Suara dari pengeras suara itu terhenti, lagu yang terus bergumam di telingaku sedari tadi tidak lagi terdengar.
Saat itu juga, aku menyaksikan Demit-demit Peliharaan itu mengaum dan melolong keras.
Akupun menjerit, dan melangkah mundur… sontak saat itu juga makhluk-makhluk itu menoleh serentak kearahku dengan tatapan buas.
Mungkin tidak ada salahnya aku mencobanya..
“Nang ning, ning nang ning eu.. “
Aku menggantikan pengeras suara itu untuk menyanyikan tembang misterius yang terus kudengar di tempat ini.
“Nang ning, ning nang ning eu.. “
Aku terlihat bodoh, namun ini berhasil! Makhluk-makhluk itu meredam amukanya dan tidak lagi berusaha kabur dari penjara ghaib mereka.
Aku menoleh ke belakang dan pintu tadi benar-benar terkunci, tidak ada arah lain untukku selain pintu yang ada di ujung lorong yang diapit penjara demit-demit ini.
“Nang ning, ning nang ning eu.. Nang ning, ning nang ning eu.. “
Aku terus menyanyikan lagu itu sembari melintasi lorong itu. Tapi saat sampai di tengah ruangan, tiba-tiba rasa takutku membuat suaraku tertahan. lagu itu hanya keluar dalam bisikan tanpa bisa terdengar oleh demit-demit itu.
Seketika semua makhluk itu menatapku dengan beringas, mengguncang-guncangkan penjara mereka seolah siap mendobraknya untuk memangsaku.
“Nang ning, ning nang ning eu..” Aku berusaha bernyanyi sekuat tenaga namun aku terjatuh.
Beruntung tiba-tiba suara pengeras suara itu terdengar lagi. Saat itu juga makhluk makhluk itu berangsur tenang.
Akupun menggunakan kesempatan itu untuk mempercepat langkahku menuju pintu di ujung ruangan.
Clackk!!
Aku mengunci pintu ruangan itu. Aku tidak yakin penjara itu bisa menahan makhluk itu lebih lama lagi.
Saat itu spontan aku berteriak sekencang-kencangnya melampiaskan ketakutanku. Aku tersandar mengatur nafas sembari berharap kejadian-kejadian mengerikan tadi berhenti di sini.
…
“Sudah ketemu Wenang?”
Belum sempat mengembalikan nafasku, samar-samar terdengar suara dari salah satu sisi ruangan ini. Lampu menyala seketika dan menunjukkan keadaan di ruangan ini.
Tidak seperti ruangan menyeramkan tadi, ruangan ini adalah sebuah dapur yang bersih dengan meja makan yang diisi oleh makanan hangat dan minuman segar.
Namun di ujung meja itu tengah duduk seorang perempuan tua.
Ternyata dia adalah ibu wening dan wenang.
Keberadaan perempuan itu merubah suasana tempat ini menjadi terasa mencekam. Bagaimana tidak? Di hadapanku sekarang adalah seorang ibu yang saya temui di jalan yang menunjukkanku arah ke rumah ini.
Yang artinya juga, dia adalah orang dibalik semua setan-setan tadi.
“Ayo kesini, Nak!” ajaknya. Namun, aku tidak sudi untuk mendekat.
Bahkan saat ini aku tidak bisa membedakan apakah sosok di hadapanku ini adalah manusia.
Kalaupun ibu ini manusia… manusia macam apa yang mengurung iblis, demit, dan membantai manusia di rumahnya?
Sayangnya, menjaga jarak darinya saja tidak cukup. Ia menawarkanku untuk menemui wening, namun sekali lagi hal mengerikan terjadi.
Ruangan yang terasa lebih baik dari ruangan sebelumnya ini berubah menjadi hitam seolah terbakar gosong. Salah satu dinding didobrak dengan keras, dan muncul seseorang dari sana.
Dia adalah wenang…
Tapi saat itu juga wajah wenang berubah, wajahnya berubah beringas dengan darah yang berceceran di bajunya.
Aku ketakutan sejadi-jadinya, terlebih saat melihat di salah satu tanganya ternggenggam tali yang mengikat ke sebuah pasung,
dengan potongan tangan manusia yang masih menempel di sana.
Ini gila? Apa mungkin aku akan bernasib seperti tangan manusia itu? Lalu bagaimana dengan wening?
Besok kita akan lanjut ke bagian Akhir.
Kalau senandung itu bisa menenangkan demit, apakah senandung itu bisa menyelamatkanku dari wenang juga?
Tak jauh dari tempatku berada, berdiri sosok manusia yang berubah mengerikan layaknya iblis.
Satu tanganya menggenggam tali yang memasung potongan tangan, dan satu tanganya lagi menggenggam seikat kembang sedap malam.
Aku hampir yakin Wenang bersiap mengejarku, namun tidak.
“Kalau ibu udah nggak ada, kamu tinggal di rumah Paklekmu ya, Nduk..”
Sebuah kalimat lirih terdengar dari ibu yang sudah sangat lemah untuk melawan penyakitnya.
Aku menyuapkan sesendok bubur pada ibu dan membersihkan sedikit bubur yang berada di sekitar bibirnya.
“Ibu jangan ngomong gitu, Kinan percaya ibu bisa sembuh,” Balasku.
Perkataanku bukan hiburan semata, tetapi lebih kepada doa dan harapanku agar ibu bisa tetap bertahan hidup. Tanpa keberadaan ibu, sudah tidak ada siapa-siapa lagi di rumah ini.
Gelapnya langit malam perlahan menutup pintu-pintu rumah bersama hadirnya suara serangga malam.
Beberapa kali ada warga yang berkeliling dengan memukul kentongan seolah mengatakan bahwa ada mereka yang akan menjaga desa selama mereka tertidur.
Sesekali mereka yang bertugas ronda menyapa warga yang masih menikmati kopi hitam di teras rumahnya, namun saat semakin malam jarang sekali mereka berpapasan dengan warga di malam-malam biasa.