleng melihat jasad-jasad itu.
Mereka terlihat seolah mengerti akan kejadian ini. Namun, diantara mereka ada seseorang yang wajahnya tidak asing.

Mas Puguh..

Aku berjalan mendekat ke arah Mas Puguh untuk mencari tahu tentang apa yang ia ketahui tentang kejadian ini.
“Mas!” aku mendekat dan menepuk pundaknya.

“Mbak Kinan?” Mas Puguh terlihat bingung sembari celingak celinguk memeriksa sekitarku.

“Aku sendirian kok..” ucapku yang mencoba meyakinkan Mas Puguh bahwa kami aman untuk berbicara.
Aku ingin mulai bertanya, namun Ia menarikku ke tempat yang lebih sepi sebelum berbicara.

“Mas Puguh tahu ini kenapa?” tanyaku.

“Sebaiknya Mbak Kinan nggak usah tahu, mungkin saja mbak Kinan bisa selamat hingga sekarang karena ketidak tahuan mbak Kinan,” ucap Mas Puguh.
Mungkin saja ucapan Mas Puguh ada benarnya. Namun aku tidak yakin bahwa berpura-pura tidak tahu akan terus bisa menyelamatkan hidupku.
“Aku sering dapet mimpi, yang terakhir aku melihat Bunga ditumbalin buat sosok hitam yang mirip sama Genderuwo,” aku memberanikan diriku untuk bercerita.

Namun bukanya mendengarkan, Mas Puguh malah menutup mulutku.
“Sudah, cukup.. Mas keluar dari pekerjaan agar selamat. Jangan menyeret Mas ke masalah Kartosuwito lagi!” Ucap Mas Puguh.
“Tapi, sekarang saya harus gimana? Mayat-mayat ini ada huBunganya dengan Paklek dan Bulek kan?” Tanyaku sembari berbisik.
Sekali lagi Mas Puguh mengecek keadaan di sekitar kami. saat memastikan keadaan sudah aman, ia mulai berbicara.
“Semalam kediaman Kartosuwito diserang secara ghaib oleh orang-orang yang dendam dengannya. Beberapa warga mengaku melihat penampakan makhluk halus hingga api yang melayang-layang.” Cerita Mas Puguh.
Saat mengingat apa yang terjadi semalam, semua ucapan Mas Puguh menjadi masuk akal.

“Kalau Paklek dan Bulekmu selamat, pasti dia melakukan pertukaran dengan bayaran yang besar.

Sebaiknya Mbak Kinan jangan terlibat dan pergi sejauh mungkin,” lanjut Mas Puguh.
Bayaran yang besar? Seketika aku teringat akan mimpiku dan khawatir dengan Bunga. Namun masih ada satu pertanyaan yang membuatku penasaran.
“Memangnya apa yang diperbuat Paklek dan Bulek sampai banyak orang yang ingin membalas dendam sama mereka?” Tanyaku pada Mas Puguh.
Mas Puguh hanya menarik nafas dan menggeleng. Ia seolah sulit mengatakan jawaban atas pertanyaanku.

“Kekayaan Paklekmu, hingga rumah yang sebesar itu, itu semua berdiri diatas sekian banyak darah dan nyawa manusia..”
Setelah mengucapkan kalimat itu Mas Puguh merasa perbincangan kami sudah tidak aman. Iapun segera buru-buru pergi meninggalkanku.

Apa maksud Mas Puguh?

Biar berpikir bagaimanapun, aku tidak bisa menemukan jawaban dari ucapan Mas Puguh.
Saat itu aku hanya memikirkan bagaimana keadaan Bunga saat ini.
Akupun berlari kembali ke rumah. Keadaan rumah masih sepi. Aku mencari keberadaan Mbok Yatmi namun tidak ada tanda-tanda keberadaanya.
Kamar Paklek dan Bulek masih tertutup, sementara kamar Bunga terbuka namun tidak ada seorangpun di kamar itu. Kamarnya sudah rapi dengan selimut yang terlipat.

“Bunga…” Aku mencoba memanggil berharap ada jawaban dari Bunga.
“Bunga!” Aku mengeraskan suaraku dan mulai melihat ke bawah dan ke beberapa sudut rumah. Namun tanda-tanda keberadaan Bunga juga tidak kutemukan.

Aku bingung, jantungku berdetak begitu cepat saat teringat mimpi semalam. Semoga saja mimpi itu hanyalah sebuah mimpi.
Tapi, satu pemandangan membuatku terhenti.
Gorden di kamar Bunga tersibak menunjukkan betapa besarnya pohon beringin di belakang rumah terlihat dari kamar Bunga. Aku mendekat ke jendela kamar itu dan melihat sesuatu yang berbeda di bawah pohon beringin itu.

Kuburan…
Tidak hanya satu, kini ada satu buah kuburan lagi bersanding di sebelah kuburan yang Bunga katakan adalah kuburan kakaknya yang bernama Canting.

Tubuhku lemas, akupun segera berlari kebawah memastikan milik siapa kuburan yang baru itu?
Mbok Yatmi? Atau Bunga? Apa aku boleh berharap bahwa kuburan itu bukanlah kuburan mereka berdua?

Tapi baru saja aku sampai di samping rumah, aku terhenti dengan sebuah benda yang digeletakkan di samping rumah.
Sebuah keranda bambu…
Aku terjatuh saat melihat ada sebuah jasad di keranda itu. Sebuah jasad yang dililit dengan kain jarik, namun wajahnya terlihat dengan jelas dengan kapas menyumpal hindungnya.

Itu adalah Mbok Yatmi…

Ia digeletakkan begitu saja di sebuah keranda,
bahkan dengan mata yang masih terbuka. Seketika aku menangis dan mendekati jasad Mbok Yatmi untuk menutup matanya. Namun tidak bisa, matanya masih terbuka seolah ia masih belum tenang. Aku membacakan doa bersama air mataku yang menetes.
Keberadaan jasad Mbok Yatmi di tempat ini seolah memastikan kuburan siapa yang berada di bawah pohon itu.
Akupun melangkah dengan lemah menuju pohon itu.
Berbeda dengan kuburan Canting yang tak bernama, kuburan yang baru ini tertuliskan nama di sebuah nisan kayu sederhana.
Bunga Gita Kartasuwita…
Entah berapa lama aku menghabiskan waktuku meneteskan air mata di kuburan Bunga. Bukan hanya sedih akan kepergian Bunga, namun aku juga harus berpikir bagaimana dengan nasibku dan Bayu setelah ini.
“Di rumah Paklek dan Bulek, kamu bisa ngebantu mengurus Bayu…”
Tiba-tiba kata-kata ibu ituterngiang di pikiranku. Seketika perbincangan itu seolah seperti sebuah titipan bahwa aku harus membawa Bayu pergi dari keadaan ini.
Saat sudah mampu mengendalikan emosiku, akupun berdiri dan melihat rumah besar yang ada di belakangku itu. Aku mengusap air mataku dan memandang satu persatu jendela kamar di rumah itu.
Saat ini aku merasa teka-teki di pikiranku mulai terbuka satu persatu.
Dari jendela atas terlihat Paklek dan Bulek menatapku dengan tajam. Di kamarku, aku melihat sosok makhluk hitam dengan rambut panjang yang selalu muncul di atas lemari. Dan aku juga teringat sosok makhluk yang berada di kamar Bayu.
Apa mungkin bila waktunya tiba, aku dan Bayu juga akan menjadi santapan makhluk-makhluk yang ada di kamar kami?
Namun bagaimana cara kami untuk pergi dari keadaan ini? Sementara mungkin saja, Paklek dan Bulek sudah bersiap untuk mempersiapkan aku ataupun Bayu sebagai pengganti Bunga.

***
(Bersambung Part Akhir - Sarang Genderuwo)
Akhirnya tinggal 1 part lagi, Terima kasih buat teman-teman yang udah ngikutin.
Buat temen-temen yang mau baca tamatnya duluan atau sekedar memberi dukungan. Bisa mampir ke karyakarsa ya :
karyakarsa.com/diosetta69/des…
Desa Genderuwo
Part 4 [TAMAT ] - Sarang Genderuwo

- A Thread -

Demi memenuhi semua hasratnya, Paklek dan Bulek bahkan tega melacurkan Bunga anaknya sendiri pada sosok Genderuwo peliharaan mereka..

Dan saat Bunga sudah mati, kini giliranku..

@bacahorror @IDN_Horor #bacahorror
Malam yang tenang serasa begitu mencekam setelah kematian Bunga dan Mbok Yatmi. Aku menatap dari sisi jendela sepasang kuburan yang didalamnya terdapat jasad anak perempuan yang mati karena pertukaran yang dilakukan orang tuanya.
Setelah serangkaian kejadian kemarin, Paklekpun meninggalkan rumah untuk sebuah urusan. Aku menebak, kemana Paklek pergi pasti ada hubunganya dengan perjanjian ini.

Aku menghabiskan malam ini di teras sembari berpikir, bagaimana caraku untuk keluar dari situasi ini.
Sepertinya aku tidak bisa pergi begitu saja, dan Bayu? apa aku akan membiarkanya bernasib sama seperti Bunga?
Di tengah kebingunganku tiba-tiba aku tersadar ada seseorang yang menatapku dari kejauhan.
Seorang nenek berbaju kebaya lusuh dan kain jarik memandangku di salah satu sudut jalan.
Aku tahu nenek itu…

Ia adalah nenek yang kulihat saat menyaksikan bagaimana kematian Pak Kasto di tangan makhluk bernama Genderuwo di Pohon belakang rumahnya.
Nenek itu tidak bicara apapun, namun tatapan matanya seolah memberi isyarat agar aku menemuinya.

Aku menoleh sebentar ke dalam rumah dan mendapati Bulek sedang sibuk menemani Bayu. Merasa keadaan cukup aman, akupun membuka pagar dengan hati-hati dan menemui nenek itu.
“Tutno aku…” (Ikuti aku) ucap nenek itu singkat.
Akupun mengikuti perintahnya sembari beberapa kali menoleh ke rumah dengan perasaan cemas.

Namun ternyata, Nenek itu hanya membawaku sebuah kebun yang cukup tersembunyi dari pandangan warga yang jaraknya tidak jauh dari rumah.
“Kowe dudu wergo deso iki, mungkin kowe isih iso slamet,”
(Kamu bukan warga desa ini, mungkin kamu masih bisa selamat)

Nenek itu berbicara sembari mengambil posisi duduk yang nyaman di salah satu batu besar yang berada di kebun itu.
“Selamat gimana mbah? Memangnya ini tentang apa?” Tanyaku.

“Perang santet akan terjadi, setelah kejadian kemarin akan banyak orang yang menyerang keluarga Kartosuwito dan Paklekmu juga akan membalas itu semua,” jelas nenek itu.
“Kinan nggak ngerti, Mbah. Sebenarnya ada apa dengan Paklek sampai terjadi hal seperti ini?” Tanyaku.

Nenek itu menghela nafas ia menatap mataku seolah ingin menceritakan sesuatu.
“Makanya Mbah ajak kamu ke sini, biar Mbah ceritakan semua. Setelahnya kamu putuskan sendiri apa yang akan kamu lakukan,” jelas nenek itu.

Nenek itu memberikan sebuah sobekan koran tua dengan kalimat yang membuatku mengernyitkan dahiku.
‘Lelakoe di Kaki Gunung, Seboeah Ikhtiar Meroebah Takdir Hidoep’

“Cokro Kartosuwito.. Paklekmu itu dulu memiliki nasib yang mengenaskan,” ucap nenek itu.

Menurut nenek itu, dulu Paklek tinggal ke sini tanpa tahu apa-apa tentang latar dari desa Jumon ini.
Ia tidak mengetahui tentang keluarga-keluarga besar yang menguasai desa.

Ia bekerja di peternakan milik keluarga Saswito sebagai buruh dan tinggal di tempat yang mereka sediakan.
Selama bekerja merintis hidup, Paklek jatuh cinta dengan seorang pedagang jamu bernama Ratini hingga merekapun menjalin sebuah hubungan.
Namun Ratini yang juga dikagumi banyak pria ternyata juga disenangi oleh Gito, anak dari Saswito bos dari Paklek.
“Wis to, Cokro.. culke wae Ratini. Timbang kowe urusan karo Gito,” (Sudahlah cokro.. lepasin saja Ratini. Daripada kamu urusan sama Gito) Teman Paklek sempat memperingatkan Paklek.
“Ora bakal! Ratini ki tresnone mbek aku. Ra urusan karo Gito!” (Nggak akan! Ratini itu cintanya sama aku. Nggak urusan sama Gito!) Balas Paklek yakin.

Mengetahui ada hubungan antara Ratini dan Paklek, akhirnya Gito mengumpulkan orang-orangnya dan berniat jahat pada Paklek.
Paklek diperlakukan dengan semena-mena mulai dari yang biasa seperti dipekerjakan hingga malam, tidak kebagian jatah makan, hingga dipukuli oleh teman-teman kerjanya atas perintah Gito.

Paklek masih mencoba bertahan hingga ia bisa mendapat pekerjaan lain.
Namun hal itu sulit karena juragan-juragan lain mengetahui niat Gito dan tidak mau mencari masalah dengan keluarga Saswito.
Paklek masih masih berdiri tegar di hadapan Gito dan bertahan karena yakin Ratini masih setia dan lebih memilih Paklek.
Sampai suatu ketika, sesuatu terjadi…
Ratini mengajak Paklek untuk bertemu di rumahnya. Paklek yang sudah berdandan dengan klimis bersemangat untuk menemui Ratini. Tapi saat sampai di rumahnya, ia melihat ada yang aneh. Pintu rumah Ratini terbuka dan ada suara dari dalam rumah.
Paklek mendekat ke rumah dan mendapati suara itu berasal dari dalam kamar.

“Mmmh… Jangan Mas Gito, sebentar lagi Mas Cokro datang,” terdengar suara Ratini dari dalam kamar.

“Biar dia tahu, kalau kamu itu punyaku!” Suara Gito juga terdengar dari dalam kamar itu.
“Ratini!” Paklek tercengang saat mengetahui apa yang terjadi di kamar. Iapun menggedor kamar itu.

“Mas, Mmhh.. itu.. cokro..” Eluh Ratini.

“Jangan berhenti, dia bukan siapa-siapa..”

“Aahh.. Mas..”
Paklek geram, ia menggedor pintu itu semakin keras dan mencoba mendobraknya. Pasangan di dalam kamar itu tidak peduli dan terus menikmati perbuatanya.
Saat Paklek bersiap menendang sekuat tenaga, tiba-tiba muncul beberapa orang karyawan Gito dari kamar yang lain.
Mereka memegangi Gito dan mulai menghajarnya.
Bukkk!!!
“Jangan ganggu Bos Gito, dia sedang bersenang-senang,” ucap mereka.
Satu persatu pukulan mulai menghantam tubuh Paklek.
“Ratini!! Apa maksudnya ini??!” Teriak Paklek geram.
Namun yang terjadi pukulan yang mendarat di tubuhnya semakin banyak hingga ia terkulai tak berdaya.

Krieeett!!!

Pintu kamar terbuka, Gito muncul dari dalam kamar sembari merapikan sarung yang ia kenakan.
Di belakangnya ada Ratini yang hampir tak mengenakan busana dan hanya menutup dirinya dengan kain jarik saja.
“Gito! Brengsek kau!!” Teriak Paklek. Namun bersamaan dengan itu juga sebuah pukulan kembali mendarat ke tubuh Paklek.
“Bodohnya kau, perempuan senikmat ini belum pernah kau sentuh?” ucap Gito memandang Paklek dengan rendah.

“Ratini?! Apa maksudnya ini?” Teriak Paklek meminta penjelasan dari kekasihnya itu.

Gito menjulurkan tanganya pada Ratini dan memerintahkanya mendekat.
Ratini menurut dan dalam beberapa saat perempuan yang tubuhnya hanya terbalut kain itu sudah ada di rangkulan Gito.

“Katakan saja sekarang, nggak usah takut,” perintah Gito.

Paklek menatap bingung dengan pemandangan di depanya itu.
Bagaimana Ratini bisa menurut seperti itu pada Gito.
“Gito ini calon suamiku, kita nggak punya hubungan apa-apa lagi,” ucap Ratini dengan dinginya.
“Ratini? Nggak mungkin! Tadi pagi kamu masih baik-baik saja??”
Ratini menoleh kepada Gito seolah meminta ia yang menjawab.
“Ini Cuma permainan, Cokro! Aku yang meminta Ratini tetap baik-baik sama kamu demi saat seperti ini, biar kamu tahu diri!” Cemooh Gito.
“Nggak! Ayo Ratini! Kita pergi dari sini… kita tinggal di desa lain, kita bisa tinggal di rumah kakak perempuanku” Ajak Paklek yang memaksa dirinya untuk menarik tangan Ratini.
“Minggir!!”
Bukanya mengikuti Paklek, Ratini malah mendorong Paklek menjauh dari dirinya.
“Kamu tuh sadar diri! Kalau bukan gara-gara mas Gito yang nyuruh pura-pura ngeladenin kamu, aku sudah jijik!” Teriak Ratini.
Ucapan itu bagaikan petir yang menyambar.
Paklek tak mampu berkata apa-apa lagi, ia tidak percaya bahwa hubunganya dengan Ratini ternyata hanya permainan busuk dari Gito dan Ratini.
Merekapun mengusir Paklek dan meneruskan permainan mereka dengan suara sekeras mungkin seolah sengaja agar Paklek mendengarnya dari luar.
Paklek yang terpurukpun merasa dendam, ia mencari cara untuk membalas perbuatan mereka berdua. Iapun pergi meninggalkan desa dan pergi entah kemana.
Selang beberapa tahun, Paklek kembali ke desa dengan membawa istri, pembantu dan anak pembantunya.
ia menempati tanah yang ditinggali hingga saat ini. Namun saat itu, Paklek sudah berubah drastis.
Paklek bukan lagi pemuda bodoh dan miskin. Kini ia memiliki harta yang membuatnya dipandang oleh warga desa.
walau begitu, Gito dan Ratini yang sudah menikah dan memiliki anak tidak peduli. Menurut mereka, kekayaan Paklek belum sebanding dengan kekayaan keluarga saswito.
Tetapi, ada maksud dibalik kembalinya Paklek.
Hanya berselang beberapa minggu setelah kembalinya Paklek, Anak Ratini dan Gito yang baru genap umur satu tahun mendadak mendapat penyakit aneh. Bagian tubuhnya membusuk secara perlahan. Anak itu terus menangis dengan sedikit demi sedikit kulitnya terus mengelupas.
Jelas saja Gito memberikan perawatan terbaik di rumah sakit, namun bagaimanapun perawatan mereka, anak Gito dan Ratini malah semakin parah.
Gitopun memutuskan merawatnya di rumah dan memanggil dokter-dokter terbaik dari kota.
Ia juga mencoba pengobatan-pengobatan lain dan menyadari bahwa penyakit anaknya menderita penyakit kiriman seseorang. Namun walaupun mengetahui itu semua, usaha mereka tetap sia-sia.
Saat anak Gito dan Ratini sudah di penghujung hayatnya,
Paklek muncul dihadapan mereka berdua dan memberi senyum yang puas. Paklek tertawa seolah mengakui bahwa sakit yang diderita anak itu adalah perbuatanya.

“Jangan anak saya, Mas… dia nggak ngerti apa-apa,” Ratini mencoba memohon,
namun Gito menariknya tak sudi melihat istrinya memohon pada Paklek.

“Haha… tenang saja Ratini, ini hanya permulaan. Semua yang kalian lakukan akan terbalaskan dengan berlipat,” ucap Paklek.

Malam itu juga Anak Sartini dan Gito meninggal dengan keadaan yang mengenaskan.
Bau busuk tercium sangat luar biasa dari jasad yang sekecil itu hingga banyak warga yang mundur untuk mengantar penguburanya.
Gito tidak tinggal diam, ia memberi tahu guru spiritual keluarganya untuk membentengi keluarganya.
Tapi ia tidak sadar bahwa ilmu yang mereka miliki tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang Paklek miliki.
Setelah anaknya, kini giliran Ratini..
Suatu malam Gito masuk ke kamar Ratini dan meminta Ratini untuk melayani dirinya di ranjang.
Sebagai seorang istri, Ratini mengiyakan permintaan suaminya itu. Baru saja mereka selesai berhubungan badan, tiba-tiba ada mobil yang masuk ke rumah.
Ratini mengeceknya dan ternyata Gito baru saja pulang dari peternakan.
Ia menoleh kembali dan mendapati bahwa yang bersetubuh denganya bukanlah Gito, melainkan sesosok Genderuwo bertubuh hitam dengan tubuh dengan bau busuk yang mengerikan.
Ratini semakin cemas, setiap Gito mengajak berhubungan Ia selalu ketakutan.
Terlebih semua itu berujung pada kehamilan Ratini. Ratinipun sadar, bahwa anak di kandunganya bukanlah anak dari Gito suaminya.
Kehamilanya adalah siksaan, berkali-kali ia mencoba membunuh janinya namun Gito selalu menghalanginya.
Ratini takut memberi tahu kenyataan tentang janin itu hingga ia menjadi linglung.
Pernah dengan sengaja Paklek berpapasan dengan Gito di jalan. ia dengan sengaja menghadangnya dan menunjukkan maksudnya.
“Mengapa repot-repot mengurus Ratini? Toh, Jabang bayi yang ada di rahimnya bukan anakmu?” Paklek mulai melancarkan rencananya.
“Apa maksudmu? Jelas itu anakku?!” Bantah Gito.
Paklek tertawa puas mendengar ucapan itu. ia hanya menggeleng dan melewati Gito.
Walau menjawab seperti itu, Gito mulai menaruh curiga pada istrinya. Tepat saat ia pulang, ia melihat jendela kamar istrinya terbuka dengan lampu kamar yang menyala.
Ada suara yang terdengar jelas di telinga Gito.

“Ah…. Ah….. jangan mas, hati-hati perutku!” Desah Ratini.
Gito geram dan segera mengecek ke arah jendela itu. di depan matanya sendiri, ia melihat Ratini sedang digagahi sosok yang mirip dengan dirinya. Namun saat makhluk itu sadar bahwa ia ditatap oleh Gito, sosok itupun berubah menjadi makhluk hitam bermata merah.
“Se—setan!!” Gito terjatuh. Ia hanya bisa terduduk lemas mengetahui istrinya telah digagahi oleh setan itu. Hal itu juga membuat Ia mulai ragu bahwa anak yang ada di janin Ratini bukanlah anaknya.
Seketika Gito merasa jijik dengan Ratini. Perlakuan suaminya itu membuat Ratini semakin tertekan. Ia tidak makan berhari-hari hingga tubuhnya kurus kering. Tubuhnya penuh dengan luka cakaran hasil menyakiti dirinya sendiri.
Hinga akhirnya Gito menemukan istrinya mati di kamar dengan posisi badan yang menggantung.
Ratini mati dengan perut yang robek seolah ada makhluk yang memaksa keluar dari perutnya.
Gito menyesal seketika. Ia sadar bahwa istrinya hanya korban pembalasan dari Paklek.
Istri yang harusnya ia lindungi malah ia perlakukan dengan kejam. Namun ia semakin cemas, ia yakin setelah ini adalah giliran dia yang menjadi target Paklek.
Ia menceritakan hal itu pada ayahnya dan ayahnyapun geram.
Saswito, ayah Gito mengeluarkan sebuah pusaka keluarga dan menggunakanya untuk membalas Paklek.
“Cokro sudah keterlaluan..” Umpat Saswito.
Pusaka itulah yang selama ini menjadi rumah dari peliharaan mereka.
Peliharaan yang memberi mereka kekayaan dan melindungi sang ayah dari musuhnya.
Malam itu hujan turun tanpa henti di Desa Jumon. Tidak ada satupun warga yang keluar dari rumah namun mereka terus mendengar suara petir yang menggelegar dan suara auman hewan buas yang aneh.
Perang santet terjadi diantara Paklek dan Keluarga Saswito. Menurut beberapa warga yang bisa merasakan hal ghaib, mereka melihat pertarungan tak kasat mata di malam itu. Sebenarnya daripada disebut dengan pertarungan, malam itu lebih pantas disebut dengan pembantaian.
Gito, ayahnya dan seluruh keturunan keluarga Saswito mati dengan mengenaskan. Tubuh mereka terkoyak hingga berlumuran darah. Tak hanya manusia, seluruh ternak yang mereka milikipun mati.
Sementara seluruh warga panik dengan apa yang terjadi, Paklek malah tertawa puas mendapati dendamnya telah terbalaskan. Iapun jadi memiliki kuasa di desa ini. Orang-orang yang tahu bahwa Paklek adalah dalang dari kejadian itupun tidak berani macam-macam dengan Paklek.
Tapi Paklek membayar semua itu dengan mahal. Ia harus mengorbankan anaknya ketika umurnya sudah genap sepuluh tahun.

“Canting ya, Mbah?” Tanyaku.

“Iya Nduk, kowe wis weruh?” (Iya nak, kamu sudah tahu?)

“Sebelum meninggal, Bunga pernah cerita tentang ini,”
Paklek terus mendapatkan kekayaan dari makhluk itu. Menurut nenek itu, Paklek menjalani lelaku di salah satu gunung untuk mencari kesaktian. Iapun sampai di sebuah desa terpencil dan berguru dengan sosok dukun. Untuk membalaskan dendamnya, Paklek harus menikah dan memiliki anak.
Setiap anak itu harus dipersembahkan pada sosok yang mereka pelihara kapan saja makhluk itu meminta. Sebagai gantinya, Paklek akan mendapatkan kekayaan dan perlindungan dari makhluk itu.

“Jadi Bunga dan Bayu memang dilahirkan untuk jadi mangsa Genderuwo itu?” Tanyaku geram.
“Iya nduk, mereka lahir bersama makhluk yang akan memangsa mereka,” balas nenek itu.
Benar.. aku ingat makhluk-makhluk yang menghuni setiap kamar. tapi tidak hanya di kamar mereka, kamarku juga ada. Apakah mungkin aku juga sudah masuk daftar yang akan ditumbalkan oleh mereka?
Sejenak air mataku menetes tiba-tiba..
Aku tersadar, rupanya mereka mengadopsiku bukan karena khawatir kepadaku. Tapi mereka membutuhkanku hanya untuk mati.
“Mungkin kamu masih bisa selamat, sebentar lagi hal buruk akan terjadi.
Paklekmu akan membutuhkan kekuatan besar lagi, dan pasti akan ada lagi yang ditumbalkan. Pergilah sebelum itu terjadi,” ucap nenek itu.
Aku tidak bisa menjawab ucapan nenek itu. lagipula masih ada hal yang membuatku penasaran.
“Bagaimana Paklek bisa bertemu dengan Bulek? Mengapa Bulek bersedia melahirkan anak-anak yang akan dijadikan tumbal?” Tanyaku.
Nenek itu menggeleng membayangkan jawaban atas pertanyaanku.
“Dia wanita gila, ia dibesarkan oleh dukun-dukun di desa yang didatangi Paklekmu. Saat sedang sadar ia adalah seorang ibu, namun dibalik alam sadarnya ia adalah perempuan biadab yang dititipi misi untuk mencarikan tumbal makhluk-makhluk itu,” Jelas nenek itu.
Aku menelan ludah mendengar jawaban itu.
Apa aku bisa mempercayai ucapan nenek ini? Bentuk perhatian Bulek, senyumnya yang ramah, dan rasa khawatirnya padaku tertanam jelas di pikiranku. Bisa saja aku percaya bahwa nenek ini mengada-ada.
Tapi aku juga tidak bisa menampik apa yang terjadi sebelum ini…
“Urusanku sudah selesai.. aku tidak akan membantumu lebih dari ini,” jelas nenek itu.
Benar juga, dalam hati aku penasaran mengapa Nenek memberi tahu semua hal ini padaku?
“Maaf Mbah, kenapa Mbah membeberkan semua ini kepada saya? Saya kan juga anak angkat Paklek yang artinya musuh dari Pak Kasto anak nenek juga?” Aku ingin menuntaskan rasa penasaranku.
Nenek itu berdiri dan mendekat ke arahku.
“Kalung ini, saya kenal dekat dengan pemilik kalung ini. Bila ia memberikanya kepadamu, berarti ia sudah menganggapmu sebagai anaknya.” Ucap nenek itu.
“Saya tidak mau dia sedih karena orang yang ia sayang mati sia-sia,” lanjut nenek itu sembari menyentuh kalung permberian Mbah Dar yang tersembunyi di balik kausku.

“Mbah kenal Mbah Dar?” Tanyaku yang tidak menyangka bahwa nenek itu mengenali Mbah Dar.

“Kenal, sangat kenal…”
Setelah ucapan itu, nenek itu berdiri dan pergi meninggalkanku. Aku menatapnya dari kejauhan sebelum akhirnya kembali ke rumah dengan berhati-hati.
Aku memasuki pintu rumah, namun lampu ruang tengah sudah mati dan berganti lampu remang. Aku menelan ludah merasa takut bila Bulek tahu aku pergi meninggalkan rumah.

Mataku menyisir remangnya cahaya di ruang tengah, namun tidak ada siapapun di sana.
Aku menduga Bulek sudah menidurkan Bayu dan mengira aku sudah tertidur.

Akupun melangkah perlahan untuk segera masuk ke kamar. Tetapi… aku terhenti tepat saat aku membuka pintu kamar.

“Bu—Bulek?”
Suaraku tertahan saat mendapati Bulek tengah berada di kamar. Ia duduk di kasurku dengan tatapan yang kosong, namun saat menyadari keberadaanku ia menoleh perlahan.
Seketika sorot matanya tajam, wajahnya seolah menunjukkan kekesalan kepadaku.
Iapun berdiri dan berjalan melewatiku tanpa sepatah katapun.
Saat aku hendak masuk kedalam kamar tiba-tiba langkah Bulek terhenti.
“Besok kamu dan Bayu tidak usah sekolah dulu,” ucap Bulek.
“Ke—kenapa Bulek? Besok kan…”
“Diam! Nurut saja!”
Saat itu aku tidak bisa berkata-kata. Keberadaan Bulek benar-benar membuatku takut. Apa mungkin Bulek tahu tentang perbincanganku dengan nenek tadi.
Dari dalam kamar aku mendengar suara mobil yang masuk ke dalam garasi rumah.
Suara langkah yang terburu-buru terdengar disusul ketokan pintu yang begitu keras.
Bulek bergegas membukakan pintu dan suara benda yang dijatuhkan terdengar dengan keras.
Bugh!!
“Bapak? Ini apa?” terdengar suara Bulek dari luar.
Aku yang penasaranpun sedikit membuka daun pintuku dan mengintip apa yang sedang terjadi di luar.
“Ini pertukaran terakhir kita! Kita habisi semua orang yang macam-macam dengan kita malam ini juga. Besok kita akan pergi dan menikmati semua ini!”
ucap Paklek yang datang dengan baju kotor penuh dengan tanah.
Aku tidak bisa membayangkan apa yang Paklek lakukan sebelumnya. Namun aku terpaku pada satu buah tas besar yang dibuka oleh Bulek.
Bulek memandangnya dengan terkesima saat mengetahui tas itu dipenuhi dengan uang pecahan besar.
“Setelah bertahun-tahun akhirnya saat ini tiba,” ucap Bulek.
“Yah, jangan sampai gagal.. mereka sudah siap?” tanya Paklek sembari melemparkan wajahnya ke kamar Bayu dan kamarku.
Aku sedikit bersembunyi agar mereka tidak mengetahui bahwa aku tengah mengintip mereka.
“Mereka di kamar, tapi Kinan sepertinya sudah curiga sejak lama,” jawab Bulek.
“Persetan! pastikan saja mereka tidak keluar dari rumah malam ini. Dan kamu jangan berani-berani melindungi Bayu!”peringat Paklek.
“Tenang saja pak, Nyawa Bayu nggak sebanding sama kehidupan yang kita dapat setelah ini,” Balas Bulek dengan jawaban yang sama sekali tidak kusangka.
Dia benar-benar bukan Bulek yang ku kenal selama ini.
Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Paklek terjatuh. Ia terbatuk dan darah bermuncratan dari mulutnya.

“Arrrghhh.. sial! Sepat siapkan ubo rampe-nya!” Perintah Paklek.
Bulekpun berlari dengan buru-buru ke kamarnya. Paklek berlari ke dapur mengambil kain hitam dan menggelarnya di tengah ruangan.
“Pak! Ayam cemaninya masih di belakang!” Teriak Bulek dari atas.
Paklekpun berlari keluar untuk mengambil ayam cemani yang aku sendiri tidak tahu ayam itu disembunyikan dimana.
Saat mengetahui tidak ada seorangpun di ruangan tengah, aku berjalan perlahan untuk menyelinap ke kamar Bayu.
Tanpa mengetuk, aku membuka pintu dan mendapati Bayu yang tengah tertidur pulas.

“Bay…” Aku memanggil sembari berbisik.

“Bay! Bangun!”

Dengan menggoyangkan tubuhnya beberapa kali Bayupun terbangun dan mengucek matanya.

“Mbak Kinan? Ini masih malem kan?” Tanyanya bingung.
Aku segera memberi isyarat dengan meletakkan jariku di depan bibirku untuk menyuruhnya diam.

“Ssssttt… jangan keras-keras. Kita dalam bahaya,” ucapku.

Bayu bingung dengan apa yang kumaksud. Aku menyuruhnya duduk untuk mengumpulkan kesadaranya dan memintanya mendengarkanku.
“Kita mau ditumbalin, Bayu! Nasib kita bakal seperti Bunga,” ucapku pada Bayu.

“Tumbal? Sama siapa?”

“Bapak sama ibumu,” balasku.

Bayu menatapku tak percaya ia hanya menggeleng dan mencoba kembali tidur.

“Mbak Kinan ngawur!” balasnya singkat.
Aku menahanya dan memaksanya menatap mataku untuk memastikan ia mendengarkan dan memahami maksudku.
Akupun menceritakan kejadian yang dialami bunga dimana Bunga sakit karena pengaruh ghaib.
Selama itu ia dipaksa berhubungan dengan Genderuwo peliharaan Paklek hingga akhirnya saat serangan terakhir, Bunga terpaksa ditumbalkan sebagai bayaran makhluk yang melindungi nyawa Paklek dan Bulek.

Aku menjelaskan begitu panjang, namun Bayu tetaplah Bayu..
ia hanya seorang anak kecil yang tidak mengerti hal ini dan tetap merasa lebih nyaman di dekat ibunya.

“Bayu mau sama ibu..” balas Bayu dengan wajah bingung. Akupun menarik dirinya dan menahanya untuk keluar dari kamar.

“Kalau nggak percaya kamu lihat di depan.. hati-hati!”
Aku membukakan sedikit pintu kamar Bayu dan menunjukkan apa yang terjadi di ruang tengah. Paklek terlihat sedang duduk di selembar kain hitam besar dengan sesaji berada di hadapanya.
Suara ayam terdengar sesaat sebelum akhirnya ia menyembelihnya dan mengalirkan darahnya ke kumpulan kembang dan berbagai sesaji yang disusun di hadapanya.

Prang!!!
Terdengar suara kaca yang pecah dari ruang tengah.
Aku menoleh ke arah jendela dan mendapati pemandangan yang mengejutkan.
Serangan itu datang lagi…
Sesuai dugaanku, listrik rumah berkedut dengan aneh sebelum akhirnya membawa kami kedalam kegelapan.
Dari kaca jendela Bayu mulai terlihat sesuatu melayang-layang mengitari rumah ini.
“Mbak.. Bayu Takut…” Bayu menggenggam erat bajuku.
“Kita harus pergi!” ucapku.
Akupun mengintip ke arah luar kamar. dan pemandangan di sana tidak kalah mengerikan.
Kali ini diatas punuk Paklek berdiri sesosok Genderuwo yang tengah menginjak Paklek hingga tertunduk dan memuntahkan darah.

“Hoekkkk…”

“Pak? Bapak..” Paklek memberi isyarat pada Bulek untuk tidak mengganggunya.

“tidak apa.. inilah ritualnya,” ucap Paklek.
Makhluk itu semakin besar dengan mantra yang berulangkali diucapkan oleh Paklek.

“Habisi! Habisi seluruh keluarga Saswito, Sasto, dan semua orang yang berniat mencelakakakan kami!” Teriak Paklek.
Sosok Genderuwo yang kian membesar itu jongkok merunduk sampai kebawah hingga wajahnya bertemu muka dengan wajah Paklek.

“Apa bayaranmu??” tanya sosok itu dengan suara yang menyeramkan.
“Ada dua kamar di sana! Kau bisa pilih siapapun!” teriak Paklek yang semakin kesulitan menahan beban makhluk itu id punuknya.

Saat itu aku gemetar, Bayu yang tadi tidak percayapun mulai paham dengan apa yang terjadi.
“Lewat jendela! Cepat sebelum makhluk yang menjaga di kamarmu datang!” Perintahku.
“Datang?” Bayu bingung.
“Iya, makhluk yang selalu memakan sesajen dari Bulek,”
“Dia nggak pernah kemana-mana Mbak.. Dia selalu ada di sini,” ucap Bayu.
Seketika tubuhku panas dingin. Berarti bila makhluk itu selalu ada di tempat ini, artinya ia juga mendengarkan perbincangan kami.
Saat itu juga asap hitam muncul menghadang jendela kamar Bayu.
lambat laun bau busuk tercium bersama kemunculan makhluk hitam dengan mata merah yang mendekati kami dari arah asap itu.

“Mbak, makhluk itu.. dia nggak pernah seseram dan semarah itu,” ucap Bayu.

Dalam sekejap, tangan makhluk itu sudah menggapai kaki Bayu.
Ia ingin menarik Bayu dariku, namun aku memeluk Bayu dengan erat. Bayu menendang-nendang sekuat tenaga dan aku menarik tubuhnya hingga kami keluar dari kamar.
Kami terjatuh tepat di depan kamar Bayu dan saat itu juga Paklek dan Bulek menyadari keberadaan kami.
Wajah Paklek dan Bulek terlihat geram. Namun dalam waktu singkat Bulek merubah raut wajahnya menjadi begitu ramah.
“Bayu, belum tidur? Sini sama ibu..” ucap Bulek.
Tatapan Bayu yang ketakutan seketika berubah. Ia ingin menghampiri ibunya namun ia ragu.
Iapun menoleh kearahku dan aku menggeleng sembari berusaha menariknya.
“Jangan.. Jangan Bayu!” ucapku.
Bulek kesal..
“Kinan, apa maksud kamu?” Tanya Bulek.
“Kinan sama Bayu nggak mau jadi tumbal Paklek dan Bulek! Kami sudah tahu semuanya?!” Teriakku mengutarakan semuanya.
Mendengar ucapanku, Paklek seketika berdiri dari tempatnya.

“Kurang ajar!! Kami yang melahirkan Bayu dan menerima hak atas kamu! Kami berhak menjadikan kalian apapun!” Ucap Paklek
Wajah Paklek saat itu benar-benar seperti setan yang tidak punya hati.
Terlebih dibelakangnya saat ini tengah berdiri bayangan makhluk hitam yang tingginya hampir menyentuh atap lantai atas.

Dengan isyarat dari Paklek tiba-tiba makhluk di kamar Bayu dan makhluk dari kamarku muncul mengepung kami.
Genderuwo besar yang berada di belakang Paklekpun mendekat menjulurkan tanganya bersiap mencengkeram kami.
Aku ketakutan setengah mati, namun sebelum makhluk itu menyentuh kami , tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing.
“Pergi yang jauh dulu ya, nduk…”
Aneh.. benar-benar aneh.
Saat itu tiba-tiba aku dan Bayu berada di jalan di luar rumah yang berkabut.
Tidak ada satu orangpun yang terlihat, namun aku melihat dari jendela rumah keberadaan Genderuwo yang tadi bersiap menangkap kami.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi, namun aku menganggap ini adalah kesempatan kami untuk melarikan diri.
“Bayu, ayo lari!” perintahku.
Bayu mengikutiku berlari dengan langkah kecilnya. Aku mencoba melihat ke semua rumah di desa,
namun listrik di seluruh desa mati dan tidak ada seorangpun yang terlihat.
Suasana langit seperti menjelang subuh. sebuah perasaan yang membuatku benar-benar tidak nyaman.
“Mbak Kinan, i—itu…”
Bayu menunjuk ke arah salah satu pohon.
Aku menoleh ke arah pohon itu dan sesuatu bertengger di atasnya. Tidak hanya dipohon itu.
Aku memperhatikan bahwa ternyata beberapa rumah di desa ini memiliki pohon besar dan di pohon-pohon itu berdiam sosok makhluk yang membuatku hampir terjatuh lemas.
“Genderuwo mbak.. itu yang kayak di rumah kita,” ucap Bayu dengan suara yang gemetar.
Makhluk-makhluk itupun menyadari keberadaan kami. Mereka meninggalkan pohonya masing-masing dan menatap kami dengan tatapan seolah siap menerkam kami.
Aku mengingat salah satu dari makhluk itu. ia adalah sosok yang mengintip melalui jendela saat rumah Paklek tengah diserang. Apa ini artinya makhluk-makhluk ini dipelihara oleh warga desa?
Aku menarik Bayu untuk segera berlari, namun Bayu terlalu takut hingga kakinya gemetar.
Ia hanya menangis dan terus menangis melihat kejadian ini.
“Bayu, naik!” Perintahku memintanya naik ke punggungku.
Sekuat tenaga aku membawa Bayu menjauh dari makhluk-makhluk itu, namun makhluk itu terus melangkah mendekat mengejar kami.
Aku panik hingga beberapa kali terjatuh. Namun aku tidak sudi mati dengan cara seperti ini. Sayangnya, di ujung jalan sudah berdiri sosok hitam besar dengan wajah yang buas menanti kami.
Tubuhku lemas, aku tidak terpikirkan bagaimana cara untuk keluar dari situasi ini.
Makhluk itupun mendekat dan mengerubungiku dan Bayu yang terus menangis.
“Hhrrrrrr….Ghhrr….”
Suara geraman itu benar-benar mimpi buruk. Aku menutup mata pasrah dengan apa yang akan terjadi pada kami.

“Mbak, itu siapa?”

Aneh.. Ketakutanku tidak terjadi.
Tidak terjadi apapun padaku dan Bayu. Akupun membuka mata dan melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Bayu.

Ada seorang nenek berdiri di hadapan kami.

“Mbah? Mbah Dar?” Aku heran melihat sosok Mbah Dar di hadapanku.
Ia memelototi makhluk-makhluk yang mengelilingi kami. anehnya tidak ada satupun dari mereka yang berani berbuat macam-macam dengan Mbah Dar.

“Bocah iki kabeh putu-putuku, sopo sing wani nyentuh bocah-bocah iki kudu urusan karo Nyai Ratu..”
(Anak ini semua cucu-cucuku, siapa yang berani menyentuh anak-anak ini haru berurusan dengan nyai ratu) Ucap Mbah Dar yang aku sendiri tidak mengetahui maksud perkataanya.

Aku menyadari bandul kalung di dadaku terasa hangat. Apa maksud ini semua?
“Kowe rapopo nduk?” (Kamu nggak papa nak?) Tanya Mbah Dar.
“Ng—nggak papa Mbah, Mbah kok bisa ada di sini?” tanyaku bingung.
Mbah Dar mendekat dan mengangkat bandul kalung di dadaku.
“Selama kamu mengenakan kalung ini, Mbah akan selalu menjaga kamu. Jaga baik-baik ya,” ucap Mbah Dar yang segera mundur dan menjauh dari kami.
“Mbah? Mbah mau kemana?”
“Mbah nggak bisa lama-lama, ada teman mbah yang akan menjelaskan ke kalian,”
Mbah berpaling dan menjauh dari kami. aku ingin mengejarnya namun ada seseorang yang memanggilku dari belakang.
“Kinan..”
Aku menoleh dan mendapati nenek yang berbincang denganku sebelumnya sudah berada di belakangku.
“Mbah?”
“Sudah, biarkan dia pergi.. biar aku yang menuntun kalian,” ucap nenek itu.
Akupun menoleh sebentar ke arah Mbah Dar. Ia juga menoleh sekilas ke arah nenek itu.
“Aku titip putu-putuku yo , Pih” (Aku titip cucu-cucuku ya, Pih)
Setelahnya Mbah Dar berjalan semakin jauh dan menghilang dari hadapan kami.
“Kalian boleh manggil saya Eyang Napih,” ucap sosok yang ternyata memang terlihat sangat dekat dengan Mbah Dar.
“I—iya eyang,” balasku singkat.
Akupun penasaran dengan keadaan desa saat ini. mengapa aku tidak bisa melihat seorangpun yang ada di desa ini?
“Warga desa pada kemana eyang? Kenapa desa ini begitu sepi?”
Eyang Napih mengajakku mengikutinya hingga berhenti kembali tak jauh dari rumah Paklek.
“Saya akan tunjukkan semuanya, tapi apapun yang terjadi kalian harus tenang…”
Eyang Napih menyapukan tanganya pada kabut yang sedari tadi mengganggu penglihatan kami. perlahan semua yang terlihat di sekitar berubah seketika.
Jalan yang sebelumnya kami lihat tidak ada seorangpun kini berubah. Di beberapa sudut sekitar rumah Paklek terlihat beberapa wajah-wajah yang kami kenal sedang melakukan sesuatu yang tidak pernah kulihat.
Ada yang melempar-lemparkan tanah ke pekarangan rumah Paklek, ada yang membakar kemenyan di beberapa sudut rumah. Ada yang menyembelih ayam cemani serupa dengan yang Paklek lakukan.
Ada lebih dari lima orang yang melakukan ritual-ritual di rumah Paklek.
Bersama orang-orang itu juga muncul makhluk-makhluk mengerikan. Ada seorang suami istri yang tubuhnya menjadi bersisik, namun bersamaan dengan itu ada makhluk perempuan buruk rupa bertangan dan kaki panjang dengan sisik memenuhi tubuhnya.
Ia menunggu dengan tenang seolah menanti aba-aba untuk diperintahkan.
Begitu juga dengan orang-orang lain yang melakukan ritual di tempat itu. makhluk berwujud ular, bola api, hingga Genderuwo serupa dengan milik Paklek sudah bersiap bersama mereka.
“Kali ini keluarga Kartosuwito tidak akan selamat,” ucap Eyang Napih.

Bayu terlihat ketakutan. Ia menangis saat mengetahui apa yang akan terjadi pada kedua orang tuanya. Eyang Napih yang melihat hal itu menyadari sesuatu…

“Sepertinya eyang harus memperlihatkan ini..” ucapnya.
Ia memberi tanda ke dahiku dan bayu dengan jempolnya dan membawa kami masuk ke dalam rumah. Tidak melalui pintu, namun menembus dinding begitu saja.

Apa ini? apakah aku sudah mati?
Tanpa sempat mendapatkan jawaban, Eyang Napih membawaku terus berjalan ke ruang tengah di depan kamarku dan Bayu.

“Mereka belum bisa ditumbalkan??” Teriak Paklek dengan wajah kesal, tubuhnya sudah berlumuran darah.

“Nggak bisa pak!! Aku nggak bisa mendekat..
mereka juga!” Balas Bulek dengan wajah cemas.
Bude tidak bisa melangkah lebih jauh, padahal tidak ada apapun di hadapanya yang menghalangi. Ada segerombolan Genderuwo sedang mengerubungi sesuatu.
Dan mereka semua tidak sadar dengan keberadaan kami bertiga.
“Mbak, itu kita?” Tanya Bayu.
“Iya.. itu tubuh kita,” jawabku yang melihat tubuh kami saling berpelukan.
Genderuwo itu mendekati tubuhku dengan wajah bernafsu.
Ia ingin segera melampiaskan birahinya pada tubuhku seperti apa yang ia lakukan pada Bunga. Di sisi lain, ada Genderuwo lain yang beringas yang seolah siap menerkam Bayu. Namun mereka selalu gagal. Ada sesuatu yang melindungi tubuhku.
Aku menduga itu adalah kekuatan dari kalung yang diberikan Mbah Dar kepadaku.
“Maafkan Eyang.. Eyang terpaksa menunjukkan pemandangan mengerikan ini agar kalian paham.
Jika tidak, mungkin saat Bayu besar nanti ia akan memupuk dendam dan memilih jalan yang salah seperti orang tuanya…” ucap Eyang Napih.

Bayu menangis dan terus menangis, tapi dari wajahnya aku yakin kalau ia mengerti maksud Eyang Napih.
Kami hanya bisa menyaksikan malam mencekam itu. Paklek dan Bulek terus memerintahkan makhluk suruhanya untuk melawan makhluk yang dikirim pelaku santet dari luar rumah.
Paklek sudah kewalahan, tapi aku yakin keadaan akan berbalik apabila Paklek dan Bulek berhasil menumbalkan aku dan Bayu.
Pada akhirnya makhluk-makhluk yang terus mencoba memangsaku dan Bayupun kesal. Ia marah karena tidak mendapatkan tumbal yang dijanjikan oleh Paklek.
Makhluk itupun berbalik meninggalkan tubuhku dan Bayu dan menghampiri Bulek.
“Ja—jangan!! Akan kucarikan tumbal lain!”
Bulek terlihat ketakutan, namun amarah makhluk-makhluk itu sudah tidak terbendung.
Dengan segera aku memeluk Bayu menghalanginya untuk melihat kejadian mengerikan di depan kami.
Bayupun menutup matanya dengan tubuhku dan menutup kedua telinga dengan tanganya.
Yah memang harus seperti itu..
Akan menjadi trauma besar untuknya bila ia melihat ibunya digilir oleh Genderuwo Genderuwo yang penuh dengan nafsu birahi itu.

“Pak.. tolong pak!!” Tangis Bulek.

“Buk!! Ibuk…” Paklek ingin menolong tapi ia sendiri ketakutan dengan apa yang terjadi.
“Hen—hentikan!!! Kukembalikan semua pemberian kalian!” Teriak Paklek.
Namun sebuah tangan melayang ke wajah Paklek. itu adalah tangan Bulek yang telah terpisah dari tubuhnya. Sementara itu, Bulek terus berteriak kesakitan saat tubuhnya dikoyak oleh setan-setan itu.
Paklek gemetar… kini giliran dirinya. Ia ketakutan saat menyadari dirinya akan bernasib sama dengan tubuh Bulek yang sudah tak berbentuk.

Ia mencoba mundur untuk berlari, namun di belakangnya sudah berdiri Genderuwo raksasa yang selama ini menjadi andalanya.
“Perjanjian sudah dilanggar, kau tahu akibatnya,” ucap makhluk itu.

“Ja—jangan!! Ampun! Aku berikan apapun!!”

“Apapun? Kau sudah tidak punya apa-apa! Bahkan setelah matipun nyawa kalian berdua sudah menjadi hak kami..” balas makhluk itu.
Makhluk itu mencengkeram kepala Paklek dan mengangkatnya hingga mengambang. Makhluk-makhluk yang sebelumnya menyerang Bulek kini mengerubuti Paklek.
“Aarrrgghh!! Ampun! Hentikan!!” Paklek berteriak sejadi-jadinya.
Ia merasakan sakit dari tubuh bawahnya. namun teriakanya semakin menjadi jadi saat melihat salah satu Genderuwo itu memamerkan kaki Paklek yang sudah berada di antara taring-taringnya.
“Ja—jangan!!”
Mereka tidak perduli dengan teriakan Paklek.
makhluk itu menikmati setiap bagian tubuhnya hingga darah merahnya membanjiri lantai dan membasahi sesajen yang ia buat sendiri.
Saat puas menghabisi Paklek, Genderuwo raksasa itu menarik kepala Paklek dan memisahkanya dari tubuhnya. Ia melemparkan kepala Paklek keluar rumah.
Prangg!!!!
Kaca jendela pecah dengan kepala Paklek yang mendarat di halaman rumah. Suasana hening sesaat, namun tak lama setelahnya terdengar suara sedikit ramai dari luar rumah.

“Mati! Akhirnya si bangsat itu mati!!!”

“Rasakan itu bangsat!!”
“Kali ini tumbalku tidak sia-sia…!”
Berbagai ucapan senang terdengar dari luar rumah. Aku dan Bayu hanya bisa menangis meringkuk di hadapan tubuh kami sampai cahaya matahari pagi mulai memasuki jendela rumah dengan perlahan.
“Tugas eyang sudah selesai, kalian sudah bisa hidup tenang. Jangan lupa sesekali mengunjungi Mbah Dar untuk mengucapkan terima kasih kalian,”

***
Lampu putih yang terang menyilaukan mataku dengan suara langkah kaki orang yang sibuk terdengar tak jauh dari tempatku terbaring.

Aku dan Bayu tersadar di ruang perawatan di rumah sakit kota.
Banyak orang yang menanyai kami, namun kami benar-benar bingung menceritakan tentang apa yang kami alami.
Isu mengenai serangan santet sudah menyebar, namun pihak kepolisian tidak mungkin membuat laporan dengan keterangan itu.
Ada seseorang yang bertanggung jawab terhadap kami di rumah sakit. Aku baru mengetahui beberapa saat setelahnya bahwa orang itu adalah Mas Puguh.

“Kalian jangan pernah kembali lagi ke Desa Jumon ya,” ucap Mas Puguh sembari membawakan kami beberapa jajanan pasar.
“Terus kami tinggal dimana? Barang-barang kami?” tanyaku.
“Nanti Mas Puguh coba urus, sementara mungkin kalian bisa tinggal di panti asuhan.
Tidak sampai empat tahun lagi Kinan lulus SMA, nanti Mas Puguh bantu carikan kerja dan kalian bisa hidup mandiri setelah itu,” ucap Mas Puguh.
Mas Puguh menceritakan bahwa ia takut apabila masih ada warga desa yang dendam dengan Paklek dan mengincar nyawa Bayu.
Oleh karena itu menurutnya membiarkan kami tinggal di panti asuhan adalah solusi terbaik untuk kami.
Aku berpindah ke ranjang Bayu dan memeluknya.
“Sabar sedikit ya Bayu, nunggu Mbak Kinan lulus habis itu kita tinggal di desa mbak Kinan,” ucapku.
“Yang penting Bayu sama Mbak Kinan terus,” balas Bayu yang masih berusaha menahan tangisnya.
“Mas Puguh janji, setiap minggu bakal jenguk kalian di panti asuhan,” ucap Mas Puguh.
“Makasi Mas Puguh..” balasku.
Selang beberapa hari kami diijinkan keluar dari rumah sakit. Sebelum pergi ke panti asuhan, aku meminta ijin pada Mas Puguh untuk mampir ke desaku terlebih dahulu. Setidaknya aku ingin berterima kasih pada Mbah Dar.
Sayangnya, sesampainya di desa, aku mendapat kabar yang mengejutkan.
Mbah Dar sudah meninggal…

Tanggal kematianya hanya berselang satu hari sebelum ia menolongku dari setan-setan itu.

“Ini Mbah Dar, Eyang yang nolongin kita dulu. Sahabatnya Eyang Nipah..”
Aku menceritakan pada Bayu tentang sosok Mbah Dar di makamnya yang masih baru tak jauh dari makam ibu.
Masih ada sisa-sisa bunga di makamnya menandakan bahwa warga desa sangat peduli dengan Mbah Dar.
Akupun menunjukkan pada Bayu keberadaan rumah ibu yang akan kami tinggali nanti saat aku sudah bisa bekerja. Ia tidak keberatan dan bersemangat untuk belajar lebih giat agar kelak bisa membangun rumah ini dengan lebih layak.
Aku terhenti di hadapan rumah tua lain yang sudah tidak berpenghuni. Dulu ada seorang nenek di rumah itu. Seorang nenek yang tak pernah lupa kusapa setiap melewatinya.
Aku juga tak pernah lupa saat-saat setiap mengantar rantang masakan ibu dan menemaninya makan berdua di rumahnya yang sederhana itu.
Tanpa sadar kakiku melangkah kedalam dan mendapati tidak banyak yang berubah dari rumah ini.
Semua masih sama seperti saat terakhir aku menjenguk Mbah Dar.
Lemari Mbah Dar terbuka perlahan seperti tertiup angin dari luar, ada sebuah kotak kayu yang terlihat di sana. Entah mengapa aku merasa harus melihat benda itu.

“Tunggu di sini ya Bay..”

Bayu mengangguk menurut.
Akupun membuka kotak itu dan mendapati beberapa sobekan koran tua yang mirip dengan yang ditunjukkan oleh Eyang Nipah dulu. Di lembaran-lembaran lainya ada lukisan yang dilipat bergambar sosok perempuan cantik dengan pakaian kerajaan.

“Nyai Ratu…”
Aku mengira sosok itu adalah sosok yang dikatakan oleh Mbah Dar saat mengancam Genderuwo-Genderuwo itu. Aku melihat ia mengenakan kalung yang sama dengan yang kugunakan.

Apa ini artinya Mbah Dar juga berguru atau memiliki ilmu?
Namun aku kembali lagi melihat sekeliling rumah Mbah Dar. Tidak ada kekayaan melimpah seperti Paklek, tidak ada kekuatan besar dan kekuasaan seperti Paklek.

Apakah Mbah Dar mempelajari ilmu putih? ataukah Mbah Dar sebenarnya juga sama saja seperti Paklek?
Atau Mbah Dar adalah sosok yang sudah bertobat dari hal semacam ini?
Entahlah, sekarang tidak ada lagi yang bisa menjawab hal itu. Kalung ini hanya akan kusimpan sebagai peninggalan dari Mbah Dar dan tidak lebih.
Akupun keluar meninggalkan bangunan tua itu sembari memandang meja makan tua tempat kami biasa mengobrol sembari menghabiskan masakan ibu. Mataku berkaca-kaca, tak kusangka aku akan merindukan Mbah Dar sedalam ini.
Saat ini hanya Bayu dan Mas Puguh yang menjadi orang terdekatku.
Mungkin bila aku bisa menemukan keberadaan Eyang Nipah, aku juga bisa berbicara banyak denganya.
Aku menggandeng tangan Bayu dan meninggalkan rumah Mbah Dar untuk kesekian kalinya.

“Mbah, Kinan pamit ya…” ucapku sembari terus melangkah.
“Urip sing seneng yo nduk..” (Hidup bahagia ya nak..)
Samar-samar aku mendengar suara Mbah Dar dari belakangku seolah ia sedang mengantar kepergianku meninggalkan rumahnya seperti dulu.
Akupun menoleh, namun tentu saja tidak ada siapapun di sana. Aku hanya bisa menahan air mataku dan tersenyum bersyukur bisa mengenalnya.

-TAMAT-
Terima kasih sudah membaca cerita ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
Seperti biasa, minta tolong tinggalin komen temen-temen ya.. gantian habis ini saya yang baca komen temen-temen semuanya.
Buat temen-temen yang mau ngasi dukungan, subsidi kopi, atau baca cerita lain bisa mampir ke karyakarsa di link berikut ya :



Matur sembah nuwunkaryakarsa.com/diosetta69

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Jun 13
PUSAKAYANA
Part 5 - Pusaka Para Raja

"Lambang mandala itu terhubung dengan hatimu, Cahyo. Bukan kepada tempat. Bukan kepada waktu. Tapi pada tujuan terdalam dalam dirimu..."

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Link Part Sebelumnya :
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Part 4 :
x.com/diosetta/statu…
Kembang Getih… Itulah yang semula Cahyo kira sebagai satu-satunya masalah di desa ini.
Sebuah bunga merah darah yang tumbuh diam-diam dari tanah bekas kematian, dan dengan cara yang mengerikan, menghidupkan kembali roh-roh warga yang mati mengenaskan.

Namun kini, Cahyo mulai sadar, ini bukan sekadar kutukan. Ini adalah luka dari masa lalu yang dibiarkan membusuk terlalu lama.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Cahyo bertanya, suaranya pelan namun tegas, mencoba memecah kebisuan yang menggantung berat di udara pagi.

Kerta berdiri mematung menatap arah desa, sementara Mbah Wongso duduk bersila di tanah, berusaha mengatur napas yang sejak tadi memburu. Ada duka dalam matanya, namun juga tekad yang mulai menyala kembali.

“Kita nggak mungkin kembali ke desa, kan?” Kerta akhirnya bersuara. “Berarti tujuan kita cuma satu.” Ia menoleh ke arah hutan, tempat dimana Kembang getih mekar.

“Jadi… saat ini kita tetap akan cari cara untuk menghentikan kutukan Kembang Getih itu?” tanya Mbah Wongso pelan.

Cahyo menggeleng pelan. Ada sesuatu yang menahannya untuk ikut menyepakati itu.

“Yakin, Mbah? Walaupun kutukannya dihentikan… aku nggak yakin mereka, para warga itu, akan benar-benar berhenti menyembah iblis Raden Reksomayit itu.”

Ucapannya bukan sinis—melainkan getir. Ia tahu betul bahwa dosa manusia lebih dalam dari sekadar bunga terkutuk. Dosa yang lahir dari rasa takut… atau haus akan pemuas nafsunya.

Mbah Wongso terdiam. Lama. Lalu mengangguk, pasrah tapi mantap.

“Lambang mandala Mbah... muncul demi menghentikan kutukan itu. Kalau itu jalannya, maka itu yang akan Mbah tempuh.”
Read 31 tweets
May 31
SABDA PANGIWA II
- Warisan Jenazah -
TAMAT

Malam ini arak-arakan keranda jenazah akan muncul, jalur sudah dipersiapkan, dan kematian sudah dipastikan...

@bacahorror
#bacahorror Image
“Ini Mbah Setyo, sesepuh desa. Waktu kejadian kesurupan, beliau yang bantuin warga,” jelas Gigih pada Tegar.

Tegar menunduk sopan. “Saya Tegar, Mbah. Cuma numpang lewat.”

“Numpang lewat kok bikin keluarga Wisesa kalang kabut,” sahut Mbah Setyo sambil tersenyum.
Tegar hanya garuk-garuk kepala, malu.

“Mampir ke rumah, yuk. Ngobrol di rumah lebih enak.,” tawar Mbah Setyo ramah.

“Wah, ngga usah, Mbah. Nanti merepotkan…”

“Yakin? Singkong Mbah Setyo enak lho. Panenan sendiri,” goda Gigih.

“Eh, kalau gitu… kayaknya saya harus mampir deh, Mbah,” kata Tegar cepat berubah pikiran. “Nggak sopan nolak rezeki.”


Benar saja, di rumah Mbah Setyo, singkong rebus hangat disajikan dengan teh gula batu. Istri Mbah Setyo yang berambut perak tersenyum ramah.

“Makan yang banyak. Kalau kurang, tinggal panen lagi di kebun,” ujar beliau.

Tanpa ditawari dua kali, Tegar dan Gigih langsung makan lahap. Suasana hangat dan santai, seolah tak ada ancaman apa pun di luar sana.

Sampai Tegar melihat memar biru pekat di lengan istri Mbah Setyo. Seperti luka lama yang enggan sembuh.

“Mbah, ngapunten…” ucap Tegar. Ia mengambil segelas air putih, membisikkan doa, lalu menyiramkannya perlahan ke lengan sang istri.

“Ssshhh…”
Istri Mbah Setyo meringis, tapi tak lama kemudian memarnya memudar perlahan. Rasa nyeri di wajahnya pun sirna, berganti kelegaan.
Read 28 tweets
May 22
SABDA PANGIWA II
- Warisan Jenazah -

"Tak ada satu pun yang berani menyentuhmu atau keluargamu... selama jenazah itu tetap kau simpan."

@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor @bagihorrorImage
PROLOG

"Tak ada satu pun yang berani menyentuhmu atau keluargamu... selama jenazah itu tetap kau simpan."

Suara itu terdengar lirih namun berat, seolah menyatu dengan malam yang mencekam. Di tengah remang cahaya obor yang berkedip, seorang pria melangkah berat menuju sebuah jasad. Jenazah itu dibungkus kain kafan kusam bertuliskan aksara merah—seperti coretan darah yang tak mengering.

Di samping jasad, berdiri seorang lelaki tua berpakaian hitam. Wajahnya dipenuhi kerutan, sorot matanya tak menunjukkan belas kasihan—ia hanya menunggu.

"Jadi… ini jawabannya?" suara pria itu pecah, goyah. Ia menahan napas, bau busuk dari jenazah membuat perutnya mual. Ia bahkan tak tahu siapa mayat itu.

Tapi ia bisa merasakan sesuatu... sesuatu yang jauh dari kematian biasa.

"Bawalah pulang," ujar lelaki tua itu, "Minta apa pun padanya. Perlakukan ia seperti Tuhan. Kau tak akan menyesal."

Pria itu diam, lalu mendengarkan tata caranya:
Jenazah harus digendong, tak boleh menyentuh tanah. Harus dibaringkan di atas keranda bambu dan dimandikan setiap tengah malam, menggunakan bunga-bunga tertentu.Dan yang terpenting... setiap seribu hari, seorang gadis perawan harus tidur di sampingnya.

Putus asa. Dendam. Rasa malu yang telah dipendam bertahun-tahun. Semua itu menutup mata pria itu dari logika dan nurani.

BRAK!!
Pintu rumah terbuka dengan keras, disusul deru petir dan hujan deras yang mengguyur. Di ambang pintu, pria itu berdiri dengan pakaian basah kuyup, menggendong sesuatu yang mengeluarkan bau amis menusuk. Di belakangnya, kegelapan menggantung seperti ancaman.

Istri dan anak perempuannya terkejut, bingung sekaligus takut.

“Cepat! Siapkan bambu! Buatkan keranda!” teriak sang suami, matanya merah, napasnya berat.

“Pak… itu… apa?” istrinya bertanya dengan suara gemetar.

“Ini... adalah jalan keluar kita. Tuhan kita yang baru! CEPAT!!”

Di tengah hujan dan malam yang pekat, mereka membuat keranda dari bambu. Tak satu pun dari mereka berani menolak. Menjelang tengah malam, jenazah itu dibaringkan di atas keranda, dimandikan, lalu diselimuti kain kafan bertuliskan aksara darah.
Pria itu berlutut di depan jenazah.

“Aku ingin... seluruh keluarga Prawiryo mati!”
Istri dan anaknya ikut berlutut. Mata sang anak berkaca-kaca.

“Anak laki-laki tertua mereka… dia memperkosaku di lumbung padi. Dia membuangku seperti sampah... kematiannya harus paling menyakitkan.”

Petir menyambar lagi. Kilat menerangi ruangan, dan bayangan hitam muncul dari jasad itu. Tingginya nyaris mencapai langit-langit. Wujudnya kabur, hanya tampak senyum bengis dari mulut berlumuran darah.
Mereka bertiga gemetar.

Tapi makhluk itu hanya lewat... dan keluar rumah tanpa suara.

Malam itu, keluarga Prawiryo ditemukan tewas di rumah mereka. Darah mengalir dari mata, telinga, hidung, dan mulut mereka.

Namun yang paling mengerikan adalah kematian sang anak sulung...
Tubuhnya terpotong menjadi tujuh bagian, dan kepalanya tertancap di atap rumah—menghadap ke langit.

Kematian keluarga Prawiryo, sebagai keluarga paling terpandang dan kaya di desa, mengguncang semua orang. Namun suatu hal yang tak diduga terjadi. Tak lama kemudian, satu keluarga yang dulu dihina, dipermalukan, dan ditindas... bangkit.

Mereka membangun rumah besar, menguasai tanah dan harta keluarga Prawiryo.
Orang-orang mulai menyebut nama mereka dengan hormat, juga dengan takut:... Trah Wisesa.

***
Read 21 tweets
May 15
PUSAKAYANA
Part 3 - Untuk Aku di Masa Lalu

Masa lalu tak bisa diubah, tapi kenangan tentangnya bisa menjadi penuntun arah hidup manusia..

#bacahorror @bacahorror @ceritaht @IDN_Horor Image
Link Part Sebelumnya :
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
“Ada yang hidup dalam darah kita, lebih tua dari ingatan, lebih kuat dari waktu…

Warisan yang tak hanya diwariskan lewat nama, tapi lewat keberanian untuk memperbaiki luka yang tak terlihat oleh dunia....”
Read 33 tweets
May 8
PUSAKAYANA
Part 2 - Setelah Kematian

“Di sini, mereka yang mati tidak pergi ke alam baka…”

#bacahorror @bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bagihorrorImage
Part Sebelumnya :
Part 1 : Mimpi dari Sang Dewa
Tidak bisa kupungkiri, perasaan yang menelusup dalam dadaku saat ini bukan hanya takut. Ini lebih dari itu. Ini adalah firasat kematian. Firasat yang hanya pernah kurasakan ketika aku menjejak Setra Gandamayit dan bertarung melawan entitas dari tanah Danyang.

Saat aku menoleh ke belakang, napasku langsung tertahan. Tiga kepala ogoh-ogoh itu kini menatap tajam ke arah kami. Dan matanya…

Mereka hidup. Mereka menghakimi.

“Cahyo!” seruku, lebih karena naluri daripada logika.
Seolah menjawab, tubuh Cahyo tiba-tiba menegang dan bersiap. Suaranya melenguh, dan dari matanya menyala cahaya merah membara.

Roh Wanasura telah merasukinya. Saat ini pun keris Ragasukma telah kugenggam di tanganku, ia muncul dengan sendirinya.
Keris Ragasukma bergetar hebat…

Brugghh!!

Sebuah suara keras mengagetkan dari arah Bli Waja. Kami menoleh, dan jantungku seperti diremas.
Bli Waja… tiba-tiba saja sudah berubah menjadi Rangda. Wujud ratu ilmu hitam itu terpampang jelas, anehnya ia terkapar di tanah.

Tubuhnya gemetar, wajahnya yang biasanya kuat dan tenang sekarang terlihat seperti disayat ketakutan.

Apa pun yang dilakukan kepala bermata tiga dari ogoh-ogoh itu telah menjatuhkannya dalam sekejap. Benar-benar dalam satu kedipan mata seolah mereka bertarung di waktu yang berbeda.

“Apa… yang… terjadi?” gumamku lirih, tapi tak ada waktu untuk jawaban.

Salah satu kepala—yang menyerupai kakek dengan rambut putih panjang dan lidah menjulur—menatap langsung ke arahku. Rambutnya melayang seperti hidup. Udara di sekitarnya mendadak lebih dingin, lebih padat—aku merasa paru-paruku tak mampu menghirup napas.
Read 26 tweets
May 1
PUSAKAYANA
Part 1 - Mimpi dari Sang Dewa

..Sebatang tombak tua, berkarat & berlumuran darah, menembus dari dalam mulutnya, merobek rahang dan bibirnya. Tombak itu memanjang penuh ukiran aneh, disertai semburan darah segar ..

@bagihorror #bacahorror @IDN_Horor @ceritaht Image
"Apa yang menjadikan sebuah benda memiliki gelar pusaka?”
PROLOG

malam itu, langit seperti bersumpah untuk tidak memberi ampun. Hujan mengguyur deras, namun ada yang jauh lebih ganjil dari sekadar badai petir. Ratusan burung gagak hitam berkerumun di satu titik, beterbangan dan bertengger di sekitar sebuah rumah tua di tengah lereng.

Mereka tidak bergerak, tidak bersuara—hanya menatap satu arah. Mata-mata mereka menyorot rumah itu dengan intensitas yang menyeramkan, seolah menanti sesuatu.

Di dalam rumah, cahaya lampu menyala remang. Asap dupa mengepul dari pojok-pojok ruangan, bercampur dengan aroma tanah basah dan darah yang belum kering.

“Tak usah berpura-pura! Manjing Marcapada hanya bisa dipanggil olehmu, bukan? Lakukan ritual itu sekarang juga!” Suara keras penuh ancaman itu memecah suasana.

Sekelompok orang berpakaian hitam pekat, jubah mereka basah oleh hujan, berdiri membentuk lingkaran. Wajah-wajah mereka tersembunyi di balik topeng, namun aura permusuhan memancar tajam.

Mereka mengepung seorang lelaki tua yang berlutut di tengah ruangan. Tubuhnya gemetar, bajunya lusuh dan basah oleh air serta air mata—Ki Satmo, sang penjaga rahasia yang telah lama memutuskan untuk tidak pernah membuka kembali pintu kegelapan itu.

Di seberangnya berdiri tiga orang yang lebih menyayat hati: dua anak kecil dan seorang wanita—istri dan anak-anaknya. Mereka berdiri tegak, tapi sorot mata mereka kosong, seperti telah direnggut jiwanya.

Masing-masing menggenggam pisau kecil, dan—dengan gerakan serentak yang menyakitkan—menancapkan pisau itu dangkal ke dada mereka sendiri.

“Lepaskan mereka! Manjing Marcapada adalah pusaka Para Danyang! Aku tak punya kekuatan untuk memanggilnya!” jerit Ki Satmo, suaranya nyaris putus oleh ketakutan.
Read 25 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(