Sudah jelas dan bisa anda saksikan sendiri kan bahwa agama menjadi faktor pemecah belah bangsa kita? Fundamentalisme, radikalisme dan terorisme merebak? Generasi muda dan anak-anak yang terus menerus dicekoki dengan dogma2 intoleran dan kekerasan, dan segala macam kekejian
lainnya (dusta, hoax, pelintiran, kesaksian palsu, rasisme, kecurangan, korupsi, poligami, pedofil, dsb)?
Politisasi agama menyebar kebencian, egoisme dan menjauhkan sifat tepo seliro.... gotong royong.
Rakyat bertanya-tanya kenapa pemerintah tidak jua bertindak?
Sebetulnya
bukan tidak bertindak, tapi masa depan bangsa ini adalah di tangan rakyat sendiri. Itulah demokrasi. "Dari rakyat, untuk rakyat, OLEH RAKYAT!". Pemerintah telah menjalankan fungsinya memberikan wahana bahwa mengosongkan KTP adalah dilindungi oleh Undang-undang.
Mengosongkan
KTP bukan berarti anda tidak Bertuhan, tapi hanya bahwa tidak setuju dengan politisasi agama. Tetapi bila rakyat sendiri tidak mau bergerak untuk perjuangan yang sepele itu, lantas bagaimana kita masih mau berkata bahwa pemerintah tidak melakukan apa2?
Jangan hanya bisa
komplain kalau ditindas oleh politisasi agama peninggalan rezim terdahulu. Bergeraklah! DO IT ! Kerjakan!
Jarang diketahui oleh masyarakat luas di Indonesia, jika beberapa rumah ibadah (Kelenteng, Vihara dan Bio) harus mengalami nasib yang sangat menyedihkan dibanding dengan rumah2 ibadah lainnya.
Kami di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa telah
mengunjungi sejumlah rumah2 ibadah dan menemukan beberapa informasi diantaranya (sebagian tak mau mengungkapkan karena khawatir dan takut) mengalami perlakuan tak semestinya.
Kekejaman sistematis terhadap etnis Tionghoa, terjadi begitu hebat kala pemerintahan orde baru berkuasa.
Inpres no.14 tahun 1967 , selain membatasi ruang gerak, orang2 Tionghoa juga dilucuti dari budayanya sendiri, bahkan agama. Tak ketinggalan regulasi tersebut, juga berdampak kepada eksistensi rumah ibadah orang2 Tionghoa.
Walaupun Kelenteng / Vihara / Bio adalah rumah ibadah
Jemaat vihara membersihkan patung di Vihara Kwan In Thang, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (30/1/2019). Ritual pencucian patung dewa serta bersih-bersih ini dilakukan dalam rangka perayaan tahun baru China atau Imlek tahun 2570. - ANTARA/Muhammad Iqbal
PSI Janji Berantas Praktik Pemerasan Rumah Ibadah Vihara dan Kelenteng
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menemukan berbagai praktik pemerasan terhadap rumah ibadah Vihara dan Klenteng di berbagai tempat di Indonesia.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengaku menemukan berbagai praktik pemerasan terhadap rumah ibadah vihara dan klenteng di berbagai tempat di Indonesia.
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul "PSI Janji Berantas Praktik Pemerasan Rumah Ibadah Vihara
βAjaran Mama Mei tidak berbeda dengan Sunda Wiwitan,β kata Engkus Ruswana. Sunda Wiwitan yang diacunya adalah kepercayaan paling asal di kalangan komunitas Sunda, yang kini dilestarikan oleh orang-orang Baduy di Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten, sumber dari semua sekte Sunda
Wiwitan yang berkembang di tanah Sunda.
Satu contoh, jika Agama Sunda Wiwitan menyebut Yang Mahakuasa sebagai Sanghiang Keresa, Agama Buhun menyebutnya Maha Kersa.
Baik Agama Sunda Wiwitan maupun Agama Buhun sangat menghormati alam, suatu heroisme yang tak ditemukan dalam Hindu
dan Budha. Robert Wessing, peneliti dari Universitas Western Kentucky, Amerika, dalam Cosmology and Social Behavior in West Java Settlement, menguatkan pendapat itu. Tesisnya, dalam masyarakat Sunda, alam adalah pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling signifikan.
DI kalangan pemeluk Agama Buhun, Engkus Ruswana dikenal sebagai ketua umum Budi Daya, organisasi kemasyarakatan yang mengurusi para pemeluk ajaran Mei Kartawinata. Budi Daya hanyalah salah satu di antara tiga organisasi yang melayani para penghayat dari komunitas yang sama. Dua
lainnya Aji Dipa dan Aliran Kepercayaan Perjalanan (AKP).
Ruswana punya definisi tentang agama. Muasal kosakata βagamaβ menurutnya adalah hagama, dari bahasa Kawi. Ha untuk βadaβ dan gamana untuk βaturan atau jalanβ. Dari sana, Ruswana mengartikan agama sebagai βada aturan atau
jalan (lebih baik)β dan ke sanalah sebenarnya tujuan ajaran-ajaran Mei Kartawinata bermuara.
Untuk membangun jalan dalam mencapai tatanan sosial yang lebih baik, Agama Buhun berpijak pada tiga elemen utama. Spiritualitas individu berdasar ketuhanan. Kemanusiaan berdasar
ADA tanda strip di Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Engkus Ruswana. Atheiskah orang ini? Kesalahan komputer di catatan sipil? Atau lebih serius lagi: dia sedang dalam kontrol negara?
Hampir tak bisa dibantah, KTP bisa menjadi celah kecil negara untuk mengintip gerak-gerik
rakyatnya, terutama mereka yang dianggap berbahaya. Lihat apa yang terjadi pada eks tahanan politik (tapol) Partai Komunis Indonesia. Mereka dianggap bahaya laten, bisa bangkit kapan waktu dan kembali ke gelanggang politik. Negara merasa perlu untuk terus memonitor mereka.
Ekornya, sebuah kebijakan sarkastis diberlakukan: KTP berlabel ET, singkatan dari βeks tapolβ.
Hasilnya cespleng. Mereka kini tak punya kemampuan untuk leluasa bergerak. Paralel dengan ini, langkah mereka untuk memasuki pintu politik pun mandeg sama sekali. Mereka malahan tak
Contoh paling terkenal adalah Dewi Kanti, seorang penganut Agama Sunda Wiwitan, aliran kepercayaan yang dikembangkan kakeknya, Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. ADS (Agama Djawa Sunda), inilah cap buruk yang diberikan kolonial Belanda untuk ajaran Madrais. Si empunya lakon
belakangan ditangkap, lalu dibuang ke Ternate dan baru kembali ke kampung halamannya sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan pengembangan ajarannya, terutama di sekitar kampung halamannya. Agama Sunda Wiwitan versi Madrais, akhirnya dikenal juga sebagai Agama Cigugur.
βSaya sudah
mendapatkan KTP sekarang,β kata Dewi Kanti, awal Maret lalu. Tengah malam sebentar lagi tiba, Dewi Kanti masih bersemangat menceritakan pengalamannya untuk memiliki KTP. Katanya, selama bertahun-tahun dia tak pernah berhenti mendata kasus-kasus KTP para penghayat untuk meyakinkan