Tak jauh dari tempatku berada, berdiri sosok manusia yang berubah mengerikan layaknya iblis.
Satu tanganya menggenggam tali yang memasung potongan tangan, dan satu tanganya lagi menggenggam seikat kembang sedap malam.
Aku hampir yakin Wenang bersiap mengejarku, namun tidak.
Ia malah duduk bersila dan menghirup aroma kembang sedap malam itu.
Wenang masih terus merapal mantra itu, sembari mencipratkan darah dengan kembang sedap malamnya.
“Masuk Lorong! Lari!!!” Suara Wening terdengar lagi. Kali ini ia terdengar panik, aku menduga hal itu berhubungan dengan Mantra yang dibacakan oleh Wenang.
Akupun berlari mengarah ke lorong itu, dan saat menyadari aku akan meninggalkan tempat ini,
Wenangpun beranjak berdiri dan mengejarku.
Benar saja, ada sebuah kerangkeng di sana yang dikunci dengan sebuah balok yang besar.
Di sanalah Wening berada!
“Cepat buka baloknya!” Perintah wening.
Aku berusaha mendekat dan mencoba membuka balok itu, tapi sejenak aku terhenti.
Aku teringat tentang semua yang terjadi di rumah ini. Wenang, Setan-setan itu, dan Ibunya.. mereka adalah keluarga pelaku pesugihan. Itu berarti ada kemungkinan bahwa Wening juga salah satu dari mereka.
“Nggak! Kamu pasti ngejebak aku supaya aku jadi tumbalmu kan?” Ucapku.
Wening terlihat bingung, namun ia terus berusaha menjelaskan bahwa dirinya bukan bagian dari mereka. Ia tidak pernah setuju dengan pesugihan yang dilakukan keluarganya.
Aku tidak mungkin percaya begitu saja, tapi wenang semakin mendekat seolah sudah bersiap untuk menghabisi nyawaku.
Apakah aku harus mempertaruhkan hidupku pada Wening? Atau aku harus mencoba menyelamatkan diri sendiri dari Wenang ?
“Nang ning, ning nang ning eu.. “
Tanpa sadar nada itu menggema di kepalaku. Ataukah lagu ini bisa menyelamatkanku sekali lagi dari situasi ini.
“Kalau ibu udah nggak ada, kamu tinggal di rumah Paklekmu ya, Nduk..”
Sebuah kalimat lirih terdengar dari ibu yang sudah sangat lemah untuk melawan penyakitnya.
Aku menyuapkan sesendok bubur pada ibu dan membersihkan sedikit bubur yang berada di sekitar bibirnya.
“Ibu jangan ngomong gitu, Kinan percaya ibu bisa sembuh,” Balasku.
Perkataanku bukan hiburan semata, tetapi lebih kepada doa dan harapanku agar ibu bisa tetap bertahan hidup. Tanpa keberadaan ibu, sudah tidak ada siapa-siapa lagi di rumah ini.
Gelapnya langit malam perlahan menutup pintu-pintu rumah bersama hadirnya suara serangga malam.
Beberapa kali ada warga yang berkeliling dengan memukul kentongan seolah mengatakan bahwa ada mereka yang akan menjaga desa selama mereka tertidur.
Sesekali mereka yang bertugas ronda menyapa warga yang masih menikmati kopi hitam di teras rumahnya, namun saat semakin malam jarang sekali mereka berpapasan dengan warga di malam-malam biasa.